PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
dan berlebihan yang ditandai dengan dengan bangkitan lebih dari 2 kali dalam
manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal
dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manifestasi klinik ini dapat berupa
B. ETIOLOGI
C. KLASIFIKASI
2
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy
(ILAE) terdiri dari 2 jenis klasifikasi, klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi
Bangkitan parsial
Bangkitan parsial sederhana (kesadaran baik)
klonik)
Bangkitan umum
Lena (absence)
-Tipikal lena
-Atipikal lena
3
Mioklonik
Klonik
Tonik
Tonik-klonik
Atonik/astatik
Fokal/parsial
Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang
terlokalisir di otak.
Idiopatik (primer)
- Epilepsi benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik benigna)
- Epilepsi benigna dengan paroksismal pada daerah oksipital
- Primary reading epilepsy (epilepsi primer saat membaca)
Simptomatik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
- Kronik progresif parsialis kontinua
Kriptogenik
4
Epilepsi Umum
Idiopatik (primer)
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonaus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak
Kriptogenik atau simptomatik
- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia)
- Sindroma Lennox Gastaut
- Epilepsi mioklonik astatik
- Epilepsi absans mioklonik
Simptomatik
- Etiologi non spesifik
Ensefalopati mioklonik neonatal
Sindrom ohtahara
- Etiologi / sindrom spesifik
- Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
umum
Bangkitan umum dan fokal
- Bangkitan neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
5
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
Epilepsi berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsi
- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)
D. PATOGENESIS
6
Serangan fokal atau parsial muncul dari sebuah area terlokalisasi di otak
dan mempunyai manifestasi klinis yang merefleksikan area otak tersebut.
Lepasnya muatan listrik yang fokal ini dapat tetap terlokalisasi atau dapat
menyebar ke area korteks otak yang berdekatan, ke struktur subkorteks,
dan/atau ditransmisikan melalui jalur komisura untuk melibatkan seluruh
korteks. Arah penyebaran yang terakhir ini menunjukkan generalisasi sekunder
dari serangan fokal. Sebagai contoh, sebuah serangan yang berasal dari korteks
motorik kiri dapat menyebabkan gerakan cepat dan tajam dari ekstremitas atas
kanan. Jika lepasnya muatan listrik epileptogenik ini menyebar ke area
sekitarnya dan kemudian ke seluruh otak, serangan umum sekunder tonik-
klonik terjadi.
Serangan umum primer dimulai dengan lepasnya muatan listrik abnormal
pada kedua hemisfer secara simultan. Serangan umum melibatkan hubungan
resiprokal antara thalamus dan neokorteks. Manifestasi dari penyebaran
aktivitas epileptogenik dapat bervariasi dari gangguan kesadaran singkat
(seperti pada serangan absans) hingga aktivitas motorik generalisata disertai
dengan hilangnya kesadaran (serangan umum tonik-klonik).
Pada tingkat selular, suatu serangan epilepsi mungkin dimengerti sebagai
suatu hal yang merepresentasikan ketidakseimbangan antara arus eksitatorik
dan inhibitorik di otak. Sirkuit-sirkuit neuron terdiri dari: (1) konduksi aksonal,
yang dimediasi oleh propagasi dari potensial aksi sepanjang akson neuron, dan
(2) transmisi sinaptik, yang muncul di antara neuron-neuron. Kedua proses ini
menggunakan kanal ion.
Kanal ion merupakan protein yang meliputi membran yang membentuk
pori selektif untuk ion natrium, kalium, klorida, atau kalsium. Pergerakan ion
melewati membran neuron menentukan potensial membran elektrik dan
menghasilkan potensial aksi. Gradien ion natrium dan kalium dipertahankan
oleh pompa Na+-K+-ATPase yang menjaga potensial membran istirahat pada
keadaan terpolarisasi (sekitar -70mV). Dua tipe utama dari kanal ion yang
bertanggung jawab untuk aktivitas inhibitorik dan eksitatorik adalah kanal
bergerbang voltase (voltage-gated channels) dan kanal bergerbang kimiawi
7
(ligand-gated channels). Lewatnya ion-ion melalui kedua jenis kanal tersebut
akan menghasilkan depolarisasi (contohnya aliran masuk kation) atau
hiperpolarisasi (contohnya aliran masuk anion atau aliran keluar kation).
Konduktansi yang bersifat mendepolarisasi adalah eksitatorik, dan
dimediasi oleh arus masuk dari natrium dan kalsium. Tiap kanal natrium berdiri
sebagai suatu kompleks dari subunit polipeptida. Perubahan genetik pada
struktur kanal natrium dipercaya menyebabkan syndrome of Generalized
Epilepsy with Febrile Seizures plus (GEFS+) dan Dravet syndrome, sebuah
epilepsi mioklonik berat pada bayi. Banyak obat antikonvulsi yang bekerja
pada kanal natrium bergerbang voltase, misalnya fenitoin dan karbamazepin.
Aktivasi kanal kalsium bergerbang voltase berkontribusi terhadap fase
depolarisasi dari potensial aksi. Masuknya kalsium dapat juga mempengaruhi
pelepasan neurotransmiter, ekspresi gen, dan pola pengaktifan neuron. Kanal
kalsium juga merupakan kompleks hetero-oligomer. Aliran kalsium pada sel-
sel piramidal CA3 di hipokampus menyebabkan lepasnya aliran listrik secara
besar-besaran pada sel-sel tersebut dan dapat berkontribusi terhadap
sinkronisasi epileptik. Perubahan pada kanal kalsium juga memainkan peranan
pada epilepsi absans pada anak-anak.
Peran konduktansi yang bersifat membuat hiperpolarisasi dimediasi
terutama oleh kanal kalium, yang melawan arus depolarisasi dan berfungsi
untuk menghambat atau mengurangi eksitasi pada sistem saraf. Fasilitasi
konduktansi yang membuat hiperpolarisasi bersifat antikonvulsi. Meskipun
tidak ada antikonvulsi pada penggunaan di klinik saat ini yang bekerja secara
langsung pada kanal kalium bergerbang voltase, beberapa antikonvulsi seperti
topiramat dan levetiracetam bekerja melalui fase hiperpolarisasi.
Transmisi sinaptik memiliki dua sifat, yaitu transmisi eksitatorik dan
transmisi inhibitorik. Asam amino glutamat adalah neurotransmiter eksitatorik
utama pada sistem saraf pusat. Jalur glutamatergik tersebar luas di seluruh otak,
dan aktivitas asam amino eksitatorik adalah penting untuk perkembangan otak
yang normal dan plastisitas sinaptik yang bergantung aktivitas. Reseptor
glutamat secara umum dibagi menjadi N-methyl-D-aspartate (NMDA)
8
receptors dan non-NMDA receptors. Transmisi eksitatorik dapat berkontribusi
terhadap lepasnya ledakan listrik epileptogenik. Sirkuit eksitatorik rekuren
yang diproduksi oleh mossy fibers pada epilepsi mesial temporal berhubungan
dengan peningkatan konduktansi NMDA. Blokade pada reseptor NMDA akan
mengurangi aktivitas ledakan listrik pada epilepsi.
Transmisi inhibitorik menggunakan gamma-aminobutyric acid (GABA)
sebagai neurotransmiter. Setelah pelepasan GABA dari akson terminal, GABA
akan berikatan dengan dua kelas reseptor, yaitu reseptor GABA-A dan GABA-
B, yang ditemukan hampir di semua neuron korteks. Reseptor GABA-A juga
ditemukan pada glia, walaupun fungsinya pada sel ini masih belum jelas.
Aktivasi reseptor GABA-A pada badan sel dari neuron korteks yang matur
akan menghasilkan aliran masuk ion klorida dan hiperpolarisasi membran,
sehingga menghambat lepasnya muatan listrik sel. Akan tetapi, pada neuron
yang imatur, aktivasi reseptor GABA-A justru menyebabkan depolarisasi
membran. Aliran keluar bikarbonat melalui kanal GABA-A juga berkontribusi
terhadap depolarisasi. Reseptor GABA-B berada pada membran postsinaptik
dan terminal presinaptik. Bila reseptor GABA-A menghasilkan konduktansi
cepat Inhibitory Postsynaptic Potentials (IPSPs) yang dekat dengan badan sel,
reseptor GABA-B pada membran postsinaptik memediasi konduktansi lambat
IPSP terutama pada dendrit sel piramidal hipokampus. Aktivasi reseptor
GABA-B pada terminal presinaptik menghambat pelepasan sinaptik
neurotransmiter. Sumasi aktivasi yang dimediasi reseptor GABA secara
individu menyebabkan hiperpolarisasi membran yang dimediasi klorida, yang
melawan depolarisasi yang dihasilkan oleh sumasi EPSP. Gangguan pada
aktivitas inhibitorik ini dapat menyebabkan kejang dan epilepsi. Sejalan
dengan hal ini, peningkatan inhibisi yang dimediasi oleh GABA merupakan
suatu mekanisme penting obat-obat anti epilepsi.
Peranan glia pada regulasi pelepasan muatan epileptogenik semakin
dipercaya. Salah satu peran penting dari glia adalah mengembalikan
homeostasis ion, terutama kadar ion kalium ekstraselular, setelah aktivitas
neuron. Perubahan potensial membran glia secara langsung berhubungan
9
dengan perubahan kadar kalium ekstraselular, dan blokade kanal selektif
kalium glia menghasilkan hipereksitabilitas neuron.
Konsekuensi dari serangan (seizure) bergantung pada banyak faktor,
termasuk etiologi, sindrom epilepsi, usia saat onset serangan, tipe serangan,
frekuensi, durasi, dan keparahan.
Semakin lama serangan, semakin serius konsekuensi yang terjadi. Sebagai
contoh, status epileptikus menyebabkan kerusakan neuron bahkan ketika faktor
sistemik (seperti tekanan darah dan oksigen) dan etiologi yang mendasari
berada dalam kontrol. Status epileptikus ini dapat menyebabkan peningkatan
risiko serangan berulang dan timbulnya defisit neurologis.
Serangan yang singkat, jika berulang, dapat menyebabkan perubahan
struktur dan fungsi otak. Proses dimana bagian otak yang normal berubah
secara bertahap menjadi epileptikus akibat serangan yang berulang, atau
bahkan lepasnya muatan listrik neuron subklinis secara sinkron, disebut
sebagai kindling. Banyak bukti menunjukkan bahwa epilepsi lobus temporal
dapat menjadi progresif.
Kehamilan menghadirkan masalah tersendiri bagi wanita dengan epilepsi.
Serangan dapat semakin memburuk pada sepertiga wanita hamil dengan
epilepsi, sementara yang lainnya tidak mengalami perubahan atau malah
mengalami perbaikan selama kehamilan. Potensi teratogenik obat antiepilepsi
tetap menjadi perhatian utama bagi wanita dengan epilepsi, walaupun hampir
90% bayi yang lahir dari ibu yang mengkonsumsi obat antiepilepsi sehat.
E. DIAGNOSIS EPILEPSI
10
Ada tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai
berikut:
1981
sebagai berikut:
1. Anamnesis : auto dan allo anamnesis dari orang tua atau saksi mata
mengenai hal-hal yang terkait di bawah ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan.
Sebelum bangkitan / gejala prodromal
o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan adanya
bangkitan.
o Bagaimana pola / bentuk bangkitan, mulai dari deviasi
11
o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan
sebelumnya
o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya
dll.
Pasca bangkitan / post iktal
Bingung, lagsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,
alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuansi bangkitan, interval terpanjang
komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh
kembang.
h. Riwayat bangkitan neonatal / kejang deman.
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat, dll.
12
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
misalnya:
- trauma kepala
- tanda-tanda infeksi
- kelainan kongenital
- kecanduan alkohol / NAPZA
- kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- tanda-tanda keganasan
Pemeriksaan Neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
bangkitan, maka akan tampak tanda pasca bangkitan terutama tanda fokal yang
- paresis todd
- gangguan kesadaran pasca iktal
- afasia pasca iktal
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektro-ensefalografi (EEG)
dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Selain itu dengan EEG dapat
13
ditentukan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, prognosis, dan dapat
ditentukan perlu atau tidaknya pemberian OAE. Adanya kelainan fokal pada EEG
atau metabolik.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuro imaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan,
maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. Indikasi
pemeriksaan neuro imaging, baik CT Scan maupun MRI kepala, pada kasus
kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia dewasa.
Tujuan pemeriksaan neuro imaging pada kondisi ini adalah untuk mencari lesi
kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi efektifitas dalam
14
menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan
kepala.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hematologis
trombosit, apusan darah tepi, elektrolit, kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
OAE
- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitir efek samping
OAE, atau bia timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.
Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini idealnya dilakukan untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau
- pungsi lumbal
- EKG
15
Kehamilan berkaitan dengan peningkatan kadar estrogen dan progesterone
yang bermakna serta perubahan metabolism hormone dan obat antiepilepsi. Kedua
hal tersebut akan memengaruhi frekuensi bangkitan. Epilepsi pada kehamilan
dapat menyebabkan komplikasi maternal dan fetal/neonatal. Komplikasi maternal
yang dapat terjadi, yaitu : bangkitan berulang (hipoksia), status epilepstikus,
bangkitan saat persalinan, hipertensi kehamilan, persaliunan preterm. Sedangkan
komplikasi pada fetal/neonatal yang bias terjadi adalah : keguguran (2 kali lebih
sering dari normal), kelainan congenital (2-3 kali lebih sering dari normal),
hipoksia, kurangnya usia kehamilan dan berat badan lahir, kelahiran premature ,
IQ rendah dan perilaku abnormal.
terjadi pada kehamilan, terutama pada trimester I dan hanya sedikit meningkat
a. Perubahan hormonal
16
yang rasionya menurun. Kerja hormon estrogen adalah menghambat
luteal dalam siklus menstruasi sehingga pada masa itu frekuensi bangkitan
akan turun.
b. Perubahan metabolik
kadar obat dalam plasma akan menurun. Retensi cairan yang terjadi
17
dan hipomagnesemia. Keadaan ini dapat menimbulkan kejang, meskipun
c. Deprivasi tidur
beberapa keadaan seperti rasa mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin
dalam kandungan, nokturia akibat tekanan pada kandung kencing dan stress
mempengaruhi kadar plasma obat anti epilepsi, sehingga obat anti epilepsi
18
yang terikat dengan protein berkurang dan menyebabkan peningkatan obat
anti epilepsi bebas. Namun obat anti epilepsi ini akan cepat dikeluarkan
Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada
penderita yang telah lama mendapat obat anti epilepsi, pada kehamilan
trimester ketiga menjelang partus dan pada masa puerperium bagi ibu hamil
yang sebelumnya tidak pernah mendapat suplemen asam folat. Wanita hamil
karena sebagian besar obat anti epilepsi yang dikonsumsi berperan sebagai
serangan kejang.
19
0,4 mg/hari tiap hari secara teratur masih dianggap aman dan dapat
anak dengan kelainan neural tube defect, terutama wanita yang mendapat
menghentikan makan obat karena takut efek obat terhadap janin yang
dikandungnya. Dari penelitian terhadap 125 wanita hamil dengan epilepsi, 27%
20
samping (termasuk teratogenik) dan kekhawatiran pengaruhnya pada bayi yang
diberi ASI. Sebenarnya obat anti epilepsi di ASI jumlahnya relatif sedikit. Jadi
G. TATALAKSANA
21
Pada pengguna asam valproat atau OAE politerapi, dianjurkan utnuk dilakukan:
o Pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein serum (pada minggu 14-16 kehamilan)
o Pemeriksaan ultrasonografi (pada minggu 16-20 kehamilan)
o Amnionsentesis untuk pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein dan
antikolinesterase dalam cairan amnion)
Apabila terdapat abnormalitas pada pemeriksaan diatas, merupakan bahan
pertimbangan untuk meneruskan kehamilan atau tidak.
Kadar OAE diperiksa awal setiap trimester dan pada bulan terakhir kehamilan.
Juga dapat dipantau bila ada indikasi (misalnya bila terjadi bangkitan atau ragu
dengan ketaatan minum obat)
Dosis OAE dapat dinaikkan apabila kadar OAE turun dibawah kadar OAE
sebelum kehmailan, atau sesuai kebutuhan klinik.
22
Perlu diberikan penyuluhan kemungkinan kekambuhan bangkitan akibat kurang
tidur dan kelelahan karena merawat bayi sehingga diperlukan pendampingan.
Merawat bayi sebaiknya dilakukan dilantai untuk menghindari bayi terjatuh
disaat ibu mengalami kekambuhan
TERATOGENITAS
Tidak ada OAE yang dianggap pasti aman pada kehamilan . Malformasi
congenital mayor meningkat 2-3 kali pada bayi dari ibu yang mendapatkan obat
antiepilepsi monoterapi. Terdapat peningkatan efek teratogenisitas yang lebih
tinggi pada ibu menggunakan asam valproat serta penggunaan politerapi. Oleh
karena itu, direkomendasikan pemberian asam folat pada perempuan yang
merencanakan kehamilan pada saat hamil terutama pada trimester pertama dengan
dosis 1-5 mg perhari untuk mencegah defek neural tube. Pemberian asam folat
perikonsepsial juga berhubungan positif dengan IQ anak yang lahir dari
perempuan menggunakan obat antiepilepsi. Beberapa obat antiepilepsi generasi
kedua yang relative kecil menimbulkan teratogenitas adalah lamotrigin,
leviteracetam, oxcarbazepin, dan topiramat.
23
H. PENGARUH EPILEPSI TERHADAP KEHAMILAN
Komplikasi serangan epilepsi pada kehamilan terjadi 1,5 sampai 4 kali, yaitu :
epilepsi
- preeklampsia
- trauma fisik
- kematian ibu hamil sewaktu serangan kejang sangat jarang sekali (di
Inggris hanya sekitar 1 per tahun) dan penyebab kematian karena asfiksia pada
saat serangan.
a. Terhadap kehamilan
obat anti epilepsi maka yang paling kurang efek sampingnya berturut-turut
24
Beberapa tindakan obastetik yang perlu dipertimbangkan akibat
II dan III) dan induksi partus. Keadaan ini disebabkan oleh partus lama,
perdarahan dan kelelahan uterus dan fisik akibat obat anti epilepsi,
bukanlah suatu indikasi untuk operasi, karena kejang tonik klonik hanya
25
simian). Hanya saja dikatakan defek neural tube (terutama spina bifida
Post konsepsi
kongenital,mikrosefali, perkembangan
lambat
valproat Kronik
( 18 60 hari ) shallow orbits,okular hipertelorisme,
26
hidung dan mulut kecil, telinga letak
kraniosinotosis, autisme.
27
antikonvul san pada bayi dari ibu yang
dengan primidone
BAB III
KESIMPULAN
Sebagian besar perempuan dengan epilepsi saat ini dapat memiliki dan
membesarkan anak yang normal dan sehat, tetapi kehamilan mereka memiliki
terjadinya outcome yang merugikan pada anak yang dilahirkan dari ibu dengan
epilepsi. Outcome ini termasuk fetal loss dan kematian perinatal, malformasi dan
28
Penatalaksanaan epilepsi pada kehamilan meliputi pentalaksanaan
kehamilan, ANC dan pemberian suplemen Folat dan Vit K, persalinan dan post
partum (menyusui).
DAFTAR PUSTAKA
29
4. Dewanto G, suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis
30