Anda di halaman 1dari 49

Skenario D Blok 28 Tahun 2016

Ny.N umur 30 tahun, seorang janda dengan 3 orang anak, bekerja sebagai asisten
rumah tangga, tiga hari yang lalu, malam hari, hujan deras, tiba-tiba mengeluh sesak dan
nafas berbunyi. Ny.N menggunakan obat inhaler pelega sesak nafas yang selama ini
dipakainya dan makan obat salbutamol, keluhan sesak sedikit berkurang. Ny.N juga
mengeluhkan batuk dan susah mengeluarkan dahak, merasa batuknya berkurang bila
dahaknya keluar. Sejak 1 hari ini keluhan sesak napas makin berat sampai harus duduk, sesak
disertai suara mengi dan tidak ada perbaikan dengan obat yang dipakainya, lalu diantar oleh
tetangganya ke unit gawat darurat RSMH.
Sudah satu bulan ini Ny.N mengalami gejala sesak yang timbul hampir setiap hari dan
terbangun malam hari karena sesaknya rata-rata 2 kali dalam seminggu. Ny.N hanya
memakai inhaler pelega sesak setiap hari tetapi tidak memakai obat inhaler untuk mencegah
serangan. Sesak ini mengganggu aktivitas sehari-hari Ny.N
Enam bulan yang lalu, mengalami serangan asma dan dibawa ke UGD, dinebulasi 2
kali, sesak berkurang lalu pulang mendapat obat oral brronkodilator. Tiga hari kemudian
berobat ke poliklinik, dilakukan spirometri (tanggal 10 April 2016) dan mendapat obat
inhaler pelega dan pencegahan serangan. Pada saat kontrol poliklinik tanggal 21 Mei 2016,
tidak ada keluhan sesak, skor tes kontrol asma Ny.N adalah 24 dan dilakukan spirometri saat
itu.
Riwayat sesak seperti ini mulai dialami Ny.N sejak usia 15 tahun. Selain cuaca dingin,
Ny.N juga akan mengalami sesak bila terhirup debu, tercium bau yang menyengat atau bila
kelelahan. Ayah Ny.N juga menderita penyakit yang sama, sedangkan bibinya sering gatal-
gatal bila makan udang atau ikan laut. Kakak Ny.N sering bersin-bersin hidung mengeluarkan
sekret encer bila terhirup debu atau tercium bau yang menyengat.
Pemeriksaan fisik didapatkan:
Keadaan umum tampak sakit berat, sesak bila berbicara, hanya dapat beberapa kata,
sensorium gelisah, TD 120/80, HR: 102, RR: 30, SUHU: 37,1, Saturasi O2: 90%
Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva pucat - , ikterik -,
Leher: JVP 5 – 2 cmH2O
Thoraks: Paru: Inspeksi tampak retraksi sela iga, aukultasi: vesikuler normal, ekspirasi
memanjang wheezing diseluruh lapangan paru.
Pemeriksaan Lab: Hb: 12, 5 WBC: 8000 , Hitung jenis: 0/5/6/70/18/1, LED: 20 mm/jam
Pemeriksaan Spirometri tanggal 10 April 2016
Pemeriksaan Prediksi Hasil %
VEP1 2,505 1,68 67
KVP 3,121 2,81 95
VEP1/KVP 78 60 69

Pemeriksaan Spirometri tanggal 21 Mei 2016


Pemeriksaan Prediksi Hasil %
VEP1 2,505 2,204 88
KVP 3,121 2,90 96
VEP1/KVP 78 82 91
I. Klarifikasi Istilah
Istilah Definisi
Sesak Pernapasan yang sukar
Alat untuk memberikan uap atau obat-obatan yang diuapkan
Inhaler Pelega
melalui inhalasi sebagai pelaga.
Inhaler Pencegah Alat untuk memberikan uap atau obat-obatan yang diuapkan
serangan melalui inhalasi sebagai pencegah serangan.
Albuterol merupakan agonis reseptor adrenergik β2 yang
Salbutamol digunakan dalam bentuk basa atau garam sulfat sebagai
bronkodilator.
Suara yang dihasilkan ketika udar mengalir melalui saluran napas
Mengi yang menyempit yang disebabkan oleh sekresi mukus yang
terkurung didalam saluran napas atau penyempitan saluran napas.
Ekspulsi udara dari dalam paru yang tiba-tiba sambil mengeluarkan
Batuk
suara berisik.
Sputum merupakan bahan yang dikeluarkan lewat mulut , berasal
Dahak
dari trakea, bronkus dan paru-paru.
Serangan dispnea paroxysmal berulang, disertai mengi akibat
kontraksi spasmodik bronkhi. Keadaan ini biasanya disebabkan
Asma
manifestasi alergi atau sekunder akibat kondisi kronik atau
berulang.
Pengobatan dengan aerosol, konversi menjadi aerosol atau
Nebulisasi
semprotan.
Melebarkan lumen jalan nafas paru, agen yang menyebabkan
Bronkodilator
dilatasi bronkus
Pengukuran kapasitas pernapasan (kapasitas paru-paru), seperti
Spirometri
pada uji fungsi paru.
Sensasi kulit yang memicu refleks untuk menggaruk area tertentu
Gatal
pada tubuh.
Keluarnya udara semi otonom yang terjadi dengan keras lewat
Bersin
hidung dan mulut
Wheezing Jenis bunyi kontinyu seperti bersiul
Retraksi Sela Iga Otot-otot disela iga yang tertarik dalam kebelakang.
II. Identifikasi Masalah
1. Ny.N 30 tahun, seorang janda 3 anak, asisten rumah tangga dengan keluhan utama tiba-
tiba sesak dan napas berbunyi disertai batuk dan susah mengeluarkan dahak (batuk
berkurang bila dahak keluar) sejak 3 hari yang lalu saat malam hari dan hujan deras.
Konsumsi obat inhaler pelega dan salbutamol  sesak berkurang.
2. Sejak satu hari sesak napas makin berat sampai harus duduk disertai mengi dan tidak
ada perbaikan dengan obat yang dipakai. Diantar ke UGD RSMH oleh tetangga.
(MAIN PROBLEM)
3. Riwayat satu bulan yang lalu:
- Sesak timbul hampir setiap hari
- Terbangun malam hari karena sesak, rata-rata 2x dalam seminggu
- Sesak mengganggu aktivitas sehari-hari
- Obat yang dipakai setiap hari hanya inhaler pelega. Inhaler pencegah tidak dipakai.
4. Riwayat 6 bulan yang lalu:
- 7 April 2016, Serangan asma dibawa ke UGD, dilakukan nebulisasi 2x dan
mendapatkan obat bronkodilator oral.
- 10 April 2016, Dilakukan spirometri dan mendapat obat inhaler pelega dan pencegah
di poliklinik
Pemeriksaan Spirometri tanggal 10 April 2016
Pemeriksaan Prediksi Hasil %
VEP1 2,505 1,68 67
KVP 3,121 2,81 95
VEP1/KVP 78 60 69

- 21 Mei 2016, kontrol poliklinik dilakukan spirometri dan score tes kontrol = 24,
tidak ada keluhan sesak
Pemeriksaan Spirometri tanggal 21 Mei 2016
Pemeriksaan Prediksi Hasil %
VEP1 2,505 2,204 88
KVP 3,121 2,90 96
VEP1/KVP 78 82 91
5. Riwayat sesak seperti ini mulai dialami Ny.N sejak usia 15 tahun. Selain cuaca dingin,
Ny.N juga akan mengalami sesak bila terhirup debu, tercium bau yang menyengat atau
bila kelelahan. Ayah Ny.N juga menderita penyakit yang sama, sedangkan bibinya
sering gatal-gatal bila makan udang atau ikan laut. Kakak Ny.N sering bersin-bersin
hidung mengeluarkan sekret encer bila terhirup debu atau tercium bau yang menyengat.
6. Pemeriksaan fisik didapatkan:
Keadaan umum tampak sakit berat, sesak bila berbicara, hanya dapat beberapa kata,
sensorium gelisah, TD 120/80, HR: 102, RR: 30, SUHU: 37,1, Saturasi O2: 90%
7. Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva pucat - , ikterik -,
Leher: JVP 5 – 2 cmH2O
Thoraks: Paru: Inspeksi tampak retraksi sela iga, aukultasi: vesikuler normal, ekspirasi
memanjang wheezing diseluruh lapangan paru.
8. Pemeriksaan Lab: Hb: 12, 5 WBC: 8000 , Hitung jenis: 0/5/6/70/18/1, LED: 20
mm/jam

III. Analisis Masalah


1. Ny.N 30 tahun, seorang janda 3 anak, asisten rumah tangga dengan keluhan utama tiba-
tiba sesak dan napas berbunyi disertai batuk dan susah mengeluarkan dahak (batuk
berkurang bila dahak keluar) sejak 3 hari yang lalu saat malam hari dan hujan deras.
Konsumsi obat inhaler pelega dan salbutamol  sesak berkurang.
1.1. Apa hubungan usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan pekerjaan dengan
keluhan pada kasus?
 Usia
Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu
umur 5 – 14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil
yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut
studi yang dilakukan oleh Australian Institute of Health and Welfare (2007),
kejadian asma pada kelompok umur 18 – 34 tahun adalah 14% sedangkan >65
tahun menurun menjadi 8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan
menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun (Pratama dkk,
2009).
 Jenis Kelamin
Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki
merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada
masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada
perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka
kejadian asma di antara kedua jenis kelamin (Maryono, 2009).
 Status Pernikahan
Pada kasus, Ny.N adalah seorang janda dimana rentan untuk terjadinya
depresi atau gangguan emosional pada Ny.N. Faktor psikologis atau emosional
berpengaruh terhadap terjadinya asma. Studi menyebutkan bahwa penderita asma
pada remaja maupun dewasa memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dari
normalnya. Stres emosional berperan dalam pengaturan kerja hipotalamus-
pituitari-adrenal yang dapat menurunkan tingkst kortisol dimana pengaruhnya
dapat mengembangkan terjadinya alergi sehingga dapat menjadi pemicu serangan
asma pada indiviu yang mempunyai riwayat asma.
 Status Sosioekonomi/pekerjaan
Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status
sosioekonomik/pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana,
prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi pada penderita dengan status
sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%.
Tungau debu juga merupakan penyebab asma paling umum diseluruh dunia.
Tungau debu akan mengeluarkan feses yang dilapisi protein pada butir partikelnya,
yang menyebabkan reaksi alergi pada setiap butir partikelnya, yang menyebabkan
reaksi alergi bagi penderita asma apabila masuk kedalam saluran nafas. Ketika
tungau ini mati, tubuhnya akan bercampur dengan debu rumah tangga.

1.2. Bagaimana anatomi dan fisiologi saluran napas yang berkaitan dengan kasus?
Anatomi
a. Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama
mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi).
Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan
kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.
b. Faring
Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan
makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung, dan
mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain
adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang
yang bernama koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat
hubungan ini bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2 lubang (ke depan
lubang laring dan ke belakang lubang esofagus).
c. Laring
Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara,
terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikal dan masuk ke
dalam trakhea di bawahnya.
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang
dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang
berbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir
yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar. Panjang
trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi oleh
otot polos.
e. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2
buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai
struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu
berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru. Bronkus kanan lebih
pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3
cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri
dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang.Bronkus bercabang-cabang,cabang yang
lebih kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi,
dan pada ujung bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau
alveoli.
f. Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-
sel epitel dan endotel. Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke
dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah.
Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanandan paru-paru kiri. Paru-paru
kanan terdiri dari 3 lobus (belahan paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus
media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri terdiri
dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari
belahan yang kecil bernama segmen.
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang
berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat sebuah
bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali,
cabang ini disebut ductus alveolus.
Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga
dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau
hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput
yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral
(selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-
paru.

Fisiologi sistem pernapasan


Bernafas adalah proses keluar masuknya udara ke dalam dan keluar paru.
Proses bernafas diawali dengan memasukan udara ke dalam rongga paru untuk
kemudian diedarkan ke dalam sirkulasi serta pengeluaran zat sisa (CO2) dari
sirkulasi menuju keluar tubuh melalui paru.
a. Ventilasi
Ventilasi adalah proses pergerakan udara masuk dan keluar paru.ventilasi
terdiri dari dua tahap yaitu,inspirasi dan ekspirasi
b. Difusi gas
Difusi adalah proses ketika terjadi pertukaran oksigen dan karbon dioksida
pada tempat pertemuan darah – darah.
c. Tranportasi gas
Bagian ketiga dari proses pernapasan adalah transportasi gas (oksigen dan
karbon dioksida) dari paru menuju ke sirkulasi tubuh

1.3. Bagaimana etiologi dan mekanisme sesak, batuk, susah mengeluarkan dahak, dan
napas berbunyi pada kasus?
Sesak dan napas berbunyi
Terdiri dari 3 fase, yaitu:
1) Fase Sensitisasi : Diawali dari adanya alergen yang mengikat sel B dan
menyebabkan aktivasi sel T helper 2 sehingga terjadi proliferasi sel B untuk
melepas Ig E. Kemudian Ig E akan berikatan dengan reseptor sel mast (Fcε-R).
2) Fase aktivasi : Bila terdapat pajanan ulang dari alergen menyebabkan
terjadinya aktivasi sel mast (karena makin banyaknya ikatan igE dengan
reseptornya.
3) Fase efektor : Sel mast melepaskan mediator inflamasi berupa histamine,
bradikinin, dan zat anafilatoksin lainnya
Akibat pelepasan mediator inflamasi  terjadi bronkokontriksi otot polos bronkus,
peningkatan permeabilitas kapiler, dan peningkatan produksi mucus 
menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan karena diameter bronkus semakin
kecil dan terjadi spasme dari otot polos bronkus  pemasukan udara ke dalam
paru menjadi menurun  Resistensi Airway meningkat  terjadi sesak nafas dan
nafas berbunyi (tanda adanya obstruksi partial).
Batuk
Akibat dari pelepasan mediator inflamasi (terjadi peningkatan produksi mucus) 
Menstimulasi reflek batuk yang terdapat di bronkus  dialirkan melalui saraf
afferent ke medulla oblongata  kemudian dialirkan oleh saraf efferent  terjadi
batuk
Dahak yang sulit dikeluarkan
adalah akibat dari produksi mucus yang terdapat di saluran nafas bawah (yaitu
bronkus) sehingga sulit untuk mengeluarkan mucus tersebut.

1.4. Mengapa sesak terjadi pada malam hari dan saat hujan?
 Ritme Sirkadian
Ritme sirkardian berperan dalam kambuhnya asma di malam hari. Fungsi
tubuh tertentu berkurang dan memuncak pada variasi waktu setelah melewati
periode 24 jam. Contohnya, pada banyak orang fungsi paru memuncak pada pukul
4 sore dan mencapai titik terendah pada pukul 4 pagi. Pencapaian titik terendah
tersebut adalah periode dimana serangan asma sering terjadi, mungkin dikarenakan
tubuh lebih rentan untuk diserang pada waktu tersebut. Oleh karena itu, seseorang
yang bekerja pada malam hari dan tidur selama siang hari lebih mungkin mendapat
serangan asma selama siang hari.
Akhir – akhir ini juga telah diketahui bahwa hormone melatonin mungkin
memainkan peran penting dalam mencetuskan serangan asma pada malam hari.
Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar pineal yang membantu
mengatur ritme sirkardian seperti makan dan tidur. Penelitian akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa melatonin juga meningkatkan jalur alergi peradangan,
sehingga membuat serangan asma lebih mungkin terjadi.
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara perubahan
kadar katekolamin bersamaan dengan penurunan PEFR pada malam hari dan
penurunan yang terendah didapati pada pukul 04.00. Selain itu ada pula hubungan
terbalik antara keadaan histamin dengan PEFR yaitu bahwa keadaan histamin naik
pada pk. 4.00 bersamaan dengan penurunan PEFR. Selain itu epinefrin yang
merupakan suatu beta adrenergic agonist yang kuat juga dapat mencegah
pelepasan histamin dan mediator-mediator lain dari sel mast dan selanjutnya dapat
mengurangi bronkokonstriksi. Jadi perubahan siklus sirkardian epinefrin dalam
darah membangkitkan asma malam hari dengan mengurangi bronkodilatasi dan
membantu pelepasan mediator bronkhogenik dari sel mast. Pengurangan epinefrin
pada malam hari mengakibatkan meningkatnya kadar asetilkolin yang
mengakibatkan bertambahnya respon pada penderita asma yang hiperresponif
terhadap neurotransmiter ini. Ada juga bukti bahwa kolinergik juga meningkat
pada malam hari dan menyebabkan asma muncul malam hari. Peningkatan
kolinergik itu diduga merupakan efek lanjut dari penurunan kadar adrenalin yang
menyebabkan berkurangnya inhibisi adrenergik.
 Pengaktifan sekresi sel mastoleh allergen
Pengaktifan sel mast bukan hanya menimbulkan reaksi asma awal dengan
penyumbatan bronkus tetapi pada beberapa penderita dapat memperberat serangan
asma 6 jam kemudian yang dikenal sebagai reaksi asma lambat. Reaksi asma
lambat ini merupakan karakteristik asma kronis. Karakteristik asma tersebut
memiliki reaksi tertunda terhadap alergen dan pemicu iritasi. Kebanyakan gejala
ini berkembang dalam waktu empat sampai delapan jam setelah terpapar. Karena
risiko paparan ini lebih tinggi pada siang hari, reaksinya lebih mungkin terjadi pada
malam hari. Sehingga reaksi yang tertunda dapat menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan munculnya asma pada malam hari.
 Pengaruh tidur
Lopes berkesimpulan bahwa pada orang normal, sewaktu tidur terjadi
kenaikan resistensi bronkus 230% dibandingkan pada waktu bangun (Lopes, 1983).
Perubahan resistensi ini mungkin berhubungan dengan kenaikan tonus otot bronkus
pada bagian atas sehingga menyebabkan bertambahnya kerja pernafasan selama
tidur. Jika hal ini terjadi pada penderita asma maka penyumbatan bronkus akan
menjadi lebih besar lagi.
 Perubahan sekresi saluran nafas
Penyumbatan lendir menyebabkan obstruksi bronkus pada penderita asma.
Begitu juga retensi sekresi bronkus pada malam hari juga membantu gejala-gejala
asma yang muncul malam hari. Dari penelitian diketahui bahwa berkurangnya
pembersih mukosilier ini terutama terjadi pada malam hari. Retensi sekresi ini
tampaknya dihubungkan dengan tidur dan bukan dengan variasi diurnal. Perlu
penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah fenomena ini lebih berat pada
penderita asma dan apakah berperan mengakibatkan wheezing pada malam hari
(Bateman, 1978).
 Posisi berbaring
Penderita asma yang berbaring dalam posisi telentang akan mengalami
gangguan faal paru yang progresif dan PEFR turun 13% selama 2 jam berbaring
dan 24% selama 4 jam berbaring. Gangguan ini reversibel dan akan kembali
normal setelah 1,5 jam. Jadi dapat disimpulkan bahwa berbaring dalam posisi
telentang untuk jangka waktu yang lama juga menyebabkan serangan asma pada
malam hari, walaupun mekanismenya belum jelas(Popping, 1988).
 Gastroesophageal Reflux Disoerder
Banyak diantara para pasien asma juga mengalami acid reflux atau GERD
(Gastroesophageal Reflux Disorder) yang ternyata memiliki keterkaitan dengan
munculnya asma di malam hari. GERD terjadi ketika katup yang memisahkan
esophagus dan lambung mengalami malfungsi dan menjadikan isi lambung (asam
dan enzim pencernaan) memasuki esophagus. Kondisi ini akan memburuk pada
malam hari dikarenakan pada posisi tidur dengan berbaring katub akan lebih
mudah terbuka. Jika ini terjadi, dinding esophagus akan mengalami kerusakan dan
mengakibatkan nyeri dada, sendawa, dan nyeri perut. Iritasi dan batuk yang sering
dihasilkan dari kenaikan asam lambung ini dapat memicu gejala asma.
Pada Refluks gastro-oesophageal pembersihnya cepat pada siang hari, tetapi
pada penderita oesophagitis selalu terjadi refluks pada malam hari karena aktivitas
otot oesophagus berkurang dan pembersihan asam diperlambat. Refluks pada
malam hari ini dapat menimbulkan serangan asma dan pengobatan refluks pada
penderita asma dapat memperbaiki pernafasan(Davies, 1976; Chockroft, 1984).
 Perubahan suhu
Udara dingin diketahui sebagai salah pencetus asma. Di samping itu suhu
tubuh dapat turun dengan cepat selama tidur, yang mana dapat membantu
mencetuskan serangan sama.

1.5. Bagaimana hubungan antar gejala?


Hubungan antar gejala sangat terkait yang diakibatkan adanya reaksi
hipersensitivitas tipre 1 sehingga terjadi pelepasan mediator seperti histamine,
bradikinin, dan zat anafilatoksin lainnya sehingga terjadi kontraksi otot polos,
peningkatan permeabilitas kapiler, dan peningkatan sekresi mucus sehingga
terjadilah sesak nafas disertai nafas yang berbunyi dan juga batuk dengan dahak
yang sulit untuk dikeluarkan.

1.6. Bagaimana farmakodinamik salbutamol sehingga sesak dapat berkurang?


Salbutamol merupakan obat golongan selektif β2 agonist dengan kerja cepat
(Short acting β2 agonist/ SABAs). Saat ini obat-obat agnonis adrenoseptor selektif
β2 merupakan simpatomimetik yang paling banyak digunakan sebagai pengobatan
asma. Agonis adrenoseptor memiliki beberapa efek farmakologik yang penting
dalam pengobatan asma, yaitu melemaskan otot polos saluran nafas dan
menghambat pengeluaran mediator bronkokonstriksi dari sel-sel mast yang dimana
dikategorikan sebagai obat pelega atau bronkodilator pada pasien asma. Kerja
salbutamol ini selektif pada reseptor β2 yang terdapat pada bronkus sehingga tidak
merangsang reseptor adrenergik lain (dengan sedikit atau tidak merangsang dari β1
adrenoseptor dari otot jantung). Salbutamol bekerja dengan cara merangsang enzim
adenil siklase untuk meningkatkan sintesis daric AMP intrasel. Peningkatan dari
kadar cAMP intrasel ini akan memacu terjadinya bronkodilatasi pada pasien asma.
Efek nyata yang dirasakan pasien adalah relaksasi otot saluran nafas sehingga nafas
menjadi lega (Boushey, 2007; GlaxoSmithKline, 2014).
Selain itu perangsangan persarafan adrenergik oleh salbutamol ini dapat
menyebabkan inaktivasi dari sel mast yang mengakibatkan mediator kimia seperti
prostaglandin D2, Leukotrein C4 dan D4, serta histamin tidak keluar dan
menyebabkan terjadinya sindrom gejala klinis pada asma. Efek yang lainnya
adalah perangsangan pada mukosa sillia saluran nafas untuk meningkatkan aksinya
agar mendorong mukus-mukus yang menghambat saluran nafas keluar (Dunn et
al., 2000; Galbraith et al., 1994).

1.7. Apa saja klasifikasi obat asma?


Simpatomimetik
Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens
mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet. Selektifitas relatif
obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama penggunaan secara klinik
dan untuk memprediksi efek samping yang umum. Obat simpatomimetik selektif
β2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek
samping yang minimal pada terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi
akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan
memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya
alergen, latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan
secara sistemik.
Agonis β2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol) digunakan,
bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang terhadap
gejala yang timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga dipergunakan untuk
mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis β2 kerja
singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan
untuk menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan
fisik.
Xantin
Mekanisme Kerja Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan
turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh
darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi
asam lambung, menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat
kontraksi uterus. Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin
mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan
demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada
pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik. Indikasinya adalah
untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan bronkospasma
reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis kronik dan emfisema. Contoh:
aminofilin, teofilin, difilin dan oktrifilin.
Antikolinergik
Ipratropium Bromida, inhalasi oral, adalah suatu antikolinergik
(parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan cara
mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada
tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik. Ipratropium bromida (semprot hidung)
mempunyai sifat antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi
kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung.
Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator lain
(terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan
bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik,
termasuk bronkhitis kronik dan emfisema. Efek Samping yang bisa timbul yaitu
sakit punggung, sakit dada, bronkhitis, batuk, penyakit paru obstruksi kronik yang
semakin parah, rasa lelah berlebihan, mulut kering, dispepsia, dipsnea, epistaksis,
gangguan pada saluran pencernaan, sakit kepala, gejala seperti influenza, mual,
cemas, faringitis, rinitis, sinusitis, infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi
saluran urin. Kontra indikasi penggunaannya adalah hipersensitif terhadap
ipratropium bromida, atropin dan turunannya.
Kromolin Sodium dan Nedokromil
Kromolin Natrium
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai aktifitas
intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas
glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin dan
SRSA (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast. Kromolin
bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan. Kromolon diberikan sebagai
pengobatan profilaksis pada asma bronkial. Kromolin diberikan teratur, harian
pada pasien dengan gejala berulang yang memerlukan pengobatan secara reguler.
Nedokromil Natrium
Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma. Obat
ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari
berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil,
makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat perkembangan
respon bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi.
Nedokromil diindikasikan untuk asma dan digunakan sebagai terapi pemeliharaan
untuk pasien dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih pada asma ringan sampai
sedang. Efek samping yang terjadi pada penggunaan nedokromil bisa berupa batuk,
faringitis, rinitis, infeksi saluran pernapasan atas, bronkospasma, mual, sakit
kepala, nyeri pada dada dan pengecapan tidak enak.
Kortikosteroid
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara
kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat
menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek
obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme
bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan
inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik
minimal.
Indikasinya adalah sebagai terapi pemeliharaan dan propilaksis asma,
termasuk pasien yang memerlukan kortikosteoid sistemik, pasien yang
mendapatkan keuntungan dari penggunaan dosis sistemik, terapi pemeliharaan
asma dan terapi profilaksis pada anak usia 12 bulan sampai 8 tahun. Obat ini tidak
diindikasikan untuk pasien asma yang dapat diterapi dengan bronkodilator dan obat
non steroid lain, pasien yang kadang-kadang menggunakan kortikosteroid sistemik
atau terapi bronkhitis non asma.
Efek samping bisa berupa iritasi tenggorokan, suara serak, batuk, mulut
kering, ruam, pernafasan berbunyi, edema wajah, sindrom flu, depresi fungsi
Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA). Terjadinya kematian yang disebabkan
oleh insufisiensi adrenal dan setelah terjadinya peralihan dari kortikosteroid
sistemik ke aerosol. Beclomethason: efek samping terjadi pada 3% pasien atau
lebih, seperti sakit kepala, kongesti nasal, dismenorea, dispepsia, rhinitis, faringitis,
batuk, infeksi saluran pernapasan atas, infeksi virus dan sinusitis. Budesonid : efek
samping terjadi pada 3% pasien atau lebih, seperti nyeri, sakit punggung, infeksi
saluran pernapasan atas, sinusitis, faringitis, batuk, konjungtivitis, sakit kepala,
rhinitis, epistaksis, otitis media, infeksi telinga, infeksi virus, gejala flu, perubahan
suara. Flunisolid : efek samping terjadi pada 3 % atau lebih pasien seperti palpitasi,
nyeri dada, pusing, iritabilitas, nervous, limbung, mual, muntah, anoreksia, nyeri
dada, infeksi saluran pernapasan atas, kongesti hidung dan sinus, pengecapan tidak
enak, kehilangan indra penciuman dan pengecapan, edema, demam, gangguan
menstruasi, eksim, gatal-gatal/pruritus, ruam, sakit tenggorokan, diare, lambung
sakit, flu, kandidiasis oral, sakit kepala, rhinitis, sinusitis, gejala demam, hidung
berair, sinusitis, infeksi/kerusakan pada sinus, suara serak, timbul sputum,
pernafasan berbunyi, batuk, bersin dan infeksi telinga.
Antagonis Reseptor Leukotrien
Zafirlukast
Mekanisme Kerja Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4
yang selektif dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-
reacting substances of anaphylaxis). Produksi leukotrien dan okupasi reseptor
berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan
perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma. Efek samping terjadi pada 3% pasien seperti
sakit kepala, mual dan infeksi. ¾ Kontra indikasi yaitu hipersensitif terhadap
komponen sediaan.
Montelukast Sodium
Mekanisme kerja montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif
dan aktif pada penggunaan oral, yang menghambat reseptor leukotrien sisteinil
(CysLT1). Leukotrien adalah produk metabolisme asam arakhidonat dan
dilepaskan dari sel mast dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi reseptor
berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan
perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma. Indikasinya sebagai profilaksis dan terapi
asma kronik pada dewasa dan anak-anak > 12 bulan.
2. Sejak satu hari sesak napas makin berat sampai harus duduk disertai mengi dan tidak
ada perbaikan dengan obat yang dipakai. Diantar ke UGD RSMH oleh tetangga.
2.1. Mengapa sesak napas semakin berat sampai harus duduk dan tidak ada perbaikan
dengan obat yang dipakai?
Ny. N mengidap asma persisten sedang. Pengobatan pada asma derajat ini
adalah obat pengontrol dan obat pelega. Obat pengontrol yang digunakan adalah
pulmicort 200 – 1000 g + inhalasi agonis beta-2 kerja lama. Obat pengontrol lain
adalah symbicort 500 – 1000 g + teofilin lepas lambat atau agonis beta-2 kerja
lama oral atau antileukotrien. seentara obat pelega yang dipakai adalah
bronkodilator aksi singkat (berotec ), inhalasi agonis beta-2 bila perlu. Obat
pengontrol semestinya dikonsumsi setiap hari sebagai anti inflamasi dan
bronkodilator kerja lama. Pada kasus ini, Ny. N tidak rutin menggunakan obat
pengontrol, sehingga sesak dirasakan semakin berat

2.2. Bagaimana penilaian derajat serangan asma pada kasus?


Berikut kesimpulan tanda pada pasien:
- Aktivitas: Sejak 1 hari ini keluhan sesak napas makin berat sampai harus duduk
- Bicara: Bicara beberapa kata (Kalimat terbatas)
- Kesadaran: Delirium (terganggu)
- Frekuensi nafas: 30x/menit (meningkat)
- Otot bantu napas: Retraksi sela iga (ada)
- Mengi: Seluruh lapang paru
- Frekuensi nadi: 102x/menit (100-120X/menit)
- Pulsus paradoksus: tidak ada pemeriksaan heart rate (mungkin ada)
- APE setelah bronkodilator: *pemeriksaan 10 April dan 21 Mei 2016 88%
(>80%)
- PaCO2 dan SaO2 tidak diperiksa
Dari penilaian diatas dapat disimpulkan bahwa Ny.N menderita serangan
asthma derajat sedang berdasarkan klasifikasi derajat beratnya serangan asthma
menurut GINA.

2.3. Bagaimana tatalaksana awal asma di UGD?


Algoritma Penatalaksanaan Asma Eksarbasi di Rumah Sakit (GINA, 2011).
3. Riwayat satu bulan yang lalu:
- Sesak timbul hampir setiap hari
- Terbangun malam hari karena sesak, rata-rata 2x dalam seminggu
- Sesak mengganggu aktivitas sehari-hari
- Obat yang dipakai setiap hari hanya inhaler pelega. Inhaler pencegah tidak dipakai.
3.1. Apa hubungan riwayat satu bulan yang lalu dengan gejala yang dialami sekarang?
Gejala satu bulan yang lalu semakin parah sekarang diakibatkan Ny. N tidak
memngkonsumsi dengan rutin obat controller sebagai anti inflamasi dan
bronkodilator jangka panjang.
Menandakan bahwa serangan saat ini bukan merupakan serangan yang
terjadi pertama kali dan untuk menunjukkan bahwa dari bulan sebelumnya hingga
kondisi saat ini Ny. N telah mengalami perburukan.

3.2. Bagaimana derajat serangan asma pada satu bulan yang lalu?
- Sesak timbul hamper setiap hari  Gejala hampir tiap hari
- Terbangun malam hari karena sesak, rata-rata 2x dalam seminggu  Gejala
asma malam >1x/minggu
- Sesak mengganggu aktivitas sehari-hari  eksaserbasi mempengaruhi
aktivitas dan tidur
- Obat yang dipakai setiap hari hanya inhaler pelega. Inhaler pencegah tidak
dipakai  Membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari
- APE atau VEP1 60-80%; 6) variabiliti APE atau VEP1 >30% (Pada satu bulan
yang lalu tidak ada pemeriksaan)
Pada temuan klinis yang didapat pada satu bulan yang lalu, dapat
disimpulkan Ny. N menderita astma persisten sedang.

3.3. Apa akibat tidak memakai inhaler pencegah dan hanya memakai inhaler pelega?
Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu
antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit
serta mencegah serangan dikenal dengan pengontrol, dan bronkodilator yang
merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi eksaserbasi/ serangan,
dikenal dengan pelega (reliever). Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui
relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang
berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Inhaler pencegah selain dapat mencegah terjadinya serangan asma, inhaler
pencegah juga dapat mengurangi jumlah peradangan dan sensitivitas yang terjadi
di dalam saluran napas. Sedangkan inhaler pelega tidak meredakan peradangan
pada saluran napas penderita asma, obat ini dapat memperparah asma sembari
menyembunyikan gejalanya.

3.4. Bagaimana farmakodinamik obat asma inhaler pelega dan pencegah?


 Inhaler pereda.
Inhaler pereda digunakan untuk meringankan gejala asma dengan cepat saat
serangan sedang berlangsung. Biasanya inhaler ini berisi obat-obatan yang disebut
short-acting beta2-agonist atau beta2-agonist yang memiliki reaksi cepat (misalnya
terbutaline dan salbutamol). Obat ini mampu melemaskan otot-otot di sekitar
saluran pernapasan yang menyempit. Dengan begitu, saluran pernapasan dapat
terbuka lebih lebar dan membuat pengidap asma dapat bernapas kembali dengan
lebih mudah. Obat-obatan yang terkandung di dalam inhaler pereda jarang
menimbulkan efek samping dan aman digunakan selama tidak berlebihan. Inhaler
pereda tidak perlu sering digunakan lagi jika asma sudah terkendali dengan baik.
Bagi pengidap asma yang harus menggunakan obat ini sebanyak lebih dari tiga kali
dalam seminggu, maka keseluruhan penanganan perlu ditinjau ulang.
Golongan obat pelega:
- Agonis beta-2 kerja cepat
- Kortikosteroid sistemik
- Antikolinergik
- Aminofillin
- Adrenalin
 Inhaler pencegah
Selain dapat mencegah terjadinya serangan asma, inhaler pencegah juga
dapat mengurangi jumlah peradangan dan sensitivitas yang terjadi di dalam saluran
napas. Biasanya Anda harus menggunakan inhaler pencegah tiap hari untuk
sementara waktu sebelum merasakan manfaatnya secara utuh. Anda juga mungkin
akan membutuhkan inhaler pereda untuk meredakan gejala saat serangan asma
terjadi. Namun jika Anda terus-menerus membutuhkan inhaler pereda tersebut,
maka penanganan Anda harus ditinjau ulang secara keseluruhan. Umumnya
pengobatan pencegah disarankan jika Anda mengalami serangan asma lebih dari
dua kali dalam seminggu, harus menggunakan inhaler pereda lebih dari dua kali
dalam seminggu, atau terbangun pada malam hari sekali atau lebih dalam
seminggu akibat serangan asma. Inhaler pencegah biasanya mengandung obat-
obatan steroid seperti budesonide, beclometasone, mometasone, dan fluticasone.
Merokok dapat menurunkan kinerja obat ini.
Golongan obat pencegah:
- Glukokortikosteroid inhalasi
- Glukokortikosteroid sistemik
- Sodium kromoglikat dan nedokromil sodium
- Metilsantin
- Long Acting β2 Agonist (LABA)
- Leukotrien modifiers

4. Riwayat 6 bulan yang lalu:


- 7 April 2016, Serangan asma dibawa ke UGD, dilakukan nebulisasi 2x dan
mendapatkan obat bronkodilator oral.
- 10 April 2016, Dilakukan spirometri dan mendapat obat inhaler pelega dan pencegah
di poliklinik
Pemeriksaan Spirometri tanggal 10 April 2016
Pemeriksaan Prediksi Hasil %
VEP1 2,505 1,68 67
KVP 3,121 2,81 95
VEP1/KVP 78 60 69

- 21 Mei 2016, kontrol poliklinik dilakukan spirometri dan score tes kontrol = 24,
tidak ada keluhan sesak
Pemeriksaan Spirometri tanggal 21 Mei 2016
Pemeriksaan Prediksi Hasil %
VEP1 2,505 2,204 88
KVP 3,121 2,90 96
VEP1/KVP 78 82 91

4.1. Bagaimana cara pemeriksaan score tes kontrol asma dan interpretasi pada kasus?
Penilaian :
 < 19 TIDAK TERKONTROL
 20-24 : TERKONTROL BAIK
 25 : KONTROL TOTAL
Pada kasus: 9, tidak terkontrol.

4.2. Bagaimana cara pemeriksaan spirometri?


Prosedur
1. Pasien diberikan penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan oleh
dokter atau perawat yang terlatih.
2. Pasien dilakukan identifikasi: usia, jenis kelamin, tinggi dan berat badan
3. Masukkan identitas pasien ke dalam alat spirometri.
4. Pasien diminta memakai penyangga mulut (mouth piece).
5. Dengan dipandu dokter atau perawat yang terlatih, pasien diminta untuk
menarik napas secara maksimal dan menghembuskannya secepat dan selapang
mungkin, pengukuran dilakukan sebanyak 3x, hasilnya dicatat di status pasien.
Pengukuran fungsi paru yang dilaporkan :
 Forced vital capacity (FVC) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan
secara paksa setelah inspirasi secara maksimal, diukur dalam liter.
 Forced Expiratory volume in one second (FEV1) adalah jumlah udara yang
dapat dikeluarkan dalam waktu 1 detik, diukur dalam liter. Bersama dengan
FVC merupakan indikator utama fungsi paru-paru
 FEV1/FVC merupakan rasio FEV1/FVC. Pada orang dewasa sehat nilainya
sekitar 75% - 80%
 FEF 25-75% (forced expiratory flow), optional
 Peak Expiratory Flow (PEF), merupakan kecepatan pergerakan udara keluar
dari paru-paru pada awal ekspirasi, diukur dalam liter/detik.
 FEF 50% dan FEF 75%, optional, merupakan rata-rata aliran (kecepatan)
udara keluar dari paru-paru selama pertengahan pernafasan (sering disebut
juga sebagai MMEF(maximal mid-expiratory flow

4.3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan spirometri pada tanggal 10 April dan 21 Mei
2016?
value Normal obstruksi Restriksi 10 April 21 Mei
FVC(KVP) ≥ 80% pred N <N 95 N 96 N
FEV1(VEP1) ≥ 80% pred <N N/<N 67 A 88 N
FEV1/FVC > 70% < 70% > 70% 69 A 91 N
obstruksi normal

Pada tanggal 10 April Ny. N mengalami COPD sedang yaitu 67% dengan
rentang COPD sedang adalah 50 – 70%, setelah itu mendapat obat inhaler
bronkodilator baik pelega maupun pencegahan dan datang lagi pada tanggal 21
Mei dengan VEP1 88% mengalami perbaikan menjadi COPD Ringan dengan hasil
spirometri yang normal dengan rentang COPD ringan adalah >80%.

4.4. Bagaimana riwayat perjalanan penyakit dari 6 bulan yang lalu sampai sekarang?
4.5. Bagaimana derajat serangan asma pada 6 bulan yang lalu?
Serangan asma pada enam bulan yang lalu tidak dijelaskan secara rinci
mengenai keadaan klinis Ny.N, tetapi dari informasi yang diberikan terlihat adanya
reversibelitas setelah pemberian bronkodilator yang menandakan Ny.N menderita
asma (membedakan dengan keadaan PPOK). Selain itu dari pemeriksaan ACT
(Asthma Test Control) menunjukkan bahwa pada saat itu asthma Ny.N dalam
keadaan terkontrol.
5. Riwayat sesak seperti ini mulai dialami Ny.N sejak usia 15 tahun. Selain cuaca dingin,
Ny.N juga akan mengalami sesak bila terhirup debu, tercium bau yang menyengat atau
bila kelelahan. Ayah Ny.N juga menderita penyakit yang sama, sedangkan bibinya
sering gatal-gatal bila makan udang atau ikan laut. Kakak Ny.N sering bersin-bersin
hidung mengeluarkan sekret encer bila terhirup debu atau tercium bau yang menyengat.
5.1. Apa hubungan riwayat keluarga dengan gejala yang terjadi pada kasus?
Faktor genetik berperan pada penyakit Asma anak terutama bila ibu
juga menderita Asma. Asma dan penyakit alergi sering terjadi bersamaan pada
individu dalam satu keluarga. Prevalensi terjadinya Asma meningkat pada pasien
yang menderita Rinitis Alergi. Beberapa studi longitudinal menunjukkan
manifestasi atopi yang sudah dimulai sejak usia kanak-kanak misalnya dermatitis
atopi dan alergi makanan yang terjadi saat bayi akan berlanjut dengan Asma
dan/atau Rinitis Alergi pada saat kanak-kanak. Sekitar 30% anak-anak dengan
Dermatitis Atopi akan berkembang menjadi Asma di kemudian hari dan hamper
66% akan menjadi Rinitis Alergi.36 Berdasarkan hasil penelitian di Amerika
Serikat, 30-90% kasus Asma Bronkial memiliki gejala Rinitis Alergi sebelumnya.

5.2. Apa makna klinis sesak sudah mulai dialami sejak Ny.N berusia 15 tahun dan
apabila cuaca dingin, terhirup debu, tercium bau yang menyengat atau kelelahan?
Sesak dialami sejak berusia 15 tahun mengindikasikan penyakit yang dialami
kronis, menyingkirkan penyakit paru lain yang bersifat akut. Selain itu
menandakan bahwa ada faktor genetik pada kasus ini. Makna klinisnya adalah
faktor pencetus atau pemicu serangan asma pada Ny. N adalah faktor ekstrinsik
maupun intrinsik. Dimana debu merupakan faktor ekstrinsik, sementara perubahan
cuaca, bau menyengat, maupun kelelahan merupakan faktor intrinsik yang dapat
memicu serangan asma.

6. Pemeriksaan fisik didapatkan:


Keadaan umum tampak sakit berat, sesak bila berbicara, hanya dapat beberapa kata,
sensorium gelisah, TD 120/80, HR: 102, RR: 30, SUHU: 37,1, Saturasi O2: 90%
6.1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan fisik?
Hasil Pemeriksaan Keadaan Normal Interpretasi
Keadaan umum: tampak sakit Tidak ada gangguan Abnormal. Hal ini
berat, sesak bila berbicara, disebabkan oleh asma pada
hanya dapat berbicara kasus.
beberapa kata
Sensorium gelisah Kompos mentis Penurunan kesadaran
sebagai akibat dari penyakit
asma.
Tekanan darah 120/80 mmHg ≤ 120/80 mmHg Normal.
Denyut nadi 102 x/menit 60-80 x/menit Takikardi. Inflamasi jalan
napas  bronkospasme 
penurunan oksigen 
takikardi sebagai
kompensasi untuk
mendapatkan oksigen.
Frekuensi napas 30 x/menit 16-24 x/menit Takipneu. Asma
menyebabkan penderita
menjadi sulit untuk
bernapas penuh dalam 1
siklus sehingga terjadi
takipneu.
Suhu 37,10C 36,6-37,20C Normal.
Saturasi oksigen 90% 95-100% Penurunan saturasi oksigen.
Inflamasi jalan napas 
bronkospasme 
pengurangan oksigen yang
masuk ke dalam tubuh.

7. Keadaan spesifik:
Kepala: Konjungtiva pucat - , ikterik -,
Leher: JVP 5 – 2 cmH2O
Thoraks: Paru: Inspeksi tampak retraksi sela iga, aukultasi: vesikuler normal, ekspirasi
memanjang wheezing diseluruh lapangan paru.
7.1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada keadaan spesifik?
Hasil Pemeriksaan Keadaan Normal Interpretasi dan Mekanisme
Konjungtiva pucat - Tidak pucat Normal
Ikterik - Tidak ikterik Normal
JVP 5-2 cm 5-2 sampai 5+2 Normal.
Inspeksi tampak Tidak ada retraksi Sumbatanpeningkatan
retraksi sela iga tahanan,terperangkap udara, distensi paru
berlebihan (hiperinflasi)tidak sinkron
ventilasi dan perfusipeningkatan kerja
napasotot tertarik sebagai upaya pernapasan
aukultasi: vesikuler vesikuler Normal
normal
ekspirasi memanjang Tidak adak Adanya penyempitan saluran napas karena
wheezing diseluruh wheezing inflamasi, obstruksi, dan hiperreaktifitas
lapangan paru bronkus

8. Pemeriksaan Lab: Hb: 12, 5 WBC: 8000 , Hitung jenis: 0/5/6/70/18/1, LED: 20
mm/jam
8.1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan lab ?
Hasil Pemeriksaan Keadaan Normal Interpretasi dan Mekanisme
Hb: 12,5 12-16 Normal
WBC: 8000 5000-10000 Normal
Hitung jenis: 0/1-3/2-6//50-70/20- Eosinofil meningkat karena adanya alergen.
0/5/6/70/18/1 40/2-8 Eosinofil merangsang produksi mediator
inflamasi, sitokin dan mediator.
LED 20 mm/jam Wanita 0-20 Normal
mm/jam

9. Analisis Aspek Klinis


9.1. Bagaimana cara penegakkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang?
Riwayat penyakit
Penggunaan obat selama ini, riwayat di RS sebelumnya, kunjungan ke gawat
darurat, riwayat episode gagal napas sebelumnya (intubasi, penggunaan ventilator)
dan penggunaan psikiatrik atau psikologis serta ada tidaknya riwayat asma
sebelumnya. Tujuannya untuk menentukan waktu saat timbulnya serangan dan
beratnya gejala, terutama untuk membandingkan dengan eksaserbasi sebelumnya.
Pemeriksaan fisik
Pada pasien kondisi sangat berat maka ia akan duduk tegak, terdapat
penggunaan otot-otot tambahan untuk membantu bernapas (obstruksi berat),
adanya retraksi otot sternokleidomastoideus dan supra sternal (kelemahan fungsi
paru), RR >3ox/menit, takikardi >120x/menit atau pulsus paradoxus >12mmHg
(serangan asma akut berat).
Pemeriksaan penunjang
 Pulse oxymetry
Untuk mengukur saturasi oksigen digunakan untuk mengeksklusi
hipoksemia, diindikasikan saat kemungkinan pasien jatuh ke dalam gagal napas.
Target pengobatan ditentukan agar SpO2 >92% tetap terjaga.
 Analisa gas darah (AGD)
Dilakukan bila penatalaksanaan dengan terapi oksigenisasi tidak mencapai
SpO2 >90%.
 Foto thorak
Dilakukan bila terdapat tanda dan gejala pneumothoraks (nyeri dada
pleuritik, emfisema subkutis, instabilitas kardiovaskuler atau suara napas yang
asimetris), pneumonia, dan pada pasien asma yang 6-12 jam dilakukan pengobatan
secara intensif tidak memberikan respons terhadap terapi.
 Monitor irama jantung
Dilakukan untuk pasien lansia dan pasien asma yang juga menderita penyakit
jantung. Irama jantung yang ditemukan adalah sinus takikardi dan supra ventikular
takikardi. Apabila gangguan irama jantung terjadi hanya asma maka irama akan
kembali normal dalam hitungan jam setelah ada respon terapi dari pengobatan.
 Spirometri
Digunakan untuk mengetahui fungsi paru untuk mengukur seberapa banyak
dan seberapa cepat seseorang dapat mengeluarkan udara dari paru-parunya. Yang
diukur saat spirometri adalah Forced Vital Capacity, Forced Expiratory Volume,
Forced Expiratory Flow 25-70%, Peak Expiratory Flow, Maximum Voluntary
Ventilation, Slow Vital Capacity, Total Lung Capacity, Functional Residual
Capacity, Residual Volume, Expiratory Reserve Volume.
Asma merupakan gangguan saluran napas dikarenakan obstruksi, sehingga
hasil spirometri akan menunjukkan :
a) FVC : normal atau menurun
b) FEV1 : menurun
c) FEV1 divided by FVC : menurun
d) Forced Expiratory Flow 25-70% : menurun
e) PEF : menurun
 Respons terhadap terapi
Respon terhadap terapi awal di IGD (PEFR atau FEV1 di 30 menit pertama)
merupakan prediktor terbaik. Variasi nilai PEFR diatas 50L/menit dan FEV 1 >40%
normal merupakan prediktor yang baik bagi hasil akhir pengobatan yang baik pula.
Reversibilitas secara tradisional diartikan sebagai peningkatan FEV1 sebesar 15%
atau lebih setelah 2x menghirup preparat agonis beta-adrenergik.

9.2. Apa diagnosis banding, diagnosis kerja, dan definisi diagnosis kerja?
Differential Diagnose
 Asma
Ditemukan gejala asma terdiri atas triad dispnea, batuk dan mengi, dengan
serangan yang periodik reversibel, terdapat periode tanpa gejala, terbangun malam
hari dengan dispnea/mengi, adanya riwayat personal atau keluarga mengenai
penyakit alergi seperti ekzema, rinitis, atau urtikaria merupakan bukti pentng untuk
mendukung diagnosis,.
 Obstruksi saluran napas bagian atas oleh tumor atau edema laring.
Gejala hampir sama dengan asma tetai akan ditemukan stridor dan suara
pernapasan yang kasar di trakea, mengi yang difus diseluruh lapangan paru
biasanya tidak terdengar. Diperlukan pemeriksaan laringoskopi indirek atau
bronkoskopi.
 Difungsi glotis
Hampir sama dengan gejala asma yang berbeda adalah tekanan oksigen arteri
baik, dan gradien alveolar arteri tidak mengalami pembesaran seperti halnya pada
obstruksi saluran napas bagian bawah.
 Panyakit endobronkial
Mengi persisten dan hany aterlokalisasi pada satu daerah dada saja disertaia
batuk yang mendadak.
 Gagal ventrikel kiri akut
Terkadang gejala mirip dengan gejala asma tetapi gejala ronki basah pada
basis paru, irama gallop, sputum yang bernoda darah dan tanda gagal jantung
memungkinkan kita untuk membedakannya.
 Bronkitis kronik
Tidak bersifat episodik karena tidak terdapat periode tanpa gejala.
 Emboli rekuren
Adanya penggunaan kontrasepsi oral.
 Pneumonia eosinofilik
Adanya bronkospame sebagai manifestasi vaskulitis sistemik.
Working Diagnose
Asma eksaserbasi akut derajat berat.
Definition
Peradangan kronis jalan napas yang berhubungan hiperreaktivitas bronkus
dimana terjadi bronkokontriksi berlebihan terhadap berbagai rangsangan yang
menyebabkan bronkospasme episodik reversibel.

9.3. Bagaimana klasifikasi diagnosis kerja?


Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) asma dibagi menjadi 4 yaitu:
 Asma intermitten, ditandai dengan :
- gejala kurang dari 1 kali seminggu
- eksaserbasi singkat
- gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan
- bronkodilator diperlukan bila ada serangan
- jika serangan agak berat mungkin memerlukan kortikosteroid
- APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi
- variabiliti APE atau VEP1 < 20%
 Asma persisten ringan, ditandai dengan :
- gejala asma malam >2x/bulan
- eksaserbasi >1x/minggu, tetapi <1x/hari
- eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur
- membutuhkan bronkodilator dan kortikosteroid
- APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi; variabiliti APE atau VEP1 20-30%
 Asma persisten sedang, ditandai dengan :
- gejala hampir tiap hari
- gejala asma malam >1x/minggu
- eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur
- membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari
- APE atau VEP1 60-80%
- variabiliti APE atau VEP1 >30%
 Asma persisten berat, ditandai dengan : 1) APE atau VEP1 <60% prediksi; 2)
variabiliti APE atau VEP1 >30%
Klasifikasi berdasarkan derajat berat serangan asma menurut GINA, dibagi
menjadi tiga kategori :
 Asma ringan : asma intermiten dan asma persisten ringan
 Asma sedang : asma persisten sedang
 Asma berat : asma persisten berat.
9.4. Bagaimana epidemiologi diagnosis kerja?
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat
kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya. Nasional
Health Interview Survey di Amerika Serikat memperkirakan bahwa setidaknya 7,5
juta orang penduduk negeri itu mengidap bronchitis kronik, lebih dari 2 juta orang
menderita emfisema dan setidaknya 6,5 juta orang menderita salah satu bentuk
asma.
Saat ini penyakit Asma masih menunjukan prevalensi yang tinggi.
Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia
diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita Asma dan tahun 2025 diperkirakan
jumlah pasien Asma mencapai 400 juta. Buruknya kualitas udara dan berubahnya
pola hidup masyarakat diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penderita
Asma. Data dari berbagai negara menunjukan bahwa prevalensi penyakit Asma
berkisar antara 1-18% (GINA, 2011). Sedangkan untuk nasional Prevalensi
penyakit Asma terlihat pada grafik berikut:

Grafik di atas terlihat bahwa pada tahun 2007 ada 18 provinsi yang
mempunyai prevalensi penyakit Asma melebihi angka nasional yaitu Gorontalo,
Sulawesi Tengah, Papua Barat, Kalimantan Selatan, Aceh, Nusa Tenggara Timur,
Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Bangka Belitung,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat,
Sumatera Barat, Papua dan DIY. Sedangkan provinsi yang mempunyai prevalensi
di bawah angka yaitu Banten, Riau, Jambi, Kalimantan Timur, Maluku, Jawa
Tengah, DKI Jakarta, Bengkulu, Kepulaauan Riau, Sulawesi Utara, Jawa Timur,
Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Lampung.
Grafik si atas terlihat bahwa pada tahun 2013 tedapat 18 provinsi yang
mempunyai prevalensi penyakit Asma melebihi angka nasional, dari 18 provinsi
tersebut 5 provinsi teratas adalah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, DIY,
Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.
Jika grafik tahun 2007 dibandingkan dengan 2013 didapat kenaikan
prevalensi Asma secara nasinoal sebesar 1%, akan tetapi terdapat perbedaan dalam
mendiagnosis penyakit Asma di Riskesdas 2007 melalui wawancara berdasarkan
diagnose oleh tenaga kesehatan atau dengan gejala sedangkan Riskesdas 2013
melalui wawancara semua umur berdasarkan gejala.
Grafik di atas terlihat bahwa berdasarkan Riskesdas 2007 terdapat
peningkatan prevalensi Asama seiring bertambahnya usia, umur <1 tahun prevalesi
sebesar 1,1% dan umur 75+ prevalensi sebesar 12,4%. Sementara berdasaran
Riskesdas 2013 terlihat bahwa umur 25-34 tahun mempunyai prevalensi Asma
tertinggi yaitu 5% dan umur <1% tahun memiliki prevalensi Asma terendah
sebesar 1,5%.

9.5. Bagaimana etiologi pada kasus?


Rangsangan yang berinteraksi dengan respons jalan napas dan
membangkitkan episode akut asma dapat dikelompokkan menjadi 7 kelompok
utama yaitu alergen, rangsangan farmakologik, lingkungan dan polusi udara, faktor
pekerjaan, infeksi, exercise, dan stres emosional.
Dalam kasus ini etiologinya adalah alergan dimana dalam kasus asma terjadi
ketika cuaca dingin, terhirup debu, tercium bau yang menyengat atau bila
kelelahan, ini menandakan bahwa asma yang diderita merupakan asma ekstrinsik
dimana biasanya disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipicu oleh
pajanan ke suatu antigen ekstrinsik.

9.6. Bagaimana faktor resiko pada kasus?


9.7. Bagaimana patofisiologi pada kasus?

9.8. Bagaimana manifestasi klinis pada kasus?


Gejala asma terdiri atas triad dispnea, batuk dan mengi (gejala sine qua non).
Pada awitan awal akan ada :
- Rasa tertekan di daerah dada dan sering disertai batuk non produktif.
- Respirasi terdengar kasar
- Suara mengi pada kedua fase respirasi semakin menonjol
- Ekspirasi memanjang
- Takipnea
- Takikardi
- Hipertensi sistolik ringan
Jika serangan berat atau berlangsung lama :
- Suara napas adventisial mungkin menghilang
- Mengi memiliki nada yang tinggi
- Otot aksesorius terlihat sangat aktif dan timbul denyut nadi paradoksal
- Pernapasan dangkal
Tanda episode asma berhenti adalah adanya batuk yang menghasilkan lendir
atau mukus yang lengket (spiral Curschmann). Tanda ekstrim gejala asma apabila
gejala mengi dapat berkurang dengan nyata atau bahkan tidak ada sama sekali, ini
menandakan bahwa telah terjadi

9.9. Bagaimana tatalaksana secara keseluruhan pada kasus?


Tahapan penilaian:

Tatalaksana:
Pengobatan berdasarkan derajat serangan:

9.10. Bagaimana edukasi yang diberikan pada kasus (pemakaian inhaler) pada kasus?
Edukasi kepada penderita/ keluarga bertujuan untuk:
 meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri)
 meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma)
 meningkatkan kepuasan
 meningkatkan rasa percaya diri
 meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
Dengan kata lain, tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu penderita agar
dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma.
9.11. Bagaimana prognosis pada kasus?
Bonam

9.12. Bagaimana komplikasi pada kasus?


 Gagal nafas.
 Bronkitis.
 Fraktur iga (patah tulang rusuk).
 Pneumotoraks (penimbunan udara pada rongga dada di sekeliling paru yang
menyebabkan paru paru kolaps).
 Pneumodiastinum dan emfisema subkutis.
 Aspergilosis bronkopulmoner alergik.
 Atelektasis.

9.13. Bagaimana SKDI pada kasus?


Asma eksaserbasi akut = 3B

IV. Hipotesis
Ny.N 30 tahun mengalami sesak napas disertai bunyi et causa asma eksaserbasi akut
derajat sedang.
V. Kerangka Konsep
VI. Learning Issue
1. Asma
2. Obat Inhaler Asma
3. Spirometri

VII. Kesimpulan
Daftar Pustaka
American Lung Association. Asthma Risk Factors. (http://www.lung.org diakses pada
tanggal 4 Oktober 2016).
Anonim. WBC Differential. (https://labtestsonline.org/ diakses pada tanggal 2016)
B, Goldsobel A., dan Chipps BE (March 2010). “Cough in the pediatric population”. J.
Pediatr. 156 (3): 352–358
C, Tanto, Liwang F, Hanifati S, dan Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Volume II.
Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014: h. 809.
D’Amato, G., C. Vitale, M. D’Amato, L. Cecchi, G. Liccardi, A. Molino, A. Vatrella, A.
Sanduzzi, C. Maesano, dan I. Annesi-Maesano. 2016. “Thunderstorm-related Asthma:
what Happens and Why”. Clinical & Experimental Allergy, 46:390–396.
(http://onlinelibrary.wiley.com diakses pada tanggal 4 Oktober 2016).
D’Amato, Gennaro, Lorenzo Cecchi, dan Isabella Annesi-Maesano. 2012. “A Trans-
Disciplinary Overview of Case Reports of Thunderstorm-Related Asthma Outbreaks
and Relapse”. Eur Respir Rev; 21(124):82–87. (http://err.ersjournals.com diakses pada
tanggal 4 Oktober 2016)
Departeman Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Asma. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. (http://binfar.kemkes.go.id
diakses pada 04 Oktober 2016).
Eroschenko, V. P.. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional, Ed.9.
Terjemahan Oleh: Jan Tambayong. Dalam: Dewi Anggraini, Tiara M.N. Sikumbang.
EGC, Jakarta, hal: 63-65
F, Chung K., dan Pavord ID (2008). “Prevalence, pathogenesis, and causes of chronic
cough”. Lancet 371(9621): 1364–74.
Fitzgerald, dkk. 2016. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
(http://ginasthma.org diakses pada 4 Oktober 2016).
Healthwise Staff. 2014. Lung Function Tests [internet], (http://www.m.webmd.com/a-to-z-
guides/lung-function-tests, Diakses 04 Oktober 2016).
Isselbacher, Kurt J., Eugene Braunwald, dan Jean D Wilson, dkk. 2014. Harrison: Prinsip-
Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol. 3 Ed. 13. EGC, Jakarta, Indonesia, hal 1312-1316.
J, Tortora G., dan Derrickson B. 2009. Principles of anatomy and physiology: The respiratory
system. 12th USA: John Wiley & Sons Inc; hal:875-89.
Kementrian keseharan Republik Indonesia. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Asma.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Info Datin. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI. (http://www.depkes.go.id diakses pada 04 Oktober 2016).
Kurniati Nova. 2016. Serangan Asma Akut. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Sumatera Selatan: Palembang.
Lin, Jiang-Tao. 2013. “Chinese guideline for the prevention and management of bronchial
asthma (Primary Health Care Version). (http://jtd.amegroups.com, diakses pada 3
Oktober 2016)
Lorraine M. Wilson, dan Sylvia A. Price. 2003. Pathofisiologi Konsep klinisproses – proses
Penyakit. EGC : Jakarta
McCool, F. Dennis. Global Physiology and Pathophysiology of Cough.CHEST January 2006
vol. 129 no. 1 suppl 48S-53S
Morris, Michael J., Daniel J Pearson, dan Zab Mosenifar. 2016. Asthma.
(http://emedicine.medscape.com diakses pada tanggal 4 Oktober 2016)
Nanda ( 2000 ). Diagnosa Nanda NIC & NOC. 2007 – 2008.
PDPI. Konsesnsus Asma. (www.klikpdpi.com/ diakses pada tanggal 4 October 2016)
Perhimpunana Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Di Indonesia. http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html (Diakses pada 4
Oktober 2016).
Price, SA., dan Wilson, LM. 2006. Pola Obstruktif pada Penyakit Pernapasan. Dalam:
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. EGC. 784-5.
Rab, Tabrani H., 2010. Asma Bronkiale. Dalam: Ilmu penyakit Paru. Trans Info Media,
jakarta. 377, 380,383
Ratnawati. 2011. “Epidemiologi Asma”. J Respir Indo, 31(4):172-175.
(http://jurnalrespirologi.org diakses pada tanggal 4 Oktober 2016)
Robbins, Stanley L., Vinay Kumar, dan Ramzi S. 2014. Buju Ajar Patologi Vol. 2 Ed. 7.
EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 511.
Siti Setiati dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, dan Siti Setiati.
2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed. V. InternaPublishing, Jakarta,
Indonesia, hal. 2222.
T, Yoga Aditama. Patofisiologi Batuk. Jakarta : Bagian Pulmonologi FK UI, Unit Paru RS
Persahabatan, Jakarta. 1993.
Yunitasari 2011. Asthma. (eprints.undip.ac.id diakses pada 4 Oktober 2016)
Zaini, Jamal. 2011. “Asthma Control Test : Cara Simpel dan Efektif untuk Menilai Derajat
dan Respons Terapi Asma”. J Respir Indo 31(2): 51-52. (http://jurnalrespirologi.org
diakses pada tanggal 4 Oktober 2016)

Anda mungkin juga menyukai