DASAR TEORI
Pembangkit Listrik Mikro Hidro adalah pembangkit listrik tenaga air skala kecil dengan
batasan kapasitas antara 5 KW s.d 1 MW per unit (Badan Litbang ESDM, 2012).Terdapat
beberapa batasan daya lain selain yang dinyatakan oleh Badan Litbang ESDM, yaitu
kapasitas minimal 120 KW (Subekti, 2010) dan kurang dari 200 KW (Damasturi, A.P.,
1997). Terdapat pula sistem penggolongan lain yang memilah sistem pembangkit listrik
tenaga air skala kecil menjadi 3 , yaitu minihidro dengan kapasitas 100 KW s.d 1MW, mikro
hidro memiliki kapasitas 1 KW s.d 100 KW, dan pikohidro dengan kapasitas dri beberapa
watt sampai dengan 1 KW. Dalam satu sistem PLTMH terdapat beberapa komponen
penyusunnya yaitu:
Bendung (Weir)
Bangunan Pengambil (Intake)
Bak Pengendap (Settling Basin)
Saluran Pembawa (Headrace)
Bak Penenang (Forbay)
Bangunan dan Saluran Pelimpah (Spillway)
Pipa pesat (Penstock tunnel)
Power house
Saluran Pembuang (Tailrace)
Gambar 3.1, Skema PLTMH
Dalam sub bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai pengertian dan masing-masing fungsi
komponen bangunan PLTMH beserta dasar teori perhitungan desain masing-masing
komponen.
Sementara Konstruksi Intake biasanya terdapat di sisi bendung berfungsi untuk mengambil
air dari sungai atau kolam untuk dialirkan ke saluran, bak penampungan dan pipa pesat.
Permasalahan yang kerap terjadi pada intake adalah masalah ketersediaan air saat debit
rendah maupun banjir dan permasalahan endapan lumpur, pasir, dan kerikil yang sering kali
terbawa masuk ke dalamintake dan mengurangi kapasitas intake bahkan merusak struktur
intake.
Dalam desain bendung terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya adalah:
Elevasi yang diperlukan untuk mengalirkan air ke intake dan menghasilkan head yang
cukup untuk turbin
Topografi pada lokasi yang direncanakan
Kondisi j=hidrolik dan morfologi sungai
Kondisi geologi teknik lokasi
Bendung yang digunakan dalam perencanaan PLTMH kali ini adalah bendung dengan jenis
ambang pelimpah berbentuk ogee spillway. Berikut adalah beberapa kriteria dan asumsi yang
digunakan:
Dimana:
C= Koefisien debit melewati ambang bendung
Be = lebar efektif
H = tinggi head rencana di atas mercu
Setelah menentukan dimensi bendung lakukan analisa terhadap stabilitas bendung.
Dalam hal melakukan analisa terhadap stabilitas bendung digunakan standar yang
mengikuti Kriteria Perencanaan Irigasi.
o Keamanan terhadap Erosi Bawah Permukaan (Piping)
+ (1/3 )
=
Dimana:
CL = koefisien lane
= Panjang jalur air vertikal.(m)
= Panjang jalur air horizontal (m)
H = beda energi hulu dan hilir (m)
Berikut adalah tabel yang menunjukan batas angka lane untuk berbagai
kondisi jenis tanah
Tabel, Angka ijin koefisien Lane
Apabila, untuk bangunan-bangunan yang terbuat dari beton, harga yang aman
untuk faktor gelincir yang hanya didasarkan pada gesekan saja seperti pada
persamaan sebelumnya terlampaui maka dapat dipertimbangkan faktor
keamanan yang mencakup geser.
( ) +
()
Dimana :
C = satuan kekuatan geser bahan (KN/m2)
A = luas dasar yang dipertimbangkan
o Gulung
Keamanan terhadap guling direncanakan dengan meninjau tebal lantai pada
titik pusat resultan gaya. Persamaan untuk meninjau keamanan terhadap
guling adalah:
dx = tebal lantai pada titik X (m)
Px = tekanan pada titik X (kg/m3)
Wx = kedalaman air pada titik X (m)
S = safety factor (1.5 s.d 1.25 untuk kondisi darurat)
Sementara untuk intake perencanaan dimensi intake dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan:
= 2 (Sosrodarson0,1977)
Dimana :
Q = Debit kapasitas penyadapan (m3/s)
C = Koefisien Debit (0.62)
H = Tinggi air dari titik tengah lubang ke permukaan (m)
g = Percepatan gravitasi (m/s2)
A = Luas Penampang lubang (m2)
Perhitungan dimensi bak penenang dapat ditentukan berdasarkan persamaan di bawah ini :
Sementara untuk menghitung panjang pipa pesat yang dibutuhkan dapat dilihat pada peta
kontur yang ada pada daerah yang ingin direncanakan sebagai PLTMH.
3.7 Turbin
3.8 Tailrace
3.9 Perhitungan Daya yang Dihasilkan
Daya yang dihasilkan oleh PLTMH merupakanfungsi dari tinggi head efektif (beda tinggi
antara power house dan forebay). Perhitungan daya untuk PLTMH dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
=
Dimana :
H = tinggi head atau beda elevasi antara forebay dengan power house (m)
g = percepatan gravitasi (m/s2)
eff = efisiensi (%)
Q = debit rencana yang melewati pipa pesat (m3/s)
3.10 Analisa Hidrologi
Analisa hidrologi pada perencanaan PLTMH bertujuan untuk menentukan debit rencana
untuk turbin PLTMH dan debit rencana banjir. analisa hidrologi dilakukan dengan
mengkonversikan data hujan menjadi data debit dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
Pengisian data hujan yang hilang (apabila digunakan lebih dari satu stasiun)
Perhitungan curah hujan wilayah
Analisa frekuensi
Perhitungan debit andalan dengan menggunakan metode Fj.Mock
Perhitungan debit banjir rencana
Data debit dalam perencanaan ini diperoleh dari data hujan dikarenakan sulitnya untuk
memperoleh data debit riil yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. Berikut adalah
penjelasan masing-masing tahaan dalam analisa hidrologi:
3.10.1 Pengisian data hujan yang hilang
Dalam perencanaan PLTMH ini semakin panjang seri data yang digunakan semakin baik
namun dalam hal ini kami menggunakan seri data hujan harian sepanjang 10 tahun (2000-
2009). Namun permasalahan yang sering muncul pada pencatatan data harian adalah data
yang hilang akibat kerusakan alat ataupun karena kesalahan operator yang tidak melakukan
pencatatan. Terdapat dua metode umum yang digunakan dalam pengisian data hujan yang
hilang, yaitu metode aritmatika, metode rasio normal, dan IDW (Inverse Distant
Weight).Berikut adalah masing-masing persamaannya
1. Metode Aritmatika
=1
=
Dengan:
Ra= data hujan pada stasiun yang akan diperkirakan (mm)
n = jumlah stasiun
Ri = hujan pada stasiun lain yang diketahui (mm)
2. Kebalikan Kuadrat Jarak
Apabila jarak antara stasiun dengan data hujan yang hilang dengan stasiun lainnya
diketahui dapat digunakan persamaan:
2
=
1
2
Ra = Hujan pada stasiun yang ditinjau
Rx = Hujan pada stasiun yang diketahui
Sx = jarak antara stasiun yang ditinjau dengan stasiun yang diketahui
3. Metode Rasio Normal
Jika pencatatan data padatahun tertentu hilang sementara data dari stasiun lain tersedia
dengan seri data yang panjang maka dapat dilakukan analisis dengan metode ini.
Persamaan untuk metode rasio normal adalah sebagai berikut:
1
= ( )
=1
Dengan:
n = jumlah stasiun
Ri= curah hujan pada stasiun terdekat yang diketahui
Na= curah hujan tahunan normal (idealnya merupakan rata-rata hujan tahunan selama 30
tahun)
Ni = curah hujan tahunan rata-rata pada stasiun yang diketahui
3.10.2 Perhitungan Curah Hujan Wilayah
Perhitungan curah hujan wilayah digunakan untuk mengetahui besar hujan rata-rata yang
terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS). Terdapat 3 Metode yang umum digunakan dalam
perhitungan curah hujan wilayah, berikut adalah rumus-rumus yang digunakan:
1. Metode Aritmatika
Merupakan metode perhitungan curah hujan wilayah paling sederhana, perhitungan
dilakukan dengan merata-rata hujan titik dibeberapa stasiun
n
1
RH =
n
H
i 1
i
Dimana:
Hi = hujan pada masing-masing stasiun 1,2,., n dalam areal yang ditinjau,
n = jumlah stasiun stasiun pengamat
RH = rata-rata hujan
2. Metode Poligon Thiessen
Metode ini dikenal juga dengan metode rata-rata timbang (weighted mean). Cara ini
memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos hujan untuk mengakomodasi
ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan garis-garis
sumbu yang tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos terdekat. Asumsi
yang digunakan variasi hujan antara pos adalah linier dan data setiap pos dapat mewakili
daerah yang dibatasi oleh poligon. Hasil metode poligon thiessen lebih akurat
dibandingkan dengan metode rata-rata aljabar. Cara ini cocok untuk daerah dengan luas
500 km2 s.d 5000 km2, dan jumlah pos penakar hujan terbatas dibandingkan luasnya.
Rumus untuk metode ini adalah :
n
i1
H i . Li
RH = n
i1
Li
Dimana:
RH = rata-rata hujan wilayah
Hi = hujan pada masing-masing stasiun 1,2,., n
Li = luas poligon/ wilayah pengaruh setiap stasiun
n = jumlah stasiun yang ditinjau
3. Metode Isohyet
Metode ini dapat digunakan dengan menggambarkan garis kontur yang menghubungkan
daerah-daerah dengan curah hujan yang sama selama periode tertentu. Metode ini biasa
digunakan pada daerah yang memiliki luas daerah lebih dari 5000 km2. Rumus untuk
metode ini:
n
H .L
i 1
i i
Dengan: RH = n
Namun pada kenyataannya seringkali susah untuk memperoleh data yang baik dari tiga
stasiun dengan periode waktu yang sama, sehingga World Meteorological Organization
(WMO) memberikan toleransi penggunaan data hujan untuk satu stasiun untuk
merepresentasikan hujan wilayah dengan kriteria sebagai berikut:
1. Daerah dataran beriklim sedang, mediteran, dan tropis dapat menggunakan 1 stasiun
untuk luas daerah 600 s.d 900 km2
2. Daerah pegunungan dengan iklim sedang, mediteran, dan tropis dapat menggunakan 1
stasiun untuk luas daerah 100 s.d 250 km2
3. Pulau-pulau kecil (<20000 km2) serta untuk daerah kering dan wilayah kutub dapat
digunakan 1 stasiun untuk mewakili wilayah 1500 s.d 10000 km2
Karakteristik dari distribusi gumbel adalah pola distribusi ini memiliki nilai koefisien
kemencengan (skewness) 1.1396 dan Kurtosis 5.4002.
Dalam perhitungan metode Log pearson terdapat beberapa parameter yang harus
ditentukan terlebih dahulu, diantaranya:
Tentukan nilai Y = Log X
Tentukan nilai rata-rata Y :
log()
=
Tentukan nilai deviasi Standar:
2
( )
=
1
Menentuakan nilai karakteristik distribusi (K) berdasarkan koefisien
kemencengan (dapat dilihat pada tabel terlampir):
3
(log() log())
=
( 1)( 2)()3
= koefisien kemencengan
Karakteristik dari distribusi Log Pearson III adalah memiliki bentuk persamaan
Kurtosis mendekati Ck = 1.5 * CS2 + 3
Nilai X2 hasil perhitungan nilainya harus lebih kecil dari harga X2 kritis (dapat dilihat
pada tabel terlampir) untuk derajat nyata tertentu (level of significance) yang diambil
5%. Adapun derajat kebebasan ini secara umum dapat dinyatakan dengan persamaan :
= ( + 1)
Dengan:
DK = derajat Kebebasan
K = banyaknya kelas
P = banyaknya keterikatan atau banyaknya parameter (pada Chi Square diambil P=2).
Dalam hal ini disarankan agar banyaknya kelas tidak kurang dari 5 dan frekuensi
absolut tiap kelas juga tidak kurang dari 5. Apabila terdapat kelas yang frekuensinya
kurang dari 5 maka dapat dilakukan penggabungan dengan kelas yang lainnya.
1. Luas DAS
2. Panjang sungai utama
3. Koefisien aliran
Nilai ditentukan berdasarkan bentuk hidrograf banjir pada DAS dalam hal ini
dipilih = 2
2.4
= ( )
:
= debit limpasan sebelum s.d puncak banjir (m3/s)
= Debit puncak (m3/s)
= waktu (jam)
= waktu puncak (jam)
Saat (TptTp+T0.3)
= 0.3 0.3
+1.50.3
= 0.3 20.3
Dalam permulaan tahun 1938, F.F. Snyder dari Amerika Serikat telah membuat
persamaan empiris dengan koefisien-koefisien empiris yang menghubungkan unsur-
unsur hidrograf satuan dengan karakteristik daerah pengaliran. Hidrograf satuan
tersebut ditentukan secara cukup baik dengan hubungan ketiga unsur yang lain yaitu
Qp (m3/dt ), Tb serta Tr ( jam ). Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan
dengan persamaan-persamaan :
= ( )0.3
=
= 3 +
8
=
5.5
Apabila durasi hujan efektif tidak(tr) sama dengan durasi hujan standar (td), maka:
= +
4
=
Dengan:
tD = Durasi Standar Hujan efektif (jam)
TB = Time base (waktu dasar) (jam)
Qp = Debit puncak Banjir untuk durasi tD (m3/s)
QPr = Debit puncak untuk hujan durasi tr (m3/s)
tp = waktu puncak (jam)
tPr = waktu puncak untuk hujan dengan durasi tR
tr = Durasi Hujan efektif
L = panjang sungai induk dari outlet sampai ke hulu (km)
Lc = Panjang sungai induk dari outlet sampai pusat berat DAS (km)
Ct = koefisien yang bergantung pada kemiringan DAS (bervariasi dari 1.4 s.d 1.7;
Sumber : Triadmojo,2010)
Cp = koefisien yang diturunkan dari karakteristik DAS ( bervariasi antara 0.15 s.d
0.19; Sumber: Triadmojo,2010 )
1.08
75 = 0.13 1.08
W50 dan W75 adalah lebar unit hidrograf pada debit 50% dan 75% dari debit puncak
yang dinyatakan dalam jam. Sebagai acuan lebar W50 dan W75 dibuat dengan easio
1:2 dengan sisi pendek di sebelah kiri puncak.
Dimana :
C = koefisien aliran
A = Luas DAS ( km2)
Angka Reduksi
Haspers Menetapkan angka reduksi yang bergantung pada lama waktu
konsentrasi sebagai berikut:
1 + 3.7104 0.75
=1+ ( )
2 + 15 12
Dimana :
= angka reduksi
t = waktu konsentrasi (jam)
F = luas elips di sekitar DAS (km2)
Waktu Konsentrasi
Untuk waktu konsentrasi Haspers digunakan persamaan :
= 0.10.8 0.3
:
= waktu konsentrasi (jam)
= panjang sungai utama (km)
= Kemiringan Dasar Sungai