Anda di halaman 1dari 11

IV.

FLAVONOID DAN OKSIDASI LIPOPROTEIN

Lipoprotein menjadi populer untuk mempelajari efek antioksidan. Salah satu


alasannya adalah diet jangka pendek dapat meningkatkan nilai oksidasi lipoprotein.
Alasan lain yaitu oksidasi lipoprotein berkaitan dengan masalah utama kesehatan
manusia, atherolsklerosis. Dalam peneliian, oksidasi diteliti oleh ex vivo (oksidasi
dimulai setelah pengambilan lipoprotein dari subyek). Selain itu, variasi donor
lipoprotein, seperti variasi kandungan lipid hidroperoksida, hal ini diasumsikan dapat
mempengaruhi data oksidasi. Pada umunya, penelitian ditujukan untuk menguji
oksidasi LDL (Low Density Lipoprotein), namun beberapa penelitian juga meneliti
kombinasi antara LDL dan VLDL (Very Low Density Lipoprotein).

Oksidasi lipoprotein berguna untuk penelitian flavanoid. Untuk satu hal,


oksidasi lipoprotein dan asupan flavonoid berhubungan dengan penyakit jantung.
Selain itu banyak flavonoid merupakan inhibitor kuat dari oksodasi lipoprotein ketika
ditambahkan kedalam lipoprotein in vitro. Penelitian in vitro telah memulai oksidasi
dalam berbagai variasi cara (ion logam, reaksi kimia organik, dan inisiasi sel).

Hasil dari penelitin tentang flavonoid dan oksidasi lipoprotein sangat bervariasi.
Beberapa menimbulkan efek dan bebeapa tidak. Beberapa variabilitas mungkin
diakibatkan oleh perbedaan rancangan penelitian. Perbedaan ini ditulis dalam tabel
8.5. Faktor pertama yaitu perbedaan jenis flavonoid, ini menjadi sangat penting, tapi
tidak menjawab secara keseluruhan. Misalnya, sebuah penelitian flavonoid pada teh
memiliki efek pada oksidasi LDL, sementara yang lain tidak.

Faktor B pada 8.5 yaitu keseluruhan makan vs konsentrat flavonoid,


menimbulkan dua hipotesis. Pertama, kombinasi dari bahan makanan utuh mungkin
lebih efektif daripada flavanoid tunggal, atau bahkan hanya fraksi flavonoid dalam
makanan (vitamin C dengan flavonoid mungkin lebih efektif dari pada hanya salah
satunya). Dua, penyerapan dan metabolisme flavonoid mungkin bergantung pada
komponen makanan lain. Sebagai contoh, alkohol dalam anggur merah membuat
flavonoid lebih aktiv secara biologi dari pada tanpa alkohol.
Faktor selanjutnya, latar belakang diet dari subyek, mungkin penting untuk
meningkatkan atau membatasi dampak intervensi flavonoid. Misalnya, asupan
flavonoid yang sangat rendah membuat efek flavonoid lebih terasa. Namun, asupan
flavonoid yang rendah tidak menjamin efekya pada oksidasi lipoprotein. Laboratorium
kami menguji gagasan ini pada tikus, di mana kondisi diet lebih mudah dikendalikan
dibanding dengan manusia. Dalam penelitian ini, flavonoid rendah, semipurified diet
diberi makan selama 45 hari, setengah dari jumlah tikus mencerna katekin dalam air
minum sebanyak 2,1 g/L (Studi yang tidak dipublikasikan). Meskipun katekin
meningkatkan TAS, namun tidak berdampak pada waktu jeda oksidasi atau laju
propagasi LDL + VLDL.

Satu pertanyaan tentang letak flavonoid dan oksidasi lipoprotein, apakah


minimum konsentrasi flavonoid dalam plasma diperlukan untuk mempengaruhi
oksidasi lipoprotein ? Jelas,jawabannya mungkin berbeda dengan jenis flavonoid.
Namun, terlepas dari masalah ini, pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Satu
masalahnya adalah banyak metodologi pengukuran flavonoid dan metabolitnya dalam
plasma baru saja muncul. Meskipun demikian, hal itu telah ditentang bahwa
konsentrasi flavonoid yang sering digunakan untuk mempelajari oksidasi lipoprotein
secara in vitro terlalu tinggi untuk diterapkan pada kebanyakan situasi manusia.

Ini mungkin benar dalam beberapa kasus, tapi tidak pada kasus lain.
Laboratorium kami mempertimbangkan masalah ini untuk dosis tinggi, suplemen
kuersetin, suplementasi flavonoid kompleks pada pohon jeruk untuk wanita dengan
diabetes tipe II. Pengobatan 3 minggu tidak mengubah waktu jeda oksidasi atau laju
propagasi oksidasi LDL + VLDL. Penilaian sederhana senyawa seperti kuersetin
dalam plasma menunjukkan bahwa suplementasi dapat meningkatkan kadar plasma
serupa dengan ion tembaga yang smenghambat oksidasi LDL + VLDL secara in vitro.
Sebaliknya, dalam penelitian lain, konsumsi teh memang mempengaruhi oksidasi LDL
Ex vivo meskipun flavonoid katekin menurunkan kadar plasma dengan menghambat
oksidasi LDL in vitro. Dengan demikian, perbedaan antara konsentrasi flavonoid
dalam plasma dan yang digunakan untuk mengumpulkan data in vitro tidak dapat
menjelaskan semua perbedaan hasil penelitian oksidasi lipoprotein.

Masalah lain adalah seberapa banyak flavonoid ada dalam plasma, setelah
dicerna oleh mulut, lipoprotein tetap pada isolasi sebelum memulai oksidasi in vitro.
Jelas, saat flavonoid ditambahkan langsung ke isolasi lipoprotein untuk mempelajari
oksidasi in vitro, semua flavonoid yang ditambahkan ada selama penilaian oksidasi.
Di sisi lain, ini belum tentu benar untuk flavonoid yang tertelan. Dengan demikian,
flavonoid yang berbeda dapat terbentuk secara berbeda selama oksidasi lipoprotein.
Ini bisa menjadi sangat penting dalam menentukan bagaimana perbedaan jenis
flavonoid yang dikonsumsi dapat mempengaruhi hasil oksidasi lipoprotein.

Namun, ini mungkin tidak selalu terjadi. Flavonoid yang tertelan mungkin tidak
selalu bersama dengan lipoprotein setelah isolasi untuk mempengaruhi data oksidasi
yang didapat ex vivo. Pertimbangan penting di sini adalah bahwa lipid hydroperoxide
yang ada di dalam lipoprotein mempengaruhi oksidasi yang diukur ex vivo. Variabel
ini tergantung pada proses yang terjadi secara in vivo. Proses ini bisa dipengaruhi
oleh antioksidan yang tidak mengisolasi lipoprotein setelah darah diambil. Misalnya
flavonoid bisa mengambil radikal bebas in vivo sebelum mereka mencapai lipoprotein
untuk menghasilkan lipid hydroperoxide. Flavonoid juga bisa menurunkan kadar
sekresi fagosit radikal yang menghasilkan lipid hydroperoxide dalam lipoprotein.
Beberapa data secara langsung mendukung gagasan bahwa flavonoid tidak harus
selalu berasama dengan lipoprotein terisolasi untuk mempengaruhi data oksidasi
yang didapat ex vivo. Contoh yang utama yaitu mengkonsumsi isoflavon kedelai dapat
menghambat oksidasi LDL ex vivo meski kandungan isoflavon rendah dalam LDL
yang terisolasi.

V. FAKTA MEKANISME ANTIOKSIDAN KHUSUS FLAVONOID


Bahkan saat bukti menumpuk bahwa flavonoid bisa bertindak sebagai
antioksidan, tidak mudah untuk memutuskan mekanisme tertentu yang penting dari
Tabel 8.1 secara in vivo. Sangat mungkin perbedaan mekanisme yang terlibat dapat
menimbulkan efek flavonoid yang berbeda.

Tidak dapat dipungkiri bahwa mekanisme pertama dari Tabel 8.1, pengambilan
radikal bebas, telah ditunjukkan dengan baik secara in vitro. Ini telah dilakukan dengan
berbagai macam kondisi percobaan. Misalnya, berbagai flavonoid telah menghasilkan
tindakan antioksidan melawan radikal yang dihasilkan dan terdeteksi dalam beberapa
cara. Metode turunan termasuk sistem enzim, reaksi kimia organik nonenzimatik, dan
penggunaan katalis logam. Metode deteksi meliputi resonansi spin elektron langsung
(ESR) yang diukur dari hilangnya radikal bebas, luka pada pembiakan sel dan organel
sel, berkurangnya produksi produk oksidan, dan penghambatan oksidasi molekul
target seperti lipid, lipoprotein, liposom, atau DNA. Flavonoid mampu melakukan
pengambilan radikal secara langsung. Namun, kumpulan data in vitro belum
menyelesaikan tiga pertanyaan penting:

1. Apakah kKonsentrasi flavonoid in vivo mencapai dan mempertahankan nilai


dimana pengambilan akan memiliki dampak besar pada pertahanan
antioksidan?
2. Jika jawaban untuk pertanyaan pertama adalah ya, maka di bagian tubuh apa
hal ini terjadi?
3. Apakah modifikasi metabolik flavonoid mengurangi potensi pengambilan ?

Untuk dua pertanyaan pertama, peningkatan kapasitas antioksidan plasma di


diikuti oleh konsumsi flavonoid, hal ini mendukung gagasan bahwa pengambilan
radikal oleh flavonoid dimungkinkan dilakukan di dalam plasma in vivo. Namun, tetap
harus ditentukan berapa banyak tindakan ini benar-benar terjadi dan berapa banyak
tindakan ini berdampak pada kesehatan. Salah satu kebutuhan dalam penelitian ini
adalah mencari produk oksidasi flavonoid in vivo. Jika flavonoid mengambil radikal,
maka produk flavonoid tertentu akan terbentuk. Awalnya, produk ini diidentifikasi
setelah reaksi yang dilakukan secara in vitro. Lalu, bisa ditentukan apakah produk
yang sama ini bisa ditemukan in vivo. Jika mereka ditemukan, maka ini akan menjadi
bukti bahwa flavonoid mengambil radikal secara in vivo. Untuk pertanyaan terakhir,
aktivitas metabolit, Indikasi awal jawaban "ya" nampaknya benar setidaknya untuk
beberapa metabolit kuersetin. Meski begitu, masih banyak pekerjaan yang harus
dilakukan terkait efek pemulungan flavonoid.

Kemungkinan tindakan antioksidan lain dari flavonoid adalah kemampuan


untuk menekan produksi seluler dari radikal dan prekursornya seperti hidrogen
peroksida. Ini telah ditunjukkan secara in vitro menggunakan fagosit terisolasi atau
organel sel. Namun, tindakan ini lebih sulit dinilai secara in vivo. Salah satu
pengukuran tidak langsung yang relevan dapat diukur dari plasma myeloperoxidase
selama tekanan oksidan. Karena sekresi myeloperoxidase oleh fagosit tertentu dapat
terjadi bersamaan dengan Sekresi superoksida dan hidrogen peroksida, peningkatan
pada myeloperoxidase kadang kala diterangkan untuk menunjukkan peningkatan
produksi superoksida dan peroksida secara in vivo. Sebelumnya penelitian kedelai
dan pergerakan, asupan isoflavon kedelai terbukti mengurangi peningkatan
pergerakan diinduksi dalam myeloperoxidase. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan
untuk mengeksplorasi hubungan yang lebih lengkap antara flavonoid dengan sekresi
radikal dan prekursornya.

Banyak flavonoid memiliki struktur kimia yang memungkinkan pengelupasan


logam transisi, seperti besi dan tembaga, suatu tindakan yang dapat menghambat
pembentukan radikal bebas katalis logam. Penghambatan ini telah ditunjukkan secara
in vitro, sebagian besar secara tidak langsung dengan memeriksa kerusakan oksidan
pada molekul target. Selain itu, beberapa flavonoid telah terbukti melindungi dari
kerusakan akibat zat besi pada sel kultur. Ada juga beberapa penelitian yang
menunjukkan bahwa flavonoid dapat menghambat cedera akibat zat besi pada tikus.
Dalam salah satu penelitian ini, flavonoid tertentu benar-benar mengurangi
konsentrasi radikal yang terdeteksi oleh perangkap spin ESR. Namun, semua hasil ini
menunjukkan bahwa flavonoid sebenarnya mencegah zat besi membentuk radikal
bebas. Sebagai alternatif, hasil ini bisa saja disebabkan oleh flavonoid yang
menghilangkan radikal setelah terbentuk. Di sisi lain, ada satu pengamatan yang
menunjukkan bahwa khelasi besi setidaknya sebagian terlibat dalam perlindungan
terhadap cedera overload besi. Pada hepatosit tikus yang dikulturkan, tiga flavonoid
menunjukkan efek sitoproteksi sebanding dengan kemampuan chelating besi mereka.

Interaksi flavonoid dengan logam bisa memiliki efek antioksidan tambahan


selain menghambat pembentukan radikal katalis logam. Kompleks logam flavonoid
bisa menjadi katalisator yang benar-benar menghilangkan radikal. Contoh dari hal ini
telah ditunjukkan secara in vitro dengan tembaga rutin kompleks. Kompleks ini jauh
lebih kuat daripada rutin itu sendiri dalam menghilangkan radikal superoksida dan
mencegah peroksidasi lipid pada mikrosom hati tikus. Flavonoid lainnya belum diuji
untuk melihat apakah kompleks tembaga mereka dapat bertindak sebagai katalis
antioksidan. Namun, gagasan umum bahwa kompleks tembaga flavonoid dapat
bertindak secara katalitik. Kompleks tembaga-catechin dapat bereaksi secara katalitik
seperti enzim tembaga lysyl oxidase, yang berfungsi dalam pematangan jaringan ikat.
Masih harus dilihat apakah tembaga-flavonoid kompleks dapat bertindak sebagai
katalis in vivo.

Mekanisme antioksidan flavonoid lain yang mungkin adalah eliminasi prekursor


radikal seperti hidrogen peroksida. Beberapa penelitian yang dilakukan secara in vitro
telah menunjukkan bahwa beberapa flavonoid tertentu dapat menghambat oksidasi
biomolisis atau sitotoksisitas sel yang dioksidasi oleh hidrogen peroksida. Namun,
penelitian ini tidak membedakan apakah flavonoid menghilangkan hidrogen peroksida
atau hanya bereaksi dengan produk hidrogen peroksida. Dengan kata lain, flavonoid
mungkin melindungi biomolekul atau sel dengan menghilangkan radikal setelah
terbentuk dari hidrogen peroksida. Namun, dalam penelitian sitotoksisitas sel,
flavonoid tidak dapat diganti dengan vitamin E atau asam ferrulic, yang merupakan
antioksidan yang lebih umum. Terlebih lagi, setidaknya ada dua laporan yang
menunjukkan bahwa flavonoid dapat bereaksi langsung dengan hidrogen peroksida.
Masih tidak pasti apakah reaksi semacam itu dapat menjelaskan efek antioksidan
flavonoid terhadap hidrogen peroksida secara in vitro.

Seperti disebutkan di atas, flavonoid bisa mengerahkan tindakan antioksidan


dengan menghambat aktivitas enzim prooksidan xanthine oxidase. Flavonoid tertentu
pasti melakukan ini secara in vitro. Namun, pentingnya pengamatan ini tetap tidak
jelas. Satu kekhawatiran adalah bahwa konsentrasi flavonoid yang digunakan untuk
menghambat xantin oksidase secara in vitro sangat bervariasi. Beberapa konsentrasi
ini bisa cukup tinggi dibandingkan dengan apa yang mungkin terlihat in vivo. Namun,
penilaian ini saat ini sulit dilakukan. Hanya ada beberapa penelitian tentang
konsentrasi flavonoid plasma, dan ini umumnya hanya berfokus pada flavonoid yang
tertelan. Selain itu, studi ini biasanya tidak memperhitungkan metabolit dari flavonoid
yang dicerna sebelumnya. Selain itu, studi plasma ini tidak memberi wawasan tentang
kemungkinan konsentrasi lokal yang tinggi pada jaringan tertentu.

Masalah lain dengan data penghambatan xanthine oxidase saat ini adalah
bagaimana penghambatan dilakukan. Flavonoid dapat mengendapkan protein secara
in vitro, yang dapat menjelaskan penghambatan aktivitas xanthine oxidase in vitro.
Namun, presipitasi yang sama ini mungkin tidak terjadi secara in vivo. Dalam situasi
yang terakhir, flavonoid dapat mengikat nonspesifik ke banyak makromolekul. Dalam
hal ini, jumlah yang mengikat satu makromolekul tertentu mungkin tidak cukup untuk
menyebabkan presipitasi. Satu penelitian memang memberikan beberapa bukti
bahwa keberadaan protein selain xantin oksidase tidak sepenuhnya menghalangi
penghambatan flavonoid xantin oksidase in vitro. Dalam penelitian ini, penambahan
albumin hanya mencegah penghambatan xanthine oxidase oleh flavonoid tertentu.
Meskipun ini adalah pengamatan yang berguna, diperlukan lebih banyak penelitian
untuk menetapkan pentingnya penghambatan xantin oksidase in vivo oleh flavonoid.

Masalah yang sedikit berbeda yang dapat dibahas yaitu efek flavonoid pada
xanthine oxidase. Enzim ini bisa ada dalam dua bentuk: bentuk dehydrogenase yang
tidak menghasilkan radikal superoksida dan bentuk oksidase yang telah terjadi.
Konversi ke bentuk oksidase dianggap sebagai kontributor terhadap masalah
kesehatan tertentu seperti cedera reperfusi. Suatu penelitian pada tikus menunjukkan
bahwa, beberapa flavonoid menghambat konversi ke bentuk oksidase selama
reperfusi ginjal. Diharapkan pengamatan yang menarik ini akan memacu kerja lain di
bidang ini.

Flavonoid juga dapat bertindak sebagai antioksidan dengan mengangkat


kandungan antioksidan endogen dari tubuh atau dengan mencegah penipisannya
oleh keadaan tekanan tertentu. Sejauh mana flavonoid dapat mempengaruhi
konsentrasi antioksidan endogen belum dicirikan. Kebenaran ini didapat dari sejumlah
perspektif termasuk kumpulan flavonoid yang dapat memberikan efek ini, hubungan
dosis-respon terhadap efek, jangkauan lokasi tubuh yang dapat terpengaruh, dan
keadaan dimana efek akan terjadi. Salah satu contoh interaksi antioksidan flavonoid-
endogen melibatkan enzim antioksidan superoksida dismutase I. Sebuah makalah
yang diterbitkan menunjukkan bahwa pada tikus, dimasukkannya teh hijau ke dalam
air minum meningkatkan tingkat kolonida superoksida dismutase 1, yang juga disebut
Cu-Zn SOD. Kenaikan ini dilaporkan berdasarkan pewarnaan imunohistokimia.
Laboratorium kami telah mendapatkan hasil yang serupa untuk aktivitas SOD Cu-Zn
pada tikus dengan menggunakan versi sintetis katekin flavonoid teh hijau (Gambar
8.1). Menariknya, efek ini terlihat saat Tikus diberi makan makanan tipe campuran,
tapi tidak dengan diet semipurified. Bila efeknya terlihat, itu adalah jaringan spesifik.
Di pankreas, respons yang lebih kecil terlihat dibandingkan dengan usus besar, dan
tidak ada respon yang terlihat di hati atau paru-paru (data yang tidak dipublikasikan).
Pada penelitian lain, sedikit efek pada aktivitas SOD hati dilaporkan memberi nutrisi
pada salah satu dari tiga flavonoid pada tikus. Kurangnya efek ini terjadi meski terjadi
depresi peroksidasi lipid hati. Demikian pula, pengobatan bolus quercetin membatasi
cedera mukosa lambung akibat etanol tanpa mengubah aktivitas SOD mukosa.

Silymarin flavonoid telah dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas SOD 1


limfosit. Seri dari penelitian telah dilakukan dengan silymarin dalam kaitannya dengan
SOD Cu-Zn pada eritrosit dan limfosit dari pasien dengan sirosis alkoholik di Hongaria.
Konsumsi alkohol menyebabkan rendahnya aktivitas SOD Cu-Zn dan nilai protein
dalam limfosit dan eritrosit. Efek umum yang sama juga dicapai dengan menginkubasi
silymarin dengan jenis sel yang sama secara in vitro. Namun, kurangnya data tindakan
silymarin secara in vivo pada tipe orang lain (yaitu, subyek sehat). Mungkin, efeknya
pada pasien dengan sirosis mewakili perlindungan integritas sel protein secara umum
dan bukan spesifik induksi SOD 1.
Beberapa flavonoid mungkin dapat mencegah inaktivasi SOD I di tempat tubuh
tertentu selama tekanan oksidan, namun tidak berpengaruh pada aktivitas dalam
keadaan normal. Contoh dari ini terlihat untuk catechin dan tparu tikus SOD. penelitian
ini melaporkan bahwa bolus administrasi katekin mencegah penurunan aktivitas SOD
paru pada tikus yang diobati dengan stimulan stimulan dietilmaleat, namun tidak
mempengaruhi nilai SOD pratekan

. Flavonoid juga bisa mempengaruhi konsentrasi antioksidan glutathione.


Dalam penelitian hewan pengerat, ada spesifisitas yang cukup besar untuk jenis dan
jaringan flavonoid. Sejumlah flavonoid berbeda dilaporkan dapat meningkatkan
konsentrasi glutathione gastrointestinal atau untuk mencegahnya penipisan oleh
inflamasi. Beberapa jaringan hewan pengerat lainnya juga merespons asupan
flavonoid dengan kandungan glutathione yang meningkat atau perlindungan terhadap
deplesi akibat tekanan. Namun, satu penelitian menunjukkan bahwa silymarin
flavonoid tidak meningkatkan glutathione ginjal, paru-paru, atau limpa meski kadar
meningkat di usus, hati, dan perut. Sebaliknya, laboratorium kami telah menemukan
bahwa konsumsi kronis katekin sintetis tidak berdampak pada kandungan glutathione
hati tapi hampir menggandakan nilai pada paru-paru (hasil yang tidak dipublikasikan).
Efek paru-paru ini tampaknya memiliki perlindungan. Seperti ditunjukkan pada
Gambar 8.2, konsumsi catechin sebagian dilindungi terhadap peroksidasi lipid paru-
paru yang disebabkan oleh dietilmaleat, bahan kimia yang mengurangi glutathioneI
paru-paru. Sbaliknya, pada tikus, pemberian dua flavonoid tidak menghalangi
penipisan kulit glutathione yang disebabkan oleh belerang mustard, tapi tetap saja
menghalangi peroksidasi lipid.
Telah ada pemeriksaan efek sporadis flavonoid pada enzim antioksidan
glutathione peroxidase dan glutathione reductase. Kedua aktivitas tersebut meningkat
pada kulit tikus dengan genom isoflavon. Aktivitas enzim reduktase juga meningkat di
usus. Paper lain juga melaporkan adanya peningkatan aktivitas enzim dalam hati tikus
yang diberi isoflavone-containing isolat protein kedelai. Dalam penelitian lain,
konsumsi ekstrak teh hijau oleh tikus menghasilkan aktivitas cukup tinggi untuk
glutathione reduktase hati dan aktivitas yang sangat tinggi untuk glutathione
peroksidase dalam tiga jaringan. Pada manusia, plasma glutathione peroxidase
meningkat setelah mengkonsumsi jus kuersetin selama 10 hari. Namun, harus diakui
bahwa pada penelitian ini, dan juga dengan teh hijau atau protein kedelai, efeknya
mungkin tidak tergantung hanya pada flavonoid, tapi mungkin juga melibatkan
komponen makanan lainnya. Di sisi lain, konsumsi kuersetin murni oleh tikus
meningkatkan aktivitas mukosa lambung glutathione peroxidase. Selain itu, pada
tikus, pengobatan akut dengan kombinasi dua flavonoid mencegah aktivitas penipisan
glutathione peroxidase jantung oleh obat kemoterapi adriamycin. Studi ini dan yang
lain dicatat dalam paragraf ini menunjukkan bahwa flavonoid dapat mempengaruhi
peroksidase glutathione dan aktivitas reduktase. Meskipun demikian, masih ada celah
informasi yang besar mengenai apa dampak perlakuan terhadap flavonoid dan sejauh
mana akan berpengaruh terhadap tubuh. Hal ini terutama berlaku dari perspektif
penelitian manusia.

Ada beberapa penelitian tentang flavonoid dan katalase, enzim antioksidan


lainnya. Beberapa laporan ini melaporkan bahwa pemberian flavonoid tidak
mempengaruhi aktivitas katalase hati tikus. Sebaliknya, satu laporan menyatakan
bahwa aplikasi topikal silymarin menghambat depresi pada aktivitas katalase kulit
tikus fotocarcinogenesis. Selain itu, dua studi pemberian makan tikus menyebutkan
seperti diatas, satu dengan genistein dan satu lagi dengan teh hijau, menemukan
aktivitas katalase meningkat di beberapa jaringan.

VI. EFEK PROOXIDAN FLAVONOID

Meskipun bab ini berfokus pada kemungkinan efek antioksidan flavonoid, tentu
saja ada sejumlah besar makalah tentang efek prooksidasi. Beberapa zat kimia yang
bisa membuat flavonoid pengambil radikal bebas, dalam keadaan tertentu, juga dapat
menghasilkan reaksi oksidan. Reaksi ini dapat merusak molekul biologis yang sama
dengan flavonoid yang seharusnya dapat melindungi dari oksidasi. Satu masalah
besar di seluruh wilayah ini adalah apakah tindakan prooksidan ini dapat terjadi secara
in vivo, dan jika demikian, dalam keadaan apa. Sejauh ini, bukti tindakan prooksidan
flavonoid telah dilakukan terutama untuk penelitian yang dilakukan secara in vitro.
Namun, jika flavonoid terus mendapat perhatian untuk kemungkinan efek pada bidang
kesehatan, masalah tindakan prooksida juga harus ditangani.

VII. RINGKASAN

Banyak penelitian memberi bukti bahwa tindakan antioksidan flavonoid dapat


berdampak pada kesehatan manusia. Namun, pernyataan ini masih harus dianggap
sedikit spekulatif sambil menunggu penelitian lebih lanjut, terutama pada manusia itu
sendiri. Tampaknya ada sejumlah mekanisme yang berbeda dimana flavonoid dapat
melakukan tindakan antioksidan langsung atau tidak langsung. Persisnya mekanisme
mana yang beroperasi dimana keadaan masih memerlukan penerangan lebih lanjut.
Karena efek antioksidan flavonoid mendapat perhatian lebih, mungkin juga perlu
mempertimbangkan kemungkinan efek prooksidasi.

Anda mungkin juga menyukai