Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPERAWATAN SISTEM IMUN DAN HEMATOLOGI II

PENGKAJIAN PADA KLIEN MIASTENIA GRAV

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktuvitas.
Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau
pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak
lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Kelainan yang termasuk dalam salah satu karakteristik penyakit autoimun
pada manusia ini. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian
tentang gejala miastenia gravis yang diimunisasi dengan acetylcholine
receptor (AchR) pada kelinci. Sedangkan pada manusia yang menderita
miastenia gravis, ditemukan kelainan pada neuromuscular junction akibat
defisiensi dari AchR. Pada hampir 90% penderita miastenia gravis, transfer
pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus yang
diperantarai demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR, sehingga lokalisasi
imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik dari
plasmaparesis.
Miastenia gravis juga merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka
kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi. Pada wanita, penyakit ini tampak
pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria,
penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat pentingnya bagi tenaga kesehatan
untuk mempelajari tentang penyakit miastenia gravis. Maka dari itu dalam
penulisan makalah ini penulis akan sedikit membahas tentang konsep
patologis dari miastenia gravis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep teori medis dari miastenia gravis?
2. Bagaimana pengkajian dari miastenia gravis?

1.3 Tujuan Penulisan


Dari rumusan masalah yang disebutkan sebelumnya maka tujuan penulisan
makalah ini sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami definisi dari miastenia gravis
2. Mengetahui dan memahami konsep teori medis dari miastenia gravis.
3. Mengetahui dan memahami pengkajian dari miastenia gravis.

1.4 Manfaat
1. Bagi penulis
Dengan adanya penyusunan makalah ini, penulis dapat manambah
wawasan dan pengetahuan serta dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
mengenai miastenia gravis.
2. Bagi pembaca
Adanya penyusunan makalah ini, supaya dapat dimanfaatkan sebagai
bahan referensi pembaca. Selain itu, dapat dimanfaatkan sebagai sumber
bacaan untuk menambah atau memahami tentang miastenia gravis.

1
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Meastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuscular.
Miastenia gravis adalah gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuscular pada organ tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunteer). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-
satunya penyakit neuromuscular dengan gabungan antara cepatnya terjadi
kelelahan otot-otot volunteer dan lambatnya pemulihan (dapat memakan
waktu 10-20 kali lebih lama dari normal) (Price dan Wilson, 1995)
Miastenia Gravis adalah suatu gangguan autoimun yang didapat dan
ditandai dengan kelemahan abnormal otot lurik (skeletal) dan kelemahannya
bersifat sporadis, namun progesif. Kelemahan otot yang terjadi dapat
diperburuk oleh latihan fisik dan gerakan berulang.
Keadaan patologis ini memiliki gejala awal yang berhubungan dengan
saraf kranial. Jika miastenia gravis menyerang sistem pernapasan, dapat
mengancam jiwa penderita. Dari beberapa kasus yang sudah terjadi,
prosentase pasien yang sembuh dengan sendirinya 25%.
Miastenia Gravis terjadi pada semua usia dengan tiga kali lebih sering
terjadi pada wanita dibandingkan pria. Kelemahan otot ini paling tinggi terjadi
pada wanita berusia 18 hingga 25 tahun. Serta paling tinggi terjadi pada pria
berusia 50 hingga 60 tahun. Miastenia sementara dapat terjadi pada sekitar
20% bayi yang lahir dari ibu penderita miastenia gravis.

Gambar 1. Proses transmitter saraf saat miastenia gravis

2
2.2 Etiologi
Miastenia Gravis merupakan gangguan autoimun yang berkaitan dengan
kelenjar timus. Menyertai gangguan imun dan gangguan tiroid lain.
Adapun penyebab yang lebih spesifik antara lain:
1) Autoimun: direct mediated antibody
2) Virus
3) Pembedahan
4) Stres
5) Alkohol
6) Tumor mediastinum
2.3 Tanda dan Gejala
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunteer yang dipengaruhi oleh
fungsi saraf cranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat
paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun.
Tanda dan gejala yang sering ada dalam kasus miastenia gravis adalah:
a. Kelemahan dalam menutup mata; ptosis
b. Diplopia
c. Kelemahan otot skeletal; paralisis
2.4 Patofisiologi
Sel darah dan kelenjar timus menghasilkan antibodi yang menghambat,
merusak, atau melemahkan neuroreseptor (yang mentransmisikan impuls
saraf). Akibatnya, terjadi kegagalan dalam menstransmisi impuls saraf pada
taut neuromuskular.
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan
pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan
atau hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada sambungan
neuromuscular. Otot rangka atau otot lurik dipersarafi oleh saraf besar
bermielin yang berasal dari sel kornuanterior medulla spinalis dan batang otak.
Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk-bentuk saraf-saraf
spinal dan cranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf memiliki banyak
sekali cabang dan mampu merangsang sekitar 2.000 serabut otot rangka.

3
Gabungan antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang dipersarafi
disebut unit motorik. Meskipun setiap neuron motorik mempersarafi banyak
serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersarafi oleh hanya satu neuron
motorik, (Price dan Wilson, 1995).
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik
dan serabut otot disebut sinaps neuromuscular atau hubungan neuromuscular.
Hubungan neuromuscular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot
yang terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu unsur prasinaps, elemen
postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200 A. Unsur
prasinaps terdiri atau akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi
asetilkolin yang merupakan neurotransmitter.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran
plasma akson terminal disebut membrane prasinaps. Unsur postsinaps terdiri
dari membrane postsinaps (post-functional membrane) atau lempeng akhir
motorik serabut otot.
Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema
yang dinamakan alur atau palung sinaps tempat akson terminal menonjol
masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai benyak lipatan (celah-celah
subneural) yang sangat menambah luas permukaan.
Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan sanggup
menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan
potensial aksi otot. Pada membrane postsinaps juga terdapat suatu enzim yang
dapat menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinesterase.
Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara membrane prasinaps dan
postsinaps. Ruang tersebut terrisi semacam zat gelatin dan melalui gelatin ini
cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuscular maka membrane
akson terminal prasinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan
dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan
bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membrane postsinaps.
Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium
maupun kalium pada membrane postsinaps.

4
Influks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng
akhir (EEP). Jika EEP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi
dalam membrane otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan
disalurkann sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian
reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Setelah transmisi melewati
hubungann neuromuscular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase.
Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari
cukup untuk menghasilkan otensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi
neuromuscular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang, mungkin
akibat cedera autoimun. Antibodi terdapat protein reseptor asetilkolin banyak
ditemukan dalam serum penderita miastenia gravis. Akibat dari kerusakan
reseptor primer atau sekunder oleh suatu agen primer yang belum dikenal
merupakan faktor yang peting nilainya dalam penentuan pathogenesis yang
tepat dari meastenia gravis.
Pada klien miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak
normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak dipakai. Secara
mikroskopis beberapa kasus data ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan
organ-organ lain, tetepi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang
konsisten (Price dan Wilson, 1995).
2.4.1 Pathway Miastenia Gravis
Autoimun (direct Virus Pembedahan Stres Alkohol Tumor
mediated antibody) mediastinum

Gangguan autoimun yang


merusak reseptor asetilkolin

Jumlah reseptor asetilkolin berkurang pada membrane postsinaps

Hilangnya kemapuan normal reseptor membran post sinap


pada sambungan neuromuskular

Kerusakan transmisi implus saraf menuju sel-sel


otot
Penurunan hubungan neuromuskular

5
Kelemahan otot-otot
Otot-otot okular Otot pernapasan
Miastenia Gravis
Ketidakmampuan
Gangguan otot batuk efektif,
levator palpebra Otot wajah, Otot-otot okular
Kelemahan otot-otot
laring,faring
pernapasan
Kelemahan
Ptosis & Diplopia 1.Regurgitasi otot-otot
makanan ke hidung rangka
MK.1. Ketidak-
MK. 8. pada saat menelan
efektifan pola
Gangguan citra 2.Suara abnormal
MK. 5. Hambatan napas
3.Ketidakmampuan
diri mobilitas fisik MK.2. Ketidak-
menutup rahang
MK. 6. Intoleransi efektifan bersihan
aktifitas jalan napas
MK. 3. Resiko
tinggi aspirasi
MK. 4. Gangguan
pemenuhan nutrisi
MK. 7. Kerusakan Krisis
miastenia Kematian
komunikasi verbal
gravis

2.5 Klasifikasi Klinis


Miastenia Gravis dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok
pertama miastenia okular dan kelompok kedua miastenia umum. Miastenia
umum dispesifikasikan menjadi miastenia umum ringan, miastenia umum
sedang dan miastenia umum berat.
2.5.1 Miastenia Okular
Tanda-tanda klinis pada miastenia ocular antaralaiin hanya
menyerang pada otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia, sangat
ringan dan selama terjadi tidak ditemui kasus kematian.

Gambar 2. Mata ptosis

6
Gambar 3. Ptosis pada sebagian wajah

Gambar 4. Paralisis
2.5.2 Miastenia Umum
Miastenia umum dikelompokkan lagi menjadi 3 jenis, yakni:
a. Miastenia umum ringan
Pada miastenia umum ringan ini penyakit berjalan secara awitan
(onset) lambat, biasanya pada mata dan lambat laun menyebar ke
otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena,
respon terhadap terapi obat baik. Pada klien dengan kasus
miastenia umum ringan, angka kematian rendah.
b. Miastenia umum sedang
Pada miastenia umum sedang ini awitan bertahap dan sering
disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan
terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartia, disfagia
dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan kasus

7
miastenia umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Pada
miastenia umum sedang, respon terhadap terapi obat kurang
memuaskan dan aktiofitas klien terbatas, tetapi angka kematian
rendah.
c. Miastenia umum berat
Pada miastenia umum berat terjadi dua tahapan, yaitu tahap
fulminan akut dan tahap lanjut.
1) Tahap fulmian akut
Pada tahap ini, awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot
rangka dan bulbar dan mulai terserangnyaotot-otot pernapasan.
Biasanya, penyakit berkembang maksimal pada tahap ini dalam
waktu enam bulan. Respon terhadap obat buruk dan insiden
krisis miastenik, kolinergik maupun krisis gabungan keduanya
tinggi. Pada miastenia umum berat tingkat kematian tinggi.
2) Tahap lanjut
Pada tahap ini, miastenia gravis timbul paling sedikit dua tahun
setelah awitan gejala-gejala kelompok I atau kelompok II.
Miastenia gravis dapat berkembang secara perlahan atau tiba-
tiba. Serta respon terhadap obat dan prognosis buruk.
2.6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat menyertai antara lain:
a. Gawat napas
b. Pneumonia
c. Disfagia
d. Krisis miastenik
e. Krisis cholinergic
f. Aspirasi
g. Komplikasi sekunder dai terapi obat
h. Penggunaan steroid yang lama berakibat osteoporosis, katarak,
hiperglikemi, gastritis, penyakit peptic ulcer, pneumocystis carini.

8
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam kasus miastenia gravis dilakukan dan diberikan dalam
tiga bentuk:
a. Umum
1. Plasmaferesis
2. Kedaruratan jalan napas dan manajemen ventilasi
3. Diet, sesuai toleransi
4. Aktivitas, sesuai toleransi (latihan fisik kemungkinan memperberat
gejala; periode istirahat yang direncanakan mungkin dapat
memperlambat gejala)
b. Pengobatan
1. Obat antikolinesterase, seperti neostigmin dan piridostigmin
2. Kortikosteroid, seperti prednison
3. Imunoglobulin IV
4. Imunosupresan, seperti siklosporin.
c. Pembedahan
Dalam penatalaksanaan pembedahan hanya ada satu tindakan yang
diberikan yakni timektomi.
2.8 Evaluasi Diagnostik
Pada kondisi lanjutatau dalam kondisi krisis dari miastenia gravis maka klien
tidak dapat menelan, membersihkan secret atau bernafas secara adekuat tanpa
bantuan adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis:
1) Krisis miastenik, yaitu keadaan ketika dibutuhkan antikolinesterase
lebih banyak.
2) Krisis kolinergik, yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat
antikolinesterase.
Pada kedua keadaan ini pernapasan buatan harus dipertahankan dan saluran
napas harus adekuat.

9
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Pengkajian Pada Klien Miastenia Gravis


3.1.1 Anamnesa
1. Identitas Pasien
Nama, umur, jeniskelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menyebabkan klien miastenia gravis
meminta pertolongan kesehatan sesuai dengan kondisi dari adanya
penurunan atau kelemahan otot-otot dengan manifestasi diplopia
(penglihatan ganda), ptosis (jatuhnya kelopak mata)merupakan
keluhan utama dari 90% klien miastenia gravis, disfonia
(gangguan suara), masalah menelan, dan mengunyah makanan.
Pada kondisi berat keluhan utama biasanya adalah
ketidakmampuan menutup rahang, ketidakmampuan batuk efektif
dan dipsnea.
3. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring dan
faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui
hidung jika klien mencoba menelan (otot-otot palatum),
menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dank lien
tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda
rahang menggantung.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya
batuk yang lemah dan akhirnya dapat berupa serangan dipsnea
dank lien tak lagi mampu membersihkan lender dari trachea
dan cabang-cabangnya.
Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang
dan terjadi kelemahan semua otot-otot rangka. Biasanya

10
gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan
beristirahat dan memberikan obat antikolinerase.
b. Riwayat penyakit dahulu
Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang
memperberat kondisi miastenia gravis seperti hipertensi dan
diabetes militus.
c. Riwayat penyakit keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai
persamaan dengan keluhan klien saat ini.
4. TTV (Tanda-Tanda Vital):
a. TD: > 120/60 mmHg
b. BB: -
c. TB: -
d. RR: < 16-24 kali/menit
e. N: > 60-100 kali/menit
f. Suhu: 36,5-37,5 0C
5. ADL (Activity Daily Living):
a. Nutrisi: Porsi makan pada pasien miastenia gravis sering tidak
habis, keluhan mual dan muntah, perubahan pola makan
setelah sakit dan anoreksia. Jika miastenia gravis yang diderita
semakin buruk maka pasien dapat mengalami kesulitan
menelan.
b. Istirahat-Tidur: Pada penderita miastenia gravis sering terjadi
kesulitan untuk tidur karena kelemahan otot faring, laring dan
trakea yang akan membuat kesulitan bernapas. Selain itu juga
dikarenakan produksi sputum yang berlebih dan menyumbat
jalan napas.
c. Aktivitas: pada penderita miastenia gravis dalam keadaan
buruk akan mengalami keterbatasan dalam beraktivitas.
Keterbatasan yang terjadi dapat disebabkan kelemahan dalam
bernapas dan penglihatan yang kabur.

11
d. Eliminasi: Pada pendeita miastenia gravis, proses produksi
urine tidak terganggu. Urine yang dihasilkan sesuai dengan
intake cairan yang masuk. Namun untuk defekasi, para
penderita akan sedikit melakukannya karena kesulitan menelan
yang klien alami.
e. Personal Hygenie: Untuk penderita miastenia gravis terkadang
perlu dilakukan pembersihan sekret. Selain itu, dalam
melakukan personal hygine, penderita akan memerlukan
bantuan dikarenakan kelemahan otot yang dimiliki.
6. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Klien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan
kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang.
Adanya kelemahan pada kelopak mata (ptosis), diplopia, dan
kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien sering
mengalami gangguan citra diri.
3.1.2 Pemeriksaan Fisik
Seperti telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga
merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor
asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuscular.
Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang
progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisasi pada
sekelompok otot tertentu. Karena perjalanan penyakit sangat berbeda
pada masing-masing klien, maka prognosisnya sulit ditentukan.
A. B1 Breath
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan
batuk efektif, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan sering
didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi atau
stridor pada klien menandakan adanya akumulasi secret pada jalan
napas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan.

12
B. B2 Blood
Pengkajian pada system kardiovaskular terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan status kardiovaskular, terutama denyut
nadi dan tekanan darah yang secara progresif akan berubah sesuai
dengan kondisi tidak membaiknya status pernapasan.
C. B3 Brain
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
1. Tingkat Kesadaran: Biasanya pada kondisi awal kesadara klien
masih baik
2. Fungsi Serebral
3. Fungsi mental: observasi penampilan klien dan tingkah
lakunya, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah,
aktivitas motorik yang mengalami perubahan seperti adanya
gangguan perilaku, alam perasaan dan persepsi.
4. Pemeriksaan Saraf Kranial:
a. Pada saraf I, Biasanya pada klien epilepsy tidak ada
kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
b. Pada saraf II, Penurunan pada tes ketajaman penglihatan,
klien sering mengeluh adanya penglihatan ganda.
c. Pada saraf III, saraf IV, saraf VI, sering didapatkan ptosis.
Adanya oftalmoplegia, mimic dari pseudointernuklear
oftalmoplegia akibat gangguan motorik pada saraf VI.
d. Pada saraf V, didapatkan adanya paralisis pada otot wajah
akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah.
e. Pada saraf VII, Persepsi pengecapan terganggu akibat
adanya gangguan motorik lidah/ tribel-furrowed lidah.
f. Pada saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan
tuli persepsi.
g. Pada saraf IX dan X, ketidakmampuan dalam menelan.

13
h. Pada saraf XI, tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus
dan trapezius.
i. Pada saraf XII, lidah tidak simetris, adanya deviasi pada
satu sisi akibat kelemahan otot motorik pada lidah / tripel-
furrowed lidah.
5. Sistem motorik: Karakteristik utama miastenia gravis adalah
kelemahan dari system motorik. Adanya kelemahan umum
pada otot-otot rangka memberikan manifestasi pada hambatan
mobilitas dan intoleransi aktifitas klien.
6. Pemeriksaan Refleks: Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan
pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflex pada
respon normal.
7. Sistem Sensorik: Pemeriksaan sensorik pada epilepsy biasanya
didapatkan perasaan raba normal, perasaan suhu normal, tidak
ada perasaan abnormal di permukaan tubuh.
D. B4 Bladder
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume cairan output urine,hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal
E. B5 Bowel
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung.pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis
menurun karena ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari
kelemahan otot-otot menelan.
F. B6 Bone (Muskuluskeletal)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktifitas perawatan diri.
3.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Edrofonium (dosis awal 2 mg,dilanjutkan 8 mg,30 detik
kemudian) diberikan melalui intravena sebagai uji untuk membedakan
kedua tipe krisis. Bila pada krisis miastenik,klien tetap mendapat
pernapasan buatan (respirator),obat-obat antikolinesterase tidak

14
diberikan dahulu,karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi
saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis
kolinergik.setelah krsis terlampaui,obat-obat dapat mulai diberikan
secara bertahap dan sering kali dosis dapat diturunkan.
Pada krisis kolinergenik,klien dipertahankan mendapatkan ventilasi
artifisial,obat-obatan antikolinergik dihentikan ,dan dapat diberikan
aropin 1 mg melalui intravena serta dapat diulang.
a. Laboratorium
Antibodi reseptor asetilkolin serum meningkat.
b. Pencitraan
Foto thoraks atau CT scan menunjukkan timoma.
c. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan Tensilon Positif menunjukkan peningkatan fungsi
otot yang sementara dan menegaskan diagnosis. Selain itu, juga
dilakukan pemeriksaan elektrodiagnostik menunjukkan penurunan
yang cepat lebih dari 10% amplitudo respon rangsang.

3.2 Diagnosa Keperawatan


Adapun diagnosa keperawatan yang sering timbul dalam penyakit miastenia
gravis, antara lain:
1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernapasan ditandai dengan RR: < 16 kali/menit.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
peningkatan produksi mukus dan penurunan kemampuan batuk efektif
ditandai dengan buni napas ronchi.
3. Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan penurunan kontrol
tersedak dan batuk efektif.
4. Gangguan pemenuhan nutrisi nutrisi yang berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan.
5. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot
volunter.

15
6. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
umum,keletihan.
7. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan
disfonia,gangguan pengucapan kata,gangguan neuromuskular,kehilangan
kontrol tonus otot fasial atau oral.
8. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan adanya ptosis,
ketidakmampuan komunikasi verbal.

3.3 Intervensi
Diagnosa
No. Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
Keperawatan
1. Ketidakefektifan Tujuan: Dalam waktu 1. Pantau kualitas, R1: Dengan
pola napas yang 1 x 24 jam setelah frekuensi, dan memantau kualitas,
berhubungan dengan diberikan intervensi kedalaman frekuensi dan
kelemahan otot pola pernapasan klien pernapasan, laporkan kedalaman pernapasa,
pernapasan ditandai kembali efektif setiap perubahan kita dapat mengetahui
dengan RR: < 16 Kriteria Hasil: yang terjadi. sejauh mana
kali/menit. Irama,frekuensi dan 2. Baringkan klien perubahan kondisi
kedalaman pernapasan dalam posisi yang klien.
dalam batas nyaman dalam posisi R2: Penurunan
normal,bunyi napas duduk. diafragma
terdengar 3. Kolaborasi untuk memperluas daerah
jelas,respirator pemasangan dada sehingga
terpasang dengan respirator. ekspansi paru bisa
optimal. 4. Informasikan kepada maksimal.
pasien dan keluarga R3: Respirator
tentang teknik mengambil alih
relaksasi untuk fungsi ventilasi yang
memperbaiki pola terganggu akibat
pernapasan. kelemahan dari otot-
otot pernapasan.
R4: Dengan

16
menginformasikan
teknik relaksasi kepad
pasien dan keluarga
akan memandirikan
pasien dan keluarga
ketika keadaan tidak
terlalu berat.
2. Ketidakefektifan Tujuan: Dalam waktu 1. Fasilitasi kepatenan R1: Terjaganya
bersihan jalan napas 3x24 jam setelah jalan napas.. kepatenan jalan
yang berhubungan diberikan intervensi 2. Instruksikan pasien napas.
dengan peningkatan jalan napas kembali tentang batuk dan R2: Pasien dapat
produksi mukus dan efektif .Tujuan utama teknik napas dalam. mengeluarkan sekret
penurunan dari intervensi adalah 3. Lakukan atau yang menumpuk
kemampuan batuk menghilangkan berikan terapi karena adanya edema
efektif ditandai kuantitas dari nebulizer ultrasonik trakheal ataupun
dengan buni napas viskositas sputum untuk membantu faringeal.
ronchi. untuk memperbaiki mengeluarkan sekret. R3: Sekret pasien
ventilasi paru dan 4. Lakukan fisioterapi yang tidak dapat
pertukaran gas. dada dengan teknik keluaar dengan batuk
Kriteria Hasil: Dapat drainage efektif dapat
mendemonstrasikan postural,perkusi,fibr dikeluarkan dengan
batuk efektif,dapat asi dada,serta pengenceran sekret
menyatakan strategi lakukan suction. menggunakan terapi
untuk menurunkan nebulizer. Jalan napas
kekentalan pasien efektif.
sekresi,tidak ada suara R4: Bila ada
napas tambahan,dan kelemahan otot
pernapasan klien abdominal,
normal(16- interkostal, dan faring
20x/menit)tanpa ada yang hebat, klien
penggunaan otot bantu tidak mampu batuk
napas. dan napas dalam atau

17
membersihkan sekret.
Terapi fisik dada,
yang terdiri atas
drainage postural
bertujuan untuk
memobilisasi sekresi
dan suction untuk
mengeluarkan sekret
dilakukan sesering
mungkin.
Drainage postural
dengan perkusi dan
vibrasi menggunakan
bantuan gaya
gravitasi untuk
membantu menaikan
sekresi sehingga
dapat dikeluarkan
atau dihisap dengan
mudah.
Drainage postural
biasanya dilakukan
ketika klien bangun
untuk membuang
sekresi yang telah
terkumpul sepanjang
malam dan sebelum
istirahat, untuk
meningkatkan tidur.
3. Risiko tinggi aspirasi Tujuan: Tidak akan 1. Cegah atau R1: Dengan
yang berhubungan mengalami aspirasi minimalkan faktor mencegah dan
dengan penurunan yang dibuktikan oleh resiko pada pasien meminimalkan faktor

18
kontrol tersedak dan pencegahan aspirasi. yang beresiko resiko aspirasi, akan
batuk efektif. Kriteria Hasil: terhadap aspirasi. menghindarkan
Pasien menunjukkan 2. Pantau tanda-tanda pasien dari keadaan
pencegahan aspirasi aspirasi selama aspirasi.
yang dibuktikan oleh: proses pemberian R2: Dengan
1. Menghindari faktor makan: batuk, memantau tanda-
resiko tersedak, meneteskan tanda aspirasi selama
2. Memposisikan diri air liur (salivasi), proses makan, akan
sendiri tegak saat sianosis, mengi atau terkontrol tingkat
makan dan minum demam. keberhasilan tindakan
3. Memilih kosistensi 3. Verifikasi (berkurangnya
makanan dan penempatan slang aspirasi).
minuman yang tepat enteral sebelum R3: Unuk mencegah
4. Memilih makanan pemberian makan dan memantau ada
sesuai dengan dan pemberian obat. atau tidaknya
kemampuan 4. Laporkan segala pergeseran tempat
menelan. perubahan pada slang enteral. Serta
warna sekret paru memastikan
yang menyerupai ketepatan pemberian
makanan atau asupan makan dan obat.
makanan. R4: Mengetahui dan
memantau
keefektifan tindakan
pembersihan sekret
dan penempatan slang
enteral.
4. Gangguan Tujuan: Kebutuhan 1. Pemberian makan R1: Dengan
pemenuhan nutrisi nutrisi terpenuhi dan cairan melalui pemberian makan dan
yang berhubungan setelah 4 jam parenteral. cairan melalui
dengan dilakukan tindakan. 2. Pemberian elektrolit parenteral dapat
ketidakmampuan Kriteria Hasil: melalui terapi IV. mengatasi
menelan. 1. Kebutuhan nutrisi 3. Konsultasikan pada kekurangan nutrisi

19
pasien terpenuhi. ahli gizi untuk pasie karena disfagia,
2. Keadaan pasien menentukan asupan mual, dan muntah.
memperlihatkan kalori harian yang R2: Dengan diberikan
tingkat energi yang dibutuhkan untuk terapi IV dapat
adekuat. mencapai berat mengatasi
badan target. kekurangan
4. Instruksikan kepada kebutuhan elektrolit
keluarga tentang pasien.
teknik pemberian R3: Dengan
makan dan menelan. berkonsultasi kepada
ahli gizi maka
pemberian asupan
nutrisi pasien sesuai
dengan kebutuhan
pasien.
R4: Memandirikan
pasien dan keluarga
untuk memberikan
makan dan minum
tanpa perawat.
5. Hambatan mobilitas Tujuan: Kemampuan 1. Promosi latihan fisik: R1: Dengan
fisik yang untuk bergerak secara Memfasilitasi dilakukan latihan
berhubungan dengan bertujuan dalam pelatihan otot resistif fisik akan
kelemahan otot-otot lingkungan sendiri secara rutin. mempertahankan atau
volunter. secara mandiri degan 2. Terapi latihan fisik: meningkatkan
atau tanpa alat bantu. keseimbangan: kekuatan otot pasien.
Kriteria Hasil: Meningkatkan dan R2: Dengan
Pasien akan: membantu dalam dilakukan latihan
1. Memperlihatkan berjalan. keseimbangan, akan
penggunaan alat 3. Terapi pengendalian mempertahankan,
bantu secara benar otot: Menggunakan meningkatkan, atau
dengan pengawasan. aktivitas tertentu atau memulihkan

20
2. Meminta bantuan protokol latihan yang keseimbangan pasien.
untuk aktivitas sesuai. R3: Setelah dilakukan
mobilisasi, jika 4. Ajarkan pasien cara terapi diharapkan
diperlukan. menggunakan postur pasien dapat
3. Menyangga berat dan mekanika tubuh meningkatkan atau
badan. yang benar saat mengembalikan
melakukan aktivitas. kendali dalam
Serta informasikan melakkukan gerakan
pada keluarga untuk tubuh.
mendampingi dan R4: Dengan diajarkan
membantu pasien kepada pasien dan
saat melakukan keluarga akan
pengaturan posisi memandirikan pasien
tersebut. jika ingin melakukan
pengaturan posisi.
6. Intoleransi aktivitas Tujuan: Menoleransi 1. Beri anjuran tentang R1: untuk
yang berhubungan aktivitas yang biasa dan bantuan dalam meningkatkan durasi
dengan kelemahan dilakukan, yang aktivitas fisik, aktivitas individu.
fisik dibuktikan oleh sosial, spiritual yang R2: untuk mengatasi
umum,keletihan. toleransi aktivitas, spesifik kelelahan dan
penghematan energi. 2. Atur penggunaan mengoptimalkan
Kriteria Hasil: energi pasien fungsi.
Respons fisiologis 3. Pantau respons R3: untuk mengetahui
terhadap gerakan yang kardiorespiratori respons
memakan energi, terhadap aktivitas kardiorespiratori
tindakan individu pasien. pasien.
dalam mengelola 4. Pantau respons O2 R4: Untuk
energi untuk memulai pasien terhadap mengetahui
dan menyelesaikan aktivitas penggunaan oksigen
aktivitas. keperawatan. pasien dalam
5. Pantau pola tidur aktivitas.
pasien dan lamanya R5: Untuk menjaga

21
waktu tidur dalam pola istirahat pasien
jam. dan mengatasi
kelelahan pasien.
7. Kerusakan Tujuan: Setelah 1. Lakukan metode R1: Teknik untuk
komunikasi verbal dilakukan tindakan komunikasi yang meningkatkan
yang berhubungan keperwatan pasien ideal sesuai dengan komunikasi meliputi
dengan akan kondisi klien. mendengarkan klien,
disfonia,gangguan mengomunikasikan 2. Informasikan kepada mengulangi apa yang
pengucapan kebutuhan dan pasien mengalami mereka coa
kata,gangguan kepuasan kepada gangguan berbicara, komunikasikan
neuromuskular,kehil lawan bicaranya disediakan bel dengan jelas dan
angan kontrol tonus dengan tertulis, khusus bila ingin membuktikan yang
otot fasial atau oral. nonverbal. memanggil perawat. diinformasikan,
Kriteria Hasil: 3. Antisipasi dan bantu berbicara dengan
Pasien dapat kebutuhan klien. klien terhadap
melakukan: 4. Ucapkan langsung kedipan mata mereka
1. Komunikasi: kepada klien dan/atau goyangan
penerimaan, berbicara pelan dan jari-jari tangan atau
interpretasi, dan tenang, gunakan jari-jari kaki untuk
ekspresi pesan lisan, pertanyaan dengan menjawab ya/tidak.
tulisan, dan jawaban ya atau Setelah periode
nonverbal. tidak dan krisismiastenik
2. Komunikasi perhatikan respons dipecahkan, klien
ekspresif: Ekspresi klien. selalu mampu
pesan verbal 5. Kolaborasi: konsul mengenal jebutuhan
dan/atau nonverbal ke ahli terapi mereka.
yang bermakna berbicara. R2: Untuk
3. Komunikasi kenyamanan yang
reseptif: Penerimaan berhubungan dengan
dan interpretasi ketidakmampuan
pesan verbal berkomunikasi.
dan/atau nonverbal. R3: Membantu

22
menurunkan frustasi
oleh karena
ketergantungan atau
ketidakmampuan
berkomunikasi.
R4: Mengurangi
kebingunan atau
kecemasan terhadap
banyaknya informasi.
Memajukan stimulasi
komuniasi ingatan
dan kata-kata.
R5: Mengkaji
kemampuan verbal
individual, sensorik,
dan motorik, serta
fungsi kognitif untuk
mengidentifiasikan
defisit dan kebutuhan
terapi.

23
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Miastenia gravis adalah gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuscular pada organ tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunteer). Miastenia gravis disebabkan oleh gangguan autoimun yang
berkaitan dengan kelenjar timus. Menyertai gangguan imun dan gangguan
tiroid. Adapun penyebab yang lebih spesifik antara lain: Autoimun: direct
mediated antibody, virus, pembedahan, stres, alkohol, tumor mediastinum.
Tanda dan gejala yang sering ada dalam kasus miastenia gravis adalah:
kelemahan dalam menutup mata; ptosis, diplopia, kelemahan otot skeletal;
paralisis.
4.2 Saran
Miastenia gravis merupakan salah satu penyakit autoimun yang
menyerang persarafan. Yang ditandai berkurangnya asetilkholin yang berada
di postsinaps. Penyakit ini juga dapat diperburuk dengan stres yang dialami
penderita dan konsumsi alkohol. Oleh karena itu, penyusun menyarankan jika
lebih baik bagi penderita miastenia gravis untuk mengurangi konsumsi alkohol
dan hindari stres.

24
DAFTAR PUSTAKA

Bilotta, Kimberly A. J, Dwi Widiarti [et al.]. 2011. Kapita Selekta Penyakit
dengan Implikasi Keperawatan, Ed. 2. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar: Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35345-Kep%20Umum-
Askep%20Mistania%20Gravis.html
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82552&val=970

25

Anda mungkin juga menyukai