Dari pengertian hijrah di atas, maka ada dua makna yang dapat diambil,
yaitu hijrah makani (perpindahan tempat), yakni dalam konteks fisik dan
hijrah ma’nawi, yakni pada konteks non fisik.
Peristiwa Hijrah
Kapankah tepatnya beliau hijrah ke Madinah? Beragam informasi dijumpai
pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam at-Thabari dan Ibnu
Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama
Yatsrib), Rasulullah SAW singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul
Awwal tahun 13 kenabian atau 24 September 622 M waktu Dhuha (sekitar
jam 8.00 atau 9.00).
Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin ‘Auf selama empat hari
(hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal atau 27 September 622 M dan
membangun masjid pertama; Masjid Quba. Pada hari Jumat 16 Rabi’ul
Awwal atau 28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di
tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni Wadin (lembah di sekitar
Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jum’at
(dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi shalat Jum’at
bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah shalat Jum’at yang
pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan shalat Jum’at, Nabi
SAW melanjutkan perjalanan menuju Madinah.
Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriyah maupun masehi,
namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi
pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram (awal Muharram ketika
itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).
Faktor Hijrah
Ada tiga peristiwa hijrah yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Hijrah
pertama pada bulan Rajab tahun ke lima setelah kenabian, ke Habasyah,
dilaksanakan oleh sekelompok sahabat yang terdiri dari dua belas orang
laki-laki dan orang wanita, yang dipimpin Ustman bin Affan.
Mereka mulai berpikir untuk mencari jalan keluar dari siksaan yang pedih
ini. Dalam kondisi yang sempit dan terjepit ini, Rasulullah SAW
memerintahkan beberapa orang Muslim hijrah ke Habasyah, melepaskan
diri dari cobaan sambil membawa agamanya.
Dua peristiwa ini menorehkan perasaan duka dan lara di hati Rasulullah
SAW. Belum lagi cobaan yang dilancarkan kaumnya, karena dengan
kematian keduanya mereka semakin berani menyakiti dan mengganggu
beliau. Sehingga beliau hampir putus asa menghadapi mereka.
Untuk itu beliau pergi ke Tha’if, dengan setitik harapan mereka, penduduk
Tha’if, berkenan menerima dakwah atau minimal mau melindungi dan
mengulurkan pertolongan dalam menghadapi kaum beliau. Sebab beliau
tidak lagi melihat seseorang yang bisa memberi perlindungan dan
pertolongan. Tetapi mereka menyakiti beliau secara kejam, yang justru
tidak pernah beliau alami sebelum itu dari kaumnya.
Beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa hijrah, antara lain:
1. Hendaknya selalu berusaha mengubah kemunkaran sekuat tenaganya,
dan jika tidak mampu maka hendaknya meninggalkan tempat kemunkaran
itu dan tidak berdiam di tempat kemunkaran atau kemaksiatan tersebut.
Tetapi selama usaha perubahan masih dapat dilakukan walaupun sedikit
demi sedikit, maka tidak mengapa berdiam di sana sambil terus
mengupayakan perbaikan.
3. Betapa luar biasanya usaha yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang
selalu mencoba berbagai inovasi baru dalam dakwahnya. Terobosan-
terobosan yang beliau lakukan ini nampak dari pemilihan berbagai tempat
beserta alasan-alasan yang relevan yang melatar-belakanginya.
Di antara peristiwa sejarah yang sangat monumental dalam perjalanan hidup Rasulullah
Saw., adalah peristiwa hijrah Sang Nabi dan sahabatnya dari kota Mekkah ke kota Madinah.
Dalam peristiwa tersebut tampak sosok manusia yang begitu kokoh dalam memegang
prinsip yang diyakini, tegar dalam mempertahankan aqidah, dan gigih dalam
memperjuangkan kebenaran. Sehingga sejarah pun dengan bangga menorehkan tinta
emasnya untuk mengenang sejarah hijrah tersebut, agar dapat dijadikan tolok ukur dalam
pembangunan masyarakat masa kini, menuju masyarakat madani dan rabbani. Tegak di
atas kebaikan, kebenaran, dan tegas terhadap kekufuran.
Perintah hijrah yang bermakna non-fisik telah diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw.,
di masa pertama kenabiannya. Hal ini dapat ditemukan dalam wahyu-wahyu awal
sebagaimana terekam dalam surat al-Muzammil ayat 10 dan al-Mudatstsir ayat 5. Tiga belas
tahun kemudian, Nabi dan para sahabat diperintahkan melakukan hijrah fisik demi
menyelamatkan iman mereka dari gangguan masyarakat kafir Mekkah. Hal ini menunjukkan
bahwa aktivitas hijrah, baik dalam arti fisik ataupun non-fisik, merupakan konsep yang
sangat penting dalam struktur ajaran agama.
Melalui hijrah itulah Nabi Muhammad membangun masyarakat Madinah yang berciri
egaliterianisme, penghargaan berdasarkan prestasi bukan prestise, keterbukaan partisipasi
seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan
berdasarkan keturunan.
Dari paparan tersebut, terdapat pelajaran yang bisa dipetik untuk diterapkan dalam
kehidupan masyarakat masa kini demi mencapai perubahan ke arah yang lebih baik.
Pelajaran pertama adalah, bahwa kita harus memiliki tekad yang kuat untuk meninggalkan
berbagai hal yang bertentangan dengan ajaran agama maupun nilai-nilai kemanusiaan.
Kemungkaran tersebut di antaranya seperti korupsi, menindas sesama manusia, menipu,
berbohong, merampas hak orang lain, dan masih banyak yang lain.
Kedua, masyarakat harus memiliki sikap dinamis dalam merespon perubahan zaman demi
mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Sikap dinamis itu dimanifestasikan dengan
cara mengambil hal terbaik dari masa kini, dengan tetap mempertahankan warisan terbaik
dari masa lalu.
Ketiga, bahwa perubahan yang dicita-citakan itu harus didasarkan kepada arah dan tujuan
yang jelas. Tujuan tersebut kemudian harus dilengkapi dengan kematangan strategi dan
taktik supaya gagasan-gagasan yang besar dapat diterjemahkan ke dalam dunia nyata.
Keempat, untuk menuju perubahan yang dicita-citakan, nilai-nilai spiritual menjadi suatu
keniscayaan yang harus dibina. Spiritualitas adalah sisi yang paling dalam dari diri manusia
sebagai agen perubahan. Oleh karena itu, jika spiritualitas tidak mendapatkan tempat dalam
diskursus perubahan, maka bisa dipastikan perubahan itu hanya bersifat semu dan tak
bermakna.
Kelima, perubahan yang dicita-citakan tak akan terjadi apabila persatuan sosial dalam
masyarakat tidak tercipta. Berdasarkan hal inilah, perbedaan-perbedaan yang merupakan
keragaman tidak boleh menghalangi kita untuk bergerak menuju tujuan bersama.
Perbedaan suku, ras, kelas sosial, bahkan agama, tidak boleh menjadikan masyarakat
terpecah, karena ia adalah modal sosial untuk membangun kemajuan.
Keenam, sudah saatnya kita memberikan penghargaan kepada sesama terutama dalam
konteks menjadikannya pemimpin berdasarkan prestasi yang telah dicapainya, dan bukan
berdasarkan prestise, apalagi keturunannya.
Ketujuh, bahwa perubahan harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki kemampuan
menjadi contoh dalam menjalankan perubahan tersebut. Kemampuan inilah yang dimiliki
Nabi Muhammad Saw., dalam memimpin masyarakat Madinah untuk menuju perubahan
yang berperadaban.
Di atas semua itu, proses hijrah harus kita lakukan demi menuju perubahan yang dicita-
citakan bersama. Karena hanya dengan hijrah-lah kita dapat mencapai tujuan sosial dari
kehidupan beragama dan berbangsa yaitu menciptakan kehidupan yang beradab dengan
memuliakan seluruh manusia berdasarkan prestasi yang dilakukannya.