1
ULKUS PEPTIKUM
ulcer luka berlubang
peptic asam lambung.
Defek mukosa/ submukosa batas tegas, menembus lapisan muskularis mukosa dan
serosa perforasi.
Ulkus adalah hilangnya epitel, diameter 5mm endoskopu atau radiologi
Erosi adalah kerusakan mukosa tidak sampai mukosa.
Kerusakan intergritas mukosa pada gaster dan/atau duodenum inflamasi aktif.7
Ulkus yang mengenai mukosa gaster disebut Ulkus Gaster sedangkan ulkus yang
terjadi pada duodenum disebut sebagai Ulkus Duodenum yang masing-masing
memiliki ciri khas masing-masing
2
Secara Histologi, lambung dilapisi oleh epitel selapis silindris yang
menghasilkan mucus yang tebal serta mengandung bikarbonat untuk
mencegah terjadinya autodigestive dari asam lambung. Mukosa lambung
membentuk cekungan ke arah dalam yaitu Faveola gastric/ gastric pits
(sumur lambung) yang memperluas area penghasil enzim dan zat lainnya.8
3
Gambar 2. Sel Parietal dalam keadaan istirahat dan terstimulasi (diadaptasi dari SJ Hersey, G
Sachs:Physiol Rev 75:155, 1995)
Produksi asam lambung yang terstimulasi melalui tiga fase antaralain fase
sefalik, fase gastrik dan fase intestinal. Bentuk, aroma dan rasa makanan
merupakan komponen dari fase sefalik yang mampu mempengaruhi sekresi
gaster melalui stimulasi nervus vagus. Fase gastrik teraktivasi ketika
makanan mencapai lambung, dimana komponen nutrient menstimulasi Sel
Arginafin untuk mensekresikan gastrin yang mampu menstimulasi aktivasi
dari sel parietal. Fase intestinal diinisiasi ketika makanan mencapai
duodenum. Fase penghasilan asam ini dapat dihambat oleh hormone
somatostatin yang dihasilkan oleh sel endokrin pada mukosa gaster.
Somatostatin dapat menghambat secara langsung (menghambat kerja sel
4
parietal) dan secara tidak langsung (menurunkan produksi histamin dan
pelepasan hormone gastrin dari sel argifinin).10 Fase sekresi asam lambung
secara skematis dijelaskan pada Gambar 3.
Gambar 3. Fase
Sekresi
Gaster dan
Regulasinya (diadaptasi dari Guyton & Hall. 2006. Textbook of Medical Physiol 11th ed. USA: Mc Graw-Hill
Companies)
Mukosa gaster dan duodenum memiliki peran penting untuk melindungi dari
berbagai zat agresif baik endogen (HCl, Pepsin, garam empedu) maupun
eksogen (obat-obatan, bakteri dan alkohol). sistem pertahanan mukosa terdiri
dari 3 level, yaitu: 2, 11
1. Pertahanan Pre-Mukosa
Pertahanan ini terdiri dari lapisan mucus bikarbonat yang melindungi
mukosa dari beberapa molekul salahsatunya H+. mucus dihasilkan oleh
sel epitel permukaan, dengan komposisi 95% air dan 5% campuran
5
antara lipid dan glikoprotein. Bikarbonat disekresikan ke lapisan mucus
untuk menciptakan gradient pH antara 1-2 pada lumen gaster dan 6-7
pada permukaan sel epitel.2 bikarbonat dihasilkan oleh sel epitel
permukaan melalui stimulasi dari prostaglandin, pakreas dan juga garam
empedu. Bikarbonat juga berperan dalam menetralisir asam pada
makanan sebelum menuju duodenum karena proses di duodenum
membutuhkan suasana pH netral. Adapun reaksi bikarbonat adalah
sebagai berikut11:
HCO3-+ H+ CO2 + H2O
2. Pertahanan Mukosa
Mukosa memberikan pertahanan antaralain produksi mucus, transport ion
untuk menjaga pH intraselular, produksi bikarbonat, dan tight junction
intraselular. Ketika system pertahanan preepitel rusak, sel-sel epitel yang
berbatasan dengan daerah cidera akan bermigrasi dan mengganti sel
daerah yang rusak. Proses ini diikuti dengan pembelahan sel yang
membutuhkan suasana pH basa, pembuluh darah yang tidak terganggu
serta melibatkan beberapa factor pertumbuhan (EGF, TGF, FGF) guna
memodulasi proses resusitasi. Untuk kerusakan dengan ukuran yang lebih
besar, dibutuhkan proses proliferasi sel dengan regenerasi sel epitel.
Proses ini dimodulasi oleh prostaglandin dan factor pertumbuhan EGF,
TGF. Proses ini juga diikuti dengan proses angiogenesis dengan factor
pertumbuhan VEGF.2,10,11
3. Pertahanan Submukosa
Sistem mikrovaskular pada lapisan submukosa merupakan komponen
kunci dari pertahanan subepitel. Mikrovaskular memberikan suplai
karbonat yang menetralkan H+ dari sel parietal, menyediakan nutrisi dan
oksigen serta mengeluarkan metabolik berbahaya.11
Sistem pertahanan gastroduodenal yang kompleks di atas, diringkas secara
skematis pada Gambar 4 di bawah ini.
6
G
a
m
bar 4. Pertahanan Mukosa Gastroduodenal (Stefan Silbernagl. 2000. Color Atlas of
Pathophysiology. New York: Thieme)
7
Gambar 5. Reaksi enzim Urease yang menetralisir pH lambung (Prescott, Harley. Microbiology
5th edition. 2002. USA: The McGrawHill Companies)
8
Gambar 6. Helicobacter pylori pada mukosa gaster menggunakan mikroskop electron
(Prescott, Harley. Microbiology 5th edition. 2002. USA: The McGrawHill Companies)
9
Nonsteroid Anti-Inflammatory Drug (NSAID) merupakan golongan obat
yang memiliki kegunaan klinis sebagai antipiretik, analgesic dan anti
inflamasi. Obat ini mampu menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam
sehingga efektif sebagai antipiretik. Obat golongan ini berguna untuk
analgesic pada nyeri ringan hingga sedang seperti myalgia, sakit gigi,
dysmenorrhea dan sakit kepala. Berbeda dengan analgesic opioid, obat ini
tidak menimbulkan depresi SSP. Sebagai agen anti inflamasi, NSAID
digunakan secara luas dalam pengobatan nyeri kronik seperti artritis
rheumatoid, osteoarthritis, arthritis gout, dan ankhilosing spondylitis.14
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Nyeri abdomen
Nyeri epigatrium, seperti terbakar atau digerogoti.
Muncul 90 3 jam setelah makan dan berkurang dengan makanan dan antasida.
Nyeri dipicu makanan dan mual dan penurunan BB
Nyeri terus menerus, menjalar hingga punggung, tidak berkurang dengan makanan
atau antasida penetrasi ke pancreas.
Nyeri tiba-tiba pada semua regio abdomen perforasi.
Nyeri disertai dengan muntah makanan yang belum tercerna obstruksi lambung.
BAB hitam perdarahan gaster
11
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri tekan regio epigatrium.
Pemeriksaan fisik amat penting guna menegakkan adanya komplikasi dari
ulkus. Takikardi menunjukkan adanya dehidrasi sekunder akibat muntah atau
kehilangan darah aktif melalui saluran cerna. Nyeri tekan yang ditemukan
pada semua regio abdomen menunjukkan adanya perforasi lambung. 2, 5, 7
2. Diagnosis
Dengan gejala klinis yang tidak khas pada ulkus peptikum, dibutuhkan
pemeriksaan penunjang yang berperan dalam penegakkan diagnosis.
Modalitas yang dapat digunakan yaitu radiografi (barium enema) dan
endoskopi. Radiografi dengan barium paling umum digunakan untuk
menegakkan ulkus peptikum. Tingkat sensitivitas mencapai 90%. Sensitivitas
ini menurun jika terdapat ulkus dengan ukuran < 0,5 cm, adanya jaringan
parut, atau pada pasien pasca operasi. Endoskopi lebih sensitif dan spesifik
dalam menilai gangguan gastrointestinal. Gambaran radiologi pada ulkus
peptikum dapat dilihat pada Gambar 8. Dengan endoskopi, memungkinkan
untuk melihat visualisasi langsung dari mukosa gaster dan duodenum, serta
mampu mengambil sampel jaringan untuk mengesampingkan kemungkinan
keganasan. Pemeriksaan endoskopi mampu mengidentifikasi lesi berukuran
2, 5, 7
kecil yang tidak dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologi. Gambar 9
memperlihatkan adanya ulkus peptikum pada gaster dan duodenum.
Gambar 8. Gambaran Radiologi Barium pada Ulkus Peptikum (Harrison's Principles of Internal Medicine 17th .
Braunwald. McGraw-Hill. 2008)
12
Gambar 9. Gambaran ulkus Dueodenum dan Ulkus Gaster pada Ulkus menggunakan Endoskopi
(Harrison's Principles of Internal Medicine 17th . Braunwald. McGraw-Hill. 2008)
Untuk mendeteksi penyebab dari ulkus peptikum dapat menggunakan
beberapa modalitas. Deteksi infeksi Helicobater pylori dapat memanfaatkan tes
serologi, Urea Breath Test, dan Tes antigen Helicobater pylori fekal. 2, 5
D. Terapi
I. Non Farmakologi
Penderita ulkus peptikum harus mulai memperhatikan pola dan asupan
makanan. Pola makan dengan jumlah besar harus mulai dihindari karena
mampu membebani lambung. Menghindari makan malam 3-4 jam
sebelum tidur karena dapat memicu pelepasan gastrin dan HCl yang lebih
banyak. Pola makan yang diajurkan adalah pola makan dengan jumlah
kecil namun dengan intensitas yang ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi beban kerja gaster dan menurunkan sekresi asam lambung
yang mampu menimbulkan sensasi nyeri. Pasien diminta untuk
mengurangi konsumsi alcohol, kafein, kopi yang memiliki keterikatan
dengan kejadian ulkus peptikum. 7
II. Farmakologi
Ada beberapa obat-obatan yang menjadi modalitas dalam pengobatan
ulkus peptikum antaralain:
13
Antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan HCl
menghasilkan garam dan air. Ia juga memiliki sifat protektif
terhadap mukosa dengan menstimulasi produksi prostaglandin.
Kemampuan atau kapasitas netralisasi asam lambung bervariasi
bergantung pada derajat disolusi (tablet vs cairan), kelarutan dalam
air, laju reaksi dengan asam, dan laju pengosongan lambung. 14
14
Kedua senyawa ini bereaksi lama dengan HCl. Namun, tidak
menyebabkan sendawa karena tidak menghasilkan gas. Alkalosis
metabolik juga jarang terjadi. Hal ini disebabkan garam Mg yang
tak diserap dapat menyebabkan diare osmotik diimbangi dengan
garam Al yang memberikan efek konstipasi. Dengan demikian,
disimpulkan bahwa kombinasi keduanya menghasilkan efek
netralisasi yang seimbang dan lama. Baik Mg maupun Al akan diserap
untuk kemudian dieksresi melalui ginjal maka dari itu tidak
dianjurkan pemberian jangka panjang pada pasien insufisiensi renal.
2. Antagonis Reseptor H2
Obat-obat ARH2 adalah cimetidine, ranitidine, famotidine (paling
poten), dan nizatidine. Antagonis reseptor H2 diserap di lumen
intestinal kecuali nizatidine. Selanjutnya akan mengalami
metabolisme first pass di hati sehingga bioavailabilitasnya (F)
menurun hingga 50%. Nizatidine hanya sedikit mengalami
metabolisme sehingga bioavailabilitasnya hampir 100%. Waktu
paruh di serum berkisar 1-4 jam, bergantung pada dosis yang
diberikan. Antagonis H2 dieliminasi melalui metabolisme hati, filtrasi
glomerulus, dan sekresi tubular. Obat ini dapat melewati plasenta dan
juga dapat disekresikan ke dalam ASI.15
15
pada siang hari karena sekresi asam di siang hari utamanya
dipengaruhi oleh gastrin dan Asetilkolin akibat adanya makanan yang
masuk.15
Sebaiknya obat ini tidak diberikan kepada wanita hamil dan menyusui
bila tidak mendesak. Antagonis H2 ini dapat melintasi plasenta dan
disekresikan ke dalam ASI. Walaupun belum ditemukan adanya data
yang menyatakan ARH2 berbahaya, kewaspadaan harus
dipertahankan.14
Waktu paruh PPI sekitar 1,5 jam, namun efek inhibisi asamnya
berlangsung hingga 24 jam. PPI sangat kuat berikatan dengan protein.
Ia tidak mengalami eliminasi di renal. PPI diberikan 30 menit sebelum
makan. Obat ini dapat pecah bersama makanan di lambung pecah di
lambung kemudian akan berikatan dengan berbagai gugus sulfihidril
yang ada di makanan sehingga bioavailabilitasnya akan menurun
sampai 50%.14, 15
16
dan mengalami aktivasi insitu menjadi sulfonamid tetrasiklik. PPI
bekerja dengan memblokir jalur akhir sekresi asam lambung. Bentuk
aktif Sulfonamid akan berikatan kovalen dengan gugus sulfihidril
enzim H+/K+ ATPase (enzim pompa proton). Ikatan tersebut
menyebabkan produksi asam lambung terhenti 80-95%.
Penghambatan bersifat ireversibel dan produksi asam baru dapat
terjadi kembali setelah 3-4 hari setelah pengobatan dihentikan.15
17
Di dalam lambung, sukralfat dan air akan membentuk pasta
kental yang melindungi ulkus atau erosi hingga 6 jam. Sukrosa
sulfat yang bermuatan sangat negatif akan berikatan dengan dasar
ulkus/ erosi yang bermuatan positif. Terbentuk barrier fisik
sehingga mencegah kerusakan lebih lanjut. Barier ini akan
memberi kesempatan sel dibawahnya untuk mensekresikan
Prostaglandin dan HCO3 untuk perbaikan mukosa.14, 15
b. Analog Prostaglandin
Mukosa saluran cerna mensintesi sejumlah prostaglandin terutama
PGE dan PGF. Misoprostol adalah senyawa metil yang analog
dengan PGE1. Obat ini diserap dan dimetabolisasi menjadi bentuk
metabolit yang aktif . Waktu paruhnya sekitar 30 menit, sehingga
butuh 3-4 kali minum per hari. Walaupun Misoprostol
dieksresikan melalui urin, tidak perlu penurunan dosis pada pasien
insufisiensi renal.15
18
menjadi kontraindikasi pada wanita hamil. Namun setelah
melahirkan, obat ini dapat diberikan karena mampu menghentikan
perdarahan post-partum. Sampai saat ini belum ditemukan adanya
interaksi signifikan misoprostol dengan obat lain. 14, 15
Gambar 10. Ringkasan Mekanisme Kerja Obat-obatan pada Ulkus Peptikum (Laurence, L.
Bruton. Goodman & Gilmans, The Pharmacological Basis of Theurapeutics 11th edition. USA:
The McGraw-Hill Companies)
Selain obat-obatan di atas, untuk ulkus peptikum yang disebabkan oleh
infeksi Helicobater pylori digunakan beberapa antibiotic yang berfungsi
mengeradikasi bakteri tersebut. Penggunaan antibiotik tunggal pada infeksi
memberikan hasil yang lebih buruk dibandingkan dengan pemberian
antibiotic kombinasi. Adapun antibiotic yang digunakan antaralain
metronidazole, tetrasiklin, klaritromisn, dan senyawa Bismuth. Triple therapy
yang digunakan diawal adalah penggunaan 2 antibiotik ditambah dengan satu
diantara PPI, Antagonis H2 memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik.
Penggunaan obat-obat yang menekan produksi asam bertujuan untuk
mengurangi gejala dan meningkatkan proses eradikasi bakteri. Dalam
pemilihan antibiotic perlu diperhatikan beberapa faktor seperti efikasi obat,
toleransi pasien serta resistensi obat. 15
19
Meskipun Triple Therapy efektif dalam eradikasi Helicobater pylori, namun
dapat menimbulkan penurunan dari kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi
obat. Terapi ini harus dikonsumsi selama 14 hari, dua kali dalam sehari. Oleh
sebab itu, edukasi kepada pasien amat dibutuhkan agar tidak terjadi resistensi
2
dan mampu mencapai target eradikasi. tabel di bawah ini merupakan
regimen yang direkomendasi untuk eradikasi Helicobacter pylori.
Obat Dosis
Triple Therapy
1. Bismuth subsalisilat plus 2 tablet 4x sehari
Metronidazol plus 250 mg 4x sehari
Tetrasiklin 500 mg 4x sehari
2. Ranitidin Bismuth citrate plus 400 mg, 2x sehari
Tetrasiklin plus 500 mg , 2x sehari
Claritromisin 500 mg, 2x sehari
3. Omeprazole plus 20 mg, 2x sehari
Claritromisin plus 250-500 mg, 2x sehari
Metronidazol atau 500 mg , 2x sehari
amoksisilin 1 gram, 2x sehari
Quadruple Therapy
Omeprazol 20 -30 mg/hari
Bismuth subsalisilat 2 tablet 4x sehari
Metronidazol 250 mg 4x sehari
Tetrasiklin
500 mg 4x sehari
Untuk kasus ulkus peptikum yang diinduksi oleh NSAID, intervensi yang
harus dilakukan adalah menghentikan penggunaan NSAID yang
menyebabkan ulkus. Jika tidak mungkin, NSAID dapat diganti dengan
rejimen lain yang lebih selektif terhadap COX-2 (celecoxib, rofecoxib) yang
digunakan secara bersamaan dengan misoprostol, atau Antagonis H2 dosis
tinggi. 2, 15
20
BAB III KESIMPULAN
Ulkus Peptikum merupakan penyakit yang memiliki tingkat insidensi cukup tinggi.
Penyakit ini berkaitan dengan berbagai faktor yang ditemukan dalam masyarakat
seperti pola makan yang kurang baik, konsumsi obat-obatan yang mampu
meningkatkan risiko ulkus peptikum sampai kebiasan buruk seperti merokok.
Penyakit ini kadang tidak disadari oleh pasien bahkan hanya dianggap sakit perut
biasa. Penyakit ini perlu mendapatkan perhatian serius karena menyangkut prognosis
yang buruk jika tidak ditangani dengan baik.
Dalam penatalaksanaan sendiri, diperlukan kecermatan dalam mengidentifikasi dan
mengenali tanda dan gejala dari ulkus peptikum. Ulkus peptikum ini dapat bermula
dari Sindrom Dispepsia yang tidak dikontrol dengan baik. Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, penyakit ini sulit dibedakan dengan penyakit lain yang berkenaan
dengan gaster. Pasien sebagian besar datang ke dokter ketika telah terjadi perdarahan
atau bahkan perforasi.
Penegakkan diagnosis Ulkus Peptikum definitif adalah melalui pemeriksaan
endoskopi. Dari pemeriksaan tersebut, dapat diketahui kedalaman ulkus dan dapat
juga diambil contoh jaringan yang selanjutnya dapat diperiksa untuk menilai ada atau
tidak infeksi dari H. Pylori. Untuk pengobatan ulkus peptikum menggunakan
berbagai golongan obat yang bertujuan untuk mengontrol sekresi asam lambung,
perlindungan terhadap mukosa lambung dan antibiotic jika terbukti adanya infeksi H.
Pylori. Tatalaksana yang baik memberikan prognosis yang lebih baik untuk kasus
ulkus peptikum.
DAFTAR PUSTAKA
21
1. Tarigan, P. Tukak Gaster, dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi V Jilid
I. Editor Aru. W Sudoyo, dkk. Interna Publising. 2009
2. John Del Valle. Acid Peptic Disorder, on Harrison's Principles of
Internal Medicine 17th . Braunwald. McGraw-Hill. 2008
3. Akil HAM. Tukak Duodenum dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi 5.
Interna Publishing. Jakarta. 2010. P 523-8
4. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of Anatomy and Physiology. 12th
edition. Asia: John Wiley & Sons, 2009. p. 921 950
5. Schafer, TW. Peptic Ulcer Disease. The American College of
Gastroenterology, Bethesda, Maryland. 2008.
6. Price, A Sylvia. Patofisiologi Edisi 6 Volume II. EGC. Jakarta. 2007 Hal
1388
7. Shyne, P. Gastritis and Peptic Ulcer Disease. Departement of Emergency
Medicine, Emory University School of Medicine. 2009[diunduh 14 Januari
2013] diakses dari www. Emedicine.org
8. Junqueira, Carlos. Histologi Dasar Teks dan Altas Edisi X. 2007. Jakarta:
EGC. Hal 196-197; 213-216
9. Histologi bloom fawset
10. Guyton & Hall. 2006. Textbook of Medical Physiol 11th ed. USA: Mc
Graw-Hill Companies page 795-800
11. Stefan Silbernagl. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. New York:
Thieme. Page 142-147
12. Prescott, Harley. Microbiology 5th edition. 2002. USA: The McGrawHill
Companies. Page 918-919
13. Ryan, Kenneth J. Sherris Medical Microbiology an Introduce to Infection
Disease 4th Edition. 2004. The McGrawHill Companies. Page 380-384
14. Modern pharmacology with Clinical Applications 425-428
15. Laurence, L. Bruton. Goodman & Gilmans, The Pharmacological Basis
of Theurapeutics 11th edition. USA: The McGraw-Hill Companies. Page
967-972
22