Anda di halaman 1dari 8

Tinjauan Pustaka

Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai


oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau
relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius yang
membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi
berat dan bahkan dapat menyebabkan syok. (Soewondo P, 2009)
Sindroma ini mengandung triad yang terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan asidemia.
Konsensus diantara para ahli dibidang ini mengenai kriteria diagnostik untuk KAD adalah
pH arterial < 7,3, kadar bikarbonat < 15 mEq/L, d an kadar glucosa darah > 250 m g/dL
disertai ketonemia dan ketonuria moderate (Kitabchi dkk, 1994).
Data komunitas di Amerika serikat, Rochester menunjukkan bahwa insidens KAD sebesar 8 per
1000 pasien, sedangkan untuk kelompok usia di bawah 30 tahun sebesar 13,4 per 1000 pasien DM per
tahun. Walaupun data komunitas di Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat prevalensi DM
tipe I yang rendah. Laporan insidens KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, terutama
pada pasien DM tipe II.

Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada pasien
yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor
pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Tidak adanya insulin atau
tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat disebabkan oleh :
1. Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi
2. Keadaan sakit atau infeksi
3. Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati
(Samijean Nordmark,2008)

Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang bersangkutan
menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak adekuat. Keadaan ini terjadi pada 20-
40% kasus KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1, permasalahan psikologi yang diperumit
dengan gangguan makan berperan sebesar 20% dari seluruh faktor yang mencetuskan ketoasidosis.
Faktor yang bisa mendorong penghentian suntikan insulin pada pasien muda meliputi ketakutan akan
naiknya berat badan pada keadaan kontrol metabolisme yang baik, ketakutan akan jatuh dalam
hypoglikemia, pemberontakan terhadap otoritas, dan stres akibat penyakit kronis (Gaglia et all, 2004)
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai pernafasan cepat dan dalam
(kussmaul), berbagaia derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang
disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa nafas tidak terlalu mudah tercium. (Soewondo P,
2009)
Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuria dan polidipsia
sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi.
Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai
nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastro-paresis-dilatasi lambung. (Soewondo P,
2009)
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai
dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain
(misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). (Soewondo P, 2009)
Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering. Infeksi yang paling sering ditemukan ialah
infeksi saluran kemih, dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien
tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan kemungkinan kolestitis,
iskemia usus, apendisitis, divertikulitis, atau perforasi usus. Bila ternyata pasien tidak menunjukkan respon
yang baik terhadap pengobatan KAD, maka perlu dicari kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses
gigi, abses perirektal). (Soewondo P, 2009)

Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabetik ataupun hiperglikemia hiperosmolar
nonketotik. Beratnya hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis dapat dipakai kriteria diagnosis KAD.
Walaupun demikian penilaian kasus per kasus selalu diperlukan untuk menegakkan diagnosis. (Soewondo
P, 2009)
Langkah pertama yang harus diambil pada paasien dengan KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan patensi jalan nafas, status mental,
status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis
pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai
tanpa adanya penundaan. (Soewondo P, 2009)
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dilakukan setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik
adalah pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine dengan
menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam
urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD
meliputi kadar HCO3-, anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan kadar AcAc dan
laktat serta 3HB. (Soewondo P, 2009)
Didasarkan atas adanya "trias biokimia" yakni : hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis.
Kriteria diagnosis KAD:
a. kadar glukosa > 250 mg%
b. pH < 7,35
c. HCO3- rendah
d. Anion gap yang tinggi
e. Keton serum positif

Gambar : Alur penatalaksanaan KAD sesuai dengan rekomendasi ADA 2004.


Untuk penatalaksanaan awal perlu dilakukan hal-hal dibawah ini
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah:
a. Penggantian cairan dan garam yang hilang
b. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin.
c. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD
d. Mengembalikan keadaan fisiologis normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta
penyesuaian pengobatan.
Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Ada 6 hal yang harus diberikan; 5 di antaranya ialah:
a. Cairan
b. Insulin
c. Garam
d. Kalium
e. Glukosa
Sedangkan yang terakhir tetapi sangat menentukan adalah asuhan keperawatan. Di sini diperlukan
kecermatan dalam evaluasi sampai keadaan KAD teratasi dan stabil. (Soewondo P, 2009)
Cairan
Untuk mengatasi dehidrsi digunkaan larutan garam fisiologis. Berdasarkan perkiraan hilangnya
cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka pada jam pertama diberikan 1 sampai 2 liter,
jam kedua diberikan 1 liter. Ada dua keuntungan rehidrasi pada KAD: memperbaiki perfusi jaringan dan
menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu
diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5 % atau 10 %).
Insulin
Insulin regular intravena memiliki waktu paruh 45 menit, sementara pemberian insulin
secara intramuskular atau subkutan memiliki waktu paruh sekitar 24 jam. Insulin infus intravena
dosis rendah berkelanjutan (continuous infusion of low dose insulin) merupakan standar baku
pemberian insulin di sebagian besar pusat pelayanan medis. Panduan terapi insulin pada KAD dan
SHH dapat dilihat pada tabel.
Protokol ini dimulai dengan tahap persiapan yaitu dengan memberikan infus D5%
100cc/jam. Setelah itu, bila terdapat fasilitas syringe pump, siapkan 50 unit insulin reguler (RI)
dalam spuit berukuran 50 cc, kemudian encerkan dengan larutan NaCl 0,9 % hingga mencapai 50
cc (1 cc NaCl = 1 unit RI). Bila diperlukan 1,5 unit insulin/jam, petugas tinggal mengatur
kecepatan tetesan 1,5 cc/jam.
Pemberian insulin infus intravena dosis rendah 48 unit/jam menghasilkan kadar insulin
sekitar 100 uU/ml dan dapat menekan glukoneogenesis dan lipolisis sebanyak 100%.2
Penurunan kadar glukosa darah yang dicapai dengan pemberian insulin secara
intramuskular lebih lambat dibandingkan dengan cara pemberian infus intravena berkelanjutan.
Terapi insulin intramuskular dosis rendah (5 unit) yang diberikan secara berkala (setiap 12jam)
sesudah pemberian insulin dosis awal (loading dose) sebesar 20 m juga merupakan cara terapi
insulin pada pasien KAD. Cara tersebut terutama dijalankan di pusat pelayanan medis yang sulit
memantau pemberian insulin infus intravena berkelanjutan. Pemberian insulin intramuskular
tersebut dikaitkan dengan kadar insulin serum sekitar 6090 U/dL.
Terapi insulin subkutan juga dapat digunakan pada pasien KAD. Namun, untuk mencapai
kadar insulin puncak dibutuhkan waktu yang lebih lama. Cara itu dikaitkan dengan penurunan
kadar glukosa darah awal yang lebih lambat serta timbulnya efek hipoglikemia lambat (late
hypoglycemia) yang lebih sering dibandingkan dengan terapi menggunakan insulin intramuskular.
Cara Pemberian Terapi Insulin Subkutan

Pada mayoritas pasien, terapi insulin diberikan secara simultan dengan cairan intravena.
Apabila pasien dalam keadaan syok atau kadar kalium awal kurang dari 3,3 mEq/L, resusitasi
dengan cairan intravena atau suplemen kalium harus diberikan lebih dahulu sebelum infus insulin
dimulai. Insulin infus intravena 5-7 U/jam seharusnya mampu menurunkan kadar glukosa darah
sebesar 5075 mg/dL/jam serta dapat menghambat lipolisis, menghentikan ketogenesis, dan
menekan proses glukoneogenesis di hati.
Bila kadar glukosa darah sudah turun < 250 mg/dL, dosis insulin infus harus dikurangi
menjadi 0,05-0,1 U/kgBB/jam sampai pasien mampu minum atau makan. Pada tahap ini, insulin
subkutan dapat mulai diberikan, sementara infus insulin harus dilanjutkan paling sedikit 12 jam
setelah insulin subkutan kerja pendek diberikan. Pasien KAD dan SHH ringan dapat diterapi
dengan insulin subkutan atau intramuskular. Hasil terapi dengan insulin infus intravena, subkutan,
dan intravena intermiten pada pasien KAD dan SHH ringan tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna dalam hal kecepatan penurunan kadar glukosa dan keton pada 2 jam pertama.
Kalium
Pada awalnya KAD biasanya kadar ion K serum meningkat hiperkalemia yang fatal sangat jarang
dan bila terjdi harus segera diataasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada elektrokardiogram ditemukan
gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat segera mengatasi keadaan hiperkalemi
tersebut.
Yang perlu menjadi perhatian adalah hipokalemiayang dapat fatal selaama pengobatan KAD. Ion
kalium terutama terdapat di intraselular. Pada keadaan KAD, ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya
dikeluarkan melalui urine. Total defisit K yang terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5 mEq/kg
BB. Selama terapi KAD, ion K kembali mempertahankan kadar K serum dalam batas normal., perlu
pemberian kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal serta tidak ditemukannya gelombang T yang lancip dan
tinggi pada elektrokardiogram, pemberian kalium segera dimulai setelah jumlah urine cukup adekuat.
Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun. Selanjutnya dengan
pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg%/jam. Bila kadar glukosa
mencapai < 200 mg% maka dapat dimulai infus mengandung glukosa. Perlu dditekankan di sini bahwa
tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar glukosa tetapi untuk menekan ketogenesis.
Bikarbonat
Terapi bikarbonat pafda KAD menjadi topik perdebatn selama beberapa tahun. Pemberian
bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Adapun alasan keberatan pemberian bikarbonat adalah:
a. Menurunkan pH intraselular akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat.
b. Efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan
c. Hipertonis dan kelebihan natrium
d. Meningkatkan insidens hipokalemia
e. Gangguan fungsi serebral
f. Terjadi hiperkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton.
Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun demikian komplikasi asidosis
laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian bikarbonat.
Di samping hal tersebut di atas pengobatan umum yang tak kalah penting. Pengobatan umum KAD, terdiri
atas:
1. Antibiotika yang adekuat
2. Oksigen bila PO2 < 80 mmHg
3. Heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (>380 mOsm/l)

Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD mengingat penyesuaian terapi
perlu dilakukan selama terapi berlansung. Untuk itu perlu dilaksanakan pemeriksaan:
1. kadar glukosa darah tiap jam dengan glukometer
2. elektrolit tiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaa.
3. Analisis gas darah, bila pH <7 waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1, selanjutnya setiap
hari sampai keadaan stabil
4. Vital Sign tiap jam
5. Keadaan hidrasi, balance cairan
6. Waspada terhadap kemungkinan DIC
Agar hasil pemantauan efektif dapat digunakan lembar evaluasi penatalaksanaan ketoasidosis yang
baku. (Soewondo P, 2009)

Anda mungkin juga menyukai