PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fred M. Donner, dalam bukunya The Early Islamic Conquests
(1981), berpendapat bahwa kebiasaan bangsa Arab ketika itu
adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu
keluarga (bani dalam bahasa arab), atau suku, untuk
bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah satu di
antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam syuro atau
musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki garis
keturunan dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya
merupakan keluarga jauh.
Hingga pada tiba saatnya Nabi Muhammad meninggal,
kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk
menjadi penerus kepemimpinan Islam setelah wafatnya rasul,
hingga saat ini apa yang dibicarakan di dalam masa tenggang
itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum Muslim, namun
dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum muslim yang hadir
dalam musyawarah saat itu meyakini bahwa Abu Bakar Ash-
Shiddiq adalah penerus kepemimpinan Islam yang akan
menggantikan rasul karena sebelum Nabi Muhammad
meninggal, ia dipercaya untuk menggantikan posisi Nabi
Muhammad sebagai imam shalat, dan akhirnya Abu Bakar pun
terpilih menjadi Khalifah pertama dalam sejarah Islam pasca
wafatnya Nabi Muhammad.
Namun beberapa kalangan dari kaum Muslim Mekkah dan
Madinah saat itu meyakini bahwa Nabi Muhammad telah
memberikan banyak indikasi yang menunjukan bahwa Ali bin
Abi Thalib, sepupu sekaligus menantunya, sebagai pengganti
dirinya. Mereka mengatakan bahwa Ab Bakar merebut
kekuasaan dengan kekuatan dan kelicikan[rujukan?]. Semua
Khalifah sebelum Ali juga dianggap melakukan hal yang sama
oleh kalangan ini, hal inilah yang memicu munculnya kaum
Syiah belakangan pada masa kekhalifahan Muawiyah, lebih
tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian khilafah dan khalifah?
2. Apa saja syarat-syarat khalifah?
3. Bagaimana sistem pemilihan khalifah?
4. Apa saja tugas dan kewajiban khalifah?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian khilafah dan khalifah.
2. Mengetahui syarat-syarat khalifah.
3. Mengetahui sistem pemilihan khalifah.
4. Mengetahui tugas dan kewajiban khalifah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khilafah dan Khalifah
Pengertian Bahasa
Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari
madhi khalafa, berarti : menggantikan atau menempati
tempatnya (Munawwir, 1984:390). Makna khilafah menurut
Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang
lain lalu menggantikan.
Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk
menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW dalam
kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (Al-
Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal
Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah
Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri
(Al-Khalidi, 1980:226).
Para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda
ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah).
Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan
politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang
menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan
kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-
hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah
sebagai penampakan agama (almazh-har ad-dini), yakni
institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya,
menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem
pemerintahan, misalnya pelaksanaan amalah (seperti
perdagangan), al-ahwal asysyakhshiyyah (hukum keluarga,
seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang
berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan
sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama
tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah (Al-Khalidi,
1980:227).
Khilafah dalam terminologi politik Islam ialah sistem
pemerintahan Islam yang meneruskan sistem pemerintahan
Rasul Saw. Dengan segala aspeknya yang berdasarkan Al-
Quran dan Sunnah Rasul Saw. Sedangkan Khalifah ialah
Pemimpin tertinggi umat Islam sedunia, atau disebut juga
dengan Imam Azhom yang sekaligus menjadi pemimpin
Negara Islam sedunia atau lazim juga disebut dengan Khalifatul
Muslimin.
B. Syarat-Syarat Khalifah
Karena Khalifah itu adalah pemimpin tertinggi umat Islam,
bukan hanya pemimpin kelompok atau jamaah umat Islam
tertentu, dan bertanggung jawab atas tegaknya ajaran Islam
dan ururusan duniawi umat Islam, maka para ulama, baik salaf
(generasi awal Islam) maupun khalaf (generasi setelahnya),
telah menyepakati bahwa seorang Khalifah itu harus memiliki
syarat atau kriteria yang sangat ketat. Syarat atau kriteria yang
mereka jelaskan itu berdasarkan petunjuk Al-Quran, Sunnah
Rasul Saw. dan juga praktek sebagian Sahabat, khususnya
Khulafaurrasyidin setelah Rasul Saw, yakni Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali, radhiyallahu anhum ajmain. Menurut Syekh
Muhammad Al-Hasan Addud Asy-Syangqiti, paling tidak ada
sepuluh syarat atau kriteria yang harus terpenuhi oleh seorang
Khalifah :
1. Muslim. Tidak sah jika ia kafir, munafik atau diragukan
kebersihan akidahnya.
2. Laki-Laki. Tidak sah jika ia perempuan karena Rasul Saw
bersabda : Tidak akan sukses suatu kaum jika mereka
menjadikan wanita sebagai pemimpin.
3. Merdeka. Tidak sah jika ia budak, karena ia harus memimpin
dirinya dan orang lain. Sedangkan budak tidak bebas
memimpin dirinya, apalagi memimpin orang lain.
4. Dewasa. Tidak sah jika anak-anak, kerena anak-anak itu
belum mampu memahami dan memenej permasalahan.
5. Sampai ke derajat Mujtahid. Kerena orang yang bodoh atau
berilmu karena ikut-ikutan (taklid), tidak sah
kepemimpinannya seperti yang dijelaskan Ibnu Hazm, Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Abdul Bar bahwa telah ada ijmak
(konsensus) ulama bahwa tidak sah kepemimpinan tertinggi
umat Islam jika tidak sampai ke derajat Mujtahid tentang
Islam.
6. Adil. Tidak sah jika ia zalim dan fasik, karena Allah
menjelaskan kepada Nabi Ibrahim bahwa janji kepemimpinan
umat itu tidak (sah) bagi orang-orang yang zalim.
7. Profesional (amanah dan kuat). Khilafah itu bukan tujuan,
akan tetapi sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang
disyariatkan seperti menegakkan agama Allah di atas muka
bumi, menegakkan keadilan, menolong orang-orang yang
yang dizalimi, memakmurkan bumi, memerangi kaum kafir,
khususnya yang memerangi umat Islam dan berbagai tugas
besar lainnya. Orang yang tidak mampu dan tidak kuat
mengemban amanah tersebut tidak boleh diangkat menjadi
Khalifah.
8. Sehat penglihatan, pendengaran dan lidahnya dan tidak
lemah fisiknya. Orang yang cacat fisik atau lemah fisik tidak
sah kepemimpinannya, karena bagaimana mungkin orang
seperti itu mampu menjalankan tugas besar untu
kemaslahatan agama dan umatnya? Untuk dirinya saja
memerlukan bantuan orang lain.
9. Pemberani. Orang-orang pengecut tidak sah jadi Khalifah.
Bagaimana mungkin orang pengecut itu memiliki rasa
tanggung jawab terhadap agama Allah dan urusan Islam dan
umat Islam? Ini yang dijelaskan Umar Ibnul Khattab saat
beliau berhaji : Dulu aku adalah pengembala onta bagi
Khattab (ayahnya) di Dhajnan. Jika aku lambat, aku dipukuli,
ia berkata : Anda telah menelantarkan (onta-onta) itu. Jika
aku tergesa-gesa, ia pukul aku dan berkata : Anda tidak
menjaganya dengan baik. Sekarang aku telah bebas
merdeka di pagi dan di sore hari. Tidak ada lagi seorangpun
yang aku takuti selain Allah.
10. Dari suku Quraisy, yakni dari puak Fihir Bin Malik, Bin
Nadhir, Bin Kinanah, Bin Khuzaiah. Para ulama sepakat,
syarat ini hanya berlaku jika memenuhi syarat-sayarat
sebelumhya. Jika tidak terpenuhi, maka siapapun di antara
umat ini yang memenuhi persayaratan, maka ia adalah yang
paling berhak menjadi Khalifah.