Anda di halaman 1dari 13

Referat

VARICELLA-ZOSTER VIRUS

Oleh
Mathius Karina, S.Ked
04054821719120

Pembimbing
Dr. dr. Tantawi Djauhari Sp.KK (K) FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat

VARICELLA-ZOSTER VIRUS

Oleh:
Mathius Karina, S.Ked
04054821719120

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian Kepaniteraan
Klinik Senior di Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 10 April
2016 15 Mei 2017.

Palembang, Mei 2017

Dr. dr. Tantawi Djauhari Sp.KK (K) FINSDV


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Allah, atas rahmat dan karunia-Nya, akhirnya referat yang
berjudul Varicella-Zoster Virus ini dapat diselesaikan dengan baik. Referat ini ditujukan
sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu
Dermatolgi dan Venereologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. dr. Tantawi Djauhari Sp.KK (K)
FINSDV selaku pembimbing dalam referat ini yang telah memberikan bimbingan dalam
penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu saran
dan kritik yang membangun sangat diharapkan penulis demi kebaikan di masa yang akan
datang. Akhirnya, kepada Allah penulis memohon semoga buah karya sederhana ini ikhlas
karena-Nya, pernuh berkah, dan berguna bagi diri penulis. Serta semoga Allah melimpahkan
manfaat pada setiap orang yang membacanya.

Palembang, Mei 2017

Penulis
VARICELLA-ZOSTER VIRUS
Mathius Karina, S.Ked
Pembimbing : Dr. dr. Tantawi Djauhari Sp.KK (K) FINSDV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Virus Varisela-Zoster/Varicella zoster virus (VZV) atau yang juga dikenal sebagai
human herpesvirus 3, adalah virus dari golongan alphaherpesvirus yang secara alamiah hanya
menginfeksi manusia tanpa hospes perantara. Inang utama virus ini adalah sel limfosit T, sel
epitel, dan sel saraf ganglia. Infeksi primer oleh virus ini menyebabkan penyakit varisela
dimana virus memasuki fase laten di ganglion. Reaktivasi virus menyebabkan penyakit herpes
zoster dengan komplikasi neuralgia pascaherpes dan kelainan neurologis lain.1
Infeksi virus terjadi di seluruh dunia, dengan kladus-kladus virus yang khas untuk setiap
distribusi geografis. Insiden infeksi virus ini beragam mulai dari 13 sampai 16 orang per 1000
orang kasus. Di negara berkembang, sekitar 5 dari 1000 orang yang terinfeksi dimasukkan ke
rumah sakit dengan data kematian 2 sampai 3 orang per 100.000 pasien. Infeksi virus yang
tertinggi pada iklim sedang adalah pada usia 1 sampai 9 tahun, sedangkan pada iklim tropis
pada usia pubertas dan dewasa. Infeksi virus ini pun menunjukan hubungan yang kuat dengan
musim, dimana infeksi tertinggi terjadi pada musim dingin dan musim semi atau pada musim
dengan udara yang kering dan dingin. Insiden virus ini berkurang dramatis pada negara-
negara yang mengimplementasikan program vaksin VZV.1 Insiden reaktivasi virus pada
herpes zoster meningkat seiring bertambahnya usia. Insiden ini pun semakin meningkat pada
penderita dengan sistem imun yang kurang.2
Sekitar 2/3 anak usia 15 tahun di Indonesia pernah terinfeksi VZV. Dari total 2232
pasien herpes zoster pada 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia tahun 2011-2013, puncak
kasus herpes zoster terjadi pada usia 45-64 yaitu sebesar 37.95%. Herpes zoster cenderung
terjadi pada usia yang lebih muda dan lebih sering pada wanita. Selain itu, sebanyak 26,5%
dari pasien tersebut menderita neuralgia pascaherpes.2
Referat ini dibuat oleh penulis dengan tujuan agar pembaca dapat lebih memahami
mengenai VZV dan penyakitnya, serta agar pembaca dapat memberikan terapi yang sesuai
untuk penderita.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
VZV adalah virus DNA dari famili alphaherpesvirus. Contoh virus lain yang berasal
dari famili yang sama dengan VZV adalah herpes simplex virus (HSV), cytomegalovirus
(CMV), Epstein-Barr virus (EBV), dan human herpesvirus (HHV). VZV memiliki genom
linier sepanjang 125.000 bp yang dibungkus dalam nukleokapsid berbentuk ikosahedral.
Nukleokapsid VZV dilapisi oleh lapisan tegumen yang berisi protein fungsional. Tubuh VZV
berdiameter 80-120 nm dan diselubungi oleh membran yang kaya lipid seperti herpesvirus
lain yang didapat dari sel inang.2,3
VZV memiliki siklus sel selama 12 jam. VZV memasuki inang dengan cara fusi dan
endositosis. Selubung lipid virus akan tertinggal di membran sel inang dan protein tegumen
akan memasuki nuklues untuk memulai transkripsi. Kapsid virus akan berlabuh di porus
nukleus dan menginjeksi materi genetik virus ke nuklus sel inang. Kapsid virus akan berfusi
dengan nuklus inang dan nantinya akan menyelubungi materi genetik kembali saat transfer ke
sitoplasma. Protein tegumen dikumpulkan dan dibungkus di dalam vesikel di badan golgi.
Kapsid akan memasuki vesikel yang matang dan akan ditransportasikan ke membran sel
dimana kapsid akan diberi selubung membran sel inang. VZV memiliki keunikan diantara
herpesvirus yang lain dimana protein yang membantu fusi juga berfungsi untuk merekatkan
sel inang dengan sel sehat lain sehingga membantu penyebaran virus.3

Gambar 1. Siklus hidup Varicella-Zoster Virus (VZV)3

VZV ditransmisi melalui udara dan menginfeksi sel epitel mukosa orofaring dan
limfosit T di tonsil. Sel T yang terinfeksi akan menyebar ke seluruh tubuh, menyebabkan
viremia. Penyebaran ini dibantu dengan fungsi VZV yang menunda lisisnya sel T sehingga
memungkinkan penyebaran sel T yang terinfeksi. Viremia VZV terjadi melalui transmisi sel
ke sel. Fase litik pada sel T tidak efektif karena VZV akan masuk ke dalam endosom.
Kandungan asam yang tinggi pada endosom akan merusak virion. VZV menginfeksi ke kulit
melalui diapedesis sel T dari pembuluh darah menuju folikel rambut. Infeksi ini menyebabkan
ruam varisela. Perekatan antar sel yang terjadi akibat infeksi VZV membantu VZV untuk
menginvasi sel dengan diferensiasi yang berbeda dan sel dengan pembatas alamiah di
sekitarnya seperti yang terlihat pada kulit. Kedua sel akan menyatu walaupun berbeda stratum
dan walaupun dibatasi dengan pembatas alamiah. VZV berada dalam fase litik pada saat
menginfeksi kulit. Fase litik ini pun diperpanjang dengan modifikasi sel inang oleh VZV.
Penyebaran virion baru terjadi melalui debu keratinosit stratum korneum yang terlepas,
dimana debu ini mengandung banyak virion-virion intak.1,3,4
Selain menginfeksi kulit, VZV juga menginfeksi sel neuron saat viremia. VZV akan
memasuki fase laten saat menginfeksi neuron. Mekanisme perubahan ke fase laten ini belum
diketahui dengan jelas. Fase laten ini menguntungkan virus yaitu virus bisa menunda
penyebaran virion sampai munculnya individu yang rentan. Seluruh aktifitas DNA VZV akan
menjadi tidak aktif selama fase laten. Mekanisme reaktivasi virus pun belum diketahui.
Reaktivasi virus ini menginduksi fase litik kembali. Neuron inang akan fusi dengan sel
sekitarnya dan akan terjadi peradangan pada ganglion tersebut.1,3,4

MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi terjadi 10-21 hari setelah memasuki tubuh. Demam bisa terjadi 1-2 hari
sebelum timbulnya lesi pada kulit. Lamanya masa inkubasi dan terlambatnya onset demam
disebabkan oleh VZV yang tidak terdiseminasi pada sel T walaupun VZV berada dalam fase
litik. VZV bergantung pada infeksi sel ke sel. Selama periode inkubasi tersebut, sel T yang
terifeksi akan beredar ke seluruh tubuh hingga mencapai sel epitel. Hal ini menjelaskan pola
penyebaran lesi yang merata dan menyeluruh. Demam terjadi saat VZV mulai menginfeksi sel
epitel. Fase litik dalam sel epitel menginseminasi virion, berbeda dengan sel T yang tidak
menginseminasi. Hal ini disebabkan oleh jalur siklus intrasel VZV pada epitel yang tidak
melewati endosom.3,5
Lesi pada kulit dimulai dengan terbentuknya makula. Makula ini terbentuk akibat
respon inflamasi oleh sel-sel sekitar sel inang. Sel inang akan membentuk sel nukleus
multipel hasil dari fusi antar sel dan aktif mengeluarkan virion ke keratin luar. Makula
kemudian akan berubah menjadi papul, vesikel, dan akhirnya pustul. Penyebaran virion akan
berhenti pada saat lesi menjadi pustul. Penggarukan lesi sebelum fase pustul akan membantu
penyebaran virion ke udara bebas melalui debu keratinosit dan droplet cairan vesikel.3,4

Gambar 2. Lesi varisela11

Latensi VZV pada ganglion saraf terjadi sebelum lesi pada kulit muncul. Reaktivasi
VZV pada ganglion menyebabkan infeksi sel ke sel pada neuron dan sel-sel satelit. Hal ini
memicu reaksi inflamasi yang sebenarnya merusak ganglion dan memicu neuralgia.
Ganglionitis ini bisa terus terjadi pasca zoster. Penyebaran virus menuju epitel terjadi melalui
jalur neuronal. Hal ini menjelaskan manifestasi lesi kulit yang hanya terjadi pada dermatom
terkait. Akan tetapi, pada individu dengan sistem imun yang kurang dapat terjadi lesi umum
yang serupa seperti pada infeksi primer.1,3

DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Penegakan diagnosis varisela ditegakkan melalui penampakan klinis. Lesi kulit berupa
makula, papula, vesikel, pustul, dan krusta yang terjadi secara berurutan dalam waktu
seminggu. Riwayat paparan dengan penderita varisela lain sangatlah penting untuk
memastikan asal infeksi. Demam terjadi sebelum terbentuknya lesi kulit. Pemeriksaan Tzanck
smear dari vesikel akan menunjukkan sel raksasa multinuklear. Kultur virus tidak disarankan
karena lamanya waktu bagi virus untuk berkembang.6
Penderita akan menjadi infeksius 5 hari sebelum terbentuknya erupsi kulit. Infektifitas
tertinggi adalah saat 1-2 hari sebelum lesi muncul. Infektifitas berhenti 5-6 hari sesudah lesi
muncul. Lesi yang muncul dimulai dengan makula ringan yang dengan cepat berubah menjadi
vesikel dengan dasar eritem dalam waktu 24 jam. Vesikel ini mirip air mata dikarenakan
konsitensinya yang bening. Predileksi vesikel ini berpusat pada trunkus, muka, dan mukosa
mulut. Distribusinya acak dan diskret. Vesikel kemudian berubah menjadi pustular dan
akhirnya berkrusta. Munculnya lesi tidak bersamaan sehingga akan tampak penampakan lesi
yang tidak homogen.6
Herpes zoster terjadi akibat reaktivasi VZV yang laten. Faktor resiko herpes zoster
meliputi faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan imun, seperti terapi kanker dan
usia yang bertambah. Predileksi lesi mengikuti dermatom tubuh. Dermatom yang sering
terjadi lesi adalah toraks (55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral (5%). Gejala awal
yang terjadi adalah demam disertai nyeri pada dermatom terkait selama 1-5 hari. Gejala ini
disebut gejala prodormal. Keluhan bervariasi dari rasa gatal, kesemutan, panas, pedih, nyeri
tekan, hiperestesi sampai rasa ditusuk--tusuk. Selain nyeri, dapat didahului dengan cegukan
atau sendawa. Gejala konstitusi berupa malaise, sefalgia, dan gejala-gejala flu lain yang
biasanya akan menghilang setelah erupsi kulit timbul.2,6

Gambar 3. Lesi Herpes Zoster12

Lesi yang muncul adalah makula eritroskuamosa dan papul pada dermatom yang dalam
beberapa waktu 12-24 jam akan berubah menjadi vesikel. Lesi ini timbul disertai nyeri,
walaupun ada kondisi dimana timbulnya nyeri tanpa disertai lesi. Kondisi ini disebut zoster
sine herpete. Pada hari ketiga, vesikel akan berubah menjadi pustul yang akan mengering
menjadi krusta dalam 7-10 hari. Krusta dapat bertahan sampai 2-3 minggu kemudian
mengelupas. Pada saat ini biasanya nyeri segmental juga menghilang.2,6
Apabila terdapat lebih dari 20 lesi di luar daerah dermatom yang terinfeksi maka disebut
herpes zoster diseminata. Kondisi ini terjadi pada individu-individu tua yang biasanya sudah
mengalami penurunan sistem imun. Apabila perjalanan penyakit berlangsung singkat dan
kelainan kulit hanya berupa vesikel dan eritema, maka disebut herpes zoster abortif. Kondisi
ini disebabkan oleh primanya kondisi imunitas saat reaktivasi VZV terjadi. Herpes zoster
yang menyerang cabang pertama nervus trigeminus disebut herpes zoster oftalmikus. Erupsi
kulit sebatas mata sampai ke verteks, tetapi tidak melalui garis tengah dahi. Sindrom
Ramsay-Hunt adalah herpes zoster yang terjadi di liang telinga luar atau membrana timpani,
disertai paresis fasialis yang nyeri, gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan
lidah, tinitus, vertigo, dan tuli. Kelainan tersebut sebagai akibat virus menyerang nervus
fasialis dan nervus auditorius.2

DIAGNOSIS BANDING
Varisela harus dibedakan dengan variola. Variola lebih berat secara klinis dan
memberikan gambaran monomorfik. Penyebarannya dimulai dari bagian akral tubuh.
Beberapa penyakit lain yang mirip adalah hipersensitivitas gigitan serangga dan skabies
impetigenisata. Herpes zoster yang pada awal perjalanan penyakit dapat didiagnosis banding
dengan dermatitis venenata atau dermatitis kontak. Herpes zoster yang timbul pada daerah
genitalia mirip dengan herpes simpleks. Herpes zoster diseminata mirip dengan varisela.7

TERAPI
Pada penyakit varisela, pengobatan yang diberikan bersifat simptomatik dengan
antipiretik dan analgesik. Antipiretik yang dapat diberikan yaitu asetosal, asetaminofen, atau
metamfiron. Antipiretik lain yang bisa diberikan adalah parasetamol, akan tetapi hindari
penggunaan salislat atau aspirin karena dapat menimbulkan sindrom Reye. Untuk
menghilangkan rasa gatal dapat diberikan sedatif atau antihistamin yang memberikan efek
sedatif. Terapi topikal dapat diberikan bedak yang ditambah zat anti gatal (mentol, kamfora,
dan lainnya) seperti bedak salisilat 1-2% atau lotio kalamin untuk mencegah pecahnya vesikel
secara dini serta menghilangkan rasa gatal. Jika timbul infeksi sekunder dapat diberikan
antibiotika berupa salep dan oral. Dapat pula diberikan obat-obat antivirus. VZIG (varicella
zoster immunoglobuline) dapat mencegah atau meringankan varisela dan diberikan
intramuskular dalam waktu 4 hari setelah terpajan.7
Antivirus diberikan bila sebelumnya sudah ada anggota yang menderita varisela atau
pada pasien dengan imunokompromais. Kondisi imunokompromais meliputi pasien dengan
keganasan, infeksi HIV/AIDS, atau pasien yang sedang menjalani pengobatan
imunosupresan. Antivirus yang diberikan adalah asiklovir dengan dosis 5 x 800 mg/hari
selama 7 hari untuk orang dewasa. Pada bayi diberikan 10-20 mg/kgBB/hari selama 7 hari
dan pada pasien imunokompromais diberikan 10 mg/kgBB/hari IV 3x sehari selama minimal
10 hari atau 5 x 800 mg/hari secara oral minimal 10 hari. Obat lain selain asiklovir bisa
digunakan valasiklovir dengan dosis 3 x 1 g/hari selama 7 hari untuk orang dewasa dan
minimal selama 10 hari untuk pasien imunokompromais. Famsiklovir bisa digunakan dengan
dosis 3 x 250 mg/hari selama 7 hari untuk orang dewasa dan 3 x 500 mg/hari selama minimal
10 hari untuk pasien imunokompromais.7
Pencegahan varisela dapat dilakukan dengan melakukan vaksinasi menggunakan galur
varisela yang telah dilemahkan. Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia 12 tahun atau
lebih. Lama proteksi belum diketahui, akan tetapi bisa diulang setelah 4-6 tahun. Pemberian
dilakukan secara subkutan sebesar 0,5 ml pada anak usia 12 bulan sampai 12 tahun. Pada usia
di atas 12 tahun diberikan dosis yang sama dan diulang 4-8 minggu kemudian dengan dosis
yang sama.7
Pengobatan herpes zoster ditargetkan untuk mengurangi nyeri secepat mungkin dengan
membatasi replikasi virus dan mencegah kerusakan saraf lebih lanjut. Obat antivirus oral yang
diberikan adalah asiklovir 5 x 800 mg, valasiklovir 3 x 1000 mg, atau famsiklovir 3 x 500 mg.
Pemberian tersebut berlangsung selama 7 hari. Kortikosteroid oral diberikan untuk
mengurangi reaksi imflamasi oleh sistem imun dan mengurangi derajat neuritis. Akan tetapi
kortikosteroid belum tentu bisa mencegah terjadinya neuralgia pasca herpes sehingga
pemakaiannya baik yang oral maupun topikal belum disepakati bersama. Analgetik diberikan
untuk mengurangi rasa nyeri akibat neuritis. Pada kasus nyeri ringan dapat diberikan analgetik
non steroid (asetosal, piroksisam, ibuprofen, diklofenak, dan sebagainya) atau analgetik non
opioid (parasetamol, tramadol, asam mefenama, dan sebagainya). Analgetik non steroid bisa
digunakan secara topikal seperti bubuk aspirin dalam kloroform atau etil eter, krim
indometasin dan diklofenak. Pada kasus nyeri berat dapat diberikan analgetik golongan opioid
(kodein, morfin, atau oksikodon). Analgetik topikal kompres terbuka dilakukan dengan
solusio Burowi (alumunium asetat 5%) 4-6 kali/hari selama 30-60 menit dan solusio Calamin
untuk mengurangi nyeri dan pruritus.7
Asiklovir adalah antiviral analog guanosin yang akan menginhibisi DNA polimerase
virus dengan bertindak sebagai terminator. Asiklovir mampu mempenetrasi jaringan dengan
baik bila diberikan secara intravena, akan tetapi asiklovir memiliki bioavailabilitas yang
rendah. Valasiklovir merupakan asiklovir yang ditambah ester L-valil. Derivat ini memiliki
bioavailabilitas yang lebih tinggi dari asiklovir. Famsiklovir merupakan antiviral analog
guanosin seperti asiklovir dengan mekanisme kerja yang juga sama. Obat ini memiliki
bioavailabilitas yang lebih tinggi daripada asiklovir.8,9

KOMPLIKASI
Infeksi VZV pada varisela bisa menimbulkan komplikasi ensefalitis, pneumonia,
glomerulonefritis, karditis, hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis, dan kelainan
darah. Komplikasi oleh infeksi VZV juga banyak terjadi pada saat reaktivasi virus pada saraf.
VZV yang teraktivasi pada nervus kranialis mampu mengakibatkan komplikasi saraf nervus
tersebut. Herpes zoster oftalmikus bisa menyebabkan oftalmoplegia dan kebutaan. Aktivasi
VZV pada nervus trigeminalis cabang mandibula dan maksila bisa menyebabkan
osteonekrosis dan avulsi gigi. Paralisis otot wajah ipsilateral disebabkan oleh keterlibatan
nervus VII dalam infeksi VZV. Reaktivasi pada nervus VIII (auditori) menyebabkan sindrom
Ramsay-Hunt yang berupa palsi wajah dan vesikel di kanalis auditori eksterna atau membran
timpani atau 2/3 anterior ipsilateral lidah atau palatum. Reaktivasi VZV juga bisa terjadi pada
nervus kranialis IX, X, XI, dan XII. Reaktivasi pada ganglion servikal, torakal, dan
lumbosakral bisa menyebabkan kelemahan otot yang disebut paresis zoster. Kelemahan
tangan dan paresis diafragma terjadi akibat reaktivasi di ganglion servikal, kelemahan otot
abdomen dan hernia terjadi akibat reaktivasi di ganglion torakal, dan kelemahan otot tungkai
dan retensi urin terjadi akibat reaktivasi di ganglion lumbosakral.7,10
Neuralgia pasca herpes (NPH) adalah salah satu komplikasi dari herpes zoster. NPH
merupakan kondisi dimana nyeri pada dermatom menetap selama lebih dari 3 bulan setelah
sembuh herpes zoster. Kondisi ini kebanyakan terjadi pada pasien berusia di atas 60 tahun.
Patogenesis NPH belum diketahui, untuk saat ini terdapat 2 teori yang menjelaskan
patogenesis NPH. Teori pertama menjelaskan bahwa eksatibilitas neuron ganglion atau saraf
vertebra telah berubah sedangkan teori kedua menjelaskan bahwa terdapat produksi virus
yang persisten pada ganglion. Hasil observasi histologis pada pasien NPH memperlihatkan
infiltrat sel radang pada ganglion. Tidak ada pengobatan NPH secara universal. Pengobatan
lini pertama bisa meliputi antidepresan trisiklik, gabapentin dan pregabalin, serta lidokain
topikal. Lini kedua dan ketiga yang disarankan adalah opioid, tramadol, dan kapsaikin.10
PROGNOSIS
Perawatan varisela yang teliti dan memperhatikan higiene memberikan prognosis yang
baik dan dapat mencegah timbulnya jaringan parut. Varisela hanya terjadi sekali dalam
seumur hidup kecuali pada pasien imunokompromais. Herpes zoster memberikan prognosis
yang meragukan pada fungsional penderita, kecuali apabila penyakit ini ditangani lebih awal.
Varisela dan herpes zoster memiliki prognosis yang baik pada kelangsungan hidup pasien.7

KESIMPULAN
VZV merupakan virus yang menginfeksi sel T, sel epitel, dan sel saraf manusia. Infeksi
oleh virus ini menimbulkan penyakit varisela dan herpes zoster. Herpes zoster terjadi setelah
terinfeksi VZV dan mampu memberikan komplikasi fungsi saraf. Infeksi VZV bisa sembuh
dengan sendirinya selama sistem imun tubuh adekuat. Terapi antivirus diberikan pada
penderita imunokompromais dan pada penderita reaktivasi virus (herpes zoster).
DAFTAR PUSTAKA

1. Gershon AA, Breuer J, Cohen JI, Cohrs RJ, Gershon MD, dkk. 2015. Varicella Zoster
Virus Infection. Nat Rev Dis Primers, 2(1): 15016. (www.ncbi.nlm.nih.gov diunduh pada
tanggal 23 April 2017)
2. Pusponegoro EHD, Nilasari H, Lumintang H, Niode NJ, Daili SF, dan Djauzi S. 2014.
Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia 2014. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. (www.perdoski.org diunduh pada tanggal 23 April 2017)
3. Zerboni L, Sen N, Oliver SL, dan Arvin AM. 2014. Molecular Mechanisms Of Varicella
Zoster Virus Pathogenesis. Nat Rev Microbiol. 12(3):197-210. (www.ncbi.nlm.nih.gov
diunduh pada tanggal 23 April 2017)
4. Gershon AA, Gershon MD. 2013. Pathogenesis and Current Approaches to Control of
Varicella-Zoster Virus Infections. Clin. Microbiol. Rev., 26(4):728. (cmr.asm.org
diunduh pada tanggal 23 April 2017)
5. Bert RJ, Nagel MA, Friedland RP, Hattab EM, dan Gilden DH. 2017. Varicella-Zoster
Virus: One Pathogen with Multifaceted Imaging and Clinical Manifestations Influenced
by Varied Pathophysiologic Mechanisms of Dissemination. Neurographics, 7(1):2035.
(www.neurographics.org diunduh pada tanggal 24 April 2017)
6. James WD, Elston DM, dan Berger TG. 2016. Andrews Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology, twelfth edition. Elsevier, Philadelphia.
7. Menaldi SLSW, Bramono K, dan Indriatmi W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
edisi ketujuh. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
8. Kim SR, Khan F, dan Tyring SK. 2014 Varicella Zoster: an Update on Current Treatment
Options and Future Perspectives. Expert Opin. Pharmacother, 15(1):61-71.
(www.scienceopen.com diunduh pada tanggal 24 April 2017)
9. De SK, Hart JCL, and Breuer J. Herpes Simplex Virus and Varicella Zoster Virus: Recent
Advances in Therapy. Current Opinion in Infectious Diseases, 28(6):589-595.
(pdfs.journals.lww.com diunduh pada tanggal 24 April 2017)
10. Nagel MA, dan Gilden D. 2013. Varicella Zoster Complications. Curr Treat Options
Neurol, 15(4): 439453. (www.ncbi.nlm.nih.gov diunduh pada tanggal 24 April 2017)
11. Clinical Advisor. Varicella-zoster virus. (http://www.clinicaladvisor.com diunduh pada
tanggal 24 April 2017)
12. Diseases & Conditions. Shingles is a Viral Infection that is Caused by Varicella Zoster
Virus. (http://www.diseasesandconditions.org diunduh pada tanggal 24 April 2017)

Anda mungkin juga menyukai