Rate This
Ini adalah cuplikan isi pembahasan makalah yang saya buat tentang keperawatan jiwa
ganggguan pola pikir perilaku kekerasan.
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak enak,
cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan akan status dan
prestise yang tidak terpenuhi.
a. Faktor predisposisi
1) Faktor psikologis
Psychoanalytical Theory: Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat
dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua
insting. Pertama insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting
kematian yang di ekspresikan dengan agretivitas.
Frustation-agression theory: Teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal
dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami
hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi
perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi
hampir semua orang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
b) Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-kanak,
atau seduction parental, yang mungkin telah merusak hubungan saling percaya dan harga
diri.
Social Learning Theory, Teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) ini
mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi
dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan
penguatan, maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan
berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang
dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau eksternal. Contoh internal: orang yang
mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif
dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut, seorang anak yang marah
karena tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak berhenti marah.
Anak tersebut akan belajar bahwa bila ia marah maka ia akan mendapatkan apa yang ia
inginkan. Contoh eksternal: seorang anak menunjukkan perilaku agresif setelah melihat
seorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah
boneka.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima,
sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang
asertif.
3) Faktor Biologis
Ada bebrapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai dasar biologis.
Faktor-faktoryangmendukung:
b. Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya terancam.
Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya
ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin
dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena
itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat
berupa internal ataupun eksternal. Contoh stresor eksternal: serangan secara psikis,
kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain.
Sedangkan contoh dari stresor internal: merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan
orang yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.
Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku
kekerasan terbagi dua, yakni:
Respon korban tindak kekerasan sangat bergantung pada tingkat perkembangan korban
pada saat terjadi tindak kekerasan tersebut. Oleh karena itu, tiap pihak yang peduli
dengan korban tindak kekerasan, termasuk perawat, perlu memahami tahap
perkembangan individu sehingga dapat mengidentifikasi dampak tindak kekerasan sesuai
denga titik rawan pada tiap tahap perkembangan individu.
Foley, cir Shives (1994) menjelaskan reaksi korban tindak kekerasan sesuai dengan
tingkat perkembangan mulai dari masa bayi sampai usia dewasa tua. Rasa percaya pada
orang dewasa akan terguncang selama masa bayi (0-3 tahun), preokupasi dengan
tindakan yang salah dan benar pada masa kanak-kanak (4-7 tahun), persepsi yang salah
tentang tindak kekerasan selama masa laten ( 7 tahun -remaja), kerancuan terhadap
perilaku tindak kekerasan dan akibatnya sebagai remaja (pubertas sampai 18 tahun),
kepedulian terhadap kredibilitas, gaya hidup dan nilai moral terjadi pada masa dewasa
muda (18-24 tahun), kepedulian bagaimana tindak kekerasan dapat mempengaruhi
kehidupan keluarga dan gaya hidup selama masa dewasa (25-45 tahun), serta kepedulian
terhadap keselamatan diri, takut mati, reputasi dan kehormatan, dirasakan oleh orang
yang sudah tua (45 tahun dan lebih tua).
Respon korban terhadap tindak kekerasan perlu dikaji dengan memerhatikan tahap
perkembangan individu dan proses adaptasi terhadap tindak kekerasan yang dikenal
dengan sindrom trauma tindak kekerasan. Korban tindak kekerasan atau korban serangan
dengan ancaman akan mengalami ketidakseimbangan internal dan eksternal sebagai
akibat situasi yang mengancam kehidupan yang menimbulkan perasaan takut dan tidak
berdaya luar biasa.
Respon korban tindak kekerasan dapat ditinjau dari respons fisik, respon biologis, respon
psikologis, respon perilaku, dan respon interpersonal.
Respon fisik
Korban tindak kekerasan menderita sejumlah konsekuensi fisik dari yang ringan hingga
berat. Cedera ringan bisa hanya abrasi atau lecet pada kepala, leher, muka, torso, dan alat
pergerakan. Cedera berat meliputi trauma ganda, fraktur yang parah, laserasi, dan cedera
bagian dalam tubuh. Kehilangan penglihatan dan pendengaran dapat diakibatkan oleh
pukulan pada kepala. Kekerasan fisik atau seksual dapat mengakibatkan trauma kepala
yang menimbulkan perubahan dalam kemampuan berpikir, afek, motivasi, dan perilaku.
Respon biologis
Depresi merupakan salah satu respons yang paling sering terjadi akibat penganiayaan.
Depresi berdasarkan gangguan yang bersifat biologis sebagai pengaruh dari stres kronis
terhadap neurotransmiter dan sistem neuroendokrin. Sebagian besar jenis penganiayaan
merupakan bentuk ekstrem dari stres yang kronis. Respon tubuh terhadap stres bersifat
kompleks, sistem reaksi yang terintegrasi memengaruhi tubuh dan jiwa.
Respon psikologis
Respon psikologis terdiri atas harga diri rendah, rasa bersalah, malu, dan marah.
Tahap disorganisasi meliputi reaksi pertama yang diekspresikan atau reaksi yang
ditahan/dikendalikan, reaksi fisik, dan reaksi emosional terhadap situasi yang
mengancam kehidupan korban. Pada tahap akut ini, wanita yang mengalami tindak
kekerasan biasanya merasa cemas, marah, merasa bersalah, merasa terhina, mengingkari,
syok, tidak percaya, atau merasa takut mati, bahkan merasa ingin membalas dendam.
Perasaan yang dialami korban tindak kekerasan dapat bersifat ekspresif dengan
membicarakan perasaan yang dialaminya, atau sebaliknya berupaya untuk
mengendalikan perasaannya dengan tetap tampak tenang. Ketenangan ini tidak berarti
bahwa korban tersebut tidak menderita dan merasa takut, tetapi hanya cara mengatasi
traumanya saja yang berbeda.
Reaksi fisik pada tahap akut bergantung pada cedera tubuh yang dialami. Mereka sakit
pada bagian tertentu yang terkena serangan atau bersifat umum, seperti merasakan otot
yang tegang. Biasanya juga terdapat gangguan pola tidur dan makan. Pada tahap
disorganisasi, reaksi emosional akibat tindak kekerasan adalah perasaan takut, takut
membahayakan tubuh, takut mati, disertai perasan lain seperti marah terhinadan
menyalahkan diri sendiri. Seringkali korban mengalami reaksi emosional yang kuat dan
bereaksi secara berlebihan terhadap situasi lain yang tidak berhubungan dengan tindak
kekerasan. Misalnya mudah tersinggung, tidak sabar, cengeng, dan marah yang dapat
menyebabkan korban merasa tidak mampu mengendalikan diri dan merasa berjarak
terhadap dirinya sendiri.
Reorganisasi adalah proses penyesuaian atau adapatasi selama beberapa bulan setelah
terjadi tindak kekarasan. Stuart & Sudden (1995) dan Johnson (1996) menyatakan bahwa
korban tindak kekerasan mengalami masalah psikologis yang berkepanjangan. Pemulihan
keseimbangan fisik, psikologis, sosial, spritual, dan seksual terjadi perbulan atau bertahun
kemudian. Korban tindak kekerasan kembali pada kehidupan rutin seperti sebelum terjadi
tindak kekerasan. Pada awalnya, bersifat sementara kemudian disusul dengan masa
resolusi, yaitu perasaan terhadap diri sendiri, terahdap perilaku tindak kekerasan, dan
perasaan kehilangan secara bertahap menyatu.
3) Mengakhiri perasaan kehilangan, seperti kehilangan harga diri dan rasa percaya
1) Individu yang mengalami gejala fobia, seperti rasa takut sendirian atau ke luar
rumah
3) Hanya dengan sedikit pemicu dapat menimbulkan gejala trauma tindak kekerasan
4) Menghindari kontak dengan orang yang identik dengan pelaku tindak kekerasan
5) Menarik diri, pendiam, atau mudah marah terhadap keluarga dan teman. Kondisi
tersebut biasanya terlihat pada korban tindak kekerasan yang tidak pernah membicarakan
kejadian yang dialaminya
Like this:
Suka
Be the first to like this post.