Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO C BLOK 28

Kelompok B1
Anggota:
Mukhlasinia Aprilita (04011181320026)
Puji Lestari (04011181320062)
Puput Eka Sari (04011381320052)
Dicky Hartono (04011281320016)
Fahmi Nur Suwandi (04011181320030)
Kevin Arjun (04011281320012)
Khairinnisa (04011381320012)
Mathius Karina (04011281320004)
Monica Trifitriana (04011381320042)
Siti Shalihah (04011281320046)
Sarayati K (04011181320024)
Ressy Felisa Raini (04011181320038)

PENDIDIKAN DOKTER UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial Skenario B Blok 28”
sebagai tugas kompetensi kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa
mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan, bimbingan dan
saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur, hormat, dan terima kasih
kepada :
1. Tuhan YME, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial,
2. (Nama Tutor) selaku tutor kelompok B1
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD B 2013
Semoga Tuhan YME memberikan balasan atas segala amal yang diberikan kepada
semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi
kita dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Palembang, 19 Mei 2016

Kelompok B1

2
KEGIATAN TUTORIAL

Tutor :
Moderator : Ressy Felisa Raini
Sekretaris Meja : Dicky Hartono
Sekretaris Papan : Mathius Karina
Tempat : Ruang Tutorial 1 Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Bukit
Tanggal dan Waktu : Dilaksanakan pada
Tutorial 1 : 26 September 2016, Pukul 13.00-15.00 WIB
Tutorial 2 : 28 September 2016, Pukul 13.00-15.00 WIB

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................2
KEGIATAN TUTORIAL...........................................................................................................3
DAFTAR ISI..............................................................................................................................4
SKENARIO C BLOK 28...........................................................................................................5
I. KLARIFIKASI ISTILAH...................................................................................................6
II. IDENTIFIKASI MASALAH..............................................................................................7
III. ANALISIS MASALAH......................................................................................................8
IV. HIPOTHESIS....................................................................................................................42
V. KERANGKA KONSEP.......................................................................................................43
VI. KESIMPULAN..................................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................44

4
Skenario C Blok 28 Tahun 2016

Awi. Anak laki-laki tahun, dibawa ibunya ke UGD RSMH karena mengalami
kesulitan bernapas. Dua hari sebelumnya, Awi menderita panas tidak tinggi dan batuk
pilek.

Pemeriksaan fisik:
Anak digendong ibu, gelisah, menangis terus. Sewaktu hendak diperiksa, anak semakin
gelisah, anak terus memberontak, keempat ekstremitas bergerak aktif simetris. Bibir dan
sekitarnya tampak biru. Napas terllihat cepat dengan peningkatan usaha nafas dan
terdengar suara mengorok setiap kali anak menarik napas. Berat badan 12 kg, panjang
badan 86 cm, temperature 37,6oC di axilla.

Paru: pernapasan 48 kali per menit. Napas cuping hidung (+). Gerakan dinding dada
simetris kanan kiri. Retraksi suprasternal dan sela iga (+). Auskultasi: vasikuler, ronkhi (–)
Jantung: tidak ada kelainan. Nadi 135 kali per menit. Nadi brachialis kuat. Nadi radialis
kuat. Kulit berwarna merah muda, hangat. Capillary Refill Time 2 detik.

5
I. Klarifikasi Istilah

No Istilah Klarifikasi

1 Batuk Pilek Adalah radang yang terjadi pada lapisan hidung dan tenggorokan
(Common Cold) sehingga menyebabkan produksi lendir menjadi lebih banyak

2 Gelisah Tidak tenang; tidak tentram; selalu merasa khawatir

3 Suara mengorok Bunyi kasar saat inspirasi karena terdapat penyempitan saluran udara
pada orofaring, subglotis, atau trakea

4 Cuping hidung Bernapas dari jaringan lunak yang membatasi kembang kempis

5 Retraksi Otot-otot diatas sterna yang tertarik tajam ke belakang akibat dari
suprasternal menurunnya tekanan di rongga dada.

6 Retraksi sela iga Kontraksi yang terjadi pada otot perut dan iga yang tertarik ke dalam
pada saat menarik napas.

7 Vasikuler Frekuensi bunyi yang rendah, seperti bunyi napas normal pada paru
selama ventilasi

8 Capillary refill Tes yang dilakukan pada daerah kuku untuk memonitor dehidrasi dan
time jumlah aliran darah ke jaringan (perfusi)

9 Ronkhi Suara napas tambahan yang dihasilkan saat udara melewati jalan napas
yang penuh cairan atau mucus, terdengar saat ekspirasi atau inspirasi.
Terutama berasal dari alveoli yang mengalami inflamasi, seperti lewat
ruangan becek.

19 Sianosis sentral Perubahan warna kulit dan membrane mukosa menjadi kebiruan akibat
konsentrasi hemoglobin tereduksi yang berlebiha dalam darah akibat
ketidakjenuhan arterial, darah aortic membawa hemoglobin yang
tereduksi.

6
II. Identifikasi Masalah
1. Awi, Anak laki-laki 2 tahun, dibawa ibunya ke UGD RSMH karena
mengalami kesulitan bernapas. Dua hari sebelumnya, Awi menderita panas tidak
tinggi dan batuk pilek.
2. Pemeriksaan fisik:
Anak digendong ibu, gelisah, menangis terus. Sewaktu hendak diperiksa, anak
semakin gelisah, anak terus memberontak, keempat ekstremitas bergerak aktif
simetris. Bibir dan sekitarnya tampak biru. Napas terllihat cepat dengan peningkatan
usaha nafas dan terdengar suara mengorok setiap kali anak menarik napas. Berat
badan 12 kg, panjang badan 86 cm, temperature 37,6oC di axilla.
3. Paru: pernapasan 48 kali per menit. Napas cuping hidung (+).
Gerakan dinding dada simetris kanan kiri. Retraksi suprasternal dan sela iga (+).
Auskultasi: vasikuler, ronkhi (–)
Jantung: tidak ada kelainan. Nadi 135 kali per menit. Nadi brachialis kuat. Nadi
radialis kuat. Kulit berwarna merah muda, hangat. Capillary Refill Time 2 detik.

III. Analisis Masalah


1. Awi, Anak laki-laki 2 tahun, dibawa ibunya ke UGD RSMH
karena mengalami kesulitan bernapas. Dua hari sebelumnya, Awi menderita panas
tidak tinggi dan batuk pilek..
a. Bagaimana anatomi dan fisiologi pernapasan pada anak?
 Hidung
Ketika masuk rongga hidung udara disaring, dihangarkan, dan dilembabkan.
Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari
epitel thorax bertingkat, bersilia, dan bersel goblet. Permukaan epitel diliputi oleh
lapisan mukus yang dieksresi oleh sel goblet dan kelenjar mukosa. Partikel debu
yang kasar disaring oleh ranbum-rambut yang terdapat di hidung, dan partikel yang
halus akan terjerat dalam lapisan mukus.

7
 Faring
Di bagian ini partikel halus akan tertelan atau dibatukkan keluar. Lapisan
mukus memberikan air untuk kelembaban, dan banyaknya jaringan pembuluh darah
di bawahnya akan menyuplai panas ke udara inspirasi.
 Larynx
Larynx terdiri dari cartilago, ligamen,otot – otot, dan pita suara. Cartilago
thyroidea adalah yang terbesar yang dapat dirasakan di depan leher yang biasanya
dikenal sebagai ‘jakun’. Letaknya tepat di atas cartilago cricoidea yang mana
terhubung dengan cartilago thyroidea oleh sebuah jaringan ikat, membrane
cricotyroidea.
 Trachea
Trachea adalah tabung yang panjangnya sekitar 13 cm dan diameternya 2,5 cm.
Trachea mempunyai dinding fibroelastis yang tertanam dalam balok – balok rawan
hialin berbentuk huruf U yang mempertahankan trachea tetap terbuka. Trachea
berasal dari leher di bawah cartilage cricoidea larynx setinggi corpus vertebra
cervicalis VI. Ujung bawah trachea terdapat dalam thorax setinggi angulus sterni
(pinggir bawah vertebra thoracica IV) dan membelah menjadi bronchus kanan dan
kiri
 Bronchus
Bronchus ada 2 yaitu bronchus kanan dan bronchus kiri. Bronchus principalis
kanan lebih besar, lebih pendek, dan lebih vertical dibandingkan bronchus principalis
kiri. Bronchus kanan panjangnya sekitar 2,5 cm. Sebelum masuk ke hillus paru –
paru kanan, bronchus principalis mempercabangkan bronchus lobaris superior.
Waktu masuk ke hillus, ia membelah menjadi bronchus lobaris medius dan bronchus
lobaris inferior. Bronchus principalis kiri lebih sempit, lebih panjang, dan lebih
horizontal dibandingkan bronchus principalis kanan dan panjangnya sekitar 5 cm. Ia
berjalan ke kiri di bawah arcus aorta dan di depan esophagus. Waktu masuk ke hillus
paru – paru kiri, ia bercabang menjadi bronchus lobaris superior dan inferior.
Pada paru-paru, proses alveolisasi yang sudah terjadi masih terus berlangsung.
Jumlah alveoli bertambah dari sekitar 20-50 juta saat lahir menjadi sekitar 300 juta
pada usia 8 tahun. Penambahan jumlah alveoli berbanding lurus dengan luas
permukaan alveoli dari sekitar 2,8m2 pada saat lahir menjadi 32m2 pada umur 8
tahun. Saat dewasa, luas permukaan alveoli akan menjadi sekitar 75m2.
Ventilasi kolateral melalui pores of Kohn dan Lambert’s canal masih belum
berkembang sempurna pada perkembangan awal anak. Hal ini menyebabkan
atelektasis cenderung lebih sering ditemukan pada anak dibanding pada orang
dewasa. Dinding dada pada anak dan dewasa memiliki perbedaan struktur yang
nyata. Pada anak, tulang-tulang costae memiliki orientasi yang horizonal, sementara
pada dewasa, orientasi tulang costae-nya cenderung melenceng kearah bawah. Selain
itu pada anak masih terjadi proses osifikasi dan kalsifikasi tulang-tulang dinding
dada dan perkembangan dari otot-otot pernafasan. Dinding dada anak yang belum

8
sempurna terutama pada bayi berimplikasi pada compliance yang berlebihan pada
dinding dada anak, sehingga kerja pernafasan anak lebih berat dibanding dewasa
pada volume tidal yang sama. Selain itu pada distress pernafasan, sebagian energi
yang dihasilkan dari kontraksi diafragmatik terbuang percuma secara signifikan
melalui distorsi kerangka iga.
Saluran nafas atas pada anak memiliki perbedaan struktur anatomi seperti yang
digambarkan pada Gambar 3 dan 4. Posisi laring pada anak terletak sejajar dengan
sela vertebrae C3-4, lebih tinggi dibanding laring dewasa yang terletak sejajar
dengan sela vertebrae C4-5. Perbandingan ukuran lidah terhadap rongga mulut anak
lebih besar dibanding pada dewasa. Bagian saluran nafas atas tersempit pada anak
terletak pada cincin cricoid dibandingkan dengan dewasa.
Tulang dada bayi dan anak masih lunak dan cenderung tidak stabil karena
pergerakan iga. Pada bayi dan anak, tingginya komplians dari tulang iga
menyebabkan posisi tulang iga cederung lebih mendatar dan otot-otot sela iga kurang
mengembang sehingga membatasi pergerkan torakal. Diafragma merupakan otot
pernafasan paling penting pada masa bayi dan anak, sehingga mudah terjadi
kegagalan otot pernafasan paling penting pada masa bayi dan anak, sehingga mudah
terjadi kegagalan pernafasan apabila fungsi diafragma terganggu oleh berbagai sebab
diantaranya proses pembedahan,distensi abdomen, atau hiperinflasi paru.
Jaringan ikat elastis yang membatasi dan menjadi sekat antara alveoli
memungkinkan udara masuk dan keluar dari jalan nafas berdasarkan rekoil
elastisitasnya. Pada hari pertama kehiduan, alveoli gampang sekali menjadi kolaps.
Dengan bertambahnya usia, jaringan ikat yang menjadi sekat antar alveoli ini akan
bertambah lentur dan elastis. Faktor imaturitas menjadi penyebab utama defisiensi
surfaktan yang menyebabkan kurangnya kemampuan alveoli untuk mengembang/
inflasi dan tidak dapat mempertahankan agar alveoli tidak mengempis.
Konsekuensinya akan terjadi penurunan elastisitas rekoilnya, paru menjadi kolaps
dan atelektasis. Jalur ventilasi kolateral baru terbentuk setelah usia 3 tahun sehingga
bayi dan anak cenderung mudah mengalami hipoksemia dan hiperkapnia akibat
obstruksi jalan nafas.
Pernafasan atau respirasi adalah menghirup udara dari luar yang mengandung
O2 (oksigen) kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
CO2 (karbon dioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Penghisapan ini
disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi.
Proses sistem pernafasan atau sistem respirasi berlangsung dengan beberapa
tahap yaitu :
 Ventilasi yaitu pergerakan udara ke dalam dan keluar paru.
 Pertukaran gas dalam alveoli dan darah atau disebut pernapasan luar.
 Transportasi gas melalui darah.
 Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan atau disebut pernapasan
dalam.

9
 Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang disebut
pernapasan seluler.
Proses terjadinya pernapasan terbagi 2 yaitu :
 Inspirasi (menarik napas)
Inspirasi adalah proses yang aktif, proses ini terjadi bila tekanan intra pulmonal
(intra alveol) lebih rendah dari tekanan udara luar. Pada tekanan biasa, tekanan ini
berkisar antara -1 mmHg sampai dengan -3 mmHg. Pada inspirasi dalam tekanan
intra alveoli dapat mencapai -30 mmHg. Menurunnya tekanan intra pulmonal pada
waktu inspirasi disebabkan oleh mengembangnya rongga toraks akibat kontraksi
otot-otot inspirasi.
 Ekspirasi (menghembus napas)
Ekspirasi adalah proses yang pasif, proses ini berlangsung bila tekanan intra
pulmonal lebih tinggi dari pada tekanan udara luar sehingga udara bergerak keluar
paru. Meningkatnya tekanan di dalam rongga paru terjadi bila volume rongga paru
mengecil akibat proses penguncupan yang disebabkan oleh daya elastis jaringan
paru.
Penguncupan paru terjadi bila otot-otot inspirasi mulai relaksasi. Pada proses
ekspirasi biasa tekanan intra alveoli berkisar antara + 1 mmHg sampai dengan + 3
mmHg.
Bahan yang dapat mengganggu sistem pernapasan adalah bahan yang mudah
menguap dan terhirup saat kita bernafas. Tubuh memiliki mekanisme pertahanan
untuk mencegah masuknya lebih dalam bahan yang dapat mengganggu sistem
pernapasan, akan tetapi bila berlangsung cukup lama maka sistem tersebut tidak
dapat lagi menahan masuknya bahan tersebut ke dalam paru-paru.

b. Bagaimana hubungan jenis kelamin dan usia dengan keluhan pada kasus?
Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan puncaknya pada
usia 1-2 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada anak berusia 3 bulan dan di
atas 15 tahun meskipun angka prevalensi untuk kejadian ini cukup kecil. Penyakit ini
lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2.

c. Apa saja etiologi dari kesulitan bernapas pada anak-anak?


Kesulitan bernafas bisa disebabkan oleh :
 Kelainan pada jalan nafas
 Kelainan pada jantung
 Kelainan pada paru-paru
 Kelainan lain seperti neuromuskular, psikogenik, metabolik, medikasi, nyeri
yang parah
Penyebab kesulitan bernafas pada anak yang umum adalah :
 Asma
 Pneumonia
 Bronkiolitis

10
 Croup
 Epiglotitis
 Aspirasi benda asing
 Myocarditis
Pada kasus ini kesulitan bernapas disebabkan oleh obstruksi jalan napas akibat
croup. Infeksi virus pada croup dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epitel
respiratorius larings dan trakea. Inflamasi difus, eritema, dan udem berkembang di
larings dan dinding trakea, sehingga gerakan pita suara terganggu. Daerah subglotis
merupakan bagian yang paling sempit pada saluran nafas anak. Area subglotis ini
dikelilingi oleh kartilago, dan setiap pembengkakan di daerah tersebut akan
berpengaruh terhadap jalan nafas dan menyebabkan pengurangan aliran udara secara
bermakna. Dengan berlanjutnya penyakit, lumen trakea menjadi tersumbat oleh
sekret yang semula encer lalu kental, dan menjadi krusta, sehingga penderita menjadi
lebih sulit bernafas.

d. Bagaimana mekanisme kesulitan bernapas pada kasus?


Akibat adanya infeksi virus parainfulenza (Droplet, sentuhan)  menginfeksi bagian
nasofaring  terjadi inflamasi yang bersifat diffuse  terjadi inflamasi di laring 
eritem dan edem terutama pada bagian subglotis (bagian tersempit pada jalan nafas
anak)  obstruksi saluran nafas bagian atas  resisstance airway mengalami
peningkatan  Kesulitan bernafas.

e. Bagaimana klasifikasi gawat napas pada kasus?

 Respiratory Distress: ditandai dengan respon anak terhadap pertukaran udara


yang tidak adekuat di paru-paru yang dihasilkan oleh setiap kondisi yang
menyebabkan ancaman pada oksigenasi dan ventilasi.
Tanda respiratory distress: Respiratory rate meningkat, peningkatan usaha
untuk bernafas, retraksi supraclavicular, suprasternal, intercostal, atau
subcostal, menggunakan otot bantu pernapasan (otot aksesorius) termasuk
diantaranya adalah nafas cuping hidung, dan pernapasannya mungkin akan
menghasilkan suara yang berisik (grunting, wheezing, stridor).
Obstruksi jalan nafas akan berlangsung lebih cepat pada anak-anak karena
ukuran saluran pernapasan mereka yang lebih kecil dan elastisitas relatif dari
jaringan pendukung. Ketika seorang anak dengan respiratory distress dan
peningkatan kerja pernapasan berkembang / penampilannya menjadi berubah
(lebih tenang/kurang gelisah/mengantuk) dan respiratory rate nya menjadi
normal atau melambat, perlu dipertimbangkan bahwa pasien mulai

11
mengalami respiratory failure. Perubahan ini disebabkan oleh hipoksia dan
atau hiperkarbia.
 Respiratory failure : terjadi ketika anak tidak lagi mampu melakukan
kompensasi secara cukup sehingga proses oksigenasi dan ventilasi menjadi
tidak adekuat dan anak jatuh dalam keadaan hipoksia. Respiratory failure
terjadi ketika dinding dada anak kelelahan setelah periode peningkatan
pernapasan yang lama.
Tanda respiratory failure: penampilan yang abnormal (awalnya agitasi, lesu
dan penurunan tingkat kesadaran, pucat dan sianosis sebagai tanda
progresifitas gagal nafas) RR dan usaha nafas awalnya meningkat, namun
akan menurun ketika kondisi anak semakin bertambah berat. Sering dikaitkan
dengan tanda yang jelas berupa bradikardi.
Suatu gambaran yang abnormal (agitasi yang berat atau letargi) atau
sianosis pada anak dengan peningkatan usaha nafas dapat
mengindikasikan kemungkinan gagal nafas.
 Respiratory arrest: terjadi ketika tidak ada lagi pernapasan yang efektif pada
anak. Respiratory arrest merupakan penyebab yang paling sering dari cardiac
arrest.
Pada kasus: respiratory distress menuju failure karena didapat gejala
respiratory distress dan hipoksia jaringan yaitu sianosis.

f. Apa hubungan Awi menderita panas tidak tinggi dan batuk pilek dengan
kesulitan bernapas sekarang?
Mekanisme penyakit yang diderita awi 2 hari yang lalu saling berhubungan
dengan gejala kesulitan bernafas yang dialaminya. Hal ini diawali dari Virus yang
masuk melalui rongga hidung maka akan terjadi proses pengeluaran mucus yaitu
Pilek untuk mengeluarkan virus tersebut, akan tetapi bila virus tersebut telah
menyebar sampai bagian laring dan menyebabkan reaksi inflamasi disana. Hal inilah
yang dapat mengaktivasi reseptor batuk sehingga terjadilah Batuk. Kejadian ini
bersamaan dengan terjadinya Demam akibat pengeluaran pirogen endogen dalam
usaha Makrofag melawan virus tersebut. Akibat terjadi proses inflamasi sehingga
terjadi edem di bagian laring terutama di area subglotik itulah yang menyebabkan
terjadinya obstruksi saluran nafas bagian atas sehingga terjadi kesulitan bernafas.

g. Bagaimana penilaian dan tatalaksana awal pada pasien dengan kesulitan


bernapas pada kasus (PAT, Pediatric Assessment Triangle)?
PAT (Pediatric Assessment Triangle) merupakan alat penilaian objektif
yang dapat digunakan untuk menentukan beratnya penyakit anak serta

12
merupakan cara cepat untuk menentukan stabilitas fisiologis. Komponen yang
dinilai pada PAT : Appereance, Work of Breathing, Circulation.
1. Appearance
Element Yang dinilai
Tonus Otot Gerakan ekstremitas bergerak spontan atau tidak,
lemah atau tidak
Interaktivitas Apakah anak waspada dan penuh perhatian untuk
sekitarnya
Consolability Apakah pengasuh mengurangi agitasi dan menangis
Look/gaze Apakah mata anak mengikuti gerakan dan menjaga
kontak mata dengan benda-benda atau orang, atau
apakah tatapan matanya kosong
Speech/cry Apakah vokalisasinya kuat atau lemah, sayu atau
serak
Pada kasus Appearance sudah terganggu karena anak gelisah, tetapi
tonus otot masih baik karena ekstermitas bergerak spontan (bisa berontak
dengan gerakan simetris), consolability baik dilihat dari keaadaan pasien
yang makin gelisah ketika hendak diperksa orang yang belum dia kenal,
tatapan mata tidak kosong dan anak menangis terus.

2. Work of breathing
Element Yang dinilai
Suara jalan napas abnormal stridor, wheezing atau grunting
Abnormal positioning Head bobbing, tripoding, sniffing
Retraksi Retraksi otot dinding dada, supraclavicular,
intercostals atau substernal
Napas cuping hidung Nasal flaring (napas cuping hidung)
Pada kasus yang tampak jelas gangguan pada breathing ditemukan
peningkatan usaha napas, napas cepat, terdapat napas cuping hidung dan
retraksi suprasternal dan sela iga.

3. Circulation
Element Yang dinilai

13
Pallor Warna kulit pucat
Mottling Warna kulit pucat berupa bercak-bercak atau pulau-
pulau
Cyanosis Perubahan warna kulit dan mukosa menjadi kebiruan
Pada kasus sirkulasi masih baik, nadi kuat sebagai kompensasi tubuh, kulit
berwarna merah muda, hangat dan capillary refil time normal walaupun ditemukan
cyanosis sentral karena gangguan oksigenasi akibat gagal napas.
Dari penilalian PAT pada kasus ini, anak mengalami gangguan di
appearance dan breathing yang kemungkinan mengalami respiratory distress.
Initial Asessment ABCDE

a. Airway  Jalan napas


Penilaian : terdapat suara napas abnormal, ngorok  obstruksi pada saluran nafas
Management :

 Tempatkan anak pada posisi yang nyaman

 Meletakkan kepala secara “SNIFFING POSITION” (posisi menghirup):


kepala anak digerakkan kearah depan dan atas dengan manuver chin lift
dan jaw thrust.

 Membersihkan rongga mulut dan orofaring. Kepala dimiringkan ke kiri.


Pada anak tidak sadar perlu mempertahankan jalan nafas secara mekanik
yaitu oral airways yang dimasukkan secara langsung dan gentle dengan bantuan
spatula lidah. Bisa juga intubasi orotraceal untuk trauma kepala berat, dan
krikotiroidotomi.
b. Breathing  Evaluasi pernafasan.
Penilaian : retraksi suprasternal dan sela iga, dan nafas cuping hidung 
peningkatan usaha bernapas
Management : berikan bantuan napas, oksigen.
Pemberian Oksigen melalui ambu bag dengan tetap mengingat kerentanan alami dari
cabang traceobroncial dan alveoli bayi dan anak yang belum matang untuk mencegah
cedera.
c. Circulation Nilai nadi, warna kulit, apakah pucat, adakah ekstremitas dingin.
Penanganan/evaluasi perdarahan, resusitasi cairan, penggantian darah,
pengontrolan produksi urin, dan panas.
d. Disability
Penilaian : status neurologis AVPU (Sadar, respon dengan rangsangan verbal,
respon dengan rangsang nyeri, tidak ada respon) pada kasus ini kesadaran anak baik.

14
2. Pemeriksaan fisik:
Anak digendong ibu, gelisah, menangis terus. Sewaktu hendak diperiksa, anak
semakin gelisah, anak terus memberontak, keempat ekstremitas bergerak aktif
simetris. Bibir dan sekitarnya tampak biru. Napas terllihat cepat dengan peningkatan
usaha nafas dan terdengar suara mengorok setiap kali anak menarik napas. Berat
badan 12 kg, panjang badan 86 cm, temperature 37,6oC di axilla.
a. Bagaimana pengelompokan hasil pemeriksaan fisik berdasarkan PAT?
Pada kasus Appearance sudah terganggu karena anak gelisah, tetapi tonus otot
masih baik karena ekstermitas bergerak spontan (bisa berontak dengan gerakan
simetris), consolability baik dilihat dari keaadaan pasien yang makin gelisah ketika
hendak diperksa orang yang belum dia kenal, tatapan mata tidak kosong dan anak
menangis terus.
Pada kasus yang tampak jelas gangguan pada breathing ditemukan peningkatan
usaha napas, napas cepat, terdapat napas cuping hidung dan retraksi suprasternal dan
sela iga.
Pada kasus sirkulasi masih baik, nadi kuat sebagai kompensasi tubuh, kulit
berwarna merah muda, hangat dan capillary refil time normal walaupun ditemukan
cyanosis sentral karena gangguan oksigenasi akibat gagal napas.
Dari penilalian PAT pada kasus ini, anak mengalami gangguan di appearance
dan breathing yang kemungkinan mengalami respiratory distress.

b. Bagaimana interpretasi dan mekanisme dari hasil pemeriksaan yang abnormal?


(tambah, kenapa kulit merah tapi bibir biru)

15
Hasil Pemeriksaan Fisik Interpretasi

Anak digendong ibu, gelisah, Tidak ada penurunan kesadaran.


menangis terus edema laring  udara tidak bisa masuk 
difusi menurun  hipoksia jaringan  gelisah
Bibir dan sekitarnya tampak edema laring  udara tidak bisa masuk 
biru difusi menurun  hipoksia jaringan  hipoksia
sentral

Nafas terlihat cepat dengan Obstruksi jalan nafas akibat infeksi (edema
peningkatan usaha nafas subglotis, inflamasi mukosa, eksudat fibrin) 
hipoksia  menstimulus pusat respirasi 
terjadi peningkatan usaha bernafas untuk
memenuhi kebutuhan oksigen.
Terdengar suara mengorok Infeksi (virus atau bakteri)  inflamasi, eritem
setiap kali anak menarik nafas dan edem di laring & trakea  sehingga
mengganggu gerakan plica vocalis  Saat
aliran udara ini melewati plica vocalis dan
arytenoepiglottic folds, akan menggetarkan
struktur tersebut sehingga akan terdengar
stridor.
Berat badan 12kg Normal

Panjang badan 86cm Normal

Temperatur 37,6oC di axilla 36-37 oC Terjadi peningkatan suhu tubuh


(subfebris)  demam tidak terlalu
tinggi  ciri khas infeksi virus.

c. Bagaimana status pertumbuhan dan perkembangan pasien? (chart)

16
17
Status gizi dan pertumbuhan : normal
Weight for age : 0 (median)
Length for age : 50th-15th
Weight for length : 0 (median)

3. Paru: pernapasan 48 kali per menit. Napas cuping hidung (+). Gerakan dinding
dada simetris kanan kiri. Retraksi suprasternal dan sela iga (+). Auskultasi: vasikuler,
ronkhi (–).

Jantung: tidak ada kelainan. Nadi 135 kali per menit. Nadi brachialis kuat. Nadi
radialis kuat. Kulit berwarna merah muda, hangat. Capillary Refill Time 2 detik.

a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme dari hasil pemeriksaan paru yang


abnormal?
Hasil pemeriksaan fisik Interpretasi Mekanisme

18
RR = 48x/menit Takipneu Obstruksi jalan nafas akibat
Normal: 24-40x/menit infeksi (edema subglotis,
inflamasi mukosa, eksudat
fibrin)  hipoksia 
menstimulus pusat respirasi 
terjadi peningkatan usaha
bernafas untuk memenuhi
kebutuhan oksigen  RR
meningkat.
Nafas cuping hidung(+) Obstruksi jalan nafas akibat
infeksi (edema subglotis,
inflamasi mukosa, eksudat
fibrin)  hipoksia 
menstimulus pusat respirasi 
terjadi peningkatan usaha
bernafas untuk memenuhi
kebutuhan oksigen  nafas
cuping hidung.
Gerakan dinding dada Normal
simetris
Retraksi suprasterna dan Obstruksi jalan nafas akibat
sela iga (+) infeksi (edema subglotis,
inflamasi mukosa, eksudat
fibrin)  hipoksia 
menstimulus pusat respirasi 
terjadi peningkatan usaha
bernafas untuk memenuhi
kebutuhan oksigen  retraksi
supra sterna dan sela iga.
Auskultasi = vesikuler, Normal
ronki(-)

19
b. Bagaimana interpretasi dan makna klinis dari hasil pemeriksaan jantung yang
abnormal?
Pemeriksaan Kasus Nilai normal Interpretasi

HR 135 x / menit Usia 3 bulan-2 tahun Normal


: 100-190 x / menit

Nadi Brakhialis Kuat Normal

Nadi Radialis Kuat Normal

Kulit merah muda Normal: gangguan


sirkulasi tidak ada

Hangat Normal: tidak ada


gangguan sirkulasi

c. Bagaimana cara pemeriksaan Capillary Refill Time?


Capillary refill time adalah tes yang dilakukan cepat pada daerah dasar kuku
untuk memonitor dehidrasi dan jumlah aliran darah ke jaringan (perfusi). Jaringan
membutuhkan oksigen untuk hidup, oksigen dibawa kebagian tubuh oleh system
vaskuler darah. Nilai normal jika aliran darah baik ke daerah kuku, warna kuku
kembali normal kurang dari 2 detik. CRT memanjang (>2 detik) pada dehidrasi
(Hipovolumia), syok, peripheral vascular disease, hipotermia.

20
4. Analisis Aspek Klinis

a. Bagaimana cara penegakkan diagnosis dan apa saja pemeriksaan penunjang?


Penegakkan diagnosis

- Komponen Appearance memiliki beberapa karakteristik, yaitu TICLS

21
- Komponen Work of Breathing memiliki beberapa karakteristik, yaitu :

- Komponen Circulation to Skin memiliki beberapa karakteristik, yaitu :

Dari kasus didapatkan data :

22
- Appearance : terlihat agitasi (gangguan kesadaran ringan), menangis
saat hendak diperiksa
- work of breathing : terdengar bunyi stridor, menggunakan pernafasan
cuping hidung, retraksi supra sternal dan sela iga.
- circulation to skin : pada kasus normal.
Pada kasus kemungkinan bermasalah pada work of breathing, yaitu
respiratory distress yang mengancam nyawa  severe distress
respiratory ditandai dengan adanya agitasi.

- Anamnesis :
 Kesulitan bernafas
 panas tidak tinggi
 batuk pilek : infeksi saluran pernafasan
- Pemeriksaan fisik :
 Agitasi
 Takipneu
 nafas cuping hidung
 retraksi supra sternal dan sela iga
Infeksi saluran pernafasan kemungkinan mengarah ke croup atau
laringotrakeitis
- Pemeriksaan penunjang :
 Pada foto x-ray didapatkan steeple sign
 CBC shift to the left
- Jadi diagnosis pada kasus ini croup ditandai dengan agitasi, respiratory
distress, stridor inspirasi yang menonjol, dan batuk.

Pemeriksaan Penunjang

23
Pemeriksaan penunjang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan, diagnosis sebenarnya
dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan
radiologis.

Pada pemeriksaan radiologis leher posisi poserior-anterior ditemukan gambaran


udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan
kolumna subglotis. Akan tetapi, gambaran radiologis seperti ini hanya dijumpai
pada 50% kasus saja.
Dalam tanda menara (steeple sign), area kritis penyempitan saluran napas adalah 1
cm proksimal trakea, di elasticus konus ke tingkat pita suara yang benar. Mukosa
pada tingkat ini memiliki lampiran longgar. Tanda menara dihasilkan oleh adanya
edema pada trakea, yang menghasilkan elevasi mukosa trakea dan hilangnya
memikul normal (Convexities lateral) dari kolom udara
Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai diagnosis
bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah) saluran napas atas
dapat dijumpai sebagai berikut:
1. Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compang-
camping.
2. Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotitis yang menebal.
3. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang menonjol.

24
b. DD, WD, dan definisi?
Differential Diagnosis
Distress pernafasan: peningkatan usaha untuk bernafas (ventilasi)
Gagal nafas: kondisi dimana terjadi oksigenasi dan atau ventilasi yang inadekuat
untuk memenuhi kebutuhan metabolic dari jaringan
Henti nafas: tidak adanya pernafasan

Kategori Sindrom Laringitis Laringotracheitis Epiglotitis


croup akut akut

Usia 6 bulan-6 Anak besar 3bulan -3 tahun 1-8 tahun


tersering tahun dan dewasa
terjadi
Mula gejala Akut progresif Akut Akut progresif Akut progresif
sesak progresif
Prodormal Batuk- pilek Hidung coryza coryza
tersumbat
atau coryza
Awitan 24-48 jam Bervariasi 12 Sedang tetapi Cepat 4-12 jam
jam-4 hari bervariasi 12-48
jam
Gejala dan Demam tidak 37,8-39,4oC 37,8-40,5oC Biasanya
demam tinggi selama 39,5oC
12-72 jam
Serak dan Ada Ada Ada Tidak Ada
batuk

25
mengonggong
Stridor Ada, inspirasi Ada, Ada, inspirasi Ada, inspirasi
inspirasi lembut
Disfagia - - - progresif
Pengeluaran Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada
liur

WD: Awi, 2 tahun mengalami distress pernafasan et causa obstruksi saluran nafas
atas et causa Croup

Definisi

Distress pernafasan adalah suatu keadaan sistem respirasi melakukan kompensasi


untuk memperbaiki pertukaran gas yang menurun dalam paru serta
mempertahankan oksigenasi dan ventilasi.

Croup adalah suatu infeksi laring yang dapat menimbulkan stridor dan obstruksi
jalan napas. Walaupun dapat terjadi pada usia berapa pun, bahkan pada dewasa,
croup terutama menyerang pada anak dibawah usia 6 tahun.

c. Bagaimana gradasi/staging dari WD?


Pembagian grade croup
 Mild
Batuk-batuk, tidak ada retraksi dinding dada, tidak ada cyanosis, stridor
hilang timbul.
 Moderate
Stridor menetap terutama saat istirahat, retraksi dinding dada menonjol,
pasien masih bisa beraktifitas.
 Berat
Stridor menetap setiap saat baik istirahat maupun beraktifitas, retraksi dinding
dada lebih jelas, pasien apatis, terdapat pulsus parodoksus.

26
d. Bagaimana epidemiologi kasus?
 Croup
Croup dilaporkan merupakan 15% dari infeksi saluran nafas pada anak di
departemen kegawatdaruratan. Lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada
anak perempuan, dengan rasio 1,4 : 1, biasanya terjadi antara umur 6-36 bulan dan
puncaknya pada umur 2 tahun pertama kehidupan sekita 5-6 kasus dari 100 anak.
Kadang terjadi pada remaja dan jarang pada dewasa. Biasanya sering terjadi pada
akhir musim gugur dan awal musim dingin tapi dapat terjadi kapan saja.
 Respiratory Distress
Distres pernafasan merupakan gangguan terbanyak pada 48-72 jam pertama
kelahiran, kira-kira 0,96-6% dari kelahiran dan menyebabkan 20% mortalitas pada
neonatus. Untuk distres pernafasan pada anak, hasil penelitian kohort terbaru,
terjadi peningkatan insidensi dari 1,5-3,5 kasus/100.000/tahun menjadi 4,8-8,3
kasus/100.000/tahun di Pulau Kanari di Negara Utah. Studi lain menemukan
insiden terjadi 4,5 dan 3,0/100.000/tahun di UK dan Berlin. Kasus ini mendekati
150.000 kasus/tahunnya untuk negara Amerika.

e. Apa etiologi kasus?


Croup biasanya disebabkan virus para-influenza 1, 2, dan 3, respiratory
syncytial virus (RSV) and virus influenza A dan B. Virus tersebut banyak
ditemukan di dalam udara dan ditularkan melalui percikan air ludah atau melaui
benda-benda yang terkontaminasi oleh ludah penderita. Croup paling sering
ditemukan pada anak-anak yang berumur 6 bulan – 3 tahun. Pada kasus yang berat,
bisa terjadi superinfeksi oleh bakteri. Keadaan ini disebut trakeitis bakterial dan
harus diatasi dengan antibiotik. Jika terjadi infeksi pada epiglotis, seluruh pipa
udara bisa membengkak dan bisa berakibat fatal.

f. Apa faktor resiko pada kasus?


 Cuaca
 Status gizi
 Sanitasi dan higienitas

27
 Riwayat keluarga
 Riwayat croup sebelumnya

g. Bagaimana patofisiologi pada kasus?

28
udara Droplet Kontak langsung

Infeksi Virus

Inflamasi, spasme pada epithelium


larynx (region subglotis) dan trachea

Dysfungsi dari vocal cord dan


obstruksi subglotis

Peningkatan usaha nafas Jaringan


kekurangan
suplai darah
Nafas cuping Retraksi supra Tachypneu
hidung sternal dan (45x/menit)
sela iga
HR 135x/menit

Mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi virus

Imunitas non
Respon inflamasi
spesifik
Set point di
hypothalamus
Makrofag dan Memicu hypotalamus
produksi sitokin mengeluarkan fosfolipase Mengeluarkan
(fosfolipid as.arakidonat) prostaglandin
Demam
(IL-1, IL-6, TNF-α)

Merangsang sel B
Merangsang
berproliferasi
reseptor batuk
Secret mucus menjadi
untuk
Terbentuk IgE yang diikat oleh lebih banyak Batuk
mengeluarkan
mastosit dan basophil mucus

Mediator inflamasi Merangsang sel Pilek


histamine, eosinophil, mukosa penghasil
tripase, kinin mukus

29
h. Bagaimana tatalaksana secara keseluruhan pada pasien ini? (semuanya termasuk
secondary, tertiary, dan cara merujuk)
Primary Asessment
 Pediatric Assessment Triangle
 Initial Asessment ABCDE
Secondary Assessment
Pemeriksaan fisik dan anamnesis yang lebih lengkap
S Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien
A Riwayat alergi
M Riwayat pengobatan
P Riwayat penyakit dahulu, pada kasus ini ada batuk pilek dan demam tidak
terlalu tinggi
L Makanan yang dimakan terakhir
E Kejadian yang mendahului keadaan sekarang
Tertiary Assessment
Pemeriksan penunjang untuk mencari penyebab definitive, dapat dilakukan
pemeriksaan CBC, gula darah, imaging
Tatalaksana Lanjutan:
 Tentukan derajat ringan, sedang dan berat
 Derajat berat,
 Steroid: missal Diberikan dexamethason dengan dosis 0,15-0,6 mg/kg diberikan secara
inhalasi bila ada preparatnya atau bilatidak ada secara intravena. atau Prednison 1-2
mg/kg (oral)
 0,5 ml/kg nebulized racemic epinephrine
 Diberikan L epinephrine dosis 0,5 ml/kg 1:1000
Pemakaian harus diencerkan dengan NaCl maksimum 5 mg  secara inhalasi karena
berefek langsung pada tempatnya dan tidak masuk ke sistemik.
 intubasi
Rujukan
Bila telah distabilkan maka lakukan rujukan dengan syarat :
 Pastikan tempat rujukan siap, komunikasi dokter yang mengirim dan dokter yang akan
menerima pasien
 Pastikan pasien yang dirujuk aman (ABC aman)
 Tidak boleh mengirim pasien dengan distress pernafasan berat tanpa intubasi
 Pastikan oksigen
 Pastikan ada obat-obatan emergensi
 Informed consent

30
Algoritme penatalaksanaan croup

31
32
i. Apa prognosis dari pasien ini?
Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang baik.
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : bonam

j. Apa komplikasi pada kasus?


Komplikasi dapat terjadi pada 15% kasus croup. Komplikasi yang terjadi antara
lain:
 Respiratory failure
 Perluasan proses penyakit ke region traktus respiratorius yang lain seperti telinga
tengah, ujung bronkiolus, dan ke parenkim paru (jarang terjadi).
 Pneumonia
 Tracheitis bacterial

k. Apa Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) kasus ini?


3B
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan

33
IV. Hipothesis

Awi, 2 tahun, mengalami respiratory distress et causa Croup.

34
V. Learning Issue

A. Penilaian Awal Kegawatdaruratan Pediatri

 Komponen Appearance memiliki beberapa karakteristik, yaitu TICLS

35
 Komponen Work of Breathing memiliki beberapa karakteristik, yaitu :

 Komponen Circulation to Skin memiliki beberapa karakteristik, yaitu :

B. Grading Gawat Napas

Penilaian gawat napas untuk pediatri bisa dipakai Skor Downe.

0 1 2
Frekuensi nafas <60/menit 60-80/menit >80/menit
Retraksi Tidak ada Ringan Berat
Sianosis Tidak ada Ada, hilang dengan Ada, tidak hilang
O2 dengan O2
Jalan masuk udara Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
bilateral baik udara masuk masuk
Grunting Tidak ada Dapat didengar oleh Dapat didengar
stetoskop tanpa alat bantu

Interpretasi :

Skor <4 : Tidak ada respiratory distress (RD ringan)

36
Skor 4-7 : Respiratory distress (RD sedang)

Skor >7 : Ancaman gagal nafas [analisis gas darah harus dilakukan] (RD berat)

C. Manajemen Gawat Napas

37
38
39
40
41
42
43
44
D. Croup

1. Definisi
Croup (laryngotracheobronchitis) adalah penyakit peradangan akut di daerah
subglotis laring, trakea,dan bronkus.Biasanya ditandai dengan suara serak, batuk kering
seperti menggonggong, dan stridor inspirasi
2. Etiologi
Penyakit ini biasanya menyebar melalui pernafasan dari percikan yang
mengandung virus di udara atau berhubungan langsung dengan penderita yang terjangkit
melalui percikan dahak.
a. Virus
Parainfluenza virus tipe I,II,III (50-75% kasus), Virus influenza tipe A dan B,
Adenovirus, Enterovirus, Respiratory syncytial virus (RSV), Measles, Coxsackievirus,
Rhinovirus, Echovirus, Reovirus, Metapneumovirus.
b. Bakteri (jika terjadi infeksi sekunder)
Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae,, Moraxella catarrhalis, Mycoplasma pneumoniae.
3. Epidemiologi
Croup umumnya terjadi pada anak yang berusia diantara 6 bulan sampai 3 tahun,
tetapi dapat juga terjadi pada anak berusia 3 bulan dan sampai 15 tahun. Dilaporkan,
sindrom ini jarang terjadi pada orang dewasa.Insidensinya lebih tinggi 1,5 kali pada anak
laki-laki daripada anak perempuan Dalam penelitian Alberta Medical Association, lebih
dari 60% anak yang didiagnosis menderita croup dengan gejala ringan, sekitar 4% dirawat
di rumah sakit, dan kira-kira 1 dari 4.500 anak yang diintubasi (sekitar 1 dari 170 anak
yang dirawat di rumah sakit).

4. Klasifikasi
Anak-anak yang menderita sindrom croup, secara luas dapat dikategorikan berdasarkan 4
derajat beratnya gejala:
a. Ringan

45
Gejala batuk menggonggong yang kadang-kadang, tidak terdengar suara stridor
saat istirahat, dan tidak adanya retraksi sampai adanya retraksi ringan suprastrenal dan/atau
interkostal.
b. Sedang
Gejala batuk menggonggong yang lebih sering, suara stidor saat istirahat yang
dapat dengan mudah didengar, dan retraksi suprasternal dan dinding sternal saat istirahat,
tetapi tidak ada atau sedikit gejala distres pernapasan atau agitasi.
c. Berat
Gejala batuk menggonggong yang lebih sering, stridor inspirasi yang menonjol dan
–kadang-kadang – stidor ekspirasi, retraksi dinding sternal yang jelas, dan adanya gejala
distres pernapasan dan agitasi yang signifikan.
d. Kegagalan pernapasan terjadi segera
Batuk menggonggong (sering tidak menonjol), terdengar stridor saat istirahat
(kadang-kadang sulit di dengar), retraksi dinding sternal (dapat tidak jelas), letargi atau
penurunan kesadaran, dan jika tanpa tambahan oksigen, kulit tampak kegelapan.

5. Patogenesis / Patofisiologi
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada laringotrakeitis,
laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia dimulai pada nasofaring dan
menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang
terjadi pada dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area
subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau).
Aliran udara yang melewati saluran respiratori atas mengalami turbulensi sehingga
menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi). Pergerakan
dinding dada dan abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta
mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau
bahkan henti napas.

6. Manifestasi Klinis
Biasanya dimulai dengan gejala pernafasan non spesific seperti :
a. Demam (biasanya 38-390C)

46
b. Batuk
c. Rhinorhea
d. sore throat
e. Dalam 1-2 hari gejalanya berkembang menjadi :
f. Suara serak
g. Barking cough
h. Stridor inspiratory
Gejala-gejala ini akan memburuk pada malam hari. Ketika usaha untuk bernafasnya
mulai meningkat maka anak akan mulai stop untuk makan

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk pasien dengan riwayat penyakit yang
tipikal yang berespon terhadap pengobatan, tetapi bagaimanapun juga, foto lateral dan
anteroposterior (AP) dari jaringan lunak leher dapat membantu dalam mengklarifikasi
diagnosis pada anak dengan gejala serupa croup.
b. Pada foto leher lateral, secara diagnostik dapat membantu, menunjukkan daerah
subglotis yang menyempit serta daerah epiglotis yang normal.
c. Pemeriksaan saturasi dengan pulse oxymetre diindikasikan untuk anak-anak dengan
croup derajat sedang sampai berat. Terkadang, anak dengan gejala croup bukan derajat
beratpun memiliki saturasi oksigen yang rendah, berhubungan dengan keterlibatan
intrapulmoner.
d. Kultur virus atau pemeriksaan antigen tidak termasuk pemeriksaan rutin, khususnya
selama periode epidemik

8. Tatalaksana
a. Terapi suportif
Oleh karena gejala croup sering timbul pada malam hari, banyak orang tua yang
merasa khawatir dengan penyakit ini, sehingga meningkatkan kunjungan ke unit gawat
darurat.Sehingga penting untuk memberikan edukasi kepada orang tua tentang penyakit
yang secara alami dapat sembuh sendiri ini.
 Oksigen

47
Tatalaksana pemberian oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia.
 Gabungan Oksigen-Helium
Pemberian gas Helium pada anak dengan croup diusulkan karena potensinya sebagai
gas dengan densitas rendah (dibanding nitrogen) dalam menurunkan turbulensi udara pada
penyempitan saluran pernapasan.

b. Farmakoterapi
 Analgesik/Antipiretik
Walaupun belum ada penelitian khusus tentang manfaat analgesik atau antipiretik
pada anak dengan croup, sangat beralasan memberikan obat ini karena membuat anak lebih
nyaman dengan menurunkan demam dan nyeri.
 Antitusif dan Dekongestan
Tidak ada penelitian yang bersifat eksperimental yang potensial dalam menunjukkan
keuntungan pemberian antitusif atau dekongestan pada anak dengan croup.Lagipula, tidak
ada dasar yang rasional dalam penggunaannya, dan karena itu tidak diberikan pada anak
yang menderita croup.
 Antibiotik
Tidak ada penelitian yang potensial tentang manfaat antibiotik pada anak dengan
croup.Croup sebenarnya selalu berhubungan dengan infeksi virus, sehingga secara empiris
terapi antibiotik tidak rasional.Lagipula, jika terjadi super infeksi –paling sering bacterial
tracheitis dan pneumonia- merupakan kejadian yang jarang (kurang dari 1:1.000) sehingga
pemakaian antibiotik untuk profilaksis juga tidak rasional.
 Epinephrine
Berdasarkan data terdahulu, penggunaan epinephrine pada anak dengan croup berat,
dapat mengurangi kebutuhan alat bantu pernapasan. Epinephrine dapat mengurangi distres
pernapasan dalam waktu 10 menit dan bertahan dalam waktu 2 jam setelah penggunaan.
Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif menyarankan pasien yang mendapat terapi
epinephrine dapat dipulangkan selama gejalanya tidak timbul kembali setidaknya dalam 2-
3 jam setelah terapi.
Bentuk epinephrine tartar yang umum digunakan untuk pasien croup; epinephrin
1:1.000 memiliki efek yang sebanding dan sama amannya dengan bentuk tartar. Dosis

48
tunggal (0,5 ml epinephrine tartar 2,25% dan 5,0 ml epinephrine 1:1.000) digunakan untuk
semua anak tanpa menghiraukan berat badan.
Anak yang hampir mengalami gagal napas, dapat diberikan epinephrine secara
berulang.Pemberian epinephrine yang kontinyu dilaporkan telah digunakan dibeberapa unit
perawatan intensif anak.
 Glucocorticoids
Steroid adalah terapi utama pada croup. Beberapa penelitian menunjukkan
penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan jumlah dan durasi pemakaian intubasi,
reintubasi, angka dan durasi dirawat di rumah sakit, dan angka kunjungan berulang ke
pelayanan kesehatan, serta menurunkan durasi gejala pada anak yang menderita gejala
derajat ringan, sedang dan berat.
Dexamethasone sama efektifnya jika diberikan per oral atau parenteral.
Dexamethasone dosis 0,6 mg/kg BB merupakan dosis yang umumnya digunakan.
Pemberiannya dapat diulang dalam 6 sampai 24 jam. Terdapat beberapa bukti juga yang
mengatakan dexamethasone dosis rendah 0,15 mg/kg BB juga sama efektifnya. Di sisi lain,
penelitian meta-analisis dengan kontrol, yang memberikan kortikosteroid dosis lebih
tinggi, memberikan respon klinis yang baik pada sebagian besar pasien.
Inhalasi budesonide juga menunjukkan efektivitas yang sama dengan
dexamethasone oral, tetapi cara pemakaiannya lebih traumatik dan lebih mahal sehingga
tidak secara rutin digunakan. Pada pasien dengan gejala gagal napas yang berat, pemberian
budesonide dan epinephrine secara bersamaan adalah logis dan dapat lebih efektiv daripada
pemberian epinephrine saja.Pada pasien dengan gejala muntah-muntah juga merupakan
alasan untuk memberikan inhalasi steroid.

E. Gangguan Pernapasan (Respiratory Distress)

Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress)


merupakan diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan tidak mampu
untuk melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan. Terminologi respiratory
distress digunakan untuk menunjukkan bahwa pasien masih dapat menggunakan
mekanisme kompensasi untuk mengembalikan pertukaran gas yang adekuat, sedangkan

49
respiratory failure merupakan keadaan klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme
kompensasi dalam mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya aliran oksigen.

Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi kebutuhan


pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah, sehingga terjadi
gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi karbondioksida, keadaan ini ditandai dengan
abnormalitas nilai PO2 dan PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit paru yang
melibatkan jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya. Gagal nafas juga
dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan neuromuskular dan
gangguan sistem saraf pusat.

Gagal nafas tipe hiperkapnik terjadi akibat CO2 tidak dapat dikeluarkan dengan
respirasi spontan sehingga berakibat pada peningkatan PCO2 arterial (PaCO2) dan turunnya
pH. Hiperkapnik dapat terjadi akibat obstruksi saluran napas atas atau bawah, kelemahan
otot pernapasan atau biasanya akibat produksi CO2 yang berlebihan. Gagal nafas tipe
hipoksemia terjadi akibat kurangnya oksigenasi, biasanya akibat pirau dari kanan ke kiri
atau gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).

Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor Silverman-
Anderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih sesuai digunakan untuk bayi
prematur yang menderita hyaline membrane disease (HMD), sedangkan skor Downes
merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia
kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam
untuk menilai progresivitasnya.

Analisis gas darah merupakan indikator definitif dari pertukaran gas untuk menilai
gagal nafas akut. Meskipun manifestasi klinis yang ada memerlukan tindakan intubasi
segera dan penggunaan ventilasi mekanis, pengambilan sampel darah arterial diperlukan
untuk menganalisis tekanan gas darah (PaO2, PaCO2, dan pH) sambil melakukan
monitoring dengan pulse oxymetri. Hipoksemia berat ditandai dengan PaO2 < 50-60
mmHg dengan FiO2 60% atau PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 > 40% pada bayi < 1250 g,
Hiperkapnik berat dengan PaCO2 > 55-60 mmHg dengan pH <7,2-7,25.

50
Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan sebagai pemeriksaan awal pada pasien
yang mengalami distress pernafasan antara lain: rontgen toraks (dapat dilakukan setelah
pemasangan ETT), pemeriksaan darah untuk skrining sepsis, termasuk pemeriksaan darah
rutin, hitung jenis, apus darah tepi, C-reactive protein, kultur darah, glukosa darah, dan
elektrolit.

Selain menilai beratnya distress nafas yang terjadi, diperlukan juga penilaian untuk
memperkirakan penyebab dasar gangguan nafas untuk penatalaksanaan selanjutnya. Pada
bayi yang baru lahir dan mengalami distress nafas, penilaian keadaan antepartum dan
peripartum penting untuk dilakukan. Beberapa pertanyaan yang dapat membantu
memperkirakan penyebab distress nafas antara lain: apakah terdapat faktor resiko
antepartum atau tanda-tanda distress pada janin sebelum kelahiran, adanya riwayat ketuban
pecah dini, adanya mekoneum dalam cairan ketuban, dan lain-lain.

Pada pemeriksaan fisik, beberapa hasil pemeriksaan yang ditemukan juga dapat
membantu memperkirakan etiologi distress nafas. Bayi prematur dengan berat badan lahir
< 1500 gram dan mengalami retraksi kemungkinan menderita HMD, bayi aterm yang lahir
dengan mekoneum dalam caian ketuban dan diameter antero-posterior rongga dada yang
membesar beresiko mengalami MAS, bayi yang letargis dan keadaan sirkulasinya buruk
kemungkinan menderita sepsis dengan atau tanpa pneumonia, bayi yang hampir aterm
tanpa faktor resiko tetapi mengalami distress nafas ringan kemungkinan mengalami
transient tachypnea of the newborn (TTN), dan hasil pemeriksaan fisik lainnya yang dapat
membantu memperikirakan etiologi distress nafas.

Penatalaksanaan neonatus dengan gagal nafas sebaiknya ditujukan pada penyakit


yang mendasarinya. Saat ini terapi gagal nafas pada neonatus ditujukan untuk mencegah
komplikasi dan memburuknya keadaan yang terjadi akibat penyakit paru-paru pada
neonatus, seperti hipoksemia dan asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat
berlangsung. Bayi baru lahir yang mengalami gangguan nafas berat harus dirawat di ruang
rawat intensif untuk neonatus (NICU), bila tidak tersedia bayi harus segera dirujuk ke
rumah sakit yang memiliki fasilitas NICU. Sebelum dirujuk atau dipindahkan ke NICU,
penatalaksanaan yang tepat sejak awal sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan
perawatan.

51
Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan neonatus yang
mengalami distress pernafasan. Keadaan hipo maupun hipertermi harus dihindari.
Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang 36,5−37,5oC.

Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress nafas yang
berat, dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk mencegah keadaan
hipoglikemia.19 Keseimbangan cairan, elektrolit dan glukosa harus diperhatikan. Pemberian
cairan biasanya dimulai dengan jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari
dengan Dekstrose 10% atau ¾ dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan
dosis 6-8 ml/kgBB/hari dapat ditambahkan pada infus cairan yang diberikan. 16 Pemberian
nutrisi parenteral dapat dimulai sejak hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai dari
3,5 g/kgBB/hari dan lipid mulai dari 3 g/kgBB/hari.

Prinsip lain perawatan neonatus yang mengalami distress nafas adalah minimal
handling. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan monitor sekaligus untuk menilai
keadaan kardiorespiratorik, temperatur, dan saturasi oksigen pada bayi.

Gejala dan hasil pemeriksaan radiologis pada bayi yang mengalami distress nafas
sering tidak spesifik sehingga penyebab lain terjadinya distress nafas seperti sepsis perlu
dipertimbangkan, dan pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai
sampai hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan antibiotik inisial yang dianjurkan adalah
ampicillin dan gentamicin.

52
53
VI. Kesimpulan

Awi, 2 tahun, mengalami respiratory distress et causa Croup derajat berat.

54
VII. Kerangka Konsep

55
DAFTAR PUSTAKA

British Columbia Ambulance Service Guidelines. 2013. Category (Pediatric)


"Pediatric Respiratory Distress, Respiratory Failure, & Respiratory Arrest".
(http://bctg.bcas.ca diakses pada tanggal 28 September 2016).
Children Hospital Colorado. 2011. Croup Clinical Care Guidelines: Age 6 months to 3
Years. (http://www.childrenscolorado.org diakses pada tanggal 27 September 2016).
Croup (Laringotrakeobronkitis akut), Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Badan
Penerbit IDAI: 2008. p 320-328
Darmawan, A.B, 2008, Croup (Laringotrakeobronkitis), 185, Cermin Dunia Kedokteran
vol.35, Jakarta
Defendi, Germaine L. 2011. Croup. Departemen Anak, UCLA Medical Center, America,
(http://emedicine.medscape.com diakses 26 September 2016).

Denny FW, Murphy TF, Clyde WA Jr, Collier AM, Henderson FW. Croup: an 11-year
study in a pediatric practice. Pediatrics. 1983;71(6):871–876.

Dieckmenn, R. & Brownstein, D. 2010. “The Pediatric Assessment Triangle”. Pediatric


Emergency Care. 26 (4): 312-315.
Greenwood et.al, 2007, Antimicrobial Chemotherapy, 5th Edition, 269, Oxford University
Press
Godden, et.al., 1997, Double blind placebo controlled trial of nebulized budesonide for
croup, 157, Arch Dis Child
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis - Ikatan Dokter Anak
Indonesia. (www.idai.or.id diakses pada 27 September 2016).
Knutson. D, Aring. A, 2004, Viral Croup. Am Fam Physician, 535, 541
Krilov L.R, 2001, Viral Croup. 5-12. Pediatric Rev
Neto, et.al., 2002, A Randomized controlled trial of mist in the acute treatment of moderate
croup. 873, Acad Emerg Med
New York State’s Emergency Medical Service. Pediatric Assessment. (www.health.ny.gov/
diakses pada 27 September 2016).
Rosekrans, J.A., 1998, Viral Croup: Current Diagnosis and Treatment, 1102-1107, Mayo
Clin.

Segal AO, Crighton EJ, Moineddin R. Croup hospitalizations in Ontario. Pediatrics.


2005;116(1):51–55.

56
Sobol SE, Zapata S. Epiglottitis and croup. Otolaryngol Clin North Am. 2008;41(3):551–
566.

Suaida. 2009. Retraksi. (http://dokumen.tips/documents/ diakses pada 27 September 2016).

Toward Optimized Practice. Guideline for the diagnosis and management of croup. 2008
update. (http://www.topalbertadoctors.org diakses tanggal 16 Juni, 2010).

Wald EL. Croup: common syndromes and therapy. Pediatr Ann. 2010;39(1):15–21.

Zaazou, Mohammed Hesham., Mahmoud M. Kamal, Raghdaa M. Ali, Nagi A. El-


Hussieny, dan Manal El-Sayed. 2011. Descriptive Study of Cases of Respiratory
Distress in NICU in Ahmen Maher Teaching Hospital. Departemen Anak, Ahmer
Maher Teaching Hospital, Cairo, hal, 441, (http://www.cu.edu.eg on/ , Diakses 26
September 2016).

Zoorob, Roger., Mohamad Sidani, dan John Murray. 2011. Croup : An Overview. Meharry
Medical Collage, Nashville, Tennessee, (http://www.aafp.org , Diakses 26 September
2016).

57

Anda mungkin juga menyukai