Anda di halaman 1dari 12

6.

Penanganan Diabetes Melitus


Penanganan Diabetes Melitus terdiri dari terapi non farmakologi dan
farmakologi. Terapi farmakologi diberikan apabila terapi non farmakologi tidak
bisa mengendalikan kontrol glukosa darah. Pemberian terapi farmakologi tetap
diseimbangi dengan terapi non farmakologi.

6.1 Terapi Non Farmakologi

a. Terapi Gizi Medis

Gambar 1. Piramida makanan untuk diabetes melitus

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang


seimbang, sesuai dengna kebutuhan kalori masing-masing individu dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan. Komposisi
makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45-65%, lemak 20-25%, protein
10-20%. Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari (Ndraha,
2014).

b. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 kali
seminggu selama 30-45 menit). Latihan jasmani yang dianjurkan untuk pasien
Diabetes Melitus berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas
sedang (50-70% denyut jantung maksimal), seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara = 220-usia
pasien (Eliana, 2015).

Gambar 2. Modifikasi gaya hidup untuk pasien DM

6.2 Terapi Farmakologi


Terapi farmakologi diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan
pasien, pengaturan makan, dan latihan jasmani. Terapi farmakologi yang dapat
digunakan oleh pasien diabetes yaitu antihiperglikemia suntik ,oral, dan
kombinasi.

6.2.1 Obat Antihiperglikemia Suntik


a. Insulin
Insulin merupakan terapi yang digunakan dalam penanganan pasien DM
tipe 1, dapat juga digunakan untuk pasien DM tipe 2 apabila obat hiperglikemik
oral tidak mampu untuk menanganinya. Insulin merupakan hormon polipeptida
yang di sekresi oleh sel pankreas. Insulin dapat dirusak oleh enzim pencernaan
sehingga diberikan melalui injeksi. Insulin di dalam tubuh membantu transpor
glukosa dari darah ke dalam sel.
Dosis insulin awal yang diberikan didasarkan terhadap berat pasien
dimana rentang dosis dari 0.4-1.0 units/kg/hari dari total insulin. Berdasarkan
American Diabetic Association/JDRF Type 1 Diabetes Sourcebook, dosis 0.5
units/kg/hari merupakan dosis awal untuk pasien dengan metabolism yang stabil,
peningkatan untuk dosis dapat dilakukan dengan pemantauan adanya ketoasidosis
(Peters et al., 2013). Pemberian insulin dengan asupan karbohidrat perlu
disesuaikan. Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal. Penyerapan paling
cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan
bokong.

Gambar 3. Tempat injeksi insulin


Insulin berdasarkan waktu kerja dibagi menjadi insulin kerja cepat (rapid
acting), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting), kerja
panjang (long acting), dan campuran. Insulin masa kerja panjang diberikan pada
pagi hari untuk menjaga kadar insulin dalam kondisi basal (kondisi pada saat
normal/tidak ada asupan makanan), sedangkan insulin masa kerja pendek
diberikan sebelum makan untuk menurunkan kadar glukosa darah yang meningkat
sesaat setelah adanya asupan makanan. Farmakokinetik insulin berdasarkan waktu
kerja dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. Farmakokinetik Insulin Berdasarkan Waktu Kerja


b. Agonis GLP-1 (Glucagon-like Peptide)/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
pelepasan insulin tanpa menimbulkan hipoglikemia, dan dapat menghambat
pelepasan glucagon. Tidak meningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek samping antara lain gangguan saluran cerna,
seperti mual dan muntah (Eliana, 2015).
Obat agonis GLP-1 contohnya adalah Exenatide dan Liraglutide.
Exenatide meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi produksi glukosa hati.
Rata-rata pengurangan A1C sekitar 0.9% dengan pemberian exenatide dua kali
sehari. Untuk Byetta, dosis awal yang digunakan adalah 5 mcg SC dua kali sehari,
sendangkan Bydureon dosis awal 2 mg SC satu kali seminggu dengan atau tanpa
makanan. Efek samping antara lain, nausea, vomiting, dan diare. Liraglutide
(Victoza) memiliki efek farmakologi dan efek samping yang mirip dengan
exenatide. Rata-rata pengurangan A1C sekitar 1.1% dan liraglutide mengurangi
FPG dan level glukosa posprandial 25-40 mg/dL. Dosis awal yang digunakan 0.6
mg SC satu kali sehari tidak tergantung makanan (Dipiro et al., 2015).

c. Analog Amylin/ Amylinomimetic


Pramlintide merupakan analog amylin yang menghambat pengosongan
lambung, sekresi pankreas glukagon, dan meningkatkan rasa kenyang. Obat ini
telah disetujui oleh FDA untuk digunakan pada orang dewasa dengan diabetes tipe
1. Pramlintide dapat menginduksi penurunan berat badan dan dosis insulin yang
rendah (ADA, 2017). Efek samping yang biasa terjadi yaitu nausea, vomiting, dan
anoreksia. Pramlintide tidak menyebabkan hipoglikemik ketika digunakan sendiri,
namun pada pasien yang menerima insulin, hipoglikemia dapat terjadi (Dipiro et
al., 2015).
6.2.2 Obat Antihiperglikemia Oral
Saat ini, terdapat 8 golongan antidiabetik oral yang tersedia untuk
pengobatan, yaitu inhibitor -glukosidase, biguanid, meglitinid, tiazolidinedion,
inhibitor dipeptidil peptidase-4 (DPP-4), agonis dopamin, pemecah asam empedu,
dan sulfonilurea. Berikut adalah penjelasan untuk masing-masing golongan
tersebut:

a. Golongan Sulfoniluria
Golongan sulfonilurea sering disebut insulin secretagogue karena mekanisme
kerja nya merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel Langerhans pankreas
(Eliana, 2015). Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang.
Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati
dan ginjal, serta malnutrisi (Ndraha, 2014). Contoh golongan sulfonilurea:
Glibenklamid, Klorpropamid, Tolazamid, Gliburid, Glipizid, Glimepiride.

b. Golongan Meglitinid
Meglitinid mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan sulfonilurea,
mengurangi glukosa dengan menstimulasi sekresi insulin pankreas (Dipiro et al.,
2015). Mekenisme kerja meglitinid lebih ditekankan pada sekresi insulin fase
pertama dan baik untuk mengatasi hiperglikemia post prandial (Eliana, 2015).
Dosis Repaglinide dimulai dari 0.5-2 mg oral dengan maksimum 4 mg 4 kali
sehari dan Nateglinide 120 mg oral 3 kali sehari sebelum makan (Dipiro et al.,
2015).

c. Golongan Biguanid
Metformin digunakan sebagai obat pilihan pertama pada penderita DM tipe 2
dan DM obesitas karena keamanan terhadap kardiovaskuler. Metformin
menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan sensitivitas insulin hepar
dan meningkatkan absorbsi glukosa di otot rangka (Dipiro et al., 2015).
Metformin aman digunakan untuk pasien dengan estimated glomerular filtration
(eGFR) 30 mL/min/1.73 m2 (ADA, 2017). Dosis awal metformin 500 mg oral
dua kali sehari dengan makan (Dipiro et al., 2015).

d. Golongan Tiazolidindion
Tiazolidindion merupakan agonis Peroxsisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-) yang sangat selektif dan poten. Mekanisme kerja
golongan tiazolidindion adalah dengan meningkatan sensitifitas insulin,
merangsang transport glukosa ke sel dan meningkatkan oksidasi asam lemak.
Contoh golongan tiazolidindion adalah Pioglitazon 15 mg oral satu kali sehari,
maksimum 45 mg/hari dan Rosiglitazon 2-4 mg satu kali sehari, maksimum 8
mg/hari (Dipiro et al., 2015).

e. Golongan Inhibitor Glukosidase


Obat golongan ini dapat memperlambat absorbsi polisakarida dan
disakarida di usus halus. Penghambatan enzim -glikosidase dapat mengurangi
pencernaan karbohidrat dan absorbsinya, sehingga mengurangi peningkatan kadar
glukosa post prandial pada penderita DM. Efek samping yang paling sering yaitu
flatulen (kembung), ketidaknyamana perut, dan diare. Contoh golonga ini adalah
akarbose dan miglitol dengan dosis awal 25 mg/hari dengan makan. Obat ini
diminum pada suapan pertama makanan, sehingga obat dapat efektif bekerja
dalam menghambat aktivitas enzim (Dipiro et al., 2015).

f. Golongan DPP-4 (Dipeptidyl Peptidase-4 Inhibitor)


Golongan ini bekerja dengan menghambat kerja enzim DPP-4, sehingga GLP-1
tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar
glukosa darah (Eliana, 2015). Contoh obat ini adalah Sitagliptin, Saxagliptin,
Linagliptin, Alogliptin (ADA, 2017).
g. Golongan SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidabetes oral jenis baru
yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin (Eliana, 2015).

h. Golongan Bile Acid Sequestrants


Kolesevelam (Welchol) mengikat asam empedu di lumen usus,
mengurangi asam empedu untuk reabsorpsi. Mekanisme dalam mengurangi kadar
glukosa plasma belum diketahui. Penurunan A1C dari baseline sekitar 0.4% .
Kolesevelam juga dapat menurunkan kolesterol LDL 12-16% pada penderita DM
tiba 2. Efek samping yang paling umum adalah sembelit dan dispepsia. Dosis
Kolesevelam untuk DM tipe 2 adalah 6 tablet 625 mg setiap hari (total 3,75
g/hari), terbagi menjadi tiga tablet dua kali sehari dengan makan karena
Kolesevelam mengikat empedu yang dilepaskan saat makan (Dipiro et al., 2015).

Tabel 2. Pemberian Obat Antihiperglikemik Oral


6.2 Algoritma Terapi Diabetes Melitus

Gambar 4. Algoritma pemakaian obat hipoglikemik pada pasien diabetes


mellitus tipe 2 (ADA, 2015)

Gambar 5. Algoritma pemakaian obat hipoglikemik pada pasien diabetes


mellitus tipe 2 (ADA, 2017)
Gambar 6. Algoritma pemakaian obat hipoglikemik pada pasien diabetes
mellitus (AACE/ACE, 2015)

Gambar 7. Algoritma pemakaian obat hipoglikemik pada pasien diabetes


mellitus tipe 2 (Perkeni, 2015)
6.3 Terapi Kombinasi Terapi

Terapi kombinasi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara


terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus
menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada
keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa darah yang belum tercapai,
sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan (Eliana, 2015). Pilihan terapi untuk
kombinasi antidiabetik oral:

Metformin + TZD
Metformin/TZD + sulfonilurea, meglitinid
Metformin + TZD/sulfonilurea + inhibitor glukosidase
Metformin + TZD, inhibitor glukosidase, sulfonilurea + insulin

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak dipergunakan


adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja
menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang
tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi
kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat antihiperglikemia oral
dihentikan (Eliana, 2015).
Gambar 8. Algoritma terapi kombinasi pasien diabetes melitus
(ADA, 2017)
DAFTAR PUSTAKA
American Assiosiation of Clinical Endocrinology/ American College of
Endocrinology (AACE/ACE). 2015. Comprehensive Diabetes Management
Algorithm. Endocr Pract 21(4): 1-10.
American Diabetes Association (ADA). 2017. Pharmacologic approaches
to glycemic treatment. Sec. 8. In Standards of Medical Care in Diabetes 2017.
Diabetes Care; 40 (Suppl. 1): S64S74.
Dipiro, J.T., Dipiro,C.V., Wells, B.G., dan Schwinghammer, T.L. 2015.
Pharmacotherapy Handbook. 9th edition. McGraw-Hill: United States.
Eliana, Fatimah. 2015. Penatalaksanaan DM Sesuai Konsensus Perkeni
2015. Tersedia online di http://www.pdui-pusat.com/wp-
content/uploads/2015/12/SATELIT-SIMPOSIUM-6.1-DM-UPDATE-DAN-Hb1C-
OLEH-DR.-Dr.-Fatimah-Eliana-SpPD-KEMD.pdf [Diakses pada 13 September
2017].
Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini.
Medicinus 27(2): 9-16.
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 Di Indonesia 2015. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia:
Jakarta.
Peters AL, Laffel L, Eds. Alexandria, VA. 2013. American Diabetes
Association/JDRF Type 1 Diabetes Sourcebook. American Diabetes Association,
JDRF: 359-392

Anda mungkin juga menyukai