Anda di halaman 1dari 2

Kitab kuning, dalam pendidikan agama islam, merujuk kepada kitab-kitab tradisional yang

berisi pelajaran-pelajaran agama islam (diraasah al-islamiyyah) yang diajarkan pada


Pondok-pondok Pesantren, mulai dari fiqh, aqidah, akhlaq/tasawuf, tata bahasa arab (`ilmu
nahwu dan `ilmu sharf), hadits, tafsir, `ulumul qur'aan, hingga pada ilmu sosial dan
kemasyarakatan (mu`amalah). Dikenal juga dengan kitab gundul karena memang tidak
memiliki harakat (fathah, kasrah, dhammah, sukun), tidak seperti kitab Al-Qur'an. Oleh
sebab itu, untuk bisa membaca kitab kuning berikut arti harfiah kalimat per kalimat agar
bisa dipahami secara menyeluruh, dibutuhkan waktu belajar yang relatif lama.

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Kebanyakan naskah para ulama pasca Khulafaa al-Rasyidin ditulis dengan menggunakan
Bahasa Arab tanpa harakat, tidak seperti Al-Qur'an pada umumnya. Dikarenakan tujuan
pemberian harakat pada Al-Quran lebih kepada bantuan bagi orang-orang non arab dan
penyeragaman. Sedangkan bagi orang yang menguasai tata bahasa bahasa Arab maka
dapat dengan mudah membaca kalimat tanpa harakat tersebut. Inilah yang kemudian di
Indonesia dikenal sebagai Kitab Gundul untuk membedakannya dengan kitab bertulisan
dengan harakat.

Sedangkan mengenai penyebutan istilah sebagai Kitab kuning, dikarenakan memang kitab-
kitab tersebut kertasnya berwarna kuning, hal ini disebabkan warna kuning dianggap lebih
nyaman dan mudah dibaca dalam keadaan yang redup. Ketika penerangan masih terbatas
pada masa lampau, utamanya di desa-desa, para santri terbiasa belajar di malam hari
dengan pencahayaan seadanya. Meski penerangan kini telah mudah, kitab-kitab ini
sebagian tetap diproduksi menggunakan kertas warna kuning mengikuti tradisi, walaupun
ada juga yang telah dicetak pada kertas berwarna putih (HVS). Sebab lainnya, adalah
karena umur kertas yang telah kuno yang turut membuat kertas semakin lama akan
menguning dan menjadi lebih gelap secara alami, juga disebutkan ketika dahulu lilin/lampu
belum bercahaya putih dan masih kuning maka kertas berwarna putih atau kuning sama
saja akan tetap terlihat kuning, sehingga ketika kertas kuning dahulu lebih ekonomis maka
penggunaan kertas kuning dapat meringankan ongkos produksi secara masal. Kini di era
modern Kitab-kitab tersebut telah dialih berkaskan menjadi fail buku elektronik,
misalnya chm atau pdf. Ada juga softwarekomputer dalam penggunaan kitab-kitab ini
yaitu Maktabah Syamila (Shameela) yang juga mulai populer digunakan dikalangan para
santri pondok pesantren modern.
Clifford Geertz seorang ahli antropologi dari Amerika Serikat dalam bukunya yang terkenal
berjudul "Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa" (judul aslinya The Religion of
Java)[1] memuat sekelumit ceria tentang kitab kuning. Ada pula buku karangan peneliti
Belanda Martin van Bruinessen yang berjudul "Kitab Kuning, Pesantren, dan
Tarekat",[2]yang membahas sejarah kitab kuning dan pendidikan Islam tradisional di
Indonesia.

Kitab Kuning Benteng NKRI dari


Ekstrimis

JAKARTA(KRjogja.com)- Khazanah keilmuan pesantren terbukti telah menjadi benteng


terkokoh dalam menjaga NKRI dari pemahaman keagamaan yang eksklusif dan ekstremis.

Demikian diungkapkan oleh Ketua Steering Commitee (SC) Musabaqoh atau Lomba Kitab
Kuning yang digelar oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melalui organisasi sayapnya
Garda Bangsa KH. Maman Imanulhaq. Menurutnya, jika tradisi (al-turts) khas atau
khazanah kejiwaan (makhzun al-nafs) yang dimiliki pesantren telah melahirkan pemikiran
yang progresif-transformatif dalam upaya membangun masyarakat."Pesantren acapkali
bersifat fleksibel dan toleran sehingga jauh dari watak radikal, apalagi ekstrem dalam
menyikapi masalah sosial, politik, maupun kebangsaan" , ungkap Anggota Dewan Syuro
PKB itu.

Karena punya watak dan tradisi yang fleksibel dan toleran itulah, ujar Kyai Maman,
pesantren mampu menjembatani problem keotentikan dan kemodernan (musykilah al-
ashalah wa al-hadatsah) secara harmonis.
(Fon)

Anda mungkin juga menyukai