Anda di halaman 1dari 22

Multisistem idiopatik spesifik pada kehamilan dan nifas.

Keadaan khusus, didapati pada kelainan perkembangan plasenta (mola komplit).


Tampak pada awal kehamilan.
Pathologic hallmark kegagalan total atau parsial fase kedua invasi trofoblas pada
16-20 minggu kehamilan,
Kehamilan normal bertanggung jawab invasi trofoblas ke lapisan otot A. spiralis.
Kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta makin meningkat.
Invasi abnormal luas plasenta arteri spiralis tidak dapat dilatasi untuk akomodasi
kebutuhan yang makin meningkat disfungsi plasenta preeklampsia.
Diagnosis klinis.
Definisi klasik 3 :
1. onset baru hipertensi (menetap 140/90 mmHg sebelumnya normotensif),
2. onset baru proteinuria (> 300 mg/24 jam atau +1 pada urinalisis bersih
tanpa infeksi traktus urinarius),
3. onset baru edema

EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


10% < 34 minggu.
Meningkat pada riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, HT kronis dan ginjal.
mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes.
Faktor risiko tersebut meliputi:(3)
a. Usia
<25 tahun, >35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap.
b. Paritas
Primigravida, muda maupun tua
c. Faktor Genetik
Ibu/nenek penderita
Sifat resesif (recessive trait) genotip ibu dan janin.
d. Diet/gizi
Kekurangan kalsium. obese/overweight.

1
e. Tingkah laku/sosioekonomi
Merokok : lebih rendah,
Merokok selama hamil kematian janin dan IUFD
Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring cukup mengurangi
f. Hiperplasentosis
Kehamilan kembar, dizigotik
g. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan.
Lebih dini/pada usia kehamilan muda, PA ginjal sesuai dengan preeklampsia.
h. Obesitas
Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Hasil pada kehamilan tunggal
Penyebab dislensia uterus.

C. ETIOLOGI
Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum
diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari
penyakit ini tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori
yang dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia
meningkat prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan
mola hidatidosa. Selain itu teori tersebut harus dapat menjelaskan penyebab
bertambahnya frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan,
penyebab terjadinya perbaikan keadaan penderita setelah janin mati dalam
kandungan, dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti hipertensi, edema,
proteinuria, kejang dan koma. Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli
yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut penyakit teori.
Namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori sekarang
yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori iskemia plasenta. Teori
ini pun belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.(2,4)
Adapun teori-teori tersebut adalah:

2
1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial
plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat.
Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi
generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini
menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan
penurunan volume plasma.(3,4)
2. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada
kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen
plasenta tidak sempurna sehingga timbul respons imun yang tidak
menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada preeklampsia
terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti
dengan terjadinya pembentukan proteinuria.(3,4)
3. Peran Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia/eklampsia
bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang
menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia
antara lain:
a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia-Eklampsia
pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.
4. Iskemik dari uterus.
Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah
iskemik uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa
plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang
berkurang. Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga
terjadi penurunan kadar 1 -25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL),
akibatnya terjadi penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk
mempertahankan penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar

3
paratiroid yang mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar
kalsitonin yang mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang
dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel
mengakibatkan peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah.(3)
Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua
dan plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan
merupakan faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran
darah uterus dan plasenta menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter,
menyebabkan ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan
aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang. Selain itu hipoperfusi uterus
menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan
vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular
terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi
tonus pembuluh darah yang lebih tinggi. Oleh karena gangguan sirkulasi
uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin.
Akibatnya terjadi gangguan pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian
janin.(3)
5. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam
pathogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel
yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita
hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada
trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai
dengan kemajuan kehamilan.(2)
Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress
hemodinamik, stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan
hiperkolesterolemia, maka fungsi pengatur menjadi abnormal dan disebut
disfungsi endotel. Pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan substansi
vasoaktif sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga menyebabkan
permeabilitas vaskular meningkat sehingga menyebabkan edema dan

4
proteinuria. Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan
diekspresikan molekul adhesi. seperti vascular cell adhesion molecule-1
(VCAM-1) dan intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan
kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam supernatant kultur sel endotel yang
diinkubasi dengan serum penderita preeklampsia, tetapi tidak dijumpai
peningkatan molekul adhesi lain seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh karena itu
diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada preeklampsia.(2)
Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum
mempunyai hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga
mengakibatkan permukaan non trombogenik berubah menjadi trombogenik,
sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai petanda aktivasi koagulasi
dapat diperiksa D-dimer, kompleks trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1
dan 2 atau fibrin monomer.(5)

D. PATOFISIOLOGI
Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang
menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan
vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja
sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan
hipertensi. Pada kehamilan normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada
preeklamsia terjadi penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya
thromboksan yang mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga
peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.(2)
2. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai
45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga
mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma
menimbulkan hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya
perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun (hipoperfusi)

5
sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan
oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta
mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan
janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan
kematian janin intrauterin.(2)
3. Vasokonstriksi pembuluh darah
Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac
output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada kehamilan
dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh dengan
cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada
sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan
suatu sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila tidak
terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada dalam syok
kronik. Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif
bahwa preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam darah
yang menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus, selanjutnya
membuat nekrosis berbagai organ. Gambaran patologis pada fungsi beberapa
organ dan sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia,
telah ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat.
Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam
lapisan otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas.
Semua ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian
akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor
(endotelin, tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator
(nitritoksida, prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga
menyebabkan gangguan pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran
endotelial berupa konstituen darah termasuk platelet dan fibrinogen.(2,6)
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada
fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas
efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara

6
simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap
perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme,
serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena
penurunan perfusi uteroplasenta.(6)

E. PERUBAHAN FISIOLOGI PATOLOGIK


Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi.
Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat
endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah
keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie atau
perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang belum berlanjut
hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri.(2,4)
Diaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien
hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien
preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam batas
normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.(2)
Perubahan Kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia
dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata
dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang
secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan
aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.(4)
Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh
pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus
arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi
bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada
preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler dan
merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina ini

7
biasanya disertai kehilangan penglihatan. Selama periode 14 tahun, ditemukan 15
wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan yang
dikemukakan oleh Cunningham (1995).(2)
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan
gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam
retina.(2)
Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia
dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh
kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada
beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan
cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan
tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai
pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati.(2)
Hati
Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas
hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar
aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali
serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Pada
penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan sonografi
Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.(2)
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan
besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada
lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul
hepar dan membentuk hematom subkapsular.(2)
Ginjal
Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat
cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus
menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah
pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan

8
perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat,
terutama pada wanita dengan penyakit berat.(2)
Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan
sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya
volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan
dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus
preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin plasma dapat
meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga
2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan intrinsik ginjal
yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh Pritchard (1984)
dalam Cunningham (2005).(2)
Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan
retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan
bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin
karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat
reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus.
Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi
natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga
retensi air.(2)
Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria.
Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah
melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang
diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1
atau lebih dengan dipstick memperkirakan minimal terdapat 300 mg protein per 24
jam pada 92% kasus. Sebaliknya, proteinuria yang samar (trace) atau negatif
memiliki nilai prediktif negatif hanya 34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick
urin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36%
kasus.(2)
Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas
terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi Filtrasi
yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan

9
pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria. Lee (1987)
dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada
tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan
menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.(2)
Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin,
globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh
glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya
proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi
kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.(2)
Darah
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang
normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan
destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut Baker
(1999) dalam Cunningham (2005). Trombositopenia merupakan kelainan yang
sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/l yang ditemukan pada 15-
20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien preeklampsia
dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level fibrinogen
yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan terlepasnya
plasenta sebelum waktunya (placental abruption).(2)
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan
terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,
peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak
jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi
peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke
normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa
menetap selama seminggu.(2)
Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit
Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron
meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke
kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi,
sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses

10
penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam
darah.(2)
Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida natriuretik
atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan
meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada
normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya resistensi
vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.(2)
Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum
diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang
intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan hematokrit,
peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan berkurangnya volume
plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran darah tepi meningkat. Hal
tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.(2)
Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak
dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya
penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal tidak
mengalami perubahan.(2)
Plasenta dan Uterus
Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi
plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada
hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat
kurangnya oksigenisasi untuk janin.(2)
Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering
terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus
prematurus pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi dua
masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat
mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang
pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis
arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi
malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari lumen

11
vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh darah yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta.(2)

F. KLASIFIKASI
Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan Preeklampsia
Berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists, yaitu:
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih,
atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan
dengan riwayat tekanan darah normal.
Proteinuria kuantitatif 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+ atau
2+ pada urine kateter atau midstream.
2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5
cc/kgBB/jam.
Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium.
Terdapat edema paru dan sianosis
Hemolisis mikroangiopatik
Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)
Gangguan fungsi hati.
Pertumbuhan janin terhambat.
Sindrom HELLP.

G. DIAGNOSIS
Gejala subjektif

12
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-
muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eklampsia).
Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah
meningkat.(7)
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30 mmHg
dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat 140/90 mmHg pada
preeklampsia ringan dan 160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu kita
juga akan menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan kesadaran,
hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, sampai tanda-tanda pendarahan otak.(7)
Penemuan Laboratorium
Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita
preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia
ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu 300 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada
preeklampsia berat kadanya mencapai 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif +3.(7)
Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat
hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi
benang fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat
diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada
preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat
dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan
elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal.(2)

H. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya
preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin

13
dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah
gangguan fungsi organ vital.(8)
1. Preeklampsia Ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan
preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan
aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada
ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga
bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan
volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan
kejadian edema. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi
glomeruli dan meningkatkan dieresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan
ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi
vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah
rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam
rahim.(2,8)
Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi
ginjal masih normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda,
berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet yang
mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah cukup.
Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi
pertumbuhan janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila
komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi
cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein,
rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak
diberikan obat-obat diuretik antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan
laboratorium HB, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal. Apabila
preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan konservatif, maka
dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih
prematur.(2,8)
Rawat inap

14
Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di
rumah sakit ialah a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria
selama 2 minggu b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia
berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan
Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan
amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi
dengan bagian mata, jantung dan lain lain.(8)
Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya
Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu
sampai 37 minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah
mencapai normal, selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.
Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai
terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi
persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara
spontan, bila perlu memperpendek kala II.(8)

2. Preeklampsia Berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat
untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut
sudah diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan
kehamilan.(2)
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada
neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi
plasenta baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress
baik pada saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.(8)
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap
penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan
sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa :
nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan.

15
Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria,
pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG
dan NST.(8)
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan
preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap
penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap
terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi)
setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.(8)
Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang
penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita
preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema
paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi
faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah
hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan
onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring
input cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin)
menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa
jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda
tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan
dapat berupa a) 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah
tetesan:<125cc/jam atau b) infuse dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi
dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.(8)
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria
terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.
Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak
kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet
yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.(8)
Pemberian obat antikejang(8)
MgSO4

16
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding
fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan
897 penderita eklampsia.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium
sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk
antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.
Cara pemberian MgSO4
- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram
im tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah
24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian
magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 %
dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)

17
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan
otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin
sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena
50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman
pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.
Diuretikum
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah
furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan
hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat
janin.
Antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut
off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah 160/110 mmhg dan MAP 126
mmHg.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian
antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik 180 mmHg dan/atau tekanan
diastolik 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu
penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan
mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat
bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak yakni
pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin
(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada
arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output,
sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah
labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat

18
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin
(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan
dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.
Antihipertensi lini pertama
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25g iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25g
iv/kg/5 menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.
Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik
(payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik
(akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia
berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan
ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan
pada sindrom HELLP.
Sikap terhadap kehamilannya
Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
dengan pemberian medikamentosa.
Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm 37 minggu
tanpa disertai tanda tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap

19
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,
kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan
pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan
bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan.
Perawatan aktif
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah
ini, yaitu:
Ibu
1. Umur kehamilan 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
1. Adanya tanda-tanda sindroma HELLP khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat

I. PENCEGAHAN
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda
dini preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia
tersebut. Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi
preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan
yang baik pada ibu hamil.(2)

20
Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang
berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini
yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak duduk
dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan
penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan. Mengenal secara
dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan obat
antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan antenatal
yang baik.(2)

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Pangemanan Wim T. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia. Palembang.


Universitas Sriwijaya. 2002
2. Universitas Sumatra Utara. Hubungan Antara Peeklampsia dengan BBLR.
Sumatera Utara. FK USU. 2009
3. Hartuti Agustina, dkk. Referat Preeklampsia. Purwokerto. Universitas
Jendral Sudirman. 2011
4. Simona Gabriella R. Tugas Obstetri dan Ginekologi, Patofisiologi
Preeklampsia. Maluku. Universitas Pattimura. 2009
5. Dharma Rahajuningsih, Noroyono Wibowo dan Hessyani Raranta.
Disfungsi Endotel pada Preeklampsia. Jakarta. Universitas Indonesia. 2005
6. Anonim. Hipertensi Dalam Kehamilan. (Cited at may, 17 2012)(update on
2005). Available From http://www.scribd.com
7. Universitas Sumatra Utara. Peeklampsia. Sumatera Utara. FK USU. 2007
8. Prawirohardjo Sarwono dkk. Ilmu Kebidanan, Hipertensi Dalam
Kehamilan. Jakarta. PT Bina Pustaka. 2010. Hal : 542-50\
9. Kusumawardhani, dkk. Pre Eklampsia Berat Dengan Syndrom Hellp, Intra
Uterine Fetal Death , Presentasi Bokong, Pada Sekundigravida Hamil
Preterm Belum Dalam Persalinan. Universitas Negri Surakarta. 2009

22

Anda mungkin juga menyukai