Anda di halaman 1dari 15

Referat

SKROFULODERMA

Oleh:

Siti Rokoyah Rezkylia Sakti, S.Ked

04054821719153

Pembimbing:

Dr. dr. Tantawi Djauhari, Sp.KK(K), FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGIDAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUPDR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
SKROFULODERMA

Oleh
Siti Rokoyah Rezkylia Sakti, S.Ked
04054821719153

Pembimbing
Dr. dr. Tantawi Djauhari, Sp.KK(K), FINSDV

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya
Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 24 Juli 2017 28 Agustus 2017.

Palembang, Agustus 2017

Pembimbing,

Dr. dr. Tantawi Djauhari, Sp.KK(K), FINSDV


SKROFULODERMA
Siti Rokoyah Rezkylia Sakti, S.Ked
Pembimbing Dr. dr. Tantawi Djauhari, Sp.KK(K), FINSDV.
Bagian/ Departemen Dermatologi dan Venereologi
FK UNSRI/ RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang
2017

PENDAHULUAN

Tuberkulosis kutis (tb kutis) merupakan salah satu penyakit kulit yang sulit untuk
ditegakkan diagnosisnya terutama bagi ahli kulit di negara-negara berkembang. Hal ini tidak
hanya dikarenakan banyaknya diagnosis banding yang harus dipikirkan namun juga
diakibatkan sulitnya untuk mendapatkan konfirmasi mikrobiologi untuk kasus ini.1 Secara
garis besar terdapat empat kategori dari tb kutis yaitu inokulasi dari faktor eksogen (inokulasi
tb primer dan tuberkulosis verukosa kutis), penyebaran secara endogen (skrofuloderma) atau
yang dikenal sebagai autoinokulasi (tuberkulosis kutis orifisialis), penyebaran secara
hematogen (lupus vulgaris, tuberkulosis miliaris akut dan tuberkulosis ulkus, guma atau
abses) dan tuberkulid (eritema induratum [Bazins disease], tuberkulid papulonekrotik, dan
liken skrofulosorum).2
Skrofuloderma merupakan bentuk tertua tb kutis yang disebutkan dalam literatur
kedokteran dan dikenal sebagai the kings evil. Skrofuloderma adalah bentuk tb kutis tersering
di negara berkembang dan sebagian eropa. Penyakit ini menyerang semua usia mulai dari
anak-anak, dewasa muda hingga orang tua.1 Skrofuloderma merupakan hasil penjalaran
secara perkontinuitatum dari organ di bawah kulit yang menjadi fokus tuberkulosis. Biasanya
berupa kelenjar limfe, tulang atau sendi, kelenjar lakrimalis dan duktus yang terinfeksi tb
sebelumnya. Pada sebuah laporan kasus yang melibatkan dua puluh tiga pasien dengan
skrofuloderma, didapatkan hasil skrofuloderma yang terjadi berasal dari nodus limfe servikal,
lalu diikuti oleh aksila, inguinal, epitroklear, retroaurikular, tibia dan fibula. Wajah, leher dan
dinding dada adalah tempat predileksi utama lesi dari skrofuloderma.1,3
Penegakan diagnosis skrofuloderma dibangun berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis skrofuloderma awalnya ditandai dengan
limfadenitis tuberkulosis, lalu timbul nodul subkutan, likuifaksi hingga terbentuknya jaringan
parut.5. Pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) menjadi pilihan utama terapi
skrofuloderma disamping terapi pembedahan.1
Walaupun skrofuloderma merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri, namun
dikarenakan tingginya insidensi penyakit ini dan kemungkinan timbulnya jaringan parut yang
3
dikenal sebagai typical cord-like scars, maka penulis tertarik untuk membahas skrofuloderma
pada referat ini.

DEFINISI
Skrofuloderma atau yang dikenal sebagai Tuberculosis colliquativa cutis adalah
tuberkulosis subkutan yang mengarah pada pembentukan abses dingin dan kehancuran
sekunder dari kulit di atasnya. Hal ini terjadi akibat penjalaran langsung dari suatu organ
bawah kulit yang mengandung kuman tb dan meluas melalui dermis, contohnya limfadenitis
tb, tb tulang dan sendi, atau epididimitis tb.2,5

Gambar 1. Skrofuloderma: terdapat underlying limfadenopati tb servikal. Bentuk karakteristik skar yang
berlipat/berkerut.1

EPIDEMIOLOGI
Infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis hanya sekitar 5-10% yang menunjukkan
manifestasi klinis. Bakteri ini memiliki distribusi di seluruh dunia, lebih umum di daerah
dengan iklim dingin dan lembab, tetapi juga dapat terjadi di daerah tropis.4 Kini skofuloderma
paling sering terdapat pada anak-anak dan imigran dewasa dari negara-negara berkembang.
Konsumsi susu yang belum dipasteurisasi dan mengandung Mycobacterium bovis adalah
penyebab umum terjadinya skrofuloderma di negara berkembang.6 Prevalensinya lebih tinggi
pada anak, remaja, dan orang tua.1,5

ETIOPATOGENESIS
Skrofuloderma diakibatkan kuman tb yang secara langsung menginvasi kulit (ekstensi
dari suatu fokus tuberkulosis ke jaringan luar sehingga menimbulkan kerusakan jaringan kulit
dan luka terbuka).5 Mycobacterium tuberkulosis merupakan penyebab utama dari
skrofuloderma. Bakteri ini adalah bakteri aerobik, non motil, tahan terhadap asam dan alkohol
yang dibungkus oleh senyawa lipid kompleks sehingga membuat bakteri ini resisten terhadap
4
degradasi setelah fagositosit. Mycobacterium scrofulaceum, Mycobacterium bovis,
Mycobacterium avium, dan vaksin yang mengandung Bacillus Calmette Guerin (BCG) juga
merupakan etiologi lain dari skrofuloderma.5
Skrofuloderma timbul akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah kulit
yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar getah bening,
juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya pada tempat-
tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening superfisialis, yang tersering pada leher,
kemudian disusul di ketiak dan yang terjarang di lipatan paha.6
Porte dentree skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika di ketiak
maka kemungkinan porte dentree pada apeks pleura, jika dilipat paha pada ekstremitas
bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang sekaligus, yakni pada leher,
ketiak dan lipat paha. Pada kejadian tersebut kemungkinan besar terjadi penyebaran secara
hematogen.6
Kelenjar limfe yang terinfeksi tuberkulosis akan mengalami adenitis, kemudian
periadenitis. Akibatnya satu kelenjar dengan kelenjar lain yang bersamaan terinfeksi dapat
bergabung menyebabkan perlengketan kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kelenjar-
kelenjar tersebut akan melunak membentuk abses, lalu membentuk fistula dan ulkus ke
permukaan kulit secara per kontinuitatum. Sifat khas ulkus berbentuk linier atau ireguler
dengan terowongan dibawahnya, daerah sekitar berwarna merah kebiru-biruan, dasar jaringan
yang bergranulasi, dan teraba lunak. Dapat pula terbentuk jaringan parut menghubungkan
daerah yang mengalami ulserasi atau bahkan kulit normal. Kadang-kadang di atas sikatriks
(jaringan parut) tersebut terdapat jembatan kulit (skin brigde).6

Tes Tuberkulin
Dasar dari tes tuberkulin adalah respon imun termediasi sel terhadap protein
tuberkulin atau respon terhadap M.tuberkulosis. Tes ini hanya berguna bila pasien memiliki
sistem imun yang utuh terhadap protein tuberkulin. Hasil tes akan positif antara 2 sampai 10
minggu setelah infeksi dan tetap positif setelah bertahun-tahun. Biasanya dengan cara
menyuntikkan Purified Protein Derivative (PPD) 0.1 cc intrakutan dengan kekuatan 5
tuberkulin unit (TU). Bila hasil positif [indurasi 10 mm atau lebih, untuk pasien Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif 5 mm], berarti sedang atau pernah mengalami infeksi
M.tuberkulosis, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya.2 Menurut
Ramos-e-silva dkk, hasil tes tuberkulin biasanya positif pada penderita skrofuloderma.5

5
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG)
BCG merupakan basil M. bovis yang telah dilemahkan yang digunakan di penjuru
dunia untuk meningkatkan imunitas terhadap tuberkulosis. Vaksinasi ini diberikan hanya pada
pasien dengan hasil tes tuberkulin yang negatif. Sekali pasien divaksinasi, maka tes
tuberkulinnya akan memberikan hasil yang positif dan bertahan dalam jangka waktu yang
cukup lama. Tingkat efektivitas vaksinasi ini juga akan menurun seiring dengan penambahan
usia.4
Komplikasi dari vaksinasi BCG jarang ditemukan. Dostrowsky dkk melaporkan hanya
27 pasien dari 200.000 pasien yang mendapatkan vaksinasi yang mengalami reaksi pada
kulit.2 Casanova et al dalam pustaka lain menyebutkan, dari survei yang dilakukan di Perancis
tahun 1974 dan 1994 didapatkan prevalensi komplikasi dari vaksin BCG adalah sebesar 0.59
tiap 1.000.000 kasus dari total pasien yang mendapatkan vaksinasi. Walaupun terdapat data
jumlah keterjadian komplikasi vaksinasi BCG yang berbeda di berbagai sentra kesehatan,
rata-rata komplikasi lokal yang terjadi berkisar antara 0.1-0.5 tiap 1000 vaksinasi, dengan
komplikasi serius kurang dari 1 tiap 1.000.000 vaksinasi.4
Secara umum komplikasi yang timbul akibat vaksinasi BCG dibagi menjadi dua yaitu:
komplikasi infeksi (ulkus dan abses pada tempat suntikan, limfadenitis regional yang berat,
lupus vulgaris, Koch phenomenon-like reaction, lesi jauh seperti penyakit diseminata dan
osteitis) dan komplikasi noninfeksi (reaksi hipersensitivitas seperti eritema nodosum dan
konjungtivitis pliktenular, dan reaksi imun lainnya keloid, liken skrofulosorum, urtikaria,
eritema multiform, eksema, dan erupsi makula simpel).4

GAMBARAN KLINIS
Skrofuloderma paling sering timbul di regio parotid, submandibula, dan
supraklavicula, serta di leher sebelah lateral. Hal ini diduga merupakan penjalaran dari
kelenjar getah bening (KGB) servikal, sedangkan lokasi lain yang cukup sering adalah aksila
dan inguinal.5
Skrofuloderma diawali dengan limfadenitis tuberkulosis, setelah berbulan-bulan,
liquifaksi dan perforasi terjadi, membentuk ulkus dan sinus. Karakteristik ulkus yaitu bentuk
memanjang, serpiginosa, tidak teratur, dengan dasar yang cekung, sekitarnya berwarna merah
kebiru-biruan (livid), menggaung, lunak dengan dasar jaringan granulasi tertutup pus
seropurulen. Terdapat saluran-saluran sinusoid di bawah kulit.5

6
Gambar 2. Skrofuloderma pada regio klavikula: abses, ulkus, dan ekstrusi purulen dan perkijuan. 5

Gambar 3. Skrofuloderma pada regio aksila: plak dan nodul dengan ulkus sentral yang mengakibatkan skar dan
retraksi.4

Saluran sinusoid yang terbentuk dapat berhubungan langsung dengan area infeksi
organ dalam, atau membentuk saluran menuju fokus primer infeksi terutama di leher, dinding
dada, dan pelvis. Kadang-kadang terbentuk cordlike scars atau jaringan parut. Jaringan parut
ini menghubungkan area ulseratif atau bahkan menarik kulit normal dengan proses
penyembuhannya memakan waktu yang lama.4

DIAGNOSIS BANDING
Skrofuloderma didiagnosis banding dengan limfadenitis Mycobacterium avium-intraselular,
infeksi Mycobacterium scrofuloderma, guma sifilis, sporotrikosis, aktinomikosis, bentuk-
bentuk berat dari akne konglobata, dan hidradenitis supurativa.2,5
Limfadenitis M. Avium intracellulare dan infeksi M. Scrofuloderma dapat dibedakan
melalui pemeriksaan biakan bakteri. Jika didaerah aksila, dibedakan dengan hidradenitis
supurativa, yakni infeksi oleh piokokus pada daerah apokrin. Penyakit tersebut sering

7
didahului oleh trauma/mikrotrauma, misalnya banyak keringat, pemakaian deodorant, atau
rambut ketiak digunting. Hidradenitis supurativa bersifat akut disertai tanda-tanda radang
akut yang jelas, terdapat gejala konstitusi, dan leukositosis.
Skrofuloderma di daerah inguinal kadang-kadang mirip penyakit venerik yaitu
limfogranuloma venereum. Perbedaan yang penting adalah pada limfogranuloma venereum
terdapat tersangka senggama pada anamnesis, disertai gejala konstitusi (demam, malaise,
artralgia), dan terdapat tanda radang akut. Lokalisasinya juga berbeda, pada limfogranuloma
venereum yang diserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial dan perineal,
sedangkan pada skrofuloderma menyerang kelenjar getah bening inguinal lateral dan femoral.
Pada stadium lanjut, pada limfogranuloma venereum terdapat gejala bubo bertingkat yang
berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fossa iliaca.
Skrofuloderma di daerah ektremitas harus dibedakan dengan sporotrikosis. Biasanya
pada sporotrikosis timbulnya nodul subkutan disertai dengan tanda-tanda radang, terdapat
indurasi, dan penyebarannya khas limfogen proksimal sesuai dengan perjalanan pembuluh
getah bening. Pada pembiakkan akan ditemukan jamur penyebabnya. Uji tuberkulin biasanya
negatif. 5

DIAGNOSIS
Skrofuloderma ditegakkan diagnosisnya berdasarkan beberapa hal berikut:
1. Anamnesis
Riwayat tinggal di daerah endemis tuberkulosis.
Riwayat terpapar tuberkulosis dari orang sekitar penderita (rumah, sekolah,
tempat kerja, dan lain-lain).
Riwayat mendapatkan pengobatan tuberkulosis sebelumnya.
Riwayat penyakit sistemik yang meningkatkan faktor resiko infeksi tuberkulosis.
Riwayat keluhan mengarah pada tanda tuberkulosis pada penderita, misalnya:
batuk lama, berkeringat banyak di malam hari, nafsu makan menurun, kelainan
miksi, dan lain-lain.7
2. Pemeriksaan fisik
Pembesaran kelenjar getah bening
Abses dan multipel sinus
Ulkus yang khas
Jaringan parut

8
Jembatan kulit (skin bridge)3,5
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis pada posisi posterior-anterior.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mencari fokal infeksi terutama yang berasal
dari paru.
Pemeriksaan bakteriologik.
Pemeriksaan bakteriologik yang dimaksud adalah pemeriksaan basil tahan
asam (BTA) dengan pengecatan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap bahan yang
diambil dari dasar ulkus dan biakan pada media Lowenstein Jensen atau
inokulasi pada marmut. Pada penderita dengan skrofuloderma, hasil
pemeriksaan BTA akan ditemukan adanya bakteri penyebab skrofuloderma,
misal Mycobacterium tuberculosis.

Gambar 4. Pewarnaan Ziehl-Neelsen: kelompok kecil basil tahan asam, merah, pada tengah lapangan pandang.8

Pemeriksaan laboratorium darah


Hasil umumnya menunjukkan peningkatan laju endap darah (LED).
Pemeriksaan histopatologi
Saluran sinusoid pada skrofuloderma menunjukkan adanya inflamasi akut dan
kronik yang bersifat nonspesifik. Bagian tengah lesi didominasi oleh nekrosis
masif dan pembentukan abses.4 Namun, bagian perifer dari abses atau batas-
batas sinus mengandung granuloma tuberkuloid.5 Nekrosis perkijuan dengan
bakteri dalam jumlah besar ditemukan pada struktur kulit yang lebih dalam.
Basil tb dapat diisolasi dengan mudah melalui pus.3

9
Gambar 4. Skrofuloderma: tampak abses dikelilingi infiltrat predominan histiosit. 8

Tes tuberkulin.
Biasanya hasilnya positif.
Biakan dari bahan yang berasal dari lesi atau ulkus.
Dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37C. Jika
positif, koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu, artinya kuman tuberkulosis.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan umum yang utama adalah mencari penyebab infeksi tinea kapitis dan
memberikanedukasi kepada pasien agar tidak menggunakan sisir, sikat rambut, topi,handuk,
dan sarung bantal bersama-sama. Mencuci barang-barang, seperti sisir rambut, sikat rambut,
handuk, pakaian, dan sarung bantal pasien dengan air panas dan sabun.Memberikan edukasi
ke pasien bahwa rambut akan tumbuh kembali secara perlahan, sekitar 3-6 bulan. Bila ada
kerion dapat terjadi beberapa sikatrik dan alopesia permanen.1,3,14

Penatalaksanaan Khusus
Penatalaksanaan tb kutis terdiri dari pemberian regimen obat multipel dengan durasi
yang panjang dan terapi bedah ditujukan tidak hanya untuk membunuh mikroorganisme yang
menjadi etiologi tetapi juga untuk mencegah resistensi strain bakteri tertentu terhadap obat
dan timbulnya rekurensi.
Tata laksana tb kutis sama dengan tb sistemik. Hal ini dikarenakan jumlah bakteri
penyebab tb kutis jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tb sistemik.7 Tb kutis, termasuk
skrofuloderma, tergolong tb ekstra paru ringan yang mendapat pengobatan tb kategori III.

10
Centers for disease control and prevention (CDC) merekomendasikan kemoterapi tb kutis
menjadi 2 fase terdiri dari:
Fase inisial
Fase ini meliputi pemberian dosis harian regimen obat antituberkulosis (OAT);
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 8 minggu. Terapi fase inisial
dimaksudkan untuk memusnahkan bakteri penyebab tb kutis.7

Fase lanjutan
Fase ini diberikan regimen obat isoniazid dan rifampisin dosis harian, sebanyak 2-
3xseminggu selama 16 minggu. Terapi pada fase ini ditujukan untuk mengeliminasi
sisa bakteri yang menjadi etiologi tb kutis.7

Tabel 1. Paduan OAT Kategori III7

Tablet Tablet Tablet Tablet


Tahap Lama Jumlah kali
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
pengobatan pengobatan minum obat
(5mg/kgbb) (10mg/kgbb) (25mg/kgbb) (18mg/kgbb)
Tahap inisial
(dosis 8 minggu 1 1 3 1 60
harian)
1
Tahap 2
Dosis:
lanjutan
18 minggu Dosis: - - 54
(dosis
10mg/kgbb
3xseminggu) 10mg/kgbb

Penatalaksanaan lebih lanjut juga harus dilakukan pada infeksi tb di organ lain seperti
tulang, kelenjar dan paru yang menjadi fokus infeksi skrofuloderma. Regimen pengobatan
yang diberikan didasarkan pada kriteria WHO adalah sebagai berikut:
OAT kategori I
OAT kategori I diindikasikan pada penderita baru BTA positif, penderita baru
dengan BTA negatif dengan kelainan radiologis yang luas dan penderita tb
ekstraparu berat misalnya tb ginjal, tb milier, meningitis tb, peritonitis tb,

11
perikarditis tb, efusi pleura bilateral, osteomielitis dan spondilitis. Regimen
pengobatan terdiri dari pemberian Isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol
(2HRZE/ 4H3R3).
OAT kategori I disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (KDT)
dan bentuk kombipak, yaitu paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifamfisin,
pirazinamid, dan etambutol dalam kemasan blister.14

Tabel 1.1 Paduan OAT KDT kategori I9


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu
Berat badan RHZE selama 16 minggu
(150mg/75mg/400mg/275mg) RH (150mg/150mg)
30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 1.2 Paduan OAT kombipak kategori I


Dosis per hari/kali
Jumlah
Tahap Lama INH Rifamfisin Pirazinamid Etambutol
minum
terapi terapi (5mg/kg) (10mg/kg) (25mg/kg) (15mg/kg)
obat
@300mg @450mg @500mg @250mg
Inisial 8 minggu 1 1 3 3 56
Lanjutan 16 2 1 - - 48
minggu (10mg/kg) (10mg/kg)

OAT kategori II
OAT kategori II diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan pengobatan setelah
lalai. Regimen OAT kategori II juga tersedia dalam bentuk KDT dan kombipak,
terdiri dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, sterptomisin dan etambutol
(2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3).9

Tabel 2.1 Paduan OAT KDT kategori II9


Tahap Intensif tiap hari
RHZE (150mg/75mg/400mg/275mg) + Tahap Lanjutan
12
S 3 kali seminggu
RH (150mg/150mg) +
Berat badan Selama 56 hari Selama 28
hari E(400mg)

30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT


+ 500 mg + 2 tab Etambutol
Streptomisin inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg + 3 tab Etambutol
Streptomisin inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT

Tabel 2.2 Paduan OAT kombipak kategori II9


Tahap Lama INH Rifamfisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin Jumlah
terapi terapi (5mg/kg) (10mg/kg) (25mg/kgbb) Tab Tab injeksi minum
@300mg @450mg @500mg 250mg 400mg obat
Inisial 8 1 1 3 3 - 56
minggu 0,75gr
4 1 1 3 3 28
minggu
Lanjutan 20 2 1 - - - - 60
minggu Dosis: Dosis :
10mg/kg 10mg/kg

Penatalaksanaan operatif yakni eksisi dapat membantu menangani skrofuloderma


karena dapat mengurangi morbiditas.5

PROGNOSIS
Penyembuhan spontan pada skrofuloderma dapat terjadi, namun ini terjadi secara amat
lambat dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum lesi digantikan sepenuhnya
oleh jaringan parut.5 Keberadaan infeksi tb pada organ lain seperti tulang, kelenjar, dan paru
juga perlu penatalaksanaan lebih lanjut.3

KESIMPULAN
Skrofuloderma adalah tuberkulosis subkutis yang menyebabkan pembentukan abses
dingin dan kerusakan sekunder kulit di atasnya. Penyebab skrofuloderma adalah penyebaran
kuman dari suatu fokus infeksi ke jaringan luar sehinga menimbulkan kerusakan kulit. Kuman

13
penyebab skrofuloderma antara lain Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium
scrofuloderma, Mycobacterium bovis dan Mycobacterium avium. Manifestasi klinis
skrofuloderma bervariasi bergantung pada lamanya penyakit. Jika penyakitnya telah
menahun, maka gambaran klinisnya lengkap, artinya terdapat semua kelainan yang telah
disebutkan. Bila penyakitnya belum menahun, maka sikatriks dan jembatan kulit belum
terbentuk. Skrofuloderma sering terjadi pada daerah parotis, submandibula, dan
supraklavikula dan mungkin bilateral. Untuk mendiagnosis skrofuloderma dengan anamnesis
dan pemeriksaan klinis yang dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Baku emas untuk
diagnosis tuberkulosis kutis adalah pemeriksaan biakan. Skrofuloderma, termasuk TB ekstra
paru yang terapinya adalah paduan obat anti tuberkulosis (OAT) kategori-1 yang digunakan di
Indonesia.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Bravo FG. Cutaneous tuberculosis. Clin Dermatol. 2007; 25:173-180.


2. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology.
12th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p.319-325.
3. Yates VM. Mycobacterial infection. In: Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C,
eds.Rooks Textbook of Dermatology Volume 2. 8th ed. London: Wiley-Blackwell; 2010.
p.1427-67.
4. Ramos-e-Silva M, Ribeiro-de-Castro MC. Mycobacterial infections. In: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Schaffer JV, eds. Dermatology Volume 1. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier; 2012.
p.1221-41.
5. Sethi A. Tuberculosis and infections with atypical mycobacteria. In: Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchress BA, Paller AS, Lefel DJ, Wolff K, eds. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine Volume 2. 8th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2012. p.2225-41
6. Barbagallo J, Tager P, Ingleton R, J Hirsch R, M Weinberg J. Cutaneous tuberculosis,
diagnosis and treatment. Am J of Clin Derm 2002; 3 (5): 319-28.
7. S Meltzer M, A Nasy, C. Cutaneus tuberculosis. Available from: URL
http://www.emedicine.com/cutaneustuberculosis. Diakses tanggal: 10 Agustus 2017 pukul
20.15 wib.
8. McKee PH, Calonje E, Granter SR. Tuberculosis. In: McKee PH. Pathology of The Skin
with Clinical Correlations. 3th ed. China: Elsevier Mosby, 2005.
9. Aditama YT, Kamso S, Basri C, Surya A. Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis.
Ed 2. Jakarta: Departemen kesehatan republik indonesia. 2007: 20-3.
10. Cassanova dkk. 1974. Vaksin BCG
11. Dostrowsky dkk. vaksin bcg reaksi kulit

15

Anda mungkin juga menyukai