Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

Lambung sebagai reservoir makanan berfungsi menerima makanan/


minuman, menggiling, mencampur dan mengosongkan makanan kedalam
duodenum. Lambung yang selalu berhubungan dengan semua jenis makanan,
minuman dan obat-obatan akan mengalami iritasi kronik.1
Di USA, ada 4 juta pasien yang mengalami gangguan asam-pepsin dengan
prevalensi 12% pada pria dan 10% pada wanita. Secara klinis ulkus
duodenum lebih sering terjadi dibandingkan ulkus gaster.2
Data penelitian klinis di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi ulkus
peptikum pada pasien yang diendoskopi berkisar antara 5,78% di Jakarta
sampai 16,9% di Medan, dengan prevalensi infeksi H.pylori diatas 90%. 3
Peningkatan prevalensi dihubungkan dengan beberapa faktor agresif seperti
penggunaan dari OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid). obat ini
merupakan salahsatu obat yang paling sering digunakan dalam berbagai
keperluan, seperti antipiretik, anti inflamasi, analgetik, antitrombotik yang
sebagian besar dijual bebas di pasaran. Budaya masyarakat Indonesia yang
sering mengkonsumsi obat-obatan tanpa resep dokter ditambah dengan
munculnya obat alternative berbagai merek yang mengandung zat aktif
OAINS ini meningkatkan risiko terjadinya ulkus peptikum. 1, 3

1
ULKUS PEPTIKUM
ulcer luka berlubang
peptic asam lambung.
Defek mukosa/ submukosa batas tegas, menembus lapisan muskularis mukosa dan
serosa perforasi.
Ulkus adalah hilangnya epitel, diameter 5mm endoskopu atau radiologi
Erosi adalah kerusakan mukosa tidak sampai mukosa.
Kerusakan intergritas mukosa pada gaster dan/atau duodenum inflamasi aktif.7
Ulkus yang mengenai mukosa gaster disebut Ulkus Gaster sedangkan ulkus yang
terjadi pada duodenum disebut sebagai Ulkus Duodenum yang masing-masing
memiliki ciri khas masing-masing

A. ANATOMI, HISTOLOGI DAN FISIOLOGI LAMBUNG


Secara anatomi, lambung dibagi menjadi empat bagian, yaitu cardia, fundus,
corpus, dan pylorus. Cardia merupakan bagian atas yang langsung
berhubungan dengan esofagus, tepat di bawah sphincter esofagus setinggi
vertebrae torakal ke-10 dan berada di bagian posterior yang menghadap ke
costae ke-7. Bagian kiri cardia yang disebut Fundus merupakan bagian
kubah di daerah sinistra yang langsung bersentuhan dengan diafragma dan
letaknya setinggi sulcus inercostal ke-5. Corpus merupakan bagian
tengah dari lambung yang berukuran paling besar. Corpus dibatasi oleh
pankreas dan bagian descenden diafragma. Sementara pylorus merupakan
bagian berbentuk saluran/ cerobong pada bagian ujung dari lambung.
Sphincter pylorus merupakan otot sirkular yang termodifikasi pada ujung
pylorus yang bersambungan dengan usus halus. Pylorus berada setinggi
vertebrae lumbal ke-1 dan 2,5 cm kanan dari midline. Persambungan ini
mengatur pergerakan chyme menuju usus halus dan menghambat aliran
balik ke arah lambung. Pylorus terbagi menjadi bagian antrum
(menghubungkan corpus dari gaster), canal (menghubungkan gaster ke
duodenum), dan sphincter (otot polos yang menghubungkan pylorus ke
duodenum).4

2
Secara Histologi, lambung dilapisi oleh epitel selapis silindris yang
menghasilkan mucus yang tebal serta mengandung bikarbonat untuk
mencegah terjadinya autodigestive dari asam lambung. Mukosa lambung
membentuk cekungan ke arah dalam yaitu Faveola gastric/ gastric pits
(sumur lambung) yang memperluas area penghasil enzim dan zat lainnya.8

Gaster memiliki Kelenjar Tubuloalveolar yang terdiri beberapa sel yang


antaralain9:
Sel Mukus (Sel leher/neck cell) menghasilkan mucus yang bersifat asam
Sel Parietal (Sel HCl) menghasilkan HCl dan faktor intrinsik vit. B12
Sel Zimogen (Chief Cell) menghasilkan pepsinogen yang akan diubah
menjadi pepsin di lumen lambung
Sel Arginafin (enteroendokrin) menghasilkan hormon pengatur yaitu
sekretin, gastrin dan kolesistokinin
Secara skematis, susunan kelenjar
Tubuloalveolar dapat dilihat pada Gambar I.

Gambar 1. Gambaran skematis sel pada kelenjar


Tubuloalveolar (diadaptasi dari S Ito, RJ Winchester: Cell
Biol 16:541, 1963)
Sel Parietal (Sel HCl / Oxytic cell) dalam
keadaan tidak terstimulasi, sitoplasmanya
didominasi oleh vesikel tubular dan
kanalikuli intraselular dengan mikrovili yang
pendek pada permukaan apikalnya. Dalam
keadaan terstimulasi, sel ini akan
mengekpresikan H+,K+- ATPase pada membran vesikel tubular dan kanalikuli
intraselular akan bertranformasi dengan membentuk mikrovili yang panjang.2
Gambar 2 menunjukkan perbandingan antara sel parietal pada keadaan
istirahat dengan keadaan terstimulasi.

3
Gambar 2. Sel Parietal dalam keadaan istirahat dan terstimulasi (diadaptasi dari SJ Hersey, G
Sachs:Physiol Rev 75:155, 1995)

Hidroclorida (HCl) dan Pepsinogen merupakan produk dari sekresi gaster


yang mampu menginduksi kerusakan pada mukosa. Sekresi asam pada gaster
terjadi dalam dua keadaan yakni pada keadaan basal dan pada keadaan
terstimulasi. Pada keadaan basal, produksi asam dipengaruhi oleh irama
sirkadian impuls kolinergik melalui nervus vagus dan impuls histaminergik
yang berasal dari sumber gaster itu sendiri. Pada keadaan ini, asam lambung
mencapai level puncak pada malam hari dan menurun hingga level terendah
pada pagi hari.2

Produksi asam lambung yang terstimulasi melalui tiga fase antaralain fase
sefalik, fase gastrik dan fase intestinal. Bentuk, aroma dan rasa makanan
merupakan komponen dari fase sefalik yang mampu mempengaruhi sekresi
gaster melalui stimulasi nervus vagus. Fase gastrik teraktivasi ketika
makanan mencapai lambung, dimana komponen nutrient menstimulasi Sel
Arginafin untuk mensekresikan gastrin yang mampu menstimulasi aktivasi
dari sel parietal. Fase intestinal diinisiasi ketika makanan mencapai
duodenum. Fase penghasilan asam ini dapat dihambat oleh hormone
somatostatin yang dihasilkan oleh sel endokrin pada mukosa gaster.
Somatostatin dapat menghambat secara langsung (menghambat kerja sel

4
parietal) dan secara tidak langsung (menurunkan produksi histamin dan
pelepasan hormone gastrin dari sel argifinin).10 Fase sekresi asam lambung
secara skematis dijelaskan pada Gambar 3.

Gambar 3. Fase
Sekresi
Gaster dan
Regulasinya (diadaptasi dari Guyton & Hall. 2006. Textbook of Medical Physiol 11th ed. USA: Mc Graw-Hill
Companies)

B. PERTAHANAN MUKOSA GASTRODUODENAL

Mukosa gaster dan duodenum memiliki peran penting untuk melindungi dari
berbagai zat agresif baik endogen (HCl, Pepsin, garam empedu) maupun
eksogen (obat-obatan, bakteri dan alkohol). sistem pertahanan mukosa terdiri
dari 3 level, yaitu: 2, 11
1. Pertahanan Pre-Mukosa
Pertahanan ini terdiri dari lapisan mucus bikarbonat yang melindungi
mukosa dari beberapa molekul salahsatunya H+. mucus dihasilkan oleh
sel epitel permukaan, dengan komposisi 95% air dan 5% campuran

5
antara lipid dan glikoprotein. Bikarbonat disekresikan ke lapisan mucus
untuk menciptakan gradient pH antara 1-2 pada lumen gaster dan 6-7
pada permukaan sel epitel.2 bikarbonat dihasilkan oleh sel epitel
permukaan melalui stimulasi dari prostaglandin, pakreas dan juga garam
empedu. Bikarbonat juga berperan dalam menetralisir asam pada
makanan sebelum menuju duodenum karena proses di duodenum
membutuhkan suasana pH netral. Adapun reaksi bikarbonat adalah
sebagai berikut11:
HCO3-+ H+ CO2 + H2O

2. Pertahanan Mukosa
Mukosa memberikan pertahanan antaralain produksi mucus, transport ion
untuk menjaga pH intraselular, produksi bikarbonat, dan tight junction
intraselular. Ketika system pertahanan preepitel rusak, sel-sel epitel yang
berbatasan dengan daerah cidera akan bermigrasi dan mengganti sel
daerah yang rusak. Proses ini diikuti dengan pembelahan sel yang
membutuhkan suasana pH basa, pembuluh darah yang tidak terganggu
serta melibatkan beberapa factor pertumbuhan (EGF, TGF, FGF) guna
memodulasi proses resusitasi. Untuk kerusakan dengan ukuran yang lebih
besar, dibutuhkan proses proliferasi sel dengan regenerasi sel epitel.
Proses ini dimodulasi oleh prostaglandin dan factor pertumbuhan EGF,
TGF. Proses ini juga diikuti dengan proses angiogenesis dengan factor
pertumbuhan VEGF.2,10,11

3. Pertahanan Submukosa
Sistem mikrovaskular pada lapisan submukosa merupakan komponen
kunci dari pertahanan subepitel. Mikrovaskular memberikan suplai
karbonat yang menetralkan H+ dari sel parietal, menyediakan nutrisi dan
oksigen serta mengeluarkan metabolik berbahaya.11
Sistem pertahanan gastroduodenal yang kompleks di atas, diringkas secara
skematis pada Gambar 4 di bawah ini.

6
G
a
m
bar 4. Pertahanan Mukosa Gastroduodenal (Stefan Silbernagl. 2000. Color Atlas of
Pathophysiology. New York: Thieme)

C. PATOFISIOLOGI ULKUS PEPTIKUM

1. Infeksi Helicobater Pylori


Helicobater pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk basil.
Bakteri ini pertama kali dapat dikultur tahun 1982 di Perth Australia.
Pada tahun 1993 nama bakteri ini diganti menjadi Helicobacter Pylori.12
Bakteri ini mampu menghasilkan urease yang menyebabkan bakteri ini
mampu bertahan dalam pH asam gaster. Urease dihasilkan 6% dari total
protein bakteri. Bakteri ini juga menghasilkan VacA (Vacuolating
Cytotoxin) yang menyebabkan apoptosis pada sel eukariotik dengan cara
pembentukan vakuola sitoplasma multipel berukuran besar. 12, 13

7
Gambar 5. Reaksi enzim Urease yang menetralisir pH lambung (Prescott, Harley. Microbiology
5th edition. 2002. USA: The McGrawHill Companies)

Helicobater pylori terkolonisasi pada sel gaster yang memproduksi


mukus. Gambar 6 merupakan gambaran mikroskop electron dari bakteri
Helicobacter pylori. Bakteri ini melekat pada glikoprotein yang terdapat
di permukaan dari sel epitel dengan menggunakan fimbriae. Selanjutnya
bakteri akan berpindah ke lapisan mukosa. Urease yang dihasilkan bakteri
ini mampu memproduksi ammonia, berperan dalam menciptakan suasana
netral bagi pertumbuhan bakteri. Ketika bakteri melakukan aktivitas pada
lapisan mukosa gaster, mengakibatkan terjadinya reaksi inflamasi dengan
adanya infiltrasi dari sel-sel mononuclear pada lapisan lamina propria.
Reaksi ini akan terus meningkat hingga mampu memicu terjadinya
inflamasi hebat dengan munculnya netrofil, limfosit serta terbentuknya
mikroabses. Inflamasi yang terjadi dapat disebabkan oleh efek dari urease
dan VacA. Selain itu, adanya bakteri ini pada mukosa mampu
menstimulasi NAP (Neutrophil Activating Protein). Proses inflamasi
yang terus menerus ini mengakibatkan terjadinya kematian pada sel epitel
dan memicu terjadinya ulkus. 12, 13

8
Gambar 6. Helicobacter pylori pada mukosa gaster menggunakan mikroskop electron
(Prescott, Harley. Microbiology 5th edition. 2002. USA: The McGrawHill Companies)

Infeksi primer Helicobacter Pylori tidak memberikan gejala spesifik.


Gejala mual dan nyeri abdomen bagian atas mulai dirasakan pada minggu
kedua. Namun nyeri abdomen bersifat intermitten dengan kualitas yang
rendah. Dalam waktu 1 tahun, nyeri semakin jelas, frekuensi dan
intensitas meningkat, disertai dengan mual, muntah, anoreksia dan nyeri
epigatrium. Beberapa pasien bahkan tidak mengeluhkan gejala apapun
selama hampir satu decade. Infeksi bakteri ini mampu menyebabkan
terjadinya perforasi gaster dengan perdarahan serta menimbulkan
terjadinya peritonitis. 12, 13

Penegakkan diagnosis paling sensitif untuk mengetahui keterlibatan dari


Helicobater pylori adalah dengan menggunakan endoskopi. Pada
endoskopi dilakukan biopsi dan kultur pada mukosa gaster. Metode non
invasive adalah dengan menggunakan pemeriksaan Urea Breath Test.
13
Pada pemeriksaan ini pasien diminta untuk mengkonsumsi C -14C yang
telah dilabel urea. Jumlah urea pada gaster akan dihitung sesuai dengan
jumlah CO2 pada pernapasan.2, 12, 13
2. Penggunaan NSAID

9
Nonsteroid Anti-Inflammatory Drug (NSAID) merupakan golongan obat
yang memiliki kegunaan klinis sebagai antipiretik, analgesic dan anti
inflamasi. Obat ini mampu menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam
sehingga efektif sebagai antipiretik. Obat golongan ini berguna untuk
analgesic pada nyeri ringan hingga sedang seperti myalgia, sakit gigi,
dysmenorrhea dan sakit kepala. Berbeda dengan analgesic opioid, obat ini
tidak menimbulkan depresi SSP. Sebagai agen anti inflamasi, NSAID
digunakan secara luas dalam pengobatan nyeri kronik seperti artritis
rheumatoid, osteoarthritis, arthritis gout, dan ankhilosing spondylitis.14

NSAID bekerja dengan menghambat kerja dari COX (Cyclooxigenase)


baik COX-1 maupun COX-2. COX-2 adalah COX dominan yang
memproduksi prostaglandin selama proses inflamasi. Prostaglandin
menimbulkan beberapa manifestasi inflamasi local maupun sistemik
seperti vasodilatasi, hyperemia, peningkatan permeabilitas pembuluh
14
darah, tumor dan dolor. Prostaglandin memiliki peran penting dalam
menjaga integritas dan perbaikan mukosa gastroduodenal. Cidera pada
mukosa terjadi karena adanya paparan dengan NSAID. NSAID dalam
lingkungan gaster yang asam bersifat lipofilik terionisasi, sehingga
mampu bermigrasi melintasi membran lipid sel epitel dan menimbulkan
kerusakan pada intraselular. NSAID yang berada pada gaster juga mampu
menimbulkan difusi kembali dari ion H dan Pepsin yang menyebabkan
kerusakan lebih lanjut. 2 Pada gambar di bawah ini, secara singkat faktor-
faktor yang berkaitan dengan pathogenesis ulkus peptikum.

Gambar 7. Gambaran Skematik faktor yang mempengaruhi terjadinya Ulkus


Peptikum (Stefan Silbernagl. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. New York:
Thieme)
10
3. Faktor pathogenesis yang tidak berhubungan dengan NSAID dan
Helicobater pylori pada Ulkus Peptikum
Kebiasaan merokok memiliki keterlibatan dalam pathogenesis ulkus
peptikum. Pada perokok insidensi ulkus peptikum terjadi lebih sering
dibandingkan pada orang yang bukan perokok, menurunkan tingkat
penyembuhan, mengganggu respon terapi serta meningkatkan komplikasi.
Beberapa hipotesis menyebutkan rokok mampu menurunkan produksi
bikarbonat pada duodenum proksimal, peningkatan risiko infeksi
Helicobater pylori dan menginduksi pembentukan radikal bebas yang
berbahaya terhadap mukosa.2, 5

Factor psikologis dipikirkan memiliki keterkaitan terhadap terjadinya


ulkus peptikum namun studi menunjukkan factor psikologis tidak
memiliki hubungan bermakna terhadap insiden ulkus. Factor psikologis
ini lebih dikaitkan dengan insiden Dyspepsia Non Ulcer

Pola diet memiliki keterkaitan dengan terjadinya ulkus peptikum. Dari


penelitian didapatkan bahwa konsumsi alcohol dan kafein memiliki
hubungan bermakna dengan insidensi ulkus peptikum.

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Nyeri abdomen
Nyeri epigatrium, seperti terbakar atau digerogoti.
Muncul 90 3 jam setelah makan dan berkurang dengan makanan dan antasida.
Nyeri dipicu makanan dan mual dan penurunan BB
Nyeri terus menerus, menjalar hingga punggung, tidak berkurang dengan makanan
atau antasida penetrasi ke pancreas.
Nyeri tiba-tiba pada semua regio abdomen perforasi.
Nyeri disertai dengan muntah makanan yang belum tercerna obstruksi lambung.
BAB hitam perdarahan gaster

11
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri tekan regio epigatrium.
Pemeriksaan fisik amat penting guna menegakkan adanya komplikasi dari
ulkus. Takikardi menunjukkan adanya dehidrasi sekunder akibat muntah atau
kehilangan darah aktif melalui saluran cerna. Nyeri tekan yang ditemukan
pada semua regio abdomen menunjukkan adanya perforasi lambung. 2, 5, 7

2. Diagnosis
Dengan gejala klinis yang tidak khas pada ulkus peptikum, dibutuhkan
pemeriksaan penunjang yang berperan dalam penegakkan diagnosis.
Modalitas yang dapat digunakan yaitu radiografi (barium enema) dan
endoskopi. Radiografi dengan barium paling umum digunakan untuk
menegakkan ulkus peptikum. Tingkat sensitivitas mencapai 90%. Sensitivitas
ini menurun jika terdapat ulkus dengan ukuran < 0,5 cm, adanya jaringan
parut, atau pada pasien pasca operasi. Endoskopi lebih sensitif dan spesifik
dalam menilai gangguan gastrointestinal. Gambaran radiologi pada ulkus
peptikum dapat dilihat pada Gambar 8. Dengan endoskopi, memungkinkan
untuk melihat visualisasi langsung dari mukosa gaster dan duodenum, serta
mampu mengambil sampel jaringan untuk mengesampingkan kemungkinan
keganasan. Pemeriksaan endoskopi mampu mengidentifikasi lesi berukuran
2, 5, 7
kecil yang tidak dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologi. Gambar 9
memperlihatkan adanya ulkus peptikum pada gaster dan duodenum.

Gambar 8. Gambaran Radiologi Barium pada Ulkus Peptikum (Harrison's Principles of Internal Medicine 17th .
Braunwald. McGraw-Hill. 2008)

12
Gambar 9. Gambaran ulkus Dueodenum dan Ulkus Gaster pada Ulkus menggunakan Endoskopi
(Harrison's Principles of Internal Medicine 17th . Braunwald. McGraw-Hill. 2008)
Untuk mendeteksi penyebab dari ulkus peptikum dapat menggunakan
beberapa modalitas. Deteksi infeksi Helicobater pylori dapat memanfaatkan tes
serologi, Urea Breath Test, dan Tes antigen Helicobater pylori fekal. 2, 5

D. Terapi
I. Non Farmakologi
Penderita ulkus peptikum harus mulai memperhatikan pola dan asupan
makanan. Pola makan dengan jumlah besar harus mulai dihindari karena
mampu membebani lambung. Menghindari makan malam 3-4 jam
sebelum tidur karena dapat memicu pelepasan gastrin dan HCl yang lebih
banyak. Pola makan yang diajurkan adalah pola makan dengan jumlah
kecil namun dengan intensitas yang ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi beban kerja gaster dan menurunkan sekresi asam lambung
yang mampu menimbulkan sensasi nyeri. Pasien diminta untuk
mengurangi konsumsi alcohol, kafein, kopi yang memiliki keterikatan
dengan kejadian ulkus peptikum. 7

II. Farmakologi
Ada beberapa obat-obatan yang menjadi modalitas dalam pengobatan
ulkus peptikum antaralain:

1. Penetralisir Asam (Antasida)

13
Antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan HCl
menghasilkan garam dan air. Ia juga memiliki sifat protektif
terhadap mukosa dengan menstimulasi produksi prostaglandin.
Kemampuan atau kapasitas netralisasi asam lambung bervariasi
bergantung pada derajat disolusi (tablet vs cairan), kelarutan dalam
air, laju reaksi dengan asam, dan laju pengosongan lambung. 14

Semua antasida menghambat penyerapan sejumlah obat seperti


digoxin, phenytoin, cimetidine, fluoroquinolone. Mekanismenya
adalah dengan berikatan pada obat tersebut atau meningkatkan
pH lambung sehingga mempengaruhi kelarutan obat (terutama
obat-obat basa lemah atau asam lemah). 14

Efek samping penggunaan antasida bervariasi sesuai dengan bentuk


dan sediaan dari antasida, antaralain:14
Natrium bikarbonat (NaHCO3)
NaHCO3 + HCl CO2 + NaCl
Karbon dioksida menyebabkan distensi lambung dan sendawa.
Senyawa alkali ini langsung diserap tubuh sehingga berpotensi
menyebabkan alkalosis metabolik.

Kalsium karbonat (CaCO3)


CaCO3 + HCl CO2 + CaCl2
Kelarutan kalsium karbonat kurang dan reaksinya lebih lambat dari
natrium bikarbonat. Kalsium karbonat juga menyebabkan sendawa.
Dosis berlebih NaHCO3 atau CaCO3 ditambah dengan makanan
kaya kalsium dapat menyebabkan hiperkalsemia, insufisiensi renal
dan alkalosis metabolik (milk-alkali syndrome).

Magnesium Hidroksida[Mg(OH)2]/ Aluminium hidroksida[Al(OH)3]


Mg(OH)2 + HCl MgCl2 + H2O
Al(OH)3 + HCl AlCl3 + H2O

14
Kedua senyawa ini bereaksi lama dengan HCl. Namun, tidak
menyebabkan sendawa karena tidak menghasilkan gas. Alkalosis
metabolik juga jarang terjadi. Hal ini disebabkan garam Mg yang
tak diserap dapat menyebabkan diare osmotik diimbangi dengan
garam Al yang memberikan efek konstipasi. Dengan demikian,
disimpulkan bahwa kombinasi keduanya menghasilkan efek
netralisasi yang seimbang dan lama. Baik Mg maupun Al akan diserap
untuk kemudian dieksresi melalui ginjal maka dari itu tidak
dianjurkan pemberian jangka panjang pada pasien insufisiensi renal.

2. Antagonis Reseptor H2
Obat-obat ARH2 adalah cimetidine, ranitidine, famotidine (paling
poten), dan nizatidine. Antagonis reseptor H2 diserap di lumen
intestinal kecuali nizatidine. Selanjutnya akan mengalami
metabolisme first pass di hati sehingga bioavailabilitasnya (F)
menurun hingga 50%. Nizatidine hanya sedikit mengalami
metabolisme sehingga bioavailabilitasnya hampir 100%. Waktu
paruh di serum berkisar 1-4 jam, bergantung pada dosis yang
diberikan. Antagonis H2 dieliminasi melalui metabolisme hati, filtrasi
glomerulus, dan sekresi tubular. Obat ini dapat melewati plasenta dan
juga dapat disekresikan ke dalam ASI.15

Manusia memiliki 4 jenis reseptor histamin dalam tubuh, yaitu


reseptor H1, H2, H3 dan H4. Reseptor H2 di lambung salahsatunya
berfungsi meningkatkan sekresi gastrin yang pada akhirnya akan
menstimulus produksi asam lambung. Antagonis H2 bekerja sebagai
inhibitor kompetitif pada reseptor H2 di sel parietal sehingga menekan
sekresi asam. Volume sekresi gastrin dan pepsin juga ikut menurun.15

Antagonis H2 sangat efektif menginhibisi sekresi asam pada malam


hari, sekitar 90%, yang mana sekresinya sangat bergantung terhadap
histamin. Namun pengaruhnya menurun menjadi sekitar 60-80%

15
pada siang hari karena sekresi asam di siang hari utamanya
dipengaruhi oleh gastrin dan Asetilkolin akibat adanya makanan yang
masuk.15

Sebaiknya obat ini tidak diberikan kepada wanita hamil dan menyusui
bila tidak mendesak. Antagonis H2 ini dapat melintasi plasenta dan
disekresikan ke dalam ASI. Walaupun belum ditemukan adanya data
yang menyatakan ARH2 berbahaya, kewaspadaan harus
dipertahankan.14

3. Proton Pump Inhibitors (PPI)


Yang termasuk obat-obat PPI adalah Omeprazole, esomeprazole,
lansoprazole, pantoprazole, dan rabeprazole. PPI merupakan prodrug
yang membutuhkan suasana asam untuk dapat teraktivasi. Dengan
demikian, beberapa jenis PPI diproduksi dengan lapisan pelindung
untuk mencegah zat aktif yang berada di dalamnya terdegradasi oleh
pH asam lambung. Setelah masuk ke lumen intestinum yang alkali,
lapisan tersebut akan larut. Prodrug diabsorpsi enterosit dan
mengalami metabolisme fase 1 di hati (first pass hepatic metabolism)
dan kemudian masuk ke sirkulasi sistemik. Obat ini dimetabolisme di
hati oleh sitokrom P450 (CYP) terutama CYP2C19 dan CYP3A4. 15

Waktu paruh PPI sekitar 1,5 jam, namun efek inhibisi asamnya
berlangsung hingga 24 jam. PPI sangat kuat berikatan dengan protein.
Ia tidak mengalami eliminasi di renal. PPI diberikan 30 menit sebelum
makan. Obat ini dapat pecah bersama makanan di lambung pecah di
lambung kemudian akan berikatan dengan berbagai gugus sulfihidril
yang ada di makanan sehingga bioavailabilitasnya akan menurun
sampai 50%.14, 15

Dari sirkulasi sistemik, PPI berdifusi ke kompartemen asam sel


parietal lambung. Di sini, prodrug terprotonasi (adisi proton atau H+)

16
dan mengalami aktivasi insitu menjadi sulfonamid tetrasiklik. PPI
bekerja dengan memblokir jalur akhir sekresi asam lambung. Bentuk
aktif Sulfonamid akan berikatan kovalen dengan gugus sulfihidril
enzim H+/K+ ATPase (enzim pompa proton). Ikatan tersebut
menyebabkan produksi asam lambung terhenti 80-95%.
Penghambatan bersifat ireversibel dan produksi asam baru dapat
terjadi kembali setelah 3-4 hari setelah pengobatan dihentikan.15

Golongan Obat Contoh Obat Dosis


Penekan Sekresi Asam
1. Antasida Mylanta, Maalox 100-140meq 1 3 jam setelah
makan
2. Antagonis reseptor H2
Cimetidin 400 mg
Ranitidin 300 mg
Famotidin 40 mg
Nizatidine 300 mg
3. Penghambat Pompa Proton Omeprazol 20 mg/ hari
Lansoprazol 30 mg/ hari
Rabeprazol 20 mg/ hari
Pantoprazol 40 mg/ hari
Esomeprazol 20 mg/ hari
Agen Proteksi Mukosa
1. Sukralfat Sukralfat 1 gram q/d
2. Prostaglandin Analog Misoprostol 200 pikogram q/d
Tabel I. Golongan Obat dan Dosis yang digunakan dalam Terapi pada Ulkus Peptikum
(John Del Valle. Acid Peptic Disorder, on Harrison's Principles of Internal Medicine 17th .
Braunwald. McGraw-Hill. 2008)

4. Agen Protektif Mukosa


a. Sukralfat
Merupakan kompleks garam sukrosa dengan Al(OH)3 yang
tersulfatasi. Sukralfat dipecah menjadi sukrosa sulfat serta garam
Al. Obat ini hampir tak dapat diserap tubuh dan dikeluarkan
bersama feses. 14

17
Di dalam lambung, sukralfat dan air akan membentuk pasta
kental yang melindungi ulkus atau erosi hingga 6 jam. Sukrosa
sulfat yang bermuatan sangat negatif akan berikatan dengan dasar
ulkus/ erosi yang bermuatan positif. Terbentuk barrier fisik
sehingga mencegah kerusakan lebih lanjut. Barier ini akan
memberi kesempatan sel dibawahnya untuk mensekresikan
Prostaglandin dan HCO3 untuk perbaikan mukosa.14, 15

Walaupun sukralfat dengan selektif menutupi ulkus, namun ia


juga dapat berikatan dengan berbagai obat lain, seperti, digoxin,
phenytoin, cimetidine, fluoroquinolone.14

b. Analog Prostaglandin
Mukosa saluran cerna mensintesi sejumlah prostaglandin terutama
PGE dan PGF. Misoprostol adalah senyawa metil yang analog
dengan PGE1. Obat ini diserap dan dimetabolisasi menjadi bentuk
metabolit yang aktif . Waktu paruhnya sekitar 30 menit, sehingga
butuh 3-4 kali minum per hari. Walaupun Misoprostol
dieksresikan melalui urin, tidak perlu penurunan dosis pada pasien
insufisiensi renal.15

Misoprostol memiliki fungsi ganda, sebagai penghambat sekresi


asam sekaligus pelindung mukosa. Obat ini menstimulasi sekresi
mukus dan HCO3 dan meningkatkan laju darah di mukosa. Selain
itu, obat ini juga berikatan dengan reseptor Prostaglandin di sel
parietal, menurunkan cAMP yang distimulasi histamin, sehingga
memberikan efek inhibisi asam walaupun hanya sedikit. 14, 15

Efek samping pada sejumlah pasien dilaporkan mengalami diare


dan nyeri abdomen. Prostaglandin juga memiliki fungsi lain
seperti merangsang kontraksi uterus, sehingga misoprostol

18
menjadi kontraindikasi pada wanita hamil. Namun setelah
melahirkan, obat ini dapat diberikan karena mampu menghentikan
perdarahan post-partum. Sampai saat ini belum ditemukan adanya
interaksi signifikan misoprostol dengan obat lain. 14, 15

Gambar 10. Ringkasan Mekanisme Kerja Obat-obatan pada Ulkus Peptikum (Laurence, L.
Bruton. Goodman & Gilmans, The Pharmacological Basis of Theurapeutics 11th edition. USA:
The McGraw-Hill Companies)
Selain obat-obatan di atas, untuk ulkus peptikum yang disebabkan oleh
infeksi Helicobater pylori digunakan beberapa antibiotic yang berfungsi
mengeradikasi bakteri tersebut. Penggunaan antibiotik tunggal pada infeksi
memberikan hasil yang lebih buruk dibandingkan dengan pemberian
antibiotic kombinasi. Adapun antibiotic yang digunakan antaralain
metronidazole, tetrasiklin, klaritromisn, dan senyawa Bismuth. Triple therapy
yang digunakan diawal adalah penggunaan 2 antibiotik ditambah dengan satu
diantara PPI, Antagonis H2 memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik.
Penggunaan obat-obat yang menekan produksi asam bertujuan untuk
mengurangi gejala dan meningkatkan proses eradikasi bakteri. Dalam
pemilihan antibiotic perlu diperhatikan beberapa faktor seperti efikasi obat,
toleransi pasien serta resistensi obat. 15

19
Meskipun Triple Therapy efektif dalam eradikasi Helicobater pylori, namun
dapat menimbulkan penurunan dari kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi
obat. Terapi ini harus dikonsumsi selama 14 hari, dua kali dalam sehari. Oleh
sebab itu, edukasi kepada pasien amat dibutuhkan agar tidak terjadi resistensi
2
dan mampu mencapai target eradikasi. tabel di bawah ini merupakan
regimen yang direkomendasi untuk eradikasi Helicobacter pylori.
Obat Dosis
Triple Therapy
1. Bismuth subsalisilat plus 2 tablet 4x sehari
Metronidazol plus 250 mg 4x sehari
Tetrasiklin 500 mg 4x sehari
2. Ranitidin Bismuth citrate plus 400 mg, 2x sehari
Tetrasiklin plus 500 mg , 2x sehari
Claritromisin 500 mg, 2x sehari
3. Omeprazole plus 20 mg, 2x sehari
Claritromisin plus 250-500 mg, 2x sehari
Metronidazol atau 500 mg , 2x sehari
amoksisilin 1 gram, 2x sehari
Quadruple Therapy
Omeprazol 20 -30 mg/hari
Bismuth subsalisilat 2 tablet 4x sehari
Metronidazol 250 mg 4x sehari
Tetrasiklin
500 mg 4x sehari

Tabel II. Regimen yang direkomendasikan untuk eradikasi Helicobater pylori


(John Del Valle. Acid Peptic Disorder, on Harrison's Principles of Internal Medicine 17th . Braunwald.
McGraw-Hill. 2008)

Untuk kasus ulkus peptikum yang diinduksi oleh NSAID, intervensi yang
harus dilakukan adalah menghentikan penggunaan NSAID yang
menyebabkan ulkus. Jika tidak mungkin, NSAID dapat diganti dengan
rejimen lain yang lebih selektif terhadap COX-2 (celecoxib, rofecoxib) yang
digunakan secara bersamaan dengan misoprostol, atau Antagonis H2 dosis
tinggi. 2, 15

20
BAB III KESIMPULAN

Ulkus Peptikum merupakan penyakit yang memiliki tingkat insidensi cukup tinggi.
Penyakit ini berkaitan dengan berbagai faktor yang ditemukan dalam masyarakat
seperti pola makan yang kurang baik, konsumsi obat-obatan yang mampu
meningkatkan risiko ulkus peptikum sampai kebiasan buruk seperti merokok.
Penyakit ini kadang tidak disadari oleh pasien bahkan hanya dianggap sakit perut
biasa. Penyakit ini perlu mendapatkan perhatian serius karena menyangkut prognosis
yang buruk jika tidak ditangani dengan baik.
Dalam penatalaksanaan sendiri, diperlukan kecermatan dalam mengidentifikasi dan
mengenali tanda dan gejala dari ulkus peptikum. Ulkus peptikum ini dapat bermula
dari Sindrom Dispepsia yang tidak dikontrol dengan baik. Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, penyakit ini sulit dibedakan dengan penyakit lain yang berkenaan
dengan gaster. Pasien sebagian besar datang ke dokter ketika telah terjadi perdarahan
atau bahkan perforasi.
Penegakkan diagnosis Ulkus Peptikum definitif adalah melalui pemeriksaan
endoskopi. Dari pemeriksaan tersebut, dapat diketahui kedalaman ulkus dan dapat
juga diambil contoh jaringan yang selanjutnya dapat diperiksa untuk menilai ada atau
tidak infeksi dari H. Pylori. Untuk pengobatan ulkus peptikum menggunakan
berbagai golongan obat yang bertujuan untuk mengontrol sekresi asam lambung,
perlindungan terhadap mukosa lambung dan antibiotic jika terbukti adanya infeksi H.
Pylori. Tatalaksana yang baik memberikan prognosis yang lebih baik untuk kasus
ulkus peptikum.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Tarigan, P. Tukak Gaster, dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi V Jilid
I. Editor Aru. W Sudoyo, dkk. Interna Publising. 2009
2. John Del Valle. Acid Peptic Disorder, on Harrison's Principles of
Internal Medicine 17th . Braunwald. McGraw-Hill. 2008
3. Akil HAM. Tukak Duodenum dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi 5.
Interna Publishing. Jakarta. 2010. P 523-8
4. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of Anatomy and Physiology. 12th
edition. Asia: John Wiley & Sons, 2009. p. 921 950
5. Schafer, TW. Peptic Ulcer Disease. The American College of
Gastroenterology, Bethesda, Maryland. 2008.
6. Price, A Sylvia. Patofisiologi Edisi 6 Volume II. EGC. Jakarta. 2007 Hal
1388
7. Shyne, P. Gastritis and Peptic Ulcer Disease. Departement of Emergency
Medicine, Emory University School of Medicine. 2009[diunduh 14 Januari
2013] diakses dari www. Emedicine.org
8. Junqueira, Carlos. Histologi Dasar Teks dan Altas Edisi X. 2007. Jakarta:
EGC. Hal 196-197; 213-216
9. Histologi bloom fawset
10. Guyton & Hall. 2006. Textbook of Medical Physiol 11th ed. USA: Mc
Graw-Hill Companies page 795-800
11. Stefan Silbernagl. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. New York:
Thieme. Page 142-147
12. Prescott, Harley. Microbiology 5th edition. 2002. USA: The McGrawHill
Companies. Page 918-919
13. Ryan, Kenneth J. Sherris Medical Microbiology an Introduce to Infection
Disease 4th Edition. 2004. The McGrawHill Companies. Page 380-384
14. Modern pharmacology with Clinical Applications 425-428
15. Laurence, L. Bruton. Goodman & Gilmans, The Pharmacological Basis
of Theurapeutics 11th edition. USA: The McGraw-Hill Companies. Page
967-972

22

Anda mungkin juga menyukai