Anda di halaman 1dari 2

Dokter untuk Indonesia Bebas Rokok

oleh Muhamad Husen Ali

Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada tahun 2011 menyebutkan bahwa
Indonesia adalah negara penghasil tembakau terbesar kelima di dunia. Tingginya
produksi tembakau juga menempatkan Indonesia dalam lima besar negara produsen
dan pengekspor rokok. Tidak hanya diekspor, rokok produksi lokal juga diminiati
oleh masyarakat Indonesia. Sekitar 34,8% atau 57,6 juta penduduk Indonesia adalah
perokok aktif dan rata-rata usia saat mulai merokok adalah 17 tahun. Tidak heran jika
Indonesia menepati posisi ketiga dari 195 negara di dunia sebagai negara konsumen
rokok. Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan bukan?
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa rata-rata
konsumsi rokok per orang di Indonesia adalah dua belas batang per hari. Sebanyak
35% perokok berasal dari kelompok masyarakat sosial-ekonomi rendah. Hal ini
sungguh merupakan sebuah ironi. Keluarga dengan perokok menghabiskan rata-rata
11,5% pendapatan keluarga hanya untuk membeli rokok, bandingkan dengan biaya
untuk membeli lauk pauk yang hanya menghabiskan 11%, biaya pendidikan sebesar
3,2%, dan biaya kesehatan sebesar 2,3% dari total pendapatan keluarga tersebut.
Gencarnya pemasaran produk dan harga rokok yang murah merupakan
beberapa faktor yang menyebabkan jumlah perokok di Indonesia terus meningkat.
Selain itu, lemahnya kebijakan pemerintah dalam pengendalian rokok juga turut
mendukung bertambahnya jumlah perokok. Hal ini dibuktikan dari rendahnya pajak
untuk rokok di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Indonesia juga
merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang belum meratifikasi
the Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Dengan bertambahnya
jumlah perokok aktif maka akan bertambah pula jumlah perokok pasif.
Seperti yang sudah diketahui bersama, baik perokok aktif maupun perokok pasif
sama-sama berisiko terkena penyakit akibat rokok, bahkan perokok pasif dikatakan
memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan perokok aktif. Beberapa
penelitian retrospektif di indonesia menunjukkan adanya hubungan antara perilaku
merokok dengan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular (termasuk stroke), penyakit
saluran napas, dan kanker. Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa stroke adalah
penyebab kematian tertinggi, yaitu sebanyak 15,4% dari total kematian, diikuti oleh
kanker (5,7%) dan penyakit hantung koroner (5,1%).
Tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai bahaya merokok dapat
dikatakan baik. Sebagian besar masyarakat Indonesia tahu bahwa merokok dapat
menyebabkan penyakit yang serius seperti serangan jantung dan kanker paru-paru.
Sebanyak 73.7% masyarakat Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas juga percaya
bahwa menadi perokok pasif dapat meniyebabkan penyakit serius. Lantas, mengapa
masih banyak masyarakat yang tetap merokok?
Setiap tahun, pada tanggal 31 Mei kita memperingati Hari Tanpa Tembakau
Sedunia (WNTD atau World No Tobacco Day), untuk mengingatkan tentang risiko
kesehatan karena merokok dan advokasi kebijakan yang efektif untuk mengurangi
konsumsi tembakau. Menjadi seorang dokter tidak selalu berkutat dengan pasien dan
penyakit, tidak selalu berada di klinik maupun rumah sakit. Seorang dokter dapat ikut
melakukan advokasi mengenai pengendalian rokok baik di tingkat lokal maupun
nasional, terutama dokter yang bekerja di birokrasi atau dokter yang menjadi anggota
dewan. Dokter dapat berkomunikasi dengan pemangku kebijakan di berbagai bidang
lain yang terkait dengan pengendalian rokok. Misalnya, dokter dapat mengadakan
audiensi dengan anggota DPR dan Pemerintah untuk segera menandatangani FCTC
dan memasukkan nikotin dalam tembakau sebagai zat adiktif ke dalam Undang-
Undang Narkotika.
Dokter sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat tentu
memiliki peran untuk turut mewujudkan Indonesia bebas rokok. Salah satu hal kecil
yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa
merokok menyebabkan adiksi dan menimbulkan bahaya kesehatan. Sebagai contoh,
dokter dapat mengedukasi pasien yang memiliki penyakit terkait perilaku merokok
bahwa penyakitnya tersebut timbul dan diperparah oleh perilaku meroko serta
mendorong masien agar dapat berhenti merokok. Masalahnya, tidak sedikit dokter
yang juga merupakan seorang perokok. Padahal di mata masyarakat, dokter
merupakan role model perilaku hidup sehat. Jadi sudah sepantasnya seorang dokter
memberi teladan mengenai perilaku tanpa rokok di berbagai kesempatan. Tentu malu
kan kalau seorang dokter sedang mengedukasi pasien, lalu pasiennya berkata Ah,
buat apa saya berhenti merokok, toh dokternya juga merokok.?

Anda mungkin juga menyukai