Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu
bagian otak tiba tiba terganggu, karena sebagaian sel-sel otak mengalami
kematian akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh
darah otak. Dalam jaringan otak,kurangnya aliran darah menyebabkan
serangkaian reaksi biokimia ,yang dapat merusakan atau mematikan sel-sel saraf
otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang
dikendalikan oleh jaringan itu, aliran darah yang berhenti juga membuat suplai
oksigen dan zat makanan ke otak juga berhenti, sehingga sebagian otak tidak bisa
berfungsi sebagaimana mestinya. ( M.Adib, 2009)
Stroke menduduki urutan ketiga terbesar penyebab kematian setelah
penyakit jantung dan kanker,dengan laju mortalitas 18 % sampai 37 % untuk
stroke pertama dan 62 % untuk sroke berulang. Diperkirakan 25 % orang yang
sembuh dari stroke yang pertama akan mendapatkan stroke berulang dalam kurun
waktu 5 tahun . Hasil penelitian epidemiologis menunujukan bahwa terjadinya
resiko kematian pada 5 tahun pasca stroke adalah 45% -61 % dan terjadinya
stroke berulang 25 % - 37 %. ( Yulianto,2011)
Menurut studi Framingham, insiden stroke berulang dalam kurun waktu 4
tahun pada pria 42 % dan wanita 24 %. Mendapatkan kejadian stroke berulang
29,52 % yang paling sering terjadi pada usia 60 69 tahun (36,5%), dan pada
kurun waktu 1- 5 tahun (78,37 %) dengan faktor resiko utama adalah hipertensi
(92,7%) dan dislipidemia (34,2%). Sekitar 28,5 % penderita stroke di Indonesia
meninggal dunia. Penelitian menunjukan stroke menyerang pria 30 % lebih tinggi
daripada wanita. ( M.Adib, 2009)
Stroke merupakan masalah medis yang utama bagi masyarakat modern
saat ini. Diperkirakan 1 dari 3 orang akan terserang stroke dan 1 dari 7 akan
meninggal karena stroke. Yayasan stroke Indonesia menyebutkan angka kejadian
stroke menurut data dasar rumah sakit sekitar 63 per 100.000 penduduk usia di

1
atas 65 tahun terserang stroke, sedangkan yang meninggal dunia lebih dari
125.000 jiwa per tahun. (Yulianto ,2011)
Secara global sekitar 80 juta orang menderita akibat stroke, dan terdapat
juta korban stroke baru setiap tahun, dimana sekitar 4,4 juta diantaranya
meninggal 12 bulan. Terdapat sekitar 250 juta anggota keluarga yang berkaitan
dengan pengidap stroke yang bertahan hidup. (Yulianto ,2011)
Di Indonesia, stroke menduduki peringkat ke tiga sebagai penyakit
mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan menurut survey tahun 2004 stroke
merupakan pembunuh nomor 1 di RS pemerintah di seluruh Indonesia. Usia
ratarata stroke dari data 28 rumah sakit di Indonesia adalah 58,8 tahun 13,3
tahun . Usia rata - rata wanita lebih tua dari laki laki (60,4 13,8 tahun versus
57,5 12,7 tahun). Usia kurang dari 45 tahun sebanyak 12,9 % dan lebih dari 65
tahun sebanyak 35,8 %. (Yulianto ,2011)

1.3 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan stroke dan bagaimana epidemiologinya.
2. Apa yang menyebabkan terjadinya stroke dan bagaimana tanda serta
gejalanya.
3. Bagaimana prognosis dan patofisiologi terjadinya stroke.
4. Bagaimana penatalaksaan yang rasional pada pasien stroke.

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mengetahui definisi dari stroke dan epidemiologinya.
2. Mengetahui penyebab, tanda dan gejala dari stroke.
3. Untuk memahami prognosis dan patofisiologi terjadinya stroke.
4. Dapat memilihkan terapi yang rasional baik secara farmakologi maupun
nonfarmakologi pada pasien stroke.

2
BAB II
ISI

2.1 Definisi Stroke

Gambar 1. Terjadinya Stroke


Stroke (berasal dari kata strike) berarti pukulan pada sel otak. Biasanya
terjadi karena adanya gangguan distribusi oksigen ke sel otak. Hal ini disebabkan
gangguan aliran darah pada pembuluh darah otak, mungkin karena aliran yang
terlalu perlahan, atau karena aliran yang terlalu kencang sehingga pecah
(perdarahan), akhirnya sel-sel otak yang diurus oleh pembuluh darah tersebut
mati. Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika sebagian sel-sel otak mengalami
kematian akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh
darah di otak. Aliran darah yang terhenti membuat suplai oksigen dan zat
makanan ke otak juga terhenti, sehingga sebagian otak tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya ( Utami P, 2009 ).
Stroke didefinisikan sebagai disfungsi akut neurologi dari pembuluh darah
secara mendadak (dalam detik) atau secara lebih lambat (dalam jam) dengan
kejadian gejala dan tanda berhubungan dengan area fokal pada otak (Goldstein,
2001). Cerebravasaular Disease (CVD) atau stroke adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan terjadinya penurunan sitem syaraf secara tiba-tiba selama
24 jam. Stroke disebabkan oleh gangguan pada aliran darah ke otak baik karena
penyumbatan pembuluh darah atau pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan
perdarahan pada otak dan daerah di sekitarnya. Stroke adalah pembunuh utama di
seluruh dunia dan penyebab utama ketiga kematian di Amerika Serikat, di

3
belakang penyakit jantung dan semua kanker. Meskipun perbaikan dalam angka
kematian stroke pada paruh kedua abad kedua puluh, stroke terjadi pada lebih dari
700.000 orang per tahun dan menghasilkan 150.000 deaths.1 kemajuan terbaru
dalam pengetahuan kita tentang patofisiologi stroke telah menyebabkan
rekomendasi berbasis bukti pada pengelolaan pasien stroke. (Dipiro et al, 2008)
Stroke menurut definisi World Health Organization (WHO) adalah suatu
tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau
global), dengan gejala gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan
dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler (Sjahrir,2003).

2.1.1 Klasifikasi Stroke


Berdasarkan atas jenisnya, stroke dibagi menjadi :
1. Stroke Iskemik / Non Hemorogik
Stroke iskemik terjadi karena aliran darah ke otak terhenti karena
aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah.
Sejumlah 88% dari semua stroke adalah stroke iskhemia yang disebabkan oleh
pembentukan trombus atau emboli yang menghambat arteri serebral.
Aterosklerosis serebral adalah faktor penyebab dalam kebanyakan masalah stroke
iskhemia, walaupun 30% tidak diketahui etiologinya. Emboli dapat muncul dari
arteri intara dan ekstra kranial. 20% stroke emboli muncul dari jantung (Sukandar
et al., 2008).
Pada ateroslerosis karotid, plak dapat rusak karena paparan kolagen,
agregasi platelet, dan pembentukan thrombus. Bekuan dapat menyebabkan
hambatan sekitar atau terjadi pelepasan dan bergerak kearah distal, pada akhirnya
akan menghambat pembuluh serebral (Sukandar et al., 2008).
Dalam masa embolisme kardogen, aliran darah yang berhenti dalam
atrium atau ventrikelmengarah ke pembentukan bekuan local yang dapat
pelepasan dan bergerak melalui aorta menuju sirkulasi serebral. Hasil akhir baik
pembentukan thrombus dan embolisme adalah hambatan arteri, penurunan aliran

4
darah serebral dan penyebab ischemia dan akhirnya infark distal mengarah
hambatan (Sukandar et al., 2008).
Stroke iskemik ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Stroke Trombotik
Yaitu proses terbentuknya thrombus yang menyebabkan penggumpalan.
b. Stroke Embolik
Yaitu Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
c. Hipoperfusion Sistemik
Yaitu Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya
gangguan denyut jantung (Feigin, 2004)
2. Stroke Hemorogik
Diakibatkan karena pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran
darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan
merusaknya. Sejumlah 12% stroke adalah stroke pendarahan dan termasuk
pendarahan subarakhnoid, pendarahan intra serebral, dan hematomas subdural.
Pendarahan subarakhnoid dapat terjadi dari luka berat atau rusaknya aneurisme
intrakranial atau cacat arteriovena. Pendarahan intra serebral terjadi ketika
pembuluh darah rusak dalam parenkim otak menyebabkan pembentukan
hematoma. Hematoma subdural kebanyakan terjadi karena luka berat (Chirztoper,
2007).
Adanya darah dalam parenkim otak menyebabkan kerusakan pada jaringan
sekitar melalui efek masa dan komponen darah yang neurotoksik dan produk
urainya. Penekanan terhadap jaringan yang dikelilingi hematomas dapat mengarah
pada iskhemia sekunder. Kematian karena stroke pandarahan kebanyakan
disebabkan oleh peningkatan kerusakan dalam penekanan intakranial yang
mengarah pada herniasi dan kematian (Sukandar et al., 2008).

5
Gambar 2. Perbedaan stroke iskemik dan stroke hemoragik

Tabel 1. Perbedaan stroke iskemik dan stroke hemoragik

6
2.2 Epidemiologi
Setiap tahun, kira-kira 700.000 jiwa di Amerika mengalami infark serebral
dan kira-kira 160.000 meninggal akibat stroke. Penyakit serebrovaskular adalah
penyebab ketiga yang paling umum menyebabkan kematian pada orang dewasa
dan merupakan satu dari banyak penyebab disfungsi neurologik. Namun, secara
reperesentatif terjadi penurunan dramatis pada tingkat kematian akibat stroke
iskemia dari 88,8/100.000 jumlah penduduk pada tahun 1950 menjadi
54,3/100.000 pada tahun 2003 (Koda-kimble et al, 2009).
Di Amerika, stroke iskemia merupakan tipe infark yang paling umum.
Penyakit aterotrombotik pembuluh darah besar serebral adalah penyebab iskemia
dan infark serebral. Penyakit arteri kecil juga bertanggung jawab terhadap proses
oksigenasi dan asupan nutrisi pada sistem saraf pusat. Tromboembolik (atrial
fibrillation) dan penyebab lain seperti infeksi atau inflamasi arteri juga
bertanggung jawab terhadap stroke iskemia.Terdapat hubungan yang kuat antara
terjadinya Transient Ischemic Attacks (TIA) dengan peningkatan resiko infark
serebral di kemudian hari. Resiko stroke iskemia adalah yang paling tinggi pada
30 hari pertama (Koda-kimble et al, 2009).
Menurut Yayasan Stroke, di indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi
500.000 orang terkena serangan stroke. Sekitar 2,5% atau 125.000 orang
meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat. Jumlah penderita stroke
cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk usia
tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif. (Koda-
kimble et al, 2009).
Populasi usia lanjut diperkirakan meningkat hampir 300% di beberapa
negara berkembang di Amerika Latin dan Asia dalam 30 tahun mendatang yang
tentunya akan meningkatkan juga penyakit-penyakit seperti stroke. Peningkatan
kejadian stroke ini merupakan salah satu tantangan kesehatan masyarakat serta
berhubungan dengan kesakitan, ketidakmampuan, kemandirian serta mobilitas
populasi usia lanjut. (Anonim, 2010)

7
2.3 Presentasi Klinis Stroke
Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan defisit
neurologis fokal mendadak-onset yang berlangsung setidaknya 24 jam dan dari
diduga berasal vaskular. Sebuah transient ischemic attack (TIA) adalah sama
tetapi berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya kurang dari 30 menit. Onset
mendadak dan durasi gejala ditentukan melalui sejarah. Penggunaan teknik
pencitraan sensitif (magnetic resonance imaging) telah mengungkapkan bahwa
gejala yang berlangsung lebih dari 1 jam dan kurang dari 24 jam, meskipun secara
teknis TIA, berhubungan dengan infark, membuat TIA dan stroke ringan secara
klinis tidak dapat dibedakan. Lokasi cedera sistem saraf pusat dan referensi untuk
distribusi arteri tertentu di otak ditentukan melalui pemeriksaan neurologis dan
dikonfirmasi oleh pencitraan studi seperti computed tomografi (CT) scanning dan
magnetic resonance imaging (MRI). Pasokan arteri utama ke otak diilustrasikan
pada Gambar 20-2. Tes diagnostik lebih lanjut dilakukan untuk mengidentifikasi
penyebab stroke pasien dan merancang strategi terapi yang tepat untuk mencegah
peristiwa lanjut. (Dipiro et al, 2008)
1. Umum
Pasien mungkin tidak dapat dipercaya melaporkan sejarah karena defisit
kognitif atau bahasa. Sejarah diandalkan mungkin harus berasal dari anggota
keluarga atau saksi lain. (Dipiro et al, 2008)
2. Gejala
Pasien mungkin mengeluhkan kelemahan pada satu sisi tubuh,
ketidakmampuan untuk berbicara, kehilangan penglihatan, vertigo, atau jatuh.
Stroke iskemik biasanya tidak menyakitkan, tetapi pasien mungkin mengeluh
sakit kepala, dan dengan stroke hemoragik, itu bisa sangat parah. (Dipiro et al,
2008)
3. Tanda (Dipiro et al, 2008)
a. Pasien biasanya memiliki beberapa tanda-tanda disfungsi neurologis,
dan defisit spesifik ditentukan oleh area otak yang terlibat.

8
b. Hemi- atau monoparesis terjadi umumnya, seperti halnya defisit
hemisensorik.
c. Pasien dengan vertigo dan penglihatan ganda cenderung memiliki
keterlibatan sirkulasi posterior.
d. Aphasia terlihat biasa pada pasien dengan stroke sirkulasi anterior.
e. Pasien mungkin juga menderita dysarthria, cacat bidang visual, dan
tingkat kesadaran yang berubah.
4. Tes laboratorium
Pengujian keadaan hiperkoagulasi (defisiensi C protein, antibodi
antifosfolipid) harus dilakukan hanya bila penyebab stroke tidak dapat ditentukan
berdasarkan adanya faktor risiko terkenal untuk stroke. Protein C, protein S, dan
antitrombin III yang terbaik diukur dalam "kondisi mapan," tidak dalam tahap
akut. Antibodi antifosfolipid yang diukur dengan anticardiolipin antibodi, 2-
glikoprotein I, dan layar lupus antikoagulan yang dari hasil yang lebih tinggi dari
protein C, protein S, dan antitrombin III tapi harus disediakan untuk pasien yang
masih muda (<50 tahun), telah memiliki beberapa vena / peristiwa trombotik
arteri, atau memiliki livedo reticularis (ruam kulit). (Dipiro et al, 2008)
5. Tes diagnostik lainnya (Dipiro et al, 2008)
a. CT scan kepala akan mengungkapkan seluas hyperintensity (putih) di
daerah perdarahan dan akan normal atau hypointense (gelap) di daerah
infark. CT scan dapat mengambil 24 jam (dan jarang lagi) untuk
mengungkapkan daerah infark.
b. MRI kepala akan mengungkapkan daerah iskemia dengan resolusi
yang lebih tinggi dan lebih awal dari CT scan. Difusi-tertimbang
pencitraan (DWI) akan mengungkapkan infark berkembang dalam
beberapa menit.
c. Karotis Doppler (CD) penelitian akan menentukan apakah pasien
memiliki tingkat tinggi stenosis di arteri karotid memasok darah ke
otak (penyakit ekstrakranial).
d. Elektrokardiogram (EKG) akan menentukan apakah pasien memiliki
fibrilasi atrium, faktor etiologi ampuh untuk stroke.

9
e. Sebuah echocardiogram transthoracic (TTE) akan menentukan apakah
kelainan katup atau kelainan gerakan dinding merupakan sumber
emboli ke otak. A "test gelembung" yang dapat dilakukan untuk
mencari shunt intraatrial menunjukkan defek septum atrium atau
foramen ovale paten.
f. Sebuah echocardiogram transesophageal (TEE) adalah tes yang lebih
sensitif untuk trombus di atrium kiri. Hal ini efektif pada pemeriksaan
arkus aorta untuk ateroma, potensi sumber emboli.
g. Transcranial Doppler (TCD) akan menentukan apakah pasien
cenderung memiliki sclerosis arteri intrakranial (misalnya stenosis
arteri serebri).

2.4 Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) stroke biasanya diakibatkan dari salah
satu empat kejadian yaitu:
1. Thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher.
2. Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang di bawa ke
otak dari bagian tubuh yang lain.
3. Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak
4. Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak.
Akibat dari keempat kejadian diatas maka terjadi penghentian suplai darah ke
otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir,
memori, bicara, atau sensasi.
Banyak kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan stroke, tetapi pada
awalnya adalah dari pengerasan arteri atau yang disebut juga sebagai
arteriosklerosis. Karena arteriosklerosis merupakan gaya hidup modern yang
penuh stress, pola makan tinggi lemak, dan kurang berolahraga. Ketiganya
sebenarnya tergolong dalam faktor risiko yang dapat dikendalikan. Selain itu, ada
pula faktor-faktor lain yang tidak dapat dikendalikan, yaitu antara lain :
1. Faktor Risiko Tidak Terkendali

10
a. Usia
Semakin bertambah tua usia, semakin tinggi risikonya. Setelah berusia 55
tahun, risikonya berlipat ganda setiap kurun waktu sepuluh tahun. Dua pertiga dari
semua serangan stroke terjadi pada orang yang berusia di atas 65 tahun. Tetapi, itu
tidak berarti bahwa stroke hanya terjadi pada orang lanjut usia karena stroke dapat
menyerang semua kelompok umur.
b. Jenis kelamin
Pria lebih berisiko terkena stroke daripada wanita, tetapi penelitian
menyimpulkan bahwa justru lebih banyak wanita yang meninggal karena stroke.
Risiko stroke pria 1,25 lebih tinggi daripada wanita, tetapi serangan stroke pada
pria terjadi di usia lebih muda sehingga tingkat kelangsungan hidup juga lebih
tinggi. Dengan perkataan lain, walau lebih jarang terkena stroke, pada umumnya
wanita terserang pada usia lebih tua, sehingga kemungkinan meninggal lebih
besar.
c. Keturunan-sejarah stroke dalam keluarga
Nampaknya, stroke terkait dengan keturunan. Faktor genetik yang sangat
berperan antara lain adalah tekanan darah tinggi, penyakit jantung, diabetes dan
cacat pada bentuk pembuluh darah. Gaya hidup dan pola suatu keluarga juga
dapat mendukung risiko stroke. Cacat pada bentuk pembuluh darah (cadasil)
mungkin merupakan faktor genetik yang paling berpengaruh dibandingkan
faktor risiko stroke yang lain.
d. Ras dan etnik
2. Faktor Risiko Terkendali
a. Hipertensi
Hipertensi (tekanan darah tinggi) merupakan faktor risiko utama yang
menyebabkan pengerasan dan penyumbatan arteri. Penderita hipertensi memiliki
faktor risiko stroke empat hingga enam kali lipat dibandingkan orang yang tanpa
hipertensi dan sekitar 40 hingga 90 persen pasien stroke ternyata menderita
hipertensi sebelum terkena stroke. Secara medis, tekanan darah di atas 14090
tergolong dalam penyakit hipertensi. Oleh karena dampak hipertensi pada
keseluruhan risiko stroke menurun seiring dengan pertambahan umur, pada orang

11
lanjut usia, faktor-faktor lain di luar hipertensi berperan lebih besar terhadap
risiko stroke. Pada orang yang tidak menderita hipertensi, risiko stroke meningkat
terus hingga usia 90, menyamai risiko stroke pada orang yang menderita
hipertensi. Sejumlah penelitian menunjukkan obat-obatan anti hipertensi dapat
mengurangi risiko stroke sebesar 38 persen dan pengurangan angka kematian
karena stroke sebesar 40 persen.
b. Penyakit Jantung
Setelah hipertensi, faktor risiko berikutnya adalah penyakit jantung,
terutama penyakit yang disebut atrial fibrilation, yakni penyakit jantung dengan
denyut jantung yang tidak teratur di bilik kiri atas. Denyut jantung di atrium kiri
ini mencapai empat kali lebih cepat dibandingkan di bagian-bagian lain jantung.
Ini menyebabkan aliran darah menjadi tidak teratur dan secara insidentil terjadi
pembentukan gumpalan darah. Gumpalan-gumpalan inilah yang kemudian dapat
mencapai otak dan menyebabkan stroke. Pada orang-orang berusia di atas 80
tahun, atrial fibrilation merupakan penyebab utama kematian pada satu di antara
empat kasus stroke. Faktor lain dapat terjadi pada pelaksanaan operasi jantung
yang berupaya memperbaiki cacat bentuk jantung atau penyakit jantung. Tanpa
diduga, plak dapat terlepas dari dinding aorta (batang nadi jantung), lalu hanyut
mengikuti aliran darah ke leher dan ke otak yang kemudian menyebabkan stroke.
c. Diabetes
Penderita diabetes memiliki risiko tiga kali lipat terkena stroke dan
mencapai tingkat tertinggi pada usia 50-60 tahun. Setelah itu, risiko tersebut akan
menurun. Namun, ada faktor penyebab lain yang dapat memperbesar risiko stroke
karena sekitar 40 persen penderita diabetes pada umumnya juga mengidap
hipertensi.
d. Kadar kolesterol darah
Penelitian menunjukkan bahwa makanan kaya lemak jenuh dan kolesterol
seperti daging, telur, dan produk susu dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam
tubuh dan berpengaruh pada risiko aterosklerosis dan penebalan pembuluh. Kadar
kolesterol di bawah 200 mg/dl dianggap aman, sedangkan di atas 240 mg/dl sudah
berbahaya dan menempatkan seseorang pada risiko terkena penyakit jantung dan

12
stroke. Memperbaiki tingkat kolesterol dengan menu makan yang sehat dan
olahraga yang teratur dapat menurunkan risiko aterosklerosis dan stroke. Dalam
kasus tertentu, dokter dapat memberikan obat untuk menurunkan kolesterol.
e. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko stroke yang sebenarnya paling mudah
diubah. Perokok berat menghadapi risiko lebih besar dibandingkan perokok
ringan. Merokok hampir melipatgandakan risiko stroke iskemik, terlepas dari
faktor risiko yang lain, dan dapat juga meningkatkan risiko subaraknoid
hemoragik hingga 3,5 persen. Merokok adalah penyebab nyata kejadian stroke,
yang lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda ketimbang usia tengah baya
atau lebih tua. Sesungguhnya, risiko stroke menurun dengan seketika setelah
berhenti merokok dan terlihat jelas dalam periode 2-4 tahun setelah berhenti
merokok. Perlu diketahui bahwa merokok memicu produksi fibrinogen (faktor
penggumpal darah) lebih banyak sehingga merangsang timbulnya aterosklerosis.
Pada pasien perokok, kerusakan yang diakibatkan stroke jauh lebih parah
karena dinding bagian dalam (endothelial) pada sistem pembuluh darah otak
(serebrovaskular) biasanya sudah menjadi lemah. Ini menyebabkan kerusakan
yang lebih besar lagi pada otak sebagai akibat bila terjadi stroke tahap kedua.
f. Alkohol berlebih
Secara umum, peningkatan konsumsi alkohol meningkatkan tekanan darah
sehingga memperbesar risiko stroke, baik yang iskemik maupun hemoragik.
Tetapi, konsumsi alkohol yang tidak berlebihan dapat mengurangi daya
penggumpalan platelet dalam darah, seperti halnya asnirin. Dengan demikian,
konsumsi alkohol yang cukup justru dianggap dapat melindungi tubuh dari bahaya
stroke iskemik. Pada edisi 18 November, 2000 dari The New England Journal of
Medicine, dilaporkan bahwa Physicians Health Study memantau 22.000 pria yang
selama rata-rata 12 tahun mengkonsumsi alcohol satu kali sehari. Ternyata,
hasilnya menunjukkan adanya penurunan risiko stroke secara menyeluruh. Klaus
Berger M.D. dari Brigham and Womens Hospital di Boston beserta rekan-rekan
juga menemukan bahwa manfaat ini masih terlihat pada konsumsi seminggu satu
minuman. Walaupun demikian, disiplin menggunakan manfaat alkohol dalam

13
konsumsi cukup sulit dikendalikan dan efek samping alkohol justru lebih
berbahaya.
Lagipula, penelitian lain menyimpulkan bahwa konsumsi alkohol secara
berlebihan dapat mempengaruhi jumlah platelet sehingga mempengaruhi
kekentalan dan penggumpalan darah, yang menjurus ke pendarahan di otak serta
memperbesar risiko stroke iskemik.
g. Obat-obatan terlarang
Penggunaan obat-obatan terlarang seperti kokain dan senyawa olahannya
dapat menyebabkan stroke, di samping memicu faktor risiko yang lain seperti
hipertensi, penyakit jantung, dan penyakit pembuluh darah. Kokain juga
meyebabkan gangguan denyut jantung (arrythmias) atau denyut jantung jadi lebih
cepat. Masing-masing menyebabkan pembentukan gumpalan darah. Marijuana
mengurangi tekanan darah dan bila berinteraksi dengan faktor risiko lain, seperti
hipertensi dan merokok, akan menyebabkan tekanan darah naik turun dengan
cepat. Keadaan ini pun punya potensi merusak pembuluh darah.
h. Cedera kepala dan leher
Cedera pada kepala atau cedera otak traumatik dapat menyebabkan
pendarahan di dalam otak dan menyebabkan kerusakan yang sama seperti pada
stroke hemoragik. Cedera pada leher, bila terkait dengan robeknya tulang
punggung atau pembuluh karotid akibat peregangan atau pemutaran leher secara
berlebihan atau adanya tekanan pada pembuluh merupakan penyebab stroke yang
cukup berperan, terutama pada orang dewasa usia muda.
i. Infeksi
Infeksi virus maupun bakteri dapat bergabung dengan faktor risiko lain
dan membentuk risiko terjadinya stroke. Secara alami, sistem kekebalan tubuh
biasanya melakukan perlawananan terhadap infeksi dalam bentuk meningkatkan
peradangan dan sifat penangkalan infeksi pada darah. Sayangnya, reaksi
kekebalan ini juga meningkatkan faktor penggumpalan dalam darah yang memicu
risiko stroke embolik-iskemik.

14
Tabel 2. Faktor resiko terjadinya stroke

2.5 Prognosis dan Diagnosis


2.5.1 Prognosis
Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease, disability,
discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis tersebut
terjadi pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar aspek
tersebut tidak menjadi lebih buruk maka semua penderita stroke akut harus
dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi
oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh secara terus-menerus selama 24 jam
setelah serangan stroke (Asmedi & Lamsudin, 1998).
Asmedi & Lamsudin (1998) mengatakan prognosis fungsional stroke pada
infark lakuner cukup baik karena tingkat ketergantungan dalam activity daily
living (ADL) hanya 19 % pada bulan pertama dan meningkat sedikit (20 %)
sampai tahun pertama. Bermawi, et al., (2000) mengatakan bahwa sekitar 30-60 %
penderita stroke yang bertahan hidup menjadi tergantung dalam beberapa aspek
aktivitas hidup sehari-hari. Dari berbagai penelitian, perbaikan fungsi neurologik
dan fungsi aktivitas hidup sehari-hari pasca stroke menurut waktu cukup
bervariasi. Suatu penelitian mendapatkan perbaikan fungsi paling cepat pada
minggu pertama dan menurun pada minggu ketiga sampai 6 bulan pasca stroke.
Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan yang
terjadi pada penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolok ukur

15
diantaranya outcome fungsional, seperti kelemahan motorik, disabilitas, quality of
life, serta mortalitas.
Menurut Hornig et al., prognosis jangka panjang setelah TIA dan stroke
batang otak/serebelum ringan secara signifikan dipengaruhi oleh usia, diabetes,
hipertensi, stroke sebelumnya, dan penyakit arteri karotis yang menyertai. Pasien
dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien dengan TIA
memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien dengan stroke minor.
Tingkat mortalitas kumulatif pasien dalam penelitian ini sebesar 4,8 % dalam 1
tahun dan meningkat menjadi 18,6 % dalam 5 tahun.

2.5.2 Diagnosis
1. Computerized tomography (CT)
Pemeriksaan paling penting untuk mendiagnosis subtipe stroke adalah
Computerized tomography atau CT (dulu dikenal cumputerised axial tomography
atau CAT) dan MRI pada kepala. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan citra sinar
X, pemindaian berlangsung selama 15-20 menit, tidak nyeri dan menimbulkan
radiasi minimal (kecuali bagi wanita hamil) (Feigin, 2006).
Setiap citra individul memperlihatkan irisan melintang otak,
mengungkapkan daerah abnormal yang ada didalamnya. Pada CT, pasien diberi
sinar-X dalam dosis sangat rendah yang digunakan menembus kepala. Sinar-X
yang digunakan serupa dengan pada pemeriksaan dada, tetapi dengan pajanan ke
radiasi yang jauh lebih rendah (Feigin, 2006). Computerized tomography sangat
handal untuk mendeteksi perdarahan intrakarnium, tetapi kurang peka untuk
mendeteksi stroke iskemik ringan (Feigin, 2006).
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan berdasarkan citra resonansi magnet, pemindaian berlangsung
selama 30 menit, pemeriksaan MRI aman, tidak invasive dan tidak nyeri. Alat ini
tidak dapat digunakan jika terdapat alat pacu jantung atau benda logam lainya
misalnya pecahan logam atau klip bedah tertentu di dalam tubuh. Selain itu, orang
yang bertubuh besar mugkin tidak masuk ke dalam mesin MRI ini, MRI lebih
sensitif dibandingkan dengan CT dalam mendeteksi stroke iskemik ringan bahkan

16
pada stadium dini, namun kurang peka dibandingkan dengan CT dalam
mendeteksi perdarahan intrakarnium ringan (Feigin, 2006).
3. Ultrasonografi dan MRA
Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi (menggunakan
gelombang suara untuk menciptakan citra) atau MRA (magnetic resonance
angiography, suatu bentuk MRI). Pemindaian ini digunakan untuk mencari
kemungkinan penyempitan arteri atau bekuan arteri utama (Feigin, 2006). Kedua
prosedur ini aman, tidak meneimbulkan nyeri, dan relatif cepat sektar 20-30 menit
untuk pemindaian ultrasonografi dan sedikit lebih lama untuk MRA. Magnetic
resonance angiography khusunya bermanfaat untuk mengidentifikasi aneurisma
intrakanium dan malformasi pembuluh darah otak (Feigin, 2006).
4. Angiografi otak
Angiografi otak merupakan suatu penyuntikan suatu bahan yang tampak
dalam citra sinar X ke dalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X
kemudian dapat memperlihatkan pembuluhan-pembuluh darah di leher dan
kepala. Bahan yang digunakan disebut bahan kontras, dan disuntikkan langsung
ke dalam arteri karotis di leher atau melalui sebuah kateter (selang) yang sangat
panjang yang dimasukkan ke pembuluh itu melalui arteri femoralis di lipatan
paha. kedua prosedur ini dilakukan di bawah pembiusan total (Feigin, 2006).
5. Pungsi Lumbal (Spinal tap)
Suatu pemeriksaan laboratorium yang kadang kala jika diagnosis stroke
belum jelas. Cara ini juga kadang dilakukan jika alat CT tidak tersedia, untuk
mendeteksi perdarahan subaraknoid. Prosedur memerlukan waktu sekitar 10-20
menit dan dilakukan pembiasan total. Dilakukan pengambilan sedikit sampel
cairan serebrospinal (cairan yang merendam otak dan korda spinalis ) untuk
pemeriksaan laboratorium (Feigin, 2006).
6. EKG
Elektrokardiografi digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama
jantung atau penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke pasien.
Sensor listrik yang peka, yang disebut elektrosa, diletakkan pada kulit di tempat-
tempat tertentu. Elektroda-elektroda ini merekam perubahan siklis arus listrik

17
alami tubuh yang terjadi sewaktu jantung berdenyut. Hasilnya dianalisis oleh
komputer dan diperlihatkan dalam sebuah grafik yang disebut elektrokardiogram
(Feigin, 2006).

2.6 Patofisiologi
Stroke dapat berupa iskemia atau hemoragik. Secara sistematik penyakit
stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme terjadinya seperti pada
gambar 3 (Dipiro et al, 2008)

Gambar 3. Klasifikasi stroke berdasarkan mekanisme terjadinya


1. Stroke iskemia
Terdapat 3 mekanisme patofisiologi utama yang mendasari terjadinya
stroke iskemik meliputi penyakit pembuluh darah besar (aterosklerosis), penyakit
pembuluh darah kecil (arteriosklerosis) dan adanya emboli (kardioembolik). Pada
stroke iskemia terdapat gangguan suplai darah ke otak baik disebabkan oleh
pembentukan trombus atau emboli. Kurangnya aliran darah serebral menyebabkan
hipoperfusi jaringan, hipoksia jaringan dan kematian sel otak (Chisholm-burns et
al, 2008).
Penumpukan lipid pada dinding pembuluh darah menyebabkan turbulensi
aliran darah dan memicu terjadinya kerusakan sehingga kolagen pembuluh

18
terekspose oleh darah. Kerusakan pembuluh ini memulai proses agregasi platelet
yang disebabkan oleh terpaparnya subendotelium. Platelet-platelet melepaskan
adenosin diphosphat (ADP) yang menyebabkan agregasi platelet dan
penggabungan agregat tersebut. Tromboksan A2 dilepaskan dan memperbesar
pembentukan platelet dan vasokonstriksi (Chisholm-burns et al, 2008).
Kerusakan pembuluh juga dapat mengaktivasi jalur koagulasi yang
memicu terbentuknya trombin. Trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin,
memicu pembentukan suatu bekuan berupa molekul fibrin, platelet dan agregat sel
darah (Chisholm-burns et al, 2008).

Gambar 4. Agregasi platelet.


Gambar ini menunjukkan proses agregasi platelet. Kerusakan jaringan
menghasilkan pelekatan platelet-platelet pada dinding pembuluh. Hal ini memicu
pelekatan platelet yang berkelanjutan dan terjadi agregasi platelet membentuk
trombus.

19
Gambar 5. Jalur fisiologi pembekuan darah
Bekuan darah dapat terjadi di jantung, di sepanjang dinding pembuluh
darah utama (aorta, carotid, basilar artery) atau arteri kecil yang masuk ke dalam
otak. Jika bekuan tersebut terletak dekat dengan bagian yang mengalami infark
maka disebut sebagai trombus; akan tetapi jika bekuan tersebut bergerak ke otak
dari sumber yang jauh maka disebut sebagai emboli (Koda-kimble et al, 2009).

Gambar 6. Tempat-tempat terjadinya bekuan pemicu stroke iskemia

20
Ateroskelrosis serebral adalah faktor penyebab dalam kebanyakan masalah
stroke iskemia. Emboli dapat muncul dari arteri intra dan ekstra kranial. 20 %
emboli muncul dari jantung. Aliran darah normal serebral pada otak orang dewasa
adalah 3070 ml/100 g/menit. Ketika bekuan trombotik atau embolik secara
parsial menghambat arteri serebral lairan darah akan menurun <20 ml/100 g/menit
(terjadi iskemia). Jika terus berlanjut dan aliran darah menjadi <12 ml/100g/menit
dapat terjadi kerusakan yang irreversible (infark). Dengan demikian hasil akhir
baik pembentukan trombus dan embolisme adalah hambatan arteri, penurunan
aliran darah serebral, menyebabkan iskemia dan akhirnya infark (Koda-kimble et
al, 2009).
2. Stroke hemoragik
Strok pendarahan (hemoragik) meliputi pendarahan subarakhnoid,
pendarahan intraserebral dan hematomas subdural. Pendarahan subarakhnoid
dapat terjadi dari luka berat atau rusaknya aneurisme intrakranial atau cacat
arteriovena. Pendarahan intraserebral terjadi ketika pembuluh darah rusak dalam
parenkim otak menyebabkan pembentukan hematoma. Hematoma subdural
kebanyakan terjadi karena luka berat (Dipiro et al, 2008)
Adanya darah dalam parenkim otak menyebabkan kerusakan pada jaringan
sekitar melalui efek masa dan komponen darah yang neorotoksik dan produk
urainya. Penekanan terhadap jaringan yang dikelilingi hematoma dpat mengarah
pada iskemia sekunder. Kematian karena stroke pendarahan kebanyakan
disebabkan oleh peningkatan kerusakan dalam penekanan intrakranial yang
mengarah pada herniasi dan kematian (Dipiro et al, 2008).

21
Gambar 7. Bagian-bagian otak yang umumnya mengalami stroke hemoragik. (1)
Percabangan kortikal dari arteri intrakranial utama, (2) Percabangan
lentikulostriat, (3) Percabangan termoperfolator, (4) Percabangan pontin
paramedian, (5) Percabangan arteri serebral utama
Patofisiologi stroke hemoragik lebih kompleks dibandingkan dengan
stroke iskemik. Banyak dari proses ini terkait dengan keberadaan darah di
jaringan otak dan/atau ruang sekitarnya sehingga mengakibatkan kompresi.
Hematoma yang terbentuk akan terus tumbuh dan membesar setelah perdarahan
awal dan pertumbuhan awal hematoma dikaitkan dengan hasil yang buruk.
Pembengkakan jaringan otak dan kerusakan akibat dari peradangan disebabkan
oleh trombin dan produk darah lainnya. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan intrakranial dan herniasi. (Chisholm-burns et al, 2008).

2.7 Tata Laksana Terapi


Tujuan pengobatan stroke akut adalah (Dipiro et al, 2008):
1. Mengurangi luka sistem syaraf yang sedang berlangsung dan menurunkan
kematian dan cacat jangka panjang.
2. Mencegah komplikasi sekunder untuk imobilitas dan disfungsi sistem
syaraf.
3. Mencegah berulangnya stroke.
Pendekatan awal untuk pasien dengan stroke akut dianggap adalah untuk
memastikan bahwa pasien didukung dari sudut pandang pernapasan dan jantung
dan dengan cepat menentukan apakah lesi adalah iskemik atau hemoragik
berdasarkan CT scan. Pasien stroke iskemik menyajikan beberapa jam setelah
timbulnya gejala mereka harus dievaluasi untuk

22
Tabel 3. Tekanan darah Pengobatan Pedoman Stroke Iskemik Akut Patients
Pengobatan Diterima tPA Apakah Tidak Menerima tPA

Tidak ada <180/105 <220/120


Labetolol IVa 180-230 / 105-120 > 220 / 121-140
atau Nicordipine IVb
Nitroprussidec Diastolic > 140 Diastolik> 140

Labetolol IV = 10-20 mg, dua kali lipat setiap 10-20 menit, sampai
maksimum 300 mg.Juga dapat menggunakan infus 2-8
mg / menit.
Nicordipine IV = infus awal pada 5 mg / hr sampai 15 mg / hr.
Nitroprusside IV = infus awal di 0,5 mcg / kg / menit, dengan arteri terus
menerus BP pemantauan.
Pasien dengan tekanan darah tinggi harus tetap tidak diobati kecuali
tekanan darah mereka melebihi 220/120 mm Hg atau mereka memiliki bukti
diseksi aorta, infark miokard akut (AMI), edema paru, atau ensefalopati
hipertensi. Jika tekanan darah diobati, short-acting agen parenteral, seperti
labetalol, nicordipine, dan nitroprusside, disukai.Rekomendasi saat ini mengenai
manajemen hipertensi arteri pada pasien stroke yang diberikan pada Tabel 20-2.
Pada pasien dengan stroke hemoragik, penilaian apakah pasien adalah
kandidat untuk intervensi bedah melalui endovascular atau pendekatan kraniotomi
harus dibuat.Setelah pasien keluar dari fase hiperakut, perhatian ditempatkan pada
mencegah memburuknya, meminimalkan komplikasi, dan melembagakan strategi
pencegahan sekunder yang tepat.Fase akut stroke meliputi minggu pertama
setelah acara.

2.7.1 Terapi nonfarmakologi


1. Ischemic Stroke
Intervensi pembedahan pada pasien stroke iskemik akut bersifat terbatas.
Pada kasus-kasus edema serebral iskemik tertentu yang menunjukkan infark yang
besar, kraniektomi untuk memunculkan peningkatan tekanan telah diuji. Beberapa

23
kasus lain, seperti infark serebelum, dekompresi pembedahan dapat
menyelamatkan pasien. Selain intervensi pembedahan, pendekatan multidisipliner
untuk penanganan stroke seperti rehabilitasi sangat efektif dalam mengurangi
stroke iskemik. Pada kenyataannya, penggunaan unit stroke telah berhasil
menyamai keluaran trombolisis ketika dibandingkan dengan penanganan biasa
(DiPiro et al., 2008).
Dalam pencegahan sekunder, endarterektomi karotid pada arteri karotid
stenosis dan/atau ulser merupakan cara yang sangat efektif untuk mengurangi
insiden stroke dan kambuhan pada pasien yang tepat. Sebenarnya, pada pasien
stroke iskemik dengan arteri karotid stenosis 70% hingga 99%, stroke kambuhan
dapat dikurangi hingga 48% ketika dikombinasikan dengan aspirin 325 mg setiap
hari dibandingkan dengan terapi medis tunggal. Pada pasien yang berpikir bahwa
risiko endarterektomi sangat tinggi, carotid stenting menjadi lebih efektif dalam
penurunan risiko stroke, namun sedikit invasif (menyakitkan/mengganggu)
(DiPiro et al., 2008).
2. Hemorrhagic Stroke
Pada pasien dengan pendarahan subarachnoid yang menunjukkan rupture
aneurism intrakranial, intervensi pembedahan dapat mengurangi mortalitas. Pada
kasus pendarahan intraserebral primer, keuntungan pembedahan tidak
terdokumentasi dengan baik. Meskipun banyak pasien yang menjalani operasi
bedah hematoma intraserebral, belum ada studi yang cukup mengenai uji klinis.
Pedoman telah ditegakkan untuk menggunakan intervensi pembedahan dalam
penanganan pendarahan intraserebral, namun masih terdapat kekurangan data uji
klinis yang mendukung (DiPiro et al., 2008).

2.7.2 Terapi farmakologi


1. Stroke iskemia
American Stroke Association mempublikasikan pedoman dalam
penanganan kasus stroke iskemia. Secara umum ada 2 jenis obat yang
direkomendasikan yaitu tPA intravena pada 3 jam onset stroke dan aspirin pada
48 jam onset. (Dipiro et al, 2008)

24
Telah ditunjukkan bahwa pemberian lebih awal (<3 jam) tPA intravena
dapat menurunkan resiko cacat yang disebabkan oleh stroke iskemia. Secara
ringkas esensi dari protokol penanganan stroke iskemia adalah sebagai berikut
(Dipiro et al, 2008):
a. Ditangani oleh suatu tim
b. Onset gejala adalah 3 jam
c. CT scan untuk pengecualian terhadap stroke hemoragi
d. Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (tabel 4)
e. Diberikan tPA 0,9 mg/kg sampai satu jam setelah bolus 10% dosis total
diberikan sampai 1 menit.
f. Terapi antikoagulan dan antiplatelet seharusnya dihindari selama 24 jam
g. Pemantauan lebih dekat lagi terhadap pendarahan
Tabel 4. Farmakoterapi yang dianjurkan untuk stroke iskemik (DiPiro et al.,
2008).
Primer Agen Alternatif
Pengobatan Akut tPA 0,9 mg / kg IV tPA (berbagai dosis)
(maximum90 kg) lebih intraarterially hingga 6
dari 1 jam di dipilih jam setelah onset pada
pasien dalam waktu 3 pasien tertentu.
jam dari onset. ASA
160-325 mg daily, mulai
dalam waktu 48 jam dari
onset.
Pencegahan
sekunder Aspirin 50-325 mg Tiklopidin 250 mg dua
Noncardioembolic setiap hari. Clopidogrel kali sehari
75 mg setiap hari .
Asprin 25 mg +
extended-release
Kardioembolik dipyridamole 200 mg
(fibrilasi esp.atrial) dua kali sehari
Semua
Warfarin (INR = 2,5)

ACE inhibitor + diuretik


atau tekanan darah ARB

25
menurunkan Statin
Terapi pendukung yang umum diperlukan untuk pasien di rumah sakit.
Beberapa masalah adalah penting untuk penanganan yang tepat terhadap stroke.
Perhatian khusus perlu diberikan pada pengontrolan cairan dan elektrolit. Terlalu
berlebihan dalam hidrasi atau kurangnya suplementasi natrium dapat
menyebabkan hiponatremia, dengan demikian memaksa cairan masuk ke dalam
neuron dan kemudian dapat meningkatkan kerusakan pada iskemia. Jadi
sebaiknya dilakukan terapi cairan dengan menggunakan larutan yang mengandung
minimal 0,45% saline dan yang paling disukai adalah 0,9% saline (Koda-kimble
et al, 2009).
Parameter metabolik yang lain yang harus diperhatikan adalah kadar gula
darah, karena hiperglikemi memberikan efek yang buruk terhadap kondisi infark
iskemia. Jika hiperglikemia dideteksi, terapi insulin yang tepat harus dilakukan
untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah <140 mg/dl tanpa
menyebabkan hipoglikemik (Koda-kimble et al, 2009).
Dalam mengatur tekanan darah pasien harus dilakukan hati-hati.
Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dapat membahayakan aliran darah ke
otak dan memperluas daerah yang mengalami iskemia dan infark. Sedangkan
hipertensi dapat menempatkan pasien pada resiko yang besar untuk terjadinya
hemoragik khususnya jika digunakan zat trombolitik. Untuk pasien dengan
tekanan sistol >185 mmHg atau tekanan diastol >110 mmHg yang akan diberikan
fibrinolitik intravena, labetalol, tempelan nitrogliserin dan nikardipin intravena
seharusnya diberikan untuk menurunkan tekanan darah. Hal ini merupakan tujuan
yang tepat untuk memulai terapi tPA. Setelah pemeberian tPA, tekanan darah
harus dijaga di bawah 180/105 mmHg. Terjadi penrunan fungsi neurologi
berhubungan dengan penurunan tekanan darah, kecepatan infus antihipertensi
diturunkan atau bila perlu obat tidak dilanjutkan. Terapi antihipertensi dapat
dilakukan kembali dengan menggunakan obat oral seperti antagonis kanal kalsium
atau ACE inhibitor (Koda-kimble et al, 2009).

26
Tabel 5. Kriteria inklusi dan ekslusi pada pemberian altaplase (Drug Information
Handbook, 2009)
Kriteria inklusi (semua kotak YES harus diperiksa sebelum perawatan)

IYA

1. Usia 18 tahun atau lebih


2. Diagnosis klinis stroke iskemik menyebabkan defisit neurologis terukur
3. Waktu onset gejala mapan untuk menjadi kurang dari 180 menit sebelum
pengobatan akan dimulai
Kriteria eksklusi (semua kotak NO harus diperiksa sebelum perawatan)

TIDAK

1. Bukti perdarahan intrakranial pada kepala noncontrast CT


2. Hanya gejala stroke ringan atau berkembang cepat
3. Kecurigaan klinis yang tinggi perdarahan subarachnoid bahkan dengan CT
yang normal
4. Perdarahan internal aktif (misalnya, GI / GU pendarahan dalam waktu 21
hari)
5. Dikenal perdarahan diatesis, termasuk namun tidak terbatas pada platelet
count <100.000 / mm3
6. Pasien telah menerima heparin dalam waktu 48 jam dan telah sebuah
ditinggikan APTT
7. Penggunaan terbaru dari antikoagulan (misalnya warfarin) dan
peningkatan PT (> 15 detik) / INR
8. Operasi intrakranial, trauma kepala yang serius, atau stroke sebelumnya
dalam waktu 3 bulan
9. Operasi besar atau trauma serius dalam waktu 14 hari
10. Tusukan arteri baru-baru ini di situs noncompressible
11. Pungsi lumbal dalam waktu 7 hari
12. Sejarah perdarahan intrakranial, malformasi arteri, atau aneurisma
13. Kejang menyaksikan di onset stroke
14. Infark miokard akut Terbaru
15. SBP> 185 mm Hg atau DBP> 110 mm Hg pada waktu pengobatan

aPTT, activated partial thromboplastin time; CT, computed tomography; DBP,


diastolic blood pressure; GU, genitourinary; INR, international normalized ratio;
PT, prothrombin time; SBP, systolic blood pressure.

27
Gambar 8. Logaritma terapi stroke

28
A. Terapi utama (Dipiro et al, 2008)
a. Alteplase (t-PA)
Alteplase adalah enzim serin-protease dari sel endotel pembuluh yang
dibentuk dengan teknik rekombinan DNA. Waktu paruhnya hanya 5 menit.
Alteplase bekerja sebagai fibrinolitik dengan cara mengikat pada fibrin dan
mengaktivasi plasminogen jaringan. Plasmin yang terbentuk kemudian
mendegradasi fibrin sehingga melarutkan trombus. Efektivitas intravena pada
pengobatan stroke iskemik dipublikasikan pada tahun 1995 oleh National
Institutes of Neurologic Disorders and Stroke (NINDS) pada uji Recombinant
Tissue-Type Plasminogen Activator (rt-PA) Stroke, dari 624 pasien yang diobati
dengan jumlah yang sama, baik t-PA 0.9 mg/kg IV atau plasebo dalam 3 jam pada
permulaan gejala neurologik, 39% dari pasien yang diobati memperoleh keluaran
yang sangat bagus pada 3 bulan dib/andingkan dengan 26% pasien plasebo.
Keluaran yang sangat bagus didefinisikan tidak terdapat kesalahan atau
kesalahan minimal dengan beberapa skala neurologik yang berbeda (DiPiro et al.,
2008).
b. Aspirin
Penggunaan aspirin terdahulu untuk mengurangi kematian jangka panjang
dan cacat akibat stroke iskemik didukung oleh dua uji klinis acak besar. Pada
International Stroke Trial (IST), aspirin 300 mg/hari secara signifikan
menurunkan kekambuhan stroke dalam 2 minggu pertama, menghasilkan
penurunan signifikan kematian dan ketergantungan dalam 6 bulan. Pada Chinese
Acute Stroke Trial (CAST), aspirin 160 mg/hari mengurangi risiko kambuh dan
kematian dalam 28 hari pertama, namun kematian jangka panjang dan cacat tidak
berbeda dengan placebo. Pada kedua pengujian, terdapat peningkatan kecil namun
signifikan pada transformasi pendarahan dari infark. Untuk keseluruhan, efek
menguntungkan dari penggunaan aspirin telah diadopsi sebagai garis pedoman
klinis (DiPiro et al., 2008).
c. Antiplatelet
Semua pasien yang memiliki stroke iskemik akut akan menerima terapi
antitrombosis jangka panjang untuk pencegahan sekunder. Pada pasien dengan

29
stroke nonkardioembolik, akan terdapat beberapa bentuk terapi antiplatelet.
Aspirin menunjukkan hasil studi yang paling baik, dan menjadi obat pilihan
utama. Akan tetapi, literatur yang telah dipublikasikan mendukung penggunaan
clopidogrel dan produk kombinasi sebagai obat pilihan pertama pada pencegahan
stroke sekunder (DiPiro et al., 2008).
Efikasi clopidogrel sebagai antiplatelet pada gangguan atherothrombosis
diperlihatkan dalam pengujian clopidogrel versus aspirin pada pasien dengan
risiko kejadian iskemik (CAPRIE). Dalam studi ini lebih dari 19,000 pasien
dengan riwayat infark myokard, stroke, atau penyakit arteri perifer, clopidogrel 75
mg/hari dibandingkan dengan aspirin 325 mg/hari dalam kemampuannya
menurunkan infark myokard, stroke, atau kematian kardiovaskular. Pada analisis
akhir, clopidogrel lebih efektif (8% relative risk reduction [RRR]) daripada aspirin
(P = 0.043) dan memiliki kemiripan efek samping. Pada European Stroke
Prevention Study 2 (ESPS-2), aspirin 25 mg dan dipyridamole dengan pelepasan
diperpanjang (ERDP) 200 mg dua kali sehari dibandingkan sendiri-sendiri dan
dalam kombinasi dengan plasebo untuk kemampuan mereka dalam menurunkan
stroke kambuhan selama 2 tahun. Dalam jumlah lebih dari 6,600 pasien, ketiga
kelompok perlakuan menunjukkan plaseboaspirin, 18% RRR; ERDP, 16%
RRR; dan kombinasi, 37% RRR. Kombinasi aspirin 25 mg dan ERDP 200 mg
dua kali sehari merupakan pengobatan yang sangat efektif untuk mencegah
kekambuhan pada pasien stroke. Kombinasi dipiridamole (83% pelepasen
diperpanjang) dan aspirin (30325 mg sehari) lebih efektif daripada aspirin saja
dalam menurunkan stroke kambuhan (DiPiro et al., 2008).
d. Warfarin
Warfarin merupakan pengobatan paling efektif untuk pencegahan stroke
pada pasien dengan fibrilasi atrium. Dalam European Atrial Fibrillation Trial
(EAFT), 669 pasien dengan fibrilasi atrium nonvalvular (NVAF) dan stroke diberi
perlakuan acak terhadap warfarin (international normalized ratio [INR] = 2.54),
aspirin 300 mg/day, or placebo. Pasien di kelompok plasebo mengidap stroke,
infark myokard, atau kematian vaskular sebesar 17% per tahun dibandingkan
dengan 8% per tahun untuk kelompok warfarin dan 15% per tahun untuk

30
kelompok aspirin. Hal ini mewakili 53% penurunan risiko dengan antikoagulan
(DiPiro et al, 2008).
e. Blood Pressure Lowering
Kenaikan tekanan darah sudah umum terjadi pada stroke iskemik, dan
pengobatan hipertensi pada pasien tersebut berhubungan dengan penurunan risiko
stroke kambuhan. Populasi stroke multinasional (40% orang Asia) diberi
perlakuan secara acak, yaitu penurun tekanan darah dengan angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitor perindopril (dengan atau tanpa indaimid
diuretik tiazida) atau plasebo. Pasien yang diobati menunjukkan penurunan
tekanan darah, 9 poin sistolik dan 4 poin diastolik mm Hg, dan ini berhubungan
dengan penurunan stroke kambuhan 28%. Pasien yang diberi obat kombinasi,
rata-rata penurunan tekanan darah adalah 12 sistolik dan 5 diastolik mm Hg
sehingga terjadi penurunan stroke kambuhan yang lebih besar (43%). Pasien
dengan atau tanpa hipertensi direkomendasikan menggunakan ACE inhibitor dan
diuretik untuk penurunan tekanan darah pasien stroke. Periode penurun tekanan
darah untuk stroke akut (7 hari pertama) menghasilkan penurunan aliran darah
otak dan memperparah gejala; oleh karena itu, rekomendasi terbatas pada pasien
di luar stroke akut (DiPiro et al., 2008).
f. Statin
Golongan statin dapat menurunkan risiko stroke sebesar 30% pada pasien
dengan penyakit jantung koroner dan dislipidimia. Stroke iskemik
direkomendasikan menjadi ekuivalen koroner dan menggunakan obat golongan
statin untuk memperoleh konsentrasi low density lipoprotein (LDL) kurang dari
100 mg/dL (DiPiro et al., 2008).
Terdapat bukti bahwa simvastatin 40 mg/hari mengurangi risiko stroke
pada individu berisiko tinggi (termasuk pasien dengan stroke awal) sebesar 25%
(P < 0.0001) meskipun pada pasien dengan konsentrasi LDL kurang dari 116
mg/dL. Terapi statin merupakan cara efektif untuk mengurangi risiko stroke dan
dijalani pada semua pasien stroke iskemik (DiPiro et al., 2008).
g. Heparin untuk Profilaksis dari Deep-Vein Thrombosis (DVT)
Penggunaan heparin dengan bobot molekul rendah atau heparin subkutan

31
dosis rendah (5,000 unit dua kali sehari) dapat direkomendasikan untuk mencegah
DVT pada pasien rumah sakit dengan menurunkan mobilitas akibat stroke dan
digunakan pada semua namun paling banyak stroke minor (DiPiro et al., 2008).
B. Terapi obat alternatif (Dipiro et al, 2008)
a. Aspirin plus clopidogrel
Dalam studi MATCH, clopidogrel dalam kombinasi dengan aspirin 75 mg
per hari tidak lebih baik dari clopidogrel sendirian di prevention.43 Stroke
sekunder Namun, kombinasi telah dipelajari pada pasien dengan sindrom koroner
akut dan pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan dan terbukti secara
signifikan lebih efektif daripada aspirin sendiri dalam mengurangi MI, stroke, dan
kardiovaskular death.Also, ketika clopidogrel digunakan dengan aspirin, risiko
perdarahan mengancam jiwa meningkat dari 1,3% menjadi 2,6% 0,43 Kombinasi
ini hanya dapat direkomendasikan pada pasien dengan stroke iskemik dan sejarah
dari MI atau kejadian koroner lainnya dan hanya dengan ultra-aspirin dosis rendah
untuk meminimalkan pendarahan risk.44
b. Antagonis reseptor angiotensin II (ARB)
Antagonis reseptor angiotensin II (ARB) juga telah terbukti mengurangi
risiko stroke.Dalam studi KEHIDUPAN, losartan dan metoprolol dibandingkan
karena kemampuan mereka untuk mengurangi tekanan darah dan mencegah
kejadian kardiovaskular pada kelompok pasien hipertensi berat.Meskipun
penurunan serupa dalam tekanan darah sekitar 30/16 mm Hg, kelompok losartan
mengalami penurunan 24% dalam risiko stroke.The ARB harus dipertimbangkan
pada pasien tidak dapat mentoleransi inhibitor ACE (LIFE) setelah stroke iskemik
akut.
c. Heparins
Penggunaan dosis penuh heparin tak terpecah pada periode stroke akut
tidak pernah terbukti positif mempengaruhi hasil stroke, dan secara signifikan
meningkatkan risiko Ujian hemorrhage.6 intraserebral rendah berat molekul
heparins atau heparinoids telah sebagian besar negatif dan melakukan tidak
mendukung penggunaan rutin mereka pada pasien stroke. Menggunakan potensi
tapi belum terbukti lainnya untuk dosis pengobatan baik heparin tak terpecah atau

32
rendah berat molekul termasuk terapi jembatan pada pasien yang dimulai pada
warfarin, karotis diseksi, atau terus-menerus memburuk dari iskemia meskipun
terapi antiplatelet yang memadai.
d. Tiklopidin
Tiklopidin adalah agen antiplatelet thienopyridine, mirip dalam struktur
dan mekanisme tindakan untuk clopidogrel. Telah terbukti mengurangi risiko
stroke sebesar 30% dibandingkan dengan plasebo dan 21% dibandingkan dengan
aspirin 325 mg / hari pada pasien risk.6 Penggunaan tiklopidin telah sangat
dibatasi oleh profil efek samping, namun. Hal ini menyebabkan penekanan
sumsum tulang, ruam, diare, dan ketinggian konsentrasi serum
kolesterol.Neutropenia terjadi pada sampai dengan 2% dari pasien dan umumnya
reversibel.Lebih bermasalah, bagaimanapun, adalah meningkatnya risiko anemia
aplastik dan trombotik trombositopenik purpura. Tiklopidin 250 mg dua kali
sehari masih tersedia sebagai alternatif pada pasien yang gagal atau tidak toleran
terhadap terapi lain tetapi jarang diperlukan.
C. Informasi obat kelas (Dipiro et al, 2008)
a. Aspirin
Aspirin diberikannya efek antiplatelet sebesar ireversibel menghambat
siklooksigenase, yang, trombosit, mencegah konversi asam arakidonat menjadi
tromboksan A2 (TXA2), yang merupakan vasokonstriktor kuat dan stimulator
agregasi platelet.Trombosit tetap terganggu untuk masa hidup mereka (5-7 hari)
setelah terpapar aspirin.Aspirin juga menghambat prostasiklin (PGI2) aktivitas di
otot polos dinding pembuluh darah.PGI2 menghambat agregasi platelet, dan
endotel pembuluh darah dapat mensintesis prostasiklin sehingga efek
antiaggregating trombosit dipertahankan.Penindasan produksi PGI2 oleh aspirin
telah ditemukan untuk menjadi dosis-dan durasi-terkait; semakin tinggi dosis,
semakin lama produksi cyclooxygenase ditekan.Oleh karena itu, semakin rendah
dosis aspirin, yang kurang berpengaruh pada prostacyclin.6 Dosis optimal aspirin
masih dalam studi, tetapi harus dosis yang menghambat TXA2with paling sedikit
hambatan prostasiklin.
Telah terbukti bahwa aspirin dosis 325 mg / hari akan menghambat TXA2

33
tapi tidak akan signifikan menghambat produksi PGI2. Mungkin ada titik di mana
dosis rendah aspirin tidak benar-benar memblokir TXA2, dan studi terbaru
menunjukkan bahwa dosis efektif terendah mungkin di kisaran 50 mg / day.50
saluran pencernaan bagian atas (GI) ketidaknyamanan dan perdarahan adalah
yang paling umum efek samping aspirin dan telah terbukti berhubungan dengan
dosis. Tingkat tertinggi GI perdarahan (5%) telah dilaporkan pada pasien yang
menerima 1.200 mg / hari dibandingkan dengan tingkat 2% pada pasien yang
memakai lebih sering diresepkan, 300 mg / hari. Gejala atas GI jauh lebih umum
daripada perdarahan terang, bagaimanapun, dengan 40% dari pasien yang terkena
pada 1200 mg / hari dan 25% pada 300 mg / day.51 Dalam ESPS-2 belajar,
bahkan 50 mg / hari aspirin dikaitkan dengan dua kali lipat peningkatan
perdarahan lebih pada kelompok plasebo.
Dosis rendah (<100 mg) aspirin menghambat siklooksigenase cepat di
semua trombosit dalam sirkulasi. Oleh karena itu, timbulnya efek antiplatelet
aspirin kurang dari 60 minutes.52 Telah dilaporkan, bagaimanapun, bahwa
beberapa pasien baik memiliki atau mengembangkan "perlawanan aspirin" dan
mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi untuk mencapai efek antiplatelet
yang diinginkan. Meskipun demikian, pengujian rutin untuk ketahanan aspirin
tidak dianjurkan.Diamati baru-baru ini bahwa pemberian ibuprofen sebelum
pemberian dosis aspirin harian melarang aspirin dari mengikat ireversibel ke
siklooksigenase dan dapat menurunkan efek antiplatelet nya. Rekomendasi saat
ini untuk mengelola aspirin setidaknya 2 jam sebelum ibuprofen atau menunggu
minimal 4 jam setelah dosis ibuprofen.
b. Diperpanjang-Release Dipyridamole ditambah Aspirin
Studi awal tentang peran dipyridamole dalam pencegahan stroke gagal
menunjukkan manfaat lebih yang diwujudkan dengan aspirin saja.Dipyridamole,
dalam dosis tinggi, diperkirakan menghambat agregasi platelet dengan
menghambat phophodiesterase, yang menyebabkan akumulasi adenosin
monofosfat siklik (cAMP) dan siklik guanosin monofosfat (cGMP) intraseluler,
yang mencegah aktivasi trombosit. Selain itu, dipyridamole juga meningkatkan
potensi antitrombotik dari pembuluh darah yang wall.55 The ESPS-2

34
menunjukkan efikasi dosis tinggi diperpanjang-release dipyridamole sendirian dan
dalam kombinasi dengan aspirin pada stroke sekunder prevention.28 ini adalah
studi pertama yang menunjukkan manfaat dari kombinasi terapi antiplatelet dalam
pencegahan stroke (kombinasi secara signifikan lebih efektif daripada baik agen
sendiri). Formulasi extended-release dari dipyridamole adalah penting dalam
bahwa hal itu memungkinkan administrasi dua kali sehari dan dosis yang lebih
tinggi dapat ditoleransi pada pasien.Penggunaan segera-release dipyridamole
generik dalam kombinasi dengan aspirin reguler, dalam rangka untuk mengurangi
biaya, tidak terbukti dan harus berkecil hati.
Dalam ESPS-2, 25% dari pasien yang menerima kombinasi dipyridamole
dan aspirin dihentikan terapi awal, dan tingkat penghentian karena sakit kepala
lebih dari tiga kali lebih umum (10%) seperti pada kelompok aspirin sendiri (3
%). Alasan lain untuk penghentian adalah masalah GI. Inisiasi lambat ERDP +
ASA di satu kapsul sebelum tidur setiap hari selama 2 atau 3 hari bisa dicoba
untuk mengurangi gejala sakit kepala.Sakit kepala karena ERDP + ASA sebagian
besar membatasi diri dan berkurang setelah beberapa hari.
c. Clopidogrel
Clopidogrel memiliki efek antiaggregatory unik trombosit di bahwa itu
adalah inhibitor dari adenosin difosfat (ADP) jalur agregasi platelet dan
menghambat dikenal rangsangan untuk platelet efek aggregation.This
menyebabkan perubahan membran platelet dan gangguan interaksi membran-
fibrinogenic terkemuka untuk pemblokiran platelet glikoprotein reseptor IIb /
IIIa.Sebuah jeda waktu 3 sampai 7 hari sebelum efek antiplatelet maksimal harus
diharapkan. Tolerabilitas clopidogrel 75 mg / hari setidaknya sama baiknya
dengan mediumdose (325 mg / hari) aspirin, dan perdarahan GI adalah less.27
Clopidogrel dikaitkan dengan peningkatan risiko diare dan ruam, namun
penghentian karena efek samping yang mirip dengan yang dengan aspirin 325 mg
/ hari (5,3% sampai 6%, masing-masing) 0,27 Tidak ada neutropenia kelebihan
pada pasien yang memakai clopidogrel, dan tingkat trombotik thrombocytopenic
purpura mungkin tidak lebih besar dari tarif latar belakang.
Clopidogrel adalah prodrug thienopyridine dan perlu biotransformed oleh

35
hati untuk metabolit aktif. Bukti menunjukkan bahwa enzim yang bertanggung
jawab untuk konversi adalah sitokrom P450 3A4 manusia (CYP3A4) dan bahwa
efek trombosit clopidogrel dapat berkurang pada pasien yang menerima agen yang
menghambat ini enzyme.Although dosis tinggi dari lipofilik statin atorvastatin dan
simvastatin dapat mengurangi efektivitas clopidogrel untuk menghambat agregasi
platelet in vitro, ada tampaknya tidak akan ada efek buruk pada acara
atherothrombotis rates.59 administrasi bersamaan clopidogrel dengan statin
lipofilik sering direkomendasikan.
d. Tiklopidin
Tiklopidin, thienopyridine lain, menghambat aktivasi reseptor ADP pada
platelet, seperti halnya clopidogrel.Namun, berbeda dengan clopidogrel, tiklopidin
memiliki profil efek samping yang signifikan dan mahal. Efek samping termasuk
penekanan sumsum tulang, ruam dan diare, dan elevasi kadar kolesterol serum.
Neutropenia dapat terjadi pada sampai dengan 2% dari pasien tetapi reversibel
pada penghentian terapi.Postmarketing pengawasan senyawa mengungkapkan
kelebihan dalam jumlah kasus diskrasia darah serius seperti thrombocytopenic
purpura trombotik (TTP).
Pemantauan diperlukan karena efek samping tersebut, dan dianjurkan
bahwa pasien memiliki jumlah darah lengkap (CBC) dengan perbedaan setiap 2
minggu selama 3 bulan.Lebih dari 50% pasien melaporkan setidaknya satu efek
samping, dengan keluhan GI yang paling umum.Interaksi obat dapat terjadi
dengan digoxin, teofilin, dan antasida, dan efek ini harus dipantau.Tiklopidin
diturunkan ke status yang ketiga-line dalam pencegahan stroke karena profil yang
merugikan-event. Tiklopidin (500 mg / hari) dalam dua dosis terbagi dari 250 mg
digunakan jarang tetapi dapat direkomendasikan sebagai terapi antiplatelet
alternatif dalam kasus yang ekstrim intoleransi terhadap pilihan lain yang tersedia.
D. Strategi diteliti (Dipiro et al, 2008)
a. Reperfusi
Berbagai penyelidikan yang bertujuan memperpendek waktu yang
dibutuhkan untuk membuka arteri serebral tersumbat dan melestarikan patensi
yang sedang dilakukan pada pasien stroke iskemik akut. Strategi yang mencoba

36
termasuk longeracting agen fibrinolitik, fibrinolisis intraarterial dengan tPA dan
agen lainnya, penghapusan endovascular gumpalan menggunakan pendekatan
mekanis dan dipandu laser, dan penggunaan antagonis reseptor glikoprotein IIB /
IIIA, baik sendirian dan dalam kombinasi dengan fibrinolisis. Selain itu, peneliti
berusaha untuk mengidentifikasi, menggunakan teknik MRI sensitif, pasien yang
dapat mengambil manfaat dari reperfusi pada titik waktu di luar disetujui window
time 3 jam. Tidak diragukan lagi, upaya untuk reperfuse otak iskemik akan terus
dieksplorasi, sehingga lebih banyak pasien akan memenuhi syarat untuk terapi ini.
E. Pelindung saraf dan neurorestoration (Dipiro et al, 2008)
Meskipun banyak agen neuroprotektif yang berbeda telah dipelajari dalam
uji klinis stroke iskemik akut, tidak ada yang berhasil. Satu-satunya strategi yang
telah terbukti memberikan pelindung saraf pada pasien telah hipotermia.Saat ini,
uji klinis yang dilakukan untuk mengoptimalkan mekanisme pendinginan otak
iskemik (kumparan intravaskular dibandingkan pendinginan permukaan) dan
rewarming pasien setelah hipotermia.Meskipun hasil mengecewakan di usaha-
usaha sebelumnya, namun, masih ada minat yang besar dalam mengembangkan
agen farmakologis yang menyediakan pelindung saraf.Beberapa agen yang paling
menjanjikan termasuk pemulung radikal bebas, agen anti-inflamasi, dan agen
dengan beberapa mekanisme yang diusulkan perlindungan (misalnya infus
albumin). Selain itu, harapan masih ada bahwa dokter akan dapat meningkatkan
proses reparatif otak (neurorestoration) melalui neurorehabilitation ditargetkan
dan penggunaan saraf dan sel transplantasi.
2. Stroke hemoragik
Saat ini belum tersedia standar farmakologi untuk menangani hemoragik
intraserebral. Penggunaan zat hemostatik pada kasus hiperakut (< 4 jam) dapat
mencegah perluasan hematoma tetapi tidak meningkatkan hasil terapi. Pedoman
pengobatan untuk mengatur tekanan darah, peningkatan tekanan intrakranial dan
pengobatan komplikasi intraserebral hemoragik dibutuhkan untuk
penatalaksanaan penyakit akut pasien di unit pelayanan neurointensif. (Dipiro et
al, 2008)
Pendarahan subarakhnoid disebabkan oleh rusaknya anerusime

37
berhubungan dengan kejadian iskemia serebral yang tertunda dalam dua minggu
setelahterjadinya pendarahan. Vasospasmus vaskulatur serebral adalh yang
bertanggung jawab untuk iskemia tertunda dan terjadi antara 4 dan 21 hari setelah
pendarahan. Bloker kanal kalsium nimopidine dianjurkan untuk mengurangi
kejadian dan keparahan penurunan neurologi efek dari iskemia tertunda.
Nimodipine 60 mg setiap 4 jam seharusnya diawali dengan diagnosis dan
berkelanjutan untuk 21 hari pada semua pasien pendarahan subarakhnoid. Jika
hipotensi terjadi, dosis dikurangi hingga30 mg setaip 4 jam sementara itu volume
intravaskuler dipertahankan (Sukandar dkk, 2009).

2.7.3 Evaluasi Hasil Terapi


Pasien stroke akut seharusnya dipantau secara ketat terhadap kemungkinan
peningkatan keparahan neurologi, komplikasi tromboemboli atau infeksi, dan efek
samping dari pengaruh farmakologi atau non-farmakologi. Pertimbangan umum
lainnya untuk pasien stroke meliputi (Dipiro et al, 2008):
1. Perluasan kerusakan pada otak (iskemia atau hemoragik)
2. Timbulnya edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
3. Hipertensi yang darurat
4. Infeksi (sistem urin dan pernapasan)
5. Tromboembolisme vena
6. Elektrolit yang abnormal dan gangguan ritme jantung
7. Berulangnya stroke
Tabel 6. Pendekatan untuk pemantauan pasien stroke (Dipiro et al, 2008)
Perawatan Parameter Frekuensi Komentar
Stroke tPA BP, fungsi Setiap 15 menit 1 jam;
iskemik neurologis, setiap 0,5 jam 6 jam;
perdarahan setiap 1 jam l 7 jam;
setiap pergeseran setelah
Aspirin Perdarahan
Harian
Clopidogrel Perdarahan
Harian
ERDP / ASA Sakit kepala,

38
Tiklopidin perdarahan harian

CBC, perdarahan, CBC setiap 2 minggu


diare
3 bulan; lain, harian

Warfarin INR harian 3 hari;


Pendarahan, INR, mingguan sampai stabil;
Hb / Hct bulanan Banyak pasien
memerlukan
BP, fungsi Setiap 2 jam di ICU intervensi
neurologis, ICP dengan agen
short-acting
untuk
mengurangi

BP untuk
<180 mm Hg
sistolik
Hemoragik Nimodipine BP, fungsi Setiap 2 jam di ICU
(untuk SAH) neurologis, cairan
status

Suhu, CBC Semua Temp. setiap 8


jam; CBC harian

Nyeri (betis atau Setiap 8 jam Untuk


dada) komplikasi
infeksi seperti
Elektrolit dan EKG ISK atau
Heparin untuk pneumonia
DVT
trombosit perdarahan Untuk DVT,
pencegahan Pendarahan dan harian, trombosit jika MI, sakit
penyakit platelet kepala akut
diduga trombositopenia
Untuk cairan
dan elektrolit

Ketidakseimba
ngan, irama

39
jantung

kelainan

Keterangan:
TD, tekanan darah;
CBC (complete blood count), keseluruhan darah yang terhitung;
DVT (deep vein thrombosis), thrombosis vena dalam;
ECG, elektrokardiogram;
ERDP/ASA, extended-release dipyridamole plus aspirin;
Hb, hemoglobin;
Hct, hematokrit;
ICP (intracranial pressure), tekanan intrakranial;
ICU, intensive care unit;
INR, international normalized ratio;
SAH, subarachnoid hemorrhage (Wells et al., 2009).
Pemilihan rencana pengobatan harus dibuat untuk masing-masing pasien
berdasarkan komorbiditas dan penyakit yang dideritanya.

2.8 Deskripsi Kasus


Jk berusia 54 tahun dengan BB 85kg, TB 160 cm, dibawa ke UGD setelah
tiba tiba duduk terkulai ketika sedang memimpin rapat dikantornya. Dia
mengalami kejang sesaat sebelum jatuh terkulai. Kejangnya hanya sekitar 5 detik,
kemudian tidak sadar lebih 10 menit. Setelah sadar dia tidak bisa berbicara.
Ketika diberi minum, tidak bisa menelan. Tangan sebelah kiri tidak bisa
digerakkan.
RPD : Stroke berulang (sudah 3 kali) terakhir pada juni 2005.
Mempunyai riwayat PPOK, pernah dirawat di RS 4 bulan yang
lalu karena eksaserbasi PPOK yang cukup berat.

40
Riwayat Pengobatan: Menggunakan ipratropium bromide untuk mengontrol
PPOK nya, tetapi pasien tidak tertib minum obat. Selain
itu pasien kurang disiplin dalam hal diet makanan. Sudah
lama tidak menggunakan obat-obat untuk stroke nya,
bahkan lebih suka minum jamu.
LDL : 200 mg/dl
HDL : 40 mg/dl
TG : 150 mg/dl
Kolesterol total : 230 mg/dl
TD : 135/85 mm/Hg
BMI : 33,2

2.9 Penyelesaian
Penyelesaian kasus diats menggunakan metode SOAP
a. Subjective
Nama : JK
Usia : 54 tahun
BB : 85 kg
TB : 160 cm
Keluhan : Tiba tiba duduk terkulai , mengalami kejang sesaat sebelum
jatuh terkulai. Kejangnya hanya sekitar 5 detik, kemudian tidak sadar lebih 10
menit. Setelah sadar tidak bisa berbicara. Ketika diberi minum, tidak bisa
menelan. Tangan sebelah kiri tidak bisa digerakkan.
b. Objective
Hasil pemeriksaan:
LDL : 200 mg/dl
HDL : 40 mg/dl
TG : 150 mg/dl
Kolesterol total : 230 mg/dl
TD : 135/85 mm/Hg
BMI : 33,2

41
c. Assasment
Pasien mengalami stroke iskemik karena terjadi secara mendadak
yang disertai kejang terlebih dahulu sebelum kesadaran menurun,
sehingga perlu diatasi.
Pasien menderita kolesterol dari hasil pemeriksaan yaitu nilai LDL
C nya tinggi, sehingga perlu diatasi.
Pasien mengalami obesitas, perlu dilakukan diet kolesterol.

d. Planning
1. Terapi farmakologi`
Tujuan terapi:
Menurunkan kadar LDL C, TG, kadar total C.
Mengatasi efek samping
Menghindari terjadinya stroke berulang

Sasaran terapi:
Trombus pada pembuluh arteri
Terapi:
Pasien diberikan infus RL 6-7mg/kgbb/jam , 30 tetes
permenit, atau sesuai anjuran dokter untuk pemberian nutrisi
kepada pasien.
Pasien diberikan tpA secara iv dengan dosis 0,9mg/kg selama
onset 3 jampada hari pertama.
Diberikan simvastatin 40 mg perhari sebelum tidur , untuk
mengurangi resiko stroke dan untuk menurunkan kadar LDL
C, TG, kadar total C.
Pasien diberikan aspirin pada hari berikutnya sebagai
antiplatelet dengan dosis 160 mg/ hari untuk mengurangi

42
resiko kambuhnya stroke. Diberikan selama 28 hari
kemudian dilanjutkan 75 mg/hari 2x1 .
Pasien diberikan ranitidin HCl tablet 150mg untuk mencegah
terjadinya tukak lambung karena pasien masih sulit untuk
makan.
Pasien tetap boleh menggunkan ipratropium bromida inhalasi
3-4 kali semprot dengan selang 4 jam.

2.9.1 Pemilihan Obat Yang Rasional


Dalam melakukan pemilihan terapi terdapat beberapa pertimbangan agar
pengobatan menjadi rasional, yaitu :
Antisipasi awal diberikannya infus RL 6-7mg/kgbb/jam , 30 tetes
permenit, atau sesuai anjuran dokter untuk pemberian nutrisi kepada
pasien.
Pemberian tpA secara iv dengan dosis 0,9mg/kg selama onset 3 jam
pada hari pertama, didasarkan pada data laboratorium yang
menunjukkan sangat tingginya kadar LDL C . Sehingga pemberian Tpa
injeksi diharapkan dapat menghilangkan penyumbatan di otak.
Diberikan simvastatin 20 mg dengan alasan data laboratorium yang
menunjukkan kadar LDL C, TG, dan kadar total C tinggi. Sehingga
dengan adanya terapi ini diharapkan mampu mengurangi resiko stroke
dan untuk menurunkan kadar LDL C, TG, kadar total C. Selain
pertimbangan diatas pemilihan terapi ini juga didasarkan harga dan
kesanggupan keluarga pasien.
Pasien diberikan antiplatelet dengan alasan untuk mengurangi resiko
kambuhnya stroke. Alasan diatas menjadi alasan utama penggunaan
terapi ini.
Pasien diberikan ranitidin HCl tablet 150mg diberikan dengan alasan
untuk mencegah terjadinya tukak lambung karena pasien masih sulit
untuk makan. Pemberian terapi ini sudah dilakukan pertimbangan
terhadap kondisi pasien.

43
2.9.2 Evaluasi Obat Terpilih
Evaluasi obat terpilih dilakukan dengan berbagai evaluasi, sebagtai
berikut:
Pemilihan infus RL diberikan dengan alasan ketidaksadaran pasien dan
kelemasan pasien yang tidak dapat minum. RL Diberikan sebagai
penambah cairan elektrolit ditubuh pasien. Setelah mempertimbangkan
kondisi pasien, juga dilakukan pertimbangan dari segi harga. Harga infus
RL adalah Rp 7.900,- sehingga masih disanggupi oleh keluarga pasien.
Pemberian tpA secara iv dengan dosis 0,9mg/kg selama onset 3 jam pada
hari pertama, didasarkan pada data laboratorium yang menunjukkan sangat
tingginya kadar LDL C . Sehingga pemberian Tpa injeksi diharapkan
dapat menghilangkan penyumbatan di otak. Pertimbangan dalam
pemilihan ini juga didasarkan pada harga obat yaitu Rp 8.160.000,-
Diberikan simvastatin 20 mg dengan alasan data laboratorium yang
menunjukkan kadar LDL C, TG, dan kadar total C tinggi. Sehingga
dengan adanya terapi ini diharapkan mampu mengurangi resiko stroke dan
untuk menurunkan kadar LDL C, TG, kadar total C. Selain pertimbangan
diatas pemilihan terapi ini juga didasarkan harga dan kesanggupan
keluarga pasien. Nominal yang dikeluarkan untuk simvastatin adalah
sebesar Rp 15.000,-
Pasien diberikan antiplatelet dengan alasan untuk mengurangi resiko
kambuhnya stroke. Alasan diatas menjadi alasan utama penggunaan terapi
ini disamping pertimbangan kesanggupan keluarga pasien terhadap harga
obatnya. Rp 8.000,-.
Pasien diberikan ranitidin HCl tablet 150mg diberikan dengan alasan
untuk mencegah terjadinya tukak lambung karena pasien masih sulit untuk
makan. Pemberian terapi ini sudah dilakukan pertimbangan terhadap
kondisi pasien dan harga obatnya Rp 35.000,-.
Dari semua terapi yang diberikan total Rp 8.225.900,- untuk penanganan
awal, penanganan selanjutnya dengan nominal Rp 65.900,-. Pasien

44
menggunakan asuransi perusahan, sehingga beban ini tidak dikeluhkan
oleh keluarga pasien.

2.9.3 Monitoring dan Follow Up


Untuk menjadikan terapi ini rasional maka perlu dilakukan monitoring dan
follow up sebagai berikut:
Memantau kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat, agar pengobatan
mencapai efek yang optimal
Melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap perkembangan kondisi pasien,
seperti pemeriksaan kadar LDL C, HDL C, TG, kadar total C, BMI, TD ll.

2.9.4 Komunikasi Informasi dan Edukasi


Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
penderita stroke dan PPOK stabil. Tujuan edukasi pada pasien stroke dan
PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai terapi yang optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup
5. Pengendalian faktor resiko
Edukasi stroke dan PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan
berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita
sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik,
ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah.
Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik
konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat
peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan
pasien stroke dan PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup pasien stroke dan
PPOK.

45
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK dan stroke
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas
Berikut merupakan bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok dan
Disampaikan dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup dengan
menjaga pola hidup.
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku
tertentu atau kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

3. Melakukan olahraga kecil paling tidak 3 kali seminggu agar


metabolisme didalam tubuh menjadi lancar dan baik.
4. Kurangi mengkonsumsi makanan yang mengandung kolesterol
tinggi, seperti daging.

46

Anda mungkin juga menyukai