Anda di halaman 1dari 31

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA: UVERITIS POSTERIOR

1.1 Anatomi Uvea


Uvea erupakan lapisan vascular di dalam bola mata yang terdiri dari iris, korpus siliar
dan khoroid. Bagian ini adalah lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan
sklera..1,2

Gambar 1. Anatomi Uvea

Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa suatu permukaan pipih
dengan apertura bulat yang terletak di tengah pupil. Iris terletak bersambungan dengan
permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera anterior dari kamera posterior, yang
masing-masing berisi aqueus humor. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator.
Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina
dan lapisan epitel pigmen retina ke arah anterior. Pasok darah ke iris adalah dari sirkulus major
iris. Kapiler-kapiler iris mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang sehingga normalnya
tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena. Persarafan iris adalah melalui
5
serat-serat di dalam nervus siliares. Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam
mata. Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi
akibaaktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang
ditimbulkan oleh aktivitas simpatik.1
Korpus siliaris yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang,
membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Korpus siliaris
terdiri dari suatu zona anterior yang berombakombak, pars plikata dan zona posterior yang datar,
pars plana. Prosesus siliaris berasal dari pars plikata. Prosesus siliaris ini terutama terbentuk dari
kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena vortex. Kapiler-kapilernya besar dan
berlobang-lobang sehingga membocorkan floresein yang disuntikkan secara intravena. Ada 2
lapisan epitel siliaris, satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang merupakan perluasan
neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan perluasan dari
lapisan epitel pigmen retina. Prosesus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi
sebagai pembentuk aqueus humor.1

Gambar 2. Lapisan Khoroid

6
Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Khoroid tersusun dari
tiga lapisan pembuluh darah khoroid; besar, sedang dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak
di dalam khoroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah khoroid dikenal
sebagai khoriokapilaris. Darah dari pembuluh darah khoroid dialirkan melalui empat vena
vortex, satu di masing-masing kuadran posterior. Khoroid di sebelah dalam dibatasi oleh
membran Bruch dan di sebelah luar oleh sklera. Ruang suprakoroid terletak di antara khoroid
dan sklera. Khoroid melekat erat ke posterior ke tepi-tepi nervus optikus. Ke anterior, khoroid
bersambung dengan korpus siliare. Agregat pembuluh darah khoroid memperdarahi bagian luar
retina yang mendasarinya.1,2
Perdarahan uvea dibedakan antara bagian anterio yang diperdarahi oleh 2 buah arteri
siliar posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal dan nasal dekat tempat masuk
saraf optic dan 7 buah arteri siliar anterior, yang terdapat 2 pada setiap otot superior, medial
inferios pada otot rektus lateral. Arteri siliar anterior dan posterior ini bergabung menjadi satu
membentuk arteri sirkularis mayor pada badan siliar. Uvea posterior mendapat perdarahan dari
15-20 buah arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera di sekitar tempat masuk saraf
optik.

1.2. Definisi

Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina, meliputi koroiditis,
korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonol), retinokoroiditis (bila perdangan
retinanya lebih menonjo), retinitis dan uveitis disseminta. Kebanyakan kasus iveitis posterior
bersamaan dengn salah satu bentuk penyakit sistemik.

1.3 Etiologi

Etiologi uveitis posterior seringkali dapat ditegakkan berdasarkan :6 1). Morfologi lesi,
2). Onset dan perjalanan penyakit, 3). Hubungan dengan penyakit sistemik

a. Infeksi

Virus : CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, virus defisiensi
imun manusia HIV), virus eipstein Barr, virus coxsackie, nekrosis retina akut.

7
Bakteri : Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan endemic,
Nocardia, Mycobacterium avium-intracellulare, Yarsinia, dan borella (penyebab
penyakit Lyme).
Fungus : Candida, histoplasma, Cryptococcus, dan aspergillus
Parasit: Toxoplasma, toxocara, cysticercus, dan onchocerca

b. Non Infeksi

Autoimun:
- Penyakit Behcet - Oftalmia simpleks
- Sindrom vogt-koyanagi-Harada - Vaskulitis retina

Keganasan:
- Sarkoma sel reticulum - Leukemia
- Melanoma maligna - Lesi metastatik

Etiologi tak diketahui:


- Sarkoidosis - Retinopati birdshot
- Koroiditis geografik - Epiteliopati pigmen retina
- Epitelopati pigmen piakoid multifocal akut

1.4 Klasifikasi

Klasifikasi uveitis berdasarkan lokasi atau posisi anatomis lesi yaitu uveitis anterior,
uveitis intermedia, uveitis posterior dan panuveitis atau uveitis difus. Ada juga yang membagi
berdasarkan derajat keparahan menjadi uveitis akut, uveitis subakut, uveitis kronik dan uveitis
eksaserbasi. Pembagian lain uveitis berdasarkan patologinya yaitu uveitis granulomatosa dan
uveitis non-granulomatosa. Dan ada juga pembagian uveitis berdasarkan demografi yang
berdampingan dengan faktor terkait seperti jenis kelamin, ras, usia, geografis, unilateral/bilateral
dan lain-lain; serta pembagian uveitis berdasarkan etiologinya. 5

8
Kelainan yang termasuk ke dalam uveitis posterior diantraanya sebagai berikut :

Khoroiditis
Retinochoroiditis/chorioretinitis
Retinitis
Neuroretinitis
Granuloma
Mass lesions 7

Khoroiditis 3,4

Khoroiditis merupakan peradangan yang terjadi pada khoroid. Khoroiditis jarang


berdiri sendiri, tetapi hamper selalu bermasaman dengan peradangan retina, yang
disebut dengan korioretinitis. Terdpaat 2 macam khoroiditis :3

o Khoroiditis eksudativa (non supurativa) :

Terdapat 3 bentuk, yaitu :

Diseminata : Ejsudat berkelompok, bias terbatas diperifer ataupun


meliputi seluruh fundus seperti pada TB milier.
Difus : Bercak eksudat dikoroid meluas kebagian koroid yang
masih sehat.
Sirkumskripta : eksudat terbatas, soliter. Biasanya terdapat pada
lues, TB, toxoplasma, infeksi fokal
o Khoroiditis purulenta ( supurativa)
Endiftalmitis supurativa
Endoftalmitis septika

1.5 Gambaran klinis3

Koroiditis non supurativa

Keluhan bergantung pada lokalisasi :

- Bila mengenai macula, walaupun mengenai daerah kecil, visus


cepat sangat terganggu
9
- Bila yang diserang daerah luar macula, walaupunn besar, visus
sentral tidak terganggu, yang terganggu hanya timbul scotoma
yang kadang-kadang besar, tetapi kadang-kadang baru dijetahui
pada pemeriksaan kampus. Yang dinamakan dengan scotoma (-)
- Metamorfopsi, yang berupa mikropsi dan makropsi, dimana oleh
akrena adanya eksudat, sel batang dan kerucut tidak berkumpul
secara etratur lag. Bila cahaya suatu objek mengenai kelompok
yang banyak sel penglihatan, maka benda itu akan tampak lebih
kecil sehingga timbul distorsi dari benda-benda ynag terlihat.
- Fotopsi, meliat benda seperti berpijar .

Tanda objektif : dapat diketahui dengan melakukan pemeriksana fundus. Pada


pemeriksaan fundus tampak bercak yang berwarna kekuningan, berbatas tegas
dimana diatasnya masih berjalan pembuluh darah retina. Apabila peradangan telah
menjalar ke retina, tempat tersebut tidak tampak lagi.

Gambar 1. Toxoplasmosis okular

Koroiditis supurativa/ purulenta

Koroiditis ini disebabkan oleh endoftalmitis supurativa dan endoftalmitis


septika. Penyebabnya adalah kuman piogen yang dating secara :

10
- Eksogen : melalui peeforasi bulbus okuli, akibat luka kecelakaan atau operasi.
Juga dapat melalui ulkus kornea perforate, leucoma adherens yang tipis dan
fistula kornea

- Endogen : merupakan metastase hematogen dari suatu tempat ditubuh, emboli


yang lebih dalam meningitis pada anak, skarlatina

- Per kontinuitatum, misalnya keratitis atau selulitis yang menjalar ke daerah


yang lebih dalam dari mata.

1.6. Diagnosis 4,7

Uveitis dapat disebabkan oleh peradangan uvea, merupakan bagian dari penyakit
sistemik, perluasan peradangan di kornea dan sklera, serta trauma walaupun sebagian idiopatik.
Diagnosis klinis mudah ditegakkan tetapi diagnosis pasti berdasarkan etiologi merupakan
tantangan bagi dokter spesialis mata sehingga penatalaksaan uveitis yang cepat dan tepat untuk
mencegah kebutaan juga sulit.

Anamnesis dan pemeriksaan mata bernilai tinggi dalam menentukan diagnosis klinis
kelainan mata. Sandler menyatakan bahwa 56% diagnosis diperoleh dari anamnesis dan
meningkat sampai 73% setelah pemeriksaan fisik termasuk mata. Pemeriksaan laboratorium
hanya meningkatkan 5% diagnosis namun paling banyak memerlukan biaya sehingga perlu
dipilih sesuai kebutuhan setiap pasien (cost effective and taylor made).

Klasifikasi uveitis yang disusun oleh SUN sangat membantu menegakkan diagnosis
uveitis. Pada klasifikasi tersebut, uveitis dibagi menjadi uveitis anterior, uveitis intermediet,
uveitis posterior, dan panuveitis.

Anamnesis

Gejala uveitis anterior dapat berupa nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, injeksi siliar,
dan hipopion. Uveitis posterior dapat menurunkan tajam penglihatan namun tidak disertai nyeri,
mata merah, dan fotofobia bahkan sering asimtomatik. Gejala uveitis intermediet umumnya
ringan, mata tenang dan tidak nyeri namun dapat menurunkan tajam penglihatan. Selain itu,
perlu diperhatikan usia, ras, onset, durasi, tingkat keparahan gejala, riwayat penyakit mata dan
penyakit sistemik sebelumnya.
11
Pemeriksaan oftalmologi

Slit-lamp digunakan untuk menilai segmen anterior karena dapat memperlihatkan injeksi
siliar dan episklera, skleritis, edema kornea, presipitat keratik, bentuk dan jumlah sel di bilik
mata, hipopion serta kekeruhan lensa. Pemeriksaan oftalmoskop indirek ditujukan untuk menilai
kelainan di segmen posterior seperti vitritis, retinitis, perdarahan retina, koroiditis dan kelainan
papil nervus optik.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium bermanfaat pada kelainan sistemik misalnya darah perifer


lengkap, laju endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear antibody. Pemeriksaan
laboratorium tidak bermanfaat pada kondisi tertentu misalnya uveitis ringan dan trauma. Untuk
mendiagnosis infeksi virus dapat dilakukan pemeriksaan PCR, kultur dan tes serologi.
Sensitivitas serologi akan meningkat bila disertai pemeriksaan koefisien goldmannwitmer yaitu
membandingkan konsentrasi hasil pemeriksaan cairan akuos dengan serologi darah. Diagnosis
pasti toksoplasmosis ditegakkan jika pemeriksaan IgM Toxoplasma memberikan hasil positif
atau jika titer antibodi IgG Toxoplasma meningkat secara bermakna (4x lipat) atau terjadi
konversi IgG dari negatif ke positif pada pemeriksaan kedua dengan interval 2-3 minggu.
Pemeriksaan cairan intraokular dengan PCR sangat spesifik. Perbandingan kadar IgG
Toxoplasma cairan akuos dan serum cukup sensitif (4890%). Diagnosis tuberkulosis okular
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan mata, dan pemeriksaan penunjang seperti
rontgen toraks, tes tuberkulin, dan pemeriksaan sputum dengan pewarnaan ziehl-neelsen.
Pemeriksaan lainnya adalah PCR (menggunakan spesimen dari aqueous tap atau biopsi vitreus),
dan interferon-gamma release assay (IGRA). PCR sangat spesifik untuk mendeteksi
Mycobacterium namun sensitivitasnya bervariasi. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan ditemukannya Mycobacterium dari spesimen okular (kultur atau amplifikasi
DNA).

Pemeriksaan serologi sifilis dibagi menjadi nontreponema dan treponema. Serologi


nontreponema meliputi venereal disease research laboratory (VDLR) dan rapid plasma reagin
sedangkan serologi treponema meliputi fluorescent treponemal antibody absorbed dan
T.pallidum particle agglutination.

12
Pemeriksaan penunjang

Optical coherence tomography (OCT)

OCT merupakan pemeriksaan non-invasif yang dapat memperlihatkan edema


makula, membran epiretina, dan sindrom traksi vitreomakula. Saat ini telah
dikembangkan high-definition spectraldomain OCT yang memberikan resolusi lebih
tinggi dan waktu lebih singkat dibandingkan time-domain OCT. Spectral-domain OCT
bermanfaat pada uveitis dengan media keruh.

USG B-scan

USG B-Scan sangat membantu memeriksa segmen posterior mata pada keadaan
media keruh misalnya pada katarak dan vitritis. USG B-scan dapat membedakan
ablasio retinae eksudatif dengan regmatosa serta membedakan uveitis akibat
neoplasma atau abses. USG B-scan dapat menilai penebalan koroid seperti pada
sindrom VKH dan menilai pelebaran ruang tenon yang sangat khas pada skleritis
posterior.

Fundus fluoresen angiografi (FFA)

FFA adalah fotografi fundus yang dilakukan berurutan dengan cepat setelah
injeksi zat warna natrium fluoresen (FNa) intravena. FFA memberikan informasi
mengenai sirkulasi pembuluh darah retina dan koroid, detail epitel pigmen retina dan
sirkulasi retina serta menilai integritas pembuluh darah saat fluoresen bersirkulasi di
koroid dan retina. Fluoresen diekskresi dalam 24 jam dan pada waktu tersebut dapat
menyebabkan urin pasien berwarna oranye.

13
1.7. Penatalaksanaan 8

a. Medikamentosa

Terapi Sistemik

Tatalakana pada pasien dengan uveitis posterior bergantung pada etiologi.


Berbeda dengan uveitis anterior, pasien dengan penyakit pada segme posterior lebih
sering memerlukan tatalaksana sistemik. Beberapa kalianan apda choroid seperti
acute posterior multifocal placoid pigment epitheliopathy dan white dot syndrome
dapat remisi spontan sehingga terkadang tidak memperlukan terapi. Sedangkan tipe
lain memerlukan tatalaksana baik sistemik dana tau antibiotic melalui intravitreal
atau antivirus. Contohnya adalah toxoplasmosis, yang membutuhkan antibiotic
sistemik pada pasien yang disertai dengan kelainan pada mata. Acute retinal
necrosis, cytomegalovirus retinitis, ocular syphilis, dan tuberculosis adalah infeksi
tersering yang membutuhkan tatalaksana secara sistemik dan membutuhkan terapi
dari dokter spesialis di bidang penyakit infeksi.

- Toxoplasmosis ocular

Kotrimoksazol diberikan dengan dosis trimetoprim


160mg/sulfametoksazol 800mg dua kali sehari selama 4-6 minggu.
Klindamisin 300mg empat kali sehari atau pirimetamin dapat ditambahkan
pada pemberian kotrimoksazol. Pirimetamin diberikan dengan loading dose
75100mg selama 12 hari diikuti dosis 2550mg per hari selama 4 minggu.
Asam folinat 5mg tiga kali seminggu diberikan untuk mengurangi
trombositopenia, leukopenia dan defisiensi asam folat. Sulfadiazin diberikan
1g empat kali sehari selama 34 minggu, biasanya dalam kombinasi dengan
pirimetamin. Pilihan lain adalah azitromisin 250500mg per hari
dikombinasi dengan pirimetamin, asam folinat dan prednisolon. Jika lesi
terdapat di makula dan sekitarnya, diberikan prednisolon 1mg/kg berat badan
sebagai terapi awal lalu dosis diturunkan bergantung respons klinis.
Pemberian prednisolon dimulai 2448 jam setelah terapi antitoksoplasma.

14
- Tuberkulosis ocular
Pada TB ocular, sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis mata bekerja
sama dengan dokter spesialis penyakit dalam atau spesialis paru.
Pengobatan harus teratur dan dikontrol ketat agar memberikan hasil yang
baik. Kortikosteroid topikal dan sistemik diberikan bersama obat anti
tuberkulosis (OAT) untuk mengurangi kerusakan jaringan mata akibat
inflamasi terutama pada minggu-minggu awal pengobatan.
Kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa OAT karena mengakibatkan
infeksi meluas. Terapi tuberkulosis okular sama dengan tuberkulosis paru
yaitu kombinasi isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
sebagai terapi awal selama dua bulan, dilanjutkan dengan regimen
alternatif selama 4 bulan. Lama pengobatan dapat diperpanjang pada
kasus multi-drug resistance atau pada individu yang memberikan respons
lambat terhadap terapi. Pemberian OAT harus berhati-hati karena dapat
menimbulkan efek samping yang berat. Etambutol dapat menimbulkan
neuritis optik, diskromatopsia merah-hijau, skotoma sentral, edema
diskus, dan atrofi optik. Isoniazid, rifampisin, pirazinamid bersifat
hepatotoksik dan isoniazid dapat menimbulkan neuropati perifer.

- Uveitis karena infeksi bakteri

Antibiotik diberikan selama 2-3 hari, setelah itu dapat ditambahkan


kortikosteroid untuk menekan inflamasi. Penisilin merupakan antibiotik lini
pertama untuk terapi sifilis dan diberikan setiap 4 jam selama 10-21 hari
disertai kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi. Penisilin G benzatin
diberikan 2.000.000-4.000.000 U IM setiap 4 jam selama 10-14 hari
dilanjutkan 2.400.000 U IM setiap minggu selama 3 minggu.

- VZV (Varicella zoster virus)

Pengobatan terhadap VZV berupa asiklovir 800mg 5 kali sehari dengan


terapi suportif midriatikum dan kortikosteroid untuk menekan inflamasi.
HSV diobati dengan asiklovir 400 mg 5 kali sehari atau famsiklovir dan

15
valasiklovir. Prednisolon asetat 1% dan siklopegik diberikan sebagai terapi
suportif. Antivirus lainnya adalah valgansiklovir, gansiklovir, foskarnet, dan
sidofovir.

- Fungal uveitis

Uveitis karena jamur diobati dengan tetes mata antijamur dan pada
infeksi berat diberikan antijamur sistemik. Tetes mata amfoterisin B 0,15%
diberikan setiap jam. Antijamur lainnya adalah tetes mata natamisin 5% tiap
jam atau flukonazol 0,3% tiap jam dan salep mata natamisin 5% tiga kali
sehari. Obat antijamur oral yang dapat diberikan adalah flukonazol 400mg
per hari atau vorikonazol 2x200mg per hari, atau itrakonazol 400-600mg per
hari pada coccidiodimycosis. Infeksi Candida yang terbatas di koroid dan
retina sangat jarang ditemukan; sebagian besar berupa endoftalmitis. Pada
kasus tersebut, pilihan antijamur oral adalah flukonazol 400 mg per hari atau
voriconazol 2x200 mg per hari.37,38 Pada infeksi di vitreus atau
endoftalmitis kandida persisten, antijamur diberikan secara intravitreal yaitu
amfoterisin B (5-10g/0,1ml) atau vorikonazol (100g/0,1ml).

Kortikosteroid dan kombinasi

Banyak penyebab noninfeksi dair uveitis posterior yang membutuhkan


tatalaksana baik kortikosteroid tunggal ataupun kombinasi dengan obat-obatan
imunosupresif. Apabia tatalaksana yang diberikan tidak adekuat, pasien akan
berkembang dan mengalami irreversible vision loss. Kortikosteroid oral digunakan pada
pasien dengan posterior uveitis on infeksi. Agen imunosupresif digunakan pada pasien
dengan respon yang buruk terhadap pemberian kortikosteroid tunggal. Fluocinolone
acetonide and dexamethasone intravitreal merupakan obat yang telah diakui oleh FDA
sebagia tatalaksana pada uveitis posterior noninfeksi. Topical steroids dan cycloplegia
digunakan apabila terdapat inflamasi pada segmen anterior.

b. Terapi pembedahan

Terapi bedah diindikasikan untuk memperbaiki penglihatan. Operasi dilakukan pada


kasus uveitis yang telah tenang (teratasi) tetapi mengalami perubahan permanen akibat
16
komplikasi seperti katarak, glaukoma sekunder, dan ablasio retina. Kortikosteroid diberikan 1-
2 hari sebelum operasi dan steroid intraokular atau periokular dapat diberikan pasca-operasi.40
Kekeruhan vitreus sering terjadi pada uveitis intermediet dan posterior sedangkan
neovaskularisasi diskus optik dan retina sering menimbulkan perdarahan vitreus. Vitrektomi
ditujukan untuk memperbaiki tajam penglihatan bila kekeruhan menetap setelah pengobatan.

1.8. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada uveitis posterior adalah berupa katarak, glaukoma,
kekeruhan vitreus, edema makula, kelainan pembuluh darah retina, parut retina, ablasio retinae,
dan atrofi nervus optik.

17
BAB II
JOURNAL READING

Canadian Journal of Ophthalmology

dx.doi.org/10.1016/j.jcjo.2012.11.013

INFEKSI PENYEBAB POSTERIOR UVEITIS


Efrem D.Mandelcorn,MD,FRCSC,DBO

Info korespondensi :

Efrem D. Mandelcorn, MD

Toronto Western Hospital, University Health Network

efrem.mandelcorn@utoronto.ca

ABSTRAK
Diagnosis banding uveitis posterior sangat luas. Beberapa infeksi yang sering menjadi penyebab uveitis posterior perlu
diketahui. Penyebab terbanyak infeksi yang mengakibatkan uveitis posterior adalah sifilis, toxoplasmosis, tuberculosis,
endophtalmitis endogen, dan penyebab virus (termasuk herpes simpleks virus, cytomegalovirus). Manifestasi klinis, diagnosis
dan pilihan terapi pada setiap penyebab akan dijelaskan pada jurnal ini.

1. PENDAHULUAN

Uveitis posterior memiliki diagnosis banding yang luas. Faktor penyebab uveitis sangat
bervariasi dan dapat dikelompokkan menjadi infeksi, inflamasi, atau neoplastic. Strategi yang
baik untuk diagnosis dan manajemen uveisit posterior bergantung pada infeksi penyebab.
Infeksi sering berespon terhadap antibootik atau terapi anti virus. Lebih lagi, jika infeksi
penyebab diketahui lebih awal, seseorang dapat memberikan uveitis dengan terapi
imunosupresif bertahap termasuk topical, local, atau sistemik steroid. Dengan strategi pada
pikiram, pemeriksaan apa yang diperlukan untuk menyingkirkan infeksi uveitis? Terdapat data
panjang mengenai infeksi yang mungkin menjadi penyebab, dan merupakan hal penting bagi
seorang ophthalmologist untuk mengetahui anamnesis riwayat menyeluruh dan mengulas sistem
untuk mengetahui tanda diagnostic yang berkaitan dengan infeksi yang memungkinkan.
Riwayat bepergian perlu diketahui secara teliti, infeksi endemik yang berkaitan dengan
bepergian dapat menjadi diagnoss banding. Secara umum, terdapat beberapa infeksi penyebab
uveisit posterior yang harus selalu dipertimbangkan dan disingkirkan, meskipun presentasi yang
jarang dapat muncul pada infeksi yang sering. Sebagai cara untuk mengingat penyebab ini,
18
seseorang membuat singkatan SSTTEEVE, yang mewakili setiap penyebab uveitis posterios.
S pertama adalah sarcoidosis. Meskipun bukan merupakan penyebab infeksi namun tetap
dimasukkan sebagai diagnosis banding. S berikutnya adalah syphilis, T adalah
toxoplasmosis dan T kedua dalah tuberculosis (TB), EE adalah endoftalmitis endogen
(bakteri dan fungi). V adalah virus yang termasuk herpes simplex virus (HSV), herpes zoster
virus, dan cytomegalovirus (CMV). E terakhir adalah etc atau lain-lain sebagai pengingat
dokter untuk tetap mempertimbangkan hal lain. Pada review ini, kami akan menjelaskan
mengenai setiap penyebab uveisit posterior yang disingkat menjadi SSTTEEVE (Tabel 1).

2. PEMBAHASAN

a. Syphilis

Latar Belakang
Syphilis disebabkan spirocheta Treponema pallidum, obligat parasit manusia.
Infeksi tersebut menyebar melalui kontak seksual, transfuse darah, dan melalui
plasenta ke fetus. Spirocheta dapat secara cepat mempenetrasi membrane mucus atau
abrasi kulis dan berigrasi ke limfatik.

Klasifikasi
Syphilis dibagi menjadi 3 tahap. Syphilis primer, chancre/ ulkus tidak nyeri yang
dapat diobservasi pada sisi inokulasi. Hal ini sering dapat sembuh spontan dalam 4-
6 minggu. 6 minggu setelah syphilis primer, syphilis sekunder muncul dengan geja;a
demam, malaise, dan lesi mucocutaneous. Ini merupakan stase infeksi terberat.
Keterlibatan terhadap mata muncul pada 10 % kasus. Syphilis tersier,
dikatakteristikan dengan lunal, inflamasi dengan area lunak seperti tumor yang
dikenal dengan gummas dengan perubahan yang melibatkan sistem saraf pusat dan
vasa vasorum pada aorta. Tahap terakhir adalah syphilis laten, dimana tidak terdapat
gejala atau tanda infeksi aktif.

Manifestasi klinis
Manifestasi okuler akibat syphilis dapat terjadi pada berbagai struktur okuler, sepertu
uveitis anterior (konjungtivitis, skleritis, keratitis intersisial, irisosiklitis) atau uveitis
posterior (vitritis, chorioretinitis, serous retinal detachment, vasculitis).
19
DIkarenakan presentasi kinis syphilis pada okuler bervariasi, maka n syphi;is okuler
dapat dikatakan sebagai the great imitator. Terdapat tanda spesifik syphilis ocular
yang setiap dokter harus melihat dalam melalukan pemeriksaan pada kasus uveitis
posterior.

Pada tahun 1990, Gassetal menjelaskan mengenalkan acute syphilitic posterior


placoid chorioretinitis. Kasus ini memiliki lesi placoid subretina besar, soliter, abu-
abu putih atau kekuningan, serta gambaran hiperpigmentasi kasar yang dapat terlihat
jelas pada fundus autofluorescence (Gambar. 1). Pada fluores-cein angiography,
terdapat hypofluorescence pada area kekuningan dan leopard spot- pattern pada lesi
dengan tanpa fluorescen.

Tipe lain tanda dari syphilis posterior adalah diketahui sebagai syphilitic punctate
inner retinitis. Kasus ini memiliki white spot yang berbeda dengan retinitis dan
arteriolitis. Temuan ini banyak terdapat pada homoseksual dengan syphilis.

Syphilis juga dapat ditemukan dengan neuroretinitis, dimana terdapat inflamasi pada
prelaminar nervus opticus yang diteruskan hingga retina. Vaskulitis nervus optikus
terjadi akibat kebocoran lemak dan protein eksudat yang berakumulasi pada lapisan
peripapilar.

Gambar 1. Kasus
syphilis akut shoriretinitis placoid dengan lesi subretinl placoid kuning

pucat dan hiperpigmentasi kasar yang terlihat dengan fundus autofluorescence (B).

20
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk syphilis dapat dibagi menjadi dua kategori.
Pemeriksaan non treponemal termasuk Venereal Disease Research Laboratory
(VDRL) dan Rapid Plasma Regain (RPR). Alat ini menggunakan antigen
cardiolipin-lecithin-cholesterol untuk mengetahui reaktivitas IgG dan IgM.
Pemeriksaan treponemal termasuk Treponema pallidum particle agglutination (TP-
PA) dan fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-Abs).

Tatalaksana
Tatalaksana neurosphilis adalah penicillin G (2-5 juta unit) IV setiap 4 jam selama
10-14 hari. Tatalaksana alternative dapat mengguakan penicillin G procaine 2.4 juta
unit IM dengan 500 mg probenecid oral selama 10-1-4 hari.

c. Toxoplasmosis

Latar Belakang
Toxoplasma gondii merupakan sel tunggal, obligat, intraselular protozoa dan
merupakan penyebab infeksi terbanyak retinochoroiditis pada manusia. Hingga 70
% populasi manusia di dunia terinfeksi toxoplasmosis. Terhitung 30-50 % jauh pada
uveitis posterior di Amerika Uutara, dan 85 % kasus di Brazil. Infeksi ini lebih
banyak ditemukan pada anak-anak. Transmisi toxoplasma melalui transmisi
maternal selama kehamilan (paling sering pada trimester ketiga) atau pada periode
postnatal melalui makan makanan mentah atau makanan terkontaminasi seperti
buah, sayuran dan air. Parasit ini menjadi dorman dalam tubuh host dalam bentuk
kista, sebagai bradyzoite, dengan demikian menjuahi sistem imun humoral dan
seluler. Kemudian berubah menjadi bentuk yang aktif, yang dikenal sebagai
tachyzoite, menyebabkan inflamasi local dan destruksi jaringan. Perubahan ini
terjadi pada episode uveritis, retinitis dan retinal vasculitis.

Manifestasi klinis

21
Manifestasi klinis toxoplasmosis bervariasi. Lesi klasik berupa fokal nekorosis
retinochoroiditis dengan inflamasi pada vitreous. Lesi akut timbul dari perbatasan
skar chorioretinal . Lesi ini aktif hingga 16 minggu kemudian sembuh dan
meninggalkan skar hiperpigmentasi. Bentuk lain dideskripsikan termasuk lesoi
destruksi, lesi punctate dalam, serta punctate inner lesion.

Tatalaksana
Tujuan tatalaksana toxoplasmosis adalah menghentikan replikasi organisme dan
embatasi inflamasi pada mata. Banyak pengobatan berbeda yang digunakan, dan
tidak ada konsensus yang menjelaskan pengobatan apa yang harus menjadi lini
pertama. Suatu penelitian terakhir menyatakan tidak ada perbedaan signifikan pada
penggunaan prymimethamine dan sulfadiazine dibandingkan dengan
trimethoprim/sulfamethoxazole. Azytromycin dan clindamisin juga dapat
dipertimbangkan dengan efek mencegah sintesis protein protozoa. Atovaquone juga
efektif digunakan dengan efek inhibisi terhadap rantai transoirt electron mittokondria
protozoa. Seiring penggunaan kortikosteroid akan membatasi inflamasi intraokular
dengan perlu dipertimbangkan Bersama penggunaan antibiotic inisiasai beberapa
hari. Terdapat sebuah data yang mendemonstrasikan efek terapi local toxoplasmosis.
Intravitreal klindamisi (1-1.5 mg/0.1 ml) dalam kombinasi dengan dexamethasone
(400 mg/0.1 ml) adalah alternative pada pasien dengan intoleran atau tidak berespon
terhadap pengobatan sistemik. Gamba2. 2 menjelaskan mengenai kasus pasien
dengan kehamilan trimester kedua, dengan toxoplasmosis yang diterapi dengan
klindamisin dan dexamethasone intravitreal untuk mencegah paparan sistemi,
dengan repon terpai yang baik.

22
Gambar 2. Dua kasus (A,C) pasien pada kehamilan trimester dua dengan retinitinitis
toxoplasmosis akut. Keduanya diterapi dengan klindamisin dan dexamethasone intravitral,
dengan respon baik untuk mencegah toksisitas sistemik. (B,D).

Konsensus tatalaksana terhadap toxoplasmosis akut perlu diambil pada kasus peripapillary
(85%), maculopapillary bundle (88%), and lesi parafoveal (94%) dengan tanda (66%) atau
dengan reaksi vitreous berat (81%). Pada laporan ini, agen terapi pilihan bervariasi mulai dari
pyrimethamine (69%), sulfadiazine (55%), clindamycin (45%), sulfamethoxazole dan
trimethoprim (Bactrim; 32%), dan prednisone (82%). Profilaksis harus dipertimbangkan pada
kasus uveitis toxopasmosis berulang. Suatu penelitian mengenai pasien dengan penyakit
berulang dan mengelompokkan mereka dengan terapi Bactrim setiap 3 hari, dibandingkan
dengan tanpa pengobatan profilaksis. Group dengan Bactrim memiliki rekurensi yang lebih
sedikit (7%) dibandingkan dengan grup kontrol (24%), sehingga dinyatakan profilaksis perlu
diberikan pada kasus berulang/ rekuren.

c. Tuberkulosis

Latar Belakang
Mycobacterium TB merupakan bentuk basil non spora, non motil yang menyebar
melalui droplet dan dapat bertahan di udara beberapa jam. Lebih dari 90 % orang
terinfeksi TB tidak berkembang menjadi penyakit . 5 % pasien terinfeksi TB ini
berkembang dalam beberapa tahu pertama. 5 % lagi berkembang kemudian

23
dikarenakan imunitas yang mulai melemah. Pada sedikit pasien, beberapa basilus
bertahan dan menjadi dorman. Pasien ini kemudian mengalami TB laten, dimana
tidak terdapat gejala dan tanpa disertai penemuan radiologis tertentu.

Manifestasi klinis
Seperti uveitis pada sifilis, TB uveitis dapat mengenai berbagai struktur ocular,
termask anterior, intermediate dan uveitis posteruir. Pada segmen posterior, TB
bermanifestasi sebagai tuberkel choroid atau tuberculoma, abses subretina dan
serpiginous chroiditis (SC), atau vasculitis retina. Tuberkel koroid adalah nodul
kecil berwarna kuning dengan batas kabur yang dapat berpigmentasi ketika sembuh
dan membentuk skar. Tuberkuloma berbentuk besar, soliter, massa seperti tumor,
yang dapat tumbuh vertikel atau menyebar secara difus di dalam choroid.
Tuberkuloma dapat disertai perdarahan, eksudat atau cairan subretinal. Ketika
terdapat multiplikasi organisme pada granuloma dan nekoris sekunder, abses
subretinal akan terebentuk. Vaskulitis retinal yang berkaitan dengan TB dapat
berhubungan dengan vitritis dan terkadang neurotinitis. Periphlebitis dengan kapiler
tanpa perufsi sering menjadi neovaskularisasi, perdarahan vitreous dan detasemen
retina. (Gambar 3) Vasculitis retina yang berhubungan dengan penyakit Eales
berhubungan dengan TB. Pada beberapa penelitan ditemukan organisme TB dengan
polymerase chain reaction (PCR) di dalam cairan vitreous pasien dengan penyakit
Eales, menunjukan bahwa organisme dapat mempengaruhi reaksi hipersensitivitas.

Gambar 3. Kasus penyakit Eales periphlebitis, capillary nonperfusion,


dan neovaskularisasi perifer awal.

24
Pada serpiginous-like choroiditis (SLC), TB dapat mempengaruhi
hipersensitivitas pada epitel koroid atau epitel pigmen retina (RPE),
menghasilkan deskret dan lesi tidak berhubungan pada plak multifokal. Hal ini
kemudian berkembang menjadi lesi tidak berhubungan yang semakin banyak
dengan tepi aktif yang sama dengan gambaran pada SC. (Gambar 4.)

Gambar 4. Kasus pasien serpiginous-like choroiditis dengan interferon-g positif pada Uji Asay.
Hal ini menunjukkan tanda tepi aktif koroiditis superior dan interior ke fovea.

Kontras dengan SC, pasien dengan TB-SLC adalah berasal dari area endemic,
dan memiliki vitritis dan lesi multifocal unilateral yang sering menyebar ke regio
peripapillary. Mereka juga menunjukkan hsil positif pada pemeriksaan
investigasi TB (tuberculin atau interferin-g- release assay). Pasien dengan SC
klasik yang tidak berespo terhadap steroid, perlu dievaluasi lebih lanjut
danditatalaksana sebagai TB-SLC.

Pemeriksaan penunjang
Diagnosis TB ocular merupakan sebuah masalah diakrenakan organisme ini sulit
dilakukan kultur atau pemeriksaan acid-fast stain. Kombinasi manifestais klinis
atau stain atau kultur TB diperlukan untuk mengkonfirasi diagnosis TB ocular.

25
Pemeirksaan lain yang dibutuhkan untuk termasuk tes tuberkulu, radioglogi
thorax, dan pemeriksaan lain untuk TB ekstrapulmoner.

Tatalaksana
Tatalaksana sistemik anti TB perlu diinisiasi oleh spesialis penyakit infeksi dan
termasuk isoniazid, rifampin, pyrazinamide, and ethambutol. The U.S. Centers
for Disease Control and Prevention merekomendasikan penggunaan 4 agen
untuk inisial 2 bulan kemudian dilanjutkan dengan 2 obat untuk 4-7 bulan
berikutnya. Penggunaan steroid sistemik dosis rendah sering juga
diimplimentasikan.
d. Endophtalmitis endogen

Latar belakang
Endophthalmitis selalu muncuk dengan inflamasi intraocular yang signifikan. Dapat
disebabkan oleh bakteri atau fungi. Endophtalmitis dapat dikategorikan sebagai
eksogen dan endogen. Endophtamitis eksogen muncul pada pasien sehat setelah
tindakan bedah, menyebar dari infksi eksternal ocular atau setelah trauma.
Endiphtalmitis endogen tedapat pada pasien dengan immunocompromised seperti
pasien dengan HIV atau pasien dengan penggunaan antibiotic jangka panjang,
kortikosteroid atau agen imunosupresif. Pasien dengan terpasang kateter intravena
atau obat-obatan intravena juga dapat menjadi risiko. Pada kasus endophthalmitis
endogen, penyebaran infeksi ke mata terjadi setelah bacteremia atau fungemia. Fungi
terbanyak yang mmenjadi penyebab adalah tipe Candida albicans, insisennya
meningkat beberapa decade terakhir dengan laporan antara 2% dan 45% pada pasien
dengan infeksi fungi sistemik.

Manifestasi klinis
Fungal endophthalmitis (FE) dikarakteristikkan dengan lesi chorioretinal
berbatas tegas dengan gambaran seperti krim berwarna putih. Seringkali pada
sisi posterior berwarna kekuningan atau putih halus. Lesi ini berasal dari choroid
dan menyebar melalui retina hingga vitreous. (Gambar 5). Bola-bola fungi pada
vitreous terkadang bersatu membentuk konfigurasi yang disebut string of
pearls. Dengan tatalaksana akar pada chorioretinal kemudian berkembang pada
26
area yang sebelumnya aktif. Perubahan sikatrik lain juga dapat terjadi seperti
epiretinal membrane, tractional retinal detachment, dan hipotoni dari membrane
silitik.

Gambar 5. Gambar ini merupakan sebuah kasus Iinfiltrat fungi pada choroid yang aktif berasal
dari choroid memudian menyebar ke retina. Pada angiogram fluorescein terlihat lesi
menggantikan jaringan retina dan pembuluh darah dan menyerbu hingga retina
bagian dalam dan vitreous. Setelah pengobatan, lesi sembuh kemudian meninggalkan
pigmen berbentuk cincin,

Tatalaksana
Tatalaksana FE termasuk amphotericin B, meskipun toksik sistemik, disgungsi renal
perlu menjadi perhatian. Amphotericin dengan dosis of 5 to 10 mg/0.1 ml intravitreal
telah menunjukan hasil yang amna. Beberapa penelitian terbaru mengusulkan terapi
signifikan melalui vitrectomy pada FE. Suatu publikasi melaporkan hasil yang baik
pada penggunaan vitrectomy dana gen antifungi sistemik.

e. Virus

27
Latar belakang
Retinopati virus adalah paling banyak disebabkan oleh family herpes virus yaitu
(VZV, HSV, CMV, EBV). Gambaran klinis bergantung pada status imun host;
nekorsis retina akut (ARN) paling banyak ditemukan pada host immunocompetent
sedangkan progressive outer retinal necrosis (PORN)dan CMV ditemukan pada host
immunocompromised. Virus herpes sebagia penyebab ARN telah dikonfirmasikan
dnegan kultur dan PRC pada banyak penelitian sejak tahun 1980. Penelitian lain
telah mendemonstrasikan utilitas klinis dari PCR dalam mendiagnosis ARN
menggunakan tabung cairan dengan prediksi hasil positif mencapai 99 % penelitian.

Manifestasi klinis
Dalam semua kasus dugaan virus panuveitis, sangat penting untuk elakukan
pemeriksaan segmen anterior secara hati-hati untuk mencari petunjuk diagnosis yang
menunjukan penyebab herpes. Uji sensibilitas kornea adalah tes yang perlu
dilakukan dengan teliti. Pemeriksaan iris untuk mengetahui adanya defek
transluminasi yang menunjukkan adanya penyakit herpes.

ARN
Kriteria klinis yang ditetapkan oleh American Uveitis Society untuk
mendiagnosis ARN meliputi 1 atau lebih focus retina. Nekrosis dengan batas
diskret, lokasi pada retina perifer, serta perkembangan penyakit yang cepat tanpa
adanya terapi, bukti adanya vaskulopati oklusif dan keterlibatan kapsus
arteriolar. Evolusi ARB dimulai darivitritis sedang hingga berat yang menyebar
hingga perifer dan membentuk nekrosis berbatas tegas. Tanpa pengobatan, lesi
cenderung cepat berkembang dalam pola melingkar dalam 5 sampai 10 hari.
Setelah fase aktif selesai, retinisis memulai berbentuk pigmen dan skar yang
berkaitan dengan atrofi retina. Terdapat garis tajam diantara retina normal dan
retina yang terkena, yang menjadi risiko tinggi terhadap kerusakan retina dan
ablasio retina (50-75%). Penyakit bilateral diketahui sebagai BARN muncul
pada 35 % kasus dalam 6 minggu.

PORN

28
Pada PORN, VZV seperti herpes virus, eperti yang telah didemostrasikan pada
penelitian histopatologi dimana VZV lebih banyak dideteksi pada RPE dan
lapisan retina luar. Evolusi PORN termasuk lesi multifocal melalui retina perifer
dengan opasifitas pada lapisan retina dalam, dengan atau tanpa area pertemuan,
(Gambar 6). Kontras dengan ARN, kasus PORN memiliki lesi macular hingga
32 % kasus dan lebih banyak melibatkan retina bagian luar. Seringkali juga
inflamasi intraviterous terjaid minimal atau tidak ada. Penyebaran terjadi secara
cepat ada PORN dibandingkan pada ARN. Penyakit bilateral dilaporkan pada 70
% kasus.

Gambar 6. Nekrosis retina bagian luar yang progresif dengan retinitis. Setelah diterapi,
terdapat perubahan pigmen dan atrofi retina (B).

CMV
CMV retinitis dapat dikategorikan menjadi fulminant dengan area perdarahan
besar dan putih, nekrosis retina atau edema (yang dikenal sebagai pizza pie.
Serta granular yang digambarkan dengan edema, nekrosis dan perdarahann yang
minimal (Gambar 7). Subtipe lain decanal sebagai frosted branch angiitis
dengan sheating perivascular yang signifikan. (Gambar 8). CMV juga
diklasisikasian berdaarkan area yang terkena. Zona yaitu 1500 mm dari nervus
optikus atau 3000 mm dari fovea. Zona 2 berlanjut hingga equator, dan zona 3
adalah pada sisa retina anterior yang mengakhiri ora serata.

29
Gambar 7. Granular cytomegalovirus retinitis dengan batas aktif

Tatalaksana
Tatalaksana retinitis CMV dengan pemberian iduksi intravena 5 mg/kg 2x/hari
ganciclovir selama 2-3 minggu diikuti dengan 5 mg/kg/day sebagai maintenance.
Foscarnet merupakan pilihan alternative. Terapi lokal dengan intravitreal ganciclovir
dapat dipertimbangkan. Pemberian oral juga dapat digunakns ebagai alternative IV.
Tatalaksana ARN termausk acyclovir untuk 7-14 hari secara IV atau oral.
Penggunaan foscarnet intravitreal juga berguna sebagai control penyakit. Injeksi ini
diberikan 1-2 kali per minggu. Antivirus oral perlu diberikan sebagai lanjutan untuk
3 bulan untuk menurunkan riisko rekurensi. Kortikosteroid sistemik juga dapat
digunakan setelah terapi antivirus sebagai pengontrol respon inflamasi.

Pada ensefalitis VZV atau PORN bilateral, foscarnet sistemik dan ganciclovir
banyak digunakan selama 7-14 hari. Foscarnet intravitreal dana tau ganciclovir dapat
digunakan1 hingga 2x per minggu selama 2 minggu sesuai kebutuhan. Antivirus
medikasi perlu dilanjutkan hingga 3 bulan. Pemebrian systemic foscarnet and
ganciclovir pada HIV perlu konsulasi dengan spesialis apabila posifit terkena HIV.
Profilaksis laser laser photocoagulation daopat mengurangi risiko ablasio retina
hingga kurang dari 17 %.

30
Gambar 8. Angiitis dengan cabang buram berat akibat CMV pada pasien dengan
HIV yang baru didiagnosis dan viral load yang tinggi.

31
DAFTAR TABEL

32
DAFTAR PUSTAKA
1. Torrone EA, Bertolli J, Li J, et al. Increased HIV and primary and secondary syphilis
diagnoses among young menUnited States, 2004-2008. J Acquir Immune Defic
Syndr. 2011;58:328-35.
2. Finlayson TJ, Le B, Smith A, et al. HIV risk, prevention, and testing behaviors among
men who have sex with menNational HIV Behavioral Surveillance System, 21 U.S.
cities, United States, 2008. MMWR Surveill Summ. 2011;60:1-34.
3. Tamesis R, Foster S. Ocular syphilis. Ophthalmology. 1990;97: 1281.
4. Gass JD, Braunstein RA, Chenoweth RG. Acute syphilitic posterior placoid
chorioretinitis. Ophthalmology. 1990;97:1288-97.
5. Wickremasinghe S, Ling C, Stawell R, Yeoh J, Hall A, Zamir E. Syphilitic punctate
inner retinitis in immunocompetent gay men. Ophthalmology. 2009;116:1195-200.
6. Ray S, Gragoudas E. Neuroretinitis. Int Ophthalmol Clin. 2001;41: 83-102.
7. Chesson HW, Pinkerton SD, Irwin KL, et al. New HIV cases attributable to syphilis
in the USA: estimates from a simplified transmission model. AIDS. 1999;13:1387-96.
8. Marra CM. Syphilis and human immunodeficiency virus: prevention and politics.
Arch Neurol. 2004;61:1505-8.
9. Doft BH, Gass DM. Punctate outer retinal toxoplasmosis. Arch Ophthalmol.
1985;103:1332-6.
10. Holland GN. Ocular toxoplasmosis: a global reassessment. Part I: epidemiology and
course of disease. Am J Ophthalmol. 2004;136: 973-988.
11. Holland GN. Ocular toxoplasmosis: a global reassessment. Part II: disease
manifestations and management. Am J Ophthalmol. 2004; 137:1-17.
12. Soheilian M, Sadoughi MM, Ghajarnia M, et al. Prospective randomized trial of
trimethoprim/sulfamethoxazole versus pyrimethamine and sulfadiazine in the treatment
of ocular toxoplasmosis. Ophthalmology. 2005;112:1876-82.
13. Pearson PA, Piracha AR, Sen HA, et al. Atovaquone for the treatment of toxoplasma
retinochoroiditis in immunocompetent patients. Ophthalmology. 1999;106:148-53.
14. Lasave AF, Daz-Llopis M, Muccioli C, et al. Intravitreal clindamycin and
dexamethasone for zone 1 toxoplasmic retinochoroiditis at twenty-four months.
Ophthalmology. 2010;117:1831-8.
15. Holland GN, Lewis KG. An update on current practices in the management of ocular
toxoplasmosis. Am J Ophthalmol. 2002; 134:102-14.
16. Silveira C, Belfort R Jr, Muccioli C, et al. The effect of long-term intermittent
trimethoprim/sulfamethoxazole treatment on recurrences of toxoplasmic
retinochoroiditis. Am J Ophthalmol. 2002;134:41-6.

33
17. Gupta V, Gupta A, Rao NA. Intraocular tuberculosisan update. Surv Ophthalmol.
2007;52:561-87.
18. Vasconcelos-Santos DV, Rao PK, Davies JB. Clinical features of tuberculous
serpiginouslike choroiditis in contrast to classic serpiginous choroiditis. Arch
Ophthalmol. 2010;128:853-8.
19. Axelrod AJ, Peyman GA, Apple DJ. Toxicity of intravitreal injection of
amphotericin. B. Am J Ophthalmol. 1973;76:578-83.
20. Lin RC, Sanduja N, Hariprasad SM. Successful treatment of postoperative fungal
endophthalmitis using intravitreal and intracameral voriconazole. J Ocul Pharmacol
Ther. 2008;24:245-8.
21. Hariprasad SM, Mieler WF, Lin TK, et al. Voriconazole in the treatment of fungal
eye infections: a review of current literature. Br J Ophthalmol. 2008;92:871-8.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors.
General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw Hill, 2007.
2. Ilyas S. Uveitis Anterior. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi kelima. Jakarta: FKUI,
2012. p 7-8, 180-1
3. Herbort C. Choroiditis: General Considerations and Classification. Availabl at :
http://eknygos.lsmuni.lt/springer/470/201-208.pdf.
4. Mustafa M et al. Journal of Pharmacy. 2014. Uveitis: Pathogenesis, Clinical
presentations and Treatment.
5. Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Traktus Uvealis dan Sklera. Dalam:
Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika, 2000. 155-160.
6. Agrawal RV, Murthy S, Sangwan V, Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian J Ophralmol : 2010;58:11-19.
7. Sitompul R. Ejki 2016. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya
Mencegah Kebutaan. Vol. 4, No. 1. P 60-70
8. Dayani P. Advanced ocular care. 2011. Posterior uveitis: an overview. Available at
: http://eyetubeod.com/advancedocularcare/pdfs/aoc0111_f_Dayani.pdf.

35

Anda mungkin juga menyukai