PARU
Pendahuluan 1
Seorang ahli bedah dan/atau ahli anestesi akan meminta pendapat dari seorang
ahli penyakit dalam yang disebut sebagai konsultan perioperatif sebelum mereka melakukan
tindakan operasi serta anestesi.Bagi seorang ahli penyakit dalam konsultasi itu berdampak
professional dan hukum.Maka perlu bagi seorang ahli penyakit dalam mempunyai
pengetahuan medik di bidangnya dan pemahaman akan tata cara perilaku maupun rambu-
rambu yang bertujuan mengamankan si pasien maupun dokter itu sendiri.1
1
5. Mengupayakan keseimbangan antara faktor resiko dan manfaat dalam prosedur yang akan
dilaksanakan.
Hal diatas penting karena seorang pasien mungkin sudah mengidap penyakit
kronik atau menahun yang dapat memperberat kondisinya akibat tindakan pembedahan
maupun anestesi.Peranan seorang internis adalah upaya memberikan ketenangan pada ahli
bedah serta ahli anestesi dalam menjalankan tugasnya dengan cara mengamankan pasien
pasien dari perburukan keadaan akibat penyakit penyerta tersebut.
1. Tujuannya adalah menentukan dan melaporkan apakah terdapat risiko berlebih dan tidak
merupakan uraian penyakitnya.
1.Substansi saran yang diberikan tidak boleh keluar dari batasan kompentensi keahlian
sebagai spesialis penyakit dalam.
2.Batasi jumlah saran,terlalu banyak saran akan mengaburkan permasalahan yang seharusnya
menjadi perhatian.
3.Arahkan jawaban dan saran pada permintaan konsultasinya.Isi jawaban akan berbeda bila
permintaanya adalahadakah kelainan di bidang TS jika dengan mohon evaluasi adakah
kemungkinan risiko gangguan pernapasan pada pasien dengan PPOK.
4. Ikuti pasien sampai masa pasca bedah/pasca operasi karena berbagai komplikasi terjadi
pada masa ini (bila mendapat izin dari dokter utama pasien.
2
5. Penting untuk diingat bahwa konsultan tidak menyatakan persetujuan atau tidak ada
kontraindikasi opersimelainkan menyatakan bahwa secara umum pada pasien didapatkan
average risk dari segi penyakit dalam bila tidak ada kelainan penyerta atau bila pasien
mempunyai penyakit maka nyatakan pasien dalam risiko rendah atau sedang atau berat dari
segi kelainan yang didapat.
3
Anamnesis yang menyeluruh dan komprehensif diperlukan agar informasi
penting terkait dengan persiapan perioperatif tidak terlewatkan.Fokus anamnesis adalah untuk
mengidentifikasi adanya faktor risiko atau komorbid yang mempengaruhi risiko perioperatif..
Komplikasi dari post operasi adalah penurunan dari volume paru-paru setelah
operasi.Pada orang dengan obesitas secara fisiologis dijumpai adanya restriktif paru dan
keadaan ini pada kondisi post operasi akan menurunkan volume paru dan kemampuan untuk
bernafas secara dalam setelah operasi.Komplikasi paru post operasi dijumpai 10% pada BMI
43kg/m2 dan 12% dengan BMI lebih dari 43kg/m2.
Pemeriksaan fisik pada pasien yang mempunyai penyakit paru kronik perlu
mendapat perhatian seperti meningkatnya dimensi anteroposterior dada dan adanya bunyi
4
napas tambahan terutama wheezing.Adanya ronkhi atau bronkospasme mungkin
menunjukkan adanya penyakit paru atau gagal jantung.
Foto toraks
Spirometri
Tes yang dilakukan adalah pemeriksaan Kapasitas Ekspirasi Paksa dalam 1 detik
(FEV1) dan Kapasitas Vital Paksa (FVC).Hasil spirometri yang abnormalpada obstruktif
(apakah FEV1 rendah atau rasio FEV1/FVC rendah) dapat digunakan secara kuantitatif
memprediksi risiko komplikasi pulmonar.Walaupun pada pasien dengan hasil spirometri
abnormal berat(< 0,5%) dapat menjalani pada operasi emergensi dengan antisipasi risiko
yang sudah diketahui dan penangananya (seperti pemakaian ventilator sesudah operasi bial
terjadi gagal napas)
5
Tabel 2: Jenis operasi yang memerlukan pemeriksaan spirometri (Chest 1995; 107:1294-97)
Pemeriksaan analisa gas darah tidak diperlukan untuk semua kasus,pada keadaan
yang diragukan adanya hiperkapnia atau hipoksemia sedangkan spirometri tidak bisa
dilakukan dapat dilakukan pemeriksaan ini.Walaupun pada pasien preoperative sering
dijumpai kelainan pada gas darah tetapi pada pasien yang secara gambaran klinis dijumpai
kondisi PPOK yang berat dan dipastikan adanya hiperkapnia melalui gas darah.Kondisi ini
bukan merupakan kontrandikasi absolute operasi tetapi menunjukan risiko dari
operasi.Hipoksemia tidak menunjukan risiko lebih dari risiko dasarnya.
Pada waktu operasi dan pasca operasi pasien sering mengalami kelainan pada
oksigenasi dan ventilasi.Analisa gas darah tidak menambah kelainan risiko karena kebutuhan
tambahan oksigen ditentukan pada tingkat oksigenasi dan hemoglobin setelah operasi. Jika
telah diketahui riwayat penyakit sebelumnya kemudian dilakukan pemeriksaan fisik maka
dengan pemakain pulse oximetry maka dapt dinilai kadar oksigen tanpa melakukan tindakan
invasive, cepat dan hemat biaya.Pada pasien hipoksemia akan terdeteksi kejenuhan
oksigenasi arterial abnormal.
6
Pemeriksaan Albumin Serum
ASMA 1,7,8,9,10
Penelitian menunjukan pada asma terjadinya komplikasi paru meningkat bila pasien
masih dijumpai mengi ataui arus puncak eksiprasi < 80% dari nilai terbaiknya atau prediksi.
Risiko terjadinya bronkospasme pada mas perioperatif rendah bila asma dalam keadaan
stabil atau terkontrol dan kalaupun terjadinya komplikasi biasanya ringan.Oleh karena itu
pasien asma yang akan menjalani operasi diupayakan secepatnya dalam keadaan
terkontrol.Seperti diketahui klasifikasi asma berdasarkan beratnya asma,karena lebih rumit
dan belum pernah divalidasi mulai ditinggalkan dan hanya digunakan dalam
penelitian,sedangkan untuk npraktek sehari-hari dipakai klasifikasi control asma. Tes
Kontrol Asma adalah contoh alat ukur untuk menilai apakah kondisi asma pasien telah
terkontrol apa belum.TKA yang terdiri atas komponen aktivitas,sesak napas,bangun
7
malam,pemakaian obat pelega serta kontrol asma menurut penilaian pasien. TKA
memberikan skor 20 sampai 24 untuk asma terkontrol baik dan 25 untuk kontrol sempurna.
Skor <20 sebaiknya segera mungkin ditingkatkan dengan obat sama dan penghindaran
faktor pencetus.Ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika dijumpai serangan
1.Perlu untuk diperhatikan obat-obat dan bahan-bahan dapat mencetuskan serangan asma
perioperatif seperti aspirin,obat anti infalamasi non steroid,penyekat beta dan antibiotic.
2.Pada pasien yang baru mendapat serangan asma dan pasien asma yang menderita infeksi
saluran nafas agar mendapat terapi yang adekuat.Dan hl-hal lain juga perlu diperhatikan
seperti usia pasien,obesitas,pemakaian steroid jangka panjang serta keadaan malnutrisi yang
mengakibatkan kelemahan otot-otot pernafasan.
Pasien asma yang asimtomatik dan tidak mengunakan obat dapat dikatakan resiko
operasinya tidak tinggi. Kedaan ini diketahui dengan tidak dijumpainya serangan asma dan
FEV1 lebih dari 80%.Menurut Parker jika pasien dengan keadaan asimtomatik tetapi
FEV1<80% maka dapat diberikan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi,edema saluran
napas dan mengurangi produksi secret.Adapula yang menganjurkan kombinasi inhalasi
kortikosteroid dan agonis beta2.
Pada pasien asma yang memerlukan tindakan intubasi disarakan untuk memberikan
inhalasi agonis beta2 yang kerja cepat dengan dua sampai empat puff atau pemberian
nebulizer 30 menit sebelum intubasi .Beberapa penulis menyarakan memberikan
kortikosteroid secara sistemik 12 jam sebelum intubasi tetapi tidak memberikan
keuntungan.Pada penelitian dijumpai pemberian steroid sistemik lebih bermanfaat pada
pasien asma ,berat atau tergantung pada kortikosteroid.
Pada pasien asma asimtomatik karena pemakaian obat harus tetap meneruskan obat
tersebut.Pada pasien yang mengunakan kortikosteroid atau inhalasi dosis tinggi diperlukan
tambahan kortikosteroid sistemik untuk mencegah insifisiensi adrenal.Kortikosteroid dapat
diberikan 24-48 jam sebelum operasi dengan dosis prednison 40-60mg.Pemakaian jangka
pendek tidak memerlukan tapering off dan tidak menyebabkan infeksi luka atau
8
perlambatan penyembuhan.Matsuse dkk memberikan prednisolon 10-20mg/hari selama 1-2
hari sebelum operasi,metil prednisolon 80-125mg 2 jam sebelum operasi dan dilanjutkan
dengan 80 mg segera setelah operasi dan dijumpai pada 75 pasien asma intermitten dan
persisten ringan ternyata hanya 4% yang mengalami gejala asma ringan.
Pasien yang dijumpai gejala asma sebelum operasi harus mendapat terapi agonis beta2
dan kortikosteroid.Teofilin tidak dianjurkan sebagai lini pertama karena lebih banyak
keburukannya.Meskipun kondisi dapat membaik dan rencana operasi dapat dilakukan tetapi
harus dilakukann pengawasan tinggi karena reakititas saluran cerna masih tinggi.Bagi
pasien yang masih dijumpai gejala rencana operasi dapat ditunda kecuali pada pasien
emergensi.pada pasien yang operasi tidak dapat ditunda dan masih menunjukan gejala asma
diberikan inhalasi beta2 dan kortikosteroid sistemik dan dilanjutkan selama operasi.Tabel
dibawah ini adalah tindakan operasi sesuai dengan gejala asma yang dialami
Gambar 1 : Evaluasi preoperatif pada pasien asma (Preoperative evaluation of the patient with
Pemberian antibiotik tidak bermanfaat untuk mencegah pneumonia p
pulmonary disease; Revista Brasileria De Anestesiola, 19 November 2012 :11.
ada pasien asma kecuali dijumpai keadaan infeksi saluran napas atau immunodefisiensi
antibiotik diberikan sebelum operasi pada pasien yang dijumpai infeksi saluran nafas seperti
dahak yang purulent.Operasi elektif harus ditunda sampai pengobatan selesai dan gejala
membaik.Tabel dibawah ini adalah prosedur penatalaksanaan tindakan preoperatif sesuai
dengan tindakan operasi elektif atau emergency dan kondisi asma.
9
Gambar 2 : Alogaritma penatalaksnaan preoperatif pada pasien paru (Preoperative evaluation of
the patient with pulmonary disease; Revista Brasileria De Anestesiola, 19 November 2012 :11.
Tugas utama spesialis penyakit dalam menyiapkan kondisi seoptimal mungkin pada
pasien yang akan menjalani operasi.Pada umumnya selama operasi dan di dalam ruangan
transit masih dalam pengawasan spesialis anestesi.Pemilihan obat-obat anestesi,dan
premedikasi dan jenis anestesi yang diberikan tergantung dari pertimbangan dan
pengalaman spesialis anestesi.
10
harus menyelidiki diagnosis alternatif termasuk kerusakan ventilator, tabung endotrakeal
obstruksi(mis berbelit,lendir, bekuan), intubasi endobronkial, atau kondisi medis seperti
tension pneumothorax atau emboli paru sebelum membuat diagnosis definitif
bronkospasme.
Pasca operasi
11
tetap tegak ke depan sangat baik untuk pencegahan atelektasis. Pemulihan dan
pemeliharaan ventilasi pertukaran gas dengan rehabilitasi pernafasan awal,merupakan
tindakan pencegahan komplikasi paru lebih lanjut dan memungkinkan untuk dipulangkan
lebih awal
TUBERKULOSIS 1,11
Pasien yang ditemukan basil tahan asam yang positif adalah keadaan infeksius dimana
setiap batuk atau bersin maka kuman infeksius akan tersembur keluar dan menular ke orang
disekitarnya.Keadaan tuberculosis akan memburuk pada keadaan immunokompresi dan
keadaan stress yang dialami seseorang sebelum-selama dan sesudah operasi juga
menimbulkan keadaan imunkompromis ringan.Persiapan operasi pada pasien tuberculosis
dibagi atas beberapa jenis operasi dan kondisi infeksi tuberculosis.
Elektif
Pada operasi elektif infeksi pada pasien dengan BTA positif haruslah disembuhkan
dahulu dengan mengingat bahwa infeksi kronik dengan cara menghilangkan basil tahan
asam (konversi) maka penularan terbuka ke sekitarnya akan banyak dikurangi sambil
memberikan minimal 4 obat anti tuberculosis yang diperkirakan sensitive minimal 3
minggu.Sesudah operasi kamar operasi harus disterilkan dengan ultraviolet dan pasien harus
dirawat di ruang isolasi.
Pada pasien dengan pemeriksaan mikroskopik basil tahan (BTA) negative pada
keadaan ini minimal 3 minggu sebelum operasi diberikan obat anti tuberculosis (sedikitnya
terdiri atas 4 obat di mana 2 diantaranya adalah Rifampisin dan INH).Sama seperti pasien
dengan BTA positif maka kamar operasi harus disterilkan dengan ultra violet,pasien harus
dirawat ruang isolasi.
Pada pasien elektif dengan TB diseminata dengan BTA positif pada keadaan ini sama
dengan TB paru dengan BTA positif, yaitu terdiri atas 4 macam dengan 2 diantaranya
rifampisin dan INH sampai BTA konversi Sama seperti pasien dengan BTA positif maka
kamar operasi harus disterilkan dengan ultra violet,pasien harus dirawat ruang isolasi.
12
Pada pasien elektif dengan TB diseminata dengan BTA negatif pada keadaan ini sama
dengan TB paru dengan BTA positif, yaitu terdiri atas 4 macam dengan 2 diantaranya
rifampisin dan INH sampai BTA konversi Sama seperti pasien dengan BTA positif maka
kamar operasi harus disterilkan dengan ultra violet,pasien harus dirawat ruang isolasi.
Pasien dengan operasi elektif yang memiliki Tb ekstra paru obat anti tuberculosis
diberikan minimal 3 minggu sebelum hari operasi (sedikitnya terdiri dari 4 obat dimana 2
diantaranya rifampisin dan INH.
Operasi Emergensi
Pada kondisi emergensi operasi bisa dilakukan jika dijumpai kondisi emergensi yang
memerlukan tindakan operasi.Untuk meninimalkan penularan atau memburuknya keadaan
penyaki TB maka obat anti tuberculosis dapat diberikan sesudah operasi dengan rejimen
minimal 4 macam dan ruang operasi harus disterilkan dengan sinar ultraviolet dan pasien
dirawat diruang isolasi.
Komplikasi yang dijumpai pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu merokok,kondisi kesehatan yang
buruk,umur,obesitas,dan kondisi keparahan dari PPOK itu sendiri.Penyakit ini sendiri dapat
mempengaruhi organ di luar paru yang dapat memperberat kondisi pasien yang ditandai
dengan terbatasnya aliran udara pada umumnya progresif dan dihubungkan dengan respons
inflamasi yang abnormal pada paru.
Penyakit paru Obstruktif Kronik merupakan faktor risiko yang penting pada operasi.
Pada penelitian retrospektif dijumpai pasien PPOK yang mendapat penatalaksanaan terapi
preoperative komplikasi paru lebih sedikit dibandingkan dengan pasien tanpa
penatalaksanaan tersebut. Jika dijumpai FEV1< 40% maka komplikasi pascaoperasi 6 kali
lebih besar dan dipertimbangkan keuntungan operasi dari kesulitan yang ada. Evaluasi
persiapan operasi harus dilakukan dengan hati-hati termasuk identifikasi pasien dengan
risiko tinggi dan memerlukan pengobatan yang agresif. Pasien PPOK sering dijumpai
kelemahan otot-otot pernafasan yang kronik.Nutrisi yang buruk,gangguan elektrolit dan
hormone mempengaruhi kelemahan otot pernafasan dan hal ini harus diperbaiki sebelum
tindakan operasi.Pasien dengan PPOK juga harus diselidiki apa sudah memyebabkan
komplikasi jantung dan jika dijumpai keadaan ini maka harus diterapi sebelum operasi.
13
Dalam persiapan operasi pada pasien PPOK kita harus mengetahui tingkatan risiko
pada pasien melalui klasifikasi PPOK
Setelah tindakan operasi akan dijumpai komplikasi pasca operasi yaitu: gagal
napas,pneumonia,atelektasis,penggunaan ventilasi mekanik yang lama,PPOK dengan
eksaserbasi,bronkospasme dan tromboemboli.Oleh karena komplikasi diatas maka perlu
dilakukan persiapan preoperative secara optimal.
Pasien beresiko tinggi untuk tindakan operasi dengan anestesi umum jika dijumpai
FEV1/FVC < 70% ( <65%),FEV1 <70%, FVC <40% (untuk operasi toraks/abdominal bagian
atas) atau pada pasien yang tidak mampu atau terdapat kontraindikasi spirometri sebagai
berikut: hiperkapnia: PaCO2 >45% (PPOK Berat) beresiko tinggi walaupun tidak dilarang
untuk tindakan operasi.
1.Berhenti merokok
14
Merokok merupakan faktor risiko penting pada komplikasi paru pasca operasi.Beberapa
penelitian menununjukan adanya peningkatan risiko terhadap komplikasi paru 4 kali lebih
tinggi bahkan pada yang bukan PPOK.Dianjurkan adanya intervensi (berhenti merokok) pada
6-8 minggu sebelum operasi dan diteruskan sampai 10 hari pasca operasi.
3.Penanganan agresif pada pasien PPOK untuk mengoptimalkan fungsi paru dengan
bronkodilator,steroid,fisioterapi dada.Pada pasien dengan gejala PPOK harus mendapat
inhalasi ipratropium atau tiotropium,inhalasi agonis beta2 diberikan jika dijumpai gejala dan
wheezing.pemberian teofilin tidak diindikasikan pada pasien PPOK yang akan menjalani
operasi.Jika tetap dijumpai wheezing yang menetap dan fungsi pernapasan yang terganggu
walaupun telah diberikan bronkodilator maka harus diberikan kortikosteroid sewaktu
penataksanaan preoperative
4.Pemberian antibiotik jika dijumpai infeksi dan operasi ditunda sampai infeksi dapat
ditangani.
5. Edukasi pasien yaitu cara bernafas yang benar,latihan napas.Pasien yang mendapat latihan
napas ternyata meningkatkan kekuatan otot pernafasan dibandingkan dengan pasien yang
tidak melakukan latihan napas.
6.Pada pasien yang mengalami hypoxemia kronik dapat diberikan oksigen tekanan rendah
jangka pendek dan ternyata berhasil mencegah hipertensi pulmonal,gagal jantung.
Pada pasien PPOK keadaan saat operasi perlu juga diketahui yaitu jenis anestesi,lokasi
operasi,lamanya anestesi dan tipe insisi operasi.
Pada penelitian 1984 dijumpai tidak ada perbedaan antara anestesi spinal dan anestesi
umum pada operasi abdomen.Beberapa penelitian(Yeager,1987,Pederson,1990) mendapat
komplikasi lebih tinggi pada pasien dengan anestesi umum dibandingkan anestesi
spinal.Anestesi spinal dan epidural lebih aman dibandingkan dengan anestesi umum pada
pasien dengan risiko tinggi.Lokasi operasi di daerah abdomen ke atas lebih berisiko dari pada
daerah lainnya.Operasi kolesistektomi dengan laparoskopi mempunyai insiden komplikasi
yang rendah dibandingkan dengan tindakan laparatomi.Lamanya operasi diatas 4 jam
mempunyai komplikasi lebih tinggi dari operasi dibawah 2 jam. Operasi abdomen dengan
15
insisi yang kecil mengurangi manipulasi organ visceral dan meminimalkan efek yang tidak
diinginkan pada otot respirasi.
TUMOR PARU12
Evaluasi pada pasien Tumor paru mencakup jenis dan luasnya tumor,serta kondisi
dari kardiopulmonal.Pada tahun 2003 The American College of Chest Physicians
merekomendasikan petunjuk pada pasien tumor paru yang akan menjalani operasi (tabel 5)
Pada suatu penelitian ditemukan bahwa resiko operasi lebih tinggi pada pasien tumor
paru yang memiliki nilai fibrinogen dan lactate dihidrogenase yang tinggi.Penelitian yang
16
lain menemukan luasnya tumor,lamanya operasi,adanya gangguan jantung,dan usia tua juga
menimbulkan resiko tinggi pada operasi.
1,2
KESIMPULAN
Dalam menjawab konsultasi persiapan operasi jawaban untuk risiko operasi yaitu
ringan,sedang,berat untuk operasi dalam narkose,bukan ada atau tidak adanya kontra
indikasi.Walaupun permintaan konsultasi untuk tindakan anestesi regional tetap disiapkan
untuk narkose ( anestesi umum),dengan alasan apabila operasi dengan regional anestesi gagal
dan perlu dilanjutkan dengan narkose umun,maka persiapan sudah cukup tidak perlu
menunda operasi.
Dalam persiapan operasi pasien harus dipersiapkan benar sampai layak atau risiko
ringan untuk operasi.Apabila ada risiko sedang atau berat,maka perlu ditangani dulu
masalahnya,dilakukan pengobatan dan fisioterapi bila perlu.Namun kita tidak boleh
menunggu terlalu lama sampai pasien benar-benar memungkinkan untuk operasi dalam
narkose,karena penundaan tersebut mengakibatkan kondisi pasien memburuk akibat
terlambatnya operasi.Apabila hasil pemeriksaan tidak memungkinkan untuk operasi dalam
narkose,maka perlu dijawab risiko berat untuk operasi dalam narkose.
Persiapan preoperasi yang baik pada pasien Asma,TB Paru,PPOK dan Tumor Paru
akan mengurangi komplikasi pasca operasi. Mengidentifikasi keadaan pasien dan melakukan
penatalaksaan pada pasien yang berisiko akan mengurangi komplikasi intra dan pasca
operasi.
17
18
DAFTAR PUSTAKA
4. Luiza Helena Degani-Costa, Sonia Maria Faresina, Luiz Fernando dos Reis Falco.
Preoperative evaluation of the patient with pulmonary disease; Revista Brasileria De
Anestesiola, 19 November 2012 :11.
5. Peter Rock, MD, MBA, Anthony Passannante, MD. Preoperative assessment pulmonary,
Anesthesiology Clin N Am 22 (2004) 77 91
6. Hulzebos EH, Smit Y, Helders PP, van Meeteren NL. Preoperative physical therapy for
elective cardiac surgery patients. Cochrane Database Syst Rev 2012; 11
8. National Asthma Education and Prevention Program: Expert panel report III: Guidelines
for the diagnosis and management of asthma. Bethesda, MD: National Heart, Lung, and
Blood Institute, 2007..
9.Kabalin CS, Yarnold PR, Grammer LC. Low complication rate of corticosteroid-treated
asthmatics undergoing surgical procedures. Arch Intern Med 1995; 155:1379.
10.Pien LC, Grammer LC, Patterson R. Minimal complications in a surgical population with
severe asthma receiving prophylactic corticosteroids. J Allergy Clin Immunol 1988; 82:696.
11.Janice A Neil RN. Perioperative Care of the Patient with Tuberculosis, AORN J 88
(December 2008) 942-958.
12; Julia Feliz Whitaker, Tara Schulz, Eugene S. Chu,, Richard K. Albert, Preoperative
Evaluation of the Patient With Pulmonary Disease:Chest 5 November 2007,132
19