1. Obat tidur
PENATALAKSANAAN GANGGUAN TIDUR
Langkah pertama untuk mengatasi insomnia sekunder terhadap gangguan medik atau
psikiatrik adalah mengoptimalkan terapi terhadap penyakit yang mendasarinya.
Cara farmakologik dan nonfarmakologik diperlukan untuk terapi gangguan tidur baik
primer maupun sekunder.
Farmakologik
a. Benzodiazepin paling sering digunakan dan tetap merupakan pilihan utama untuk
mengatasi insomnia baik primer maupun sekunder. Dosis harus kecil dan durasi
pemberian harus singkat. Benzodiazepin dapat direkomendasikan untuk dua atau
tiga hari dan dapat diulang tidak lebih dari tiga kali. Penggunaan jangka panjang
dapat menimbulkan masalah tidur atau dapat menutupi penyakit yang mendasari.
Penggunaan benzodiazepin harus hati-hati pada pasien penyakit paru obstruktif
kronik, obesitas, gangguan jantung dengan hipoventilasi.
Benzodiazepin dapat mengganggu ventilasi pada apnea tidur. Efek samping
berupa penurunan kognitif dan terjatuh akibat gangguan koordinasi motorik sering
ditemukan. Oleh karena itu, penggunaan benzodiazepin pada lansia harus hatihati
dan dosisnya serendah mungkin.
Benzodiazepin dengan waktu paruh pendek (triazolam dan zolpidem) merupakan
obat pilihan untuk membantu orangorang yang sulit masuk tidur. Sebaliknya, obat
yang waktu paruhnya panjang (estazolam, temazepam, dan lorazepam) berguna
untuk penderita yang mengalami interupsi tidur. Benzodiazepin yang kerjanya
lebih panjang dapat memperbaiki anksietas di siang hari dan insomnia di malam
hari.
Triazolam tidak menyebabkan gangguan respirasi pada pasien COPD ringan-
sedang yang mengalami insomnia. Neuroleptik dapat digunakan untuk insomnia
sekunder terhadap delirium pada lansia. Dosis rendah-sedang benzodiazepin
seperti lorazepam digunakan untuk memperkuat efek neuroleptik terhadap tidur.
Sebagian obat golongan benzodiazepin dimetabolisme di hepar. Oleh karena itu,
pemberian obat-obat yang menghambat oksidasi sitokrom (seperti simetidin,
estrogen, INH, eritromisin, dan fluoxetine) dapat menyebabkan sedasi berlebihan
di siang hari.
b. Antidepresan yang bersifat sedatif seperti trazodone dapat diberikan bersamaan
dengan benzodiazepin pada awal malam. Antidepresan kadang-kadang dapat
memperburuk gangguan gerakan terkait tidur (RLS).
Mirtazapine merupakan antidepresan baru golongan noradrenergic and specific
serotonin antidepressant (NaSSA). Ia dapat memperpendek onset tidur, stadium 1
berkurang, dan meningkatkan dalamnya tidur. Latensi REM, total waktu tidur,
kontinuitas tidur, serta efisiensi tidur meningkat pada pemberian mirtazapine.
Obat ini efektif untuk penderita depresi dengan insomnia tidur.
c. Kloralhidrat dapat pula bermanfaat dan cenderung tidak disalahgunakan.
Khloralhidrat dan barbiturat jarang digunakan karena cenderung menekan
pernafasan.
d. Antihistamin, prekursor protein seperti l-triptofan yang saat ini tersedia dalam
bentuk suplemen juga dapat digunakan. Antihistamin dan difenhidramin
bermanfaat untuk beberapa pasien tapi penggunaannya harus hati-hati karena
dapat menginduksi delirium.
e. Obat hipnotik hendaklah digunakan dalam waktu terbatas atau untuk mengatasi
insomnia jangka pendek. Penggunaan jangka panjang obat hipnotik tidak
dianjurkan.
f. Tidak dianjurkan menggunakan imipramin, desipramin, dan monoamin oksidase
inhibitor pada lansia karena dapat menstimulasi insomnia.
g. Lithium dapat menganggu kontinuitas tidur akibat efek samping poliuria.
h. Melatonin merupakan hormon yang disekresikan oleh glandula pineal. Ia
berperan mengatur siklus tidur. Efek hipnotiknya terlihat pada pasien gangguan
tidur primer. Ia juga memperbaiki tidur pada penderita depresi mayor. Melatonin
juga dapat memperbaiki tidur, tanpa efek samping, pada lansia dengan insomnia.
Melatonin dapat ditambahkan ke dalam makanan.
JUMP 3
1. Fisiologi miksi
Kandung kemih terdiri dari 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor,
lapisan submukosa, dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian
kandung kemih terjadi, dan bila otot detrusor berkontraksi pengosongan kandung
kemih atau proses berkemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh
aktivitas parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sfingter
urethra internal menyebabkan urethra tertutup, sebagai akibat kerja aktivitas saraf
simpatis yang dipicu oleh noradrenalin.
Ketika kandung kemih mulai terisi oleh urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf
pelvis dan medula spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal
(pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi
sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk
berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggembungan kandung
kemih disadari, dan pusat kortikal (lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran
urin. Gangguan pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat
mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin.
Ketika desakan berkemih terjadi, rangsang saraf dari korteks disalurkan melalui
medula spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis
kemudian menyebabkan otot detrusor kontraksi sehingga terjadi pengosongan
kandung kemih. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan
pengurangan kontraktilitas otot.
2. Interpretasi pemeriksaan lab
- Protein urin
(-) :0
(+1) : 30 mg/dl
(+2) : 100 mg/dl
(+3) : 300 mg/dl
(+4) : 2000 mg/dl
Dikatakan proteinuria apabila didapatkan >300 mg/dl protein dalam urin atau +3.
Pada skenario tergolong proteinuria karena didapatkan hasil 300 mg/dl.
Proteinuria biasa didapatkan pada pasien dengan penyakit ginjal akibat kerusakan
glomerulus atau gangguan raebsorbsi tubulus ginjal.
- Leukosit
Normal: 0 4 sel / LPB
Pada skenario didapatkan 50/LPB menunjukkan adanya leukosit berlebih pada
urin. Jumlah leukosit yang berlebih menandakan adanya peradangan, infeksi
maupun tumor.
- Kreatinin
Normal: 0,5 1,5 mg/dl
Nilai kreatinin daat sebagai petunjuk menentukan kemampuan filtrasi ginjal.
Jumlah kreatinin pada skenario juga menunjukkan hasil diatas normal sehingga
terdapat kemungkinan penurunan fungsi filtrasi pada ginjal.
- Gula darah sewaktu (GDS)
Normal : < 140 mg/dl
Pre diabetic : 140 200 mg/dl
Diabetic : > 200 mg/dl
Pada skenario nilai gula darah sewaktu pasien adalah 350 mg/dl menunjukkan
pasien termasuk dalam kategori diabetes.
DAFPUS:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds) (2009). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III. Jakarta; Interna Publishing