Masalah:
1. Memiliki pengetahuan numerik itu sangat berguna untuk hidup didunia, banyak sekali
kegiatan manusia yang menggunakan pengetahuan numeric, namun anak yang terhambat
Perkembangan Dyscalculia (DD) pada masa kanak-kanak tidak dapat melakukan operasi
dasar seperti pejumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.apabila hal ini
dibiarkan tentu akan berdampak buruk pada sekolah dan karir profesional masa depan
karena menderita DD.
Analisis Latar belakang:
1. Pada latar belakang terdapat kesenjangan yang terjadi antara teoritis dan fakta
dilapangan, pada teorinya kelima sistem Kognisi Numerik secara bertahap meningkat
secara dinamis namun hal ini tidak terjadi pada anak yang mengalami ganguan DD
2. DD merupakan masalah yang penting untuk dipecahkan karena jika anak tidak dapat
menguasai kemampuan numeric anak tidak dapat melakukan aktivitas sebagaimana
mestinya. Seperti yang kita ketahui jika penggunaan operasi dasar matematika sangat
sering kita jumpai baik disekolah, masyarakat, dan pasar. Jika anak tidak dapat
melakukan hal seperti itu maka hal itu akan berdampak buruk bagi masa depannya.
3. Penulis banyak sekali menunjukkan bukti melalui studi literaturnya jika pendidikan
musik berhubungan erat dengan prestasi belajar matematika.
Gender Differences in Achievement in an Inquiry-Based Learning Precalculus
Course
Literatur pendidikan dipenuhi dengan teori dan pendekatan untuk belajar dan mengajar
berdasarkan gagasan bahwa metode yang berpusat pada guru, yang didominasi oleh ceramah dan
demonstrasi dengan latihan dan latihan hafalan, adalah cara yang tidak efektif untuk
mempromosikan pembelajaran yang bermakna.
Pembelajaran Berbasis Masalah, Pembelajaran Berbasis Inquiry, Pembelajaran
Berorientasi Proses Berpandu Pembelajaran, Pembelajaran Discovery, dan Pembelajaran
Experiential adalah beberapa label untuk metode pengajaran yang dipraktikkan secara luas yang
berbagi tema umum yang dipelajari siswa paling baik saat mereka terlibat aktif dalam
pembelajaran. ruang kelas. Pendukung jenis pendekatan ini sering mendukung pekerjaan mereka
dengan teori pembelajaran konstruktivis yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki
seperangkat pengalaman dan interaksi unik dengan dunia dan karenanya harus membangun
pengetahuannya sendiri (misalnya, Cobb, 1994; Confrey, 1990; von Glasersfeld, 2003).
Metode Moore adalah sebuah metode pembelajaran yang didalam kegiatann
pembelajaran tidak ada ceramah atau buku teks yang digunakan untuk menyajikan materi. Dalam
kelas matematika kelas atas berbasis bukti, para siswa diberi serangkaian definisi, aksioma, dan
teorema dan menugaskan tugas untuk mengerjakan dan menyajikan bukti ke teorema. Metode
Moore bukanlah metode yang sempurna sehingga metode tersebut mendapat kritikan yang
mengatakan jika metode moore mungkin sesuai untuk kursus matematika berbasis tingkat atas
dan terbukti, namun pendekatan semacam itu tidak akan pernah berhasil untuk kursus tingkat
rendah dengan ukuran kelas yang lebih besar, dengan kesiapan yang kurang, dan kurangnya
motivasi. Memegang prinsip jika siswa akan belajar matematika dengan melakukan matematika
beberapa penulis telah menyajikan modifikasi dari Metode Moore, yang secara kolektif disebut
Modified Moore Method (metode moore yang dimodifikasi). Modifikasi Chalice (1995)
memiliki banyak siswa yang menyajikan secara serentak di papan tulis untuk meningkatkan
kecepatan ulasan, menggunakan latihan yang lebih mudah untuk membuat materi lebih mudah
dipahami oleh siswa yang lemah, memberikan pujian kepada karya siswa sehingga siswa dapat
lebih memperhatikan diskusi, dan membagi materi menjadi beberapa unit dengan ujian. Cohen
(1982) menangani masalah ukuran kelas yang lebih besar dengan meminta siswa mengerjakan
dan menyampaikan pemecahan masalah dalam kelompok dan merekomendasikan jumlah siswa
hingga 25 orang. W. T. Mahavier (1997) menggabungkan pemecahan masalah dan presentasi
siswa dengan ceramah. Mahavier melaporkan keberhasilan dalam berbagai kelas tingkat rendah
seperti aljabar, trigonometri, dan precalculus, namun dia berpendapat bahwa kelas tingkat rendah
biasanya memerlukan waktu yang lebih banyak.
Pada saat studi yang dijelaskan dalam makalah ini, kami tidak dapat menemukan hasil
empiris yang dipublikasikan yang membandingkan keefektifan MMM dengan metode tradisional
di mata kuliah matematika tingkat rendah. Kami tertarik dengan perdebatan yang sedang
berlangsung tentang apakah instruksi langsung lebih efektif daripada metode inquiry-base, dan
kami tertarik untuk melihat apa yang akan terjadi jika kami mencoba menerapkan versi MMM
kami sendiri di kelas precalculus kami, yang biasanya berkisar dalam ukuran Dari 30 sampai 38
siswa. Dengan dana dari Educational Advancement Foundation, kami dapat melakukan studi
eksperimen semu (Reichardt, 2009) di mana masing-masing penulis mengajarkan dua bagian
precalculus; Satu menggunakan pendekatan ceramah tradisional dan yang lainnya menggunakan
pendekatan MMM.
Identifikasi masalah:
1. Tidak adanya studi yang membuktikan mana yang lebih efektif digunakan antara metode
MMM dengan metode tradisional untuk mengajar siswa dengan jumlah yang banyak,
seperti diketahui bahwa metode Moore tidak dapat berjalan pada kelas yang jumlah
siswanya banyak sedangkan pengembangan dari Moore sendiri yaitu MMM membatasi 1
kelas berisi 25 siswa.
Eric Fredua-Kwarteng
Identifikasi masalah:
1. Mengidentifikasi konseptualisasi calon guru tentang sifat matematika dan untuk
mengeksplorasi implikasi konseptualisasi tersebut untuk pengajaran dan pembelajaran
Analisis Latar belakang:
1. Secara filosofis, dua aliran pemikiran dominan dapat dikaitkan dengan sifat matematika:
Absolutisme dan fallibilisme (Ernest, 1996). Orientasi absolutis memandang matematika
sebagai badan pengetahuan objektif, absolut, dan tidak dapat diperbaiki yang telah
ditemukan dan dibangun di atas pondasi logika deduktif. Filosofi fallibilist, di sisi lain,
memandang matematika sebagai konstruksi sosial, salah dan terbuka terhadap revisi dan
interpretasi sehubungan dengan bukti dan konsepnya. Orientasi filosofis ini cenderung
mempengaruhi pengajaran dan pembelajaran matematika, hal ini didukung oleh
pernyataan Dossey (1992) yang berpendapat bahwa konseptualisasi sifat matematika
dapat mempengaruhi pengajaran matematika dan pada akhirnya membentuk bagaimana
anak memandang matematika dan perannya di dunia. Demikian pula, Presmeg (2002)
berpendapat bahwa konseptualisasi tentang sifat matematika dapat menjadi kekuatan
yang memungkinkan atau menghalangi untuk "menjembatani proses antara praktik
sehari-hari dan matematika sekolah" (hal 295). Ilmu pengetahuan itu bergerak dinamis
dan mengikuti perkembangan zaman jangan sampai calon guru memiliki konseptualisasi
yang salah, karena berimbas pada pengajaran kita kepada murid. Seorang murid
cenderung meniru dari apa yang diajarkan oleh gurunya. Apabila guru mengajarkan
konseptualisasi yang salam dan menanamkan filosofinya kepada anak maka hal ini sangat
berbahaya mengingat anak adalah masa depan dari bangsa. Sebaiknya universitas yang
membuka jurusan matematika membahas tentang sifat matematika dan memastikan
mereka untuk memegang konseptualisasi secara benar.
Development of the Future Mathematics Teachers Constructive Skills