Anda di halaman 1dari 55

MATA MERAH DISERTAI PENURUNAN VISUS MENDADAK

1. Glaukoma Akut

Definisi Glaukoma

Glaukoma adalah kelainan mata berupa neuropati optik yang karakteristik, yang

berhubungan dengan berkurangnya lapang pandang, dengan faktor resiko utama

peninggian tekanan intra okuler (TIO).Glaukoma biasanya timbul karena tidak

seimbangnya antara produksi akuos dan aliran akuos keluar bola mata (outflow).

Sudut tertutup didefenisikan sebagai aposisi dari iris perifer terhadap trabekular

meshwork yang menyebabkan menurunnya drainage dari aquous humor melalui kamera

okuli anterior. Glaukoma sudut tertutup terjadi apabila aliran keluar aquous humor

terhambat akibat penutupan sudut kamera okuli anterior.

2.5 Epidemiologi

Glaukoma merupakan penyebab kebutaan yang paling sering di dunia, lebih kurang

sebanyak 6 juta orang mengalami kebutaan pada kedua matanya akibat glaukoma Di

Amerika Serikat lebih dari 3 juta orang menderita glaukoma, dan lebih dari separuh

mereka tidak menyadari sedang menderita penyakit ini, yang disebabkan karena

1
glaukoma sering tidak memberikan gejala pada awal penyakit. Kurang dari 10%

glaukoma di Amerika Serikat adalah angle closure glaucoma (ACG).

Di Asia ACG lebih sering terjadi daripada open angle glaucoma. Glaukoma sudut terbuka

primer adalah bentuk glaukoma yang sering dijumpai. Sekitar 0,4-0,7% orang berusia

lebih dari 40 tahun dan 2-3% orang berusia lebih dari 70 tahun diperkirakan mengidap

glaukoma sudut terbuka primer. Penyakit ini 3 kali lebih sering dan umumnya lebih

agresif pada orang yang berkulit hitam. Jika terdapat kecenderungan familial yang kuat

dan kerabat dekat, pasien dianjurkan menjalani pemeriksaan skrining secara teratur. Di

Indonesia Angka kebutaan mencapai 1,5% ( survey 1996 ) danGlaukoma menjadi

penyebab kedua kebutaan setelah katarak.

Etiologi dan Faktor Risiko

Adapun etiologi glaukoma akut sudut tertutup adalah :

1. Pupillary block merupakan penyebab paling sering pada glaukoma sudut tertutup.

Akuos humor yang dihasilkan sel epitel siliar dengan cara sekresi atau transportasi aktif,

ultrafiltrasi, simple diffusion masuk ke bilik mata belakang, kemudian melalui pupil

menuju bilik mata depan dan terus ke sudut bilik mata depan, tepatnya ke jaringan

trabekulum, mencapai kanal Schlemm dan melalui saluran ini keluar dari bola mata. Pada

bilik mata depan yang dangkal akibat lensa dekat pada iris, maka akan terjadi hambatan

aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan. Hambatan ini dapat

menyebabkan meningkatnya tekanan di bilik mata belakang. Pada sudut bilik mata depan

yang tadinya memang sudah sempit, dorongan ini akan menyebabkan iris menutupi

jaringan trabekulum. Akibatnya akuos humor tidak dapat atau sukar mencapai jaringan

ini dan tidak dapat disalurkan keluar. Blokade ini menyebabkan akumulasi akuos humor

di bilik mata depan dan peningkatan tekanan intra okuler secara akut. Terjadilah

glaukoma sudut tertutup.

2
Gambar segmen anterior mata

2. Hipermetropi. Pasien hipermetropi mempunyai bilik mata depan yang dangkal,

sudut bilik mata depan yang sempit dan sumbu mata yang pendek. Pada waktu pupil

berdilatasi, iris bagian tepi akan menebal, sehingga sudut bilik mata depan yang asalnya

sudah sempit akan mudah tertutup.

3. Glaukoma akut akibat midriatik sudah lama dikenal ( mydriatic glaucoma ).

Penggunaan tetes mata homatropin, atropine dan skopolamin dapat mengakibatkan

glaukoma akut. Bahkan suntikan atropine untuk kasus muntah berak atau untuk persiapan

pembiusan dapat mengakibatkan glaukoma akut karena dilatasi pupil.

4. Beberapa obat-obatan dapat menyebabkan glaukoma akut sudut tertutup. Obat-

obatan turunan sulfa seperti acetazolamide, sulfamethoxazole, dan hydrochlorothiazide.

Topiramate, merupakan antiepileptik baru, belakangan ini juga dilaporkan menyebabkan

glaukoma akut sudut tertutup. Mekanisme penutupan sudut diperkirakan karena

pembengkakan badan siliar dengan pergeseran diafragma lensa-iris ke anterior.

5. Penyebab lain. Beberapa mekanisme dapat menyebabkan diafragma lensa-iris

terdorong ke depan. Space Occupying Lesion ( seperti pembengkakan yang berhubungan

dengan inflamasi badan siliar) dapat menyebabkan iris menutup jaringan trabekulum.

3
Beberapa hal yang memperberat risiko glaukoma:

Tekanan bola mata

Usia

Hipertensi, risiko 6 x lebih sering

Riwayat glaukoma pada keluarga, risko 4 x lebih sering

Tembakau, 4 x lebih sering

Miopi, risiko 2 x lebih sering

Diabetes mellitus, risiko 2 x lebih sering

Patogenesis Glaukoma Akut

Glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan intra-okuler yang disertai pencekungan

diskus optikus dan pengecilan lapangan pandang. Pada sebagian besar kasus tidak

terdapat penyakit mata lain (glaukoma primer). Tekanan intra-okuler tersebut ditentukan

oleh kecepatan pembentukan humor akueus dan tahanan terhadap aliran keluarnya air

mata. Mekanisme peningkatan tekanan intra-okuler pada glaukoma adalah gangguan

aliran keluar humor akueus akibat kelainan sistem drainase sudut kamera anterior

(glaukoma sudut terbuka) atau gangguan akses humor akueus ke sistem drainase

(glaukoma sudut tertutup). Patofisiologi peningkatan tekanan intra-okuler-baik

disebabkan oleh mekanisme sudut terbuka atau sudut tertutupakan berhubungan dengan

bentuk-bentuk glaukoma.

Efek peningkatan tekanan intra-okuler di dalam mata ditemukan pada semua bentuk

glaukoma, yang manifestasinya ditentukan oleh perjalanan waktu dan besar peningkatan

tekanan intra-okuler. Mekanisme utama pada penurunan penglihatan pada glaukoma

adalah atrofi sel ganglion difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan inti

4
bagian dalam retina dan berkurangnya akson di saraf optikus. Diskus optikus menjadi

atrofik, disertai pembesaran cekungan optik. Iris dan korpus siliare juga menjadi atrofik,

dan prosesus siliaris memperlihatkan degenerasi hialin. Pada glaukoma sudut tertutup

akut, tekanan intra-okuler mencapai 60-80 mmHg, sehingga terjadi kerusakan iskemik

pada iris yang disertai edema kornea. Pada glaukoma sudut tertutup yang akut terjadi

apabila terbentuk iris bombe yang menyebabkan sumbatan sudut kamera anterior oleh iris

perifer.

Hal ini menyumbat aliran humor akueus dan tekanan intra-okuler meningkat dengan

cepat, menimbulkan nyeri hebat, kemerahan dan kekaburan penglihatan. Glaukoma sudut

tertutup terjadi pada mata yang sudah mengalami penyempitan anatomik sudut kamera

anterior (dijumpai terutama pada hipermetropi). Sedangkan pada glaukoma sudut tertutup

yang kronik, sejumlah kecil pasien dengan predisposisi penutupan sudut kamera anterior

tidak pernah mengalami episode peningkatan akut tekanan intra-okuler tetapi mengalami

sinekia anterior perifer yang semakin luas disertai peningkatan bertahap tekanan intra-

okuler. Para pasien ini memperlihatkan manifetasi yang diperlihatkan oleh pasien

glaukoma sudut tertutup primer, sering dengan pengecilan ekstensif lapangan pandang.

Kadang-kadang para pasien tersebut mengalami serangan-serangan penutupan sudut

subakut.

Gejala Klinis Glaukoma Akut

Gejala glaukoma umumnya agak sulit diketahui, karena sering tidak disadari oleh

penderitanya atau dianggap sebagai tanda dari penyakit lain sehingga kebanyakan

penderita datang ke dokter mata dalam keadaan yang lanjut dan bahkan sudah buta.

Selain itu, hal ini diperparah oleh minimnya pengetahuan penderita dan keluarganya

terhadap penyakit glaukoma. Secara umum gejala glaukoma dibedakan atas akut dan

kronik.

5
Pada jenis glaukoma akut, penderita akan mengalami nyeri yang sangat hebat pada mata,

sakit kepala, hingga mual muntah. Penglihatan dirasakan menurun drastis dan mata

terlihat merah. Keadaan ini disebut glaukoma akut yang terjadi akibat peningkatan TIO

yang mendadak. Pada beberapa kasus, keadaan ini sering disalahartikan dengan sakit

kepala migren, hipertensi (tekanan darah tinggi), gastritis (sakit maag) ataupun infeksi

mata biasa (konjungtivitis).

Glaukoma umumnya mengenai kedua mata, namun biasanya kebutaan yang timbul tidak

bersamaan. Pada banyak kasus kebutaan terjadi pada satu mata kemudian mengenai mata

lainnya. Saat inilah penderita baru menyadari adanya gangguan penglihatan.

Diagnosis Glaukoma Akut

Seseorang yang datang dalam fase serangan akut glaukoma member kesan seperti orang

yang sakit berat dan kelihatan payah, mereka diantar oleh orang lain atau dipapah.

Penderita sendiri memegang kepalanya karena sakit, kadang-kadang pakai selimut.Hal

inilah yang mengelabui dokter umum, sering dikiranya seorang penderita dengan suatu

penyakit sistemik.

Dalam anamnesis, keluarganya akan menceritakan bahwa sudah sekian hari penderita

tidak bisa bangun, sakit kepala dan terus muntah-muntah, nyeri dirasakan di dalam dan di

sekitar mata. Penglihatannya kabur sekali dan dilihatnya warna pelangi di sekitar lampu.

Apabila mata diperiksa, ditemukan kelopak mata bengkak, konjungtiva bulbi yang sangat

hiperemik (kongestif), injeksi siliar dan kornea yang suram. Bilik mata depan dangkal

dapat dibuktikan dengan memperhatikan bilik mata depan dari samping. Pupil tampak

melebar, lonjong miring agak vertikal atau midriasis yang hampir total.

Reflek pupil lambat atau tidak ada.Tajam penglihatan menurun sampai hitungan

jari.Sebenarnya dengan tanda-tanda luar ini ditambah anamnesis yang teliti sudah cukup

untuk membuat suatu diagnosis persangkaan yang baik.

6
Diagnosis baru dapat ditegakkan kalau tekanan bola mata diukur, lalu didapatkan tinggi

sekali. Apabila tidak ada tonometer Schiotz, terpaksa harus dipakai cara digital. Mereka

yang tidak biasa untuk menafsir tekanan bola mata dengan jari dan merasa ragu-ragu,

dianjurkan untuk membandingkan dengan mata orang lain atau mata sendiri.

Pemeriksaan Penunjang

1. Tonometri

Tujuan pemeriksaan dengan tonometri adalah untuk mengetahui tekanan bola

mata seseorang(tekanan intra okuler). Rentang tekanan intra okuler normal adalah 10-24

mmHg. Yang paling sering digunakan adalah tonometer aplanasi Goldman.

Ada empat bentuk tonometri atau pengukur tekanan bola mata :

b. Tonometri Schiotz

Dasar:

Tonometer Schiotz merupakan tonometer indentasi atau menekan permukaan

kornea dengan beban yang dapat bergerak bebas pada sumbunya. Benda yang ditaruh

pada kornea akan menekan bola mata kedalam dan mendapat perlawanan tekanan dari

dalam melalui kornea. Keseimbangan tekanan tergantung pada beban tonometer.

Tujuan:Melakukan pemeriksaan tekanan bola mata dengan tonometer.

Nilai:

Pembacaan skala dikonfersi pada tabel untuk mengetahui bola mata dalam

mmHg. Tekanan bola mata normal 15-20 mmHg.

Tonometer Schiotz tidak dapat dipercaya pada miopia dan penyakit tiroid

karena terdapat pengaruh kekakuan sklera pada pemeriksaan.

3. Funduskopi

a. Pemeriksaan ophtalmoskop langsung

Tujuan ; Untuk menilai kelainan dan keadaan pada fundus okuli.

7
Dasar ; Cahaya yang dimasukkan kedalam fundus akan menghasilkan reflek fundus.

Gambaran fundus mata akan terlihat bila fundus diberi sinar .Funduskopi dilihat dikamar

gelap.

Nilai : pada papil saraf optik dapat terlihat apakah ada papil edema, hilangnya pulsasi

vena, saraf optik, ekskavasi papil pada glaukoma dan atrofi saraf optik. Pada retina dapat

dinilai kelainan seperti perdarahan subhialoid, perdarahan intraretina, lidah api, dots,

blots, edema retina dan edema makula. Pembuluh darah retina dapat dilihat perbandingan

atau ratio arteri vena, perdarahan arteri dan vena dan adanya mikroaneurisma dari vena.

Pada glaukoma dapat terlihat:

- kelainan papil saraf optik (papil glaukomatous) pembesaran cup yang

konsententrik, saraf optik pucat atau atropi, saraf optik tergaung

- kelainan serabut retina, serat yang pucat atau atropi akan berwarna hijau

- tanda lainnya seperti perdarahan peripapilar

Normal funduskopi Funduskopi

pada pasien Glaukoma

b. Ophtalmoskop Tidak Langsung

Alat ini dipasang dikepala pemeriksa dan memungkinkan pandangan binokular

melalui sepasang lensa dengan kekuatan lengkap. Pasien diminta melihat kearah kuadran

yang diteliti. Sebuah lensa cembung dipegang beberapa inchi dari mata pasien dengan

arah yang tepat sehingga serentak memfokuskan cahaya pada retina. Alat ini memberikan

lapangan pandang yang jauh lebih lebar dengan pembesaran yang lebih lemah.

Penatalaksanaan

8
A. Medikamentosa

Pengobatan dengan obat-obatan ditujukan untuk menurunkan tekanan intraokular dengan

cepat, untuk mencegah kerusakan nervus optikus, untuk menjernihkan kornea,

menurunkan inflamasi intraokular, miosis, serta mencegah terbentuknya sinekia anterior

perifer dan posterior. Obat-obat yang bisa diberikan pada penderita glaukoma sebagai

berikut:

1. Prostaglandin analog

a. Latanaprost (Xalatan) : konsentrasi 0,005% dan dosis 4 kali sehari. Obat ini

mempunyai efek untuk menurunkan aliran uveoskleral dan dapat menurunkan TIO

sebesar 25-32%. Efek samping yang ditimbulkan pada mata adalah meningkatkan

pigmentasi iris, hipertrikosis, penglihatan kabur, keratitis, uveitis anterior, konjungtiva

hiperemis, reaktivasi keratitis herpes, sedangkan efek samping sistemik adalah gejala

seperti flu, nyeri sendi dan otot, sakit kepala.

b. Travoprost (travatan) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,004% dengan dosis

pemakaian 4 kali sehari dan efeknya sama dengan latanoprost yaitu meningkatkan aliran

uveoskleral dan menurunkan TIO sebesar 25-32%. Efek samping yang ditimbulkan pada

mata adalah meningkatkan pigmentasi iris, hipertrikosis, penglihatan kabur, keratitis,

uveitis anterior, konjungtiva hiperemis, reaktivasi keratitis herpes, sedangkan efek

samping sistemik adalah gejala seperti flu, nyeri sendi dan otot, sakit kepala.

c. Bimanoprost (lumigan) : konsentrasi 0,005% dan dosis 4 kali sehari. Obat ini

mempunyai efek untuk menurunkan aliran uveoskleral dan trabekular serta dapat

menurunkan TIO sebesar 27-33%. Efek samping sama dengan latanaprost.

d. Unoprostone (rescula) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,15% dan dosis

pemakaian 2 kali sehari. Obat ini mempunyai efek untuk meningkatkan aliran trabekular

serta dapat menurunkan TIO sebesar 13-18%. Efek samping sama dengan latanoprost.

2. -Adrenergic antagonist ( -bloker )

9
a. Nonselektif

i. Timolol maleate (timoptic) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,25%, 0,5% dan

dosis pemakaian 4 kali sehari. Efeknya yaitu menurunkan produksi akuos dan

menurunkan TIO 20-30%. Adapun efek samping yang ditimbulkan pada mata adalah

kekaburan, iritasi, anestesi kornea, keratitis punctate, alergi sedangkan efek samping

sistemik adalah bradikardi, blok jantung, bronkospasme, hipotensi, depresi SSP.

ii. Timolol-LA (istalol) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,5% dan dosis pemakaian

4 kali sehari. Efeknya yaitu menurunkan produksi akuos dan menurunkan TIO sebesar

20-30%. Adapun efek samping yang ditimbulkan pada mata adalah kekaburan, iritasi,

anestesi kornea, keratitis punctate, alergi sedangkan efek samping sistemik adalah

bradikardi, blok jantung, bronkospasme, hipotensi, depresi SSP.

iii. Timolol hemihydrate (betimol) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,5% dan dosis

pemakaian 2-4 kali sehari. Efeknya yaitu menurunkan produksi akuos dan menurunkan

TIO sebesar 20-30%. Adapun efek samping yang ditimbulkan pada mata adalah

kekaburan, iritasi, anestesi kornea, keratitis punctate, alergi sedangkan efek samping

sistemik adalah bradikardi, blok jantung, bronkospasme, hipotensi, depresi SSP.

iv. Levobunolol (betagan) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,25%, 0,5% dan dosis

pemakaian 2-4 kali sehari. Efeknya yaitu menurunkan produksi akuos dan menurunkan

TIO sebesar 20-30%. Adapun efek samping yang ditimbulkan pada mata adalah

kekaburan, iritasi, anestesi kornea, keratitis punctate, alergi sedangkan efek samping

sistemik adalah bradikardi, blok jantung, bronkospasme, hipotensi, depresi SSP.

v. Metipranolol (optipranolol) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,3% dan dosis

pemakaian 2 kali sehari. Efeknya yaitu menurunkan produksi akuos dan menurunkan TIO

sebesar 20-30%. Adapun efek samping yang ditimbulkan pada mata adalah kekaburan,

iritasi, anestesi kornea, keratitis punctate, alergi sedangkan efek samping sistemik adalah

bradikardi, blok jantung, bronkospasme, hipotensi, depresi SSP.

10
vi. Carteolol hydrochloride (ocupress) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,1% dan

dosis pemakaian 2-4 kali sehari. Efek samping sistemik adalah intrinsik

simapatomimetik.

b. Selektif

Betaxolol (betoptic) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,25% dan dosis pemakaian 2 kali

sehari. Efeknya yaitu menurunkan produksi akuos dan menurunkan TIO sebesar 15-20%.

Adapun efek samping yang ditimbulkan pada mata adalah kekaburan, iritasi, anestesi

kornea, keratitis punctate, alergi sedangkan efek samping sistemik adalah komplikasi

paru-paru.

3. Adrenergic agonist

i. Epinefrin (epifrin) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,25%, 0,5%, 1%, 2% dan

dosis pemakaian 2 kali sehari. Efeknya yaitu meningkatkan aliran akuos dan menurunkan

TIO sebesar 15-20%. Adapun efek samping yang ditimbulkan pada mata adalah iritasi,

konjungtiva hiperemis, retraksi kelopak mata, midriasis dan lain-lain sedangkan efek

samping sistemik adalah hipertemsi, sakit kepala, ekstrasistole.

ii. Dipivefrin HCl (propin) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,1% dan dosis

pemakaian 2 kali sehari. Efeknya yaitu meningkatkan aliran akuos dan menurunkan TIO

sebesar 15-20%. Adapun efek samping yang ditimbulkan pada mata adalah iritasi,

konjungtiva hiperemis, retraksi kelopak mata, midriasis dan lain-lain.

4. 2-Adrenergik agonist

a. Selektif.

Apraclonidin HCl (iopidin) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,5%, 1% dan dosis

pemakaian 2-3 kali sehari. Efeknya yaitu menurunkan produksi akuos, menurunkan

tekanan vena episkleral dan menurunkan TIO sebesar 20-30%. Adapun efek samping

yang ditimbulkan pada mata adalah iritasi, iskemia, alergi, retraksi kelopak mata,

11
konjungtivitis folikularis dan lain-lain sedangkan efek samping sistemik adalah hipotensi,

kelelahan, hidung dan mulut kering, vasovagal attack.

b. Sangat selektif

i. Brimonidine tartrate 0,2% (alphagan) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,2% dan

dosis pemakaian 2-3 kali sehari. Efeknya yaitu menurunkan produksi akuos,

meningkatkan alairan uveoskleral dan menurunkan TIO sebesar 20-30%. Adapun efek

samping yang ditimbulkan pada mata adalah kekaburan, edem kelopak mata, kekeringan,

sensasi benda asing, sedangkan efek samping sistemik adalah sakit kepala, hipotensi,

kelelahan, insomnia dan lain-lain.

ii. Brimonidine tartrate in purite 0,15% (alphagan P) : obat ini mempunyai

konsentrasi 0,15% dan dosis pemakaian 2-3 kali sehari. Efeknya yaitu menurunkan

produksi akuos, meningkatkan aliran uveoskleral dan menurunkan TIO sebesar 20-30%.

Adapun efek samping yang ditimbulkan pada mata adalah kekaburan, edem kelopak

mata, kekeringan, sensasi benda asing, sedangkan efek samping sistemik adalah sakit

kepala, hipotensi, kelelahan, insomnia dan lain-lain, kecuali pada pasien yang alergi pada

alphagan.

5. Parasympatomimetic (miotic) agents

a. Agonist kolinergik (direct acting)

Pilocarpin HCl (isoptocarpine) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,2-10% dan dosis

pemakaian 2-4 kali sehari. Efeknya yaitu meningkatkan aliran trabekular, menurunkan

TIO melalui kontraksi otot siliaris, kontraksi tersebut menarik taji sklera dan

menyebabkan anyaman trabekular teregang dan terpisah. Jalur cairan terbuka dan aliran

keluar akuos meningkat. Obat ini merupakan langkah pertama dalam terapi glaukoma.

Dosis dan frekuensi pemberiannya disesuaikan dengan individu. Peningkatan konsentrasi

dan interval dosis bisa memperbaiki respon yang inadekuat dan menurunkan TIO sebesar

15-25%. Adapun efek samping pada mata adalah sinekia posterior, keratitis, miosis,

12
miopia dan lain-lain. Sedangkan efek sistemiknya adalah meningkatkan salivasi,

meningkatkan sekresi gaster.

b. Anti kolinesterase agent (indirect acting)

Echothiopate iodide (phospholine iodide) : obat ini mempunyai konsentrasi 0,125% dan

dosis pemakaian 2-4 kali sehari. Efeknya yaitu meningkatkan aliran trabekular dan

menurunkan TIO sebesar 15-25%. Adapun efek samping yang ditimbulkan pada mata

adalah miopia, katarak, epifora dan lain-lain, sedangkan efek samping sistemik adalah

meningkatkan salivasi, meningkatkan sekresi gaster.

6. Carbonic anhidrase inhibitors

a. Oral

i. Asetazolamide (diamox) : obat ini mempunyai konsentrasi 62,5, 125 dan 250mg

dan dosis pemakaian 2-4 kali sehari. Efeknya yaitu menurunkan produksi akuos.

Acetazolamide bekerja pada badab siliaris dan mencegah sintesis bikarbonat. Ini

menyebabkan penurunan transport natrium dan pembentukan akuos karena transport

bikarbonat dan natrium saling berkaitan. Acetazolamide diberikan secara oral, tetapi obat

ini terlalu toksik untuk penggunaan jangka panjang dan menurunkan TIO sebesar 15-

20%. Adapun efek samping sistemiknya adalah asidosis, depresi, latargi dan lain-lain.

ii. Metazolamide (metazane) : obat ini mempunyai konsentrasi 25, 50 dan 100mg dan

dosis pemakaian 2-3 kali sehari. Efeknya yaitu menurunkan produksi akuos dan

menurunkan TIO sebesar 15-20%. Adapun efek samping sistemiknya adalah asidosis,

depresi, latargi dan lain-lain.

b. Topikal

Dorzolamide (trusopt) : obat ini mempunyai konsentrasi 2% dan dosis pemakaian 2-3 kali

sehari. Dorzolamide merupakan inhibitor aktif carbonic anhidrase (CA-2) yang diberikan

topikal. Dorzolamide dapat digunakan tersendiri pada pasien dengan kontraindikasi beta

bloker. Efeknya yaitu osmotic gradient dehydrates vitreous dan menurunkan TIO sebesar

13
15-20%. Adapun efek samping yang ditimbulkan pada mata adalah miopia, penglihatan

kabur, keratitis, konjungtuvitis.

7. Hiperosmotic agents

a. Mannitol parenteral (osmitrol) : obat ini mempunyai konsentrasi 20% soln dan

50% soln dan dosis pemakaian 2gr/kgBB. Efeknya yaitu osmotic gradient dehydrates

vitreous dan menurunkan TIO sebesar 15-20%. Adapun efek samping yang ditimbulkan

pada mata adalah TIO rebound sedangkan efek samping sistemik adalah retensi urin, sakit

kepala, gagal jantung kongestif dan lain-lain.

b. Gliserin (oral) : obat ini mempunyai konsentrasi 50% dan dosis pemakaian

2gr/kgBB. Efeknya yaitu osmotic gradient dehydrates vitreous. Adapun efek samping

pada mata adalah TIO rebound sedangkan efek samping sistemik adalah retensi urin, sakit

kepala, gagal jantung kongestif dan lain-lain.

2. Keratitis

Keratitis adalah reaksi inflamasi kornea. Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi

jamur yang serius pada kornea dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan

menyebabkan 6%-5% kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah

dilaporkan menyebabkan keratitis jamur.

Insidensi

Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah dilaporkan pada tahun 1879 oleh

Leber, tetapi baru mulai periode 1950-an kasus-kasus keratomikosis diperhatikan

dandilaporkan, terutama di bagian selatan Amerika Serikat dan kemudian diikuti laporan-

laporan dari Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Banyak laporan menyebutkan

peningkatan penggunaan kortikosteroid topical, penggunaan obat immunosupresif dan

lensa kontak, di sampng juga bertambah baiknya kemampuan diagnostic klinik dan labor

atorik, seperti dilaporkan di Jepang dan Amerika Serikat. Singapura melaporkan (selama

14
2,5 tahun) dari 112kasus ulkus kornea, 22 beretiologi jamur, sedang di RS Mata Cicendo

Bandung (selama 6 bulan) didapat 3 kasus dari 50 ulkus kornea,Taiwan (selama)Taiwan

(selama 10 tahun) 94 dari 563 ulkus, bahkan baru-baru ini Bangladesh melaporkan 46

dari 80ulkus (kemungkinan keratitis virus sudah disingkirkan).

Etiologi

Penyebab keratitis bermacam-macam. Bakteri, virus dan jamur dapat

menyebabkankeratitis. Penyebab paling sering adalah virus herpes simplex tipe 1. Selain

itu penyebablain adalah kekeringan pada mata, pajanan terhadap cahaya yang sangat

terang, bendaasing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif

terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan vitamin A dan

penggunaan lensakontak yang kurang baik (Mansjoer, 2001).

Patologi

Hifa jamur cenderung masuk stroma secara parallel ke lamella kornea. Mungkin

ada nekrosis koagulatif stroma kornea yang meluas dengan edema serat kolagen dan

keratosit. Reaksi inflamasi yang menyertai kurang terlihar daripada keratitis bakterialis.

Abses cincin steril mungkin ada yang terpisah pusat ulkus. Mikroabses yang multiel dapat

mengelilingi lesi utama. Hifa berpotensi masuk ke membrane Descement yang intak dan

menyebar ke kamera okuli anterior. Di banyak kasus, jamur dapat tidak ditemukan dari

permukaan dan stroma superficial pada pasien specimen histopatologi, yang menjelaskan

kegagalan pengambilan sampel untuk menemukan organism pada ulkus pada tahap yang

lanjut.

Manifestasi Klinis

Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrate di kornea. Infiltrate

dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan keratitis.

Pada peradagan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut

(sikatrik), yang dapat beurpa nebula, macula, dan leukoma.

15
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam

bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini

dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akit, respon antigenic

dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat. Ulkus kornea yang

disebabkan oleh jamur berfilamen dapat berat. Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur

berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar,

dan bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi ke atas. Lesi satelit yang timbul

terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel

dapat terlihat parallel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang

merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibody tubuh. Sebagai tambahan,

hipopion dan secret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan

kamera okuli anterior dapat cukup parah. Sebenarnya gambaran yang khas pada ulkus

kornea tidak ada. Infeksi awal dapat sama seperti infiltrasi stafilokokus, khususnya dekat

limbus. Ulkus yang besar dapat sama dengan keratitis bakteri. Untuk menegakkan

diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :

Lesi satelit

Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang irregular dan tonjolan seperti

hifa di bawah endotel utuh.

Plak endotel

Hypopyon, kadang-kadang rekuren

Formasi cincin sekeliling ulkus

Lesi kornea yang indolen

Klasifikasi

Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena :yaitu

keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan keratitis profunda

16
apabila mengenai lapisan stroma.Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain

adalah (Ilyas, 2006) :

1. Keratitis punctata superfisialis. Berupa bintik-bintik putih pada permukaan

kornea yang dapat disebabkan olehsindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus,

keracunan obat topical, sinar ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak

2. Keratitis flikten. Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai

kecenderunganuntuk menyerang kornea.

3. Keratitis sik. Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi

kelenjar lakrimaleatau sel goblet yang berada di konjungtiva.

4. Keratitis lepraSuatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf,

disebut jugakeratitis neuroparalitik.

5. Keratitis nummularisBercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea

biasanya multiple dan banyak didapatkan pada petani.

Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain adalah :

1. Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital.

2. Keratitis sklerotikans

Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segeradatang,

seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan

kornea,wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea,segera bekerja

sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluhdarah yang terdapat

dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari

sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan

timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-

batas tak jelas dan permukaan tidak licin,kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan

timbulah ulkus kornea (Vaughan, 2009).Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka

kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa

17
sakit dan fotofobia. Rasasakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama

palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif,

regresi iris,yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi

padaujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan

timbulnyadilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan

penyakitkornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit

ini,yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata danfotofobia

umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi matakecuali pada ulkus

bakteri purulen (Vaughan, 2009).Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan

membiaskan berkascahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan,

terutama kalauletaknya di pusat (Vaughan, 2009)

Diagnosis

Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkanadanya

riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesiyang umum

pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitisakibat infeksi

herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangatsakit dan keratitis

herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan darigejalanya. Hendaknya pula

ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karenamungkin telah memakai

kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh

virus, terutama keratitis herpes simpleks. Jugamungkin terjadi imunosupresi akibat

penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes,AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi

imunosupresi khusus (Vaughan, 2009).Dokter memeriksa di bawah cahaya yang

memadai. Pemeriksaan sering lebihmudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan

fluorescein dapat memperjelaslesi epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat

bila tidak dipulas.

18
3. Tukak (Ulkus) Kornea

Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan

kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung,

dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.

Di Amerika insiden ulkus kornea bergantung pada penyebabnya. Insidensi ulkus kornea

tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, sedangkan predisposisi

terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak, dan

kadang-kadang tidak di ketahui penyebabnya. Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah

dilaporkan pada tahun 1879 tetapi baru mulai periode 1950 keratomikosis

diperhatikan.Banyak laporan menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan dengan

peningkatan penggunaan kortikosteroid topikal, penggunaan obat imunosupresif dan

lensa kontak.Singapura melaporkan selama 2.5 tahun dari 112 kasus ulkus kornea 22

beretiologi jamur. Mortalitas atau morbiditas tergantung dari komplikasi dari ulkus

kornea seperti parut kornea, kelainan refraksi, neovaskularisasi dan kebutaan.

Berdasarkan kepustakaan di USA, laki-laki lebih banyak menderita ulkus kornea, yaitu

sebanyak 71%, begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di India Utara ditemukan

61% laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya kegiatan kaum laki-laki

sehari-hari sehingga meningkatkan resiko terjadinya trauma termasuk trauma kornea.

Etiologi ulkus kornea adalah

1. Infeksi

Infeksi terbagi sebagai berikut.

a. Infeksi Bakteri

Infeksi bakteri disebabkan oleh P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies

Moraxella merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk sentral.

Gejala klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar bersifat mukopurulen

yang bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.

19
b. Infeksi Virus

Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas dendrit dapat

diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan menimbulkan

ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami nekrosis di bagian

sentral.Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola, vacinia (jarang).

c. Acanthamoeba

Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam air yang

tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh

acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa kontak

lunak, khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri.Infeksi juga biasanya

ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak yang terpapar air atau tanah yang tercemar.

2. Non Infeksi

Penyebab non infeksi adalah sebagai berikut.

a. Bahan Kimia

Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik dan organik

anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan protein

permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat destruktif.

Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Pada bahan alkali antara lain amonia,

cairan pembersih yang mengandung kalium/natrium hidroksida dan kalium karbonat akan

terjadi penghancuran kolagen kornea.

b. Radiasi atau Suhu

Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan merusak epitel

kornea.

c. Sindrom Sjorgen

Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca yang

merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur film air

20
mata (akeus, musin atau lipid), kelainan permukan palpebra atau kelainan epitel yang

menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut

dapat timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan flurosein.

d. Defisiensi Vitamin A

Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan vitamin A dari

makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan ganggun pemanfaatan oleh tubuh.

e. Obat-obatan

Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid, IDU (Iodo 2

dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.

f. Kelainan dari Membrane Basal, seperti karena trauma.

g. Pajanan

h. Neurotropik

3. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)

Penyebab karena system imun misalnya pada penyakit granulomatosa wagener dan

rheumathoid arthritis.

Klasifikasi

Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea , yaitu:

1. Ulkus kornea sentral

a. Ulkus kornea bakterialis

Ulkus kornea bakterialis terbagi atas sebagai berikut.

1) Ulkus Streptokokus

Khas sebagai ulcus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea (serpinginous).Ulkus

bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang

menggaung.Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena

eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia.

21
2) Ulkus Stafilokokus

Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putik kekuningan disertai infiltrat berbatas

tegas tepat dibawah defek epitel. Apabila tidak diobati secara adekuat, akan terjadi abses

kornea yang disertai edema stroma dan infiltrasi sel leukosit. Walaupun terdapat hipopion

ulkus seringkali indolen yaitu reaksi radangnya minimal.

3) Ulkus Pneumokokus

Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam. Tepi ulkus akan terlihat

menyebar ke arah satu jurusan sehingga memberikan gambaran karakteristik yang disebut

Ulkus Serpen. Ulkus terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh dan berwarna kekuning-

kuningan.Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat ulkus yang menggaung dan di

daerah ini terdapat banyak kuman.Ulkus ini selalu di temukan hipopion yang tidak

selamanya sebanding dengan beratnya ulkus yang terlihat.diagnosa lebih pasti bila

ditemukan dakriosistitis.

4) Ulkus Pseudomonas

Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral kornea.ulkus sentral ini dapat menyebar ke

samping dan ke dalam kornea. Penyerbukan ke dalam dapat mengakibatkan perforasi

kornea dalam waktu 48 jam.gambaran berupa ulkus yang berwarna abu-abu dengan

kotoran yang dikeluarkan berwarna kehijauan. Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti

cincin. Dalam bilik mata depan dapat terlihat hipopion yang banyak.

Gambar 3. Ulkus Kornea Pseudomonas

22
b. Ulkus kornea fungi

Mata dapat tidak memberikan gejala selama beberapa hari sampai beberapa

minggu sesudah trauma yang dapat menimbulkan infeksi jamur ini.Pada permukaan lesi

terlihat bercak putih dengan warna keabu-abuan yang agak kering.Tepi lesi berbatas tegas

irregular dan terlihat penyebaran seperti bulu pada bagian epitel yang baik. Terlihat suatu

daerah tempat asal penyebaran di bagian sentral sehingga terdapat satelit-satelit

disekitarnya..Tukak kadang-kadang dalam, seperti tukak yang disebabkan bakteri.Pada

infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan permukaan naik.Dapat terjadi

neovaskularisasi akibat rangsangan radang.Terdapat injeksi siliar disertai hipopion.

Gambar 4. Ulkus Kornea Fungi

c. Ulkus kornea virus

Ulkus kornea virus terbagi atas sebagai berikut.

1) Ulkus Kornea Herpes Zoster

Biasanya diawali rasa sakit pada kulit dengan perasaan lesu.Gejala ini timbul

satu 1-3 hari sebelum timbulnya gejala kulit.Pada mata ditemukan vesikel kulit dan edem

palpebra, konjungtiva hiperemis, kornea keruh akibat terdapatnya infiltrat subepitel dan

stroma.Infiltrat dapat berbentuk dendrit yang bentuknya berbeda dengan dendrit herpes

simplex.Dendrit herpes zoster berwarna abu-abu kotor dengan fluoresin yang

lemah.Kornea hipestesi tetapi dengan rasa sakit keadaan yang berat pada kornea biasanya

disertai dengan infeksi sekunder.

23
2) Ulkus Kornea Herpes Simplex

Infeksi primer yang diberikan oleh virus herpes simplex dapat terjadi tanpa

gejala klinik.Biasanya gejala dini dimulai dengan tanda injeksi siliar yang kuat disertai

terdapatnya suatu dataran sel di permukaan epitel kornea disusul dengan bentuk dendrit

atau bintang infiltrasi.terdapat hipertesi pada kornea secara lokal kemudian menyeluruh.

Terdapat pembesaran kelenjar preaurikel. Bentuk dendrit herpes simplex kecil, ulceratif,

jelas diwarnai dengan fluoresin dengan benjolan diujungnya

Gambar 5 Ulkus Kornea Herpetik

d. Ulkus kornea acanthamoeba

Awal dirasakan sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya, kemerahan

dan fotofobia.Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat

perineural.

Gambar 6. Ulkus Kornea Acanthamoeba

Ulkus kornea perifer

a. Ulkus Marginal

24
Bentuk ulkus marginal dapat simpel atau cincin.Bentuk simpel berbentuk ulkus

superfisial yang berwarna abu-abu dan terdapat pada infeksi stafilococcus, toksit atau

alergi dan gangguan sistemik pada influenza disentri basilar gonokok arteritis nodosa, dan

lain-lain. Yang berbentuk cincin atau multiple dan biasanya lateral. Ditemukan pada

penderita leukemia akut, sistemik lupus eritromatosis dan lain-lain.

Gambar 7. Ulkus Marginal

b. Ulkus mooren (ulkus serpinginosa kronik/ulkus roden)

Merupakan ulkus yang berjalan progresif dari perifer kornea kearah sentral.ulkus mooren

terutama terdapat pada usia lanjut. Penyebabnya sampai sekarang belum

diketahui.Banyak teori yang diajukan dan salah satu adalah teori hipersensitivitas

tuberculosis, virus, alergi dan autoimun.Biasanya menyerang satu mata.Perasaan sakit

sekali.Sering menyerang seluruh permukaan kornea dan kadang meninggalkan satu pulau

yang sehat pada bagian yang sentral.

Gambar 8. Mooren's Ulcer

c. Ulkus cincin (ring ulcer)

25
Terlihat injeksi perikorneal sekitar limbus.Di kornea terdapat ulkus yang

berbentuk melingkar dipinggir kornea, di dalam limbus, bisa dangkal atau dalam, kadang-

kadang timbul perforasi.Ulkus marginal yang banyak kadang-kadang dapat menjadi satu

menyerupai ring ulcer. Tetapi pada ring ulcer yang sebetulnya tak ada hubungan dengan

konjungtivitis kataral. Perjalanan penyakitnya menahun.

Patofisiologi

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan

pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya tertentu

dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior dari

kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu

pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di

kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di

daerah pupil.

Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang,

seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea,

wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai

makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus

dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel

mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan

timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-

batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan

timbullah ulkus kornea.

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik

superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga

diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea

dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang

26
dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea

merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh

iris.

Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat sel

leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua arah

yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superficial maka akan

lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi

sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan ikat

baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatrik.5

Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik pada ulkus kornea secara umum dapat berupa.

4. Gejala Subyektif, dapat berupa.

a. Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva

b. Sekret mukopurulen

c. Merasa ada benda asing di mata

d. Pandangan kabur

e. Mata berair

f. Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus

g. Silau

h. Nyeri

Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada perifer

kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.

5. Gejala Objektif, dapat berupa.

a. Injeksi siliar

b. Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat

c. Hipopion

27
Manifestasi klinis ulkus karena investasi jamur pada kornea yang memproduksi

mikotoksin, enzim-enzim serta antigen jamur sehingga terjadi nekrosis kornea dan reaksi

radang yang cukup berat adalah sebagai berikut.

a. Riwayat trauma terutama tumbuhan, tanah, dan pemakaian streoid topikal lama.

b. Kurang nyeri dibandingkan dengan ulkus bakteri

c. Ulkus luas, tepi ulkus sedikit menonjol, kering dan irregular, putih abu-abu, atau

coklat sesuai koloni jamur. Tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh.

d. Lesi satelit

e. Plak endotel

f. Hipopion, kadang-kadang rekuren

g. Formasi cincin sekeliling ulkus

h. Lesi kornea yang indolen

Diagnosa

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis pasien

penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya riwayat trauma, benda

asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat, misalnya keratitis akibat

infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh.Hendaknya pula ditanyakan riwayat

pemakaian obat topikal oleh pasien seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi

bagi penyakit bakteri, fungi, virus terutama keratitis herpes simplek.Juga mungkin terjadi

imunosupresi akibat penyakit sistemik seperti diabetes, AIDS, keganasan, selain oleh

terapi imunosupresi khusus.

28
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya injeksi siliar,

kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus berat dapat

terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.

4. Uveitis Anterior

Uveitis anterior adalah radang pada iris (iritis), badan siliar (siklitis) dan dapat

terjadi bersama yang disebut sebagai iridosiklitis. Uveitis anterior atau iridosiklitis

merupakan penyakit yang mendadak yang biasanya berjalan selama 6 sampai 8 minggu,

dan pada stadium dini biasanya dapat sembuh dengan tetes mata saja.Uveitis anterior

kronik adalah peradangan berulang pada uvea anterior, berlangsung selama bulanan atau

tahunan tanpa penyembuhan yang sempurna antara serangan yang pertama dan

kekambuhan.1,5

Uveitis anterior dapat dibedakan lagi dalam bentuk uveitis granulomatosa dan non

granulomatosa. Uveitis granulomatosa merupakan pembagian berdasarkan gambaran

patologinya, dimana pada uveitis granulomatosa ditandai dengan adanya sel-sel radang

pada tepi pupil (Koeppe Nodules), pada permukaan iris (Bussaca Nodules) serta sel-sel

radang pada endotel kornea atau keratik presipitat yang bila bentuknya besar dan

berminyak disebut mutton fat keratic precipitate.1,5,10

Biasanya perjalanannya dimulai dengan gejala iridosiklitis akut. Penyebab uveitis anterior

akut non granulomatosa dapat oleh trauma, diare kronis, penyakit Reiter, herpes simplex,

sindrom Posner Schlosman, pascabedah, infeksi adenovirus, parotitis, influenza, dan

chlamydia. Penyebab uveitis anterior kronis non granulomatosa dapat disebabkan oleh

artritis reumatoid dan fuchs heterokromik iridosilitis. Sedangkan penyebab uveitis

anterior granulomatosa akut antara lain: sarkoiditis, sifilis, tuberkulosis, virus, jamur

(histoplasmosis) atau parasit (toksoplasmosis). Pada proses akut dapat terjadi miopisi

akibat rangsangan badan siliar dan edema lensa. Pada proses peradangan yang lebih akut,

29
dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang berupa pus di dalam COA yang disebut

hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam COA, dikenal dengan hifema. Apabila

proses radang berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang dapat melekat

pada endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP).1,5

Ada dua jenis keratic precipitate, yaitu : 10

Mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen yang

difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.

Punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat pada

jenis non granulomatosa.

Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses peradangan akan berjalan terus

dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas dapat

menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut

sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut sinekia anterior. Dapat

pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh

pupil tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut,

ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran

akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor

tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai

iris bombans (iris bombe). Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan

akhirnya terjadi glaukoma sekunder. Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan

metabolisme lensa yang menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak

komplikata. Apabila peradangan menyebar luas, dapat timbul endoftalmitis (peradangan

supuratif berat dalam rongga mata dan struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan

kaca) ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul

tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).1,5,10

30
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera ditangani,

dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada mata sebelahnya yang semula sehat.

Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior yang terjadi akibat trauma tembus,

terutama yang mengenai badan silier

EPIDEMIOLOGI

Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Uveitis menyumbang 10-15% kasus

kebutaan di negara maju dan uveitis sering terjadi di negara berkembang dibandingkan

dengan negara maju karena prevalensi infeksi yang dapat mempengaruhi mata seperti

toksoplasmosis dan tuberkulosis adalah lebih besar.

ETIOLOGI

1. Uveitis endogen.

Akibat infeksi mikroorganisme atau agen lain dari pasien sendiri. Sering berhubungan

dengan :

a) Penyakit sistemik : spondilitis ankilosa

b) Infeksi bacteria : tuberculosis

c) Jamur : kandidiasis

Banyak pada penderita dengan kelemahan sistem imun.

d) Virus : herpes Zoster

Menyerang nervus optikus dan banyak terjadi pada orang tua.

e) Protozoa : Toxoplasma

f) Cacing : Toxokariasis

Kondisi lain yang termasuk dalam uveitis endogen adalah uveitis spesifik idiopatik

(sindrom uveitis Fuch) dan uveitis nonspesifik idiopatik.5

2. Uveitis eksogen.

a) Trauma eksternal

31
b) Invasi mikroorganisme/agen lain dari luar.

KLASIFIKASI
1.
Klasifikasi Anatomi:1,5,7

a) Uveitis anterior

Juga disebut iritis jika inflamasi mengenai bagian depan iris dan iridosiklitis jika

inflamasi mengenai iris dan bagian anterior badan silier. Merupakan inflamasi yang

terjadi terutama pada iris dan korpus siliaris atau keduanya yang disebut juga dengan

iridosiklitis.

b) Uveitis intermedia

Peradangan mengenai bagian posterior badan silier dan bagian perifer retina.

c) Uveitis posterior

Peradangan mengenai uvea di belakang vitreous. Juga disebut korioretinitis bila

peradangan koroid lebih menonjol, retinokoroiditis bila peradangan retina lebih menonjol,

koroiditis, retinitis dan uveitis diseminata.

d) Panuveitis / Uveitis difus

Merupakan uveitis anterior, intermedia, dan posterior yang terjadi secara bersamaan.

Urutan uveitis dari yang paling sering terjadi adalah uveitis anterior, posterior, panuveitis

dan intermedia.

Tabel Klasifikasi Anatomi dari Uveitis

Lokasi Perjalanan Penyakit Patologi Faktor Penyabab

Anterior Akut, Subakut Granulomatosa Infeksi

Intermediate Kronis Non-Granulomatosa Autoimun

Posterior Rekuren Sistemik

32
2. Klasifikasi klinis:

a) Uveitis akut

Apabila gejala timbul tiba-tiba dan berlangsung selama 6 minggu atau kurang dan bila

sembuh tidak kambuh lagi

b) Uveitis subakut

Lamanya peradangan antara uveitis akut dan kronik, ada kekambuhan tetapi ada fase

kesembuhan

c) Uveitis kronik

Peradangan berulang, berlangsung selama > 6 minggu (selama bulanan atau tahunan),

tanpa penyembuhan yang sempurna antara serangan yang pertama dan kekambuhan.

seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik.

3. Klasifikasi patologi. 1,5

a) Non granulomatosa

Paling sering, di duga akibat alergi karena tidak pernah ditemukan kumannya dan sembuh

dengan pemberian kortikosteroid. Timbulnya sangat akut. Reaksi vaskuler lebih hebat

dari seluler sehingga injeksinya hebat (banyak pembuluh darah). Di iris tidak tampak

benjolan. Sinekia posterior halus-halus, oleh karena hanya mengandung sedikit sel.

Cairan COA mengandung lebih banyak fibrin daripada sel. Badan kaca tidak tampak

kekeruhan. Rasa sakit hebat juga fotofobia dan visus banyak terganggu. Pada stadium

akut karena mengandung fibrin dapat terbentuk hipopion. Lebih banyak mengenai uvea

anterior. Patologi anatomis di iris dan badan siliar didapatkan sel plasma dan sel-sel

mononuklear

b) Granulomatosa

Disangka akibat invasi mikrobakteri yang patogen ke jaringan uvea, meskipun kumannya

sering tidak ditemuklan, sehingga diagnosa ditegakkan berdasarkan keadaan klinis saja.

Timbulnya tidak akut, reaksi seluler lebih hebat dari vaskuler. Karenanya injeksi silier

33
tidak hebat. Iris bengkak, menebal, gambaran benjolannya disebut Koepe Nodul. Keratik

presipitat besar-besar kelabu disebut mutton fat deposit. COA keruh seperti awan, lebih

banyak sel dari fibrin. Keruh rasa sakit ringan-sedang, fotofobi sedikit. Visus terganggu

hebat oleh karena media yang dilalui cahaya banyak terganggu. Keadaan ini terutama

mengenai Uvea posterior, di koroid dominan sel epiteloid dan sel raksasa multinukleus

dengan nyeri, injeksi silier, hiperemia dan lakrimasi akibat banyaknya sitokin yang keluar

serta fotofobia. Penglihatan kabur karena adanya permeabilitas pembuluh darah naik

maka terjadinya transudasi ke bilik mata depan.

Tabel 2. Perbedaan uveitis non granulomatosa dengan uveitis granulomatosa

Non granulomatosa Granulomatosa

Onset Akut Tersembunyi

Sakit Nyata Tidak ada atau ringan

Fotofobia Nyata Ringan

Penglihatan kabur Sedang Nyata

Merah sirkum corneal Nyata Ringan

Keratik presipitat Putih halus Kelabu besar

Pupil Kecil dan tidak teratur Kecil dan tidak teratur

Sinekia posterior Kadang Kadang

Nodul iris Kadang Kadang

Tempat Uvea anterior Uvea anterior dan posterior

Perjalanan Akut Kronik

Rekurens Sering Kadang

4. Klasifikasi berdasarkan penyebab yang diketahui6

a) Bakteri : tuberculosis. sifilis

34
b) Virus : herpes simpleks, herpes zoster, sitomegalovirus, penyakit Vogt-Koyanagi-

Harada, sindrom Bechet.

c) Jamur : kandidiasis

d) Parasit : toksoplasma, toksokara

e) Imunologik : Lens-induced iridosiklitis, oftalmia simpatika

f) Penyakit sistemik : penyakit kolagen, arthritis rematoid, multiple sclerosis,

sarkoidosis, penyakit vaskuler.

g) Neoplastik : limfoma, reticulum cell sarcoma

h) Lain-lain : AIDS

5. Endoftalmitis

Endoftalmitis merupakan peradangan berat dalam bola mata, biasanya akibat infeksi

setelah trauma atau bedah, atau endogen akibat sepsis. Berbentuk radang supuratif di

dalam rongga mata dan struktur di dalamnya peradangan supuratif di dalam bola mata

akan memberikan abses di dalam badan kaca.

A. ETIOLOGI

Endoftalmitis Endogen Endoftalmitis endogen terjadi akibat penyebaran bakteri,

jamur atau parasit dari fokus infeksi di dalam tubuh yang menyebar secara hematogen

atau akibat penyakit sistemik lainnya, misalnya endocarditis.

Endoftalmitis Eksogen Endoftalmitis eksogen dapat terjadi akibat trauma tembus,

infeksi sekunder dan komplikasi yang terjadi pada tindakan pembedahan yang membuka

bola mata. Bakteri yang sering merupakan penyebab adalah stafilokok, streptokok,

pneumokok, pseudomonas, dan basil sublitis.

Endoftalmitis Fakoanafilaktik Endoftalmitis fakoanalitik merupakan

endoftalmitis unilateral atau bilateral yang merupakan reaksi uvea granulomatosa

terhadap lensa yang mengalami ruptur. Merupakan suatu penyakit autoimun terhadap

jaringan tubuh, tidak mengenal jaringan lensa yang tidak terletak di dalam kapsul. Tubuh

35
membentuk antibodi terhadap lensa sehingga terjadi reaksi antigen antibodi yang akan

menimbulkan gejala endotalmitis fakoanafilaktik.

B. EPIDEMIOLOGI

Endophthalmitis endogen jarang terjadi, hanya terjadi pada 2-15% dari semua kasus

endophthalmitis. Kejadian rata-rata tahunan adalah sekitar 5 per 10.000 pasien yang

dirawat. Dalam beberapa kasus, mata kanan dua kali lebih mungkin terinfeksi sebagai

mata kiri, mungkin karena lokasinya yang lebih proksimal untuk mengarahkan aliran

darah ke arteri karotid kanan. Sejak tahun 1980, infeksi Candida dilaporkan pada

pengguna narkoba suntik telah meningkat. Jumlah orang yang beresiko mungkin

meningkat karena penyebaran AIDS, sering menggunakan obat imunosupresif, dan lebih

banyak prosedur invasif (misalnya, transplantasi sumsum tulang).

Sebagian besar kasus endophthalmitis eksogen (sekitar 60%) terjadi setelah

operasi intraokular. Ketika operasi merupakan penyebab timbulnya infeksi,

endophthalmitis biasanya dimulai dalam waktu 1 minggu setelah operasi. Di Amerika

Serikat, endophthalmitis postcataract merupakan bentuk yang paling umum, dengan

sekitar 0,1-0,3% dari operasi menimbulkan komplikasi ini, yang telah meningkat selama

beberapa tahun terakhir. Walaupun ini adalah persentase kecil, sejumlah besar operasi

katarak yang dilakukan setiap tahun memungkinkan untuk terjadinya infeksi ini lebih

tinggi.

Post traumatic Endophthalmitis terjadi pada 4-13% dari semua cedera penetrasi okular.

Insiden endophthalmitis dengan cedera yang menyebabkan perforasi pada bola mata di

pedesaan lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah perkotaan. Keterlambatan dalam

perbaikan luka tembus pada bola mata berkorelasi dengan peningkatan resiko

berkembangnya endophthalmitis. Kejadian endophthalmitis yang disebabkan oleh benda

asing intraokular adalah 7-31%. 10

PATOFISIOLOGI

36
Dalam keadaan normal, sawar darah-mata (blood-ocular barrier) memberikan ketahanan

alami terhadap serangan dari mikroorganisme. Dalam endophthalmitis endogen,

mikroorganisme yang melalui darah menembus sawar darah-mata baik oleh invasi

langsung (misalnya, emboli septik) atau oleh perubahan dalam endotelium vaskular yang

disebabkan oleh substrat yang dilepaskan selama infeksi. Kerusakan jaringan intraokular

dapat juga disebabkan oleh invasi langsung oleh mikroorganisme dan atau dari mediator

inflamasi dari respon kekebalan.

Endophthalmitis dapat terlihat nodul putih yang halus pada kapsul lensa, iris, retina, atau

koroid. Hal ini juga dapat timbul pada peradangan semua jaringan okular, mengarah

kepada eksudat purulen yang memenuhi bola mata. Selain itu, peradangan dapat

menyebar ke jaringan lunak orbital. Setiap prosedur operasi yang mengganggu integritas

bola mata dapat menyebabkan endophthalmitis eksogen.

MANIFESTASI KLINIK

Gambar 2. Endoftalmitis

Dalam menegakkan diagnosis, anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan modal utama

bagi seorang dokter umum untuk meneggak diagnosis. Pada anamnesis, dapat ditemukan

gejala sebagai berikut:

Endoftalmitis bakteri biasanya menimbulkan gejala berupa nyeri yang akut,

kemerahan pada mata, pembengkakan, dan penurunan visus. Pada beberapa bakteri

(misalnya, Propionibacterium acnes) dapat menyebabkan radang kronis dengan gejala

37
ringan. Organisme ini adalah flora kulit yang khas dan biasanya masuk pada saat operasi

intraokular.

Endophthalmitis jamur akan menimbulkan gejala selama beberapa hari sampai

minggu. Gejala sering penglihatan kabur, rasa nyeri, dan penurunan visus. Riwayat

trauma tembus dengan tanaman atau benda asing yang terkontaminasi dengan tanah

mungkin sering diperoleh. Individu dengan infeksi Candida akan timbul demam tinggi,

disusul beberapa hari kemudian dengan gejala okular. Demam persistent yang tidak

diketahui dapat dikaitkan dengan infeksi jamur.

Riwayat operasi mata, trauma mata, atau bekerja dalam industri sering

ditemukan. Dalam kasus endophthalmitis pascaoperasi, infeksi paling sering terjadi

setelah pembedahan (misalnya, pada minggu pertama), tetapi mungkin terjadi bulan atau

tahun kemudian seperti dalam kasus P.acnes.

Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dari pemeriksaan visus, inspeksi struktur luar

mata, ophthalmoscope, pemeriksaan fundus dan pemeriksaan slit lamp. Pemeriksaan fisk

yang dapat ditemukan pada pasien dengan endoftalmitis diantaranya adalah :

Kelopak mata bengkak dan eritema

Konjungtiva tampak chemosis

Kornea edema, keruh, tampak infiltrate

Hypopion (lapisan sel-sel inflamasi dan eksudat di camera oculi anterior)

Iris odem dan keruh

Pupil tampak yellow reflex akibat eksudat purulent pada corpus vitreum

Eksudat pada vitreus

TIO meningkat atau menurun.TIO meningkat pada fase awal, namun pada kasus

yang berat, prosesus siliaris mungkin dapat mengalami kerusakan dan mengakibatkan

penurunan tekanan intraokuler.

38
Tepi luka menjadi berwarna kuning atau nekrosis11

PENATALAKSANAAN

Tatalaksana endoftalmitis dilakukan di ruang gawat darurat. Jika telah didiagnosis atau

diduga kuat endoftalmitis, pasien harus dirujuk segera ke spesialis mata untuk evaluasi

lebih lanjut. Tatalaksana diberikan berdasarkan penyebab endoftalmitis. Pada

endoftalmitis endogen, terapi antibiotik yang tepat adalah kunci keberhasilan tatalaksana.

Endoftalmitis endogen responsif terhadap pemberian antibiotik intravena, sedangkan pada

endoftalmitis eksogen tidak selalu perlu diberikan antibiotik. Antibiotik sistemik juga

diberikan untuk membunuh fokus infeksi yang jauh dan mencegah berlanjutnya

bakteremia, dengan demikian mengurangi kemungkinan endoftalmitis pada mata lainnya.

Terapi parenteral tidak diperlukan pada endoftalmitis pasca operasi kecuali ada bukti

infeksi di luar bola mata. Pada endoftalmitis bentuk lain, perlu diberikan antibiotik

spektrum luas bila kultur positif.8

Antibiotik empirik spektrum luas yang digunakan adalah vankomisin dan aminoglikosida

atau sefalosporin generasi tiga. Sefalosporin generasi tiga mampu mempenetrasi jaringan

okular dan efektif terhadap bakteri Gram negatif.

Injeksi antibiotik intravena telah merevolusi tatalaksana endoftalmitis eksogen namun

pada kasus endoftalmitis endogen, keefektifannya masih kontroversial. Demikian juga

intervensi bedah, seperti vitrektomi, dilakukan pada endoftalmitis pasca operasi dan pasca

trauma tapi kegunaannya pada kasus endogen diperdebatkan.

Sumber infeksi dapat digunakan sebagai pedoman pemilihan antibiotik. Pada kasus

dengan riwayat infeksi gastrointestinal atau genitourinaria, antibiotik pilihannya adalah

sefalosporin generasi dua atau tiga dan aminoglikosida. Vankomisin digunakan untuk

penyalahguna obat untuk mengatasi kemungkinan infeksi Bacillus. Bila sumber

infeksinya diperkirakan luka, digunakan oksasilin atau sefalosporin generasi pertama.

39
Jika anamnesis pasien, pewarnaan, atau kultur mengarah pada infeksi jamur, rejimen obat

harus menyertakan amfoterisin B, flukonazol, atau itrakonazol.

Intervensi bedah disarankan terutama untuk pasien yang terinfeksi organisme virulen,

visus 20/400 atau kurang, atau keterlibatan vitreus berat. Kadang endoftalmitis posterior

difus atau panoftalmitis menyebabkan kebutaan meski telah ditatalaksana dengan baik,

namun vitrektomi dan antibiotik intravitreal mencegah atrofi okular atau keharusan

enukleasi.

Beberapa kerusakan berhubungan dengan mediator inflamasi. Steroid seperti

deksametason diberikan intravitreal, meskipun perannya belum jelas. Secara empiris,

steroid topikal diberikan pada pasien dengan endoftalmitis fokal anterior atau difus untuk

mencegah komplikasi seperti glaukoma dan sinekiae.8

Pada kasus-kasus yang sudah berat biasanya diperlukan penatalaksanaan secara

operatif seperti :

1. Virectomy

Vitrectomy adalah tindakan bedah dalam terapi endophthalmitis. Bedah

debridemen rongga vitreous terinfeksi menghilangkan bakteri, sel-sel inflamasi, dan zat

beracun lainnya untuk memfasilitasi difusi vitreal, untuk menghapus membran vitreous

yang dapat menyebabkan ablasio retina, dan membantu pemulihan penglihatan.

Endophthalmitis vitrectomy Study (EVS) menunjukkan bahwa di mata dengan akut

endophthalmitis operasi postcataract dan lebih baik dari visi persepsi cahaya. Vitrectomy

juga memainkan peran penting dalam pengelolaan endoftalmitis yang tidak responsif

terhadap terapi medikamentosa.6,7

2. Enukleasi

Enukleasi bulbi merupakan tindakan pembedahan mengeluarkan bola mata dengan

melepas dan memotong jaringan yang mengikatnya didalam rongga orbita. Jaringan yang

dipotong adalah seluruh otot penggerak mata, saraf optik dan melepaskan conjungtiva

40
dari bola mata. Enukleasi bulbi biasanya dilakukan pada keganasan intraokular, mata

yang dapat menimbulkan oftalmia simpatika, mata yang tidak berfungsi dan memberikan

keluhan rasa sakit, endophthalmitis supuratif dan pthisis. Biasanya pasien setelah

enukleasi bulbi diberi mata palsu atau protesis.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah meluasnya peradangan sehingga mengenai

ketigalapisan mata (retina, koroid, sklera) dan badan kaca sehingga terjadilah

panoftalmitis. Selain itu komplikasi lainnya dapat berupa vitreous hemoragik,

endoftalmitis rekuren, ablasio retina, dan glaukoma sekunder.9

41
MATA TIDAK MERAH DISERTAI KABUR MENDADAK

Penglihatan Turun Mendadak

1. Neuritis Optik

Neuritis optik adalah proses peradangan, infeksi, atau demyelinasi pada saraf

optikus. Neuritis optik idiopatik lebih sering terjadi pada perempuan berusia 20-40 tahun

dan bersifat unilateral.

Gejala dan tanda:

Penurunan tajam penglihatan yang bersifat mendadak yang berlangsung

intermiten dan sembuh kembali dengan sempurna. Perbaikan tajam penglihatan mulai

terjadi pada minggu kedua dan 85% penglihatan kembali normal dalam 30 hari.

Dapat terjadi kehilangan penglihatan dalam beberapa jam sampai hari yang

mengenai satu atau kedua mata (pada penderita usia 18-45 tahun)

Sakit pada rongga orbita terutama pada pergerakan mata

Rapd (+)

Penglihatan warna terganggu

Gangguan lapang pandang sentral atau sekosentral.

Vitreous cell +

Klasifikasi

a. Retrobulbar neuritis: proses peradangan saraf optik yang letaknya di belakang

bola mata jauh dari optic disc, sehingga optic disc normal, banyak terjadi pada orang

dewasa. Gejala seperti neuritis, namun ggambaran fundus normal.

b. Papillitis: peradangan saraf optik pada papil saraf optik yang berada dalam bola

mata (optic nerve head/intraocular optic nerve), dapat berupa proses sekunder dari

inflamasi pada retina. Banyak pada anak-anak. Pada pemeriksaan ditemukan optik disc

42
yang hiperemis, edema, dan pendarahan berbentuk lidah api (flame-shaped

haemorrhages) pada parapapillary area (terutama pada anak dan dewasa muda).

c. Neuroretinitis: papillitis yang diperberat dengan peradangan pada retina.

Pengobatan

Pada keadaan akut:

Visus sama atau lebih baik dari 20/40, dilakukan pengamatan saja.

Visus sama atau kurang dari 20/50:

Pengamatan, atau metilprednisolone iv 1gr/hari dalam dosis terbagi yang diikuti dengan

prednisolon oral 1mg/kgbb/hari selama 11 hari.

Prognosis

Tanpa pengobatan, penglihatan akan mulai membaik 2-3 minggu setelah onset dan

kembali normal beberapa hari setelahnya. Namun, perbaikan dapat berlangsung lama

dalam hitungan bulan. Semakin jelek penglihatan saat serangan akut berhubungan dengan

perbaikan hasil penglihatan yang lebih buruk, tetapi penglihatan yang sampai tidak ada

persepsi cahaya pun dapat membaik hingga 20/20.

Hasil penglihatan yang tidak membaik dengan sempurna berhubungan dengan lamanya

lesi pada saraf optikus, terlebih lagi apabila ada saraf di optik kanal yang terkena.

2. Ablasia Retina,

Ablasio retina adalah merupakan keadaan lepasnya retina sensorineural

(neurosensory retina=NSR) dari epitel pigmen retina (retinal pigment epithelium=RPE)

yang diikuti dengan penimbunan cairan pada ruang potensial antara retina dengan sel

sel pigmen epitel koroid (subretinal fluid=SRF).

Epidemiologi

43
Di Amerika Serikat insidens dari ablasio retina adalah 1:15.000 populasi, dengan

prevalensi 0,3%. Insidens per tahun sekitar 1:10.000, sementara sumber sumber lain

menyatakan insidens yang terkait dengan usia (age-adjusted) dari ablasio retina idiopatik

adalah sekitar 12,5 kasus dari 100.000 populasi per tahun atau sekitar 28.000 kasus per

tahunnya.

Etiologi paling yang biasanya berhubungan dengan ablasio retina adalah myopia

tinggi (>6 D), afakia, pseudofakia dan trauma. Sekitar 40 50 % dari penderita ablasio

retina mempunyai kondisi visus miopia, 30 40% pernah menjalani operasi katarak

dimana risiko ablasio bilateral dapat mencapai 25-30 % pada pasien pasien yang telah

menjalani ekstraksi katarak bilateral, dan 10 20 % telah mengalami trauma mata

langsung. Ablasio traumatik umumnya terjadi pada usia muda terutama anak laki - laki,

sedangkan ablasio karena miopi umumnya terjadi pada usia 25 45 tahun. Secara umum,

ablasio retina biasa terjadi pada usia 40 70 tahun.

Klasifikasi Ablasio Retina

1. Ablasi Retina Regmatogenosa

2. Ablasi Non Regmatogenesa, terbagi menjadi:

a. Ablasi Retina Akibat Traksi

b. Ablasi Retina Eksudativa (Serosa)

Patofisiologi

Ablasi retina regmatogenesa

44
Merupakan bentuk tersering dalam ablasi retina ditandai dengan pemutusan (suatu

regma) total (full thickness) retina sensorik, traksi korpus vitreous dengan derajat

bervariasi, dan mengalirnya vitreous cair melalui robekan ke dalam ruang subretina.

Ablasi retina regmatogenosa spontan biasanya didahuli atau disertai oleh pelepasan

vitreous posterior dan berhubungan dengan miopia, afakia, degenerasi lattice, dan trauma

mata.

Terjadi akibat adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang

antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca air

(fluid vitreous) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina

sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid.

Letak pemutusan retina bervariasi sesuai dengan jenisnya; robekan tapal kuda paling

sering terjadi di kuadran superotemporal, lubang atrofik di kuadran temporal, dan dialysis

retina di kuadran inferotemporal. Bila terdapat robekan retina multiple, defek-defek

tersebut 90 derajat satu sama lain.

Terjadinya ablasio retina regmatogenosa

a. Vitreous yang mengalami ablasio merobek retina. Vitreous menarik retina yang

mengelilingi robekan (traksi vitreous).

b. Cairan dari ruang vitreous masuk melalui robekan, ,melepaskan retina dari epitel

pigmen retina di bawahnya.

Ablasi Non-Regmatogenesa

Pada ablasi retina non regmatogenesa, cairan subretinal menumpuk dan semakin

mendorong retina maju ke arah lensa seperti tekanan hidrolik. Cairan atau perdarahan

45
dapat terakumulasi dengan cepat, dan mendorong bulosa ablasi retina maju ke posisi

retrolenticular, sehingga dapat meratakan ruang anterior sepenuhnya. Retina mungkin

secara dramatis terlihat di balik lensa pada pemeriksaan slitlamp. Penciptaan retinotomi,

seperti iridektomi pada glaukoma sudut tertutup, meringankan tekanan intra okuler yang

meninggi, sehingga menyamakan tekanan hidrolik di depan dan di belakang retina dan

memungkinkan retina jatuh ke posterior.

Ablasi retina eksudatif

Ablasi retina eksudatif dapat terjadi walaupun tidak terdapat pemutusan retina atau traksi

vitreoretina. Terjadi akibat tertimbunnya eksudat di bawah retina dan mengangkat retina.

Penimbunan cairan subretina sebagai akibat keluarnya cairan dari pembuluh darah retina

dan koroid (ekstravasasi). Kelainan ini dapat terjadi pada skleritis, koroiditis, tumor

retrobulbar, radang uvea, idiopati, toksemia gravidarum. Cairan di bawah retina tidak

dipengaruhi oleh posisi kepala.

Ablasi jenis ini juga dapat menyertai penyakit peradangan dan penyakit vascular sistemik,

atau tumor intraokuler. Ablasi ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah

penyebabnya berkurang atau hilang.

Ablasi retina akibat traksi adalah jenis tersering pada retinopati diabetik proliperatif.

Kelainan ini juga dapat menyertai vitreoretinopati proliferatif, retinopati prematuritas,

atau trauma mata.

Terjadi akibat tarikan jaringan parut pada badan kaca yang akan mengakibatkan ablasi

retina dan penglihatan turun tanpa rasa sakit. Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis

yang dapat disebabkan diabetik proliferatif, retinopati prematuritas, trauma, dan

perdarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi.(5)

46
Dibandingkan dengan ablasi retina regmatogenesa, ablasio retina akibat traksi memiliki

permukaan yang lebih konkaf dan cenderung lebih terlokalisasi, biasanya tidak meluas ke

ora serata. Gaya-gaya traksi menarik retina sensorik menjauihi epitel pigmen dibawahnya

secara aktif, menuju basis vitreous. Traksi ini disebabkan oleh pembentukan membrane

vitreousa, epiretina, atau subretina yang terdiri atas fibroblast dan sel glia atau sel epitel

pigmen retina. Pada mulanya, pelepasan mungkin terlokalisasi disepanjang vascular,

tetapi dapat meluas hingga melibatkan retina midperifer dan macula. Traksi fokal dari

membran-membran selular dapat menyebabkan robekan retina dan menimbulkan

kombinasi ablasi retina regmatogenesa-traksional.

GEJALA KLINIS

Ablasio retina memiliki gejala umum berupa:

1. Visus menurun tanpa rasa sakit

Hal ini disebabkan karena tidak adanya syaraf sensoris penghantar nyeri tetapi fungsinya

untuk tajam penglihatan. Oleh karena itu ablasi retina disebut kegawatdaruratan mata.

2. Melihat seperti tirai yang terkena angin (bergoyang)

Penderita mengeluh penglihatannya seperti tirai yang terkena angin (bergoyang) yang

semakin lama semakin luas. Pada keadaan yang telah lanjut, dapat terjadi penurunan

tajam penglihatan yang berat.

Selain gejala-gejala di atas, masing-masing ablasio retina memiliki gejala-gejala khusus :

Ablasi Retina Regmatogenosa

Gejala :

Gejala klasik Ablasi retina regmatogenesa adalah sinar yang muncul secara tiba-tiba

(fotopsia) dan floaters vitreous. Setelah beberapa waktu tertentu penderita mengalami

47
penyempitan lapang pandangan yang dapat berkembang dan mempengaruhi penglihatan

sentral.

o Floaters

Merupakan gejala yang sering terjadi pada usia pertengahan. Floaters dapat berbentuk

titik atau jaring yang bergerak ke arah pergerakan mata dan sedikit menghalangi

penglihatan. Gejala ini disebabkan oleh fragmen vitreous yang terkondensasi. Terutama

sangat terasa pada cahaya terang ketika pupil yang kecil menghasilkan bayangan yang

lebih tajam pada retina.

o Fotopsia (kilatan cahaya)

Tanpa adanya sumber cahaya disekitarnya, yang umumnya terjadi sewaktu mata

digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap. Hal ini disebabkan

traksi pada retina oleh vitreous yang terlepas.

Ablasi Retina Eksudativa (Serosa)

48
Gejala :

Tidak didapatkan fotopsia karena tidak ada traksi vitreoretinal. Floaters kadang terjadi

bila terdapat vitritis. Penyempitan lapang pandangan dapat terjadi secara tiba-tiba dan

berkembang secara cepat. Tergantung pada penyebabnya kedua mata dapat terlibat secara

simultan contohnya penyakit Harada.

Tanda :

a. Permukaan retina tampak halus.

b. Bagian retina yang lepas sangat mobile.

c. Penyebab dari ablasi retina seperti tumor koroid, bisa terlihat dalam pemeriksaan

fundus.

PENATALAKSANAAN

Non medikamentosa :

Tujuan : Mempertahankan mata dalam keadaan istirahat untuk mencegah robekan lebih

lanjut, gravitasi dapat membantu lapisan retina menempel kembali ke posisi semula agar

tidak menambah ablasi retinanya.

- Penderita tirah baring sempurna

Karena posisi tidur sesuai dengan gaya gravitasi sehingga retina menempel kembali ke

posisi semula agar tidak menambah ablasi retinanya.

- Mata yang sakit ditutup dengan bebat mata

Pembedahan :

49
Tujuan : Melekatkan kembali retina yang lepas dan mengupas jaringan ikat pada

permukaan retina, membersihkan vitreus yang keruh akibat perdarahan atau infeksi,

memungkinkan tindakan laser pada retina yang sebelumnya terhalang oleh darah atau

jaringan ikat.

Ablasi Retina Regmatogenesa dan eksudatif

Buckling sklera atau retinopeksi merupakan dua teknik bedah yang paling populer dan

efektif untuk perbaikan ablasio retina regmatogenesa dan hemoragik. Kedua prosedur

tersebut memerlukan penentuan lokasi pemutusan retina yang tepat dan terapi dengan

diatermi, krioterapi, atau laser untuk membentuk suatu adhesi antara epitel pigmen dan

retina sensorik. Pada tindakan bedah scleral buckling, pemutusan retina ditumpangkan

pada sklera yang cekung oleh suatu eksplan. Indentasi sklera dapat dicapai dengan

berbagai teknik dan bahan, yang masing-masing memiliki kerugian dan keuntungannya

sendiri-sendiri. (2)

Retinopeksi pneumatik adalah tindakan yang terdiri dari penyuntikan udara atau gas yang

dapat memuai intraokuler untuk melakukan tamponade pada retina yang terputus

sementara adhesi korioretina terbentuk. Dilaporkan tingkat keberhasilan perlekatan ulang

sebesar 90%, namun hasil visual bergantung pada status praoperasi makula. Apabila

makula terkena oleh proses ablasio retina regmatogenesa dan hemoragik tersebut,

prognosis untuk pemulihan penglihatan total kurang begitu memuaskan. (2)

Ablasio Retina akibat Traksi

Terapi primer untuk ablasio retina akibat traksi adalah bedah vitreoretina dan mungkin

melibatkan vitreoktomi, pengangkatan membran, scleral buckling, dan penyuntikan gas

intraokuler. (2)

50
Retinopeksi Pneumatik

Retinopeksi pneumatik merupakan metode rawat jalan dimana gelembung gas intravitreal

digunakan untuk menutup belahan retina dan melekatkan retina kembali tanpa buckling

sklera. Gas yang paling sering digunakan adalah sulfur hexafluoride dan

perfluoropropane. Retinopeksi pneumatik memiliki keuntungan yaitu relatif cepat

dilakukan dan prosedur invasifnya minimal. Tapi, tingkat kesuksesannya sedikit lebih

rendah daripada prosedur bedah buckling sklera yang konvensional. Prosedur ini biasanya

digunakan untuk pengobatan ablasio retina non komplikasi dengan belahan retina yang

kecil atau sekelompok belahan yang terdapat pada area bagian atas retina perifer.

Perdarahan Vitreus

Definisi

Korpus vitreus didefinisikan sebagai membran yang membatasi internal retina

dibagian posterolateral, bagian anterolateral membatasi epitel tak berpigmentasi dari

korpussiliare, dan kapsul lensa posterior dan anterior serat zonular lensa. Ruang ini

merupakan 80persen dari mata dan memiliki volume sekitar 4 ml. Vitreus melekat erat di

retina pada tigatempat, lapisan terkuat adalah anterior di dasar vitreus, diikuti oleh papil

saraf optik danpembuluh darah retina. Perdarahan vitreus adalah ekstravasasi darah ke

salah satu dari beberapa ruangpotensial yang terbentuk di dalam dan di sekitar korpus

vitreus. Kondisi ini dapat diakibatkanlangsung oleh robekan retina atau neovaskularisasi

retina, atau dapat berhubungan denganperdarahan dari pembuluh darah yang sudah ada

sebelumnya. Perdarahan vitreus dapat terjadi akibat dari retinitis proliferans, oklusi vena

sentral,oklusi vena cabang, ablasio retina, kolaps posterior vitreus akut tanpa harus ada

51
robekan.Perdarahan tersebut terletak pada belakang gel vitreus atau dengan sineretic

kavitas.

Gejala klinis

Pasien dengan perdarahan vitreus sering datang dengan keluhan mata kabur atau

berasap, ada helai rambut atau garis (floaters), fotopsia, seperti ada bayangan dan jaring

labalaba.Gejala subyektif yang paling sering ialah fotopsia, floaters. Fotopsia ialah

keluhan berupa kilatan cahaya yang dilihat penderita seperti kedipan lampu neon di

lapangan.Kilatan cahaya tersebut jarang lebih dari satu detik, tetapi sering kembali dalam

waktu beberapa menit.Kilatan cahaya tersebut dilihat dalam suasana redup atau dalam

suasana gelap.Fotopsia diduga oleh karena rangsangan abnormal vitreus terhadap retina.

Neuropati Optik Iskemik

A. Definisi

Neuropati optik iskemik anterior ditandai oleh edema diskus pucat yang disertai

dengan hilangnya penglihatan secara akut; sering ditemukan satu atau dua bercak

perdarahan peripapilar. Kelainan ini disebabkan oleh infark nervus optikus retrolaminar

(suatu daerah tepat di posterior lamina cribosa) akibat penyumbatan atau penurunan

perfusi arteriae ciliaries posterior breve. Angiografi fluoresein fase-akut menunjukkan

penurunan perfusi diskus optikus; sering bersifat segmental pada bentuk nonarteritik,

tetapi biasanya difus pada bentuk arteritik; terlihat kebocoran diskus pada fase lanjut.

Mungkin disertai defek perfusi pada koroid peripapilar. Neuropati optik iskemik anterior

dibagi menjadi dua yaitu neuropati optik iskemik anterior nonarteritik dan neuropati optik

iskemik anterior arteritik.

Neuropati optik iskemik anterior nonarteritik

52
Neuropati optik iskemik anterior nonarteritik, merupakan neuropati optik yang

umumnya terjadi pada usia diatas 50 tahun dan insiden pada kelompok usia tersebut

mencapai 2.3-10.2 kasus per 100.000 tiap tahunnya. Faktor risiko yang diketahui

berkaitan dengan kondisi tersebut termasuk hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung

iskemik, hiperkolesterolemia dan penggunaan rokok. Kondisi lain yang memiliki kaitan

adalah abnormalitas hematologi seperti hiperhomosisteinemia dan kemungkinan

pengunaan medikasi peningkat performa.2 hampir selalu ditemukan rasio cawan:diskus

optikus yang rendah. Drusen pada caput nervi optici dan peningkatan tekanan intraokular

merupakan faktor predisposisi neuropati ini. Hipotensi sistemik di pagi hari mungkin

merupakan faktor etiologi yang penting. Hubungan yang pasti antara inhibitor

fosfodiesterase (untuk difungsi ereksi) dan neuropati optic iskemik masih belum jelas.

Pada pasien yang berusia lebih muda, harus dicari kemungkinan vaskulitis (mis., lupus

eritematosus sistemik, sindrom antibodi antifosfolipid, poliarteritis nodosa), migraine,

dan kondisi protrombotik herediter (defisiensi protein c, protein s, atau antitrombin iii dan

resistensi protein c teraktivasi), kemudian diterapi dengan tepat.

Pada umumnya, penglihatan hilang secara mendadak dan dapat ditemukan

edematous diskus optikus. Edema diskus optikus kadang-kadang mendahului timbulnya

kehilangan penglihatan dalam jangka waktu minggu sampai bulan dan edema biasanya

hiperemis. Pembengkakan diskus seringkali bersifat difus, dengan keterlibatan segmen

yang lebih menonjol. Perdarahan menyerupai api biasanya terletak pada atau berdekatan

dengan diskus, arteriol retina kerapkali menyempit pada region peripapiler, dan pembuluh

telangiektasis dapat berlokasi di permukaan. Gangguan ketajaman penglihatan bervariasi

dari ringan hingga tidak ada persespsi cahaya; defek lapang pandang biasanya di nasal

(khasnya, inferior dengan suatu pola altitudinal relatif). Pada lebih dari 40% kasus,

dijumpai pemulihan ketajaman penglihatan secara spontan. Tidak ada terapi yang bisa

member manfaat jangka panjang. Terapi aspirin dosis rendah dapat menurunkan risiko

53
terkenanya mata sebelahnya, yang dialami oleh 40% penderita. Kekambuhan pada mata

yang sama jarang terjadi. Setelah proses akut mereda, timbul suatu diskus yang pucat

dengan atau tanpa cupping glaukomatosa.1

Terapi utama neuropati optik iskemik anterior nonarteritik adalah kortikosteroid, baik

berupa injeksi intravitreal dan administrasi sitemik. Hasil dari pengobatan ini masih

kontroversial, namun kemungkinan memiliki potensi dalam pengobatan neuropati optik

iskemik anterior nonarteritik akut.

Neuropatik optik iskemik anterior arteritik

Neuropatik optik iskemik anterior arteritik, dikenal juga sebagai sel raksasa

arteritis. Neuropati optic ini disebabkan oleh iskemik arteri siliaris posterior dan/atau

arteri oftalmika. Iskemik tersebut diakibatkan vaskulitis granulomatosa dinding pembuluh

darah. Neuropatik optik iskemik anterior arteritik menyebabkan penurunan penglihatan

yang berat dengan risiko kebutaan total bila terapinya ditunda. Kelainan ini terjadi pada

lansia dan berkaitan dengan nyeri pada arteri temporalis, nyeri saat mengunyah (jaw

claudication), malaise genralisata, pegal dan nyeri otot (polimialgia reumatika).

Diagnosis biasanya didasarkan atas neuropati optic iskemik anterior dengan peningkatan

laju endap darah (led) dan protein reaktif-c (crp) pada pasien lanjut usia, dengan atau

tanpa gambaran lokal atau sistemik yang sesuai; nilai led dan crp mungkin saja normal.

Pembengkakan yang pucat dari diskus optikus lebih sering dijumpai pada

neuropatik optik iskemik anterior arteritik. Iskemia koroidal mungkin berhubungan

dengan neuropati optic, menghasilkan kepucatan peripapiler dan pembengkakan dalam

retina dan mengeksaserbasi kehilangan penglihatan. Pada neuropati ini, sirkulasi retina

juga mungkin menunjukkan tanda-tanda iskemia, seperti perdarahan dan ctton-wool

spots, yang tidak ada pada neuropatik optik iskemik anterior non-arteritik. Diskus pada

54
mata yang lain pada penderita neuropatik optik iskemik anterior arteritik seringkali

memiliki diameter yang normal.

Pengobatan dengan steroid sistemik dosis tinggi harus segera dimulai begitu

diagnosis klinis neuropati optik iskemik anterior arteritik ditemukan, tanpa menunggu

hasil biopsy arteri temporalis, yang harus dikerjakan dalam waktu 1 minggu sejak terapi

dimulai. Prednisolone oral, 80-100 mg/hr, biasanya adekuat sebagai dosis awal. Dapat

diberikan hydrocortisone intravena, 250-500 mg, bila terapi oral tampak terlambat

dimulai. Methylprednisolone intravena dapat memperbaiki hasil pemglihatan akhir dan

pastinya harus diberikan pada pasien yang terkena kedua matanya-termasuk mereka yang

megalami serangan hilang penglihatan sementara pada mata sebelahnya- dan pada pasien

yang penglihatannya semakin memburuk, atau yang manifestasi-sistemik dan led

tingginya tidak responsive dengan terapi oral sekalipun. Dosis steroid biasanya dapat

diturunkan hingga 40mg prednisolone per hari setelah 2 minggu, tetapi kemudian harus

diturunkan secara lebih perlahan dan dihentikan sekurang-kurangnya lebih 6 minggu

selama tidak ada kekambuhan penyakit. Tiga puluh persen pasien memerlukan terapi

steroid jangka panjang.

55

Anda mungkin juga menyukai