Anda di halaman 1dari 12

DEKONSTRUKSI CITRA KEPEREMPUANAN DALAM SASTRA:

DARI BUDAYA LOKAL HINGGA GLOBAL


Oleh Ali Imron A-Maruf
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP& Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Abstrak
Sosok perempuan dalam karya sastra Indonesia tampil dengan pluralitas budaya
dan makna yang kaya nuansa, sejalan dengan mencuatnya issu jender dan makin
eksisnya kaum perempuan. Dengan pendekatan kritik sastra feminis ideologis, ditemukan
bahwa masalah jender telah disoroti para sastrawan kita, sejak zaman Balai Pustaka
(1920-an) dan memuncak pada akhir abad XX lewat Saman (Ayu Utami, 1998).
Berdasarkan analisis literer dapat dikemukakan, bahwa citra keperempuanan
dalam sastra Indonesia dapat diklasifikasi menjadi empat: (1) Ingin merombak sistem
hubungan laki-laki dan perempuan agar harmonis dan bebas dalam menentukan pilihan
hati seperti dalam Sitti Nurbaya pada masa Balai Pustaka; (2) Memprotes ketidakadilan
jender dan menuntut kebebasan dalam melakukan aktivitas di sektor publik yang diwakili
Layar Terkembang dan Belenggu pada masa Pujangga Baru; (3) Menggugat
ketidakadilan jender dalam budaya lokal (Jawa) yang menempatkan perempuan sebagai
manusia kelas dua, yang diwakili Sri Sumarah, Pengakuan Pariyem, dan Ronggeng
Dukuh Paruk pada dekade 1970 hingga 1980-an; dan (4) Suara keperempuanan global
yang mendekonstruksi kemudian merekonstruksi nilai-nilai tradisi dunia perempuan,
yang disuarakan antara lain oleh kumpulan puisi Wanita Penyair Indonesia dan Saman
pada akhir abad XX.

Kata kunci: Dekonstruksi, sastra feminis, citra keperempuanan, budaya lokal dan global.

1. Pendahuluan rakat, terjadi pula dalam dunia sastra.


Kajian perempuan di bidang sastra Karya-karya pengarang wanita jarang
akhir-akhir ini mulai mengemuka, seiring mendapatkan tempat yang berwibawa di
dengan semakin mencuatnya issu jender. kalangan sastrawan sezamannya. Padahal
Hal ini dapat dipahami sejalan dengan karya-karya mereka sebenarnya juga tidak
makin maraknya studi tentang perempuan kalah pentingnya dibanding dengan karya
di berbagai kalangan. Terlebih pada insti- pengarang pria. Selain itu, sosok wanita
tusi perguruan tinggi, kajian perempuan dalam karya sastra juga sering ditampilkan
demikian kuat terbukti dengan berdirinya sebagai manusia kelas dua.
berbagai Pusat Studi Wanita (PSW) yang Demikian pula dengan beberapa
kini lebih populer dengan Pusat Kajian pengecualian misalnya yang dilakukan
Jender (PKJ). oleh Korrie Layun Rampan (1991; 1997),
Menguatnya issu jender berdampak Tuti Heraty (1998), dan Sugihastuti (2002)
luas terhadap timbulnya kesadaran di kala- masih jarang kritikus sastra mengkaji seca-
ngan para pemerhati sastra, bahwa kaum ra khusus karya-karya perempuan, suara-
perempuan yang sejak lama sering tersisih, suara mereka, pikiran, perasaan, dan
termarginalisasi dalam kehidupan masya- jeritan serta ideologi mereka yang selama
ini tersubordinasi kaum laki-laki. Benarlah

1
pandangan Djajanegara (2000: 17-18), Kritik sastra feminis yang merupakan
bahwa baik kanon sastra tradisional wujud gugatan dari kaum perempuan atas
maupun pandangan tentang manusia dalam termarginalisasinya para pengarang wani-
karya sastra pada umumnya mencermin- ta, kini semakian memperoleh tempatnya.
kan ketimpangan yang meminggirkan Demikian pula, dalam kajian dekonstruksi
peran kaum perempuan. Sehingga, ideolo- citra keperempuanan dalam sastra Indone-
gi jender dalam sastra terkesampingkan sia ini, kritik sasrtra feminis dipakai seba-
atau kurang diperhatikan oleh para kritikus gai pisau analisisnya.
sastra dunia kaum laki-laki. Permasalahannya adalah bagaimana
Sejalan dengan itu, jika dicermati dinamika prasangka jender dalam sastra
sebenarnya prasangka jender telah lama Indonesia. Lalu, bagaimana citra perem-
diungkapkan oleh para sastrawan setidak- puan dalam sastra Indonesia dalam pers-
tidaknya mulai zaman Balai Pustaka. pektif jender, dan bagaimana tipologi
Bahkan, jika ditarik mundur, prasangka suara pengarang laki-laki dan perempuan
jender telah muncul pada karya-karya dalam menyoroti sosok perempuan?
sastra klasik. Meskipun istilah prasangka
jender belum populer bahkan belum ada 2. Pendekatan Kritik Sastra Feminis
dan Dekonstruksi
pada zaman Balai Pustaka (dekade 1920-
an), namun beberapa sastrawan telah Kritik sastra feminis merupakan salah
memiliki kepekaan yang luar biasa terha- satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir
dap prasangka jender. Demikian pula, pada sebagai respons atas berkembangnya
zaman Pujangga Baru, prasangka jender feminisme di berbagai negara. Feminisme
terasa lebih menguat dan mencapai adalah gerakan kaum perempuan yang
puncaknya pada dekade 1990-an. menuntut persamaan hak antara perem-
puan dan laki-laki, yang meliputi semua
Paparan di atas menunjukkan, bahwa
aspek kehidupan, baik di bidang politik,
sosok perempuan dalam karya sastra
ekonomi, maupun sosial budaya (Djaja-
Indonesia tampil dengan pluralitas budaya
negara, 2000: 16). Jika perempuan sedera-
dan makna yang kaya nuansa. Sejalan
jat dengan laki-laki, maka mereka
dengan mencuatnya issu jender dan eksis-
memiliki hak untuk menentukan dirinya
nya kaum wanita pada abad XXI seperti
sendiri, seperti halnya kaum laki-laki
diprediksikan oleh futurolog Naisbitt &
selama ini. Jadi, feminisme merupakan
Aburdence (1990: 201-225), citra dan
gerakan kaum perempuan untuk memper-
stereotip perempuan dalam sastra Indone-
oleh otonomi atau kebebasan menentukan
sia pun mengalami dinamika yang luar
dirinya sendiri (Sugihastuti, 2002: 61).
biasa unik dan menarik. Unik, karena citra
keperempuanan berperspektif jender dalam Feminisme bukan merupakan upaya
sastra itu terlihat sangat variatif dari segi pemberontakan terhadap laki-laki, upaya
ideologisnya. Menarik, karena dunia melawan pranata sosial seperti institusi
keperempuanan dalam karya sastra justru rumah tangga dan perkawinan, ataupun
digugat dengan keberanian luar biasa dan upaya perempuan untuk mengingkari
blak-blakan oleh pengarang wanita. kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya
untuk mengakhiri penindasan dan eksploi-
Dalam kajian sastra Indonesia, studi
tasi perempuan (Fakih, 1996: 78-79).
tentang perempuan makin banyak dilaku-
Feminisme merupakan teori tentang persa-
kan dengan diterapkannya kritik sastra
maan antara laki-laki dan perempuan di
feminis yang mula-mula berkembang di
bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau
Amerika pada beberapa dekade yang lalu.

2
kegiatan terorganisasi yang memperjuang- 8). Misalnya, bahwa wanita itu dikenal
kan hak-hak dan kepentingan perempuan lemah lembut, cantik, sering mengedepan-
(Goefe, 1986: 837). kan perasaan (emosional), pemalu, setia,
Dengan kata lain, gerakan feminisme dan keibuan. Sedangkan pria dianggap
merupakan perjuangan dalam rangka kuat, gagah, sering mengedepankan akal
mentransformasikan sistem dan struktur (rasional), agresif, tidak setia, jantan dan
sosial yang tidak adil menunju keadilan perkasa. Jadi, jender menurut Oakley
bagi kaum laki-laki dan perempuan. (dalam Fakih,1996: 71-72) merupakan
Adapun sasaran feminisme bukan sekedar perbedaan antara laki-laki dan perempuan
masalah jender, melainkan masalah kema- yang bukan biologis dan kodrat Tuhan.
nusiaan atau memperjuangkan hak-hak Oleh karena itu, seperti pandangan Gailey
kemanusiaan. (dalam Hess dan Ferree, 1987: 30), bahwa
dari kacamata sosiologis, jender tidak
Dalam kajian sastra, feminisme
bersifat universal. Ia bervariasi dari
terformulasi dalam kritik sastra feminis,
masyarakat yang satu ke masyarakat yang
yakni kajian sastra yang mengarahkan
lain dari waktu ke waktu, dari tempat ke
fokus analisisnya pada perempuan. Jika
tempat, dari kelas ke kelas. Walaupun
selama ini ada anggapan bahwa yang
demikian, ada dua elemen jender yang
mewakili pembaca dan pencipta dalam
bersifat universal, yakni: (1) Jender tidak
sastra Barat adalah laki-laki, kritik sastra
identik dengan jenis kelamin, dan (2)
feminis menunjukkan bahwa pembaca
Jender merupakan dasar dari pembagian
perempuan membawa persepsi dan horison
kerja di semua masyarakat.
harapan ke dalam pengalaman sastranya
(Showalter, 1985: 3). Kritik sastra feminis Adapun jenis kelamin lebih mengacu
bertolak pada permasalahan pokok, yakni pada aspek biologis atau kodrati manusia
anggapan perbedaan seksual dalam inter- pemberian dari Tuhan yang tidak dapat
pretasi dan pemaknaan karya sastra. dipertukarkan antara laki-laki dengan
perempuan dan tidak berubah secara
Dalam kritik sastra feminis, pengritik
universal dan sepanjang zaman. Misalnya:
memandang sastra dengan kesadaran
perempuan dapat hamil, melahirkan, lalu
khusus, bahwa ada jenis kelamin yang
menyusui anaknya, sedangkan laki-laki
berhubungan dengan budaya, sastra, dan
tidak dapat melakaukan tiga hal tersebut
kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang
(Fakih, 1996: 71-72).
membuat perbedaan pula pada pengarang,
pembaca, perwatakan, dan faktor luar yang Ada banyak ragam kritik sastra
mempengaruhi situasi karang-mengarang. feminis, antara lain: (1) kritik ideologis,
(2) kritik yang mengkaji penulis-penulis
Jiwa analisis kritik sastra feminis
wanita, (3) kritik sastra sosial atau Marxis,
adalah analisis jender. Dalam analisis
(4) kritik sastra feminis-psikoanalitik, (5)
jender, kritikus harus dapat membedakan
kritik sastra feminis-lesbian, (6) kritik
konsep jender dengan seks (jenis kelamin).
sastra feminis-ras (etnik). Sesuai dengan
Jender adalah suatu sifat yang melekat
tujuan kajian ini dan mengingat berbagai
pada kaum pria dan wanita yang dikons-
keterbatasan, yang akan diterapkan dalam
truksi secara sosial dan kultural melalui
kajian ini adalah kritik sastra feminis
proses panjang Jadi, jender merupakan
ideologis, yang dapat disejajarkan dengan
kontruksi sosio-kultural yang pada dasar-
konsep Culler (1975: 43-63) tentang
nya merupakan interprertasi kultural atas
reading as woman. Konsep ini kiranya
perbedaan jenis kelamin (Fakih, 1996: 7-
dapat diterapkan dalam membongkar

3
praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki hal-hal yang dikisahkan atau dilaporkan.
yang andosentris atau ptariarkal, yang Jadi, diegesis adalah sebuah sekuens
hingga sekarang diasumsikan menguasai tindakan-tindakan atau peristiwa-peristiwa
penulisan dan pembacaan sastra di di dalam teks naratif yang dapat dipahami
berbagai negara. oleh pembaca (Budiman, 1999: 24).
Kritik ideologis melibatkan pembaca Selain kritik sastra feminis, dalam
wanita dan menyoroti citra dan stereotipe kajian ini juga diterapkan teori dekons-
wanita dalam karya sastra (Djajanegara: truksi yakni sebuah metode pembacaan
17-19), namun dapat saja kritik ideologis teks secara teliti, dengan menginterogasi
dilakukan oleh pembaca pria. Dalam hal teks, merusaknya melalui pertahanannya,
ini, kajian akan memusatkan perhatiannya dan mencari oposisi biner yang tertulis
pada citra dan stereotipe wanita dalam dalam teks (Sarup, 1993: 50). Adapun
karya sastra Indonesia dari zaman Balai oposisi biner mengacu pada suatu pasa-
Pustaka (1920-an) sampai dengan zaman ngan kata-kata yang saling beroposisi
global (Angkatan 2000). antara satu dengan lainnya yang bersifat
Dalam teks sastra, mungkin saja hirarkis yang hirarkisnya itu bersifat kon-
pengarang wanita sering menciptakan disional. Dikatakan kondisional karena
tokoh-tokoh wanita dengan stereotipe yang dalam pandangan post-strukturalisme
memenuhi atau tidak memenuhi norma bahasa dipandang sebagai tidak stabil,
masyarakat patriarkal. Namun, dalam dapat berubah-ubah setiap saat. Berbeda
karya-karya pengarang pria dapat juga halnya dengan oposisi biner dalam
menunjukkan tokoh-tokoh wanita yang strukturalisme yang oposisi-oposisinya
kuat dan mungkin sekali justru mendukung dibayangkan bersifat tetap dan setara.
nilai-nilai feminis. Misalnya, tokoh wanita Dalam praktiknya, dekonstruksi
dilukiskan aktif dalam kehidupan masya- meliputi pembalikan dan pemindahan
rakat, cerdas, intelek, progresif, berani, (Sarup, 1993: 51). Dalam langkah pemba-
lincah, dan mandiri. likan, oposisi-oposisi hirarkis dirobohkan.
Sebagai karya sastra, novel sebagai Dalam fase berikutnya, pembalikan ini
sebuah cerita jika dipertentangkan dengan harus dipindahkan, istilah lainnya di
alur mengacu pada peristiwa-peristiwa bawah penghapusan (sous rature). Teks
dalam urutan yang kronologis. Pengertian yang dibaca secara dekonstruksi akan
ini sejalan dengan pengertian diegesis. terlihat acuannya melampaui dirinya sen-
Dalam teori semiotik, cerita atau diagesis diri, referen itu pada akhirnya dapat
ini merupakan sebuah produk yang dihasil- menjadi teks lain. Seperti halnya tanda
kan oleh pembaca dengan berlandaskan hanya dapat mengacu pada tanda-tanda
pada tanda-tanda yang terdapat di dalam lain, teks juga hanya dapat mengacu pada
teks meskipun tidak pernah dapat sepenuh- teks lain, penyebab suatu jaringan yang
nya dikendalkan oleh tanda-tanda tersebut dapat dikembangkan untuk waktu yang
(Budiman, 1999: 15). tidak terbatas, suatu intertekstualitas
(Sarup, 1993: 52; Pujiharto, 2001: 7).
Seperti halnya mimesis, diegesis meru-
pakan aspek-aspek dari tindakan-tindakan Setelah dilakukan pembacaan secara
atau peristiwa-peristiwa. Secara lebih teliti, di dalam berbagai karya sastra
sederhana dapat dikatakan bahwa mimesis Indonesia ditemukan oposisi-oposisi biner
adalah hal-hal yang ditunjukkan atau seperti: oposisi antara judul dan cerita;
diperagakan, sedangkan diegesis adalah oposisi antara fiksi dan fakta; oposisi
antara fiksi dan sains, oposisi antara karya

4
sastra satu dengan lainnya, dan lain-lain. (memasak, berdandan/ berhias diri, dan
Sesuai dengan tujuan kajian ini, dalam melahirkan anak). Dalam Sitti Nurbaya,
tulisan ini hanya akan dikaji oposisi antara perempuan tidak boleh bekerja di sektor
karya sastra satu dengan karya sastra publik (di luar rumah). Sebaliknya laki-
lainnya. laki tidak dibenarkan turut campur tangan
dalam pekerjasan domestik (di dalam
3. Dekonstruksi Citra Keperempuan- rumah tangga), sebab laki-laki memiliki
an dalam Sastra Indonesia aktivitas dan tugas di sektor publik.
Melalui analisis literer dengan meng-
Sitti Nurbaya menjadi korban keke-
gunakan pendekatan kritik sastra feminis
rasan yang dilakukan oleh laki-laki baik di
ideologis dan teori dekonstruksi di atas,
dalam maupun di luar rumah. Di rumah ia
maka ditemukan bahwa nuansa jender
terpaksa melayani laki-laki yang tidak
telah lama disoroti oleh para sastrawan
dicintainya, Datuk Maringgih (hlm. 145).
kita, setidak-tidaknya dimulai pada dekade
Di luar rumah ia menjadi korban
1920-an yakni pada zaman Balai Pustaka
pelecehan seksual oleh awak kapal dan
dengan novel Sitti Nurbaya karya Marah
korban fitnah bekas suaminya (hlm. 180-
Rusli. Seperti diketahui bahwa novel Sitti
182). Kekerasan seksual yang dilakukan
Nurbaya mengungkapkan masalah perten-
oleh Datuk Maringgih dan awak kapal
tangan adat antara kaum tua dengan kaum
merupakan kekerasan akibat superioritas
muda serta masalah kekerasan dan
laki-laki atas perempuan. Berbagai tindak
penindasan atas orang-orang tidak
pelecehan seksual dan perkosaan terjadi,
berdaya. Masalah-masalah tersebut saling
seperti tercermin dalam karya sastra
bergayut satu dengan lainnya dan jika
menurut Diarsi (1992: 62) karena adanya
ditinjau dengan perspektif feminisme,
anggapan bahwa identitas dan seksualitas
maka hal itu menyaran pada masalah
perempuan terletak pada pihak yang harus
bernuansa jender dan sekaligus mendorong
dikuasai, ditundukkan, dan diperdayakan.
timbulnya emansipasi kaum perempuan.
Sitti Nurabaya merupakan tokoh
Pada masyarakat zaman Sitti Nurbaya
profeminis yang memprotes ketidakadilan
(1920-an) yang patrilineal, yang dipandang
jender yang telah mendarah daging dalam
sebagai kodrat perempuan selain mengan-
kehidupan masyarakat kita. Meskipun ide
dung dan menyusui anak adalah tugas
keperempuanannya tidak radikal, Sitti
mengurus rumah tangga (seperti memasak,
Nurbaya telah mampu membangkitkan
mencuci pakaian, membersihkan dan
semangat jender bagi kaum perempuan
menata keindahan rumah, dan lain-lain),
yang tertindas pada zamannya. Tokoh Sitti
mengasuh anak (merawat, membesarkan,
Nurbaya, meskipun menjadi korban keke-
dan mendidik), dan melayani (kebutuhan)
rasan laki-laki, dilukiskan telah tampil
suami termasuk kebutuhan seks (hlm. 204;
sebagai simbol perempuan yang ingin
lihat pula Sugihastuti dalam Sumjati (Ed.),
membenahi sistem hubungan laki-laki dan
2001: 250-256). Dalam bahasa populer
perempuan sebagaimana mestinya.
aktivitas perempuan seperti itu hanyalah
Misalnya, kebebasan kaum perempuan
pada sektor domestik yang aktivitasnya
dalam memilih tambatan hati, memilih
berkutat dari dapur ke sumur, dari sumur
jodoh dan/ atau menentukan calon suami,
ke kasur, dan begitu seterusnya. Dalam
hak perempuan untuk melakukan aktivitas
budaya Jawa tugas atau aktivitas
di luar rumah (sektor publik), dan lain-
perempuan domestik itu terkenal dengan
lain.
ungkapan masak, macak, lan manak

5
Citra perempuan dalam sastra Indone- jender dan sama sekali tidak terhegemoni
sia semakin berkembang dinamis pada oleh laki-laki. Ia mampu tampil membawa
periode Pujangga Baru (1930-an) ketika diri sebagai sosok perempuan yang sama
St. Takdir Alisyahbana menulis novel sekali di luar bayangan kaum perempuan
Layar Terkembang. Novel ini berupaya pada zaman itu.
mendekonstruksi tokoh Sitti Nurbaya yang Dengan kata lain, Tini dalam novel
ditampilkan Marah Rusli sebagai makhluk Belenggu memutarbalikkan citra perem-
yang dengan berbagai cara ditekan oleh puan pada zaman itu. Jika Tono, suaminya,
kekuatan di sekelilingnya. Sitti Nurbaya banyak kegiatan dan bekerja di luar rumah
merupakan tokoh korban kekerasan kaum dengan profesinya sebagai dokter, Tini
laki-laki. pun banyak melakukan aktivitas di bidang
Dalam novel Layar Terkembang Tutik sosial dengan memimpin organisasi sosial
menyuarakan kaum perempuan yang kemasyarakatan (hlm. 148-152; 154-156).
mencoba menyejajarkan dirinya dengan Suatu keberanian yang luar biasa dari
kaum laki-laki dalam aktivitas di sektor seorang Armijn Pane pada zamannya.
publik, meskipun masih terbatasi oleh Sehingga, dalam konteks ini Damono
hegemoni laki-laki. Tutik ditampilkan (dalam Djajanegera, 2000: xi) menyebut
sebagai sosok perempuan yang terpelajar tokoh Tini dalam Belenggu, demikian juga
(intelek), mahasiswa yang aktif dalam Sitti Nurbaya dalam Sitti Nurbaya, Tuti
berbagai perjuangan untuk membebaskan dalam Layar Terkembang, sebagai
kaum perempuan dari ketertindasan, keter- perempuan-perempuan perkasa (memin-
pasungan, dan keberbedaan haknya dengan jam istilah Hartoyo Andangdjaja dalam
laki-laki. Dia bergabung dalam organisasi sebuah sajaknya) yang berpikiran maju,
perjuangan atau gerakan Putri Sedar yang jauh lebih maju daripada tokoh-tokoh laki-
berusaha memperjuangkan persamaan hak laki di sekitar mereka, yang berusaha
antara perempuan dengan laki-laki dengan menjawab berbagai persoalan yang
berbagai aktivitasnya (hlm. 137-138). muncul sebagai akibat dari apa yang
Layar Terkembang karya pengarang kemudian kita kenal sebagai modernisasi.
laki-laki (Alisyahbana) telah berhasil Belenggu dan sebenarnya juga Layar
mengangkat sosok perempuan yang Terkembang menampilkan tokoh-tokoh
mengangkat panji-panji jender, yang perempuan yang menghadapi dan menja-
berwawasan jauh ke depan. Sampai- wab persoalan-persoalan universal tentang
sampai oleh para kritikus (misalnya hubungan antarmanusia baik sebagai
Rampan, 1983: 28-29; Damono, dalam warga masyarakat maupun sebagai indi-
Djajanegera, 2000: xi; Sugihastuti, 2001: vidu. Tokoh-tokoh perempuan tersebut
232), Tuti dalam novel tersebut dinyatakan mengedepankan upaya pembebasan
sebagai perempuan yang sikap dan cara kaum perempuan dari intervensi masalah
hidupnya menembus batas pada adat, tradisi, agama, moral, dan konvensi-
zamannya ketika ia hidup. konvensi lainnya. Tokoh-tokoh perempuan
Gagasan keperempuanan yang progre- itu ditampilkan sebagai pribadi manusia
sif dalam novel Layar Terkembang itu secara utuh menurut eksistensi asasinya
kemudian didekonstruksi oleh Armijn tanpa kehilangan kodratnya untuk memilih
Pane dengan romannya Belenggu. Di sini dan melakukan sesuatu yang disukainya.
Tini, seperti halnya Tuti dalam Layar Sehingga, tokoh-tokoh perempuan dalam
Terkembang, ditampilkan sebagai tokoh novel ini terasa inkonvensional pada
perempuan dengan membawa panji-panji zamannya. Bahkan, masyarakat belum siap

6
menerima tokoh-tokoh perempuan dengan Senada dengan Sri Sumarah, pada
pribadi jati diri semacam itu. tahun 1981 muncullah Pengakuan
Karya sastra yang mendendangkan Pariyem Dunia Batin Seorang Wanita
suara perempuan kemudian tidak terdengar Jawa, sebuah prosa liris karya Linus
begitu lantang dan mengalami kelesuan Suryadi AG. Dalam karya ini, tokoh
pada zaman Angkatan 1945. Hal ini agak- Pariyem, seperti subjudulnya, ditampilkan
nya sebagai akibat situasi sosial politik sebagai wanita pembantu rumah tangga
pada masa itu dengan pecahnya revolusi yang mencerminkan sosok wanita yang
kemerdekaan. Sehingga, karya-karya benar-benar memiliki kepribadian wanita
sastra Indonesia yang lahir pada zaman itu Jawa yang menjadi abdi dalem keluarga
banyak mengangkat nuansa-nuansa sosial bangsawan Kanjeng Cokro Sentono di
politik yang sedang berkembang pada nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarto
masa itu. yang terhormat. Lugu, kurang terpelajar,
sederhana, patuh, setia mengabdi, namun
Baru pada tahun 1975 terbitlah Sri
memiliki kepribadian yang cukup menarik
Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam
justru karena keluguannya itu, di samping
yang menyoroti sosok perempuan Jawa
tubuhnya yang sintal dan wajah yang
yang sumarah, bekti (berbakti) dan setia
menarik.
kepada suami (alm.), sabar, serba pasrah
atas apa yang terjadi dalam dirinya. Dalam Pengakuan Pariyem (1981),
Namun, akhirnya Sri, tokoh cerita ini, dilukiskan ia pasrah terhadap kemauan
memberontak juga terhadap kemapanan Den Baguse, pemuda belia, anak sulung
moral wanita dan etika sosial terlebih majikannya, ketika pemuda belia yang
moral dan budaya masyarakat Jawa waktu belum pengalaman itu sering merayunya,
itu--, ketika bertemu dengan pemuda bahkan kemudian menggaulinya (hlm.
pelanggannya. Pemuda atau tepatnya laki- 135-139). Dengan suka rela dia melayani
laki muda yang tampan, bertubuh kuat, gairah Den Baguse dan dia pun menikma-
dan berperangai halus, telah meruntuhkan tinya. Namun, terkadang dia yang meng-
benteng pertahanannya sebagai wanita ambil inisiatif dengan menggoda Den
Jawa sejati yang sumarah (hlm. 95-100). Baguse, jika dia merasa gatal ketagihan
(hlm. 140-143).
Sri, ditampilkan sebagai perempuan
Jawa yang semula memiliki kepribadian Di balik kepasrahan dan kerelaan Iyem
sebagaimana layaknya perempuan Jawa kepada Den Baguse, sebenarnya Iyem
sejati, akhirnya memberontak dan yang kelihatannya tak berdaya itu mem-
menerjang pagar-pagar adat dan moral berontak kemapanan adat dan moral
wanita Jawa yang selama itu digenggam- sosialnya. Iyem, dengan pengaruh dan
nya sebagai falsafah dan pegangan hidup. bantuan Sokidi Kliwon, kekasihnya, yang
Umar Kayam telah berhasil menampilkan sudah membawa nilai-nilai hidup Metro-
sosok wanita Jawa yang akhirnya toh politan telah ditampilkan oleh Linus
harus menemui kenyataan bahwa dirinya Suryadi A.G. sebagai wanita Jawa yang
tidak mampu melawan panggilan hati dan berani melawan arus adat dan tradisi
suara-suara dari dalam yang bersifat manu- masyarakatnya, yang memegang teguh
siawi, meskipun harus menerjang moral susila. Bahkan, Iyem merupakan simbol
dan adat Jawa, terlebih agama. Dia wanita Jawa lugu dan tidak terpelajar
menyerah kepada seorang pemuda tam- namun memiliki pengalaman yang cukup
pan yang priyayi dan penuh gelora belia. canggih dalam hal hubungan seks dan

7
mampu menaklukkan Den Baguse (hlm. balutan budaya lokal. Jika Iyem menyerah-
76-78). kan keperawanannya kepada Kliwon
Selain babu yang lugu dan tidak pacar dhemenannya atau teman berse-
terpelajar, Iyem juga dilukiskan sudah lingkuhnya sebelum digauli Den Baguse,
pintar dalam masalah hubungan seks. Hal maka Srintil menyerahkan keperawanan-
ini untuk mengolok-olok dan mencibir nya kepada Rasus sang pacar, laki-laki
para bangsawan yang dipandang sebagai yang dicintainya, sebelum Srintil harus
lelaki mata keranjang, lelaki hidung mengikuti upacara bukak klambu (mem-
belang, asal bathuk klimis dimakan, tanpa buka klambu). Bukak klambu merupakan
pandang siapa pun dilahapnya, namun sebuah upacara ritual untuk melelang dan
sama sekali tidak berpengalaman dalam memperebutkan keperawanan sang calon
masalah seks (hlm. 136-138). Tokoh Iyem ronggeng (Srintil) dengan sejumlah uang
dengan sinis menggugat dan menjungkir- dan untuk mengukuhkan dirinya sebagai
balikkan nilai-nilai kehormatan keluarga seorang ronggeng.
bangsawan (Ngayogyakarta dan lain-lain) Sebagai ronggeng, tokoh Srintil tampil
yang semestinya terpandang sebagai sebagai perempuan yang berani membe-
priyayi terhormat, termasuk dalam hal rontak terhadap tradisi dunia ronggeng
moral dan susila (hubungan seks). Dukuh Paruk. Meskipun dalam tradisi,
Ternyata Pariyem yang kelihatannya seorang ronggeng tidak dibenarkan
tidak berdaya itu juga memprotes perla- mengikatkan diri dengan seorang lelaki,
kuan majikannya itu dengan cara menye- ternyata Srintil tak dapat melupakan
rahkan keperawanannya lebih dulu Rasus, kekasih pujaannya. Ketika Rasus
kepada Mas Sokidi Kliwon, dhemenan menghilang dari Dukuh Paruk, jiwa Srintil
atau pacarnya, sebelum kepada anak terkoyak. Srintil tidak dapat menerima
majikannya itu (hlm. 65-70), dan anak keadaan ini dan memberontak dengan
majikannya yang priyayi dan terpelajar itu caranya sendiri. Dia tegar dan berani
tidak mengetahuinya. Penyerahan kepera- melangkahi ketentuan-ketentuan yang
wanannya kepada Kliwon dan beberapa telah lama mengakar dalam dunia perong-
kali perselingkuhan dhemenan-nya gengan, terutama dalam masalah hubungan
dengan Kliwon dapat dipandang sebagai antara seorang ronggeng dengan dukun-
bentuk pemberontakan Iyem terhadap nya. Srintil terjkadang berani menolak
kekuatan hegemoni laki-laki yang menjadi perintah sang dukun (yang juga berperan
anak majikannya. sebagai mucikarinya), jika dia tidak
berkehendak untuk menjalaninya, baik
Dalam karyanya ini, secara gamblang
untuk naik pentas maupun dalam melayani
Linus Suryadi menyoroti ketidakadilan
laki-laki yang diterima sang dukun. Srirntil
jender sekaligus dunia batin seorang
tampil sebagai sebuah simbol pemberonta-
wanita Jawa, yang pada masa sekarang
kan tradisi: hubungan ronggeng dengan
masih tersisa di sebagian masyarakat
dukunnya.
Jawa. Tidak jauh berbeda dengan dua
karya itu (Sri Sumarah, 1975 dan Penga- Ketika menjelang usia dua puluh,
kuan Pariyem, 1981), novel trilogi kesejatian diri Srintil mulai teguh. Dia
Ronggeng Dukuh Paruk (1983; 2003) bermartabat, tidak lapar seperti kebanya-
karya Ahmad Tohari (Catatan buat Emak, kan orang Dukuh Paruk, dan menampik
Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera laki-laki yang tidak disukainya. Hal ini
Bianglala) juga menggugat bias jender merupakan sesuatu di luar tradisi dunia
dalam budaya keperempuanan dalam peronggengan, sebab tradisi di dunia

8
peronggengan memandang ronggeng Aku perempuan yang hadir dan
sebagai milik bersama siapa pun lelaki mengalir
yang sanggup membayarnya. Inilah masa- membawa kemudi
lah yang diberontak oleh Srintil dalam
panji matahari
novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.
Sebuah dekonstruksi suara keperempuanan Aku perempuan yang kembali
yang sungguh berani pada masyarakat Dan berkemas pergi
lingkungannya pada zamannya.
Baik tokoh Sri dalam Sri Sumarah, Suara keperempuanan menukik sangat
Iyem dalam Pariyem Dunia Batin Seorang tajam pada novel fenomenal Saman (1998)
Wanita Jawa maupun Srintil dalam dan Larung (2001) karya Ayu Utami
Ronggeng Dukuh Paruk, kesemuanya seiring dengan era reformasi di Indonesia.
mengusung panji-panji jender. Meskipun Pada Saman, Ayu Utami lewat tokoh-
panji-panji jender diangkat dengan halus, tokoh ceritanya seperti Cok, Yasmin,
namun terasa tajam mengiris, terkadang Sakuntala, dan Laila, secara blak-blakan
sinis, bahkan ironis. memprotes perlakuan deskriminatif atas
Citra perempuan Indonesia dalam kaum perempuan baik dalam hubungan
sastra kemudian meningkat tajam pada lelaki dan perempuan maupun dalam
kumpulan puisi Wanita Penyair Indonesia masalah seks. Pandangan stereotip yang
yang disunting oleh Rampan (1997). Pada menempatkan perempuan sebagai sub-
kumpulan puisi karya tiga puluh wanita ordinat laki-laki digugatnya. Bahkan,
penyair ini terlihat sekali gagasan gugatan lantang itu sering dipandang
penyetaraan jender seperti terlihat dalam menembus batas etika Timur atau diang-
Aku Hadir karya Abidah El-Khalieqy, gap kebablasan oleh sebagian orang.
dalam Perjalanan Para Lelaki karya Oka Sepenggal cerita dari Saman karya Ayu
Rusmini, dan lain-lain. Perhatikan sajak Utami berikut memperlihatkan hal itu.
Aku Hadir karya Abidah El-Khalieqy Tubuhku menari. Sebab menari adalah
berikut: eksplorasi yang tak habis-habis
Aku perempuan yang menyeberangi dengan kulit dan tulang-tulangku,
zaman yang dengannya aku rasakan perih,
Membara tanganku mengenggam ngilu, gigil, juga nyaman. . Dan kelak
pusaka, suara diam ajal. Tubuhku menari. Ia menuruti
bukan nafsu melainkan gairah. Yang
Menyaksikan pertempuran memper-
sublim. Libinal. Labirin (hlm. 115-
anakkan tahta
116).
Raja-raja memecahkan wajah, silsilah
kekuasaan
Di sini dikota ini, malam hari ia
mengikatku pada tempat tidur dan
Aku perempuan yang merakit titian memberi aku dua pelajaran pertamaku
Menabur lahar berapi di bukit sunyi tentang cinta. Inilah wejangannya.
membentangklan impian di ladang- Pertama, hanya lelaki yang boleh
ladang mati menghampiri perempuan. Perempuan
yang memngejar-ngejar lelaki pastilah
musik gelisah dari kerak bumi
sundal. Kedua. Perempuan akan
memberikan tubuhnya pada lelaki

9
yang pantas, dan lelaki itu akan menembus batas etika bagi sang penjaga
menghidupinya dengan hartanya. Itu etika dan budaya, terlebih nilai agama.
dinamakan perkawinan. Kelak, ketika
aku dewasa, aku menganggapnya 4. Empati Pengarang dalam Menyoroti
Keperempuanan dalam Sastra
persundalan yang hipokrit (hlm. 120-
121). Perhatian pengarang baik laki-laki
maupun perempuan terhadap masalah
Dibandingkan dengan karya-karya
keperempuanan dalam karya sastranya
sastra Indonesia sebelumnya, Saman dapat
didorong oleh perasaan cinta dan empati
dikatakan mendekonstruksi terhadap karya
yang besar terhadap dunia keperempuanan
sastra yang ada selama ini dalam menam-
Indonesia yang sejak dulu setidaknya
pilkan bias jender, mendobrak dominasi
sejak zaman Balai Pustaka hingga kini
lelaki atas perempuan. Terlebih pada
perempuan masih menjadi subordinat laki-
Larung karya lanjutannya, nuansa
laki. Namun dapat pula hal itu karena
feminisme global terasa sekali mendomi-
didorong oleh perasaan prihatin bahkan
nasi cerita. Justru melalui tokoh-tokoh
marah akan dunia keperempuanan yang
perempuannya yakni Cok, Sakuntala,
masih termarghinalisasi dibanding dunia
Yasmin, dan Laila, masalah seks yang
laki-laki. Realitas kehidupan masyarakat
selama ini dalam masyarakat seolah-
yang tidak terbantahkan hingga kini
olah menjadi sesuatu yang tabu untuk
tampaknya masih demikian adanya. Yang
dibicarakan secara terbuka bahkan dalam
pasti, seiring dengan perkembangan nilai-
karya sastra sekali pun, dalam Larung
nilai kehidupan yang sejak dulu masih
diperbincangkan dengan bebas, gamblang,
berpihak kepada dunia laki-laki, kaum
dan lugas, tanpa terkesan seronok dengan
perempuan belum banyak berkesempatan
eksploitasi bahasa yang luar biasa
untuk mengaktualisasikan diri. Oleh
memikat.
karena itu, pada masa-masa awal penga-
Bagaimanapun, Saman (1998) kemudi- rang laki-laki lebih banyak daripada
an disusul Larung (2001) karya Ayu Tami pengarang perempuan. Mulai dekade
dapat dikatakan sebagai karya sastra 1970-an sebagai hasil kemerdekaan
Indonesia pertama yang paling berani Republik Indonesia pasca 1950-an dan
dalam mendobrak tradisi keperempuanan kaum perempuan mulai bebas mengenyam
Indonesia dan menggugat secara blak- pendidikan mulai bermunculan pengarang-
blakan bias jender. Bahkan, Saman dan pengarang perempuan yang berkiprah
Larung mungkin tidak berlebihan jika dalam mencipta karya sastra.
dikatakan juga mendobrak gaya bercerita
Dari segi pengarang, pada masa-masa
yang demikian lugas, terbuka, dan
awal pertumbuhan sastra Indonesia, terli-
gamblang, tanpa kehilangan keperem-
hat bahwa justru pengarang prialah yang
puanannya. Inilah barangkali dekonstruk-
banyak menyuarakan keperempuanan
si dan sekaligus rekonstruksi yang dilaku-
seperti tampak pada Marah Rusli (Sitti
kan pengarang atas keperempuanan pada
Nurbaya, 1920-an), St. Takdir
era global. Perempuan era global memper-
Alisyahbana (Layar Terkembang, 1930-
lihatkan adanya kebebasan dalam menyua-
an), Armijn Pane (Belenggu, 1930-an),
rakan aspirasi dan keinginannya serta
kemudian Umar Kayam (Sri Sumarah dan
mengekpresikan gejolak hati dari sisi
Bawuk, 1975), Linus Suryadi A.G.
manusiawinya yang paling asasi, meski
(PengakuanPariyem Dunia Batin Seorang
terkadang terasa kebablasan atau
Wanita Jawa, 1981), Ahmad Tohari

10
(Ronggeng Dukuh Paruk, 1981; Lintang Pengakuan Pariyem, dan Ronggeng Dukuh
Kemukus Dini Hari, 1983; dan Jentera Paruk beserta triloginya pada dekade 1970
Bianglala, 1984). Memang ada beberapa hingga 1980-an; dan (4) Suara keperem-
pengarang wanita pada dekade 1970-an puanan global yang mendekontsruksi
yang juga menyoroti keperempuanan, deskriminasi perempuan dengan laki-laki
namun jumlahnya relatif sedikit. Misalnya: dan merupakan rekonstruksi atas nilai-nilai
Nh. Dini dalam Pada Sebuah Kapal, tradisi dunia perempuan, yang diwakili
Keberangkatan, La Barka (1977), Marga oleh kumpulan puisi, Wanita Penyair
T. dalam Karmila (1977), kemudian Indonesia, Saman dan Larung pada akhir
Aryanti dalam Selembut Bunga (1978), dekade 1990-an (Angkatan 2000).
dan Mariane Katoppo dalam Raumanen Dari segi pengarangnya, terlihat bahwa
(1978), dan karena keterbatasan masih justru sastrawan prialah yang banyak
banyak pengarang perempuan yang belum menyuarakan keperempuanan seperti
terseleksi dalam tulisan ini. tampak pada Marah Rusli, St. Takdir
Pada dekade 1990-an muncul Alisyahbana, Armijn Pane, kemudian
Cerpenis Wanita (1991), Wanita Penyair Umar Kayam, Linus Suryadi, dan Ahmad
Indonesia (1997), Abidah el Khalieqy Tohari. Baru pada dekade 1990-an muncul
dengan Ibuku Laut Berkobar (puisi, 1997), Abidah el Khalieqy dan kawan-kawan
Oka Rusmini dengan Monolog Pohon (tiga puluh wanita penyair Indonesia) dan
(puisi, 1997), dan novel Tarian Bumi novelis Ayu Utami.
(2000), novelis Ayu Utami dalam Saman Dari nuansa keperempuanan yang
(1998), dan Larung (2001), dan lain-lain. digarap, pengarang pria banyak menyoroti
Rampan (2000), menyebut Ayu Utami ketidakadilan jender terutama dalam sis-
sebagai salah satu pelopor Angkatan 2000 tem hubungan laki-laki dan perempuan,
Sastrawan Indonesia yang sangat penting lalu kebebasan beraktivitas dalam sektor
karena karyanya yang fenomenal dan publik, nilai budaya lokal yang sangat
berani menembus batas. deskriminatif atas perempuan. Adapun
5. Penutup pengarang wanita selain menyoroti bias
jender dalam hubungan laki-laki dan
Berdasarkan analisis di atas dapat
perempuan, juga keberanian luar biasa
dikemukakan, bahwa citra keperempuanan
dalam menggugat, mendekonstruksi dan
dalam sastra Indonesia setidak-tidaknya
merekonstruksi dunia keperempuanan
dapat diklasifikasi menjadi empat macam
sendiri, yang dipandang kebablasan oleh
sebagai berikut: (1) Ingin merombak
sebagian kaum perempuan sendiri.
sistem hubungan laki-laki dan perempuan
agar harmonis, dalam menentukan pilihan Daftar Pustaka
hati seperti dalam Sitti Nurbaya pada Alisyahbana, St. Takdir. 1975. Layar
zaman Balai Pustaka; (2) Memprotes Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.
ketidakadilan jender dalam melakukan
aktivitas di sektor publik seperti yang Budiman, Kris. 1992. Subordinasi Perem-
diwakili Layar Terkembang dan Belenggu puan dalam Bahasa Indonesia dalam
pada zaman Pujangga Baru; (3) Susanto, Budi dkk. (Ed.). Citra Wanita
Menggugat ketidakadilan jender dalam dan Kekua-saan (Jawa). Yogyakarta:
budaya lokal (dalam kajian ini Jawa) yang Kanisius.
menempatkan perempuan sebagai manusia Culler, Jonathan. 1975. On Deconstruc-
kelas dua, yang diwakili oleh Sri Sumarah, tion: Theory and Criticism after

11
Structuralism. London and Henley: __________________. 1997. Sepuluh
Routledge abd Kegan Paul. Wanita Penyair Indonesia. Jakarta:
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Gramedia.
Sastra Feminis. Jakarta: PT Gramedia __________________. 2000. Angkatan
Pustaka Utama. 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta:
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Jender & PT Gramedia Widyasarana Indonesia.
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Sarup, Madan. 1993. An Introductory
Pustaka Pelajar. Guide to Post-Structuralism and
Gailey, Christine Ward. 1997. Postmodernism. Athens: The University
Eevolutionary Perspective on Jender of Georgia Press.
Hierarchy dalam Beth B. Hess and Showalter, Elaine. 1985. The New
Mirra Marx Ferree (Ed.). Analyzing Feminist Criticisme. New York:
Jender, a Handbook of Social Science Pantheon Books.
Research. Sage Publications, Inc. Sugihastuti. 2001. Cerita sebagai
Goefe, Philips Bob Cock (Ed.). 1986. Wacana: Analisis Kritik Sastra
Websters Thirds International Dictio- Feminis dalam Sumjati (Ed.). Manusia
nary the English Language. Sprinfield dalam Dinamika Budaya. Yogyakarta:
Massachussetts: Merriam Webster Inc. Fakultas Sastra UGM dan Bigraf
Herati, Toeti. 1988. Dalam Bahasa, Publishing.
Wanita pun Tersudut dalam Idi _________. 2002. Teori dan Apresiasi
Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
(Ed.). Wanita dan Media. Bandung: Sugihastuti dan Suharto. 2002. Kritik
Remaja Rosdakarya. Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka
Kayam, Umar. 1975. Sri Sumarah. Jakarta: Pelajar.
Pustaka Jaya. Sumardjo, Jakob. 1979. Novel Indonesia
Naisbitt, John & Aburdene, Patricia. 1990. Mutakhir Sebuah Kritik. Yogyakarta:
Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990- Nur Cahaya.
an Megatrends 2000. (Terj. FX Suryadi AG, Linus. 1981. Pengakuan
Budijanto). Jakarta: Binarupa Aksara. Pariyem Dunia Batin Seorang Wanita
Pane, Armijn. 1982. Belenggu. Jakarta: PT Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Dian Rakyat. Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh
Pujiharto. 2001. Analisis Dekonstruksi Paruk (Edisi Revisi). Jakarta: PT
Cerpen Rembulan Terapung di Kolam Gramedia.
Renang. Makalah dalam Pertemuan __________ *) Dimuat dalam Jurnal
Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia Kajian Linguistik dan Sastra
XXIII, 9-10 Oktober 2001 di (Terakreditasi Nasional) Jurusan
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia
Rampan, Korrie Layun. 1983. Perjalanan dan Daerah FKIP Universitas
Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Jati. Muhammadiyah Surakarta Vol. 15 No.
__________________. 1991. Apresiasi 29 Desember 2003.
Cerita Pendek Indonesia. Ende Flores:
Nusa Indah.

ooOoo

12

Anda mungkin juga menyukai