Ny.N umur 30 tahun, seorang janda dengan 3 orang anak, bekerja sebagai asisten
rumah tangga, tiga hari yang lalu, malam hari, hujan deras, tiba-tiba mengeluh sesak dan
nafas berbunyi. Ny.N menggunakan obat inhaler pelega sesak nafas yang selama ini
dipakainya dan makan obat salbutamol, keluhan sesak sedikit berkurang. Ny.N juga
mengeluhkan batuk dan susah mengeluarkan dahak, merasa batuknya berkurang bila
dahaknya keluar. Sejak 1 hari ini keluhan sesak napas makin berat sampai harus duduk, sesak
disertai suara mengi dan tidak ada perbaikan dengan obat yang dipakainya, lalu diantar oleh
tetangganya ke unit gawat darurat RSMH.
Sudah satu bulan ini Ny.N mengalami gejala sesak yang timbul hampir setiap hari dan
terbangun malam hari karena sesaknya rata-rata 2 kali dalam seminggu. Ny.N hanya
memakai inhaler pelega sesak setiap hari tetapi tidak memakai obat inhaler untuk mencegah
serangan. Sesak ini mengganggu aktivitas sehari-hari Ny.N
Enam bulan yang lalu, mengalami serangan asma dan dibawa ke UGD, dinebulasi 2
kali, sesak berkurang lalu pulang mendapat obat oral brronkodilator. Tiga hari kemudian
berobat ke poliklinik, dilakukan spirometri (tanggal 10 April 2016) dan mendapat obat
inhaler pelega dan pencegahan serangan. Pada saat kontrol poliklinik tanggal 21 Mei 2016,
tidak ada keluhan sesak, skor tes kontrol asma Ny.N adalah 24 dan dilakukan spirometri saat
itu.
Riwayat sesak seperti ini mulai dialami Ny.N sejak usia 15 tahun. Selain cuaca dingin,
Ny.N juga akan mengalami sesak bila terhirup debu, tercium bau yang menyengat atau bila
kelelahan. Ayah Ny.N juga menderita penyakit yang sama, sedangkan bibinya sering gatal-
gatal bila makan udang atau ikan laut. Kakak Ny.N sering bersin-bersin hidung mengeluarkan
sekret encer bila terhirup debu atau tercium bau yang menyengat.
Pemeriksaan fisik didapatkan:
Keadaan umum tampak sakit berat, sesak bila berbicara, hanya dapat beberapa kata,
sensorium gelisah, TD 120/80, HR: 102, RR: 30, SUHU: 37,1, Saturasi O2: 90%
Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva pucat - , ikterik -,
Leher: JVP 5 – 2 cmH2O
Thoraks: Paru: Inspeksi tampak retraksi sela iga, aukultasi: vesikuler normal, ekspirasi
memanjang wheezing diseluruh lapangan paru.
Pemeriksaan Lab: Hb: 12, 5 WBC: 8000 , Hitung jenis: 0/5/6/70/18/1, LED: 20 mm/jam
Pemeriksaan Spirometri tanggal 10 April 2016
Pemeriksaan Prediksi Hasil %
VEP1 2,505 1,68 67
KVP 3,121 2,81 95
VEP1/KVP 78 60 69
- 21 Mei 2016, kontrol poliklinik dilakukan spirometri dan score tes kontrol = 24,
tidak ada keluhan sesak
Pemeriksaan Spirometri tanggal 21 Mei 2016
Pemeriksaan Prediksi Hasil %
VEP1 2,505 2,204 88
KVP 3,121 2,90 96
VEP1/KVP 78 82 91
5. Riwayat sesak seperti ini mulai dialami Ny.N sejak usia 15 tahun. Selain cuaca dingin,
Ny.N juga akan mengalami sesak bila terhirup debu, tercium bau yang menyengat atau
bila kelelahan. Ayah Ny.N juga menderita penyakit yang sama, sedangkan bibinya
sering gatal-gatal bila makan udang atau ikan laut. Kakak Ny.N sering bersin-bersin
hidung mengeluarkan sekret encer bila terhirup debu atau tercium bau yang menyengat.
6. Pemeriksaan fisik didapatkan:
Keadaan umum tampak sakit berat, sesak bila berbicara, hanya dapat beberapa kata,
sensorium gelisah, TD 120/80, HR: 102, RR: 30, SUHU: 37,1, Saturasi O2: 90%
7. Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva pucat - , ikterik -,
Leher: JVP 5 – 2 cmH2O
Thoraks: Paru: Inspeksi tampak retraksi sela iga, aukultasi: vesikuler normal, ekspirasi
memanjang wheezing diseluruh lapangan paru.
8. Pemeriksaan Lab: Hb: 12, 5 WBC: 8000 , Hitung jenis: 0/5/6/70/18/1, LED: 20
mm/jam
1.2. Bagaimana anatomi dan fisiologi saluran napas yang berkaitan dengan kasus?
Anatomi
a. Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama
mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi).
Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan
kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.
b. Faring
Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan
makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung, dan
mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain
adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang
yang bernama koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat
hubungan ini bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2 lubang (ke depan
lubang laring dan ke belakang lubang esofagus).
c. Laring
Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara,
terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikal dan masuk ke
dalam trakhea di bawahnya.
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang
dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang
berbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir
yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar. Panjang
trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi oleh
otot polos.
e. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2
buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai
struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu
berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru. Bronkus kanan lebih
pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3
cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri
dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang.Bronkus bercabang-cabang,cabang yang
lebih kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi,
dan pada ujung bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau
alveoli.
f. Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-
sel epitel dan endotel. Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke
dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah.
Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanandan paru-paru kiri. Paru-paru
kanan terdiri dari 3 lobus (belahan paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus
media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri terdiri
dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari
belahan yang kecil bernama segmen.
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang
berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat sebuah
bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali,
cabang ini disebut ductus alveolus.
Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga
dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau
hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput
yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral
(selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-
paru.
1.3. Bagaimana etiologi dan mekanisme sesak, batuk, susah mengeluarkan dahak, dan
napas berbunyi pada kasus?
Sesak dan napas berbunyi
Terdiri dari 3 fase, yaitu:
1) Fase Sensitisasi : Diawali dari adanya alergen yang mengikat sel B dan
menyebabkan aktivasi sel T helper 2 sehingga terjadi proliferasi sel B untuk
melepas Ig E. Kemudian Ig E akan berikatan dengan reseptor sel mast (Fcε-R).
2) Fase aktivasi : Bila terdapat pajanan ulang dari alergen menyebabkan
terjadinya aktivasi sel mast (karena makin banyaknya ikatan igE dengan
reseptornya.
3) Fase efektor : Sel mast melepaskan mediator inflamasi berupa histamine,
bradikinin, dan zat anafilatoksin lainnya
Akibat pelepasan mediator inflamasi terjadi bronkokontriksi otot polos bronkus,
peningkatan permeabilitas kapiler, dan peningkatan produksi mucus
menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan karena diameter bronkus semakin
kecil dan terjadi spasme dari otot polos bronkus pemasukan udara ke dalam
paru menjadi menurun Resistensi Airway meningkat terjadi sesak nafas dan
nafas berbunyi (tanda adanya obstruksi partial).
Batuk
Akibat dari pelepasan mediator inflamasi (terjadi peningkatan produksi mucus)
Menstimulasi reflek batuk yang terdapat di bronkus dialirkan melalui saraf
afferent ke medulla oblongata kemudian dialirkan oleh saraf efferent terjadi
batuk
Dahak yang sulit dikeluarkan
adalah akibat dari produksi mucus yang terdapat di saluran nafas bawah (yaitu
bronkus) sehingga sulit untuk mengeluarkan mucus tersebut.
1.4. Mengapa sesak terjadi pada malam hari dan saat hujan?
Ritme Sirkadian
Ritme sirkardian berperan dalam kambuhnya asma di malam hari. Fungsi
tubuh tertentu berkurang dan memuncak pada variasi waktu setelah melewati
periode 24 jam. Contohnya, pada banyak orang fungsi paru memuncak pada pukul
4 sore dan mencapai titik terendah pada pukul 4 pagi. Pencapaian titik terendah
tersebut adalah periode dimana serangan asma sering terjadi, mungkin dikarenakan
tubuh lebih rentan untuk diserang pada waktu tersebut. Oleh karena itu, seseorang
yang bekerja pada malam hari dan tidur selama siang hari lebih mungkin mendapat
serangan asma selama siang hari.
Akhir – akhir ini juga telah diketahui bahwa hormone melatonin mungkin
memainkan peran penting dalam mencetuskan serangan asma pada malam hari.
Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar pineal yang membantu
mengatur ritme sirkardian seperti makan dan tidur. Penelitian akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa melatonin juga meningkatkan jalur alergi peradangan,
sehingga membuat serangan asma lebih mungkin terjadi.
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara perubahan
kadar katekolamin bersamaan dengan penurunan PEFR pada malam hari dan
penurunan yang terendah didapati pada pukul 04.00. Selain itu ada pula hubungan
terbalik antara keadaan histamin dengan PEFR yaitu bahwa keadaan histamin naik
pada pk. 4.00 bersamaan dengan penurunan PEFR. Selain itu epinefrin yang
merupakan suatu beta adrenergic agonist yang kuat juga dapat mencegah
pelepasan histamin dan mediator-mediator lain dari sel mast dan selanjutnya dapat
mengurangi bronkokonstriksi. Jadi perubahan siklus sirkardian epinefrin dalam
darah membangkitkan asma malam hari dengan mengurangi bronkodilatasi dan
membantu pelepasan mediator bronkhogenik dari sel mast. Pengurangan epinefrin
pada malam hari mengakibatkan meningkatnya kadar asetilkolin yang
mengakibatkan bertambahnya respon pada penderita asma yang hiperresponif
terhadap neurotransmiter ini. Ada juga bukti bahwa kolinergik juga meningkat
pada malam hari dan menyebabkan asma muncul malam hari. Peningkatan
kolinergik itu diduga merupakan efek lanjut dari penurunan kadar adrenalin yang
menyebabkan berkurangnya inhibisi adrenergik.
Pengaktifan sekresi sel mastoleh allergen
Pengaktifan sel mast bukan hanya menimbulkan reaksi asma awal dengan
penyumbatan bronkus tetapi pada beberapa penderita dapat memperberat serangan
asma 6 jam kemudian yang dikenal sebagai reaksi asma lambat. Reaksi asma
lambat ini merupakan karakteristik asma kronis. Karakteristik asma tersebut
memiliki reaksi tertunda terhadap alergen dan pemicu iritasi. Kebanyakan gejala
ini berkembang dalam waktu empat sampai delapan jam setelah terpapar. Karena
risiko paparan ini lebih tinggi pada siang hari, reaksinya lebih mungkin terjadi pada
malam hari. Sehingga reaksi yang tertunda dapat menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan munculnya asma pada malam hari.
Pengaruh tidur
Lopes berkesimpulan bahwa pada orang normal, sewaktu tidur terjadi
kenaikan resistensi bronkus 230% dibandingkan pada waktu bangun (Lopes, 1983).
Perubahan resistensi ini mungkin berhubungan dengan kenaikan tonus otot bronkus
pada bagian atas sehingga menyebabkan bertambahnya kerja pernafasan selama
tidur. Jika hal ini terjadi pada penderita asma maka penyumbatan bronkus akan
menjadi lebih besar lagi.
Perubahan sekresi saluran nafas
Penyumbatan lendir menyebabkan obstruksi bronkus pada penderita asma.
Begitu juga retensi sekresi bronkus pada malam hari juga membantu gejala-gejala
asma yang muncul malam hari. Dari penelitian diketahui bahwa berkurangnya
pembersih mukosilier ini terutama terjadi pada malam hari. Retensi sekresi ini
tampaknya dihubungkan dengan tidur dan bukan dengan variasi diurnal. Perlu
penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah fenomena ini lebih berat pada
penderita asma dan apakah berperan mengakibatkan wheezing pada malam hari
(Bateman, 1978).
Posisi berbaring
Penderita asma yang berbaring dalam posisi telentang akan mengalami
gangguan faal paru yang progresif dan PEFR turun 13% selama 2 jam berbaring
dan 24% selama 4 jam berbaring. Gangguan ini reversibel dan akan kembali
normal setelah 1,5 jam. Jadi dapat disimpulkan bahwa berbaring dalam posisi
telentang untuk jangka waktu yang lama juga menyebabkan serangan asma pada
malam hari, walaupun mekanismenya belum jelas(Popping, 1988).
Gastroesophageal Reflux Disoerder
Banyak diantara para pasien asma juga mengalami acid reflux atau GERD
(Gastroesophageal Reflux Disorder) yang ternyata memiliki keterkaitan dengan
munculnya asma di malam hari. GERD terjadi ketika katup yang memisahkan
esophagus dan lambung mengalami malfungsi dan menjadikan isi lambung (asam
dan enzim pencernaan) memasuki esophagus. Kondisi ini akan memburuk pada
malam hari dikarenakan pada posisi tidur dengan berbaring katub akan lebih
mudah terbuka. Jika ini terjadi, dinding esophagus akan mengalami kerusakan dan
mengakibatkan nyeri dada, sendawa, dan nyeri perut. Iritasi dan batuk yang sering
dihasilkan dari kenaikan asam lambung ini dapat memicu gejala asma.
Pada Refluks gastro-oesophageal pembersihnya cepat pada siang hari, tetapi
pada penderita oesophagitis selalu terjadi refluks pada malam hari karena aktivitas
otot oesophagus berkurang dan pembersihan asam diperlambat. Refluks pada
malam hari ini dapat menimbulkan serangan asma dan pengobatan refluks pada
penderita asma dapat memperbaiki pernafasan(Davies, 1976; Chockroft, 1984).
Perubahan suhu
Udara dingin diketahui sebagai salah pencetus asma. Di samping itu suhu
tubuh dapat turun dengan cepat selama tidur, yang mana dapat membantu
mencetuskan serangan sama.
3.2. Bagaimana derajat serangan asma pada satu bulan yang lalu?
- Sesak timbul hamper setiap hari Gejala hampir tiap hari
- Terbangun malam hari karena sesak, rata-rata 2x dalam seminggu Gejala
asma malam >1x/minggu
- Sesak mengganggu aktivitas sehari-hari eksaserbasi mempengaruhi
aktivitas dan tidur
- Obat yang dipakai setiap hari hanya inhaler pelega. Inhaler pencegah tidak
dipakai Membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari
- APE atau VEP1 60-80%; 6) variabiliti APE atau VEP1 >30% (Pada satu bulan
yang lalu tidak ada pemeriksaan)
Pada temuan klinis yang didapat pada satu bulan yang lalu, dapat
disimpulkan Ny. N menderita astma persisten sedang.
3.3. Apa akibat tidak memakai inhaler pencegah dan hanya memakai inhaler pelega?
Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu
antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit
serta mencegah serangan dikenal dengan pengontrol, dan bronkodilator yang
merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi eksaserbasi/ serangan,
dikenal dengan pelega (reliever). Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui
relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang
berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Inhaler pencegah selain dapat mencegah terjadinya serangan asma, inhaler
pencegah juga dapat mengurangi jumlah peradangan dan sensitivitas yang terjadi
di dalam saluran napas. Sedangkan inhaler pelega tidak meredakan peradangan
pada saluran napas penderita asma, obat ini dapat memperparah asma sembari
menyembunyikan gejalanya.
- 21 Mei 2016, kontrol poliklinik dilakukan spirometri dan score tes kontrol = 24,
tidak ada keluhan sesak
Pemeriksaan Spirometri tanggal 21 Mei 2016
Pemeriksaan Prediksi Hasil %
VEP1 2,505 2,204 88
KVP 3,121 2,90 96
VEP1/KVP 78 82 91
4.1. Bagaimana cara pemeriksaan score tes kontrol asma dan interpretasi pada kasus?
Penilaian :
< 19 TIDAK TERKONTROL
20-24 : TERKONTROL BAIK
25 : KONTROL TOTAL
Pada kasus: 9, tidak terkontrol.
4.3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan spirometri pada tanggal 10 April dan 21 Mei
2016?
value Normal obstruksi Restriksi 10 April 21 Mei
FVC(KVP) ≥ 80% pred N <N 95 N 96 N
FEV1(VEP1) ≥ 80% pred <N N/<N 67 A 88 N
FEV1/FVC > 70% < 70% > 70% 69 A 91 N
obstruksi normal
Pada tanggal 10 April Ny. N mengalami COPD sedang yaitu 67% dengan
rentang COPD sedang adalah 50 – 70%, setelah itu mendapat obat inhaler
bronkodilator baik pelega maupun pencegahan dan datang lagi pada tanggal 21
Mei dengan VEP1 88% mengalami perbaikan menjadi COPD Ringan dengan hasil
spirometri yang normal dengan rentang COPD ringan adalah >80%.
4.4. Bagaimana riwayat perjalanan penyakit dari 6 bulan yang lalu sampai sekarang?
4.5. Bagaimana derajat serangan asma pada 6 bulan yang lalu?
Serangan asma pada enam bulan yang lalu tidak dijelaskan secara rinci
mengenai keadaan klinis Ny.N, tetapi dari informasi yang diberikan terlihat adanya
reversibelitas setelah pemberian bronkodilator yang menandakan Ny.N menderita
asma (membedakan dengan keadaan PPOK). Selain itu dari pemeriksaan ACT
(Asthma Test Control) menunjukkan bahwa pada saat itu asthma Ny.N dalam
keadaan terkontrol.
5. Riwayat sesak seperti ini mulai dialami Ny.N sejak usia 15 tahun. Selain cuaca dingin,
Ny.N juga akan mengalami sesak bila terhirup debu, tercium bau yang menyengat atau
bila kelelahan. Ayah Ny.N juga menderita penyakit yang sama, sedangkan bibinya
sering gatal-gatal bila makan udang atau ikan laut. Kakak Ny.N sering bersin-bersin
hidung mengeluarkan sekret encer bila terhirup debu atau tercium bau yang menyengat.
5.1. Apa hubungan riwayat keluarga dengan gejala yang terjadi pada kasus?
Faktor genetik berperan pada penyakit Asma anak terutama bila ibu
juga menderita Asma. Asma dan penyakit alergi sering terjadi bersamaan pada
individu dalam satu keluarga. Prevalensi terjadinya Asma meningkat pada pasien
yang menderita Rinitis Alergi. Beberapa studi longitudinal menunjukkan
manifestasi atopi yang sudah dimulai sejak usia kanak-kanak misalnya dermatitis
atopi dan alergi makanan yang terjadi saat bayi akan berlanjut dengan Asma
dan/atau Rinitis Alergi pada saat kanak-kanak. Sekitar 30% anak-anak dengan
Dermatitis Atopi akan berkembang menjadi Asma di kemudian hari dan hamper
66% akan menjadi Rinitis Alergi.36 Berdasarkan hasil penelitian di Amerika
Serikat, 30-90% kasus Asma Bronkial memiliki gejala Rinitis Alergi sebelumnya.
5.2. Apa makna klinis sesak sudah mulai dialami sejak Ny.N berusia 15 tahun dan
apabila cuaca dingin, terhirup debu, tercium bau yang menyengat atau kelelahan?
Sesak dialami sejak berusia 15 tahun mengindikasikan penyakit yang dialami
kronis, menyingkirkan penyakit paru lain yang bersifat akut. Selain itu
menandakan bahwa ada faktor genetik pada kasus ini. Makna klinisnya adalah
faktor pencetus atau pemicu serangan asma pada Ny. N adalah faktor ekstrinsik
maupun intrinsik. Dimana debu merupakan faktor ekstrinsik, sementara perubahan
cuaca, bau menyengat, maupun kelelahan merupakan faktor intrinsik yang dapat
memicu serangan asma.
7. Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva pucat - , ikterik -,
Leher: JVP 5 – 2 cmH2O
Thoraks: Paru: Inspeksi tampak retraksi sela iga, aukultasi: vesikuler normal, ekspirasi
memanjang wheezing diseluruh lapangan paru.
7.1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada keadaan spesifik?
Hasil Pemeriksaan Keadaan Normal Interpretasi dan Mekanisme
Konjungtiva pucat - Tidak pucat Normal
Ikterik - Tidak ikterik Normal
JVP 5-2 cm 5-2 sampai 5+2 Normal.
Inspeksi tampak Tidak ada retraksi Sumbatanpeningkatan
retraksi sela iga tahanan,terperangkap udara, distensi paru
berlebihan (hiperinflasi)tidak sinkron
ventilasi dan perfusipeningkatan kerja
napasotot tertarik sebagai upaya pernapasan
aukultasi: vesikuler vesikuler Normal
normal
ekspirasi memanjang Tidak adak Adanya penyempitan saluran napas karena
wheezing diseluruh wheezing inflamasi, obstruksi, dan hiperreaktifitas
lapangan paru bronkus
8. Pemeriksaan Lab: Hb: 12, 5 WBC: 8000 , Hitung jenis: 0/5/6/70/18/1, LED: 20
mm/jam
8.1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan lab ?
Hasil Pemeriksaan Keadaan Normal Interpretasi dan Mekanisme
Hb: 12,5 12-16 Normal
WBC: 8000 5000-10000 Normal
Hitung jenis: 0/1-3/2-6//50-70/20- Eosinofil meningkat karena adanya alergen.
0/5/6/70/18/1 40/2-8 Eosinofil merangsang produksi mediator
inflamasi, sitokin dan mediator.
LED 20 mm/jam Wanita 0-20 Normal
mm/jam
9.2. Apa diagnosis banding, diagnosis kerja, dan definisi diagnosis kerja?
Differential Diagnose
Asma
Ditemukan gejala asma terdiri atas triad dispnea, batuk dan mengi, dengan
serangan yang periodik reversibel, terdapat periode tanpa gejala, terbangun malam
hari dengan dispnea/mengi, adanya riwayat personal atau keluarga mengenai
penyakit alergi seperti ekzema, rinitis, atau urtikaria merupakan bukti pentng untuk
mendukung diagnosis,.
Obstruksi saluran napas bagian atas oleh tumor atau edema laring.
Gejala hampir sama dengan asma tetai akan ditemukan stridor dan suara
pernapasan yang kasar di trakea, mengi yang difus diseluruh lapangan paru
biasanya tidak terdengar. Diperlukan pemeriksaan laringoskopi indirek atau
bronkoskopi.
Difungsi glotis
Hampir sama dengan gejala asma yang berbeda adalah tekanan oksigen arteri
baik, dan gradien alveolar arteri tidak mengalami pembesaran seperti halnya pada
obstruksi saluran napas bagian bawah.
Panyakit endobronkial
Mengi persisten dan hany aterlokalisasi pada satu daerah dada saja disertaia
batuk yang mendadak.
Gagal ventrikel kiri akut
Terkadang gejala mirip dengan gejala asma tetapi gejala ronki basah pada
basis paru, irama gallop, sputum yang bernoda darah dan tanda gagal jantung
memungkinkan kita untuk membedakannya.
Bronkitis kronik
Tidak bersifat episodik karena tidak terdapat periode tanpa gejala.
Emboli rekuren
Adanya penggunaan kontrasepsi oral.
Pneumonia eosinofilik
Adanya bronkospame sebagai manifestasi vaskulitis sistemik.
Working Diagnose
Asma eksaserbasi akut derajat berat.
Definition
Peradangan kronis jalan napas yang berhubungan hiperreaktivitas bronkus
dimana terjadi bronkokontriksi berlebihan terhadap berbagai rangsangan yang
menyebabkan bronkospasme episodik reversibel.
Grafik di atas terlihat bahwa pada tahun 2007 ada 18 provinsi yang
mempunyai prevalensi penyakit Asma melebihi angka nasional yaitu Gorontalo,
Sulawesi Tengah, Papua Barat, Kalimantan Selatan, Aceh, Nusa Tenggara Timur,
Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Bangka Belitung,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat,
Sumatera Barat, Papua dan DIY. Sedangkan provinsi yang mempunyai prevalensi
di bawah angka yaitu Banten, Riau, Jambi, Kalimantan Timur, Maluku, Jawa
Tengah, DKI Jakarta, Bengkulu, Kepulaauan Riau, Sulawesi Utara, Jawa Timur,
Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Lampung.
Grafik si atas terlihat bahwa pada tahun 2013 tedapat 18 provinsi yang
mempunyai prevalensi penyakit Asma melebihi angka nasional, dari 18 provinsi
tersebut 5 provinsi teratas adalah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, DIY,
Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.
Jika grafik tahun 2007 dibandingkan dengan 2013 didapat kenaikan
prevalensi Asma secara nasinoal sebesar 1%, akan tetapi terdapat perbedaan dalam
mendiagnosis penyakit Asma di Riskesdas 2007 melalui wawancara berdasarkan
diagnose oleh tenaga kesehatan atau dengan gejala sedangkan Riskesdas 2013
melalui wawancara semua umur berdasarkan gejala.
Grafik di atas terlihat bahwa berdasarkan Riskesdas 2007 terdapat
peningkatan prevalensi Asama seiring bertambahnya usia, umur <1 tahun prevalesi
sebesar 1,1% dan umur 75+ prevalensi sebesar 12,4%. Sementara berdasaran
Riskesdas 2013 terlihat bahwa umur 25-34 tahun mempunyai prevalensi Asma
tertinggi yaitu 5% dan umur <1% tahun memiliki prevalensi Asma terendah
sebesar 1,5%.
Tatalaksana:
Pengobatan berdasarkan derajat serangan:
9.10. Bagaimana edukasi yang diberikan pada kasus (pemakaian inhaler) pada kasus?
Edukasi kepada penderita/ keluarga bertujuan untuk:
meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri)
meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma)
meningkatkan kepuasan
meningkatkan rasa percaya diri
meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
Dengan kata lain, tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu penderita agar
dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma.
9.11. Bagaimana prognosis pada kasus?
Bonam
IV. Hipotesis
Ny.N 30 tahun mengalami sesak napas disertai bunyi et causa asma eksaserbasi akut
derajat sedang.
V. Kerangka Konsep
VI. Learning Issue
1. Asma
2. Obat Inhaler Asma
3. Spirometri
VII. Kesimpulan
Daftar Pustaka
American Lung Association. Asthma Risk Factors. (http://www.lung.org diakses pada
tanggal 4 Oktober 2016).
Anonim. WBC Differential. (https://labtestsonline.org/ diakses pada tanggal 2016)
B, Goldsobel A., dan Chipps BE (March 2010). “Cough in the pediatric population”. J.
Pediatr. 156 (3): 352–358
C, Tanto, Liwang F, Hanifati S, dan Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Volume II.
Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014: h. 809.
D’Amato, G., C. Vitale, M. D’Amato, L. Cecchi, G. Liccardi, A. Molino, A. Vatrella, A.
Sanduzzi, C. Maesano, dan I. Annesi-Maesano. 2016. “Thunderstorm-related Asthma:
what Happens and Why”. Clinical & Experimental Allergy, 46:390–396.
(http://onlinelibrary.wiley.com diakses pada tanggal 4 Oktober 2016).
D’Amato, Gennaro, Lorenzo Cecchi, dan Isabella Annesi-Maesano. 2012. “A Trans-
Disciplinary Overview of Case Reports of Thunderstorm-Related Asthma Outbreaks
and Relapse”. Eur Respir Rev; 21(124):82–87. (http://err.ersjournals.com diakses pada
tanggal 4 Oktober 2016)
Departeman Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Asma. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. (http://binfar.kemkes.go.id
diakses pada 04 Oktober 2016).
Eroschenko, V. P.. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional, Ed.9.
Terjemahan Oleh: Jan Tambayong. Dalam: Dewi Anggraini, Tiara M.N. Sikumbang.
EGC, Jakarta, hal: 63-65
F, Chung K., dan Pavord ID (2008). “Prevalence, pathogenesis, and causes of chronic
cough”. Lancet 371(9621): 1364–74.
Fitzgerald, dkk. 2016. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
(http://ginasthma.org diakses pada 4 Oktober 2016).
Healthwise Staff. 2014. Lung Function Tests [internet], (http://www.m.webmd.com/a-to-z-
guides/lung-function-tests, Diakses 04 Oktober 2016).
Isselbacher, Kurt J., Eugene Braunwald, dan Jean D Wilson, dkk. 2014. Harrison: Prinsip-
Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol. 3 Ed. 13. EGC, Jakarta, Indonesia, hal 1312-1316.
J, Tortora G., dan Derrickson B. 2009. Principles of anatomy and physiology: The respiratory
system. 12th USA: John Wiley & Sons Inc; hal:875-89.
Kementrian keseharan Republik Indonesia. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Asma.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Info Datin. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI. (http://www.depkes.go.id diakses pada 04 Oktober 2016).
Kurniati Nova. 2016. Serangan Asma Akut. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Sumatera Selatan: Palembang.
Lin, Jiang-Tao. 2013. “Chinese guideline for the prevention and management of bronchial
asthma (Primary Health Care Version). (http://jtd.amegroups.com, diakses pada 3
Oktober 2016)
Lorraine M. Wilson, dan Sylvia A. Price. 2003. Pathofisiologi Konsep klinisproses – proses
Penyakit. EGC : Jakarta
McCool, F. Dennis. Global Physiology and Pathophysiology of Cough.CHEST January 2006
vol. 129 no. 1 suppl 48S-53S
Morris, Michael J., Daniel J Pearson, dan Zab Mosenifar. 2016. Asthma.
(http://emedicine.medscape.com diakses pada tanggal 4 Oktober 2016)
Nanda ( 2000 ). Diagnosa Nanda NIC & NOC. 2007 – 2008.
PDPI. Konsesnsus Asma. (www.klikpdpi.com/ diakses pada tanggal 4 October 2016)
Perhimpunana Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Di Indonesia. http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html (Diakses pada 4
Oktober 2016).
Price, SA., dan Wilson, LM. 2006. Pola Obstruktif pada Penyakit Pernapasan. Dalam:
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. EGC. 784-5.
Rab, Tabrani H., 2010. Asma Bronkiale. Dalam: Ilmu penyakit Paru. Trans Info Media,
jakarta. 377, 380,383
Ratnawati. 2011. “Epidemiologi Asma”. J Respir Indo, 31(4):172-175.
(http://jurnalrespirologi.org diakses pada tanggal 4 Oktober 2016)
Robbins, Stanley L., Vinay Kumar, dan Ramzi S. 2014. Buju Ajar Patologi Vol. 2 Ed. 7.
EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 511.
Siti Setiati dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, dan Siti Setiati.
2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed. V. InternaPublishing, Jakarta,
Indonesia, hal. 2222.
T, Yoga Aditama. Patofisiologi Batuk. Jakarta : Bagian Pulmonologi FK UI, Unit Paru RS
Persahabatan, Jakarta. 1993.
Yunitasari 2011. Asthma. (eprints.undip.ac.id diakses pada 4 Oktober 2016)
Zaini, Jamal. 2011. “Asthma Control Test : Cara Simpel dan Efektif untuk Menilai Derajat
dan Respons Terapi Asma”. J Respir Indo 31(2): 51-52. (http://jurnalrespirologi.org
diakses pada tanggal 4 Oktober 2016)