Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

Evidence Based Practice pada Keperawatan Bencana, Pengelolaan Kegawatdaruratan


Bencana 4CS dengan Memperhatikan Keselamatan Korban Dan Petugas,
Keselamatan & Keamanan Lingkungan, dan Pendekatan Interdisiplin,
Perawatan terhadap Individu & Komunitas

Oleh :

1. Habiburahman (2020030042)
2. Riska Lailiya Ramadani (2020030033)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA JOMBANG

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

2023
A. Evidence Based Pratice (EBP)
1. Definisi Evidence Based Pratice (EBP)
Evidence Based Practice adalah sebuah cara penyelesaian masalah dalam
pelayanan kesehatan yang berdasaarkan bukti terbaik, keahlian klinis, dan prefensi
pasien (Melnyk, Fineout-Overholt, Stillwell, & Wiliamson, 2010). Clinical Based
Evidence atau Evidence Based Practice (EBP) adalah tindakan yang teliti dan
bertanggung jawab dengan menggunakan bukti (berbasis bukti) yang berhubungan
dengan keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk menuntun pengambilan
keputusan dalam proses perawatan (Titler, 2008). Menurut Institute of Medicine
dalam Glasner (2010) Evidence Based adalah integrase hasil penelitian berdasarkan
bukti ilmiah dengan keahlian klinis dan nilai nilai pasien.

2. Langkah-langkah dalam Evidence Based Practis (EBP)


Evidence Based Practice dilakukan melalui langkah-langkah yang
berkesinambungan. Terdapat berbagai literatur yang membahas tentang langkah-
langkah EBP. Namun secara garis besar terdapat 5 langkah utama dalam
mengimplementasikan EBP, antara lain :
a. Mengembangkan pertanyaan klinis
b. Mencari bukti ilmiah
c. Menilai bukti ilmiah yang ada
d. Mengimplementasikan bukti ilmiah dengan mengintegrasikan keahlian klinis
e. dan prefensi pasien
f. Mengevaluasi hasil dari implementasi
Menurut Melnyk &Fineout-Overholt (2011) menambahkan langkah ke 0 dalam
EBP:
a. Langkah 0: menumbuhkan keingintahuan
Rasa keingintahuan dapat dibangun dan dilatih. dalam menerapkan ilmu
pengetahuan yang didapatkan ke dalam praktik klinis, profesional kesehatan
akan menemui tantangan-tantangan yang menunjukkan adanya perbedaan
antara teori dan kondisi dilapangan, hal ini tentunya merupakan masalah yang
dapat menimbulkan pertanyaan, semangat keingintahuan tersebut dapat
muncul dan terus dipupuk ketika tenaga kesehatan memiliki tujuan untuk
meningkatkan kualitas praktis pelayanan kesehatan serta adanya dukungan
dari institusi dan organisasi untuk mewadahi kegiatan EBP. Lingkungan kerja
berperan dalam menumbuhkan semangat berpikir kritis, namun rasa
Keingintahuan juga dapat ditumbuhkan secara individu. sebuah penelitian
mengembangkan aktivitas yang dapat dilakukan oleh perawat untuk
meningkatkan rasa keingintahuan di setting pelayanan kesehatan, yaitu dengan
mengidentifikasi dan mempertanyakan praktik-praktik yang selama ini
dilakukan (Mick,2011), antara lain:
1) Praktik dengan biaya tinggi, efisiensi rendah, dan tidak didukung bukti
2) Praktik yang janggal namun dipertahankan karena tradisi dan tidak
didukung
3) bukti
4) Praktik yang belum pernah dijelaskan oleh bukti-bukti yang ada
5) Praktik tradisional yang telah dilakukan bertahun-tahun namun tidak
didukung
6) bukti
7) Praktik yang didasari tidak memiliki manfaat yang berarti
8) Praktik yang sulit untuk dihentikan walaupun tidak ada bukti yang
mendukung
Aktivitas tersebut dapat memicu adanya diskusi tentang mengapa
praktik tersebut dilakukan dan bagaimana mereka memberikan justifikasi
berdasarkan bukti yang ada. Penting untuk melakukan refleksi terhadap
pelayanan kesehatan yang diberikan dan mengevaluasi berdasarkan teori yang
ada, sehingga proses EBP dapat mulai ditanamkan di antara praktisi. Namun
proses mempertanyakan praktik kesehatan yang ada juga dapat dilakukan oleh
mahasiswa dan penelitian kesehatan melalui aktivitas penilaian kritis
penelitian yang ada.
b. Langkah 1: mengembangkan pertanyaan klinis
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab secara ilmiah jika
dikembangkan dengan baik dan spesifik proses ebp akan ditentukan oleh
pertanyaan yang diajukan oleh karena itu langkah yang pertama adalah
mengembangkan pertanyaan klinis yang cukup spesifik dan ilmiah untuk
praktisi atau peneliti kemudian mencari jawabannya melalui proses yang juga
ilmiah. Penelitian maupun pencarian literatur yang akan dilakukan akan
semakin terarah dengan pertanyaan yang dikembangkan dengan baik
seringkali dalam satu topik terkait pernyataan pelayanan kesehatan ditemukan
beberapa masalah yang perlu dipecahkan namun perlu diingat bahwa
penelitian yang dirancang dengan baik hanya akan menjawab sebuah
pertanyaan spesifik. Oleh karena itu jika praktisi perlu menentukan sebuah
masalah untuk diangkat dan ditransformasi ke dalam pertanyaan klinis, maka
dibutuhkan penyusunan prioritas dalam pemilihan satu masalah utama yang
akan diangkat terlebih dahulu langkah-langkah dalam mengembangkan
pertanyaan klinis sama dengan cara mengembangkan pertanyaa ilmiah pada
penelitian original maupun systematic review.
c. Langkah 2: mencari bukti ilmiah
Proses pencarian bukti ilmiah ini dilakukan dengan tujuan menjawab
pertanyaan klinis yang diajukan pencarian bukti ilmiah kini semakin mudah
dan cepat untuk dilakukan dengan adanya database ilmiah yang dapat diakses
secara luas pencarian yang membutuhkan dukungan dari institusi melalui
penyediaan akses ke dalam database berlangganan maupun artikel artikel
ilmiah berbayar. Hal ini dikarenakan seringkali artikel terbaru dengan
metodologi yang tepat tidak tersedia untuk publik atau berbayar. Jika praktisi
atau peneliti menemukan kesulitan dalam hal ini hasil ebp tentu saja akan
memiliki kekurangan walaupun begitu, hendaknya keterbatasan ini tidak
menurunkan penerapan ebp di tataran klinis dengan menggunakan sumber
daya yang ada dan mengidentifikasi keterbatasannya.
Sebagai permulaan misalnya praktisi atau peneliti dapat menggunakan
database yang disediakan oleh perpustakaan nasional dengan mendaftar
sebagai anggota secara gratis. Terlepas dari terbatasnya akses data pada
database kemampuan pencarian literatur di kalangan peneliti maupun praktisi
perlu dikembangkan dalam rangka memperluas hasil pencarian. Artikel
penelitian yang berkualitas yang dipublikasi di jurnal internasional telah
melalui proses peer- review yang ketat. Kualitas dari hasil penelitian telah
teruji secara kualitas.
d. Langkah 3: menilai bukti ilmiah yang ditemukan
Tidak semua literatur yang kita temukan baik itu di database ilmiah
maupun di mesin pencarian populer terjamin kualitasnya. Literatur literatur ini
perlu melalui proses penelitian kritis. Proses ini merupakan proses yang paling
panjang dalam EBP serta membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang
memadai dalam hal metodologi penelitian. Secara sederhana, Melynk
&Fineout Overholt (2011) tiga
komponen utama yang perlu dikritisi dari sebuah artikel penelitian, antara lain:
1) Apakah hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut valid?
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan
metodologi penelitian.
2) Apakah hasil dari penelitian tersebut?
Yang perlu dilihat dari pertanyaan ini adalah bagaimana hasil yang
didapatkan di presentasikan dari nilai-nilai statistik yang disajikan
penelitian kuantitatif atau tema yang didapatkan penelitian kualitatif
3) Apakah hasil yang didapatkan tersebut dapat membantu saya
merawat pasien saya?
Pertanyaan ini ditunjukkan untuk mengevaluasi aplikabilitas dari
hasil penelitian.
e. Langkah 4: mengimplementasikan bukti ilmiah
Pada langkah ini praktisi perlu melibatkan keahlian mereka serta
preferensi pasien. Literatur yang ada mungkin menunjukkan efektivitas suatu
tindakan namun tidak serta merta dapat diaplikasikan pada praktik pelayanan
kesehatan hal ini dikarenakan kompleksitas kasus dan respon klien sebagai
manusia sehingga diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk
aplikasi evidence yang ada. Keahliannya klinisnya untuk membuat keputusan
son apakah sebuah evidence dapat diterapkan ke dalam sebuah kasus. Praktisi
tersebut perlu mempertimbangkan manfaat dan risiko dari sebuah tindakan
serta bisa yang diidentifikasi dari penelitian tersebut. Pasien juga perlu
dilibatkan dalam pembuatan keputusan dengan terlebih dahulu diberikan
informasi yang lengkap dan transparan kenal dengan praktik yang akan
dilakukan. Sebuah keputusan klinis yang baik dapat dihasilkan jika praktisi
memahami kondisi pasien dan memiliki pemikiran kritis terhadap perubahan
kondisi serta situasi klinis yang ada (Melynk &. Fineout-Overholt, 2011).
Dengan begitu pasien dapat diperlakukan sebagai individu yang unik
dan bukan bagian dari statistik penelitian semata. Setelah pertimbangan
dilakukan dan keputusan dibuat, cutnya implementasi bukti ilmiah terbaik ini
perlu direncanakan dengan baik. Isi dan pemegang kebijakan perlu
mempersiapkan sumber daya yang ada termasuk fasilitas dan tenaga kesehatan
yang akan mengimplementasikan praktik tersebut implementasi merupakan
sebuah langkah EBP yang praktis sehingga diperlukan arahan yang jelas
terkait praktik yang akan diterapkan.
f. Langkah 5: mengevaluasi hasil dan mengimplementasikannya
Evaluasi perlu dilakukan terhadap luaran yang dihasilkan dari
implementasi tindakan. Evaluasi luaran perlu dilakukan dengan metode yang
terukur dan objektif. Implementasi dari praktis pencegahan infeksi misalnya,
perlu dievaluasi dari kejadian infeksi pada pelayanan kesehatan tersebut. Data
ini didapatkan secara internal dari rekam medis. Oleh karena itu, penggunaan
teknologi seperti Electronic Medical Record (EMR) dapat memfasilitasi
proses evaluasi dalam EBP lebih efisien. Data-data tersebut merupakan data
internal yang dapat digunakan untuk membandingkan apakah perubahan
praktik yang diimplementasikan menghas ailkan luaran yang lebih baik
dibandingkan praktik yang diimplementasikan menghasilkan luaran yang
lebih baik dibandingkan praktik yang lama. Selain luaran langsung dari sebuah
implementasi, perlu juga dilakukan evaluasi terkait aspek-aspek yang terlibat
dalam implementasi tersebut seperti administrasi, keuangan, sumber daya
manusia, dan sistem pelayanan (Melynk & Fineout-Overholt, 2011).
Dengan begitu, sebuah pelayanan kesehatan dapat mengidentifikasi
hambatan dan kekurangan yang ditemui serta menyempurnakan praktik yang
diimplementasikan. Evaluasi yang dilakukan terhadap perubahan praktik
kesehatan merupakan proses akan mengantarkan praktis kembali pada langkah
0, yaitu mempertanyakan praktis yang ada serta apa yang bisa dilakukan untuk
pelayanan kesehatan yang yang lebih baik. Oleh karena itu, EBP menjadi
proses yang berkesinambungan dan tidak putus juka terintegrasi budayanya ke
dalam pelayanan kesehatan. Penrapan EBP untuk pelajar dan peneliti yang
bukan praktisi tentunya sulit untuk dilakukan secara penuh. Bloom, Olinzock,
Radjenovic, & Trice (2013).

3. Hierarki Evidance Based Practice (EBP)


Hierarki dalam penelitian ilmiah terdapat hieraraki dari tingkat
kepercayaannya yang paling rendah hingga yang paling tingi. Dibawah ini mulai
dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi :
a. Laporan fenomena atau kejadian-kejadian yang kita temuai sehari-hari
b. Studi kasus
c. Studi lapangan atau laporan deskriptif
d. Studi percobaan tanpa penggunaan tekhnik pengambilan sampel secara acak
(random)
e. Studi percobaan yang menggunakan setidaknya ada satu kelompok
pembanding, dan menggunakan sampel secara acak
f. Systemic reviews untuk kelompok bijak bestari atau meta-analisa yaitu
pengkajian berbagai penelitian yang ada dengan tingkat kepercayaan yang
tinggi.

4. Bencana
UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai "peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis".
Sementara Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) mendefinisikan bencana
dalam formulasi "The serious disruption of the functioning of society, causing
widespread human, material ormenvironmental losses, which exceed the ability of
the affected communities to cope using their own resources" (Abarquez & Murshed,
2004).
Definisi bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga aspek dasar, yaitu:
a. Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard).
b. Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan
fungsi dari masyarakat.
c. Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan
masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka.
Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau
gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability)
masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti
masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu, sementara bila
kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang mengancam maka
tidak akan terjadi bencana.
5. Penangulangan Bencana
Kesadaran akan pentingnya upaya pengurangan risiko bencana mulai
muncul pada dekade 1900-1999 yang dicanangkan sebagai Dekade Pengurangan
Risiko Bencana Internasional. Beberapa konferensi tingkat dunia diinisiasi oleh
United Nations International Strategy or Disaster Risk Reduction (UN-ISDR) yang
merupakan salah satu badan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang ditugaskan
untuk mengawal Dekade Pengurangan RisikoBencana Internasional. Menutut
Carter dalam Hadi Pumomo tahun 2010, mendefinisikan pengelolaan bencana
sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan observasi
sistematis dan analisis bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan (measures)
terkait dengan preventif (pencegahan), mitigasi (pengurangan), persiapan, respon
darurat dan pemulihan. Sehingga menurutnya, tujuan dari Manajemen Bencana
tersebut diantaranya, yaitu mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik,
ekonomi maupun jiwa yang dialami oleh perorangan, masyarakat negara,
mengurangi penderitaan korban bencana, mempercepat pemulihan, dan
memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang kehilangan
tempat ketika kehidupannya terancana. Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana terdapat Ketentuan Umum yang
mendefinisikan penyelenggaraan Penanggulangan bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahaan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi.
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
dalam Pasal 1 ayat (6) menyebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan
bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Dalam Pasal 3 ayat (1) dijelaskan bahwa asas-asas penanggulangan
bencana, yaitu kemanusiaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, keseimbangan, keselarasan, dan keserasian, ketertiban dan kepastian
hukum, kebersamaan, kelestarian lingkungan hidup, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Pada pasal 5,
dinyatakan bahwa pelaksanaan penanggulangan bencana ini membutuhkan
Rencana Penanggulangan Bencana ya disusun pada situasi tidak terjadi bencana.
Diamanatkan kembali pada pasal 6 bahwa setiap Provinsi wajib menyusun Rencana
Penanggulangan Bencana. Sebagaimana UU No. 24 tahun 2007, Peraturan Kepala
Badan Penanggulangan Bencana Nomor 04 tahun 2008 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana juga menyebutkan bahwa
penanggulangan bencana terdiri dari beberapa fase, yaitu fase pencegahan dan
mitigasi, fase kesiapsiagaan, fase tanggap darurat dan fase pemulihan.

6. Organisasi Penanggulangan Bencana


Berikut ini merupakan organisasi penanggulangan bencana:
a. Tingkat Nasional Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana
b. Tingkat Propinsi Satuan Koordinasi Penanggulangan Bencana
c. Tingkat Kabupaten Satuan Laksana Penanggulangan Bencana
Penanggulangan bencana memerlukan manajemen pada tahapannya, yaitu:
1) Tahap Persiapan (Preparedness)
a. Pengembangan SPGDT
b. Pengembangan SDM
c. Pengembangan Sub sistem Komunikasi
d. Pengembangan Sub sistem Transportasi
e. Latihan Gabungan
f. Kerjasama lintas sektor
2) Tahap Akut (Acute response)
a. Rescue – triage
b. Acute medical response
c. Emergency relief
d. Emergency rehabilitation

7. Alur Penanggulangan Bencan


Berikut ini merupakan alur pelayanan medis di lapangan pada
penanggulangan bencana: Dalam hal ini rumah sakit harus sanggup memberi
pelayanan secara cepat, tepat, cermat, nyaman, dan terjangkau untuk mencegah
kematian dan kecacatan. Berikut ini label triage dan keterangan tindakan yang harus
dilakukan:
1) Merah Segera Ditanggulangi terlebih dahulu
a. Mengancam Jiwa
b. Cacat
2) Kuning > Boleh Ditangguhkan
a. Keadaan tidak mengancam Jiwa
b. Segera ditangani bila yang mengancam Jiwa sudah teratasi
3) Hijau Boleh ditunda dan Rawat Jalan Tidak Membahayakan Jiwa
4) Hitam Boleh Diabaikan danDitinggalkan
a. Diurus paling akhir
b. Sudah tidak ada tanda-tanda vital
c. Usaha-usaha pertolongan amat sangat kecil keberhasilannya

B. Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana 4CS


1. Command (Komando)
Kemampuan memberikan perintah secara efektif mengenai sebuah insiden
menggunakan struktur perintah terpadu adalah kunci sukses penanganan kondisi
darurat apapun. Sistem Pengelolaan Insiden (IMS) juga dikenal sebagai sistem
komando insiden (ICS) merupakan sebuah sistem yang dirancang untuk menangani
insiden dengan sigap dalam rentang waktu tertentu. Dalam kondisi darurat, petugas
hanya dapat secara efektif menagani 3 sampai 7 orang. Apabila unit pertama datang
maka karyawan perusahaan yang bertugas bertanggung jawab sampai atasan
mengambil alih. Jika unit pertama kewalahan dalam melakukan upaya penyelamatan,
maka karyawan perusahaan dapat menunda mendirikan pos komando formal dengan
meninggalkan pesan kepada karyawan perusahaan berikutnya. Karena kejadian
pertama telah berada di bawah kendalinya, maka petugas masih memegang komando
yang efektif di lapangan meskipun pusat komando resmi belum didirikan. Ketika
kondisi darurat berlangsung, sumber daya tambahan akan dikerahkan dan divisi,
kelompok, atau sektor akan didirikan, masing-masing oleh petugas sendiri.
Setiap saat jaringan komando ditambah, pergunakan kesempatan untuk
meneruskan komando pada level diatasnya. Para komandan segera membangun
sistem piramida yang memungkinkan setiap petugas hanya berinteraksi dengan 3
sampai 7 orang. Dalam insiden skala yang sangat besar, lima jabatan fungsional
dialokasikan:
a. Komando
Komando adalah sistem yang memberikan instruksi secara keseluruhan melalui
komandan insiden (Incident Commander/IC). Fungsi ini harus selalu dijalankan
bahkan dalam satu perusahaan. Jika kejadian berlangsung melibatkan beberapa
perusahaan, IC sering membuat sistem staf komando khusus yaitu Safety Officer
(SO) dan seorang Liaison Officer (LO). Pada insiden skala besar sebaiknya segera
mendirikan Public Information Officer (PIO) yang bertugas mencatat peristiwa
yang terjadi secara terus menerus. Littleton, seorang petugas pemadam kebakaran
memberikan gambaran tentang tugas yang diberikan padanya untuk
mendengarkan rekaman radio transmisi guna merekonstruksi waktu kejadian dan
urutan peristiwa pada April 1999 tentang insiden penembakan yang terjadi di
Sekolah Menengah Atas Columbine. Tehnik ini juga digunakan saat kerusuhan
di Los Angeles yang melibatkan kebrutalan polisi Rodney King, Los Angeles Fire
Department. Jadi pada dasarnya wartawan baik media televisi maupun media
cetak akan senantiasa meliput cuplikan tentang kejadian2 tertentu. Dan hal
tersebut dapat kita manfaatkan untuk merekonstruksi dan mempelajari situasi
yang terjadi, untuk mencari solusi pemecahannya.
b. Operasi
Merupakan bagian yang bertugas untuk merencanakan taktik pada IC. Komandan
operasi bekerja sama dengan kelompok yang berusaha untuk mengatasi keadaan
darurat.
c. Perencanaan
Merupakan bagian yang bertugas mengumpulkan informasi dan menganalisis
berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi akibat dari rencana yang telah
dibuat. Dan bila diperlukan membuat modifikasi yang agar operasi dapat berjalan
dengan sukses.
d. Logistik
Merupakan bagian yang bertugas untuk memastikan bahwa sumber daya tersedia
sesuai kebutuhan. Barang-barang seperti bahan bakar, makanan, layanan medis,
peralatan khusus, kendaraan tambahan, dan personil adalah contoh dukungan
yang harus disediakan jika operasi taktis diteruskan
e. Keuangan
Merupakan fungsi yang perlu diadakan untuk kejadian yang luar biasa/skala
besar. Operasi skala besar memerlukan dokumentasi pengeluaran fiskal, dan
petugas keuangan juga dapat membantu IC dalam perencanaan keuangan dan
pengaturannya. Jika terjadi kelalaian dalam menggunakan dana operasi hingga
menyebabkan deficit keuangan yang cukup berat, dokumentasi petugas keuangan
tentang pengeluaran departemen dapat membantu memulihkan sebagian dari
biaya operasi.

2. Control
Salah satu bidang penting yang sering terabaikan dalam penyusunan program
dan rencana persiapan bencana adalah kontrol informasi dan pencitraan yang
ditransfer kepada dunia melalui media. Pra-perencanaan yang berkaitan dengan siapa,
apa, kapan, di mana, dan bagaimana arus informasi sangat penting untuk memastikan
keakuratan informasi yang disebarkan tentang perusahaan Anda dan situasi darurat
serta gambar yang publik adalah keputusan perusahaan anda dalam 30 detik.
Perhatikan contoh berikut: sebuah perusahaan publik mengalami ledakan yang
mengakibatkan kerusakan parah pada berbagai fasilitas, sepuluh korban jiwa, dan
sejumlah besar pekerja terluka. Setelah diberitahukan kepada pemadam kebakaran,
EMS, dan para penegak hukum lokal, maka media lokal yang biasanya memantau
transmisi radio, akan mengirim kru reporter atau televisi ke TKP. Para awak televisi
akan bekerja dalam tenggat waktu tertentu untuk mendapatkan rekaman video dan
informasi mengenai kejadian perkara secepat mungkin dan dalam waktu tertentu
untuk siaran di televisi. Rekaman video harus menarik pemirsa, dan informasi
didapatkan langsung dari karyawan, pemadam kebakaran, atau siapa pun yang ada d
tempat kejadian.
Informasi yang dikumpulkan di tempat kejadian akan sangat cepat diperoleh
oleh channel TV tertentu, misal CNN dan stasiun televisi global, kemudian
dipublikasikan melalui internet, dan melalui berita surat kabar. Informasi yang
diperoleh sering mengalami perubahan untuk menghasilkan berita yang menarik
Sehingga banyak fakta-fakta dan kebenaran situasi yang hilang.
Masyarakat yang menonton berita di rumah atau membaca koran akan dapat
menilai perusahaan atau organisasi yang diberitakan tersebut. Masyarakat ini mungkin
merupakan pemegang saham, karyawan yang berpotensi, pelanggan, atau bahkan
semua orang. Mereka akan membuat penilaian mengenai perusahaan atau organisasi
Anda sejak 30 detik pertama. Rekaman video dan komentar yang disampaikan oleh
media, akan sangat mungkin berpengaruh pada masa kerja pekerja di perusahaan
Anda, pembelian produk Anda, atau pembelian/penjualan saham Anda. Pada
dasarnya, informasi yang diberikan kepada masyarakat melalui televisi, internet, dan
media lainnya akan membantu dalam membentuk opini di publik tentang perusahaan
anda atau organisasi ,apakah baik atau buruk dan hal ini akan mempengaruhi interaksi
mereka dengan perusahaan atau organisasi di masa depan.
Kontrol terhadap penyebaran arus informasi adalah hal yang sangat penting dan
harus menjadi bagian yang komprehensif dari penanganan gawat darurat dan rencana
persiapan penanganan bencana. Pada intinya, saat ini adalah penting untuk
mengontrol arus informasi karean setiap informasi yang disampaikan akan
mempengaruhi kehidupan perusahaan kedepannya.
Sebagai bagian dari keseluruhan kegawatdaruratan dan upaya kesiapsiagaan bencana,
perlu dipikirkan:
a. Darimana media akan mendapatkan informasi ?
b. Siapa yang akan memberikan informasi kepada media?
c. Gambar apa yang akan diberikan oleh narasumber?
d. Apa background dari narasumber saat diwawancarai?
e. Apakah rekaman video yang akan media dapatkan?
f. Apa yang media ketahui tentang perusahaan Anda atau organisasi selain situasi
bencana?
g. Apakah media akan memberikan dampak buruk terhadap upaya
kegawatdaruratan?
h. Bagaimana penampilan narasumber?
i. Apakah narasumber memiliki kapasitas yang baik dalam mewakili perusahaan
anda?
j. Apakah informasi akan disaring oleh penasihat hukum sebelum diberikan kepada
media?
k. Apa ada waktu tertentu saat media di lokasi ?
Pengendalian informasi sangat penting dalam rangka meminimalkan dampak
buruk setelah bencana. Langkah-langkah berikut dapat dipertimbangkan untuk
penanganan kegawatdaruratan secara keseluruhan dan perencanaan penanganan
bencana yaitu:
1) Menyediakan satu area terentu di areal parkir yang jauh dari area bencana
2) Petugas keamanan ditugaskan di daerah media untuk melarang perwakilan
media masuk ke area bencana
3) Memilih seseorang sebagai perwakilan perusahaan untuk berbicara kepada
media dan tidak ijinkan karyawan lain untuk memberikan informasi kepada
media.
4) Juru bicara dipilih untuk memberikan platform yang tepat, mikrofon, dan latar
belakang perusahaan (misalnya, logo perusahaan)
5) Penampilan, nada suara, kemampuan untuk tetap tenang, dan atribut lainnya
adaah hal yang pentng dupertimabngkan untuk memilih juru bicara
6) Media diarahkan ke area yang tepat untuk mendapatkan rekaman video.
7) Sediakan paket informasi yang akan diberikan kepada media
8) Semua informasi disaring oleh pengacara hukum sebelum presentasi dan
pertanyaan dari media dipertahankan seminimal mungkin.
9) Selalu memberikan informasi yang benar atau tidak ada informasi sama sekali.
10) Perlu diingat deadline media. Jika memungkinkan berikan informasi kepada
media karena bila tidak ada informasi yang diterma maka media akan
mendapatkan kabar angin. Sebagai kesimpulan, media adalah fakta kehidupan
hari ini. Media harus dikelola dengan baik. Bila tidak dikelola dengan baik
maka situasi bencana akan memiliki dampak yang panjang terhadap
perusahaan anda. Dan haruslah di ingat, semua yang telah disampaikan atau
dilihat oleh media disimpan dengan baik oleh mereka dan memiliki
probabilitas tinggi bahwa rekaman tersebut akan digunakan masa depan.
Setiap aspek dari media yang harus dikontrol dalam rangka untuk
menempatkan yang terbaik pada situasi yang buruk. Ingatlah, ketika bencana
terjadi situasi berubah menjadi panik banyak individu yang terluka. Persiapan
untuk menghandel media haruslah dilakukan dengan tenang, kepala dingin,
cara yang tepat dan melakukan majeman bencana dengan baik.
3. Coordination
Kemampuan untuk berkomunikasi, berkoordinasi, dan bekerja secara efektif
sebagai suatu team merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan suatu
rencana. Dalam suatu bencana berskala besar, maka makin banyak sumber daya yang
dibutuhkan. Kemampuan masing-masing pihak penolong untuk mendata
permasalahan, menghitung sumber daya yang dimiliki, dan berkomunikasi antar
sesama akan menentukan keberhasilan suatu program/proyek. Ada banyak anggota
masyarakat yang akan bersedia membantu, para penegak hukum, pemadam
kebakaran, paramedis, dan lain-lain akan dengan sukarela membantu Tim
penanggulangan dampak bencana. Namun kemampuan mereka berbeda-beda,
sehingga tugas kita untuk mendata hal tersebut, kemudian memberikan pelatihan dan
perlengkapan yang diperlukan. Kita juga harus meyakinkan mereka bahwa kita
mampu memberi bantuan yang diperlukan, sehingga mereka percaya pada kita.
Kemudian segera hubungi kepala dari pemadam kebakaran, kepolisian, dan
tenaga kesehatan setempat untuk mendiskusikan tentang program yang akan
dijalankan. Bila diperlukan evakuasi warga, maka koordinasi dengan pihak penyedia
transportasi lokal juga diperlukan. Selain itu kita juga harus mendata kebutuhan lain
apa yang kita perlukan untuk menjamin keamanan misal: kantong pasir, truk besar,
tim SWAT, atau tim penjinak bom. Beri mereka keyakinan dan kepercayaan diri
bahwa mereka sanggup bertindak untuk menjamin keselamatan dan melindungi
keamanan warga Dan karena banyak pemadam kebakaran, polisi, dan tenaga
kesehatan yang menggunakan sistem koordinasi berjenjang, maka kita harus
melakukan pendekatan ke semua pihak-pihak tersebut. Selain itu juga beritahukan
mereka tentang keuntungan dan resiko-resikonya. Dan jangan malu atau sungkan
untuk mengkritisi kinerja dari tim. Karena hal tersebut penting bagi keberhasilan
program dan menjamin keselamatan warga. LEPC (Local Emergency Planning
Committee) atau panitia lokal penanggulangan bencana juga hrs dilibatkan dalam
masalah ini. Serta SERC (State Emergency Respon Commision) yang akan
mengevaluasi perencanaan yang kita buat. Mengingat bahwa banyak resiko yang akan
kita hadapi, maka kita harus menjalankan standar keamanan yang benar.
Berikut adalah daftar dari sumber daya yang dapat kita gunakan untuk mendukung
pelaksanaan program:
1) Hotel
2) Militer
3) Ormas
4) Palang Merah
5) Pekerja Sukarela
6) Perusahaan penyedia alat-alat berat
7) Truk
8) Kontraktor
9) Perusahaan penyedia bahan
10) Perusahaan penyedia foam U/ kebakaran
11) Generator
12) Perusahaan persewaan alat-alat
13) Pompa
14) Penghangat
15) Bagian pekerjaan umum
16) Perusahaan utilitas
17) Rumah sakit
18) Helikopter medis
19) Forensik
20) Tim Penjinak Bom
21) SWAT
22) Penjaga Pantai
23) Badan meteorologi dan geofisika
24) Badan penaggulangan narkoba
25) FBI
26) Badan penerbangan nasional
27) Psikiater
28) Perusahaan asuransi.
Selain itu, ukuran, cakupan, kondisi geologis, serta jarak dari masing- masing
resource ke tengah kota, danau, sungai, bandara, dan pelabuhan, sangat berpengaruh
besar terhadap peranan masing-masing resource tersebut. Setelah mendata semua
resource atau sumber daya yang kita miliki, maka kita pilah mana sajakah dari sumber
daya tersebut yang dapat segera kita gerakkan bila ada keadaan darurat. Sehingga kita
harus mengenali dengan baik masing-masing sumber daya yang kita miliki. Karena
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Ini bagaikan suatu tim
sepakbola, dimana masing-masing saling bekerjasama dan memiliki keahlian/skill
sendiri-sendiri. Dimana kita bertindak sebagai pelatih yang mengkoordinasi tim
tersebut sehingga bisa menang mencapai tujuan yang diharapkan bersama.
Kemudian kita bagi-bagi sumber daya tersebut mejadi:
1. First Responder Operation Level
2. Hazardous Material Technisian
3. Hazardous Material Specialist
Mereka berkonsentrasi tentang bagaimana mencegah penyebaran dan
melindungi daerah yang steril. Tim yang bekerja di tingkat teknisi dan spesialis
memiliki peralatan pelindung dan pelatihan untuk memungkinkan mereka berhasil
memasuki daerah spills (zona panas) dan bekerja dengan aman untuk membersihkan
sisa-sisa bencana. Tingkat pelatihan dan peralatan yang diperlukan meningkat sesuai
dengan level kesulitannya. Teknisi yang bertugas pada level operasi atau di atasnya
harus diarahkan oleh seorang komandan yang telah berhasil menyelesaikan Pelatihan
manajer material berbahaya. Individu yang dilatih pada masing-masing level
memerlukan pelatihan penyegaran untuk menjaga keahlian dan kompetensi. Sekali
lagi, Anda mungkin cukup beruntung untuk memiliki tim Haz-Mat yang dilengkapi
dengan peralatan yang baik dan terlatih untuk melindungi fasilitas anda. Orang-orang
ini akan dengan senang hati mendapat kesempatan untuk belajar sebanyak mungkin
tentang fasilitas Anda karena mereka tahu mereka akan dipanggil untuk
menanggulangi bahaya apapun. Jika Anda tidak memiliki tim di tempat, Anda
mungkin dapat menyediakan dana untuk melatih dan melengkapi pemadam kebakaran
di tempat kerja anda.
Waktu adalah sumber daya yang terbatas. Manfaatkan sesi pertemuan,
pelatihan, dan perencanaan dengan sebaik-baiknya. Karena ini merupakan lembaga
tanggap darurat, harus diakui bahwa respon dari perusahaan lain mungkin agak
lambat. Jika Anda bergantung pada relawan, maka sebagian besar perencanaan dan
pelatihan mungkin harus dilaksanakan malam hari ketika sebagian besar karyawan
tidak bekerja.
Keberhasilan perencanaan yang telah dibuat dan masa depan potensi fasilitas yang
anda miliki bergantung pada kemampuan anda untuk memotivasi dan mendorong
anak buah anda. Upaya pembinaan yang anda lakukan harus meliputi semua aspek
mulai dari pendidikan, pelatihan, penelitian dan evaluasi terhadap tiap-tiap kondisi
yang ada di lapangan.

4. Communication
a. Prinsip dalam Komunikasi Bencana
Mengkomunikasikan suatu informasi tentang bencana yang berharga
kepada publik merupakan hal yang utama dalam "risk management". Publik perlu
tahu tentang bahaya dan resiko yang akan mereka hadapi, sehingga mereka bisa
melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan bila tjadi suatu masalah. Tanpa
pengetahuan yang cukup, mereka sulit untuk melakukan persiapan- persiapan
tersebut. Oleh karena itu, seorang tenaga profesional hendaknya mengetahui
sudut pandang dan kebutuhan dari masyarakat di sekitarnya, sehingga mereka
bisa memberikan pertolongan dengan tepat. Sudah banyak program-program
yang ditawarkan untuk mengatasi dampak suatu bencana, termasuk pemberian
informasi dan edukasi kepada publik, namun kenyataannya dibutuhkan suatu
keahlian yang tinggi untuk berkomunikasi secara efektif kepada masyarakat agar
dapat merubah sikap dan perilakunya. Namun hanya sedikit tenaga profesional
yang memahami hal ini. Seringkali masalah tehnik penyampaian informasi dan
edukasi ini hanya diselipkan begitu saja dalam beberapa program, namun tidak
diintegrasikan secara baik. Sehingga proses komunikasinya jadi terhambat, dan
masyarakat kehilangan kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya. Hal inilah
yang menyebabkan banyak program/proyek yang kurang berhasil dalam merubah
sikap dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu sekarang digalakkan pelatihan dan
penelitian untuk masalah komunikasi ini, tidak hanya di masalah kesehatan
namun juga untukmasalah bencana. Pada sesi ini, akan dibahas 4 aspek penting
dalam berkomunikasi kepada masyarakat dan tenaga profesional yang lain:
1) Prinsip dalam berkomunikasi yang baik
2) Dasar-dasar metode dan pendekatan yang dapat digunakan untuk
edukasi dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat.
3) Edukasi dan pelatihan untuk tenaga profesional.
4) Penggunaan internet dalam penanggulangan dampak bencana.
b. Komunikasi yang baik
Selama beberapa tahun, beberapa ahli berpendapat bahwa mereka
sanggup merangsang pertumbuhan sosial dan ekonomi dengan cara
memberikan informasi yang memadai kepada masyarakat miskin. Namun
ternyata ide-ide dan teknologi tersebut tidak mampu diserap oleh masyarakat.
Hal ini karena masyarakat kurang memahami informasi dan ide-ide tersebut.
Jadi harus ditemukan cara-cara yang lebih efektif untuk menginformasikan hal
tersebutt kepada masyarakat.
Walaupun banyak perdebatan tentang bagaimana cara yang efektif
untuk menyebarkan informasi ini kepada masyarakat, namun baru sekitar
tahun 1980- an hal ini diseriusi. Karena ketika itu banyak program- program
yang gagal karena masalah komunikasi ini, dimana masyarakat tidak dapat
memahami ide- ide yang disampaikan oleh para ahli. Hal ini dikarenakan para
ahli tidak mengerti kebutuhan, prioritas, dan kemampuan masyarakat,
sehingga informasi dan ide yang diberikan tidak adekuat. Akhir-akhir ini para
ahli setuju bahwa mereka harus mendengarkan aspirasi masyarakat,
mengidentifikasi masalah, dan mencari solusi terhadap masing-masing
permasalahan tersebutt. Hal ini merubah paradigma yang semula penyebaran
informasi SATU ARAH menjadi DUA ARAH antara para ahli dan masyarakat
(misal dialog dan pertukaran informasi). Untuk keberhasilan metode ini
menuntut partisipasi aktif dari masing-masing pihak. Dan cara ini nampaknya
sudah mulai banyak dianut dan berkembang pesat. Untuk program
penanggulangan dampak bencana masih agak terbelakang, dan pendekatan
dengan jalan dialog masih jarang dipakai. Sebagian besar ahli bencana
berasumsi bahwa masyarakat tidak sepenuhnya tahu akan resiko yang mereka
hadapi. Oleh karena itu edukasi dan informasi yang akan disampaikan harus
disesuaikan terlebih dahulu agar masyarakat lebih mudah memahami.
Masyarakat juga harus diberikan edukasi tentang faktor-faktor resiko dan cara-
cara penanggulangannya. Namun kadang edukasi kepada masyarakat ini tidak
diberikan oleh orang yang ahli dibidang komunikasi, sehingga pesannya sering
tidak ditangkap oleh masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu manager
program/proyek yang memahami tehnik komunikasi dengan baik. Serta dapat
memahami situasi, kondisi, kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Pendekatan
dengan cara dialog tidaklah mudah, karena adanya perbedaan kultur antara
para ahli dengan masyarakat. Walapun untuk itu sudah dibuatkan pedoman-
pedoman tertentu. Kesulitan-kesulitan yang sering dialami misalnya :
1) Para ahli cenderung lebih senang mewujudkan ide dalam bentuk
tulisan. Sedangkan masyarakat lebih mudah memahami dengan cara
mendengarkan dan melihat langsung.
2) Para ahli lebih cenderung untuk menggunakan angka-angka dalam
menganalisa suatu hal, sedangkan masyarakat lebih cenderung
membandingkan dampaknya secara langsung dalam kehidupan nyata.
3) Para ahli juga cenderung suka mendefinisikan dan meng-
kuantifikasi suatu variabel, dimana kadang-kadang hal itu bersifat
subyektif. Dan hal tersebut membuat para ahli kesulitan dalam
memahami masalah di masyarakat yang kompleks dan dinamis.
Tehnik dialog itu sendiri juga menyulitkan. Karena disitu tjadi diskusi,
debat, dan kadang perbedaan argumen antara pihak-pihak pengambil
keputusan. Belum tentu juga bisa tercapai kata sepakat. Dialog juga
memakan banyak waktu dan tenaga. Dialog juga tidak menjamin
bahwa pesertanya mampu mendapatkan gambaran yang utuh tentang
permasalahan yang dihadapi. Sehingga perlu disadari oleh para ahli
(selaku peserta dialog) bahwa mereka tidak akan bisa memenuhi semua
kebutuhan masyarakat. Maka sebisa mungkin masyarakat dilibatkan
dalam dialog ini untuk menjabarkan sudut pandang mereka dan
kebutuhannya.
c. Alat Komunikasi: Radio, Telepon, Pusat Operasi Darurat Dan Komunikasi
Internal
Tugas untuk mengelola komunikasi di lokasi yang mengalami kondisi
tidaklah mudah. Idealnya diharapkan kejadian berlangsung di tempat di mana
semua badan mampu menangkap berbagi frekuensi radio. Pada beberpa
kejadian ada juga yang kehabisan baterai untuk semua radio
portabelnya.Polisi, pemadam kebakaran, EMS, dan instansi pekerjaan umum
tidak secara rutin berbicara dengan satu sama lain, namun pada insiden tertentu
kemampuan untuk menentukan apakah orang tersebut harus ada di lokasi
dapat berarti perbedaan antara hidup dan mati. EOC tidak harus bermarkas di
tempat kejadian. Informasi dapat disampaikan melalui radio, telepon selular,
faks, dan pencitraan digital. kendaraan personil Komunikasi dapat mengatur
perintah komunikasi dan membantu komandan operasi dengan menetapkan
giliran kelompok2 dalam menggunakan jalur komunikasi. Hal ini dapat
meminimalkan chatter (gangguan) pada sinyal radio. EOC dapat didirikan
dalam kendaraan khusus komunikasi atau bangunan dekat lokasi darurat,
tetapi sering misi pengolahan informasi (menerima, menyampaikan,
perencanaan, logistik, keuangan, dan tugas lainnya) dapat dilakukan di lokasi
terpencil. Telepon panggilan masuk dapat disaring dan diarahkan pada
individu yang tepat atau, jika tidak bersifat darurat dapat dihentikan sementara.
Seperti sering terjadi pihak yang merespon panggilan dapat melalui frekuensi
radio yang berbeda. Ini harus ditentukan dan diatur di awal tahap perencanaan,
sehingga tidak terjadi kekacauan pada system transmisi. Hal ini terutama
penting pada kasus tindak pidana kekerasan. Aparat kepolisian harus tahu
mana pihak yang baik dan mana pihak yang jahat. Ketidakmampuan untuk
berkomunikasi memungkinkan penjahat berbahaya untuk melarikan diri,
mengambil sandera tambahan, atau membunuh dan melukai lebih banyak
orang. Petugas pemadam Kebakaran dan EMS unit harus dapat memanggil
bantuan dan melakukan pencarian korban tanpa takut ditembak oleh sesama
petugas. Hal ini sangat penting untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman
antar petugas yang dapat berakibat kecelakaan maupun kematian di pihak-
pihak yang tidak bersalah.
Deteksi kebakaran dan sistem alarm harus diperiksa dan diuji. False
alarm harus dihindari sebisa mungkin. Pemilihan yang tepat, pemasangan,
perawatan, dan pengujian alarm kebakaran adalah langkah pertama yang harus
dilakukan. The NFPA 72 standard series menyediakan informasi tentang alarm
kebakaran. Kemampuan untuk menginterpretasikan sinyal alarm kebakaran
memungkinkan anggota tim untuk menangani kebakaran pada fase awal
sehingga tingkat keberhasilannya makin tinggi.
Aktifkan sistem tanggap darurat untuk mendapatkan bantuan secara
cepat di jalan. Selain mengirim seseorang ke tempat kejadian, pastikan bahwa
Anda mengirim seseorang ke ruang pompa dan ke ruang kontrol kebakaran.
Aktifkan sistem tanggap darurat untuk mendapatkan bantuan secara cepat di
jalan. Selain mengirim seseorang ke tempat kejadian, pastikan bahwa Anda
mengirim seseorang ke ruang pompa dan ke ruang kontrol kebakaran.
d. SDM Bidang Komunikasi
1) EOC Manager
a) Segera memberitahukan kepada CEO tentang situasi darurat yang
mungkin secara berpengaruh signifikan
b) Ketika diarahkan oleh CEO, atau ketika keadaan mendesak, maka
CEO menugaskan untuk memberikan informasi dan mengarahkan
mereka untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan SOP
c) Aktifkan EOC ketika diarahkan oleh CEO atau keadaan mendesak
d) Mengelola sumber daya dan langsung beroperasi.
e) Tugasnya adalah menjamin bahwa semuanya berjalan sesuai
rencana dan pengolahan informasi (mengumpulkan,
mengevaluasi, menampilkan, dan menyebarluaskan informasi
tentang situasi. Tugas khusus meliputi:
 Mendokumentasi peristiwa-peristiwa penting
 Menggabungkan informasi yang salah dari semua sumber
yang tersedia
 Mengidentifikasi kebutuhan sumber daya
 Menyiapkan Laporan tentang kerusakan yang terjadi
 Mempersiapkan briefing pejabat manajemen senior
 Menampilkan informasi yang tepat dalam EOC
 Menyiapkan dan menyampaikan laporan penting ketika
diperlukan (laporan situasi, status sumber daya kritis, dan
lain-lain)
 Mengkoordinasikan dukungan logistik untuk personil
tanggap bencana
 Ketika diarahkan oleh CEO, atau ketika kondisi
mendesak, perlu merelokasi staf untuk EOC alternatif
yang akan melanjutkan operasi tanggap bencana
C. Definisi Bencana
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2001) definisi bencana
adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan
kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantun luar biasa dari pihak luar.
Sedangkan, definisi bencana (disaster) menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian
yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang
memerlukan respons dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Bencana dapat juga didefinisikan sebagai situasi dan kondisi yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa mengubah pola
kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak,
menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial masyarakat, serta
menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (Bakornas PBP)
1. Prinsip-prinsip Penanggulangan Bencana
a. Belajar dari penanggulangan bencana-bencana sebelumnya
b. Jangan menolong korban secara acak-acakan
c. Pergunakan sistem triage
d. Buat perencanaan yang baik untuk penanggulangan bencana
e. Buat kategori bencana
A. Kategori I jumlah korban dibawah 50 orang
B. Kategori II jumlah korban antara 51-100 orang
C. Kategori III jumlah korban antara 101-300 orang
D. Kategori IV jumlah korban di atas 300 orang
f. Tentukan kategori rumah sakit yang mampu menampung korban
g. Harus ada sistem komunikasi sentral untuk satu kota atau daerah dengan nomor
telepon khusus seperti 118
h. Sistem ambulance dengan petugas dinas 24 jam dan mampu melakukan resusirasi
dan life support seperti ambulan 118 yang dapat dimanfaatkan untuk menolong
penderita gawat dan korban kecelakaan
i. Dari segi medis melaksanakan tindakan-tindakan yang mudah cepat dan
menyelamatkan jiwa
j. Lebih mencurahkan perhatian pada penderita yang mempunyai harapan yang
lebih baik, seperti perdarahan luar, traumatic, amputasi, gangguan jalan napas,
dan lain-lain
k. Kerjasama yang baik di bawah seorang pimpinan yang disebut dengan petugas
triage
l. Menggunakan buku pedoman bagi petugas polisi, dinas kebakaran, dan medis /
para medis, satuan SAR dalam penanggulangan bencana
2. Masalah-masalah Kesehatan Masyarakat Akibat Bencana Alam
1. Peningkatan Morbiditas Tingginya angka kesakitan dalam keadaan terjadinya
bencana dibagi dalam 2 kategori, yaitu:
a. Kesakitan Primer; adalah kesakitan yang terjadi sebagai akibat langsung
dari kejadian bencana tersebut, kesakitan ini dapat disebabkan karena
trauma fisik, termis, kimiawi, psikis, dan sebagainya.
b. Kesakitan Sekunder; kesakitan sekunder terjadi sebagai akibat
sampingan usaha penyelamatan terhadap korban bencana, yang dapat
disebabkan karena sanitasi lingkungan yang buruk, kekurangan
makanan, dan sebagainya.
2. Tingginya Angka Kematian
Kematian akibat terjadinya bencana alam dibagi dalam dua kategori, yaitu:
a. Kematian Primer; adalah kematian langsung akibat terjadi bencana,
misalnya tertimbun tanah longsor, terbawa arus gelombang pasang,
tertimpa benda keras dan sebagainya.
b. Kematian Sekunder; adalah kematian yang tidak langsung disebabkan
oleh bencana, melainkan dipengaruhi oleh faktor-faktor penyelamatan
terhadap penderita cedera berat, seperti kurangnya persediaan darah,
obat-obatan, tenaga medis dan para medis yang bertindak cepat untuk
mengurangi kematian tersebut.
3. Masalah Kesehatan Lingkungan
Mencakup masalah-masalah yang berkaitan erat dengan sanitasi
lingkungan, tempat penampungan yang tidak memenuhi syarat, seperti
penyediaan air bersih, tempat pembuangan tinja dan air bekas, tempat
pembungan sampah, tenda penampungan dan kelengkapannya, kepadatan dari
tempat penampungan, dsb.
4. Suplai Bahan Makanan dan Obat-obatan
Apabila kekurangan suplai makanan dan obat-obatan untuk membantu korban
bencana, maka kemungkinannya akan menimbulkan berbgaai masalah
diantaranya:
a. Kekurangan gizi dari berbagai lapisan umur
b. Penyakit infeksi dan wabah, diantaranya infeksi pencernaan (GED),
infeksi pencernaan akut seperti influenza, penyakit kulit 5. Keterbatasan
Tenaga Medis dan Paramedis serta Transportasi ke Pusat Rujukan
3. Tujuan Penanggulangan Bencana
1. Menghindari kerugian pada individu masyarakat, dan Negara melalui tindakan
dini
2. Meminimalisasi kerugian pada individu, masyarakat, dan Negara. Berupa
kerugian yang berkaitan dengan fisik, ekonomi, dan lingkungan bila bencana
tersebut terjadi, serta efektif bila bencana itu telah terjadi
3. Meminimalisasi penderitaan yang ditanggung oleh individu dan masyarakat
yang terkena bencana
4. Memberi informasi kepada masyarakat dan pihak berwenang mengenai resiko
5. Memperbaiki kondisi sehingga individu dan masyarakat dapat mengatasi
permasalahan akibat bencana
6. Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda
dan lingkungan hidup
7. Mengembalikan fungsi fasilitas umum seperti komunikasi atau transportasi, air
minum, listrik, dan telepon termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan
sosial, daerah yang terkena bencana
8. Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan
korban
9. Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut
4. Langkah-langkah Dalam Penanggulangan Bencana
1. Pengkajian awal terhadap korban bencana, yang mencakup:
a. Keadaan jalan napas, apakah terdapat sumbatan pada jalan napas? Sifat
pernapasan lambat, cepat, tidak teratur
b. Sistem kardiovaskular, meliputi tekanan darah; tinggi atau rendah; nadi
cepat, lambat, atau lemah
c. Sistem musculoskeletal. seperti luka, trauma, fraktur
d. Tingkat kesadaran, kompos mentis - koma
2. Pertolongan darurat
Evaluasi melalui sistem triage sesuai dengan urutan prioritas
a. Atasi masalah jalan napas; atur posisi (semi fowler, high fowler),
bebaskan jalan napas dari sumbatan, berikan oksigen sesuai kebutuhan,
awasi pernapasan
b. Atasi perdarahan; bersihkan luka dari kotoran dan benda asing,
desinfeksi luka, biarkan darah yang membeku, balut luka
c. Fraktur atau trauma; imobilisasikan dengan memasang spalak, balut d.
Kesadaran terganggu; bebaskan jalan napas, awasi tingkat kesadaran,
dan tanda-tanda vital
3. Rujukan segera ke puskesmas / rumah sakit
Dengan menyiapkan ambulan dan melakukan komunikasi sentral ke pusat
rujukan
5. Dampak Bencana
Salah satu dampak bencana terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk
dapat dilihat dari berbagai permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi. Bencana
yang diikuti dengan pengungsian berpotensi menimbulkan masalah kesehatan yang
sebenarnya diawali oleh masalah bidang/sektor lain. Bencana gempa bumi, banjir,
longsor dan letusan gunung berapi, dalam jangka pendek dapat berdampak pada korban
meninggal, korban cedera berat yang memerlukan perawatan intensif, peningkatan
risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan air (Pan
American Health Organization, 2006). Timbulnya masalah kesehatan antara lain
berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri,
buruknya sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari perkembangbiakan beberapa
jenis penyakit menular.
Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses
terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan
mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi korban bencana.
Pengungsian tempat tinggal (shelter) yang ada sering tidak memenuhi syarat kesehatan
sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan daya tahan tubuh
dan bila tidak segera ditanggulangi akan menimbulkan masalah di bidang kesehatan.
Sementara itu, pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering menemui
banyak kendala akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis
obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi
ini tentunya dapat menimbulkan dampak lebih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat
Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan,
2001)
Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda- beda, antara
lain tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera yang
memerlukan perawatan medis, misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada bencana
gempa bumi dibandingkan dengan kasus cedera akibat banjir dan gelombang pasang.
Sebaliknya, bencana banjir yang terjadi dalam waktu relatif lama dapat menyebabkan
kerusakan sistem sanitasi dan air bersih, serta menimbulkan potensi kejadian luar biasa
(KLB) penyakit-penyakit yang ditularkan melalui media air (water-borne diseases)
seperti diare dan leptospirosis. Terkait dengan bencana gempa bumi, selain dipengaruhi
kekuatan gempa, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi banyak sedikitnya korban
meninggal dan cedera akibat bencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada hari terjadinya
gempa dan kepadatan penduduk (Pan American Health Organization, 2006).
Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi
masyarakat terdampak. Dampak ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok
penduduk rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 (2) UU Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: 1). Bayi, balita dan
anak-anak; 2). Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3). Penyandang cacat; dan
4) Orang lanjut usia. Selain keempat kelompok penduduk tersebut, dalam Peraturan
Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pemenuhan
Kebutuhan Dasar ditambahkan orang sakit' sebagai bagian dari kelompok rentan dalam
kondisi bencana. Upaya perlindungan tentunya perlu diprioritaskan pada kelompok
rentan tersebut, mulai dari penyelamatan, evakuasi, pengamanan sampai dengan
pelayanan kesehatan dan psikososial.
Pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering tidak memadai.
Hal ini terjadi antara lain akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah
dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan, terbatasnya dana
operasional pelayanan di lapangan. Bila tidak segera ditangani, kondisi tersebut
tentunya dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk akibat bencana tersebut.
Salah satu permasalahan kesehatan akibat bencana adalah meningkatnya potensi
kejadian penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Bahkan, tidak jarang
kejadian luar biasa (KLB) untuk beberapa penyakit menular tertentu, seperti KLB diare
dan disentri yang dipengaruhi lingkungan dan sanitasi yang memburuk akibat bencana
seperti banjir. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan keluhan yang yang
paling banyak diderita pengungsi sepuluh jenis penyakit bencana letusan Gunung
Merapi tahun 2010 di Kabupaten Sleman. Berbagai literatur menunjukkan bahwa
sanitasi merupakan salah satu kebutuhan vital pada tahap awal setelah terjadinya
bencana (The Sphere Project, 2011; Tekeli- Yesil, 2006).
Kondisi lingkungan yang tidak higienis, persediaan air yang terbatas dan
jamban yang tidak memadai, misalnya, seringkali menjadi penyebab korban bencana
lebih rentan untuk mengalami kesakitan bahkan kematian akibat penyakit tertentu.
Pengalaman bencana letusan Gunung Merapi pada tahun 2006 (USAID Indonesia -
ESP, 2006) dan 2010 (EHA - WHO Indonesia, 2010; Forum PRB DIY, 2010; ACT
Alliance, 2011; BNPB, 2010, gempa bumi di Pakistan (Amin dan Han, 2009) dan Iran
(Pinera, Reed dan Njiru, 2005) pada tahun 2005, banjir di Bangladesh pada tahun 2004
(Shimi, Parvin, Biswas dan Shaw, 2010), serta gempa disertai tsunami di Indonesia
(Widyastuti dkk, 2006) dan Srilanka (Fernando, Gunapala dan Jayantha, 2009) pada
akhir 2004 menunjukkan beberapa masalah terkait kesehatan lingkungan dan sanitasi.
Permasalahan tersebut termasuk terkait penilaian kebutuhan (assessment) yang tidak
mudah dan cepat, ketersediaan dan kecukupan sarana, distribusi dan akses yang tidak
merata, privasi dan kenyamanan korban bencana (khusunya kelompok perempuan)
serta kurangnya kesadaran dan perilaku masyarakat terkait sanitasi pada kondisi darurat
bencana.
Kesehatan reproduksi merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang perlu
mendapatkan perhatian, khususnya pada bencana yang berdampak kepada masyarakat
dalam waktu relatif lama. Peran penting petugas kesehatan diperlukan, tidak hanya
untuk memberikan pelayanan KB pada situasi bencana, tetapi juga untuk mengedukasi
pasangan untuk mencegah kejadian kehamilan yang tidak direncanakan.

Anda mungkin juga menyukai