Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

STATUS MEDIS PASIEN

1.1. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Usia : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Ruangan :
No RM :

1.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri perut sejak sepuluh hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien seorang perempuan berusia 38 tahun datang dengan keluhan nyeri di
perut bagian bawah yang dirasakan sejak sepuluh hari yang lalu, namun dalam
satu minggu terakhir pasien mengatakan bahwa perut semakin membesar, tidak
terdapat gangguan buang air besar, maupun buang air kecil. Demam disangkal.

Riwayat Kebiasaan
Tidak terdapat kebiasaan merokok, minum alkohol, minum kopi ataupun teh.

Riwayat Obat-Obatan yang dipakai


Pasien sedang mengonsumsi obat-obat antituberkulosis dalam 5 bulan terakhir
berupa rifampicin, isoniazid, serta vitamin B6. Riwayat konsumsi aspirin atau
obat-obatan pengencer darah lainnya disangkal. Konsumsi obat-obat
kortikosteroid juga disangkal.
Riwayat Alergi
Alergi terhadap obat, makanan, lateks, plester, dan debu disangkal.

Riwayat Penyakit Pasien


Pasien pernah menderita TB paru dalam pengobatan bulan kelima. Terdapat
riwayat asma (+). Gangguan perdarahan, diabetes, mengorok saat tidur, sering
pingsan, penyakit jantung, hepatitis, hipertensi, dan penyakit berat lainnya
disangkal.

Riwayat Keluarga
Kelainan perdarahan, hipertensi, diabetes melitus, serangan jantung, dan
penyakit berat lainnya disangkal. Riwayat keluarga yang pernah mengalami
komplikasi selama operasi disangkal.

Riwayat Operasi
Operasi Appedectomy tahun 1991 karena Appendisitis, namun pasien
lupa cara anestesinya
Operasi Laparotomi tahun 1998 karena adanya perlengketan di dalam
rongga abdomen, pasien juga lupa bagaimana cara anestesinya

Riwayat Hal-Hal yang Digunakan Pasien


Adanya gigi palsu atau gigi goyang disangkal.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


Tanda-Tanda Vital
Keadaan Umum : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 36 C

Antropometri
Berat Badan : 40 kg
Tinggi Badan : 156 cm

Status Generalis Internus


Kepala : Normocephal
Mata : Mata Cekung (-/-), Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-).
Telinga : Normotia
Hidung : NCH (-/-), Deviasi Septum (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab, mallampati derajat 1
Leher : Tidak ada kelainan
Thorax : Simetris, tidak ada retraksi, palpasi focal fremitus tidak dapat
dinilai, perkusi sonor (ka=ki), auskultasi vesikuler (+/+)
ronchi basah halus (+/+), BJ I dan II normal, murmur (-),
gallop (-).
Abdomen : Tidak terdistensi, auskultasi BU (+) normal, perkusi
timpani di seluruh lapang abdomen, palpasi NT (+) di
abdomen bagian bawah
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), clubbing finger (-)

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Darah Rutin
Tanggal 23/01/17
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hemoglobin 9.3 g/dL 12.816.8

Jumlah Leukosit 4.40 103/L 4.5013.00

Hematokrit 26 % 4052

Jumlah Trombosit 304 103/L 156408

Eritrosit 3.76 106/L 4.405.90

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Kimia Klinik

Faal Hati

Protein total 8.5 g/dL 6.08.0

Globulin 5.10 g/dL 1.32.7

Albumin 3.4 g/dL 4.05.2

Faal Ginjal

Ureum Darah 51 mg/dL 1050

Kreatinin Darah 1.1 mg/dL < 1.4

Elektrolit

Natrium (Na) 148 mEq/L 135147


Darah

Kalium (K) Darah 4.2 mEq/L 3.55.0

Klorida (Cl) 107 mEq/L 94111


Darah

Analisa Gas Darah


Temperatur 37.0

pH 7.475 7.3707.450

pCO2 37.0 mmHg 3344

pO2 190.9 mmHg 71104

Saturasi O2 99.90 % 94.0098.00

HCO3 27.5 mmol/L 2128

Base Excess (ecf) 3.7 mmol/L -2.00+3.00

Base Excess (B) 4.4 mmol/L -2.4+2.3

Total CO2 28.6 mmol/L 23.0027.00

Imunoserologi

HBsAg kualitatif Negatif - Negatif

Rontgen Thorax PA
Tanggal 23/01/17
Cor tidak membesar
Pulmo tampak fibro infiltrat di suprahiler, paracardial kanan dan suprahiler
kiri dengan kalsifikasi. Hilus kiri tampak tertarik ke atas
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Trachea di tengah
Kesan : Peradangan paru dapat merupakan proses spesifik

1.5. ASESMEN PRA INDUKSI


Diagnosis Pra Bedah
Kista ovarium kanan dengan perlengketan

Klasifikasi Status Fisik


ASA 3
1.6. Rencana Tindakan Pembedahan
Laparotomi Eksplorasi

1.7. Tatalaksana Anestesi


Persiapan Anestesi
Dilakukan asesmen pre anestesi kepada pasien
Dilakukan pemeriksaan kembali identitas pasien, persetujuan
operasi, lembaran konsultasi anestesi, obat-obatan dan alat-alat uang
diperlukan
Jalur intravena dan pipa nasogastrik sudah terpasang dari ruangan
Mengganti pakaian pasien dengan pakaian operasi
Pasien dibaringkan di meja operasi dengan posisi telentang
Manset tekanan darah terpasang di tangan kiri, pulse oxymeter
terpasang di digiti IV manus sinistra, elektroda EKG terpasang.

Jenis Anestesi
Anestesi Umum

Induksi
Induksi dilakukan dengan pemberian Propofol 100 mg dengan
menggunakan analgetik narkotik jenis Fentanyl 0.1 mg IV

Propofol
Dosis Induksi 12.5 mg/kg
12.5 mg x 39 kg = 40100 mg

Fentanyl
Dosis sebagai Analgetik Intraoperatif 250 mcg/kg
250 mcg x 40 kg = 802000 mcg

Muscle relaxan Atracurium diberikan secara IV 30 mg


Atracurium
Dosis untuk intubasi 0.5 mg/kg
0.5 mg x 40 kg = 20 mg
Dosis maintenance per bolus 0.1 mg/kg
0.1 mg x 40 kg = 4 mg

Diberikan O2 sebanyak 2 L melalui sungkup selama 3 menit


Dilakukan pemasangan pipa orotrakeal dengan ETT No. 7.5, mulut
dibuka dengan cross finger dan laringoskop, ETT dimasukkan ke
dalam trakea, dinilai apakah posisi ETT sudah benar dengan
mendengarkan suara napas menggunakan stetoskop. Cuff
dikembangkan agar ETT terfiksasi. Intubasi berhasil dilakukan.
Dipasang OPA. ETT dan pipa difiksasi dan dihubungkan dengan
mesin anestesi.

Maintenance
Untuk mempertahankan anestesi digunakan gas N2O 2 L/menit, O2 1
L/menit, Sevofluran 3 vol %
Diberikan antiemetika Ondansetron 4 mg
Operasi berlangsung selama 2 jam 5 menit

Monitoring
Tanda-tanda vital
SpO2 setiap 5 menit, kedalaman anestesi, dan perdarahan

Keadaan Post Operasi dan Perawatan Pasca Anestesi di RR


Pasien dapat bernapas spontan, dilakukan penyedotan sekret jalan
napas melalui sisi mulut dan ETT
Ekstubasi dilakukan
Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
Observasi aktivitas motorik, pernapasan, dan kesadaran

Terapi Cairan Perioperatif


Pengganti Puasa
2 cc/kgBB/jam 2 cc x 40 kg = 80 cc/jam
80 cc x 6 jam = 480 cc
Jam pertama 50% dari 480 cc = 240 cc
Jam kedua 25% dari 480 cc = 120 cc
Jam ketiga 25% dari 480 cc = 120 cc

Maintenance
Estimasi lama operasi 2 jam
2 cc/kgBB/jam x 40 = 80 cc/jam
Dikalikan 2 jam 160 cc

Allowable Blood Loss


20% dari EBV
EBV perempuan dewasa 65 cc/kg
65 cc x 40 = 2600 cc perdarahan
Perdarahan selama operasi 650 cc
Kesan : tidak memerlukan transfusi darah

Kehilangan Cairan ke Kompartemen Ketiga


8 cc/kg untuk operasi besar
8 cc x 40 kg = 320 cc

Perhitungan Terapi Cairan Intraoperatif


Jam I : 240 cc + 80 cc = 320 cc
Jam II : 120 cc + 80 cc + 320 cc = 520 cc
Jam III : 120 cc + 80 cc = 200 cc
Total : 1040 cc cairan Ringer Laktat
BAB 2
ANALISIS KASUS

1.1. Asesmen dan Persiapan Pra Anestesi


Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang
sebab-sebab terjadinya kecelakaan anesthesia. Dokter spesialis anestesiologi
seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat menyiapkan
pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. Tujuan utama pra
anestesi adalah mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.1,2

1.1.1. Anamnesis
Asesmen pra anestesi dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting untuk mengetahui
apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-
muntah nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah. 1,2 Pada pasien ini
hanya ada dua hal yang perlu menjadi perhatian riwayat TB paru dan riwayat
Asma.

1.1.2. Pemeriksaan Fisik


Keadaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Pemeriksaan rutin lainnya secara sistematik tentang keadaan umum
tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
semua sistem organ tubuh pasien. 1,2
Pada pasien dalam laporan kasus ini pemeriksaan fisik lengkap telah
dilakukan sehingga ditemukan dalam batas normal kecuali suara napas terdengar
ronchi basah halus di kedua lapang paru, tidak terdapat wheezing. Kriteria
LEMON dan MOANS tidak terdapat risiko untuk intubasi dan Bag Mask
Ventilation (BMV) serta Mallampati derajat I.

1.1.2. Pemeriksaan Penunjang


Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Beberapa pemeriksaan penunjang yang
dianjurkan sebagai persiapan pre operasi adalah Hemoglobin, leukosit, masa
perdarahan, dan masa pembekuan dan urinalisis. 1,2
Seluruh anjuran pemeriksaan pre operasi yang dianjurkan dilakukan
kecuali urinalisis dan dilakukan pula pemeriksaan Roentgen thoraks untuk
mengetahui apakah masih terdapat proses peradangan spesifik yang berasal dari
TB paru pada pasien.
Diperoleh pula beberapa informasi tambahan dari pasien adalah nilai
APTT yang rendah, SGOT yang tinggi, albumin rendah, dan elektrolit yang
cenderung menurun.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan maka status fisik pasien berada dalam kategori ASA
3.

1.1.3. Masukan Oral


Pada keadaan anestesi refleks laring mengalami penurunan selama
anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas
merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi
elektif dengan anesthesia harus dipantangkan dari masukan oral atau dipuasakan
selama periode tertentu. Pada pasien dewasa umumnya dipuasakan 68 jam,
anak kecil 46 jam, dan pada bayi 34 jam.1,2
Pasien dalam kasus sudah dipuasakan selama 6 jam untuk kepentingan
operasi.
1.1.4. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 12 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia. 1,2
Pada pasien dalam kasus tidak diberikan premedikasi.

1.2. Induksi dan Maintenance Anestesia


1.2.1. Induksi Anestesia
Induksi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Induksi
anesthesia dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau
rektal.1,2
Pasien pada skenario mendapatkan induksi inhalasi dengan menggunakan
Sevofluran 4 vol % dengan N2O : O2 = 1 : 0.5.

1.2.2. Rumatan Anestesia


Rumatan anesthesia dapat dikerjakan secara intravena atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 1050 g/kgBB. Bedah yang lama
dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan
ventilator. 1,2

1.3. Tatalaksana Jalan Napas


Pada pasien dengan anesthesia umum perlu dilakukan tatalaksana jalan napas
untuk menghindari obstruksi dan membantu ventilasi. Pada pasien dilakukan intubasi
dan pemasangan pipa orotrakeal dan pipa orofaring serta dihubungkan ke alat
ventilasi.1,2
1.4. Terapi Cairan Perioperatif
Pasien telah dipuasakan sesuai dengan anjuran yakni selama 6 jam. Oleh karena
itu perlu dipertimbangkan untuk penggantian cairan yang hilang selama puasa,
selama operasi, dan setelah operasi.3
Sesuai dengan perhitungan, total cairan yang harus diberikan kepada pasien
adalah 670 cc cairan kristaloid dan tidak memerlukan pemberian produk darah.

1.5. Anestesia Pasien dengan Penyakit Traktus Respiratorius


Dampak dari penyakit paru yang diderita pasien selama periode anestesi dan pasca
operasi dapat diprediksi. Gangguan pulmonal preoperatif berat berhubungan dengan
perubahan fungsi respirasi intraoperatif dan komplikasi pulmonal pasca operasi yang tinggi.
Kegagalan untuk mengenali pasien-pasien dengan risiko tinggi adalah penyebab utama dari
timbulnya komplikasi tersebut.

1.5.1. Faktor Risiko Pulmonal


Disfungsi paru adalah komplikasi pasca operasi yang umum terjadi. Insidensi
atelektasis, pneumonia, emboli pulmonal dan gagal nafas setelah tindakan pembedahan
sangat beragam ( 6% sampai 60%) tergantung populasi pasien yang dikaji dan prosedur
pembedahan yang dilakukan.
Ada enam faktor risiko yang secara umum menyebabkan hal tersebut. Terlepas
dari daerah operasi dan lamanya waktu pembedahan, sebagian besar faktor-faktor
tersebut berhubungan dengan disfungsi pulmonal preoperatif. Dua prediktor yang paling
kuat dari timbulnya komplikasi ini adalah daerah operasi dan riwayat dispnea, yang
berhubungan dengan derajat penyakit paru yang telah ada sebelumnya. Faktor lainnya
adalah lama operasi.
Hubungan antara merokok dan penyakit paru telah lama diketahui, abnormalitas
pada Maximal Mid Expiration Flow (MMEF) biasanya tampak jelas sebelum gejala
PPOK muncul. Bahkan pada individu yang normal, pertambahan usia berhubungan
dengan prevalensi penyakit pulmonal dan peningkatan closing capacity. Obesitas
menurunkan kapasitas residual fungsional (FRC), meningkatkan work of breathing dan
merupakan predisposisi timbulnya trombosis vena dalam (DVT).

Tabel 2.1. Faktor Risiko Komplikasi Pulmonal Pascaoperasi

Faktor Risiko Komplikasi Pulmonal Pascaoperasi


Penyakit paru yang diderita sebelumnya
Pembedahan di toraks atau abdomen bagian atas
Merokok
Obesitas
Usia (>60 tahun)
Tindakan anestesi yang lama (> 3 jam)

Prosedur pembedahan toraks dan abdomen bagian atas memiliki efek yang besar
terhadap fungsi pulmonal. Operasi di daerah dekat diafragma dapat menyebabkan
disfungsi diafragma dan defek ventilasi restriktif . Pembedahan di abdomen bagian atas
secara konsisten menurunkan FRC (60-70%); Efek ini terjadi terutama pada hari
pertama pasca operasi dan biasanya berlangsung 7-10 hari. Insisi vertikal menyebabkan
ganggguan yang lebih berat daripada insisi horizontal. Pernafasan yang cepat dan dalam
dengan batuk yang tidak efektif disebabkan oleh nyeri (splinting), penurunan
kemampuan untuk nafas panjang dan gangguan klirens mukosiliari menyebabkan
mikroatelektasis dan hilangnya volume paru.
Efek sisa anestetik, posisi telentang, sedasi opioid, distensi abdomen dan kain
penutup daerah operasi yang terlalu ketat dapat juga menyebabkan hal tersebut.
Hilangnya rasa nyeri yang komplit pada anestesi regional dapat mengurangi hipoksemia
namun tidak dapat mengembalikan abnormalitas tersebut sepenuhnya. Mikroatelektasis
persisten dan retensi sekresi dapat menyebebkan timbulnya pneumonia pasca operasi.
Walaupun disebutkan berbagai efek samping yang terjadi pada fungsi pulmonal
akibat pemberian anestesi umum, keunggulan anestesi regional dibandingkan anestesi
umum pada pasien dengan gangguan fungsi paru masih belum diketahui.

1.5.2. Asma Bronkiale


Pertimbangan Perioperatif
Asma adalah gangguan yang umum ditemukan pada 5-7 % populasi.
Pokok permasalahan dari gannguan ini adalah inflamasi jalan nafas dan
hipereaktifitas respons terhadap berbagai stimuli. Manifestasi klinis dari
asma adalah serangan dispnea, batuk dan mengi yang episodik. Obstruksi
jalan nafas yang biasanya reversibel akibat konstriksi otot polos bronkus,
edema dan sekresi yang meningkat. Secara klasik obstruksi dipresipitasi
oleh berbagai substansi yang terdapat di udara (airborne) termasuk serbuk
tumbuhan, bulu binatang, debu, polutan dan berbagai zat kimia. Beberapa
pasien juga mengalami bronkospasme setelah meminum aspirin, obat anti
inflamasi non steroid, obat yang mengandung preparat sulfit atau tartrazin
dan zat pewarna lainnya. Olahraga, cetusan emosional dan infeksi virus
dapat mempresipitasi bronkospasme pada banyak pasien
Istilah asma ekstrinsik dan asma instrinsik digunakan di masa lalu
namun klasifikasi tersebut tidak sempurna, beberapa pasien menunjukkan
gambaran dari kedua bentuk asma tersebut. Di samping itu, tumpang
tindih istilah dengan bronkitis kronis juga terjadi. Saat ini asma
diklasifikasikan sebagai asma akut dan kronik. Asma kronik dibagi lagi
menjadi asma ringan, intermitten dan ringan, asma sedang serta asma
berat persisten.

Tatalaksana Preoperatif
Titik berat dalam mengevaluasi pasien asma harus ditekankan pada
penentuan saat terakhir serangan dari penyakit ini (tinjauan peak flow diary jika
tersedia) dan apakah pasien dirawat di rumah sakit karena suatu serangan asma
akut dan menjamin bahwa pasien sedang dalam kondisi yang optimal. Perbedaan
antara tindakan anestesi pada pasien asma yang dalam waktu dekat dirawat di
rumah sakit atau dengan mengi yang jelas terdengar dengan pasien asma tanpa
riwayat perawatan di rumah sakit atau temuan pada pemeriksaan fisik diagnostik
berpotensi untuk mencetuskan situasi yang mengancam jiwa sementara pada
keadaan yang kedua tidak demikian.
Riwayat klinis pasien sangat penting diketahui. Tidak adanya dispnea ,
mengi atau batuk yang minimal berarti pasien dalam kondisi yang optimal.
Perbaikan yang tuntas dari suatu serangan asma yang terakhir harus dipastikan
dengan auskultasi dada. Pasien dengan bronkospasme yang frekuen atau kronik
harus mendapatkan terapi bronkodilator yang optimal termasuk agonis
adrenergik 2, glukokortikoid harus dipertimbangkan. Tes fungsi paru khusunya
pengukuran laju nafas ekspirasi seperti FEV1, FEV1/FVC, laju aliran ekspirasi
puncak (PEFR) harus digunakan untuk memastikan temuan klinis. Perbandingan
dengan hasil pengukuran sebelumnya tidak begitu berguna. Nilai FEV1 secara
normal lebih dari 3L pada laki-laki dan 2 L pada wanita. FEV1/FVC secara
normal harus melebihi 70%. Nilai normal PEFR 200 L/m (biasanya > 500 L/m
pada laki-laki dewasa muda) FEV1, FEV1/FVC atau PEFR kurang dari 50%
merupalkan indikasi asma sedang sampai berat. Pemeriksaan foto toraks sangat
berguna untuk menentukan adanya air-trapping. Adanya hiperinflasi diketahui
dari diafragma yang mendatar , jantung yang terlihat mengecil dan lapangan paru
yang hiperlusen.
Pasien asma dengan bronkospasme aktif yang perlu dilakukan pembedahan
emergensi harus menjalani terapi intensif bila memungkinkan. Oksigen
suplemen, aerosol agonis 2 dan glukokortikoid intravena dapat meningkatkan
fungsi paru dalam beberapa jam. Analisis gas darah arterial mungkin berguna
pada kasus yang berat. Hipoksemia dan hipokapnia tipikal pada asma sedang dan
berat bahkan hiperkapnia ringan merupakan indikasi adanya udara yang
terperangkap dan merupakan tanda adanya ancaman gagal nafas. FEV1 di bawah
40% dari nilai normal dapat memprediksi adanya gagal nafas.
Sedasi preoperatif sangat dibutuhkan pada pasien yang akan menjalani
pembedahan elektif terutama pada pasien dengan asma yang dicetuskan oleh
faktor emosional. Secara umum benzodiazepin adalah obat yang paling
memuaskan untuk premedikasi. Obat antikolinergik tidak biasa diberikan kecuali
bila terdapat sekret yang berlebihan atau jika menggunakan ketamin untuk
induksi anestesi. Pada dosis intramuskular, antikolinergik tidak efektif mencegah
refleks bronkospasme setelah intubasi. Penggunaan obat penghambat H 2 (seperti
simetidin atau ranitidin) secara teoretis merugikan karena aktivasi reseptor H 2
secara normal menyebabkan bronkodilatasi. Pada saat terjadi pelepasan histamin
aktivasi H1 yang tidak dihambat dan penghambatan H 2 dapat memperberat
bronkokonstriksi.
Bronkodilator harus diteruskan sampai saat pembedahan agar efektivitasnya
tercapai yaitu agonis , glukokortikoid inhalasi, penghambat leukotrien, kromon,
teofilin dan antikolinergik. Pasien yang mendapat terapi glukokortikoid jangka
panjang harus diberikan dosis suplemen untuk menghindari supresi adrenal.
Hidrokortison (50-100 mg preoperatif dan 100 mg tiap 8 jam selama 1 sampai 3
hari pasca operasi tergantung derajat stres operasi) yang paling sering digunakan.
Tatalaksana Intraoperatif
Saat yang paling kritis pada pasien asma yang diberikan tindakan anestesi
adalah selama instrumentasi jalan nafas. Anestesi umum menggunakan mask atau
anestesi regional dapat mengatasi hal ini namun tidak sepenuhnya
menghilangkan kemungkinan timbulnya bronkospasme. Beberapa klinisi
mempercayai bahwa spinal tinggi atau anestesi epidural dapat mencetuskan
bronkokonstriksi dengan menghambat tonus simpatis pada jalan nafas bagian
bawah (T1-T4) dan memungkinkan aktivitas parasimpatis yang tak terhambat.
Nyeri, stres emosional atau stimulasi pada anestesi umum yang dangkal dapat
mencetuskan bronkospasme. Obat-obat sering berhubungan dengan pelepasan
histamin (contoh kurare, atrakurium, mivakurium, morfin, meperidin) harus
dihindari atau diberikan secara perlahan . Tujuan dari anestesi umum adalah
induksi yang lancar dan emergence (bangun dengan mudah) dengan kedalaman
anestesi yang disesuaikan dengan stimulasi.
Jenis obat induksi yang dipilih tidak terlalu penting, namun pencapaian
anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan. Tiopental
paling sering digunakan pada dewasa namun kadang-kadang dapat menyebabkan
bronkospasme karena peningkatan pelepasan histamin. Propofol dan etomidat
adalah alternatif yang sesuai dan disukai oleh banyak klinisi. Ketamin adalah
satu-satunya obat intravena dengan sifat bronkodilatasi adalah pilihan yang tepat
untuk pasien-pasien asma yang secara hemodinamik tidak stabil. Ketamin tidak
boleh digunakan pada pasien yang mendapat teofilin dosis tinggi dimana
kombinasi kedua obat tersebut dapat mencetuskan kejang. Halotan biasanya
menghasilkan induksi inhalasi yang paling baik dengan bronkodilatasi pada
anak-anak penderita asma. Isofluran dan desfluran menghasilkan bronkodilatasi
yang sama namun harus dinaikkan secara perlahan karena bisa memperkuat efek
iritasi ringan dari obat-obat tersebut pada jalan nafas.
Refleks bronkospasme dapat dihilangkan sebelum intubasi dengan
penambahan dosis tiopental (1-2 mg/kg) memberikan ventilasi dengan zat
volatil, 2-3 konsentrasi minimal alveolar (MAC) selama 5 menit atau
memberikan lidokain (1-2 mg/kg) intravena atau intratrakeal. Perlu diperhatikan
bahwa lidokain sendiri juga dapat mencetuskan bronkospasme bila dosis
tiopental yang digunakan untuk induksi tidak adekuat. Antikolinergik dosis besar
(atropin 2 mg atau glikopirolat 1 mg dapat menghambat refleks bronkospasme
namun dapat menyebabkan takikardi yang hebat. Walaupun suksinilkolin pada
saat tertentu dapat menyebabkan pelepasan histamine namun secara umum,aman
digunakan pada sebagian besar penderita asma. Bila kapnograf tidak tersedia
untuk memastikan intubasi endotrakeal yang benar dilakukan dengan auskultasi
dada, tetapi hal ini bias menjadi sukar dilakukan bila terjadi bronkospasme.
Anestesi volatile paling sering digunakan untuk rumatan anestesi untuk
mendapatkan efek bronkodilatasi yang cukup poten. Halotan dapat
mensensitisasi jantung terhadap aminofilin dan agonis adrenergik yang
diberikan selama anestesi. Karena alasan tersebut, bersamaan dengan
pertimbangan bahwa halotan bersifat hepatotoksik maka penggunaannya
dihindari pada pasien dewasa. Ventilasi harus dikontrol dengan gas hangat yang
dilembabkan jika memungkinkan. Obstruksi aliran udara selama ekspirasi
tampak pada peningkatan nilai end-tidal CO2 yang tertunda. Beratnya obstruksi
berbanding terbalik dengan laju peningkatan end-tidal CO2. Bronkospasme berat
dimanifestasikan dengan peningkatan tekanan inspirasi puncak dan ekshalasi
inkomplit. Di masa lalu volume tidal 10-12 mL/kg dengan frekuensi ventilasi 8-
10 kali/menit dinilai cukup baik. Namun akhir-akhir ini volume tidal dikurangi
( 10 mL/kg) dengan pemanjangan waktu ekspirasi dapat memungkinkan
distribusialiran udara yang sama di kedua paru dan dapat mencegah udara
terperangksp (air-trapping) PaCO2 dapat meningkat dimana hal ini masih
diperbolehkan bila tidak ada kontraindikasi terhadap kardiovaskular dan
neurologik.
Bronkospasme intraoperatif biasanya ditunjukkan dengan adanya mengi,
peningkatan tekanan inflasi puncak (peak inflation pressures) (tekanan plato
tidak berubah, penurunan volume tidal ekhalasi, atau peningkatan yang lambat
dari gelombang kapnograf. Hal ini harus diatasi dengan meningkatkan
konsentrasi zat volatile (memperdalam anestetik). Jika mengi tidak membaik
setelah anastesi didalamkan, penyebab lain harus dipertimbangkan sebelum
memberikan terapi lainnya. Obstruksi tube endotrakeal karena kinking, sekesi
ataupun balon ETT yang terlalu dikembangkan, intubasi endobronkial, usaha
ekspirasi aktif (straining) karena anstesi yang dangkal,edema atau emboli
pulmonal dan pneumotoraks dapat mencetuskan bronkospame
Bronkospasme harus diatasi dengan pemberian agonis adrenergic secara
aerosol atau inhaler metered- dose ke dalam lengan inspirasi (inspiratory
limb)dari sirkuit pernafasan. (Gas pembawa yang digunakan pada inhaler
metered-dose dapat mengganggu pembacaan mass spectrometer). Hidrokortison
intravena (1,5-2 mg/kg) dapat diberikan terutama pada pasien dengan riwayat
terapi glukokortikoid.
Pada akhir pembedahan pasien harus benar-benar terbebas dari mengi.
Reversi dari pelumpuh otot non depolarisasi dengan obat antikolinesterase tidak
mempresipitasi bronkokonstriksi jika didahului dengan pemberian zat
antikolinergik (lihat bab 10). Ekstubasi dalam (sebelum refleks jalan nafas
kembali) dapat mencegah bronkospasme pada saat pasien bangun (emergence).
Lidokain bolus (1,5-2 mg/kl) atau infuse kontinyu (1-2 mg/menit) dapat
menumpulkan refleks jalan nafas selama proses bangun.
1.5.3. Tuberkulosis Paru
Peningkatan tuberkulosis (TB) dan peningkatan resistensi terhadap
antibiotik mendapat perhatian besar dalam kesehatan masyarakat. Tuberkulosis
menyebar melalui inhalasi droplet nuclei; aerosol partikel kering, sisa-sisa yang
ada diudara. Konsultasikan dengan spesialis penyakit infeksi untuk membantu
diagnosa, pengobatan dan waktu operasi.
Tuberkulosis adalah penyakit paru primer. Diperlukan data tentang
diagnosa, riwayat pengobatan dan gejala pada paru-paru, serta keterlibatan
ekstrapulmonal (limfatik, CNS, ginjal dan sumsum tulang). Tuberkulosis yang
dini biasanya asimptomatik atau timbul dengan gejala yang tidak spesifik
(anoreksia, fatigue, kehilangan beratbadan, berkeringat pada malam hari).
Selanjutnya dapat terjadi batuk yang produktif, hemoptisis dan nyeri pada dada.
Takipnu, ronkhi, dan melemahnya bunyi pernafasan bisa terjadi. Jika
ekstrapulmonal terlibat maka gejala yang paling sering terlihat adalah
limfadenopati. Penemuan pada foto toraks tergantung pada tingkat dan kronisitas
penyakit Jika foto thorax abnormal maka dilihat foto sebelumnya. Pada TB
primer terlihat infiltrat di lobus atas atau seperti infiltrat halus yang multiple.
Limfadenopatui hilar atau efusi pleura bisa terjadi. Pada TB kronik, bisa terdapat
bintik atau nodul pada apikal dan subapikal.
Dahulu, pengobatan TB dimana terdapat granuloma adalah dengan apical
scarring. Perhatikan adanya peningkatan leukosit dan anemia normositik
normokrom. Pada TB pulmonal dapat terjadi hiponatremia dan meningitis TB
disebabkan oleh syndrome of inappropriate secretion on antidiuretic hormone
(SIADH).
Hilangkan infeksi TB yang aktif sebelum pembedahan yang tidak
mendesak. Observasi penyebab TB jika ada dugaan adanya TB aktif. Jika foto
thorax normal atau ada sedikit perubahan pada pasien yang asimptomatik, tidak
ada tes yang direkomendasikan. Jika pada foto thorax diduga adanya TB aktif
atau secara klinik diduga kuat pengobatan tidak adekuat, ambil tiga contoh
sputum untuk smear basil tahan asam (BTA) dan kultur TB. Satu smear positif
membantu diagnosa. Apabila BTA negatif, tindakan pencegahan dan
pembedahan tergantung pada tingkatan penyakit dan kecurigaan TB yang tidak
diobati. Jika BTA negatif, TB aktif tidak dapat disingkirkan (pasien dengan
resiko tinggi atau pasien yang memberikan gejala) dan dilakukan pengobatan
serta penundaan tindakan pembedahan. PPD yang positif (tes penyaringan yang
baik tetapi tidak pasti) dapat dicurigai adanya TB, tetapi PPD negatif (walaupun
dengan kontrol) tidak dapat menyingkirkan adanya TB; Foto thorax dan analisa
sputum lebih dipercaya. Pada pasien dengan HIV positif cenderung mendapatkan
penyakit paru aktif dan melibatkan ekstrapulmonal. Pada pasien-pasien tersebut,
tes PPD positif dengan ukuran 5 mm. Pada pasien dengan HIV positif yang
berat, foto thorax bisa negatif untuk beberapa hari saat pasien terinfeksi dengan
TB. Sebagai tambahan, BTA positif dihasilkan oleh beberapa mycobacteria;
namun tetap diobati sebagai TB sampai hasil kultur didapatkan.
Pasien dengan HIV positif dan diduga TB adalah penduduk atau imigran
dari daerah dengan prevalensi tinggi, pasien dengan riwayat penyalahgunaan
obat, kontak TB, tunawisma, malnutrisi. Pikirkan diagnosa TB jika terjadi
pneumonia pada pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang tidak respon
terhadap antibiotik atau adanya kontak pada kasus yang aktif.
Observasi pernafasan sebagai pencegahan termasuk pasien yang
diintubasi. Ruang khusus dengan tekanan ventilasi negatif dan 6-10 kali/jam
perubahan udara, pencegahan gejala pada saluran nafas yang membahayakan dan
masker atau alat bantu nafas untuk setiap orang yang masuk dalam ruangan. Tipe
masker berguna untuk kesehatan kerja (HCW) dan alat bantu pernafasan yang
diakui oleh NIOSH : fitted air-filtering mask, powered air purifying respirators
(PAPR), atau respirator tekanan positif dengan tambahan udara. Selama
pemindahan pasien ketempat lain, gunakan masker pada pasien. Jika pasien
diintubasi dan dilakukan ventilasi, gunakan masker selama pemindahan pasien.
Jika pasien dengan BTA positif, dilakukan penundaan untuk pembedahan
elektif dan tindak pengobatan selama 2 minggu dan tiga kali sputum negatif. Jika
pasien BTA negatif tetapi kultur positif atau pasien dengan resiko tinggi, pasien
dengan gejala TB, tindak pengobatan dilanjutkan minimal satu minggu sampai
terjadi perubahan pada kondisi pasien. Kasus yang gawat memerlukan keputusan
klinik, pengobatan yang memungkinkan selama sebelum pembedahan, dan
tindak pencegahan di ruangan operasi.
Tuberkulosis diobati dengan kombinasi obat selama 6 bulan sampai 1
tahun atau lebih. Masalah yang besar adalah terjadinya resistensi, dan terapi obat
harus dilakukan secara hati-hati dan disesuaikan dengan sensitivitas. Respon
terhadap terapi ditandai dengan berkurangnya bakteri, sputum dengan BTA
negatif dan perubahan secara klinik. Pasien diperkirakan masih infeksius selama
2-3 minggu setelah pengobatan.
Ventilasi yang adekuat diruang operasi sangat penting. Dapat digunakan
ventilator dengan tekanan negatif. Peralatan anestesi : gunakan alat-alat sekali
pakai. Letakkan penyaring bakteri pada lubang pernafasan atau dengan
menggunakan tube endotrakheal (ET) untuk mencegah kontaminasi. Atur tube
ET dan kateter suction dengan cermat. Bersihkan mesin dan peralatan anestesi
menggunakan larutan tuberkulosidal dan sterilkan jika memungkinkan. Ahli
anestesi dan yang lainnya : menggunakan masker seperti biasanya, lindungi
daerah steril. Sebagai tambahan perhatikan dan gunakan alat pelindung
pernafasan untuk mencegah infeksi dari droplet. Satu masker dapat disiapkan .
Respirator dengan katup ekshalasi, PAPR, respirator tekanan positif tidak
melindungi daerah yang steril. Pembedahan dan prosedurnya : terdapat resiko
tinggi terhadap kontaminasi selama dilakukan tindakan dimana cairan tubuh
yang terinfeksi keluar (trakheostomi, thorakotomi, bipso paru terbuka,
bronkoskopi, kauterisasi jaringan yang terinfeksi) dan selama perawatan tube ET.
Hindari atau minimalkan tindakan suction pada ET. Pemulihan : PACU harus
tersendiri dan terdapat standar pencegahan TB. Jika tidak, pemulihan pasien
dilakukan diruang operasi atau ICU. Tenaga kesehatan harus menggunakan
pelindung pernafasan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kelima. 2010; pp 2953.
2. Soenarto RF, Susilo C. Buku Ajar Anestesiologi. Edisi Pertama. Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FKUI. 2012; pp 291303.
3. Harijanto, Eddy. Panduan tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Perhimpunan
Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia. 2009; pp 322341.
4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology. Fifth Edition. McGraw-Hill. 2013; 881884.

Anda mungkin juga menyukai