1.1. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Usia : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Ruangan :
No RM :
1.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri perut sejak sepuluh hari yang lalu
Riwayat Kebiasaan
Tidak terdapat kebiasaan merokok, minum alkohol, minum kopi ataupun teh.
Riwayat Keluarga
Kelainan perdarahan, hipertensi, diabetes melitus, serangan jantung, dan
penyakit berat lainnya disangkal. Riwayat keluarga yang pernah mengalami
komplikasi selama operasi disangkal.
Riwayat Operasi
Operasi Appedectomy tahun 1991 karena Appendisitis, namun pasien
lupa cara anestesinya
Operasi Laparotomi tahun 1998 karena adanya perlengketan di dalam
rongga abdomen, pasien juga lupa bagaimana cara anestesinya
Antropometri
Berat Badan : 40 kg
Tinggi Badan : 156 cm
Hematokrit 26 % 4052
Kimia Klinik
Faal Hati
Faal Ginjal
Elektrolit
pH 7.475 7.3707.450
Imunoserologi
Rontgen Thorax PA
Tanggal 23/01/17
Cor tidak membesar
Pulmo tampak fibro infiltrat di suprahiler, paracardial kanan dan suprahiler
kiri dengan kalsifikasi. Hilus kiri tampak tertarik ke atas
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Trachea di tengah
Kesan : Peradangan paru dapat merupakan proses spesifik
Jenis Anestesi
Anestesi Umum
Induksi
Induksi dilakukan dengan pemberian Propofol 100 mg dengan
menggunakan analgetik narkotik jenis Fentanyl 0.1 mg IV
Propofol
Dosis Induksi 12.5 mg/kg
12.5 mg x 39 kg = 40100 mg
Fentanyl
Dosis sebagai Analgetik Intraoperatif 250 mcg/kg
250 mcg x 40 kg = 802000 mcg
Maintenance
Untuk mempertahankan anestesi digunakan gas N2O 2 L/menit, O2 1
L/menit, Sevofluran 3 vol %
Diberikan antiemetika Ondansetron 4 mg
Operasi berlangsung selama 2 jam 5 menit
Monitoring
Tanda-tanda vital
SpO2 setiap 5 menit, kedalaman anestesi, dan perdarahan
Maintenance
Estimasi lama operasi 2 jam
2 cc/kgBB/jam x 40 = 80 cc/jam
Dikalikan 2 jam 160 cc
1.1.1. Anamnesis
Asesmen pra anestesi dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting untuk mengetahui
apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-
muntah nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah. 1,2 Pada pasien ini
hanya ada dua hal yang perlu menjadi perhatian riwayat TB paru dan riwayat
Asma.
Prosedur pembedahan toraks dan abdomen bagian atas memiliki efek yang besar
terhadap fungsi pulmonal. Operasi di daerah dekat diafragma dapat menyebabkan
disfungsi diafragma dan defek ventilasi restriktif . Pembedahan di abdomen bagian atas
secara konsisten menurunkan FRC (60-70%); Efek ini terjadi terutama pada hari
pertama pasca operasi dan biasanya berlangsung 7-10 hari. Insisi vertikal menyebabkan
ganggguan yang lebih berat daripada insisi horizontal. Pernafasan yang cepat dan dalam
dengan batuk yang tidak efektif disebabkan oleh nyeri (splinting), penurunan
kemampuan untuk nafas panjang dan gangguan klirens mukosiliari menyebabkan
mikroatelektasis dan hilangnya volume paru.
Efek sisa anestetik, posisi telentang, sedasi opioid, distensi abdomen dan kain
penutup daerah operasi yang terlalu ketat dapat juga menyebabkan hal tersebut.
Hilangnya rasa nyeri yang komplit pada anestesi regional dapat mengurangi hipoksemia
namun tidak dapat mengembalikan abnormalitas tersebut sepenuhnya. Mikroatelektasis
persisten dan retensi sekresi dapat menyebebkan timbulnya pneumonia pasca operasi.
Walaupun disebutkan berbagai efek samping yang terjadi pada fungsi pulmonal
akibat pemberian anestesi umum, keunggulan anestesi regional dibandingkan anestesi
umum pada pasien dengan gangguan fungsi paru masih belum diketahui.
Tatalaksana Preoperatif
Titik berat dalam mengevaluasi pasien asma harus ditekankan pada
penentuan saat terakhir serangan dari penyakit ini (tinjauan peak flow diary jika
tersedia) dan apakah pasien dirawat di rumah sakit karena suatu serangan asma
akut dan menjamin bahwa pasien sedang dalam kondisi yang optimal. Perbedaan
antara tindakan anestesi pada pasien asma yang dalam waktu dekat dirawat di
rumah sakit atau dengan mengi yang jelas terdengar dengan pasien asma tanpa
riwayat perawatan di rumah sakit atau temuan pada pemeriksaan fisik diagnostik
berpotensi untuk mencetuskan situasi yang mengancam jiwa sementara pada
keadaan yang kedua tidak demikian.
Riwayat klinis pasien sangat penting diketahui. Tidak adanya dispnea ,
mengi atau batuk yang minimal berarti pasien dalam kondisi yang optimal.
Perbaikan yang tuntas dari suatu serangan asma yang terakhir harus dipastikan
dengan auskultasi dada. Pasien dengan bronkospasme yang frekuen atau kronik
harus mendapatkan terapi bronkodilator yang optimal termasuk agonis
adrenergik 2, glukokortikoid harus dipertimbangkan. Tes fungsi paru khusunya
pengukuran laju nafas ekspirasi seperti FEV1, FEV1/FVC, laju aliran ekspirasi
puncak (PEFR) harus digunakan untuk memastikan temuan klinis. Perbandingan
dengan hasil pengukuran sebelumnya tidak begitu berguna. Nilai FEV1 secara
normal lebih dari 3L pada laki-laki dan 2 L pada wanita. FEV1/FVC secara
normal harus melebihi 70%. Nilai normal PEFR 200 L/m (biasanya > 500 L/m
pada laki-laki dewasa muda) FEV1, FEV1/FVC atau PEFR kurang dari 50%
merupalkan indikasi asma sedang sampai berat. Pemeriksaan foto toraks sangat
berguna untuk menentukan adanya air-trapping. Adanya hiperinflasi diketahui
dari diafragma yang mendatar , jantung yang terlihat mengecil dan lapangan paru
yang hiperlusen.
Pasien asma dengan bronkospasme aktif yang perlu dilakukan pembedahan
emergensi harus menjalani terapi intensif bila memungkinkan. Oksigen
suplemen, aerosol agonis 2 dan glukokortikoid intravena dapat meningkatkan
fungsi paru dalam beberapa jam. Analisis gas darah arterial mungkin berguna
pada kasus yang berat. Hipoksemia dan hipokapnia tipikal pada asma sedang dan
berat bahkan hiperkapnia ringan merupakan indikasi adanya udara yang
terperangkap dan merupakan tanda adanya ancaman gagal nafas. FEV1 di bawah
40% dari nilai normal dapat memprediksi adanya gagal nafas.
Sedasi preoperatif sangat dibutuhkan pada pasien yang akan menjalani
pembedahan elektif terutama pada pasien dengan asma yang dicetuskan oleh
faktor emosional. Secara umum benzodiazepin adalah obat yang paling
memuaskan untuk premedikasi. Obat antikolinergik tidak biasa diberikan kecuali
bila terdapat sekret yang berlebihan atau jika menggunakan ketamin untuk
induksi anestesi. Pada dosis intramuskular, antikolinergik tidak efektif mencegah
refleks bronkospasme setelah intubasi. Penggunaan obat penghambat H 2 (seperti
simetidin atau ranitidin) secara teoretis merugikan karena aktivasi reseptor H 2
secara normal menyebabkan bronkodilatasi. Pada saat terjadi pelepasan histamin
aktivasi H1 yang tidak dihambat dan penghambatan H 2 dapat memperberat
bronkokonstriksi.
Bronkodilator harus diteruskan sampai saat pembedahan agar efektivitasnya
tercapai yaitu agonis , glukokortikoid inhalasi, penghambat leukotrien, kromon,
teofilin dan antikolinergik. Pasien yang mendapat terapi glukokortikoid jangka
panjang harus diberikan dosis suplemen untuk menghindari supresi adrenal.
Hidrokortison (50-100 mg preoperatif dan 100 mg tiap 8 jam selama 1 sampai 3
hari pasca operasi tergantung derajat stres operasi) yang paling sering digunakan.
Tatalaksana Intraoperatif
Saat yang paling kritis pada pasien asma yang diberikan tindakan anestesi
adalah selama instrumentasi jalan nafas. Anestesi umum menggunakan mask atau
anestesi regional dapat mengatasi hal ini namun tidak sepenuhnya
menghilangkan kemungkinan timbulnya bronkospasme. Beberapa klinisi
mempercayai bahwa spinal tinggi atau anestesi epidural dapat mencetuskan
bronkokonstriksi dengan menghambat tonus simpatis pada jalan nafas bagian
bawah (T1-T4) dan memungkinkan aktivitas parasimpatis yang tak terhambat.
Nyeri, stres emosional atau stimulasi pada anestesi umum yang dangkal dapat
mencetuskan bronkospasme. Obat-obat sering berhubungan dengan pelepasan
histamin (contoh kurare, atrakurium, mivakurium, morfin, meperidin) harus
dihindari atau diberikan secara perlahan . Tujuan dari anestesi umum adalah
induksi yang lancar dan emergence (bangun dengan mudah) dengan kedalaman
anestesi yang disesuaikan dengan stimulasi.
Jenis obat induksi yang dipilih tidak terlalu penting, namun pencapaian
anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan. Tiopental
paling sering digunakan pada dewasa namun kadang-kadang dapat menyebabkan
bronkospasme karena peningkatan pelepasan histamin. Propofol dan etomidat
adalah alternatif yang sesuai dan disukai oleh banyak klinisi. Ketamin adalah
satu-satunya obat intravena dengan sifat bronkodilatasi adalah pilihan yang tepat
untuk pasien-pasien asma yang secara hemodinamik tidak stabil. Ketamin tidak
boleh digunakan pada pasien yang mendapat teofilin dosis tinggi dimana
kombinasi kedua obat tersebut dapat mencetuskan kejang. Halotan biasanya
menghasilkan induksi inhalasi yang paling baik dengan bronkodilatasi pada
anak-anak penderita asma. Isofluran dan desfluran menghasilkan bronkodilatasi
yang sama namun harus dinaikkan secara perlahan karena bisa memperkuat efek
iritasi ringan dari obat-obat tersebut pada jalan nafas.
Refleks bronkospasme dapat dihilangkan sebelum intubasi dengan
penambahan dosis tiopental (1-2 mg/kg) memberikan ventilasi dengan zat
volatil, 2-3 konsentrasi minimal alveolar (MAC) selama 5 menit atau
memberikan lidokain (1-2 mg/kg) intravena atau intratrakeal. Perlu diperhatikan
bahwa lidokain sendiri juga dapat mencetuskan bronkospasme bila dosis
tiopental yang digunakan untuk induksi tidak adekuat. Antikolinergik dosis besar
(atropin 2 mg atau glikopirolat 1 mg dapat menghambat refleks bronkospasme
namun dapat menyebabkan takikardi yang hebat. Walaupun suksinilkolin pada
saat tertentu dapat menyebabkan pelepasan histamine namun secara umum,aman
digunakan pada sebagian besar penderita asma. Bila kapnograf tidak tersedia
untuk memastikan intubasi endotrakeal yang benar dilakukan dengan auskultasi
dada, tetapi hal ini bias menjadi sukar dilakukan bila terjadi bronkospasme.
Anestesi volatile paling sering digunakan untuk rumatan anestesi untuk
mendapatkan efek bronkodilatasi yang cukup poten. Halotan dapat
mensensitisasi jantung terhadap aminofilin dan agonis adrenergik yang
diberikan selama anestesi. Karena alasan tersebut, bersamaan dengan
pertimbangan bahwa halotan bersifat hepatotoksik maka penggunaannya
dihindari pada pasien dewasa. Ventilasi harus dikontrol dengan gas hangat yang
dilembabkan jika memungkinkan. Obstruksi aliran udara selama ekspirasi
tampak pada peningkatan nilai end-tidal CO2 yang tertunda. Beratnya obstruksi
berbanding terbalik dengan laju peningkatan end-tidal CO2. Bronkospasme berat
dimanifestasikan dengan peningkatan tekanan inspirasi puncak dan ekshalasi
inkomplit. Di masa lalu volume tidal 10-12 mL/kg dengan frekuensi ventilasi 8-
10 kali/menit dinilai cukup baik. Namun akhir-akhir ini volume tidal dikurangi
( 10 mL/kg) dengan pemanjangan waktu ekspirasi dapat memungkinkan
distribusialiran udara yang sama di kedua paru dan dapat mencegah udara
terperangksp (air-trapping) PaCO2 dapat meningkat dimana hal ini masih
diperbolehkan bila tidak ada kontraindikasi terhadap kardiovaskular dan
neurologik.
Bronkospasme intraoperatif biasanya ditunjukkan dengan adanya mengi,
peningkatan tekanan inflasi puncak (peak inflation pressures) (tekanan plato
tidak berubah, penurunan volume tidal ekhalasi, atau peningkatan yang lambat
dari gelombang kapnograf. Hal ini harus diatasi dengan meningkatkan
konsentrasi zat volatile (memperdalam anestetik). Jika mengi tidak membaik
setelah anastesi didalamkan, penyebab lain harus dipertimbangkan sebelum
memberikan terapi lainnya. Obstruksi tube endotrakeal karena kinking, sekesi
ataupun balon ETT yang terlalu dikembangkan, intubasi endobronkial, usaha
ekspirasi aktif (straining) karena anstesi yang dangkal,edema atau emboli
pulmonal dan pneumotoraks dapat mencetuskan bronkospame
Bronkospasme harus diatasi dengan pemberian agonis adrenergic secara
aerosol atau inhaler metered- dose ke dalam lengan inspirasi (inspiratory
limb)dari sirkuit pernafasan. (Gas pembawa yang digunakan pada inhaler
metered-dose dapat mengganggu pembacaan mass spectrometer). Hidrokortison
intravena (1,5-2 mg/kg) dapat diberikan terutama pada pasien dengan riwayat
terapi glukokortikoid.
Pada akhir pembedahan pasien harus benar-benar terbebas dari mengi.
Reversi dari pelumpuh otot non depolarisasi dengan obat antikolinesterase tidak
mempresipitasi bronkokonstriksi jika didahului dengan pemberian zat
antikolinergik (lihat bab 10). Ekstubasi dalam (sebelum refleks jalan nafas
kembali) dapat mencegah bronkospasme pada saat pasien bangun (emergence).
Lidokain bolus (1,5-2 mg/kl) atau infuse kontinyu (1-2 mg/menit) dapat
menumpulkan refleks jalan nafas selama proses bangun.
1.5.3. Tuberkulosis Paru
Peningkatan tuberkulosis (TB) dan peningkatan resistensi terhadap
antibiotik mendapat perhatian besar dalam kesehatan masyarakat. Tuberkulosis
menyebar melalui inhalasi droplet nuclei; aerosol partikel kering, sisa-sisa yang
ada diudara. Konsultasikan dengan spesialis penyakit infeksi untuk membantu
diagnosa, pengobatan dan waktu operasi.
Tuberkulosis adalah penyakit paru primer. Diperlukan data tentang
diagnosa, riwayat pengobatan dan gejala pada paru-paru, serta keterlibatan
ekstrapulmonal (limfatik, CNS, ginjal dan sumsum tulang). Tuberkulosis yang
dini biasanya asimptomatik atau timbul dengan gejala yang tidak spesifik
(anoreksia, fatigue, kehilangan beratbadan, berkeringat pada malam hari).
Selanjutnya dapat terjadi batuk yang produktif, hemoptisis dan nyeri pada dada.
Takipnu, ronkhi, dan melemahnya bunyi pernafasan bisa terjadi. Jika
ekstrapulmonal terlibat maka gejala yang paling sering terlihat adalah
limfadenopati. Penemuan pada foto toraks tergantung pada tingkat dan kronisitas
penyakit Jika foto thorax abnormal maka dilihat foto sebelumnya. Pada TB
primer terlihat infiltrat di lobus atas atau seperti infiltrat halus yang multiple.
Limfadenopatui hilar atau efusi pleura bisa terjadi. Pada TB kronik, bisa terdapat
bintik atau nodul pada apikal dan subapikal.
Dahulu, pengobatan TB dimana terdapat granuloma adalah dengan apical
scarring. Perhatikan adanya peningkatan leukosit dan anemia normositik
normokrom. Pada TB pulmonal dapat terjadi hiponatremia dan meningitis TB
disebabkan oleh syndrome of inappropriate secretion on antidiuretic hormone
(SIADH).
Hilangkan infeksi TB yang aktif sebelum pembedahan yang tidak
mendesak. Observasi penyebab TB jika ada dugaan adanya TB aktif. Jika foto
thorax normal atau ada sedikit perubahan pada pasien yang asimptomatik, tidak
ada tes yang direkomendasikan. Jika pada foto thorax diduga adanya TB aktif
atau secara klinik diduga kuat pengobatan tidak adekuat, ambil tiga contoh
sputum untuk smear basil tahan asam (BTA) dan kultur TB. Satu smear positif
membantu diagnosa. Apabila BTA negatif, tindakan pencegahan dan
pembedahan tergantung pada tingkatan penyakit dan kecurigaan TB yang tidak
diobati. Jika BTA negatif, TB aktif tidak dapat disingkirkan (pasien dengan
resiko tinggi atau pasien yang memberikan gejala) dan dilakukan pengobatan
serta penundaan tindakan pembedahan. PPD yang positif (tes penyaringan yang
baik tetapi tidak pasti) dapat dicurigai adanya TB, tetapi PPD negatif (walaupun
dengan kontrol) tidak dapat menyingkirkan adanya TB; Foto thorax dan analisa
sputum lebih dipercaya. Pada pasien dengan HIV positif cenderung mendapatkan
penyakit paru aktif dan melibatkan ekstrapulmonal. Pada pasien-pasien tersebut,
tes PPD positif dengan ukuran 5 mm. Pada pasien dengan HIV positif yang
berat, foto thorax bisa negatif untuk beberapa hari saat pasien terinfeksi dengan
TB. Sebagai tambahan, BTA positif dihasilkan oleh beberapa mycobacteria;
namun tetap diobati sebagai TB sampai hasil kultur didapatkan.
Pasien dengan HIV positif dan diduga TB adalah penduduk atau imigran
dari daerah dengan prevalensi tinggi, pasien dengan riwayat penyalahgunaan
obat, kontak TB, tunawisma, malnutrisi. Pikirkan diagnosa TB jika terjadi
pneumonia pada pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang tidak respon
terhadap antibiotik atau adanya kontak pada kasus yang aktif.
Observasi pernafasan sebagai pencegahan termasuk pasien yang
diintubasi. Ruang khusus dengan tekanan ventilasi negatif dan 6-10 kali/jam
perubahan udara, pencegahan gejala pada saluran nafas yang membahayakan dan
masker atau alat bantu nafas untuk setiap orang yang masuk dalam ruangan. Tipe
masker berguna untuk kesehatan kerja (HCW) dan alat bantu pernafasan yang
diakui oleh NIOSH : fitted air-filtering mask, powered air purifying respirators
(PAPR), atau respirator tekanan positif dengan tambahan udara. Selama
pemindahan pasien ketempat lain, gunakan masker pada pasien. Jika pasien
diintubasi dan dilakukan ventilasi, gunakan masker selama pemindahan pasien.
Jika pasien dengan BTA positif, dilakukan penundaan untuk pembedahan
elektif dan tindak pengobatan selama 2 minggu dan tiga kali sputum negatif. Jika
pasien BTA negatif tetapi kultur positif atau pasien dengan resiko tinggi, pasien
dengan gejala TB, tindak pengobatan dilanjutkan minimal satu minggu sampai
terjadi perubahan pada kondisi pasien. Kasus yang gawat memerlukan keputusan
klinik, pengobatan yang memungkinkan selama sebelum pembedahan, dan
tindak pencegahan di ruangan operasi.
Tuberkulosis diobati dengan kombinasi obat selama 6 bulan sampai 1
tahun atau lebih. Masalah yang besar adalah terjadinya resistensi, dan terapi obat
harus dilakukan secara hati-hati dan disesuaikan dengan sensitivitas. Respon
terhadap terapi ditandai dengan berkurangnya bakteri, sputum dengan BTA
negatif dan perubahan secara klinik. Pasien diperkirakan masih infeksius selama
2-3 minggu setelah pengobatan.
Ventilasi yang adekuat diruang operasi sangat penting. Dapat digunakan
ventilator dengan tekanan negatif. Peralatan anestesi : gunakan alat-alat sekali
pakai. Letakkan penyaring bakteri pada lubang pernafasan atau dengan
menggunakan tube endotrakheal (ET) untuk mencegah kontaminasi. Atur tube
ET dan kateter suction dengan cermat. Bersihkan mesin dan peralatan anestesi
menggunakan larutan tuberkulosidal dan sterilkan jika memungkinkan. Ahli
anestesi dan yang lainnya : menggunakan masker seperti biasanya, lindungi
daerah steril. Sebagai tambahan perhatikan dan gunakan alat pelindung
pernafasan untuk mencegah infeksi dari droplet. Satu masker dapat disiapkan .
Respirator dengan katup ekshalasi, PAPR, respirator tekanan positif tidak
melindungi daerah yang steril. Pembedahan dan prosedurnya : terdapat resiko
tinggi terhadap kontaminasi selama dilakukan tindakan dimana cairan tubuh
yang terinfeksi keluar (trakheostomi, thorakotomi, bipso paru terbuka,
bronkoskopi, kauterisasi jaringan yang terinfeksi) dan selama perawatan tube ET.
Hindari atau minimalkan tindakan suction pada ET. Pemulihan : PACU harus
tersendiri dan terdapat standar pencegahan TB. Jika tidak, pemulihan pasien
dilakukan diruang operasi atau ICU. Tenaga kesehatan harus menggunakan
pelindung pernafasan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kelima. 2010; pp 2953.
2. Soenarto RF, Susilo C. Buku Ajar Anestesiologi. Edisi Pertama. Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FKUI. 2012; pp 291303.
3. Harijanto, Eddy. Panduan tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Perhimpunan
Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia. 2009; pp 322341.
4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology. Fifth Edition. McGraw-Hill. 2013; 881884.