Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering ditemukan.


Epilepsi dapat terjadi pada semua usia dan jenis kelamin tanpa batas ras dan sosial
ekonomi. Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan di negara
berkembang. Insidensi epilepsi kurang lebih 50 kasus tiap 100.000 orang
pertahun. Data dari WHO menyebutkan bahwa dari banyak studi menunjukkan
rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000 penduduk, sedangkan angka
insidensi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Meskipun di indonesia belum ada
data pasti tentang prevalensi maupun insidensi, tapi sebagai suatu negara
berkembang yang berpenduduk berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah
orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau membutuhkan
pengobatan berkisar 1,8 juta.
Epilepsi berpotensi menimbulkan masalah sosio-ekonomi dan medikolegal
yang secara keseluruhan dapat menurunkan atau menganggu kualitas hidup
penyandang epilepsi. Pada umumnya, 55-68% kasus epilepsi dapat berhasil
menunjukkan remisi dalam jangka waktu yang panjang dengan terapi pengobatan
yang tepat. Pengobatan epilepsi harus memperhatikan dari kondisi masing-masing
individual agar dapat mencapai kesembuhan secara optimal. Begitu pula pada
individu yang sedang dalam proses kehamilan. Proses kehamilan dapat
meningkatkan resiko bangkitan epilepsi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan
pemberian terapi yang aman bagi ibu hamil dan juga bayi yang dikandungnya.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang di tandai oleh

bangkitan berulang bersifat paroksismal akibat hiperaktivitas listrik abnormal

dan berlebihan yang ditandai dengan dengan bangkitan lebih dari 2 kali dalam

1 tahun. Sedangkan yang dimaksudkan dengan bangkitan epilepsi adalah

manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal

dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manifestasi klinik ini dapat berupa

gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom dan psikis.

B. ETIOLOGI

1. Idiopatik: tidak terdapat lesI structural di otak atau deficit neurologis.


Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan umumnya berhubungan
dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan
epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural
pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
metabolic, kelainan neurodegeneratif.

C. KLASIFIKASI

2
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy

(ILAE) terdiri dari 2 jenis klasifikasi, klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi

dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.

Klasifikasi ILEA untuk tipe bangkitan epilepsi:

Bangkitan parsial
Bangkitan parsial sederhana (kesadaran baik)

- Dengan gejala motorik

- Dengan gejala somatosensorik

- Dengan gejala otonom

- Dengan gejala psikis

Bangkitan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

- Bangkitan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran

- Gangguan kesadaran saat awal serangan

Bangkitan umum sekunder

- Parsial sederhana menjadi umum (tonik-klonik)

- Parsial kompleks menjadi umum (tonik-klonik)

- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum (tonik-

klonik)

Bangkitan umum

Lena (absence)

-Tipikal lena
-Atipikal lena

3
Mioklonik

Klonik

Tonik

Tonik-klonik

Atonik/astatik

Bangkitan tak tergolongkan

Klasifikasi ILAE untuk epilepsi dan sindrom epilepsi:

Fokal/parsial

Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang

terlokalisir di otak.

Idiopatik (primer)
- Epilepsi benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal

(Rolandik benigna)
- Epilepsi benigna dengan paroksismal pada daerah oksipital
- Primary reading epilepsy (epilepsi primer saat membaca)
Simptomatik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
- Kronik progresif parsialis kontinua
Kriptogenik

4
Epilepsi Umum

Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang

lebih luas pada kedua belahan otak.

Idiopatik (primer)
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonaus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak
Kriptogenik atau simptomatik
- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia)
- Sindroma Lennox Gastaut
- Epilepsi mioklonik astatik
- Epilepsi absans mioklonik
Simptomatik
- Etiologi non spesifik
Ensefalopati mioklonik neonatal
Sindrom ohtahara
- Etiologi / sindrom spesifik
- Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau

umum
Bangkitan umum dan fokal
- Bangkitan neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner

5
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
Epilepsi berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsi
- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

Menurut International League Against Epilepsy, epilepsi pada kehamilan

dibagi menjadi 3 kelompok yaitu (11) :

1. Epilepsi yang telah diderita sebelum kehamilan Wanita yang


menderita epilepsi sebelum kehamilan dapat mengalami bangkitan pada

saat hamil. Hal ini disebabkan karena pengaruh perubahan hormonal,

metabolik, psikis, dan farmakokinetik OAE (obat anti epilepsi).

2. Termed Gestational Epilepsy epilepsi yang terjadi pertama kali


sewaktu masa kehamilan dan berlanjut pada kehamilan berikutnya dengan

masa bebas bangkitan di antara kehamilan.

3. Gestational Onset Epilepsy epilepsi yang terjadi pertama kali pada

masa kehamilan dan berlanjut di luar masa kehamilan.

D. PATOGENESIS

Epilepsi bukan merupakan suatu penyakit tunggal, tetapi merupakan suatu


penyakit heterogen dalam hal manifestasi klinis, etiologi yang mendasari, dan
patofisiologi. Mekanisme spesifik dan jalur yang mendasari suatu serangan
yang spesifik dapat bervariasi. Serangan epilepsi secara luas diklasifikasikan
berdasarkan lokasi asal lepasnya muatan listrik dan ke mana arah
penjalarannya.

6
Serangan fokal atau parsial muncul dari sebuah area terlokalisasi di otak
dan mempunyai manifestasi klinis yang merefleksikan area otak tersebut.
Lepasnya muatan listrik yang fokal ini dapat tetap terlokalisasi atau dapat
menyebar ke area korteks otak yang berdekatan, ke struktur subkorteks,
dan/atau ditransmisikan melalui jalur komisura untuk melibatkan seluruh
korteks. Arah penyebaran yang terakhir ini menunjukkan generalisasi sekunder
dari serangan fokal. Sebagai contoh, sebuah serangan yang berasal dari korteks
motorik kiri dapat menyebabkan gerakan cepat dan tajam dari ekstremitas atas
kanan. Jika lepasnya muatan listrik epileptogenik ini menyebar ke area
sekitarnya dan kemudian ke seluruh otak, serangan umum sekunder tonik-
klonik terjadi.
Serangan umum primer dimulai dengan lepasnya muatan listrik abnormal
pada kedua hemisfer secara simultan. Serangan umum melibatkan hubungan
resiprokal antara thalamus dan neokorteks. Manifestasi dari penyebaran
aktivitas epileptogenik dapat bervariasi dari gangguan kesadaran singkat
(seperti pada serangan absans) hingga aktivitas motorik generalisata disertai
dengan hilangnya kesadaran (serangan umum tonik-klonik).
Pada tingkat selular, suatu serangan epilepsi mungkin dimengerti sebagai
suatu hal yang merepresentasikan ketidakseimbangan antara arus eksitatorik
dan inhibitorik di otak. Sirkuit-sirkuit neuron terdiri dari: (1) konduksi aksonal,
yang dimediasi oleh propagasi dari potensial aksi sepanjang akson neuron, dan
(2) transmisi sinaptik, yang muncul di antara neuron-neuron. Kedua proses ini
menggunakan kanal ion.
Kanal ion merupakan protein yang meliputi membran yang membentuk
pori selektif untuk ion natrium, kalium, klorida, atau kalsium. Pergerakan ion
melewati membran neuron menentukan potensial membran elektrik dan
menghasilkan potensial aksi. Gradien ion natrium dan kalium dipertahankan
oleh pompa Na+-K+-ATPase yang menjaga potensial membran istirahat pada
keadaan terpolarisasi (sekitar -70mV). Dua tipe utama dari kanal ion yang
bertanggung jawab untuk aktivitas inhibitorik dan eksitatorik adalah kanal
bergerbang voltase (voltage-gated channels) dan kanal bergerbang kimiawi

7
(ligand-gated channels). Lewatnya ion-ion melalui kedua jenis kanal tersebut
akan menghasilkan depolarisasi (contohnya aliran masuk kation) atau
hiperpolarisasi (contohnya aliran masuk anion atau aliran keluar kation).
Konduktansi yang bersifat mendepolarisasi adalah eksitatorik, dan
dimediasi oleh arus masuk dari natrium dan kalsium. Tiap kanal natrium berdiri
sebagai suatu kompleks dari subunit polipeptida. Perubahan genetik pada
struktur kanal natrium dipercaya menyebabkan syndrome of Generalized
Epilepsy with Febrile Seizures plus (GEFS+) dan Dravet syndrome, sebuah
epilepsi mioklonik berat pada bayi. Banyak obat antikonvulsi yang bekerja
pada kanal natrium bergerbang voltase, misalnya fenitoin dan karbamazepin.
Aktivasi kanal kalsium bergerbang voltase berkontribusi terhadap fase
depolarisasi dari potensial aksi. Masuknya kalsium dapat juga mempengaruhi
pelepasan neurotransmiter, ekspresi gen, dan pola pengaktifan neuron. Kanal
kalsium juga merupakan kompleks hetero-oligomer. Aliran kalsium pada sel-
sel piramidal CA3 di hipokampus menyebabkan lepasnya aliran listrik secara
besar-besaran pada sel-sel tersebut dan dapat berkontribusi terhadap
sinkronisasi epileptik. Perubahan pada kanal kalsium juga memainkan peranan
pada epilepsi absans pada anak-anak.
Peran konduktansi yang bersifat membuat hiperpolarisasi dimediasi
terutama oleh kanal kalium, yang melawan arus depolarisasi dan berfungsi
untuk menghambat atau mengurangi eksitasi pada sistem saraf. Fasilitasi
konduktansi yang membuat hiperpolarisasi bersifat antikonvulsi. Meskipun
tidak ada antikonvulsi pada penggunaan di klinik saat ini yang bekerja secara
langsung pada kanal kalium bergerbang voltase, beberapa antikonvulsi seperti
topiramat dan levetiracetam bekerja melalui fase hiperpolarisasi.
Transmisi sinaptik memiliki dua sifat, yaitu transmisi eksitatorik dan
transmisi inhibitorik. Asam amino glutamat adalah neurotransmiter eksitatorik
utama pada sistem saraf pusat. Jalur glutamatergik tersebar luas di seluruh otak,
dan aktivitas asam amino eksitatorik adalah penting untuk perkembangan otak
yang normal dan plastisitas sinaptik yang bergantung aktivitas. Reseptor
glutamat secara umum dibagi menjadi N-methyl-D-aspartate (NMDA)

8
receptors dan non-NMDA receptors. Transmisi eksitatorik dapat berkontribusi
terhadap lepasnya ledakan listrik epileptogenik. Sirkuit eksitatorik rekuren
yang diproduksi oleh mossy fibers pada epilepsi mesial temporal berhubungan
dengan peningkatan konduktansi NMDA. Blokade pada reseptor NMDA akan
mengurangi aktivitas ledakan listrik pada epilepsi.
Transmisi inhibitorik menggunakan gamma-aminobutyric acid (GABA)
sebagai neurotransmiter. Setelah pelepasan GABA dari akson terminal, GABA
akan berikatan dengan dua kelas reseptor, yaitu reseptor GABA-A dan GABA-
B, yang ditemukan hampir di semua neuron korteks. Reseptor GABA-A juga
ditemukan pada glia, walaupun fungsinya pada sel ini masih belum jelas.
Aktivasi reseptor GABA-A pada badan sel dari neuron korteks yang matur
akan menghasilkan aliran masuk ion klorida dan hiperpolarisasi membran,
sehingga menghambat lepasnya muatan listrik sel. Akan tetapi, pada neuron
yang imatur, aktivasi reseptor GABA-A justru menyebabkan depolarisasi
membran. Aliran keluar bikarbonat melalui kanal GABA-A juga berkontribusi
terhadap depolarisasi. Reseptor GABA-B berada pada membran postsinaptik
dan terminal presinaptik. Bila reseptor GABA-A menghasilkan konduktansi
cepat Inhibitory Postsynaptic Potentials (IPSPs) yang dekat dengan badan sel,
reseptor GABA-B pada membran postsinaptik memediasi konduktansi lambat
IPSP terutama pada dendrit sel piramidal hipokampus. Aktivasi reseptor
GABA-B pada terminal presinaptik menghambat pelepasan sinaptik
neurotransmiter. Sumasi aktivasi yang dimediasi reseptor GABA secara
individu menyebabkan hiperpolarisasi membran yang dimediasi klorida, yang
melawan depolarisasi yang dihasilkan oleh sumasi EPSP. Gangguan pada
aktivitas inhibitorik ini dapat menyebabkan kejang dan epilepsi. Sejalan
dengan hal ini, peningkatan inhibisi yang dimediasi oleh GABA merupakan
suatu mekanisme penting obat-obat anti epilepsi.
Peranan glia pada regulasi pelepasan muatan epileptogenik semakin
dipercaya. Salah satu peran penting dari glia adalah mengembalikan
homeostasis ion, terutama kadar ion kalium ekstraselular, setelah aktivitas
neuron. Perubahan potensial membran glia secara langsung berhubungan

9
dengan perubahan kadar kalium ekstraselular, dan blokade kanal selektif
kalium glia menghasilkan hipereksitabilitas neuron.
Konsekuensi dari serangan (seizure) bergantung pada banyak faktor,
termasuk etiologi, sindrom epilepsi, usia saat onset serangan, tipe serangan,
frekuensi, durasi, dan keparahan.
Semakin lama serangan, semakin serius konsekuensi yang terjadi. Sebagai
contoh, status epileptikus menyebabkan kerusakan neuron bahkan ketika faktor
sistemik (seperti tekanan darah dan oksigen) dan etiologi yang mendasari
berada dalam kontrol. Status epileptikus ini dapat menyebabkan peningkatan
risiko serangan berulang dan timbulnya defisit neurologis.
Serangan yang singkat, jika berulang, dapat menyebabkan perubahan
struktur dan fungsi otak. Proses dimana bagian otak yang normal berubah
secara bertahap menjadi epileptikus akibat serangan yang berulang, atau
bahkan lepasnya muatan listrik neuron subklinis secara sinkron, disebut
sebagai kindling. Banyak bukti menunjukkan bahwa epilepsi lobus temporal
dapat menjadi progresif.
Kehamilan menghadirkan masalah tersendiri bagi wanita dengan epilepsi.
Serangan dapat semakin memburuk pada sepertiga wanita hamil dengan
epilepsi, sementara yang lainnya tidak mengalami perubahan atau malah
mengalami perbaikan selama kehamilan. Potensi teratogenik obat antiepilepsi
tetap menjadi perhatian utama bagi wanita dengan epilepsi, walaupun hampir
90% bayi yang lahir dari ibu yang mengkonsumsi obat antiepilepsi sehat.

E. DIAGNOSIS EPILEPSI

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis

dengan hasil pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan EEG dan radiologis.

Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang

berlangsung maka epilepsi secara klinis sudah dapat ditegakkan.

10
Ada tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai

berikut:

1. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptik


2. Langkah dua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan Klasifikasi ILAE 1981
3. Langkah ketiga: tentukan sindrom epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE

1981

Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam menegakkan diagnosis adalah

sebagai berikut:

1. Anamnesis : auto dan allo anamnesis dari orang tua atau saksi mata
mengenai hal-hal yang terkait di bawah ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan.
Sebelum bangkitan / gejala prodromal
o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan adanya

bangkitan, seperti perubahan perilaku, perasaan lapar,

berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dll.


Selama bangkitan / iktal
o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal

bangkitan.
o Bagaimana pola / bentuk bangkitan, mulai dari deviasi

mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi,

automatisasi, gerakan pada salah satu / kedua lengan

dan tungkai, bangkitan tonik / klonik, inkontinensia,

lidah tergigit, pucat, berkeringat, dll.


o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan

11
o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan

sebelumnya
o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya

saat tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih,

dll.
Pasca bangkitan / post iktal
Bingung, lagsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,

todds paresis (kelemahan fokal setelah kejang)


b. Faktor pencetus kelelahan, kurang tidur, jormonal, stress psikologis,

alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuansi bangkitan, interval terpanjang

antar bangkitan, kesadaran antar bangkitan.


d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya:
Jenis OAE
Dosis OAE
Jadwal minum OAE
Kepatuhan minum OAE
Kadar OAE dalam plasma
Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neuroligi, psikiatrik

maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun

komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh

kembang.
h. Riwayat bangkitan neonatal / kejang deman.
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat, dll.

12
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pemeriksaan Fisik Umum

Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi,

misalnya:

- trauma kepala
- tanda-tanda infeksi
- kelainan kongenital
- kecanduan alkohol / NAPZA
- kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- tanda-tanda keganasan

Pemeriksaan Neurologis

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat

berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah

bangkitan, maka akan tampak tanda pasca bangkitan terutama tanda fokal yang

tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:

- paresis todd
- gangguan kesadaran pasca iktal
- afasia pasca iktal

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Elektro-ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering

dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Selain itu dengan EEG dapat

13
ditentukan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, prognosis, dan dapat

ditentukan perlu atau tidaknya pemberian OAE. Adanya kelainan fokal pada EEG

menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya

kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik

atau metabolik.

Rekaman EEG dikatakan abnormal bila:

1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di

kedua hemisfer otak.


2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombag lebih lambat dari

seharusnya, misalnya gelombang delta.


3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,

misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku ombak, paku majemuk,

dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.

b. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuro imaging bertujuan untuk melihat

struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan,

maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. Indikasi

pemeriksaan neuro imaging, baik CT Scan maupun MRI kepala, pada kasus

kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia dewasa.

Tujuan pemeriksaan neuro imaging pada kondisi ini adalah untuk mencari lesi

struktural penyebab kejang. CT Scan kepala lebih ditujukan untuk kasus

kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di pihak lain MRI

kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi efektifitas dalam

14
menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan

kepala.

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan hematologis

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,

trombosit, apusan darah tepi, elektrolit, kadar gula darah sewaktu, fungsi hati

(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin, dan albumin.

Pemeriksaan ini dilakukan pada:

- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan

diagnosis banding dan pemilihan OAE


- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping

OAE
- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitir efek samping

OAE, atau bia timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.
Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini idealnya dilakukan untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat

bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau

untuk memonitor kepatuhan pasien.

d. Pemeriksaan Penunjang Lainnya, dilakukan sesuai indikasi, misalnya:

- pungsi lumbal

- EKG

F. EPILEPSI PADA KEHAMILAN

15
Kehamilan berkaitan dengan peningkatan kadar estrogen dan progesterone
yang bermakna serta perubahan metabolism hormone dan obat antiepilepsi. Kedua
hal tersebut akan memengaruhi frekuensi bangkitan. Epilepsi pada kehamilan
dapat menyebabkan komplikasi maternal dan fetal/neonatal. Komplikasi maternal
yang dapat terjadi, yaitu : bangkitan berulang (hipoksia), status epilepstikus,
bangkitan saat persalinan, hipertensi kehamilan, persaliunan preterm. Sedangkan
komplikasi pada fetal/neonatal yang bias terjadi adalah : keguguran (2 kali lebih
sering dari normal), kelainan congenital (2-3 kali lebih sering dari normal),
hipoksia, kurangnya usia kehamilan dan berat badan lahir, kelahiran premature ,
IQ rendah dan perilaku abnormal.

Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering

terjadi pada kehamilan, terutama pada trimester I dan hanya sedikit meningkat

trimester III. Meningkatnya frekwensi serangan kejang pada wanita penyandang

epilepsi selama kehamilan ini disebabkan oleh :

a. Perubahan hormonal

Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat

secara bertahap selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester

ketiga. Sedangkan kadar hormon khorionik gonadotropin mencapai puncak

pada kehamilan trimester pertama yang kemudian menurun terus sampai

akhir kehamilan. Seperti diketahui bahwa serangan kejang pada epilepsi

berkaitan erat dengan rasio estrogen-progesteron, sehingga wanita

penyandang epilepsi dengan rasio estrogen-progesteron yang

meningkat akan lebih sering mengalami kejang dibandingkan dengan

16
yang rasionya menurun. Kerja hormon estrogen adalah menghambat

transmisi GABA (dengan merusak enzim glutamat dekarboksilase).

Sedangkan kita ketahui bahwa GABA merupakan neurotransmiter

inhibitorik, sehingga nilai ambang kejang makin rendah dengan akibat

peningkatan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi.

Sebaliknya kerja hormon progesteron adalah menekan pengaruh

glutamat sehingga menurunkan kepekaan untuk terjadinya serangan

epilepsi. Progesteron yang bersifat antiepileptik akan meningkat pada fase

luteal dalam siklus menstruasi sehingga pada masa itu frekuensi bangkitan

akan turun.

b. Perubahan metabolik

Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi

glomerulus berkurang sehingga terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya

kadar obat dalam plasma akan menurun. Retensi cairan yang terjadi

menyebabkan hiponatremi. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan

parsial dari sodium pump yang mengakibatkan peninggian eksitabilitas

neuron dan mempresipitasi bangkitan.

Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan

retensi air dan garam serta perubahan metabolik seperti terjadinya

perubahan metabolisme di hepar juga dapat mengganggu metabolisme obat

anti epilepsi (terutama proses eliminasi), terjadinya alkalosis respiratorik

17
dan hipomagnesemia. Keadaan ini dapat menimbulkan kejang, meskipun

masih selalu diperdebatkan.

c. Deprivasi tidur

Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan

beberapa keadaan seperti rasa mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin

dalam kandungan, nokturia akibat tekanan pada kandung kencing dan stress

psikis. Semuanya ini dapat meningkatkan serangan kejang.

Mual muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat

mengganggu pencernaan dan absorbsi obat anti epilepsi. Dimethicone

merupakan salah satu obat yang sering digunakan untuk hiperasiditas,

gastritis, dyspepsia, ulkus duodenal dan abdominal distention dapat

menurunkan absorbsi phenytoin sebanyak 71%. Kaolin menurunkan

absorbsi sebanyak 60% dan magnesium trisilikat efeknya tidak nyata.

Tonus lambung dan pergerakannya menurun pada kehamilan sehingga

menghambat pengosongan lambung.

d. Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi

Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa

keadaan antara lain berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume

distribusi, penurunan protein binding plasma, berkurangnya kadar albumin

dan meningkatnya kecepatan drug clearance pada trimester terakhir.

Penurunan serum albumin sesuai dengan bertambahnya usia gestasi

mempengaruhi kadar plasma obat anti epilepsi, sehingga obat anti epilepsi

18
yang terikat dengan protein berkurang dan menyebabkan peningkatan obat

anti epilepsi bebas. Namun obat anti epilepsi ini akan cepat dikeluarkan

sesuai dengan meningkatnya drug clearance yang disebabkan oleh induksi

enzim mikrosom hati akibat peningkatan hormon steroid (estrogen dan

progesteron). Pada umumnya dalam beberapa hari-minggu setelah partus

kadar obat anti epilepsi akan kembali normal.

e. Suplementasi asam folat

Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada

penderita yang telah lama mendapat obat anti epilepsi, pada kehamilan

trimester ketiga menjelang partus dan pada masa puerperium bagi ibu hamil

yang sebelumnya tidak pernah mendapat suplemen asam folat. Wanita hamil

dengan epilepsi lebih mungkin menjadi anemia 11% (anemia mikrositer),

karena sebagian besar obat anti epilepsi yang dikonsumsi berperan sebagai

antagonis terhadap asam folat dan juga didapatkan thrombositopenia.

Suplementasi asam folat dapat mengganggu metabolisme obat anti

epilepsi (phenytoin dan phenobarbital) sehingga mempengaruhi kadarnya

dalam plasma. Namun dapat dikatakan tidak sampai meningkatkan jumlah

serangan kejang.

Rendahnya asam folat selama kehamilan mempunyai risiko terjadinya

insiden abortus spontan dan anomali neonatal, gangguan

perkembangan pada bayi yang dilahirkan. Jadi walaupun terdapat sedikit

kekhawatiran terhadap pemberian asam folat namun dosis rendah minimal

19
0,4 mg/hari tiap hari secara teratur masih dianggap aman dan dapat

dilanjutkan selama kehamilan pada wanita penyandang epilepsi. Dosis

tinggi (4 mg/hari) diberikan pada wanita hamil yang sebelumnya melahirkan

anak dengan kelainan neural tube defect, terutama wanita yang mendapat

obat anti epilepsi asam valproat dan karbamazepin.

f. Psikologik (stres dan ansietas)

Stres dan ansietas sering berhubungan dengan peningkatan jumlah

terjadinya serangan kejang. Keadaan ini sering disertai dengan gangguan

tidur, hiperventilasi, gangguan nutrisi dan gangguan psikologik sekunder.

g. Penggunaan alkohol dan zat terlarang

Penggunaan alkohol yang berlebihan akan menginduksi enzim hati dan

menurunkan kadar plasma obat anti epilepsi (phenobarbital, phenytoin dan

karbamazepin) sehingga timbul kejang. Disamping itu intoksikasi alkohol

mapun obat-obatan terlarang akan menyebabkan gangguan siklus tidur

normal sehingga meningkatkan frekwensi kejang.

Hal lain yang meningkatkan frekwensi serangan kejang pada wanita

penyandang epilepsi selama kehamilan adalah faktor kesengajaan

menghentikan makan obat karena takut efek obat terhadap janin yang

dikandungnya. Dari penelitian terhadap 125 wanita hamil dengan epilepsi, 27%

tidak meneruskan penggunaan obatnya dengan alasan ketakutan akan efek

20
samping (termasuk teratogenik) dan kekhawatiran pengaruhnya pada bayi yang

diberi ASI. Sebenarnya obat anti epilepsi di ASI jumlahnya relatif sedikit. Jadi

pada wanita penyandang epilepsi, obat anti epilepsi bukanlah kontraindikasi

untuk pemberian ASI.

G. TATALAKSANA

TATALAKSANA SEBELUM KEHAMILAN

Berikan penyuluhan kepada setiap perempuan yang menggunakan OAE dalam


masa reproduksi tentang berbagai risiko dan keuntungan akibat pengguanaan
OAE terhadap kehamilan dan janin.
Terapi OAE diberikan dalam dosis optimal sebelum konsepsi (bila
memungkinkan periksa kadar obat dalam darah sebagai basis pengukuran.)
Bila memungkinkan diganti OAE yang kurang teratogenik, dan dosis efektif
harus tercapai sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi.
Hindari penggunaan OAE politerapi.
Apabila memungkinkan, hindari penggunaan valproat. Apabila harus
menggunakan valproat, berikan dosis terkecil (kurang dari 750mg) dan gunakan
bentuk lepas lambat.

TATALAKSANA SAAT HAMIL


Ibu diberikan informasi bahwa bagi yang mengalami bebas bangkitan minimal 9
bulan sebelum kehamilan, kemungkinan besar (84-92%) akan tetap bebas
bangkitan selama kehamilannya. Demikian juga kemungkinan terjadinya
persalinan premature atau kontraksi prematur terutama pada perempuan yang
merokok.
Jenis OAE yang sedang digunakan jangan diganti bila tujuannya hanya untuk
mengurangi resiko teratogenik.

21
Pada pengguna asam valproat atau OAE politerapi, dianjurkan utnuk dilakukan:
o Pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein serum (pada minggu 14-16 kehamilan)
o Pemeriksaan ultrasonografi (pada minggu 16-20 kehamilan)
o Amnionsentesis untuk pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein dan
antikolinesterase dalam cairan amnion)
Apabila terdapat abnormalitas pada pemeriksaan diatas, merupakan bahan
pertimbangan untuk meneruskan kehamilan atau tidak.
Kadar OAE diperiksa awal setiap trimester dan pada bulan terakhir kehamilan.
Juga dapat dipantau bila ada indikasi (misalnya bila terjadi bangkitan atau ragu
dengan ketaatan minum obat)
Dosis OAE dapat dinaikkan apabila kadar OAE turun dibawah kadar OAE
sebelum kehmailan, atau sesuai kebutuhan klinik.

TATALAKSANA SAAT PERSALINAN


Harus dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk perawatan
epilepsi dan untuk unit intensif untuk neonatus.
Persalinan dapat dilakukan secara normal per vaginam.
Selama persalinan, OAE harus tetap diberikan.
Terapi kejang saat melahirkan dianjurkan sebaiknya digunakan diazepam 10 mg
i.v atau fenitoin 15-20 mg/kg bolus i.v diikuti dosis 8mg/kg/hari diberikan 2
kali/hari secara intravena atau oral.
Vitamin K 1 mg intramuscular diberikan pada neonatus saat dilahirkan oleh ibu
yang menggunakan OAE penginduksi-enzim untuk mengurangi risiko terjadinya
perdarahan.

TATA LAKSANA SETELAH PERSALINAN


Bila dosis OAE dinaikkan selama lehamilan, maka turunkan kembali secara
bertahap sampai dosis sebelum kehamilan untuk menghindari toksisitas. Kadar
OAE perlu dipantau sampai minggu ke-8 pasca persalinan.

22
Perlu diberikan penyuluhan kemungkinan kekambuhan bangkitan akibat kurang
tidur dan kelelahan karena merawat bayi sehingga diperlukan pendampingan.
Merawat bayi sebaiknya dilakukan dilantai untuk menghindari bayi terjatuh
disaat ibu mengalami kekambuhan

TATALAKSANA SAAT MASA MENYUSUI


Semua OAE terdapat pada air susu ibu )ASI) walaupun dalam proporsi yang
berbeda-beda. Konsentrasi plasma OAE pada bayi tidak hanya ditentukan oleh
jumlah obat dalam ASI, namun juga fungsi hepar yang belum sepenuhnya
berkembang dan eliminasi obat yang lebih lambat.
Levetiracetam kemungkinan ditransfer kedalam ASI dalam jumlah yang cukup
bermakna secar klinis. Valproat, fenobarbital, fenitoin, dan karbamazepin
kemungkinan tidak ditransfer ke dalam ASI dalam jumlah yang bermakna secara
klinis.
Apabila bayi dari ibu yang menggunakan fenobarbital terlihat mengantuk, maka
dianjurkan untuk memberikan susu botol berseling dengan ASI.

TERATOGENITAS
Tidak ada OAE yang dianggap pasti aman pada kehamilan . Malformasi
congenital mayor meningkat 2-3 kali pada bayi dari ibu yang mendapatkan obat
antiepilepsi monoterapi. Terdapat peningkatan efek teratogenisitas yang lebih
tinggi pada ibu menggunakan asam valproat serta penggunaan politerapi. Oleh
karena itu, direkomendasikan pemberian asam folat pada perempuan yang
merencanakan kehamilan pada saat hamil terutama pada trimester pertama dengan
dosis 1-5 mg perhari untuk mencegah defek neural tube. Pemberian asam folat
perikonsepsial juga berhubungan positif dengan IQ anak yang lahir dari
perempuan menggunakan obat antiepilepsi. Beberapa obat antiepilepsi generasi
kedua yang relative kecil menimbulkan teratogenitas adalah lamotrigin,
leviteracetam, oxcarbazepin, dan topiramat.

23
H. PENGARUH EPILEPSI TERHADAP KEHAMILAN

Komplikasi serangan epilepsi pada kehamilan terjadi 1,5 sampai 4 kali, yaitu :

- perdarahan pervaginam sekitar 7%-10% pada trimester I dan III

- hiperemesis gravidarum sebagian besar akibat dosis tinggi obat anti

epilepsi

- herpes maternal ditemukan 6 kali lebih sering

- preeklampsia

- trauma fisik

- menurunnya kemampuan neuropsikologik

- kemungkinan untuk seksio sesaria

- kematian ibu hamil sewaktu serangan kejang sangat jarang sekali (di

Inggris hanya sekitar 1 per tahun) dan penyebab kematian karena asfiksia pada

saat serangan.

I. PENGARUH OBAT ANTI EPILEPTIK (OAE)

a. Terhadap kehamilan

Dalam membandingkan efek samping (kematian dan anomali) ketiga

obat anti epilepsi maka yang paling kurang efek sampingnya berturut-turut

adalah phenobarbital, phenytoin dan karbamazepin.

24
Beberapa tindakan obastetik yang perlu dipertimbangkan akibat

pengaruh obat anti epilepsi pada kehamilan yaitu amniosintesis (trimester

II dan III) dan induksi partus. Keadaan ini disebabkan oleh partus lama,

perdarahan dan kelelahan uterus dan fisik akibat obat anti epilepsi,

sehingga akhirnya dilakukan seksio sesaria. Sebenarnya epilepsi sendiri

bukanlah suatu indikasi untuk operasi, karena kejang tonik klonik hanya

terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil penyandang epilepsi sehingga

Hilesma membuat daftar indikasi seksio sesaria yaitu :

Seksio sesaria elektif


Dasar neurologik atau defek mental
Kurang kerja sama wanita penyandang epilepsi selama partus
Kejang yang sukar diatasi pada trimester III
Kejang parsial kompleks yang timbul tiap hari
Kejang tonik klonik yang timbul tiap minggu
Ada riwayat kejang hebat setelah stress fisik mental
Seksio darurat
Kejang tonik klonik selama partus
Adanya asfiksia janin
Tidak adanya kerja sama maternal
b. Terhadap neonatus

Ada dua kelompok malformasi kongenital yang dikenal yaitu :

- malformasi mayor 2%-3% (yang paling sering adalah celah orofacial,

anomali jantung dan defek pada neural tube)


- malformasi minor 15% (yang paling sering adalah hipertelorism,

lipatan epikantal, shallow philt, hipoplasia jari digital dan lipatan

25
simian). Hanya saja dikatakan defek neural tube (terutama spina bifida

lumbosakral) yang diakibatkan asam valproat (1%-2%) lebih banyak

dari pada karbamazepin (0,5%).39 Oleh karena itu ada yang

menyarankan agar dosis yang digunakan diturunkan pada wanita

hamil penyandang epilepsi.

Obat Dosis Masa rentan, Jenis anomali yang mungkin timbul

Post konsepsi

Carbamazepin Terapeutik, Organogenesis Facial dysmorphism, sama seperti

Kronik yang terlihat pada pemakaian


( 18 60 hari )
Oxazolidine2,4 diones, spina bifida,

hipoplasi falang distal,keterlambatan

pertumbuhan dan perkembangan

Phenytoin / Terapeutik, Organogenesis Sindroma fetal hidantoin, hipoplasi

Kronik kuku dan phalang distal, okular


Fosphenytoin ( 18 60 hari )
hipertelorisme, batang hidung rata,

celah bibir/palatum, cacat jantung

kongenital,mikrosefali, perkembangan

lambat

Asam Terapeutik, Organogenesis Brachisefali dengan dahi yang tinggi,

valproat Kronik
( 18 60 hari ) shallow orbits,okular hipertelorisme,

26
hidung dan mulut kecil, telinga letak

rendah, jari dan jempol dempet, kuku

jari hiper konvek, septo optik displasi,

celah bibir/palatum, kelainan anggota

gerak bawah, keterlambatan tumbuh

kembang,mikrosefali, spina bifida,

anomali traktus UG dan repirastorius,

kraniosinotosis, autisme.

Phenobarbital Terapeutik, Organogenesis Celah wajah, kelainan jantung

Kronik kongenital, fasial dismorfisme dan


( 18 60 hari )
hipoplasi kuku seperti yang terlihat

pada penggunaan Oxazolidine2,4

diones, neonatus withdrawal, ketidak

mampuan belajar, retardasi mental

Clonazepam Terapeutik, Organogenesis Anomali kongenital dilaporkan pada

Kronik 13% bayi dari ibu yangmengkonsumsi


( 18 60 hari )

clonazepam kom binasi dgn OAE lain.

Tidak ada pola anomali yang tetap.

Pada satu penelitian, ditemukan

kraniofasial atau digital embriopati

27
antikonvul san pada bayi dari ibu yang

menkonsumsi clonazepam kombinasi

dengan primidone

Primodon Terapeutik, Organogenesis Hirsute forehead, thick nasal root,

Kronik fasial dismorfisme dan hipoplasi kuku


( 18 60 hari )
sama seperti pada pemakaian

Oxazolidine2,4 diones,cacat jantung

kongenital, perkembangan lambat

Oxazolidine Terapeutik, Organogenesis Pertumbuhan lambat, mikrosefali,

Kronik celah bibir / palatum,


2,4 diones (tri ( 18 60 hari )

BAB III

KESIMPULAN

Sebagian besar perempuan dengan epilepsi saat ini dapat memiliki dan

membesarkan anak yang normal dan sehat, tetapi kehamilan mereka memiliki

peningkatan risiko untuk komplikasi. Kehamilan dapat menyebabkan peningkatan

frekuensi bangkitan pada beberapa perempuan dengan epilepsi. Bangkitan epilepsi

maternal dan paparan obat antiepilepsi in utero dapat meningkatkan risiko

terjadinya outcome yang merugikan pada anak yang dilahirkan dari ibu dengan

epilepsi. Outcome ini termasuk fetal loss dan kematian perinatal, malformasi dan

anomali kongenital, perdarahan neonatal, berat badan lahir rendah, keterlambatan

perkembangan, dan epilepsi masa kanak-kanak.

28
Penatalaksanaan epilepsi pada kehamilan meliputi pentalaksanaan

konsultasi dan edukasi prakonsepsi, pemilihan OAE sebelum dan selama

kehamilan, ANC dan pemberian suplemen Folat dan Vit K, persalinan dan post

partum (menyusui).

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan

Dokter Spesialis Saraf Indoesia (PERDOSSI). Ed.V, Surabaya: Airlangga

University Press, 2014; 11-14;48-50

2. Gedzelman E, Meador KJ. Antiepileptic Drugs in Woman With Epilepsy

During Pregnancy. Ther Adv Drug Saf.2012; 3(2) 71-87

3. Ahmed R, Apen K, Endean C. Epilepsy in Pregnancy. Australian Family

Physician. March 2014.Vol 43, No3.

29
4. Dewanto G, suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis

dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas

Kedokteran Unika Atma Jaya. Jakarta : EGC, 2009; 88-89.

5. Manakova E, Hubickova L. Epilepsy and Anticonvulsant Therapy during

pregnency. Charles University in Praggue. 2011.

30

Anda mungkin juga menyukai