Anda di halaman 1dari 22

BAB III

DASAR TEORI

3.1 Definisi Pemmbangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)

Pembangkit Listrik Mikro Hidro adalah pembangkit listrik tenaga air skala kecil dengan
batasan kapasitas antara 5 KW s.d 1 MW per unit (Badan Litbang ESDM, 2012).Terdapat
beberapa batasan daya lain selain yang dinyatakan oleh Badan Litbang ESDM, yaitu
kapasitas minimal 120 KW (Subekti, 2010) dan kurang dari 200 KW (Damasturi, A.P.,
1997). Terdapat pula sistem penggolongan lain yang memilah sistem pembangkit listrik
tenaga air skala kecil menjadi 3 , yaitu minihidro dengan kapasitas 100 KW s.d 1MW, mikro
hidro memiliki kapasitas 1 KW s.d 100 KW, dan pikohidro dengan kapasitas dri beberapa
watt sampai dengan 1 KW. Dalam satu sistem PLTMH terdapat beberapa komponen
penyusunnya yaitu:

Bendung (Weir)
Bangunan Pengambil (Intake)
Bak Pengendap (Settling Basin)
Saluran Pembawa (Headrace)
Bak Penenang (Forbay)
Bangunan dan Saluran Pelimpah (Spillway)
Pipa pesat (Penstock tunnel)
Power house
Saluran Pembuang (Tailrace)
Gambar 3.1, Skema PLTMH

Dalam sub bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai pengertian dan masing-masing fungsi
komponen bangunan PLTMH beserta dasar teori perhitungan desain masing-masing
komponen.

3.2 Bendung (Weir) dan Intake

Bendung didefinisikan sebagai bangunan melintang sungai yang berfungsi untuk


membelokkan arah aliran air dan meninggikan muka air. Konstruksi bendung pada konstruksi
PLTMH memiliki beberapa fungsi diantaranya:

Menaikan tinggi muka air sungai


Mengarahkan aliran menuju bangunan pengambilan
Membagi aliran air

Sementara Konstruksi Intake biasanya terdapat di sisi bendung berfungsi untuk mengambil
air dari sungai atau kolam untuk dialirkan ke saluran, bak penampungan dan pipa pesat.
Permasalahan yang kerap terjadi pada intake adalah masalah ketersediaan air saat debit
rendah maupun banjir dan permasalahan endapan lumpur, pasir, dan kerikil yang sering kali
terbawa masuk ke dalamintake dan mengurangi kapasitas intake bahkan merusak struktur
intake.
Dalam desain bendung terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya adalah:

Elevasi yang diperlukan untuk mengalirkan air ke intake dan menghasilkan head yang
cukup untuk turbin
Topografi pada lokasi yang direncanakan
Kondisi j=hidrolik dan morfologi sungai
Kondisi geologi teknik lokasi

Bendung yang digunakan dalam perencanaan PLTMH kali ini adalah bendung dengan jenis
ambang pelimpah berbentuk ogee spillway. Berikut adalah beberapa kriteria dan asumsi yang
digunakan:

Spillway mampu melewatkan debit dengan kala ulang rencana 50 tahun


Perhitungan lebar efektif mercu menggunakan persamaan :
= 2( + )1
Dimana :
N = jumlah pilar
Kp = koefisien kontraksi pilar
Ka = Koefisien kontraksi pangkal bendung
H1 = Tinggi energi (m)
B = Lebar bendung riil (m)
Debit outflow rencana dan tinggi muka air di atas bendung dapat diketahui melalui
persamaan
3
= 2

Dimana:
C= Koefisien debit melewati ambang bendung
Be = lebar efektif
H = tinggi head rencana di atas mercu
Setelah menentukan dimensi bendung lakukan analisa terhadap stabilitas bendung.
Dalam hal melakukan analisa terhadap stabilitas bendung digunakan standar yang
mengikuti Kriteria Perencanaan Irigasi.
o Keamanan terhadap Erosi Bawah Permukaan (Piping)
+ (1/3 )
=

Dimana:
CL = koefisien lane
= Panjang jalur air vertikal.(m)
= Panjang jalur air horizontal (m)
H = beda energi hulu dan hilir (m)
Berikut adalah tabel yang menunjukan batas angka lane untuk berbagai
kondisi jenis tanah
Tabel, Angka ijin koefisien Lane

o Keamanan Terhadap gelincir


Tangen , sudut antara garis vertikal dan resultan semua gaya, termasuk gaya
angkat yang bekerja pada bendung di atas semua bidang horizontal, harus
kurang dari koefisien gesekan yang diizinkan pada bidang tersebut.

= tan <
( )
Dengan :
H = Gaya Horizontal (kN)
V = Gaya Vertikal ke bawah (kN)
U = Uplift (kN)
F= koefisien gesek
S = Safety factor (bernilai 2 untuk kondisi pembebasan normal dan 1.25 untuk
kondisi pembebasan ekstrim)
Tabel, Harga Koefisien Gesekan

Apabila, untuk bangunan-bangunan yang terbuat dari beton, harga yang aman
untuk faktor gelincir yang hanya didasarkan pada gesekan saja seperti pada
persamaan sebelumnya terlampaui maka dapat dipertimbangkan faktor
keamanan yang mencakup geser.
( ) +
()

Dimana :
C = satuan kekuatan geser bahan (KN/m2)
A = luas dasar yang dipertimbangkan
o Gulung
Keamanan terhadap guling direncanakan dengan meninjau tebal lantai pada
titik pusat resultan gaya. Persamaan untuk meninjau keamanan terhadap
guling adalah:



dx = tebal lantai pada titik X (m)
Px = tekanan pada titik X (kg/m3)
Wx = kedalaman air pada titik X (m)
S = safety factor (1.5 s.d 1.25 untuk kondisi darurat)

Sementara untuk intake perencanaan dimensi intake dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan:

= 2 (Sosrodarson0,1977)

Dimana :
Q = Debit kapasitas penyadapan (m3/s)
C = Koefisien Debit (0.62)
H = Tinggi air dari titik tengah lubang ke permukaan (m)
g = Percepatan gravitasi (m/s2)
A = Luas Penampang lubang (m2)

3.3 Kantung Lumpur/Bak Pengendap (Settling Basin)


Bak Pengendap adalah bangunan yang terdapat setelah intake yang memiliki fungsi dan
kegunaan sebagai berikut:
a. Bangunan untuk mengendapkan sedimen dimana untuk desainnya perlu dihitung
dengan formulasi hubungan panjang bak, kedalaman bak,antara kecepatan
pengendapan, dan kecepatanaliran.
b. Tempat Penimbun Sedimen sehingga pada desainnya harus dibuat mudah untuk
melakukan pembilasan sedimen
c. Sebagai penghubung antara intake dan saluran pembawa
Dalam perencanaan kantong lumpur digunakan standar yang mengacu pada Kriteria
Perencanaan untuk Irigasi.

3.4 Headrace (Saluran pembawa)


Bangunan saluran pembawa air (Headrace) adalah untuk mengalirkan air dari intake setelah
melewati kantung lumpur (settling basin) menuju ke kolam penenang (Forebay) dan untuk
mempertahankan kestabilan debit air. Tipe-tipe saluran yang secara umum digunakan dapat
dilihat pada tabel di halaman berikutnya
Tabel, Jenis-jenis Saluran
Dalam perencanaan dimensi saluran dan kapasitasnya ditentukan dengan menggunakan
persamaan manning dan penampang hidrolis terbaik yang akan dijelaskan dalam sub bab
perencanaan hidrolis.

3.5 Forebay (Kolam penenang)


Bak penenang berfungsi untuk mengontrol perbedaan debit dalam pipa pesat (penstock) dan
saluran pembawa karena fluktuasi beban, disamping itu juga sebagai pemindah sampah
terakhir (tanah, pasir, kayu yang mengapung) dalam air yang mengalir. Bak penenang
dilengkapi saringan (trashrack) dan pelimpas (spillway) .

Perhitungan dimensi bak penenang dapat ditentukan berdasarkan persamaan di bawah ini :

Gambar, Skema Bak Penenang


Kapasitas bak penenang :
Vf = Af.hs = Bf.Lf.df
Vf = kapasitas bak penenang (m3),
Af = luas bak penenang (m2),
Lf = panjang bak penenang (m),
hs = kedalaman air dari sebuah saluran,
Bf = lebar bak penenang (m).
df = kedalaman bak penenang (m)
Beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam perhitungan dimensi bak penenang:
Volume bak penenang 10 20 kali debit yang masuk untuk menjamin aliran steady di
pipa pesat dan mampu meredam tekanan balik pada saat penutupan aliran di pipa pesat,
dengan Q = debit desain (m3/detik).
Bak penenang direncanakan dengan menetapkan kecepatan partikel sedimen sebesar 0.03
m/detik
Pipa pesat ditempatkan 15 cm di atas dasar bak penenang untuk menghindari masuknya
batu atau benda benda yang tidak diinginkan terbawa memasuki turbin, karena
berpotensi merusak turbin

3.6 Penstock (Pipa Pesat)


Pipa pesat merupakan media penyalur air dari bak penenang menuju turbin dalam debit yang
relatif stabil. Ukuran pipa pesat bergantung kepada kebutuhan debit aliran yang akan kita
salurkan menuju turbin. Perhitungan untuk diameter pipa pesat dihitung dengan
menggunakan persamaan :
= 0.72 0.5
+ 20
= ( )
400
Dengan :
D = Diameter Pipa pesat
Q = Debit rencana yang akan dialirkan melewatipipa pesat
T = tebal pipa pesat

Sementara untuk menghitung panjang pipa pesat yang dibutuhkan dapat dilihat pada peta
kontur yang ada pada daerah yang ingin direncanakan sebagai PLTMH.

3.7 Turbin

3.8 Tailrace
3.9 Perhitungan Daya yang Dihasilkan
Daya yang dihasilkan oleh PLTMH merupakanfungsi dari tinggi head efektif (beda tinggi
antara power house dan forebay). Perhitungan daya untuk PLTMH dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
=
Dimana :
H = tinggi head atau beda elevasi antara forebay dengan power house (m)
g = percepatan gravitasi (m/s2)
eff = efisiensi (%)
Q = debit rencana yang melewati pipa pesat (m3/s)
3.10 Analisa Hidrologi
Analisa hidrologi pada perencanaan PLTMH bertujuan untuk menentukan debit rencana
untuk turbin PLTMH dan debit rencana banjir. analisa hidrologi dilakukan dengan
mengkonversikan data hujan menjadi data debit dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
Pengisian data hujan yang hilang (apabila digunakan lebih dari satu stasiun)
Perhitungan curah hujan wilayah
Analisa frekuensi
Perhitungan debit andalan dengan menggunakan metode Fj.Mock
Perhitungan debit banjir rencana
Data debit dalam perencanaan ini diperoleh dari data hujan dikarenakan sulitnya untuk
memperoleh data debit riil yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. Berikut adalah
penjelasan masing-masing tahaan dalam analisa hidrologi:
3.10.1 Pengisian data hujan yang hilang
Dalam perencanaan PLTMH ini semakin panjang seri data yang digunakan semakin baik
namun dalam hal ini kami menggunakan seri data hujan harian sepanjang 10 tahun (2000-
2009). Namun permasalahan yang sering muncul pada pencatatan data harian adalah data
yang hilang akibat kerusakan alat ataupun karena kesalahan operator yang tidak melakukan
pencatatan. Terdapat dua metode umum yang digunakan dalam pengisian data hujan yang
hilang, yaitu metode aritmatika, metode rasio normal, dan IDW (Inverse Distant
Weight).Berikut adalah masing-masing persamaannya
1. Metode Aritmatika
=1
=

Dengan:
Ra= data hujan pada stasiun yang akan diperkirakan (mm)
n = jumlah stasiun
Ri = hujan pada stasiun lain yang diketahui (mm)
2. Kebalikan Kuadrat Jarak
Apabila jarak antara stasiun dengan data hujan yang hilang dengan stasiun lainnya
diketahui dapat digunakan persamaan:


2
=
1
2

Ra = Hujan pada stasiun yang ditinjau
Rx = Hujan pada stasiun yang diketahui
Sx = jarak antara stasiun yang ditinjau dengan stasiun yang diketahui
3. Metode Rasio Normal
Jika pencatatan data padatahun tertentu hilang sementara data dari stasiun lain tersedia
dengan seri data yang panjang maka dapat dilakukan analisis dengan metode ini.
Persamaan untuk metode rasio normal adalah sebagai berikut:

1
= ( )

=1

Dengan:
n = jumlah stasiun
Ri= curah hujan pada stasiun terdekat yang diketahui
Na= curah hujan tahunan normal (idealnya merupakan rata-rata hujan tahunan selama 30
tahun)
Ni = curah hujan tahunan rata-rata pada stasiun yang diketahui
3.10.2 Perhitungan Curah Hujan Wilayah
Perhitungan curah hujan wilayah digunakan untuk mengetahui besar hujan rata-rata yang
terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS). Terdapat 3 Metode yang umum digunakan dalam
perhitungan curah hujan wilayah, berikut adalah rumus-rumus yang digunakan:
1. Metode Aritmatika
Merupakan metode perhitungan curah hujan wilayah paling sederhana, perhitungan
dilakukan dengan merata-rata hujan titik dibeberapa stasiun
n
1
RH =
n
H
i 1
i

Dimana:
Hi = hujan pada masing-masing stasiun 1,2,., n dalam areal yang ditinjau,
n = jumlah stasiun stasiun pengamat
RH = rata-rata hujan
2. Metode Poligon Thiessen
Metode ini dikenal juga dengan metode rata-rata timbang (weighted mean). Cara ini
memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos hujan untuk mengakomodasi
ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan garis-garis
sumbu yang tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos terdekat. Asumsi
yang digunakan variasi hujan antara pos adalah linier dan data setiap pos dapat mewakili
daerah yang dibatasi oleh poligon. Hasil metode poligon thiessen lebih akurat
dibandingkan dengan metode rata-rata aljabar. Cara ini cocok untuk daerah dengan luas
500 km2 s.d 5000 km2, dan jumlah pos penakar hujan terbatas dibandingkan luasnya.
Rumus untuk metode ini adalah :
n


i1
H i . Li
RH = n

i1
Li

Dimana:
RH = rata-rata hujan wilayah
Hi = hujan pada masing-masing stasiun 1,2,., n
Li = luas poligon/ wilayah pengaruh setiap stasiun
n = jumlah stasiun yang ditinjau

3. Metode Isohyet
Metode ini dapat digunakan dengan menggambarkan garis kontur yang menghubungkan
daerah-daerah dengan curah hujan yang sama selama periode tertentu. Metode ini biasa
digunakan pada daerah yang memiliki luas daerah lebih dari 5000 km2. Rumus untuk
metode ini:
n

H .L
i 1
i i
Dengan: RH = n

Hi = hujan pada masing-masing stasiun Li 1


i

Li = luas bagian-bagian antara garis-garis isohyet


n = jumlah bagian-bagian antara garis-garis isohyet,
RH = rata-rata hujan.

Namun pada kenyataannya seringkali susah untuk memperoleh data yang baik dari tiga
stasiun dengan periode waktu yang sama, sehingga World Meteorological Organization
(WMO) memberikan toleransi penggunaan data hujan untuk satu stasiun untuk
merepresentasikan hujan wilayah dengan kriteria sebagai berikut:
1. Daerah dataran beriklim sedang, mediteran, dan tropis dapat menggunakan 1 stasiun
untuk luas daerah 600 s.d 900 km2
2. Daerah pegunungan dengan iklim sedang, mediteran, dan tropis dapat menggunakan 1
stasiun untuk luas daerah 100 s.d 250 km2
3. Pulau-pulau kecil (<20000 km2) serta untuk daerah kering dan wilayah kutub dapat
digunakan 1 stasiun untuk mewakili wilayah 1500 s.d 10000 km2

3.10.3 Analisa Frekuensi


Analisis frekuensi merupakan analisa statistik data hujan yang biasanya dalam perhitungan
hidrologi dipakai untuk menentukan terjadinya periode ulang hujan pada periode tahun
tertentu.Dalam analisa frekuensi digunakan dua macam distribusi yaitu distribusi gumbel dan
log pearson yang kemudian akan dibandingkan metode mana yang sesuai dengan pola
distribusi persebaran data dengan metode Chi Square. Berikut akan dijelaskan masing-masing
tahapan untuk melakukan analisa frekuensi dengan menggunakan metode gumbel dan log
pearsn III.
1. Distribusi Gumbel
Untuk menghitung periode ulang kejadian hujan ekstrim menggunakan distribusi
Gumbel Idapat digunakan persamaan distribusi frekuensi empiris :
= +
Dengan:
XT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T
= nilai rata-rata kejadian
= standar deviasi dinyatakan dengan persamaan :
2
( )
=
1
n = jumlah data
= faktor frekuensi k untuk harga ekstrim persamaan gumbel, dapat dinyatakan dengan
persamaan :

=

Dengan :
YT = nilai reduksi varian dapat dilihat pada tabel terlampir ataupun dihitung dengan
menggunakan persamaan:
1
= ln[ ln { }]

= Periode Ulang
= standar deviasi variat yang nilainya bergantung pada jumlah data (dapat dilihat pada
tabel terampir)
= reduksi rata-rata yang nilainya bergantung pada jumlah data (n) (dapat dilihat pada
tabel terlampir)

Karakteristik dari distribusi gumbel adalah pola distribusi ini memiliki nilai koefisien
kemencengan (skewness) 1.1396 dan Kurtosis 5.4002.

2. Log Pearson III


Sebaran Log Pearson III, sering digunakan dalam perhitungan curah hujan harian
maksimum untuk menghitung besarnya banjir rencana yang terjadi pada periode ulang
tertentu. Persamaan yang digunakan dalam Log Pearson antara lain adalah:
=+
Dengan:
= nilai logaritma rata-rata curah hujan
= Karakteristik distribusi Log Pearson III
= Standar deviasi nilai Y
=Logaritma nilai X yang akan ditentukan periode ulangnya

Dalam perhitungan metode Log pearson terdapat beberapa parameter yang harus
ditentukan terlebih dahulu, diantaranya:
Tentukan nilai Y = Log X
Tentukan nilai rata-rata Y :
log()
=

Tentukan nilai deviasi Standar:
2
( )
=
1
Menentuakan nilai karakteristik distribusi (K) berdasarkan koefisien
kemencengan (dapat dilihat pada tabel terlampir):
3
(log() log())
=
( 1)( 2)()3
= koefisien kemencengan
Karakteristik dari distribusi Log Pearson III adalah memiliki bentuk persamaan
Kurtosis mendekati Ck = 1.5 * CS2 + 3

3.10.4 Uji Kecocokan dengan Metode Chi Square


Uji Chi Kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi
peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel data yang
dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter X2, parameter X2
dapat ditentukan dengan persamaan :
( )2
2 =

Dimana:
EF = jumlah / frekuansi pengamatan pada sub kelas
OF = jumlah nilai teoritis pada setiap sub kelompok
X2= nilai chi square

Nilai X2 hasil perhitungan nilainya harus lebih kecil dari harga X2 kritis (dapat dilihat
pada tabel terlampir) untuk derajat nyata tertentu (level of significance) yang diambil
5%. Adapun derajat kebebasan ini secara umum dapat dinyatakan dengan persamaan :
= ( + 1)

Dengan:
DK = derajat Kebebasan
K = banyaknya kelas
P = banyaknya keterikatan atau banyaknya parameter (pada Chi Square diambil P=2).

Dalam hal ini disarankan agar banyaknya kelas tidak kurang dari 5 dan frekuensi
absolut tiap kelas juga tidak kurang dari 5. Apabila terdapat kelas yang frekuensinya
kurang dari 5 maka dapat dilakukan penggabungan dengan kelas yang lainnya.

3.10.5 Perhitungan Debit Andalan


Debit andalan merupakan debit minimal yang sudah ditentukan yang dapat dipakai
untuk memenuhi kebutuhan air. Perhitungan ini menggunakan cara analisis water
balance dari Dr.F.J. Mock berdasarkan data curah hujan bulanan, jumlah hari hujan,
evapotranspirasi dan karakteristik hidrologi daerah pengaliran. Prinsip perhitungan ini
adalah bahwa hujan yang jatuh di atas tanah (presipitasi) sebagian akan hilang karena
penguapan (evaporasi), sebagian akan hilang menjadi aliran permukaan (direct run off)
dan sebagian akan masuk tanah (infiltrasi). Infiltrasi mula-mula menjenuhkan
permukaan (top soil) yang kemudian menjadi perkolasi dan akhirnya keluar ke sungai
sebagai base flow. Adapun prosedur untuk perhitungan FJ.Mock adalah sebagai berikut:
1. Hujan
Nilai hujan yang digunakan adalah hujan bulanan dan perlu diketahui pula jumlah
hari hujan dalam satu bulannya
2. Evapotranspirasi
Evapotranspirasi terbatas adalah evapotranspirasi aktual dengan
mempertimbangkan kondisi vegetasi dan permukaan tanah. Evapotranspirasi
terbatas dihitung dari evapotranspirasi potensial metoda
Penman. Adapun faktor evapotransirasi untuk perhitungan debit andalan dengan
metode F.J. Mock

= (18 )
0 20

= ( ) (18 ) 0
20
= 0
Dimana :
E = selisih antara evaporasi potensial dan terbatas (mm)
ET0 = Evaporasi Potensial
ETl = Evaporasi terbatas (mm)
h = jumlah hari hujan dalam 1 bulan
m =prosentase lahan yang tidak tertutup vegetasi
m = 0% untuk lahan dengan hutan lebat
m = 10%-40% untuk lahan yang terisolasi
m =20%-50% untuk lahan pertanian yang diolah
3. Keseimbangan Air pada Permukaan Tanah
Keseimbangan air pada permukaan tanah dihitung berdasarkan besarnya curah
hujan bulanan dikurangi dengan nilai evaporasi terbatas rat-rata ulanan sehingga
diperoleh:
=
= 1 +
=
Dengan:
P = curah hujan bulanan (mm)
Et =Evaporasi Bulanan (mm)
SMC = Soil moisture capacity pada bulan yang ditinjau (mm) (diambil antara 50
s.d 200)
IS = Tampungan awal (Initial Storage)
WS = Water Surplus
S = Storage atau perubahan tampungan
4. Aliran Sungai
Baseflow = Infiltrasi perubahan Volume Air tanah
Aliran Permukaan = Volume Air Lebih Infiltrasi
Aliran Sungai = Aliran Permukaan + Aliran Dasar

3.10.6 Analisa Debit Banjir


Analisa debit banjir pada PLTMH berguna untuk menentukan desain bendung
pelimpah yang akan dibuat agar mampu melewatkan debit banjir sesuai dengan
rencana. Dalam hal ini debit rencana yang digunakan adalah debit banjir dengan
periode ulang 50 tahun. Dalam desain banjir rencana terdapat beberapa metode yang
dapat digunakan diantaranya adalah :
Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
Hidrograf Satuan Sintetik Snyder
Metode Empiris Haspers
Metode Rasional

Berikut akan diuraikan lebih lanjut tentang penggunaan masing-masing metode:

1. Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu


Model hidrograf satuan sintesis ini diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan
di beberapa sungai di Jepang. Dalam penggunaan hidrograf satuan sintetik ini
diperlukan beberapa parameter diantaranya:

1. Luas DAS
2. Panjang sungai utama
3. Koefisien aliran

Rumus-rumus hidrograf satuan sintetik adalah sebagai berikut:

Debit Puncak (Qp) (m3/s)


0
=
3.6 (0.3 + 0.3 )
:
= debit puncak Banjir (m3/s)
= Luas DAS (km2)
0 = hujan satuan (mm)
= time peak (jam)
0.3= waktu yang diperlukan penurunan debit, dari debit puncak sampai 30%
dari debit puncak (jam)

Time peak (Tp)


= + 0.8
:
= time peak (jam)
= waktu konsentrasi (jam)
Untuk L < 15 km = 0.21 0.7
Untuk L > 15 km = 0.4 + 0.058
= waktu hujan efektif (jam), bernilai diantara tr = 0.5*tg s.d tg

Waktu untuk penurunan debit hingga 30% debit puncak


0.3 = *Tg

Nilai ditentukan berdasarkan bentuk hidrograf banjir pada DAS dalam hal ini
dipilih = 2

Penentuan Absis Hidrograf berdasarkan selang waktu

a. Bagian Lengkung Naik (0tTp)

2.4

= ( )

:
= debit limpasan sebelum s.d puncak banjir (m3/s)
= Debit puncak (m3/s)
= waktu (jam)
= waktu puncak (jam)

b. Bagian lengkung turun

Saat (TptTp+T0.3)

= 0.3 0.3

Saat (Tp+ T0.3tTp+T0.3 +1.5*T0.3)


+0.50.3
= 0.3 1.50.3

Saat (T Tp+T0.3 +1.5*T0.3)

+1.50.3
= 0.3 20.3

2. Hidrograf Satuan Sintetis Snyder

Dalam permulaan tahun 1938, F.F. Snyder dari Amerika Serikat telah membuat
persamaan empiris dengan koefisien-koefisien empiris yang menghubungkan unsur-
unsur hidrograf satuan dengan karakteristik daerah pengaliran. Hidrograf satuan
tersebut ditentukan secara cukup baik dengan hubungan ketiga unsur yang lain yaitu
Qp (m3/dt ), Tb serta Tr ( jam ). Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan
dengan persamaan-persamaan :
= ( )0.3

=


= 3 +
8

=
5.5
Apabila durasi hujan efektif tidak(tr) sama dengan durasi hujan standar (td), maka:

= +
4

=

Dengan:
tD = Durasi Standar Hujan efektif (jam)
TB = Time base (waktu dasar) (jam)
Qp = Debit puncak Banjir untuk durasi tD (m3/s)
QPr = Debit puncak untuk hujan durasi tr (m3/s)
tp = waktu puncak (jam)
tPr = waktu puncak untuk hujan dengan durasi tR
tr = Durasi Hujan efektif
L = panjang sungai induk dari outlet sampai ke hulu (km)
Lc = Panjang sungai induk dari outlet sampai pusat berat DAS (km)
Ct = koefisien yang bergantung pada kemiringan DAS (bervariasi dari 1.4 s.d 1.7;
Sumber : Triadmojo,2010)
Cp = koefisien yang diturunkan dari karakteristik DAS ( bervariasi antara 0.15 s.d
0.19; Sumber: Triadmojo,2010 )

Dengan rumus di atas dapat digambarkan hidrograf satuan. Untuk memudahkan


perhitungan berikut diberikan beberapa rumus:
1.08
50 = 0.23 1.08

1.08
75 = 0.13 1.08

W50 dan W75 adalah lebar unit hidrograf pada debit 50% dan 75% dari debit puncak
yang dinyatakan dalam jam. Sebagai acuan lebar W50 dan W75 dibuat dengan easio
1:2 dengan sisi pendek di sebelah kiri puncak.

3. Metode Empiris Haspers


Haspers melakukan penelitian terhadap beberapa daerah aliran sungai dengan luas
maksimum 200 km2. Selanjutnya untuk menghitung debit puncak banjir digunakan
Rumus:
=
Dimana :
Q = debit Puncak (m3/s)
C = koefisien aliran
= angka reduksi
R = hujan terpusat maksimum (m3/s/km2)

Berikut adalah parameter-parameter yang diperlukan dalam penyelesaian persamaan


Haspers
Angka Koefisien Aliran
Haspers telah menetapkan angka koefisien aliran berdasarkan luas DAS sebagai
berikut:
1 + 0.0120.7
=
1 + 0.0750.7

Dimana :
C = koefisien aliran
A = Luas DAS ( km2)
Angka Reduksi
Haspers Menetapkan angka reduksi yang bergantung pada lama waktu
konsentrasi sebagai berikut:
1 + 3.7104 0.75
=1+ ( )
2 + 15 12
Dimana :
= angka reduksi
t = waktu konsentrasi (jam)
F = luas elips di sekitar DAS (km2)

Waktu Konsentrasi
Untuk waktu konsentrasi Haspers digunakan persamaan :
= 0.10.8 0.3
:
= waktu konsentrasi (jam)
= panjang sungai utama (km)
= Kemiringan Dasar Sungai

Untuk besarnya hujan terpusat maksimum Haspers mendapatkan rumus:


Apabila (t < 2 jam)

Apabila (2 jam t 19jam)

Apabila (19 jam t 30 jam)

Anda mungkin juga menyukai