Anda di halaman 1dari 69

SKRIPSI

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP


PENGGUNAAN BAHAN PELEDAK DALAM
PENANGKAPAN IKAN
(Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Selatan)

OLEH:
SHAFFLY A SHADIQ KAWU
B111 07 735

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
HALAMAN JUDUL

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP


PENGGUNAAN BAHAN PELEDAK DALAM
PENANGKAPAN IKAN
(Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Selatan)

OLEH:
SHAFFLY A SHADIQ KAWU
B111 07 735

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian


Studi Sarjana Dalam Bagian Hukum Pidana
Program Studi Ilmu Hukum

Pada

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASNUDDIN
MAKASSAR
2012

i
ABSTRAK

SHAFFLY A.SHADIQ KAWU (B11107 735) Tinjauan Kriminologis


Terhadap Penggunaan Bahan Peledak Dalam Penangkapan Ikan
(Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan) dibimbing oleh Aswanto dan
Kaisaruddin Kamaruddin
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami faktor-
faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana penggunaan bahan
peledak dalam penangkapan ikan di Provinsi Sulawesi Selatan untuk
mengetahui sejauh mana upaya DIT Polair Polda Sulawesi Selatan dalam
menanggulangi tindak pidana penggunaan bahan peledak dalam
penangkapan ikan di Provinsi Sulawesi Selatan.
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan dan memilih
instansi DIT Polair Polda Sulawesi Selatan dan Pusat Informasi &
Informasi Hukum Laboratorium Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) faktor yang mempengaruhi
terjadinya tindak pidana penggunaan bahan peledak dalam penangkapan
ikan di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat dari beberapa sisi yaitu,
Pertama karena kegiatan melakukan penangkapan ikan merupakan mata
pencaharaian masyarakat nelayan untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Kedua karena sikap mental dan kepribadian nelayan yang lebih suka
menangkap ikan dalam waktu singkat. Ketiga karena nelayan yang
umumnya masyarakat tradisional yang tidak mengetahui tentang cara
menangkap ikan yang baik serta bahaya menggunakan bahan peledak
dalam menangkap ikan bagi ekosistem perairan dan diri sendiri. Keempat
karena sanksi yang di berikan kepada pelaku penggunaan bahan peledak
tidak dapat memberikan efek jera dan proses pemeriksaan pelaku
penggunaan bahan peledak yang berlarut-larut mendorong nelayan
melakukan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. (2) upaya
penanggulangan penggunaan bahan peledak yang dilakukan oleh pihak
DIT Polair Polda Sulawesi Selatan yaitu Pertama menegakkan hukum
secara tegas dalam penerapan sanksi kepada pelaku penyalahgunaan
bahan peledak dalm menangkap ikan agar dapat memberi efek jera
kepada pelaku. Kedua melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan
memberi pengetahuan cara menangkap ikan yang baik dan bahaya
penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan. Bekerja sama
dengan instansi-instansi perikanan lain dan masyarakat secara langsung
mengawasi pelanggaran-pelanggaran penyalahgunaan bahan peledak
untuk menangkap ikan, hal ini dilakukan agar dapat memberantas dan
meminimalisir penyalahgunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan.
Keempat mengatasi kendala dalam proses pemeriksaan penggunaan
bahan peledak dalam penangkapan ikan agar tidak berlarut-larut.

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i

PENGESAHAN SKRIPSI .................................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ................................. iv

ABSTRAK ........................................................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 7

D. Manfaat Penelitian ............................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 9

A. Kriminologi ........................................................................... 9

B. Pengertian Bahan Peledak ................................................... 14

C. Pengertian Wilayah Perairan ................................................ 14

D. Penangkapan Ikan Dengan Menggunakan Bahan Peledak .......... 17

E. Peraturan-Peraturan Yang Berkaitan Dengan Perikanan ..... 20

F. Teori Penyebab Kejahatan .................................................. 21

G. Upaya Penanggulangan Kejahatan ...................................... 28

ix
BAB III METODE PENELITIAN........................................................... 32

A. Lokasi Penelitian .................................................................. 32

B. Jenis dan Sumber Data........................................................ 32

C. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 32

D. Teknik Analisis Data ............................................................ 33

BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................... 34

A. Faktor Penyebab Terjadinya Penangkapan Ikan Dengan

Menggunakan Bahan Peledak Di Provinsi Sulawesi Selatat 34

B. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Penangkapan Ikan

Dengan Menggunakan Bahan Peledak Di Provinsi

Sulawesi Selatan ................................................................. 46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 59

A. Kesimpulan .......................................................................... 59

B. Saran ................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum itu bukan tujuan, akan tetapi hanya merupakan jembatan

atau alat yang akan membawa kita kepada ide yang dicita-citakan.

Dengan demikian, hukum seyogianya harus senantiasa mengacu pada

cita-cita masyarakat bangsa.Hukum harus dibangun untuk tujuan-tujuan

mengakhiri suatu tatanan sosial yang tidak adil dan menindas hak-hak

asasi manusia.

Untuk mencapai cita-cita hukum yang demikian,hukum tidak dapat

dilepaskan dari pemahaman dan pengetahuan terhadap masyarakat

bagaimana yang dicita-citakan dan politik hukum yang bagaimana yang

dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang dicita-citakan itu.

Hukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan

kehidupan sosial bangsa yang bersangkutan. Dengan demikian, layak jika

dikatakan, bahwa hukum adalah fungsi sejarah sosial suatu masyarakat.

tetapi hukum bukanlah bangunan sosial yang statis, melainkan ia bisa

berubah dan perubahan itu terjadi karena fungsinya untuk melayani

masyarakat. Perubahan yang paling nyata terjadi manakala diikuti sejarah

sosial suatu masyarakat dan bagaimana dampaknya terhadap hukum

yang berlaku disitu.

Bertolak dari fungsi hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka

pembentukan hukum dalam bidang perikanan tentu tidak terlepas dari

1
keperluan tujuan mewujudkan pembangunan dibidang perikanan,

khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat besar. Total

panjang garis pantainya sekitar 95.000 km, dengan total luas laut sebesar

3,1 juta km2. Selain itu di sebelah luarnya terdapat perairan ZEE (Zone

Ekonomi Eksklusif) dengan luas sekitar 2,7 juta km 2. Ini berarti luas

perairan laut yang harus dikelola oleh Indonesia adalah sekitar 5.8 juta

km2.

Perairan lautnya dikenal mempunyai keanekaragman hayati yang

kaya, dan dapat menunjang potensi perikanan yang sangat

tinggi.Produksi perikanan di Indonesia sebagian besar dihasilkan oleh

nelayan skala kecil.Namun, adalah sangat ironis, bahwa sebagian besar

nelayan kita masih hidup dalam kemiskinan. Sementara itu stok ikan

semakin menipis, penangkapan ikan dengan cara-cara destruktif seperti

penggunaan bom dan racun sianida masih banyak terjadi dimana-mana,

Ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove telah banyak

yang mengalami kerusakan, dan pencemaran telah melanda banyak

perairan pesisir yang mengancam keberlanjutan usaha perikanan.

Perikanan liar atau pencurian ikan oleh nelayan asing juga belum dapat

dikendalikan secukupnya.Selain itu, aspek hukum dan penegakan hukum

di laut juga masih menghadapi berbagai kendala.Kesemua inii

mengindikasikan diperlukannya pola pengelolaan perikanan yang kuat.

Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki

kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia serta

2
kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan

sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun

pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan,

guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan prinsip

kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.

Sektor perikanan memiliki peranan yang penting dan strategis dalam

pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan

perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan

taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudidaya ikan, dan

pihak-pihak pelaku usaha dibidang perikanan dengan tetap memelihara

lingkungan, kelestarian dan ketersediaan sumber daya ikan.

Sikap pemerintah untuk mengembangkan industri perikanan nasional

dinilai banyak kalangan positif, karena selama ini upaya mengembangkan

sektor kelautan belum sebanding dengan potensi yang ada. Tentunya

diharapkan bahwa dengan kebijakan tersebut, potensi kelautan yang

begitu besar dan menjadi asset bangsa Indonesia dapat dikelola dengan

professional dan berkelanjutan sehingga dapat memberikan manfaat bagi

peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dalam rangka

terciptanya pembangunan yang serasi dan seimbang, baik dibidang

prasarana darat maupun laut, dalam hal ini berusaha menciptakan

suasana damai dan tentram diseluruh aspek. Salah satu aspek

pembangunan nasional adalah pembinaan sikap dan mental bagi seluruh

lapisan masyarakat pada umumnya dan bagi para penegak hukum pada

khususnya sebagai pengayom masyarakat.

3
Tantangan dan ancaman yang timbul cukup besar untuk mengelola

sektor perikanan sebagai potensi sumber daya alam yang belum tergarap.

Undang-ungang nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan, dianggap sudah

tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat

ini dan masa yang akan datang, karena dibidang perikanan saat ini dan

masa yang akan datang, karena dibidang perikanan telah terjadi

perubahan yang sangat besar, baik yangberkaitan dengan ketersediaan

sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun

perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif ,

efisien dan modern sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan

secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan,

kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan

kelestarian yang berkelanjutan.

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan negara

kepulauan yang sebagian besar luas wilayahnya terdiri dari perairan,

sehingga dengan sendirinya mata pencaharian penduduk adalah nelayan.

Oleh karena itu, dengan tujuan peningkatan taraf hidup, para nelayan

tidak jarang melakukan hal-hal yang dilarang/yang bertentangan dengan

hukum. Para nelayan masih sering melakukan penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak, hal ini sangat berbahaya bagi diri pelaku

juga terhadap lingkungan dan habitat laut serta ekosistem yang ada

disekitarnya, bahkan dapat musnah.

Selama Indonesia mengalami krisis ekonomi, menunjukkan bahwa

sumber daya alam dilaut ternyata mampu mengangkat taraf hidup

4
masyarakat pesisir yang bergantung pada komoditi perikanan, sayangnya

hanya sebagian kecil yang menikmati karena maraknya praktek-praktek

penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Setiap negara pasti akan

berusaha menegakkan kedaulatan atas wilayah laut yang menjadi wilayah

territorialnya. Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982

menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan

United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 menempatkan

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan

pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber data ikan di Zona

Ekonomi Eksklusiv Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan

berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.

Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam

pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam peningkatan

perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan,dan peningkatan

taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudidaya ikan, dan

pihak-pihak pelaku usaha dibidang perikanan dengan tetap memelihara

lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan. Konvensi

tersebut kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dan selanjutnya

dituangkan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang

Perikanan, namun hal ini masih dianggap belum dapat menampung

seluruh aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu

mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan

teknologi dalam pengelolaan sumber daya ikan.

5
Sebagai negara yang memiliki perairan yang luas, tentunya

dibutuhkan jaminan hukum bagi keamanan dan kelestarian ekosistem laut

agar dapat memberikan manfaat berkelanjutan serta dapat menjaga

wibawa negara dan bangsa dari setiap ancaman baik dari dalam maupun

dari luar terhadap kedaulatan wilayah perairan, oleh karena itu kepastian

hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Undang-undang

Nomor 45 Tahun 2009 tentang PerikananPembaruan atas Undang-

undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, telah memberikan

kepastian,hukum dan kejelasan bagi penegak hukum atas tindak pidana

dibidang perikanan. Dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas

penegakan hukum terhadap tindak pidana dibidang perikanan, telah diatur

mengenai pembentukan pengadilan perikanan dilingkungan peradilan

umum.Untuk dapat menanggulangi meluasnya penggunaan bahan

peledak dalam melakukan penangkapan ikan di laut, maka perlu

ditingkatkan penyukuhan hukum bagi masyarakat nelayan tentang bahaya

dari akibat penggunaan bahan peledak tersebut. Walaupun penangkapan

ikan dengan menggunakan bahan peledak adalah suatu perbuatan

terlarang yang bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku, akan

tetapi dalam kenyataannya di wilayah perairan Provinsi Sulawesi Selatan,

masih sering terjadi penangkapan ikan secara illegal dengan cara

menggunakan bahan peledak oleh para nelayan

6
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang Masalah diatas, maka rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tidak pidana

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak di

Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Upaya penanggulangan tindak pidana penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak di Provinsi Sulawesi Selatan.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang menyebabkan

terjadinya tidak pidana penangkapan ikan dengan menggunakan

bahan peledak di Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Untuk mengetahui Upaya penanggulangan tindak pidana

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak di

Provinsi Sulawesi Selatan

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis

a. Sebagai sumber informasi yang jelas kepada masyarakat

tentang faktor penyebab dan akibat faktor penggunaan bahan

peledak dalam penangkapan ikan.

b. Sebagai kajian yuridis terhadap efektifitas Undang-undang

Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

7
2. Secara praktis

a. Sebagai bahan masukan kepada penegak hukum,

khususnya penyidik dalam proses penyelesaian perkara

penangkapan ikan menggunakan bahan peledak di Provinsi

Sulawesi Selatan.

b. Menjadi pertimbangan bagi pemuat kebijakan, dalam

mencari solusi dan upaya alternatif yang dapat dilakukan

agar tidak terjadi penangkapan ikan menggunakan bahan

peledak.

c. Menjadi umpan balik bagi pembuat peraturan perundang-

undangan di bidang perikanan, sehingga senantiasa

responsif dan produk-produk perundang undangan yang

dihasilkan efektif serta menjadi hukum yang hidup dan

berlaku dalam masyarakat

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kriminologi

1) Pengertian Kriminologi

Disamping ilmu hukum pidana, yang sesungguhnya dapat

dinamakan ilmu tentanghukumnya kejahatan, ada juga ilmu tentang

kejahatannya sendiri yang dinamakan kriminologi. Kecuali obyeknya

berlainan, tujuannya pun berbeda, kalau obyek ilmu hukum pidana adalah

aturan-aturan hukum mengenai kejahatan atau bertalian dengan pidana

(hukum pidana positif), tujuannya agar dapat dimengerti

dandigunakandengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya. Sedangkan

obyek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan (sipenjahat) itu

sendiri, dan tujuannya agar menjadi mengerti apa sebab-sebabnya

sehingga berbuat jahat.

Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari

tentangkejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard

(1830-1911)seorang ahli antropologis Perancis, secara harfiah berasal

dari kata crimenyang berarti kejahatan atau penjahat dan logos yang

berarti ilmupengetahuan, sehingga kriminologi dapat berarti ilmu tentang

kejahatan ataupenjahat. (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010 : 9).

Beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda mengena

ikriminologi ini. Diantaranya adalah:

9
Bonger (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010 : 10),
memberikandefinisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui
definisi ini, Bonger membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni
yang mencakup :
1. Antropologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang
manusia yangjahat dilihat dari segi biologisnya yang
merupakan bagian dari ilmualam.
2. Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan
sebagai gejala sosial. Pokok perhatiannya adalah seberapa
jauh pengaruh sosial bagi timbulnya kejahatan (etiologi
sosial)
3. Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan
dipandang dari aspek psikologis. Penelitian tentang aspek
kejiwaan dari pelaku kejahatan antara lain ditujukan pada
aspek kepribadiannya.
4. Psipatologi kriminal dan neuropatologi kriminal, yaitu
ilmupengetahuan tentang kejahatan yang sakit jiwa atau
sakit sarafnya,atau lebih dikenal dengan istilah psikiatri
5. Penologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang tumbuh
berkembangnya penghukuman, arti penghukuman, dan
manfaat penghukuman. Disamping itu terdapat kriminologi
terapan berupa :
a. Hygienekriminal, yaitu usaha yang bertujuan untuk
mencengahterjadinya kejahatan.
b. Politik criminal, yaitu usaha penanggulangan kejahatan
dimanasuatu kejahatan telah terjadi
c. Kriminalistik (policie scientific), yaitu ilmu tentang
pelaksanaanpenyidikan teknik kejahatan dan
pengusutan kejahatan.

Bonger, dalam analisanya terhadap masalah kejahatan, lebih

mempergunakan pendekatan sosiologis, misalnya analisa tentang

hubunganantara kejahatan dengan kemiskinan.Sutherland (Topo Santoso

dan Eva Achjani Zulfa, 2010:11)merumuskan kriminologisebagai

keseluruhan ilmu pengetahuan yangbertalian dengan perbuatan jahat

sebagai gejala sosial (The body ofknowledge regarding crime as a sosial

phenomenon). Menurut Sutherland,kriminologi mencakup proses-proses

pembuatan hukum, pelanggaran hukumdan reaksi atas pelanggaran

hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi tigacabang ilmu utama yaitu :

10
1. Sosiologi Hukum

Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan

diancam dengan suatu sanksi. Jadi yang menentukan bahwa suatu

perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum. Di sini

menyelidikifaktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan

hokum (khususnya hukum pidana).

2. Etiologi kejahatan.

Merupakan cabang ilmu kriminologis yang mencari sebab musabab

dari kejahatan. Dalam kriminologis etiologi kejahatan merupakan

kejahatan paling utama.

3. Penology.

Pada dasarnya ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland

memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha

pengendaliankejahatan represif maupun preventif.

Paul Moedigdo Moeliono (Soedjono D, 1976:24) memberikan definisi

Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan

sebagaimasalah manusia.Paul Moedigdo Moeliono tidak sependapat

dengan definisiyang diberikan Sutherland. Menurutnya definisi itu seakan-

akan tidakmemberikan gambaran bahwa pelaku kejahatan itupun

mempunyai andil atasterjadinya kejahatan, oleh karena terjadinya

kejahatan bukan semata-mataperbuatan yang ditentang oleh masyarakat,

akan tetapi adanya dorongan darisi pelaku untuk melakukan perbuatan

jahat yang ditentang oleh masyarakattersebut.

11
Wolfgang, Savitz dan Jonhston (Topo Santoso dan Eva Achjani

Zulfa,2001:12), dalam The Sociology of Crime and Delinquency

memberikandefinisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan

tentang kejahatanyang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan

pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan

menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-

keseragaman, pola-pola, dan faktor-faktor kausal yang berhubungan

dengan kejahatan, pelaku kejahatan sertareaksi masyarakat terhadap

keduanya. Jadi obyek studi kriminologi melingkupi :

a. Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan

b. Pelaku kejahatan

c. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan

maupunterhadap pelakunya.

Ketiganya tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru

dapatdikatakan sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari

masyarakat.

J. Contstant (A.S Alam dan Amir Ilyas, 2010:2 ) memberikan definisi

kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-

faktor yang menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan atau penjahat.

2) Kejahatan

Pertama, dari sudut pandang hukum (a crime from the legal

pointofview). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap

tingkah lakuyang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun jeleknya suatu

perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak dilarang di dalam perundang-

12
undangan pidana,perbuatan itu tetap sebagai perbuatan yang bukan

kejahatan.Sutherland (A.S Alam dan Amir Ilyas, 2010:16) berpendapat

bahwaCriminal behavior in violation of the criminal law. No matter what the

degreeof immorality, reprehensibility or indecency of an act is not crime

unless it isprohibitied by the criminal law.Contoh konkrit dalam hal ini

adalah perbuatanseorang wanita yang melacurkan diri.Dilihat dari definisi

hukum, perbuatanwanita tersebut bukan kejahatan karena perbuatan

melacurkan diritidak dilarang dalam perundang-undangan pidana

Indonesia.Namun,sesungguhnya perbuatan melacurkan diri sangat jelek

dilihat dari sudutpandang agama, adat istiadat, kesusilaan, dan lain-

lainnya.

Kedua, dari sudut pandang masyarakat (a crime from the

sociologicalpoint of view).Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah

setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup di

dalam masyarakat. Contohnya bila seseorang muslim meminum minuman

keras sampai mabuk, perbuatan itu merupakan dosa (kejahatan) dari

sudut pandang masyarakat Islam, dan namun dari sudut pandang hukum

bukan kejahatan.

Bamemlen (J. E. Sahetapy, 1992:14) memberikan definisi bahwa :

Kejahatan adalah perbuatan yang merugikan, sekaligus asusila,


perbuatan mana yang menghasilkan kegelisahan dalam suatu
masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan
menolak perbuatan itu, dan dengan demikian menjatuhkan dengan
sengaja nestapa terhadap perbuatan itu.

Kejahatan adalah suatu konsep yuridis yang berarti tingkah

lakumanusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana.Kejahatan

13
juga bukan hanya suatu gejala hukum.(Romli Atmasasmita dan Widati

Wulandari,1997:53).

B. Pengertian Bahan Peledak

Yang dimaksud dengan bahan peledak adalah Zat yang berbentuk

padat, cair, gas ataupun campurannya yang apabila terkena suatu aksi,

berupa panas, benturan, tekanan, hentakan atau gesekan akan berupa

secara fisik maupun kimiawi menjadi zat lain yang lebih stabil.Perubahan

tersebut berlangsung dalam waktu yang singkat disertai dengan tekanan

yang sangat tinggi.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Darurat Nomor 12

Tahun 1951, tentang senjata api dan bahan peledak :

Yang dimaksudkan dengan pengertian bahan-bahan peledak


termasuk semua barang yang dapat meledak, yang dimaksudkan
dalam Ordonnantie tanggal 18 September 1893 (Stbl. 234), yang
telah diubah terkemudian sekali dengan Ordonnantie tanggal 9 Mei
1931 (Stbl. No. 168), semua jenis mesin, bom-bom, bom-bom
pembakar, ranjau-ranjau (mijnen), granatgranat tangan dan pada
umumnya semua bahan peledak baik yang merupakan
luluhankimia tunggal (enkelvoudige chemischeverbindingen)
maupun yang merupakan adukan bahan-bahan peledak
(explosievemengsels) atau bahan-bahan peledak pemasuk
(inleidende explosieven), yang dipergunakan untuk meledakkan
lain-lain barang peledak,sekedar belum termasuk dalam pengertian
amunisi.

C. Pengertian Wilayah Perairan

Wilayah perairan Indonesia berdasarkan pemerintah yang

mendeklarasikan Wawasan Nusantara, dikenal dengan Deklarasi

Djuanda.Yang dimana dalam Deklarasi ini menetapkan bahwa kawasan

perairan di bagian dalam kepulauan Indonesia otomatis menjadi bagian

14
dari wilayah kedaulatan Indonesia. Sementara itu, ketentuan pengukuran

3 mil dari garis pantai setiap pulau diubah menjadi 12 mil.

Lebih lanjut pada April 1982 konsep Wawasan Nusantara diterima

menjadi bagian konvensi hukum laut internasional hasil Konferensi PBB

tentang hukum laut yang ketiga (UNCLOS).

Selain pengukuran 12 mil tadi, juga ditetapkan tentang kawasan ZEE

yang cakupannya mencapai 200 mil dari garis pantai setiap pulau.Untuk

kawasan ZEE, kewenangan hanya sebatas mengelola dan memelihara

kekayaan alam saja, sementara di wilayah 12 mil tadi Indonesia punya

kedaulatan penuh di daratan, perairan wilayah, dan bahkan terhadap

tanah di bawah permukaan air dan ruang udara yang ada di atasnya

(sovereign rights).

Menurut Adi Sumardiaman (1982 : 45)

Wilyah perairan Indonesia meliputi seluruh perairan yang terletak di


sebelah dalam garis dasar serta laut wilayah (territorial sea)
disekelilingnya selebar 12 mil laut di ukur dari garis dasar yang
disebut Zona Eknomi Eksklusif (ZEE), seperti halnya di darat, maka
di laut pun pada dasarnya sebuah Negara mempunyai kedaulatan
penuh terhadap perairannya.

Berdasarkan informasi Composite Negotiating Text (CNT) dan

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960, maka perairan Indonesia (Harahap

& Mustafa Djuang 1983 : 126) dapat digolongkan:

1. Perairan pedalaman, dalam hal ini Indonesia mempunyai


kedaulatan penuh
2. Perairan nusantara, dimana ada hak lintas damai bagi kapal-kapal
asing untuk berlayar melalui alur-alur yang ditetapkan
3. Laut wilayah (laut turitorial), dimana Indonesia mempunyai
kedaulatan penuh dan disini juga ada hak lintas damai bagi kapal
asing

15
Dilihat dari perbedaan wujud geografis suatu negara maka secara

alami rakyat dari negara tersebut juga memiliki ciri/karakter yang berbeda,

terutama dalam hal mengembangkan, mempertahankan dan menjaga

eksistensi bangsa dan negaranya.Bagi negara yang dikelilingi daratan

saja misalnya, maka kecenderungan rakyat untuk menjaga kelestarian

hidup bangsanya terfokus sepenuhnya kepada pengembangan budidaya

yang bersifat kebenuaan (kontinen) atau pertahanan dan keamanan

bangsanya terfokus pada matra darat, guna menjaga kelestarian dan

keutuhan bangsa dan negara tersebut.

Laut dan perairan Indonesia merupakan matra terluas di luar matra

udara.Perbandingan luas matra darat dan matra laut sekitar dua

pertiganya arijumlah luas 5.193.850 kilo meter persegi sebelum

berlakunya Zona Ekonomi Eksklusif (M. Dimyati Hartono, 1983:11).

Pasal 1 ayat (20) Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang

Perikanan, Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta

perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.Ketentuan dalam

Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan memberikan

pengertian yang berbeda antara wilayah perairan Republik Indonesia

dengan wilayah Pengelolan perikanan Republik Indonesia. Seperti pada

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang

Perikanan :

Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk


penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi
1) Perairan Indonesia;
2) ZEEI; dan

16
3) Sungai, danau, waduk, dan genangan air lainnya yang dapat
diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial
diwilayah Republik Indonesia.

D. Penangkapan Ikan Dengan Menggunakan Bahan Peledak

Komunitas ikan di laut merupakan res nullius (tidak memunyai

pemilik) dan sekaligus tidak memiliki tanda kenegaraan. Oleh karena itu

berdasarkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyebutkan:

Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai

oleh negara dan di pergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat. Ikan-ikan yang berada dalam perairan Negara Indonesia

dengansendirinya berada dalam penguasaan negara, ya dimana

pengelolaannya harus sesuai dengan prosedur atau aturan yang telah

ditetapkan oleh negara, dalam hal ini Undang-undang Nomor 45 Tahun

2009 tentang Perikanan.Oleh karena itu sangat jelas bahwa negara

mengatur kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan

sumber daya perairan khususnya di bidang perikanan.

Pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009

tentang Perikanan, Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan

dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan

lngkungannya mulai dari proses praproduksi, produksi, pengolahan,

sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis

perikanan . berdasarkan ketentuan tersebut dapat kita ketahui bahwa

segala bentuk proses pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya ikan

dan lingkungannya dapat digolongkan kedalam kegiatan perikanan.

17
Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang

Perikanan, Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat,

keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi,

dan kelestarian yang berkelanjutan.Berdasarkan ketentu tersebut diatas,

kita dapat mengetahui bahwa negara dalam hal ini pemerintah mengawasi

segala bentuk eksplorasi/eksploitasi yang ada di perairan.Dengan

demikian melakukan penangkapan ikan yang bertentangan dengan

ketentuan perundang-undangan yang telah diberlakukan oleh pemerintah

dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana.

Pada Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009

tentang Perikanan, Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau

sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.

Berdasarkan ketentuan tersebut kita dapat mengetahui bahwa bukan

hanya ikan yang sehari-hari dapat kita lihat di pasarkan saja yang

termasuk dalam kategori ikan, akan tetapi meliputi semua jenis biota

perairan dimasukkan didalamnya, Dengan sendirinya berarti pemanfaatan

dan pengelolaanbagi keseluruhan biota laut tersebut harus sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan.

Setelah mendapat gambaran tentang ikan, selanjutnya penulis akan

mengemukakan pengertian penangkapan ikan. Sesuai dengan Pasal 1

ayat (5) Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan:

Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di


perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau
cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,
mengelolah, dan atau mengawetkannya.

18
Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan hanya

membedakan antara kegiatan penangkapan ikan dan kegiatan

pembudidayaan ikan.Dimana pada penangkapan ikan bukan hanya

sekedar kegiatan untuk memperoleh ikan melainkan meliputi seluruh

rangkaian tindakan dalam usaha memperoleh ikan tersebut sampai

dengan tindak lanjut penanganannya itu telah diatur oleh pemerintah.

Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang

Perikanan:

Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau


pembudidayaanikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelesarian sumberdaya
ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikana
Republik Indonesia.
Pasal 9 Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
1) Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau
menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
2) Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan dalam pasal 8 ayat (1) dan pasal 9 Undang-undang

Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, merupakan

ketentuan khusus dimana yang secara tegas melarang mengangkut,

membawa dan/atau menggunakan bahan peledak sebagai alat ataupun

alat bantu penangkapan ikan.

19
E. Peraturan-peraturan Yang Berkaitan Dengan Perikanan

Sebagai pedoman dalam pengelolaan Sumber Daya Perikanan agar

pelestarian Sumber Daya Alam dan ekosistem perikanan dapat

dipertahankan kelestariannya, maka pemerintah menetapkan peraturan-

peraturan dibidang perikananyang selanjutnya menjadi landasan

konstutisional dalam pengelolaan potensi perikanan di wilayah Republik

Indonesia. Ketentuan-ketentuan itu dituangkan dalam undang-undang

maupun peraturan pelaksanaannya.

Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, Bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan pasal 33

ayat (3) UUD 1945 ini mencakup aspek yang cukup luas, bukan hanya

segala sektor kehidupan di darat dan di air, tetapi juga meliputi kekayaan

alam yang terkandung didalamnya.

Ketentuan Perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya

dibidang perikanan antara lain :

1. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1961 tentang Ratifikasi Tiga

Konvensi Jenewa Tahun 1958 mengenai hukum laut, yang salah

satunya adalah konvensi mengenai pengambilan ikan serta hasil laut

dan pembinaan sumber-sumber hayati laut bebas

2. Undamg-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklisif

Indonesia (ZEEI)

3. Undnag-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan ekosistemnya

20
4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan hidup

5. Undang-undng Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan perubahan

atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

6. Peraturan Pemerintah yang berkaitan erat dengan masalah perikanan

antara lain:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan

Sumber Daya Hayati di Zona Ekonomi Eksklisif Indonesia.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 tentang Usaha

Perikanan yang dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 19 Tahun

1990

F. Teori Penyebab Kejahatan

Dalam kepustakaan ilmu kriminologi, (Moeljatno, 1986:36). Ada

tigafaktor yang menyebabkan manusia melakukan kejahatan, tiga fakta

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Faktor keturunan yang diwarisi dari salah satu atau keduaorang

tuanya (faktor genetika).

2. Faktor pembawaan yang berkembang dengan sendirinya.

Artinya sejak awal melakukan perbuatan pidana.

3. Faktor lingkungan. Yang dimaksud adalah lingkungan

eksternal(sosial) yang berpengaruh pada perkembangan

psikologi. Karenadorongan lingkungan sekitar, seseorang

melakukan perbuatan pidana.

21
Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk

dari prilaku prilaku menyimpang yang selalu ada dalam masyarakat.

Terhadap permasalahan tersebut, telah banyak usaha-usaha

penanggulangan yang dilakukan dalam berbagai cara, baik dengan cara

menggunakan hukum pidana dengan sangsi yang berupa pidana ataupun

tanpa menggunakan jalur hukum.

Modernisasi yang kita alami sekarang ini hampir

berlangsung dalam segala bidang yang banyak membawa pengaruh

dalam pola kehidupan manusia dalam masyarakat. Modernisasi tersebut

merombak struktur masyarakat dan norma yang mengatur pola

kehidupan. Karena adanya perubahan-perubahan tersebut maka timbulah

prilaku menyimpang.

Menurut Edwin Lemert, bahwa aspek-aspek prosesual dari prilaku

menyimpang (kejahatan), dengan menunjukan bahwa karir

prilakumenyimpang sering kali mengalami perubahan-perubahan penting

sesuaidengan perjalanan waktu. Dalam teori Lemert (Mulyanah W.

Kusumah :1982 : 8), tindakan-tindakan prilaku menyimpang sering kali

merupakan langkah Ambil resiko yang memperlihatkan sifat coba-coba

untuk melakukan pola-pola prilaku yang dilarang.

. Tindakan ini menjadi sasaran reaksi social, yang pada giliranya

dapat mempengaruhi pengalaman-pengalaman karir selanjutnya dari

prilaku penyimpangan.Tanpa mengurangi arti penting kelompok teori yang

lain dan sesuai dengan masalah yang akan di bahas, maka teori

undercontrol di utamakan sebagai pokok bahasan.

22
Teori Undercontrol/Consensus adalah teori dalam mengkaji prilaku

menyimpang (pelanggaran) mendasarkan diri bahwa kita

semuamenyepakati isi serta berlakunya kaidah-kaidah mayarakat

termasuk Norma-norma hukum, sosial dan moral dan lain-lain. Oleh

karena itumerupakan kewajaran bila semua warga masyarakat mematuhi

aturan-aturahukum tersebut.Konsekuensi dari kerangka dasar kajian teori

ini, yaitu "Kenapa ada seseorang yang bisa menolak aturan sosial

sementara hampir semuanya (masyarakat) menerima". Menurut John

Hagan mengklasifikasikan teori-teori yang termasuk dalam kelompok

teoriundercontrol itu, sebagai berikut.

a. Teori Netralisasi

Pada dasarnya teori netralisasi ini beranggapan bahwa aktifitas

manusia selalu dikendalikan oleh pikirannya. Dengan demikian

pertanyaan dasar yang dilontarkan teori ini : "Pola pikir yang

bagaimanakah yangterdapat di dalam benak orang-orang, baik dalam

hal tertentu berubah menjadi jahat". Pertanyaan ini sekaligus

mencerminkan suatu anggapan bahwa kebanyakan orang dalam

berbuat sesuatu dikendalikan oleh pikirannya yang baik.Teori ini

beranggapan bahwa di dalam masyarakat selalu dapat persamaan

pendapat tentang hal-hal yang baik di dalam kehidupan masyarakat dan

jalan yang layak untuk mencapai hal tersebut. Hal yang menarik dari teori

ini adalah terdapat pada caranya menjawab pertanyaan tentang

bagaimanakah prosesnya sehingga seseorang yang pada umumnya

berpikiran baik sampai melakukan kejahatan/ berperilaku menyimpang.

23
Menurut teori ini, orang-orang tersebut berperilaku

menyimpang/jahat disebabkan karena adanya kecenderungan di

kalanganmereka yang merasionalkan norma-norma dan nilai-nilai.

b. Teori Control

Teori control atau disebut juga teori kontrol sosial, berangkat dari

anggapan, bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan

yang sama kemungkinannya menjadi baik atau jahat. Baik jahatnya

seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya, ia akan

menjadi baik kalau saja masyarakatnya membuatnya demikian, dan akan

menjadi jahat apabila masyarakatnya membuat demikian.

Seseorang dapat melemahkan atau terputus ikatan sosial dengan

masyarakat, manakala di masyarakat itu telah terjadi pemerosotan fungsi

lembaga kontrol sosial, baik formal maupun informal termasuk

lembagakontrol sosial,baik formal maupun informal termasuk lembaga

control social . Informal disini adalah sarana-sarana tersebut dapat

diidentikkan dengan lembaga adat, suatu sistem kontrol asosial yang tidak

tertulis namun memperoleh pengakuan keabsahan keberlakuannya di

masyarakat.

Dengan demikian, bahwa manakala dalam suatu masyarakat,

dimana kondisi lingkunganya tidak menunjang atau tidak berfungsi dengan

baik lembaga kontrol asosial tersebut, sedikit banyak akan mengakibatkan

melemah atau terputusnya ikatan sosial anggota masyarakatnya dan pada

giliranya akan memberi kebebasan pada anggotanya untuk berperilaku

menyimpang.

24
Adapun mengenai pelanggaran lalulintas terdapat banyak

teori,namun menurut pengalaman POLRI dalam menangani kasus-kasus

yangterjadi di masyarakat dapat di katakan bahwa banyak faktor yang

turut mempengaruhi terjadinya suatu pelanggaran. Untuk terjadinya

suatu pelanggaran maka 2 (unsur) unsur harus bertemu yaitu Niat

untuk melakukan suatu pelanggaran dan Kesempatan untuk

melaksanakan niat tersebut. Jika hanya ada salah satu dan kedua unsur

tersebut diatas makatidak akan terjadi apa apa, yaitu ada niat untuk

melakukan pelanggaran tetapi tidak ada kesempatan untuk melaksanakan

niat tersebut, maka tidak mungkin terlaksana pelanggaran itu.

Lebih lanjut dijelaskan, sebaliknya walaupun ada kesempatan, tetapi

tidak ada niat untuk melanggar maka juga tidak akan terjadi

suatu pelanggaran. Jadi jelas kedua unsur, yaitu niat dan kesempatan

adalah sangat penting dalam hal terjadinya pelanggaran.

Teori dari A. Lacassagne (Soedjono : 1982 : 29) beranggapan bahwa

terjadinya kejahatan atau sebab timbulnya kejahatan meliputi:

a). Lingkungan yang memberi kesempatan akan timbulnya kejahatan

b). Lingkungan-lingkungan pergaulan yang memberi contoh atau tauladan

c). Lingkungan ekonomi (kemiskinan, kesengsaraan)

d). Lingkungan yang berbeda-beda(differtial Association)

KAUSA KEJAHATAN

a. Ada empat mazhab yang menjelaskan tentang kausa kejahatan,

Yaitu:

25
1. Mazhab klasik, menurut psikologi hedonistik, setiap perbuatan

manusia didasarkan atas pertimbangan rasa senang dan tidak

senang.Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana

yang buruk,perbuatan mana yang mendatangkan kesenangan dan

mana yang tidak. Menurut teori ini orang melakukan kejahatan karena

perbuatan tersebut lebih banyak mendatangkan kesenangan bagi

dirinya sendiri (Made Darma Weda, 1996 : 14).

2. Mazhab kartographik, yang dipentingkan dalam ajaran ini

adalahdistribusi kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara

geografis maupun sosial. Kejahatan dianggap merupakan suatu

ekspresi dari kondisi-kondisi sosial (Topo Santoso, 2004 : 29).

3. Mazhab sosialis, yang menjadi pusat perhatian ajaran ini adalah

determinisme ekonomi. Ajaran ini menghubungkan kondisi kejahatan

dengan kondisi ekonomi dianggap memiliki hubungan sebab

akibat.(Topo Santoso, 2004 : 29).

4. Mazhab tipologi, Ada tiga termasuk mazhab ini, yaitu :

1. Aliran Lombroso, menurut Lomroso kejahatan merupakanbakat

manusia yang dibawa sejak lahir. Ada beberapa proposisi yang

dikemukakan oleh Lombroso, (Made Darma Weda, 1996 :16), yaitu:

a) Penjahat dilahirkan dan mempunyai tipe yang berbeda-beda.

b) Tipe ini bisa dikenal dari beberapa ciri tertentu seperti tengkorak

yang asimetris, rahang bawah yang panjang,hidung yang pesek,

rambut janggut yang jarang, dan tahan terhadap rasa sakit.

26
c) Tanda-tanda lahiriah ini bukan merupakan penyebab kejahatan tapi

merupakan tanda pengenal kepribadian yang cenderung

mempunyai prilaku kriminal.

d) Karena adanya kepribadian ini, maka mereka tidak dapat terhindar

dari melakukan kejahatan kecuali bila lingkungan dan kesempatan

tidak memungkinkan.

e) Penganut aliran ini mengemukakan bahwa penjahat-penjahat

seperti pencuri, pembunuh, pelanggar seksdapat dibedakan oleh

tanda-tanda atau ciri-ciri tertentu.

2. Mental tester, karena ajaran Lombroso mulai mundur, meskilogika

dan metodologinya tetap dipertahankan, akan tetapi feble

mindedness (orang yang berotak lemah) menggantikan tipe fisik,

sebagai ciri-ciri penjahat. Menurut ajaran ini feeble mindedness

menyebabkan kejahatan karena orang tidak dapatmenilai sebab

akibat dari perbuatannya atau menangkap sertamenilai arti hukum.

Ajaran ini mundur karena terbukti bahwa feeble mindedness

terdapat pada penjahat dan bukan penjahat(Topo Santoso, 2004 :

30 ).

3. Aliran psikiatrik, aliran ini lebih menekankan pada unsur psikologis.

Aliran psikiatrik lebih banyak di pengaruhi olehteori Sigmund Freud

tentang struktur kepribadian. Menurut Freud, kepribadian terdiri dari

3, (Made Darma Weda, 1996 :19), yaitu :

27
a) Das es/id, yaitu alam tak sadar yang dimiliki oleh setiap mahluk

hidup, manusia dan hewan. Segala nafsu dankeinginan, begitu

pula naluri, berada di alam tak sadar.

b) Das ich/ego, yaitu alam sadar, Das es/id ini kemudian

mendesak das ich atau alam sadar untuk memenuhi

kebutuhannya. Berdasarkan desakan tersebut maka dasich

melaksanakan hal-hal yang diperlukan bagi pemenuhan das

es/id.

Super ego, adalah bagian yang terpenting. Super egoinilah yang

menilai/menentukan bagaimana caramemenuhi keinginan ego,

berdasarkan norma-normaatau aturan-aturan yang diketahui. Dengan kata

lain,super ego menentukan perbuatan-perbuatan apa yang boleh

dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

G. Upaya Penanggulangan Kejahatan

Upaya atau kebijakan untuk melakukan Pencegahan dan

Penangulangan Kejahatan termasuk bidang "kebijakan kriminal"

(criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan

yang lebihluas,yaitu "kebijakan sosial" (social policy) yang terdiri dari

"kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial" (social-welfare policy)

dan "kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat" (social-

defence policy).Dengan demikaian, sekiranya kebijakan penanggulangaan

kejahatan (politik kriminai) dilakukan dengan menggunakan sarana "penal"

(hukum pidana), maka "kebijakan hukum pidana: ("penal policy")

khususnya padatahap kebijakan yudikatif /aplikatif (penegakan hukum

28
pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada

tercapainya tujuan dari kebijakansosial itu, berupa "socialwelfare" dan

"social-defence" .

Bertolak dari diatas, dapat diidentifikasikan hal-hal pokok sebagai

berikut :

a. Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan harus menunjang

Aspek "social welfare" (SW) dan "social defence" (SD)yang

sangat pentingadalah aspek kesejahteraan perlindungan

masyarakat yang bersifat materiel, terutama nilai kepercayaan,

kebenaran, kejujuran dan keadilan

b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan

dengan "pendekatan integral"; ada keseimbangan sarana penal"

dan non penal". Dilihat dan sudut politik kriminal, kebijakan paling

strategis meialuisarana non penal" karena kebijakan penal"

mempunyai keterbatasan/kelemahan yaitu bersifat frakmentasi/

simplastik/ tidak preventif, harusdidukung oleh infra struktur dengan

biaya tinggi

c. Pencegahan dan Penanggulangan kejahatan dengan sarana yang

fungsionalisasi/operasionalnya melalui beberapa tahap :

1. Fomulasi (kebijakan legislatif)

2. Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial)

3. Eksekusi (kehijakan eksekutif/administratif)

Dengan adanya tahap formulasi maka upaya pencegahan dan

penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum,

29
tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan

kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya

pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui "penal policy", oleh

karena itu, kesalahan atau kelemahan kebijakan legislatif merupakan

kesalahan strategis yang dapatmenjadi penghambat upaya pencegahan

dan penanggulangan kejahatan padatahap aplikasi dan eksekusi.

Penanggulangan kejahatan Empirik (A.S Alam dan Amir

Ilyas,2010:79), terdiri atas tigabagian pokok, yaitu sebagai berikut :

1. Pre-Emtif

Yang dimaksud dengan upaya Pre-Emtif di sini adalah upaya-

upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah

terjadinya tindak pidana.Usaha-usaha yang dilakukan dalam

penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan

nilai-nilai atau norma-norma yang baik sehingga norma-norma

tersebut terinternalisasikan dalam diri seseorang. Meskipun ada

kesempatan untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan tapi tidak

ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi

kejahatan. Jadi dalam usaha pre-entif faktor niat menjadi hilang

meskipun ada kesempatan. Cara pencegahan ini berasal dari teori

NKK, yaitu ;

Niat+Kesempatan terjadi kejahatan.

Contoh :

Ditengah malam pada saat lampu merah lalu lintas menyala

makapengemudi itu akan berhenti dan mematuhi aturan lalu lintas

30
tersebutmeskipun pada waktu itu tidak ada polisi yang berjaga. Hal

ini selalu terjadi di banyak negara seperti Singapura, Sydney, dan

kota besarlainnya di dunia, jadi dalam upaya pre-emitif factor Niat

tidak terjadi.

2. Preventif

Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari

upaya Pre-Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum

terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif ini yang ditekankan

adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan.

Contoh :

Ada orang ingin mencuri motor tetapi kesempatan itu dihilangkan

karena motor-motor yang ada ditempatkan di tempat penitipan

motor,dengan demikian kesempatan menjadi hilang dan tidak terjadi

kejahatan. Jadi dalam upaya preventif kesempatan ditutup.

3. Represif

Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana atau

kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum

(lawenforcemmenet) dengan menjatuhkan hukuman.

31
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Instansi Direktorat Kepolisian

Perairan (Ditpolair Polda Sulsel). Penulis memilih lokasi tersebut karena

Dit Pol Air Polda Sulsel merupakan Input dan lini terdepan dalam

penegakan hukum terkhusus terhadap tindak pidana perikanan di Provinsi

Sulawesi Selatan , sehingga dari lokasi-lokasi ini Penulis dapat

memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan oleh Penulis dalam

penulisan karya ilmiah ini.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder.Data primer adalah data yang langsung di

peroleh dari sumber pertama, data wawancara (interview), sedangkan

data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-

dokumen, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya.

C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi-studi pustaka ( library

research). Penelitian dilakukan dengan mengkaji berbagai literatur yang

relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini serta melakukan

interview kepada yang di anggap berkompeten dalam permasalahan ini

untuk memperkuat gagasan yang tengah diajukan Penulis.

32
D. Teknik Analisis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis

secara kualitatif dan kemudian dibahas dalam bentuk penjabaran dan

memberi makna sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

33
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Faktor Penyebab Terjadinya Penangkapan Ikan Dengan

Menggunakan Bahan Peledak Di Provinsi Sulawesi Selatan

Dari hasil penelitian penulis menurut Kompol Esa Kasi Gakum

Ditpolair Polda Sulawesi Selatan (wawancara pada hari selasa 14 agustus

2012) menunjukkan bahwa. Faktor penyebab terjadinya penangkapan

ikan dengan menggunakan bahan peledak oleh nelayan di Provinsi

Sulawesi Selatan dapat dilihat dari beberapa sisi yaitu, Pertama karena

kegiatan melakukan penangkapan ikan merupakan mata pencharaian

masyarakat nelayan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kedua karena

sikap mental dan kepribadian nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan lebih

suka menangkap ikan dalam waktu yang singkat, menggunakan sedikit

tenaga dan biaya namun dapat menghasilkan ikan hasil tangkapan dalam

jumlah yang banyak, tanpa mengindahkan bahwa efek yang dan bahaya

yang ditimbulkan dari penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan

baik terhadap diri sendiri maupun ekosistem perairan. Ketiga masih

berkaitan etika dan kepribadian masyarakat nelayan di Provinsi Sulawesi

Selatan pada umumnya adalah masyarakat tradisional dan tingkat

pendidikan yang rendah serta tidak mengetahi/memahami bahwa cara-

cara penangkapan ikan menggunakan bahan peledak disamping beresiko

bahaya terhadap diri nelayan sendiri juga berdampak rusak dan matinya

biota laut yang terkena efek bahan peledak tesebut. Keempat karena

34
sanksi pidana akibat pelanggaran-pelanggaran penangkapan ikan

menggunakan bahan peledak itu cenderung ringan dan juga para aparat

penegak hukum (penyidik) merasa kesulitan menggunakan Undang-

Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan dan lebih memilih

menggunakan/menerapkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun

1951.

Untuk lebih jelasnya faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat

nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan melakukan penangkapan ikan

dengan menggunakan bahan peledak adalah sebagai berikut:

a. Faktor penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak;

b. Kurangnya kepedulian masyarakat akan lingkungannya terutama

lingkungan laut;

c. Kurangnya pengetahuan masyarakat nelayan akan dampak

penggunaan bahan peledak dalam melakukan penangkapan

ikan;

d. Proses dalam pemeriksaan perkara penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak yang rumit dan berlarut-larut.

1. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak

Berdasarkan uraian diatas, salah satu penyebab penyidik Dit Polair

Polda SulSel tidak menerapkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

Tentang Perikanan dalam melakukan proses penyidikan tindak pidana

menangkap iakn menggunakan bahan peledak adalah sulitnya penerapan

35
aturan tersebut baik secara formil maupun materil, jika dibandingkan

dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan telah

mencantumkan hukum formil (hukum acara) dalam proses penyidikan,

yang mana aturan tersebut sedikit memberatkan penyidik dalam

praktiknya, antara lain hanya memberikan kewenangan kepada penyidik

untuk melakukan penahanan terhadap tersangka selama 20 hari dan

dapat di perpanjang oleh JPU selama 10 hari. Kondisi ini secara alamiah

dan manusiawi memberikan dampak psikologis bagi penyidik dalam

melaksanakan proses penyidikan. Hal ini pada akhirnya memicu penyidik

untuk tetap menerapkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951,

karena dianggap lebih mudah dan menguntungkan bagi penyidik karena

secara formil proses penyidikan tetap mengacu kepada KUHAP dan

secara materil ancaman pidananya jauh lebih tinggi.

Dicantumkan hukum formil dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun

2009 Tentang Perikanan, jika dilihat dari segi ilmu hukum juga

menimbulkan persoalan. Apabila kita konsisten dengan teori perundang-

undangan tersebut mengatur mengenai hukum pidana materil,

seharusnya tidak perlu lagi dalam perundang-undangan yang sama

mengenai materi muatan hukum pidana formil, karena seharusnya

rumusan hukum pidana formil telah diatur undnag-undang tersendiri.

Permasalahan selanjutnya dala praktik hukum dibidang perikanan

adalah aparat pinyidik Dit Polair dalam melakukan penindakan juga

menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992ang Sistem

36
Budidaya Tanaman untuk pelaku tindak pidana penyalahgunaan

penggunaan bahan peledak, dengan pertimbangan bahwa bahan peledak

yang dipergunakan nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan tersusun dari

bahan berupa pupuk yang secara yuridis dal lablatoris bukan merupakan

bahan peledak, sehingga diterapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil

penyidikan merupakan dasar penuntutan di depan sidang pengadilan,

oleh sebab itu apabila dalam penyidikan terdapat kekurangan, ketidak

cermatan dan kesalahan penerapan hukum, akan membawa dampak

yang besar dalam pembuktian disidang pengadilan dan berpengaruh

keyakinan hakim yang bermuara perkara tersebut divonis ringan atau

bahkan bebas. Berkaitan dengan hal tersebut, keseriusan penangkapan

tindak pidana penangkapan ikan menggunanakan bahan peledak sejak

dari TKP, tahap penyidikan, penuntutan sangat diperlukan karena jika hal

ini tidak diwujudkan, maka tidaklah mengherankan apabila vonis yang

diberikan hakim terhadap pelakuu tindak pidana menangkap ikan dengan

menggunakan bahan peledak tidak proporsional dan tidak dapat menjadi

efek jera bagi pelaku sendiri maupun masyarakat secara umum. Dampak

psikologis yang timbul akibat vonis yang tidak proporsional dalam

masyarakat nelayan Provinsi Sulawesi Selatan juga kurang

menguntungkan bagi penegakan hukum. Masyarakat nelayan di Provinsi

Sulawesi Selatan memiliki pertimbangan untung dan rugi terhadap

putusan tersebut dan menganggap masih menguntungkan bagi mereka

37
apabila tertangkap dan dihukum dengan hukuman penjara 1 sampai 2

tahun, dibandingkan hasil yang diperoleh apabila melakukan

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Cara mudah

singkat dengan hasil melimpah inilah yang memicu masyarakata nelya

tetap menggunakan bahan peledak sebagai alat penangkapan ikan, dan

tidak mengindahkan resiko apabila tertangkap karena mereka yakin akan

diberikan vonis 1 tahun atau maksimal 2 tahun penjara.

Banyaknya kasus tindak pidana penangkapan ikan menggunakan

bahan peledak yang divonis ringan atau bahkan bebas oleh Pengadilan

Negeri tentunya hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang

menyebabakan nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan tetap melakukan

penangkapan ikan menggunakan bahan peledak karena vonis yang

dijatuhkan tidak mampu menjadi efek jera secara umum maupun secara

khusus disamping beberapa faktor-faktor lain seperti ; Sulitnya beban

ekonomi masyarakat nelayan, kesulitan yang dihadapi oleh aparat

penegak hukum di lapangan dalam melakukan penindakan terhadap

pelaku penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak.

Persoalan penanganan perkara tindak pidana penangkapan ikan

dengan menggunakan bahan peledak di wilayah hukum Pengadilan

Negeri merupakan persoalan sangat serius dan harus ditangani secara

benar, cepat dan tepat, karena wilayah Provinsi Sulawesi Sealatan

memiliki perairan laut yang sangat strategis dan tetntunya juga

mengandung sumber daya alam yang sangata besar yang harus dikelola

38
scara arif dan bijaksana, buakannya dieksploitasi dengan cara-cara yang

dapat merusak perkembangan ekosistem yang ada dilaut itu sendiri.

2. Sikap dan Kepedulian Masyarakat

Pada dasarnya masyarakat nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan

secara umum memiliki siakap dan kepedulian yang positif terhadap upaya

pelestarian lingkungan laut (perairan). Namun berkaitan dengan upaya

pemenuhan kebutuhan ekonomi, sikap tersebut mulai mengalami

pergeseranketika paara nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan

diahadapkan dengan situasi berupa kekurangan hasil tangkapan ikan dari

waktu-kewaktu. Karena terus menurunnya jumlah sumber daya ikan

karena banyaknya nelayan dari daerah lain yang memiliki alat

penangkapan ikan yang lebih canggih, sehingga hasil tangkapannya lebih

baik dari para nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan, bahkan tidak jarang

bnya nelayan dari daerah-daerah lain sekitar Provinsi Sulawesi Selatan

yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak

di daerah perairan Provinsi Sulawesi Selatan,hal ini memicu para nelayan

di Provinsi Sulawesi Selatan juga melakukan penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak.

Hanya karena faktor keterbatasan masyarakat nelayan di Provinsi

Sulawesi Selatan dalam hal pengetahuan dan kepemilikan alat-alat

penangkapan ikan yang lebih canggih dan keinginan nelayan untuk

mendapatkan hasil tangkapan ikan yang banyak menyebabkan nelayan

melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak,

39
disamping faktor kesadaran masyarakat nelayan bahwa menangkap ikan

dengan menggunakan bahan peledak dapat merusak ekosistem laut.

Faktor utama yang juga menjadi penyebab terjadinya penangkapan

ikan menggunakan bahan peledak, dalam hal ini tentunya masalah

pemenuhan ekonomi, dimana nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan

umumnya hidup dibawah garis kemiskinan, sehingga dalam upaya

pemenuhan kebutuhan pokok tersebut, cenderung kurang mempedulikan

kelestarian ekosistem laut. Untuk menanggulangi hal ini, diperlukan suatu

tindakan pendekatan sosial ekonomi kepada masyarakat nelayan serta

perlu program terpadu guna mencari solusi pemecahan masalah ini,

misalnya dengan melaksanakan program penyadaran terpadu berkaitan

dengna usaha penangkapan ikan untuk pemenuhan ekonomi dengan

tetap menjaga kelestarian ekosistem perairan.

3. Pengetahuan Masyarakat Tentang Bahaya Bahan Peledak

Kurangnya penyuluhan dan peningkatan pengetahuan masyarakat

nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan menyebabka banyak diantara

masyarakat nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan tidak mengetahui

bahaya yang dapat ditimbulakan dari penggunaan bahan peledak

termasuk dampak yang lebih jauh dan tndak pidana penangkap ikan

mengguanakan bahan peledak terhadap lingkungan. Apabila persoalan ini

tidak ditangani secara serius bsia menimbulkan kerugia yang jauh lebih

besar bagi kehidupan generasi yang akan datang, diantaranya adalah

matinya flora dan fauna laut bersama habitatnya.

40
Sebagai bukti masih rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran

masyrakt nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan terhadap bahaya

penggunaan bahan peledak yaitu meskipun sindikat/mata rantai distribusi

bom ikan dapat dibongkar ataupun diputus oleh pihak yang berwajib,

namun masyrakat nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan tidak kehabisan

akal, nelayan justru berusaha membuat bahan peledak/bom dngan cara

merakitnya sendiri, yang mana hal ini tentunya sangat berbahaya dan

beresiko bagi nelayan yang melakukan perakitan bahan peledak itu

sendiri.

Apabila dikaji lebih jauh, ternyata yang menjadi motivasi bagi

nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan sehingga tetap melakukan kegiatan

penangkapan ikan menggunakan bahan peldak adalah untuk menangkap

ikan sebanyak-banyaknya dengan cara mudah, murah dan cepat, untuk

pemenuhan kebutuhan pokok tanpa memikirkan resiko rusaknya sumber

daya ikan di laut.

Selanjutnya untuk mengetahui tingkat pemahaman masyrakat akan

bahaya yang ditimbulkan dari pengunaan bahan peledak, terutama

berkaitan dengan bahaya penggunaan bahan peledak untuk menangkap

ikan serta dampak yang ditimbulkan dari penangkapan ikan menggunakan

bahan peledak, baik terhadap masyarakat nelayan sendiri secara

langsung maupun terhadap lingkungan ekosistem laut.

41
4. Adanya Kendala Dalam Proses Pemeriksaan Perkara

Penangkapan Ikan dengan menggunakan Bahan Peledak

Proses penyelesaian tindak pidana perikanan juga memiliki

beberapa kendala yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana

penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan. Proses yang

mengalami kendala meliputi pada tahap penyidikan, tahap pra

penuntutan, dan tahap penuntutan serta tahap pengenaan sanksi. Di

mana pada tahap-tahap tersebut terjadi banyak kendala yaitu sebagai

berikut.

Di dalam tahap penyidikan ditinjau tentang pengumpulan barang

bukti, identifikasi saksi-saksi serta pemberian keterangan tersangka.

a. Pengumpulan Barang Bukti

Barang bukti memegang peranan penting dalam proses peradilan

pidana karena barang bukti adalah barang yang digunakan atau berkaitan

langsung dengan tindak pidana. Dengan cukup atau tidaknya barang bukti

pada tahap penyidikan akan menetukan perjalanan proses perkara

selanjutnya, karena barang bukti dapat berfungsi sebagai alat bukti

petunjuk serta digunakan sebagai pelengkap alat bukti keterangan saksi,

keterangan tersangka serta alat bukti lain yng diatu dalam KUHAP,

sehingga dapat memberikan keyakinan kepada hakim dalam memutus

perkara.

Pengumpulan barang bukti merupakan salah satu persoalan

dihadapi oleh penyidik Dit Polair, berdasarkan wawancara dengan Kompol

Esa (Kasi Gakum) Dit Polair Polda Sulawesi Selatan menyatakan bahwa,

42
kendala yang sangat dirasakan dalam tahap pengumpulan barang bukti

oleh para penyidik adalah sebagai berikut :

1. Belum tersedianya sarana penyimpanan barang bukti yang

memadai

2. Pengaman TKP yang terlambat sehingga banyak barang bukti yang

tidak diinventarisir.

3. Barang bukti yang berkaitan langsung dengan tindak pidana

perikanan, umumnya mudah di hilangkan dengan jalan dibuang

kelaut sebelum tersangka didapat

4. Barang bukti yang dikumpulkan harus spesifik dan berkaitan

langsung dengan perkara, seperti ikan hasil tangkapan. Adapun

barang bukti seperti bahan baku penyusun bahan peledak

terkadang sulit dijadikan barang bukti yang bersifat mendukung dan

memberatkan, justru dapat menjadi barang bukti yang meringankan

terdakwa.

Tidak adanya tempat penyimpanan barang bukti misalnya lemari

pendingin atau gudang penyimpanan barang bukti, menyebabkan barang

bukti berupa ikan yang disita akan mengalami perubahan bentuk, tidak

asli lagi seperti pada saat kejadian perkara bahkan dapat musnah karena

busuk.

b. Identifikasi Saksi

Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan sampai dalam

pemeriksaan di depan sidang pengadilan, penyidik sering meminta

masyarakat yang memenuhi syrata menurut undang-undang untuk

menjadi saksi a-chrge guna pembuktian tindak pidana yang terjadi.

43
Berkaitan dengan tindak pidana penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak di wilayah hukum Provinsi Sulawesi Selatan

menurut Kompol Esa Kasi Gakum Dit Polair Polda Sulawesi Selatan

(wawancara pada tanggal 14 agustus 2012) , terdapat 2 kendala umum

yaitu (1) saksi-saksi a-charge umumnya hanya dari petugas kepolisian

yang melakukan penangkapan, sedangkan saksi-saksi yang berada di

TKP umumnya adalah nelayan yang umumnya merupakan rekan-rekan

tersangka sehingga cenderung menjadi saksi a-decharge, (2) saksi-saksi

yang berada di TKP umumnya nelayan yang tempat tinggalnya di

kepulauan, sehingga pada saat dilakukan sidang di pengadilan, sulit untuk

mendatangkannya.

c. Keterangan Tersangka

Dalam tahap ini penyidik Dit Polair Polda SulSel menghadapi beberapa

kendala dalam proses memperoleh keterangan dari tersangka pelaku

tindak pidana penggunaan bahan peledak, kendala umum yang selalu

dihadapi oleh penyidik adalah beberapa keterangan tersangka yang

berbelit-belit yang mengakibatkan pelaku memiliki potensi untuk

merekayasa keterangannya bahkan dalam kasus-kasus tertentu memiliki

pula kemampuan untuk merekayasa berbagai fakta. Hal ini

mengakibatkan penyidik mengalami kesulitan untuk memperoleh data-

data yang dibutuhkan untuk membongkar kasus-kasus penangkapan ikan

menggunakan bahan peledak.

44
d. Kendala Proses Penahanan

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

penyidik diberikan kewenangan untuk melakukan penahanan selama 20

hari dan dapat diperpanjang oleh Jaksa Penuntut Umum selama 40 hari,

selanjutnya untuk tindak pidana yang diancam hukuman penjara diatas

sembilan tahun dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama

60 hari yang diberikan secara bertahap. Hal ini sangat jauh berbeda

dengan kewenngan yang diberikan kepada penyidik menurut pasl 73 ayat

(6) dan (7) Undang-Undang Nomor 70 Tahun 2009 tentang Perikanan,

yaitu penyidik berwenang melakukan penahanan selama 20 hari dan

dapat diperpanjang oleh Jaksa Penuntut Umum selama 10 hari dan

apabila dalam waktu 30 hari proses penyidikan belum selesai, maka

tersangka demi hukum harus dikeluarkan dari penahanannya.

Proses penyidikan tindak pidana peangkapan ikan menggunakan

bahan peledak yang ditangani oleh Dit Polair Polda SulSel, nampak

kurang berkas perkara yang menerapkan Undang-Undang Nomor 45

Tahun 2009 Tentang Perikanan, namun lebih banyak menggunakan

Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Menurut Kompol Esa

tidak digunakannya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang

Perikanan oleh penyidik Dit Polair Polda SulSel, berkaitan dengan

pemberian kewenangan masa penahanan tersangka sangat singkat yaitu

30 hari, yang mana hal ini sngat menguras tenaga dan proses penyidikan

menjadi tidak efisien, terlebih jika jumlah perkara yang dilakukan

penyidikan sangat banyak baik dari segi perkara maupun jumlah

45
tersangka/saksi yang dilakukan pemeriksaan yang mana tidak berimbang

dengan jumlah penyidik yang ada. Proses penyidikan tindak pidana

penangkapan ikan menggunakan bahan peledak, selalu melibatkan

instansi lain dalam proses pembuktiannya seperti Labfor Polri, ahli bahan

peledak, dll, yang mana koordinasi masing-masing instansi tersebut

memerlukan waktu yang relatif lama, sehingga masa penahanan 30 hari

tersebut dirasakan sangat kurang.

B. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Penangkapan Ikan

Dengan Menggunakan Bahan Peledak Di Provinsi Sulawesi

Selatan

Dari hasil penelitian Penuulis menurut Kompol Esa Kasi Gakum

DitPolair Polda Sulawesi Selatan (wawancara pada hari selasa tanggal 14

agustus 2012) Penuntasan kegiatan illegal fishing seperti penggunaan

bahan peledak dalam penangkapan ikan , bukanlah sebuah pekerjaan

mudah, membutuhkan pola penanganan khusus dengan memberikan

pemahaman akan dampak yang diakibatkan kegiatan pengeboman ikan.

Penuntasan kasus illegal fishing, harus disusun secara terencana,

sistematis, dan terstruktur.Sebab tindak pelanggaran seperti ini, terjadi

karenabanyaknya aspek keterbatasan yang dimiliki warga nelayan pesisir

tradisional.Sebut saja, keterbatasan pendidikan, pemahaman,

keterampilan, sampai kepada persoalan keterbatasan peralatan alat

tangkap yang masih serba manual,"

Kegiatan penagkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak

telah mengakibatkan kerugian yang besar kepada negara. Sehingga

46
pemerintah melalui Dir Polair Polda SulSel telah menyusun program

pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan

khusunya penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di

perairan Provinsi Sulawesi Selatan. Upaya ini juga diharapkan dapat

memberantas penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan dan

dapat meminimalisir jumlah pelanggaran yang terjadi. Untuk melakukan

pengawasan secara langsung di lapangan terhadap kapal-kapal nelayan

yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak

dilakukan dengan menggunakan kapal-kapal patroli milik Dit Polair Polda

SulSel.

Dalam melakukan pengawasan Dit Polair Polda SulSel tidak bekerja

sendirian melainkan bekerja sama dengan instansi-instansi terkait seperti

Dinas Perikanan Provinsi SulSel, TNI Angkatan Udara dan, TNI Angkatan

Laut di Provinsi Sulawesi Selatan. Kerjasama Dit Polair Polda SulSel

dengan berbagai instansi terkait lainnya berguna untuk menggalang

kemantapan dalam pengawasan jasa kelautan. Hal ini penting dilakukan

agar tercapai agar terdapat kesamaan pemahaman dan meningkatkan

sinergi antara instansi-instasi terkait.

Pihak Dit Polair Polda SulSel memiliki tugas yang sangat pentng

demi terjaganya kemanan wilayah periran Provinsi Sulawesi Selatan dari

praktek illegal fishing seperti penangkapan ikan dengan menggunakan

bahan peledak. Dalam melakukan pengawasan guna memberantas

penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan oleh nelayan Dit

Polair Polda SulSel melakukan patroli rutin dengan mengunakan kapal-

47
kapal patroli polisi periran. Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Dit

Polair Polda SulSel dilakukan setiap waktu dan secara berkesinambungan

demi terjaganya wilayah perairan di Provinsi Sulawesi Selatan khususnya

praktek pengguaan bahan peledak dalam penangkapan ikan yang telah

memberikan dampak yang cukup besar bagi pemerintah.

Menurut Kompol Esa Kasi Gakum DitPolair Polda Sulawesi Selatan

(wawancara pada hari selasa tanggal 14 agustus 2012). Lebih jelasnya

secara lebih terperinci upaya-upaya penanggulangan penggunaan bahan

peledak dalam penangkapan ikan di Provinsi Sulawesi Selatan adalah

sebagai berikut :

a) Menegakan hukum secara tegas dalam penerapan sanksi

piana terhadap pelaku tindak pidana penangkapan ikan

dengan menggunakan bahan peledak.

b) Memberi pengetahuan kepada masyarakat Nelayan tentang

dampak penggunaan bahan peledak dalam melakukan

penangkapan ikan serta meningkatkan kepedulian terhadap

lingkungan laut.

c) Bekerjasama dengan Instansi lain yang terkait serta

mengikutkan masyarakat secara langsung untuk berperan

serta mendukung pengawasan praktek Penyalahgunaan

Bahan Peledak dalam penangkapan ikan.

d) Mengatasi kendala-kendala dalam proses pemeriksaan

perkara penangkapan ikan dengan menggunakan bahan

peledak.

48
1. Menegakan hukum secara tegas dalam penerapan sanksi

pidana terhadap pelaku tindak pidana penangkapan ikan

dengan menggunakan bahan peledak

Dalam penanganan kasus penggunaan bahan peledak dalam

penangkapan ikan diperlukan peraturan perundang-undangan yang

dijadika pedoman dalam menindak para pelaku penggunaan bahan

peledak dalam penangkapan ikan. Berdasarkan konvensi Perserikatan

Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982 (United nation

Convention on the Law of the Sea 1982) pemerintah Indonesia telah

mersatifikasi dengan Undang-Undang No 17 Tahun 1985, kemudian

pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Undang-Undang No 45

Tahun 2009 Tentang Perikanan hal ini bertujuan agar para pelaku

penggunaan bahan peldak dalam penangkapan ikan dapat ditindak sesuai

dengan aturan. Pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang No 45

Tahun 2009 tentang Perikanan sesuai denga ketentuan-ketentuan

internasional dalam bidang perikanan dan mengakomodir masalah illegal

fishing khususnya masalah penggunaan bahan peledak dalam

penangkapan ikan serta dapat mengimbangi perkembangan kemajuan

teknologi yang berkembang saat ini. Dalam pelaksanaan penegakan

hukum dilaut Undang-Undang ini sangat penting dan strategis karena

menyangkut kepastian hukum dalam sektor perikanan.

Dalam hal ini menurut Kompol Esa (Kasi Gakum) pihak Dit Polair

Polda SulSel mengutamakan untuk menerapkan Undang-Undang No 45

Tahun 2009 tentang Perikanan karena dengan berlakunya Undang-

49
Undang No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan maka berbagai ketentuan

hukum mengenai pengawsan yang semakin tegas dan besar perannya,

seperti menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan

menahan. Selain itu penanganan pelanggaran atau tindak pidana juga

jelas diatur hukum acaranya. Beberapa kendala lain mengenai lama masa

penahan penyidik menerapkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun

1951. Diguanakannya Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 karena

pihak penyidik menganggap lebih muda dan menguntungkan bagi

penyidik karena secara formil proses penyidikan tetap mengacu kepada

KUHAP dan secara materil ancaman Pidananya jauh lebih tinggi. Penyidik

juga menerapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem

Budidaya Tanaman apabila masyarakat nelayan yang menangkap ikan

dengan bahan peledak, menggunakan bahan peledak yang tersusun dari

bahan berupa pupuk yang secara laboratoris dan yuridis bukan

merupakan bahan peledak.

Berdasarkan uraian diatas penyidik Dit Polair Polda SulSel berharap

dengan penggunan dan penerapan Peraturan perundang-undangan yang

tepat dapat memberikan vonis tegas kepada pelaku penyalahgunaan

bahan peledak dalam penangkapan ikan. Serta dapat memberikan efek

jera kepada pelaku sehingga dapat memberantas dan meminimalisir

penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di Provinsi Sulawesi

Selatan.

50
2. Memberi pengetahuan kepada masyarakat Nelayan tentang

dampak penggunaan bahan peledak dalam melakukan

penangkapan ikan serta meningkatkan kepedulian terhadap

lingkungan laut

Indonesia dikenal mempunyai potensi luasan sumberdaya alam

seperti ekosistem laut, namun mengalami penuruan kuantitas dan kualitas

ekologinya.Terjadi degradasi ekosistem, luasan dan spesies penting di

terumbu karang kian berkurang. Maraknya konversi utilitas sosial ekonomi

di pesisir dan pulau telah berdampak pada kondisi ekosistem tersebut.Jika

melihat kecenderungan pertambahan penduduk dan semakin terbatasnya

mata pencaharian (livelihoods) warga pesisir dan pulau-pulau maka bisa

dibayangkan dampaknya ke ekosistem lingkungan perairan Provinsi

Sulawesi Selatan.Tidak bisa dipungkiri bahwa masih sangat banyak terjadi

penggunaan bom ikan yang digunakan untuk menangkap ikan.Tindakan

ini memang dapat memudahkan penangkapan ikan namun dapat merusak

lingkungan seperti ekosistem karang.

Dalam hal ini menurut Kompol Esa (Kasi Gakum) pihak Dit Polair

Polda SulSel turun langsung dan memberikan pengarahan secara

langsung kepada masyarakat tentang pentingnya masyarakat

meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan. Masyarakat di bekali

dengan cara memanfaatkan perairan indonesia untuk menangkap ikan

dengan cara yang benar tanpa merusak lingkungan. Masyarakat nelayan

juga dibekali dengan cara menangkap ikan dengan menggunakan alat-

alat yang tidak merusak ekosistem laut dan tanppa menggunakan bahan

51
peleda pihak Dit Polair Polda SulSel juga memberikan pengetahuan

tentang dampak buruk dan bahaya dari menggunakkan bahan peledak

dalam menangkap ikan yang dapat berakibat buruk pada ekosistem laut

serta dapat merusak karang-karang yang dalam jangka panjang

mengakibatkan jumlah poulasi ikan di perairan dapat berkurang, serta

bahaya bahan peledak bagi keselamatan para nelayan yang apabila

digunakan tanpa pengetahuan bahan peledak tersebut dapat

membahayakan nyawa para nelayan yang sedang menangkap ikan. Dan

seperti yang diketahui bahan peledak yang digunakan oleh para nelayan

di buat sendiri oleh masyrakat tanpa mengetahui kadar dan susunan

bahan yang digunakan dalam membuat bahan peledak hal ini dapat

berakibat buruk bagi para nelayan, ikan tangkapan dan ekosistem laut

apabila terjadi kesalahan dalam pembuat bahan peledak tersbut.

Dengan pengarahan ini di harapkan agar masyarakat nelayan di

pesisir, dapat menjaga dan melestarikan lingkungan perairan di Provinsi

Sulawesi Sealatan. Serta para nelayan dapat mengetahui tentang dampak

dan bahaya pengunaan bahan peledak dalam menangkap ikan bagi

ekosistem laut dan bagi nelayan itu sendiri. Dengan begitu para nelayan

yang biasa menggunakan bahan peledak dalam menangkap ikan mau

beralih dan memulai menangkap ikan dengan peralatan dan cara yang

baik yang tidak merusak lingkungan perairan dan tidak membahayakan

bagi para nelayan saat menangkap ikan.

52
3. Bekerjasama dengan Instansi lain yang terkait serta

mengikutkan masyarakat secara langsung untuk berperan

mendukung pengawasan praktek Penyalahgunaan Bahan

Peledak dalam penangkapan ikan.

Dalam proses pemberantasan kasus penyakahgunaan bahan

peledak dalam penangkapan ikan Dit Polair Polda SulSel menurut Kompol

Esa (Kasi Gakum) instansi pemerintah lainnya serta masyarakat nelayan

secara langsung untuk turut berperan secara langsung dengan

mendukung pengawasan praktek illegal fishing khususnya penggunaan

bahan peledak dalam penangkapan ikan, peran serta masyarakat

dianggap sangat perlu karena dalam hal ini masyarakat terutama

kelompok-kelompok nelayan yang berhadapan langsung dengan kapal-

kapal nelayan yang terindikasi melakukan penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak. Menurut Kompol Esa (Kasi Gakum Dit

Polair Polda SulSel) strategi yang melibatkan peran masyarakat menjadi

prioritas, karena dengan peran serta secara langsung masyarakat

diharapkan dapat memiliki rasa tanggung jawab juga terhadap sumber

daya kelutan dan perikanan yang terdapat di perairan Provinsi Sulawesi

Selatan.

Menurut Kompol Esa (Kasi Gakum Dit Polair Polda SulSel), Dit Polair

Polda SulSel bekerjasama dengan instansi lain yaitu Dirjen Pengawasan

dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan telah

mengembangkan sistem pengawasan berbasis masyrakat (Siswasmas)

melalui pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas).

53
Sebelumnya keterlibatan masyarakat dalam upaya pengawasan Sumber

Daya Kelautan dan Perikanan telah dilakukan sejak lama, namun untuk

mengoptimalkan masyrakat Departemen Kelautan Dan perikanan menata

kelembagaannya sehungga menjadi Pokwasmas.

Pokwasmas ini merupakan pelaksana pengawasan di tingkat

lapangan yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat,

LSM, nelayan-nelayan iakn, serta masyarakat kelautan dan perikanan

lainnya. Kinerja Pokwasmas hanya sekedar melaporkan segala tindak

pelanggaran di periaran Provinsi Sulawesi Selatan khususnya

pelanggaran illegal fishing seperti pengunaan bahan peledak dalam

penangkapan ikan. Bila diduga terjadi pelanggaran maka pokasmas wajib

melaporkan kepada aparat Dit polair Polda SulSel atau aparat pengawas

terdekat.

Peningkatan upaya pengawasan di periran Provinsi sulawesi Selatan

ini di harapkan dapat memeberikan dampak positif pada produktivitas

usaha peikanan, dengan begitu upaya pengawasan ini juga di harapkan

dapat meminimalisir serta memberantas pelanggaran-pelanggaran

peyalahgunaaan pengunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan

bagi para nelayan-nelayan Provinsi Sulawesi Selatan.

4. Mengatasi kendala-kendala dalam proses pemeriksaan perkara

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak

Sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi tindak pidana

penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di Provinsi Sulawesi

Selatan para penyidik Dit Polair Polda SulSel menurut Kompol Esa (Kasi

54
Gakum Dit Polair Polda SulSel), pihaknya juga berusaha mengatasi

kendala-kendala yang terjadi selama proses pemeriksaan perkara

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak.

Penyidik Dit Polair Polda SulSel mengatasi kendala tersebut dari

berbagai kendala-kendala yang terjadi selama proses penyidikan mulai

dari tahap pengumpulan barang bukti,identifikasi saksi-saksi, serta

pemberian keterangan tersangka.

a. Pengumpulan barang bukti

Pada tahap ini penyidik menemui kendala dalam

penyimpanan barang bukti di sebabkan karena tidak adanya

tempat penyimpana berua lemari pendingin atau gudang

penyimpanan barang bukti, menyebabkan ikan berunah

bentukbahkan musnah karena busuk.

Untuk mengatasi hal ini penyidik Dit Polair Polda SulSel

selama ini menempuh cara dalam mengatasi tidak adanya alat

penyimpanan barang bukti tersebut dengan cara yaitu segera

melakukan pelelangan barang bukti. Dan penyidik juga menyiapkan

cara alternatif lain yaitu dengan meminjam keramba milik para

nelayan.

Dengan cara tersebut diharapkan agar barang bukti perkara

tindak pidana penangkapan ikan dengan menggunakan bahan

peledak dapat dijaga keasliannya dan yang berupa ikan bisa

digunakan untuk kepentingan pemeriksaan serta barang bukti

berupa ikan tersebut tidak mengalami kebusukan.

55
b. Identifikasi saksi

Untuk mengatasi kendala dalam proses identifikasi saksi

penyidik Dit Polair Polda SulSel dalam hal ini mengharapka peran

serta masyarakat untuk dengan sukarela menjadi saksi,jika

memang mendengar, melihat dan/atau mengalami sendiri tindak

pidana peangkapan ikan dengan penggunaan bahan peledak.

Hal ini menjadi perhatian untuk memberi pemahaman,

penyuluhan, sehingga pada saatnya tidak menyulitkan aparat

penegak hukum, upaya kongkritnya adalah meningkatkan

kesadaran hukum warga masyarakat khsusnya para nelayan agar

memiliki kesadaran hukum.

c. Keterangan tersangka

Disamping alat bukti keterangan saksi, keterangan

tersangka juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam

pengungkapan tindak pidana perikanan. Sebagaimana dinyatakan

oleh Kompol Esa (Kasi Gakum Dit Polair), dalam proses

pemeriksaan tersangka, berbagai upaya ditempuh oleh penyidik

agar tersangka bersifat kooperatif dan memberikan keterangan

yang dapat membantu proses penyidikan. Hal ini dilakukan karena

banyak modus operandi yang saat ini menjadi trend dapat diketahui

dari keterangan tersangka, misalnya terungkap bahwa bahan

peledak yang digunakan nelayan Di Provinsi Sulawesi selatan

didistrbusi/berasal dari Pasuruan Jawa Timur, Namun setelah

jaringan pengedar bahan peledak di pasuruan di bongkar, maka

56
banyak nelayan di Makassar membuat dan merakit bom sendiri,

yang tentunya resiko dan bahayanya mengancam sangat besar

bagi nelayan itu sendiri. Umumnya bahan peledak termasuk benda-

benda penyusunnya diperoleh para nelayan Sulawesi Selatan

dengan cara membeli dari pengedar bahan peledak illegal yang

antara lai berupa batang detonator, sabun atau bubuk sabun

artinya luluhan zat kimia yang berupa ammoniac nitratec (ANC)

yang merupakn isi dari peluru atau bom yang tidak meledak yang

telah di keluarkan dari kelongsongnya. Selain bahan peledak yang

diperoleh dari peluru yang dimana untuk memeperolehnya sangat

sulit, adapula bahan peledak berupa ammonium nitrate dalam

bentuk pupuk bercampur bahan bakar hydro carbon, secara ilmiah

disebut ANFO (Ammonium Nitrate Fuel Oil), yang saat ini sangat

umum dipergunakan sebagai bahan peledak oleh para nelayan

karena jumlahnya sangat banyak dan relatif mudah diperoleh.

Keterangan dari saksi ini diperoleh melalui perhatian yang

ekstra cermat dalam meneliti keterangan tersangka, disamping itu

dituntut pula kemampuan menyusun konstruksi yuridis dengan

menghubungkan keterangan tersangka kepada alat-alat bukti

lainnya, barang bukti dan segala data serta fakta perbuatan

tersangka.

d. Proses Penahanan

Untuk mengatasi persoalan dalam proses penahanan

dimana berlarut-larutnya proses penyidikan, hal ini ternyata dialami

57
oleh semua penyidik tindak pidana penangkapan ikan

menggunakan bahan peledak. Dimana para penyidik seakan-akan

lebih memperhatikan barang bukti daripada alat bukti, padahal

menurut ketentuan Hukum Acara Pidana, barang bukti bukan

merupakan alat bukti yang menjadi dasar keyakinan hakim untuk

menjatuhkan putusan. Pemahaman inilah yang perlu di perbaiki,

sehingga diharapkan jika aparat/petugas menemukan suatu

peristiwa yang diyakini merupakan suatu tindak pidana

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, tidak

adanya barang bukti tidak dijadikan alasan untuk tidak dilakukan

penyidikan terhadap kasus tersebut, apabila ada di tunjang oleh

dua alat bukti.

58
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada pembahasan diatas, maka kesimpulan

Penulis dalam skripsi ini, adalah sebagai berikut:

1. Faktor yang menyebabakan terjadinya penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak oleh nelayan diwilayah Provinsi

Sulawesi Selatan, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan

bahwa

a. Faktor penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak;

b. Kurangnya kepedulian masyarakat akan lingkungannya

terutama lingkungan laut;

c. Kurangnya pengetahuan masyarakat nelayan akan dampak

penggunaan bahan peledak dalam melakukan penangkapan

ikan;

d. Proses dalam pemeriksaan perkara penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak yang rumit dan berlarut-larut

59
2. Upaya penanggulangan penggunaan bahan peledak dalam

penangkapan ikan di Provinsi Sulawesi Selatan, untuk

menanggulangi penyalahgunan penggunaan bahan peledak dalam

penangkapan ikan di Provinsi Sulawesi Selatan,

a) Menegakkan hukum secara tegas dalam penerapan sanksi

piana terhadap pelaku tindak pidana penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak.

b) Memberi pengetahuan kepada masyarakat Nelayan tentang

dampak penggunaan bahan peledak dalam melakukan

penangkapan ikan serta meningkatkan kepedulian terhadap

lingkungan laut.

c) Bekerjasama dengan Instansi lain yang terkait serta

mengikutkan masyarakat secara langsung untuk berperan serta

mendukung pengawasan praktek Penyalahgunaan Bahan

Peledak dalam penangkapan ikan.

d) Mengatasi kendala-kendala dalam proses pemeriksaan perkara

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak.

B. Saran

Berdasarkan uraian pada kesimpulan diatas saran penulis dalam

skripsi ini adalah:

1. Penjatuhan sanksi pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana

penangkapan ikan ikan dengan menggunakan bahan peledak,

seharusnya bisa memberi efek jera bagi pelaku dan masyarakat

60
nelayan secara umumnya, yakni dengan jalan memeberikan

sanksi pidana yang berat/maksimal sesuai dengan ancaman

hukuman yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 45

Tahun 2009 tentang Perikanan yaitu ancaman 10 (sepuluh) tahun

penjara dan denda Rp 2.000.0000,00. (dua milyar rupiah).

2. Untuk mengaktifkan pelaksanaan penanganan tindak pidana

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak pada

tahap penyidikan, disarankan kepada penyidik Dit Polair Polda

SulSel untuk senantiasa menjalin hubungan koordinasi baik

antara penyidik perikanan maupun dengan penuntut umum tidak

bersifat pasif menunggu berkas perkara yang disampaikan

penyidik akan tetapi diharapkan lebih proaktif, misalnya penutut

umum sejak awal telah mengikuti perkembangan penyidikan,

sebab akan bermanfaat dalam kecepatan penelitian berkas

perkara dan bermanfaat pada saat melakukan penuntutan.

3. Untuk melakukan pengawasan yang lebih intensif terhadap

wilayah perairan di Provinsi Sulawesi Selatan, maka seharusnya

dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:

a. Perlu dilakukan peningkatan sumber daya manusia, baik

secara kualitatif maupu secara kauntitatif;

b. Perlu adanya peningkatan sarana dan prasarana penunjang

operasional;

c. Perlu adanya operasi pengamanan secara rutin, terpadu,

terkoordinasi dan dirahasiakan dengan terlebih dahulu

61
dibentuk tim gabungan secara institusi mewakili instansi

terkait.

d. Persoalan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak

langsung berkaitan erat dengan pemerintah, aparat, serta

masyarakat nelayan sehingga permasalahan yang timbul

bukan semata-mata persoalan hukum melainkan juga

permasalahan sosial yang harus diberikan solusi pendekatan

sosial guna pningkatan taraf hidup, serta pengetahuan dan

kesadaran masyarakat nelayan terhadap dampak yang timbul

akibat penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan

baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan.

e. Dalam pembuatan peraturan oleh legislatif atau pihak

regulator lainnya, hendaknya mempertimbangkan kinerja

pelaksana peraturan tersebut dilapangan sehingga peraturan

tersebut tidak hanya bagus dalam tataran konsep namun

dapat menjadi hukum yang hidup dan berlaku dalam

masyarakat.

62
DAFTAR PUSTAKA

Adi Sumardiman, 1982, Wawasan Nusantara, Surya Indah, Jakarta.

Adam Chazawi, Stelsel Pidana dalam Tanya Jawab, Ghalia, Indonesia.

Andi Hamzah & Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas sistem
pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta.

Andi Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta.

Djoko Prakoso, 1984, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan


Praktek Peradilan, Ghalia Indonesia.

Djoko Prakoso dan Nurwachid, 1984, Studi Tentang Pendapat- Pendapat


Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini,
Ghalia, Jakarta.

Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana ; Komentar atas Pasal-Pasal


Terpenting dari KUHP Belanda dan Pidananya dalam KUHP
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

M. Dimiyati Hartono, 1983, Hukum Laut Internasional Yurisdiksi Nasional


Indonesia sebagai Negara Nusantara, Bina Cipta, Bandung.

M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana ; Ide Dasar


Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

Muladi & Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung.

Mustafa Djuang Harahap, 1983, Yurisdiksi Kriminal di Perairan Indonesia


yang Berkaitan Dengan Hukum Internasional, Alumni,
Bandung.

P.A.F lamintang, 1984, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,


Bandung.

P.A.F lamintang, 1988, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung.

Wirjono, 1986, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia PT. Erseco


Bandung.

63
Undang- Undang :

Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana.

Kitab Undang- undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009.

Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.

Website :
http://hankam.kompasiana.com/2010/09/04/wilayah-perairan-indonesia/
yusriantokadir.files.wordpress.com/.../handout-penologi-part-4-
6.ppt..www.djpp.depkumham.go.id/.../713_Pidana
%20dan%20Pemidanaan.

64

Anda mungkin juga menyukai