Anda di halaman 1dari 8

Pelanggaran Pemilu & Mekanisme Penyelesaiannya

Februari 20, 2009 tipikor99

A. Ancaman Pelanggaran Terhadap Proses Demokratisasi

SECARA umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat. Salah satu prinsip demokrasi yang penting adalah adanya Pemilu yang bebas sebagai perwujudan nyata
kedaulatan rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan menunjukkan bahwa
membumikan ide yang mulia tersebut tidaklah semudah mengucapkannya.

Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis
secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain adalah : tersedianya aturan main yang
jelas dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan
yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua pihak. Tahapan penyelenggaraan pemilu 2009 telah diawali
dengan permasalahan hukum seperti penyerahan data kependudukan atau Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4)
oleh Pemerintah kepada KPU yang tidak lengkap dan proses pembentukan struktur KPU di daerah yang tidak sesuai
jadwal, keterlambatan pembuatan beberapa aturan, kesalahan pengumuman DCT dan pengumuman DPT yang belum final.

Selain itu, sengketa mengenai hasil perolehan suara dalam Pilkada Maluku Utara telah menyeret KPU ke dalam sengketa
kewenangan. KPU bersengketa dengan KPU Propinsi Malut dan berlanjut dengan Pemerintah dalam hal ini Departemen
Dalam Negeri. Beberapa pelanggaran tersebut muncul karena peraturan perundang-undangan yang ada masih belum
lengkap, multi tafsir, bahkan ada yang tidak sinkron.

Adanya persoalan menyangkut aturan ini berkibat pada penanganan pelanggaran yang inkonsisten atau justru mendorong
pembiaran atas pelanggaran karena peraturan yang ada tidak cukup menjangkau. Demi untuk mewujudkan
penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan memiliki integritas tinggi maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap
aturan yang telah ada melalui penambahan aturan, penegasan maksud dan sinkronisasi antar peraturan perundang-
undangan yang ada salah satu diantaranya adalah melalui pembuatan instrumen-instrumen komplain atas terjadinya
pelanggaran pemilu yang lengkap, mudah diakses, terbuka, dan adil. Lebih penting lagi adalah memastikan bahwa aturan
main yang ditetapkan tersebut dijalankan secara konsisten.

Tersedianya aturan yang konkrit dan implementatif penting untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum sehingga
pemilu memiliki landasan legalitas dan legitimasi yang kuat sehingga pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu tetap
mendapatkan dukungan masyarakat luas. Untuk itu maka segala pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaan
pemilu harus diselesaikan secara adil, terbuka dan konsisten.

B. Pelanggaran Pemilu 2009

Terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu 2009 sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena
adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat
dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu. Sebagai upaya antisipasi, UU 10
Tahun 2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) mengaturnya pada setiap tahapan
dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan tambahan ancaman atau sanksi. Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam
UU pemilu antara lain:

1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu
Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya;

2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim kampanye;

3. Pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia,
Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;

5. Pemantau dalam negeri maupun asing;

6. Masyarakat Pemilih, pelaksana survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai setiap orang.

Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar UU Pemilu
membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi:

(1) pelanggaran administrasi pemilu;

(2) pelanggaran pidana pemilu; dan

(3) perselisihan hasil pemilu.

(1) Pelanggaran Administrasi Pasal 248 UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran
administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan
ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah
ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Contoh pelanggaran administratif
tersebut misalnya: tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah,
tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau
pemilu melanggar kewajiban dan larangan.

(2) Tindak Pidana Pemilu Pasal 252 UU Pemilu mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang
mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi pidana.
Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang
lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian
tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

(3) Perselisihan Hasil Pemilu Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut pasal 258 UU Pemilu adalah
perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara
yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu. Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam UU No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan suara diselesaikan melalui
peradilan konstitusi di MK. Satu jenis pelanggaran yang menurut UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu
(UU KPU) menjadi salah satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran pemilu
yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara
kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (konflik) yang dalam konteks pemilu dapat terjadi antara peserta dengan
penyelenggara maupun antara peserta dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis
pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri (pasal 129 UU 12/2003).

Terhadap sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, UU 10/2008 tidak
mengatur mekanisme penyelesaiannya. Sengketa juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain
yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut, karena menyangkut banyak
pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain seperti peserta pemilu (parpol dan perorangan), media/pers,
lembaga pemantau, pemilih maupun masyarakat.

Berbeda dengan UU 12/2003, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam UU KPU dan UU
Pemilu tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian maka
Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk dirubah. Persoalannya, UU Pemilu juga tidak
memberikan ruang khusus untuk menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.

Contoh KASUS yang telah nyata ada adalah :

1) sengketa antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta
Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon peserta pemilu.

2) sengketa antara partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai pendaftaran calon legislatif.
Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.

C. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran


Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi tata cara penyelesaian yang diatur dalam UU hanya mengenai
pelanggaran pidana. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU dan selisih hasil perolehan suara
telah diatur dalam UU MK.

Batas Waktu Penanganan Pelanggaran Pemilu

1. Mekanisme Pelaporan Penyelesaian pelanggaran pemilu diatur dalam UU Pemilu BAB XX. Secara umum, pelanggaran
diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu. Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat
menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan dan
laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang. Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan
oleh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu
Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu.

Bawaslu memiliki waktu selama 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran. Apabila
Bawaslu menganggap laporan belum cukup lengkap dan memerlukan informasi tambahan, maka Bawaslu dapat meminta
keterangan kepada pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 hari.

Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak
pelanggaran pemilu atau bukan.

Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi:

1) pelanggaran pemilu yang bersifat administratif ; dan

2) pelanggaran yang mengandung unsur pidana.

Bawaslu meneruskan hasil kajian tersebut kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan. Aturan mengenai tata cara
pelaporan pelanggaran pemilu diatur dalam ketentuan pasal 247 UU 10/2008 yang diperkuat dalam Peraturan
Bawaslu No.05/2008.

2. Mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi Pelanggaran pemilu yang bersifat administrasi menjadi kewenangan
KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu bagi KPU untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut
dalam waktu 7 hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai dengan sifatnya, maka sanksi
terhadap pelanggaran administrasi hendaknya berupa sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berbentuk teguran,
pembatalan kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana pemilu.

Aturan lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat dalam peraturan KPU. Peraturan KPU
mengenai hal tersebut sampai saat ini belum ada. Meski kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi menjadi
domain KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Pemilu pasal 248-251,
tetapi UU Pemilu juga memberikan tugas dan wewenang kepada Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Propinsi dan
Bawaslu untuk menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang tidak mengandung
unsur pidana (lihat UU 10/2008 pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2).

Terhadap pelanggaran yang menyangkut masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu seperti anggota
KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, maka Peraturan KPU tentang Kode Etik
Penyelenggara Pemilu dapat diberlakukan. Hal yang sama juga berlaku bagi anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi,
Panwaslu Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, yang terikat dengan Kode Etik Pengawas Pemilu.

3. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu.

3.1. Proses Penyidikan. Sebenarnya penanganan tindak pidana pemilu tidak berbeda dengan penanganan tindak pidana
pada umumnya yaitu melalui kepolisian kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan tindak
pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara penyelesaian juga mengacu kepada KUHAP.
Dengan asas lex specialist derogat lex generali maka aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang
sama maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku.

Mengacu kepada pasal 247 angka (9) UU Pemilu, temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang
mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan yang cukup, diteruskan oleh
Bawaslu kepada penyidik Kepolisian. Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik polri dalam jangka waktu selama-lamanya
14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu. Kepolisian mengartikan 14 hari tersebut termasuk hari libur. Hal
ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan adalah 30 hari.
Guna mengatasi kendala waktu dan kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah membentuk tim kerja
yang akan menangani tindak pidana pemilu. Setiap tim beranggotakan antara 4-5 orang. TIM PENYIDIK TINDAK PIDANA
PEMILU POLRI BARESKRIM: 7 TIM (4 Dalam Negeri + 3 Luar Negeri), POLDA: 5 TIM, POLWIL: 3 TIM, POLRES: 10 TIM.

Dengan adanya tim kerja tersebut maka penyidikan akan dilakukan bersama-sama. Setelah menerima laporan
pelanggaran dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian terhadap:

1) kelengkapan administrasi laporan yang meliputi : keabsahan laporan (format, stempel, tanggal, penomoran, penanda
tangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap jenis pelanggaran, dan kejelasan penulisan; dan

2) materi/laporan yang antara lain : kejelasan indentitas (nama dan alamat) pelapor, saksi dan tersangka, tempat
kejadian perkara, uraian kejadian/pelanggaran, waktu laporan.

Berdasarkan indentitas tersebut, penyidik melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu 3 hari dengan
kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 hari tersebut yang dapat dilakukan di tempat tinggal saksi. 14 hari sejak
diterimanya lapaoran dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada
penuntut umum (PU).

3.2. Proses Penuntutan. UU Pemilu tidak mengatur secara khusus tentang penuntut umum dalam penanganan pidana
pemilu. Melalui Surat Keputusan (September 2008) Jaksa Agung telah menunjuk jaksa khusus pemilu di seluruh Indonesia
(31 Kejaksaan Tinggi, 272 kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan
Cabang Kejaksaan Negeri ditugaskan 2 orang jaksa khusus untuk menangani pidana pemilu tanpa menangani kasus lain di
luar pidana pemilu.

Di tingkat Kejaksaan Agung ditugaskan 12 orang jaksa yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) untuk
menangani perkara pemilu di pusat dan Luar Negeri. Penugasan ini dituangkan dalam Keputusan Jaksa Agung No.
125/2008.

Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan
berkas oleh penyidik maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada PU. Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, PU
melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan kasus di kepolisian pihak kejaksaan
sudah dilibatkan untuk mengawal proses penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu
melimpahkan perkara ke penyidik.

Dengan demikian maka PU dapat mempersiapkan rencana awal penuntutan/matrik yang memuat unsur-unsur tindak
pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari kepolisian maka surat
dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah limitasi waktu tidak menjadi kendala. Untuk
memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan
Kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakan hukum terpadu (Gakumdu).
Adanya Gakumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara.

3.3. Proses Persidangan. Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh Kejaksaan adalah
pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat bahwa pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan
pelanggaran menggunakan proses perkara yang cepat (speed trial).

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara
kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu. Perbedaan tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih
singkat dan upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.

Tujuh hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu.
Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan
khususnya di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan agar penanganan pidana
pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA (Perma).

PERMA No. 03/2008 menegaskan bahwa Hakim khusus sebagaimana dimaksud berjumlah antara 3 5 orang hakim
dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008 yang
memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkan/menunjuk hakim khusus yang menangani tindak
pidana pemilu.

Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke
Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah
putusan dibacakan.PNmelimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan
banding diterima.

PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7
(tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan
mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain.

3.4. Proses Pelaksanaan Putusan. Tiga hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT harus telah menyampaikan
putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan
diterima jaksa. Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan
suara peserta pemilu maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU
menetapkan hasil pemilu secara nasional.

Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota
dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk
menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud. Demikian pengecualian hukum beracara untuk menyelesaikan tindak
pidana pemilu menurut UU 10/2008 yang diatur berbeda dengan KUHAP. Sesuai dengan sifatnya yang cepat, maka proses
penyelesaian pelanggaran pidana pemilu paling lama 53 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan pelaksanaan
putusan oleh jaksa.

Pengaturan ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan UU 12/2003 yang memakan waktu 121 hari.

4. Perselisihan Hasil Perolehan Suara

Sesuai dengan Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perselisahan
tentang hasil perolehan suara pemilu diselesaikan melalui MK.

Tata cara penyelesaian perselisihan perolehan hasil suara pemilu 2009 telah diatur dalam PMK No. 14/2008 tentang
Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Permohonan diajukan oleh peserta
pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
Pengajuan permohonan disertai dengan alat bukti pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta,
serta dokumen tertulis lainnya. Apabila kelengkapan dan syarat permohonan dianggap tidak cukup, panitera MK
memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan
kelengkapan dan syarat tidak dilakukan, maka permohonan tidak dapat diregistrasi. Tiga hari kerja sejak permohonan
tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi panitera mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam permohonan
tersebut disertakan juga permintaan keterangan tertulis KPU yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara
yang diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut haraus sudah diterima MK paling lambat 1 hari sebelum hari
persidangan. Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dala mwaktu 7 hari kerja sejak permohonan diregistrasi.
Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari
persidangan.

Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi :

1) pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Panel Hakim yang terdiri
atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
permohonan apabila terdapat kekurangan paling lambat 1 x 24 jam.

2) pemeriksaan persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan MK, kedudukan pemohon, pokok permohonan,
keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan
MK dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Putusan MK
bersifat final dan selanjtunya disampaikan kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan kepada pihak
terkait. KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan tersebut.

D. Beberapa Permasalahan

a) Waktu Terjadinya Pelanggaran. Laporan pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu, pemantau dan pemilih harus
disampaikan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran. Dalam konteks hukum pidana, waktu
kejadian perkara (tempus delicti) terhitung sejak suatu tindak pidana atau kejadian dilakukan oleh si pelaku dan bukan
pada saat selesainya suatu perbuatan atau timbulnya dampak/akibat hukum.

Ketentuan ini secara sengaja telah menutup celah bagi proses hukum terhadap pelanggaran pemilu yang tidak terjadi di
ruang terbuka. Sebagai contoh pemberian atau penerimaan dana kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan
tetapi dilakukan melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena membutuhkan proses administrasi
dan terkendala hari libur maka dana baru diterima setelah 3 hari. Secara konseptual terjadinya pelanggaran adalah hari
jumat sehingga pelanggaran tidak dapat diproses.

b) Penanganan Laporan. Peraturan Bawaslu No. 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu DPR,
DPD, dan DPRD tidak memberikan rincian lebih jauh dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU Pemilu.
Beberapa format laporan sebagai lampiran dari Peraturan dimaksud lebih menunjukkan bahwa Peraturan mengarah
kepada petunjuk teknis dan pedoman Bawaslu tentang penerimaan laporan pelanggaran pemilu. Bawaslu perlu mengatur
lebih detail tentang tata cara penanganan laporan/temuan pelanggaran terkait dengan dokumen bukti indentitas,
informasi/keterangan yang cukup, jenis alat bukti minimal, materi pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang
akan diteruskan kepada penyidik.

c) Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi. Sampai saat ini KPU belum menerbitkan Peraturan tentang Tata
Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi yang diamanatkan UU 10/2008. Belum adanya aturan mengenai masalah ini
akan mengakibatkan penanganan pelanggaran administrasi yang berbeda antara kasus satu dengan yang lain bergantung
kepada kemauan KPU sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan dapat mencederai rasa keadilan.

Karena itu KPU harus segera membuat aturan tersebut sesegera mungkin sebagai pedoman bagi semua pihak yang
terlibat dan berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu. Peraturan tentang tata cara penyelesaian pelanggaran
administrasi setidaknya mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran, pemanggilan pelaku, pembuktian, adanya
kesempatan pelaku untuk membela diri, jenis sanksi yang dapat dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan,
proses pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti.

d) Penegasan wewenang dan tanggung jawab penyelesaian pelanggaran administrasi. Terjadi kerancuan
pengaturan dalam ketentuan UU Pemilu antara pasal 248-251 dengan pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123
ayat (2) serta UU KPU pasal 78 ayat (1) huruf c. Beberapa ketentuan yang bertolak belakang ini menyebabkan
ketidakpastian proses penanganan pelanggaran pemilu yang tidak mengandung unsur pidana.

Dikuatirkan KPU dan Bawaslu saling melepaskan tanggung jawab untuk menangani pelanggaran tersebut. Perlu ada
kesepakatan antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian tugas dan wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi.
Wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran administrasi pada tahap kampanye apakah
merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk dikesampingkan karena bertentangan dengan asas kepastian dan
keadilan. Kalau dianggap pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya.

e) Pengertian hari. UU Pemilu tidak meberikan definisi dan penjelasan mengenai hari untuk menangani pelanggaran
pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja atau termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama). Akibatnya
terjadi perbedaan pemahaman antar instansi penegak hukum pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah bersepakat
bahwa yang dimaksud dengan hari adalah 1 x 24 jam (termasuk di dalamnya hari libur) tetapi MA dan MK menegaskan
bahwa hari adalah hari kerja. KPU, meski beberapa tahapan penyelenggaraan pemilu juga dibatasi dengan hari, tidak
mengatur mengenai hal tersebut. Tidak adanya pengertian yang sama mengenai masalah ini akan berpotensi mengganggu
proses penanganan pelanggaran khususnya menyangkut batas waktu (daluarsa).

f) Tindakan terhadap TNI. UU 12/2003 pasal 132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap
pejabat negara seperti anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS harus dengan ijin khusus sebagaiman diatur dalam UU 13/1970
tidak berlaku. Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU 10/2008, sehingga keputusan Kepolisian dan Kejaksaan untuk
memeriksa anggota legislatif dan PNS tanpa ijin tersebut memiliki resiko hukum tersendiri. Selain itu, UU Pemilu juga tidak
mengatur keterlibatan POM TNI untuk memeriksa kasus yang menyangkut anggota TNI sementara penyidik Kepolisian
merasa tidak memiliki wewenang untuk memeriksa anggota TNI.

g) Gakkumdu. Pembuatan nota kesepahaman antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dan kesepakatan pembentukan
Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) belum menjawab kebutuhan terhadap kecepatan penanganan perkara.
Pasal 12 MOU menyangkut proses pengembalian berkas perkara dari PU kepada Penyidik untuk diperbaiki dimungkinkan
terjadi 2 kali masing-masing 3 hari. Kesepakatan ini dapat dianggap bertentangan ketentuan pasal 253 UU Pemilu yang
memberikan kesempatan pengembalian/perbaikan berkas dari PU ke Penyidik hanya satu kali (3 hari). Pengulangan ini
akan mengakibatkan perkara yang sampai ke PU telah melampaui tenggat waktu dari yang telah ditentukan dalam UU
Pemilu.

h) Banding. Proses penanganan banding atas putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang terhitung sejak
permohonan banding diterima. Sementara proses pelimpahan berkas perkara banding dari PN ke PT dapat dilakukan
paling lama 3 hari yang dihitung sejak permohonan banding diterima. Adanya titik hitung yang sama untuk dua
persoalan yang berkelanjutan mengakibatkan waktu pemeriksaan di tingkat banding berkurang menjadi 4 hari. Dengan
pemeriksaan yang sangat singkat dikhawatirkan PT tidak cukup waktu untuk menangani perkara.

i) Jumlah aparat. Khusus untuk menangani perkara pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2 orang jaksa sementara PN
dan PT harus menyediakan hakim khusus 3 5 orang sebagaimana diatur dalam Perma No. 03 tahun 2008 dan SEMA
07/A/2008. Jumlah aparat tersebut dapat menyebabkan proses penanganan perkara terbengkalai apabila terjadi
penumpukan perkara pada tahapan tertentu karena batasan waktu yang singkat dalam penanganannya termasuk apabila
pelanggaran terjadi di wilayah yang memiliki kendala geografis.

j) Jenis Pidana dan Hukum Acara Pemeriksaan. KUHP membedakan tindak pidana sebagai pelanggaran (tindak pidana
yang ancaman hukumannya kurang dari 12 bulan ) dan kejahatan (ancaman hukumannya 12 bulan ke atas).

Dalam KUHAP pelanggaran menggunakan hukum acara singkat dan kejahatan dengan hukum acara biasa. tetapi UU
10/2008 tidak membedakannya. Tidak ada penjelasan acara apa yang akan digunakan untuk mengadili, apakah
pelimpahan dengan menggunakan acara pemeriksaan singkat atau dengan pemeriksaan biasa. Karena menyangkut
tanggung jawab dari perkara inklusif perkara dan barang bukti. Apabila acara pemeriksaan singkat maka meski berkas
perkara telah dilimpahkan tetapi tanggungjawab tersangka tetap ada pada jaksa sampai proses persidangan. Tetapi
apabila menggunakan acara pemeriksaan biasa, maka sejak pelimpahan berkas tanggung jawab terhadap barang bukti
dan tersangka menjadi tanggung jawab pengadilan.

Selain itu sanksi pidana pemilu berbentuk kumulatif dengan rentang perbedaan yang cukup tinggi sehingga dapat
memunculkan disparitas putusan.

k) Pelaksanaan Putusan. UU memerintahkan 3 hari sejak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus segera dilaksanakan
oleh jaksa selaku eksekutor. Permasalahannya untuk melakukan eksekusi mengharuskan jaksa memperoleh salinan
putusan dari pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan putusan belum disampaikan apakah eksekusi tetap dapat
dilaksanakan? Karena terhadap tersangka jaksa tidak dapat melakukan penahanan seperti pasal 21 KUHAP. Selain itu
perlu juga ditegaskan mengenai bentuk salinan putusan dimaksud, apakah salinan putusan yang diketik, kutipan atau
petikan putusan?

l) Sengketa Putusan KPU. UU KPU dan UU Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat.
Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan sengketa. Namun begitu UU juga tidak mengatur mekanisme untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Sementara mekanisme gugatan melalui PTUN sulit dilakukan. Pasal 2 huruf g UU PTUN
(UU 5/1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9/2004) menegaskan tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusuan
TUN adalah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilu. Sekalipun yang dicantumkan secara
eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilu, tetapi SEMA No. 8/2005 tentang Petunjuk Teknis
Sengketa Pilkada mengartikan hasil pemilu meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait dengan pemilu. Selain
itu, dalam berbagai Yurisprudensi MA, telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang
lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Untuk mengisi
kekosongan hukum dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No. 8/2005 sebaiknya dicabut.

Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu

Alternatif (I): Gugatan, permintaan pihak yang merasa dirugikan kepada PTUN untuk membatalkan suatu Keputusan.

Alternatif (II): Konsiliasi, mempertemukan pihak-pihak yg bersengketa untuk mencapai suatu kesepakatan.

Alternatif (III): Mediasi, memberi tawaran alternatif kepada pihak-pihak yang bersengketa tetapi tidak mengikat.

Alternatif (IV): Arbitrase, pembuatan satu keputusan untuk menyelesaikan persengketaan yang harus dipatuhi oleh
pihak-pihak yang bersengketa.

E. Rekomendasi

Secara umum UU Pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan
penyelesaian pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus
yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara bersih.
Persoalannya beberapa ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu apalagi
mencegahnya. Hal ini karena ketentuan UU Pemilu belum lengkap, multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi.

Upaya mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana
diamanatkan UU Pemilu, kesepakatan bersama antara KPU Bawaslu dan lembaga penegak hukum mengenai tata cara
penanganan pelanggaran, serta meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan perundang-
undangan pemilu. Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat
dari tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas, penyelenggara
dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara
adil dan konsisten.
Sumber: http://www.reformasihukum.org/file/kajian/PelanggaranPemilu.rtf

GUGATAN YANG BERKAITAN DENGAN PARTAI POLITIK

MAHKAMAH Agung RI (MA-RI) pada tanggal 18 Desember 2008 telah mengeluarkan Surat Edaran
(SEMA) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Gugatan Yang Berkaitan Dengan Partai Politik (Parpol). SEMA Nomor 11 Tahun
2008 tanggal 18 Desember 2008 tersebut ditujukan kepada para Ketua pengadilan di lingkungan Peradilan Umum yaitu
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, serta pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yaitu
Pengadilan Tinggi TUN dan Pengadilan TUN di seluruh Indonesia.

SEMA dimaksud ditandatangani oleh Hakim Agung DR. Harifin A. Tumpa, S.H., M.H. Wakil Ketua MA-RI Bidang Non
Yudisial atas nama Ketua MA-RI. Dasar pertimbangan MA-RI menerbitkan SEMA tersebut adalah sehubungan semakin
dekatnya masa pemilihan umum (Pemilu) 2009 yang diperkirakan akan terjadi peningkatan kasus-kasus yang diajukan ke
Peradilan Umum dan PTUN, antara lain terkait dengan Parpol. Oleh karena itu, MA-RI memandang perlu untuk
memberikan pengarahan agar ada kesatuan persepsi sebagai berikut:

1. Bahwa pada umumnya perkara-perkara tersebut berisi gugatan yang ditujukan terhadap pejabat / fungsonaris dalam
tubuh Parpol, berkaitan dengan surat-surat keputusan yang diterbitkan dalam jangkauan internal kepartaian.

2. Bahwa sesuai dan mengacu pada yurisprudensi yang sudah digariskan, maka Parpol bukanlah jabatan Tata Usaha
Negara, sehingga keputusan-keputusan yang diterbitkan bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara dan tidak dapat
menjadi objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.

3. Bahwa gugatan kepada fungsionaris dalam tubuh Parpol yang diajukan kepada Peradilan Umum pada hakikatnya
merupakan urusan intrnal partai, sehingga Hakim wajib berhati-hati dalam penyelesaiannya jangan sampai putusan
tersebut akan menghambat tahapan dalam proses Pemilu.

Anda mungkin juga menyukai