Anda di halaman 1dari 9

Nama : Aisyatur Robia

NIM : 150341600791
Offering : A
Prodi : S1 Pendidikan Biologi

Resume Bioteknologi
Bioteknologi di bidang Farmasi

1. Ruang lingkup kajian bioteknologi Farmasi


Bioteknologi farmasi merupakan penerapan dan pengembangan bioteknologi dalam
bidang obat-obatan, vaksin yang menunjang perbaikan kesehatan makhluk hidup.
Bioteknologi farmasi saling berhubungan dengan bioteknologi kedokteran dimana dalam
bioteknologi farmasi mengkaji beberapa organisme model (mencit, tikus, ayam, yeast, lalat
buah, cacing, dan zebrafish) untuk mengidentifikasi penyakit genetik dan kesesuaian
penggunaan terapi gen dalam mengetahui keefektifan dan keamanannya sebelum melakukan
tindak lanjut klinis pada manusia. Pada bioteknologi farmasi ini kajian yang dibahas hanya
bagaimana cara menemukan suatu obat dengan memanfaatkan agen agen biologi. Sebagai
contoh dari bioteknologi farmasi adalah penemuan hormon insulin dengan menyisipkan gen
insulin padan bakteri.

2. Komponen yang terlibat dalam bioteknologi farmasi


Komponen bioteknologi farmasi dapat berupa bagian-bagian dari organisme yang
digunakan dalam menghasilkan produk atau jasa untuk kepentingan penelitian atau
pengembangan perawatan kesehatan dan obat-obatan, misalnya:
1) Pembuatan antibody monoclonal
Pembuatan antibody monoclonal yang menggunakan komponen dari sel gabungan tipe
tunggal yang memiliki kekhususan tambahan yang merupakan bagian penting dari system
kekebalan tubuh. Antibodi monoklonal dibuat dengan cara penggabungan atau fusi dua jenis
sel yaitu limfosit B yang memproduksi antibodi dengan sel kanker (sel mieloma) yang dapat
hidup dan membelah terus menerus. Hasil fusi antara sel limfosit B dengan sel kanker secara
in vitro ini disebut dengan hibridoma. Apabila sel hibridoma dibiakkan dalam kultur sel, sel
yang secara genetik mempunyai sifat identik akan memproduksi antibodi sesuai dengan
antibodi yang diproduksi oleh sel aslinya yaitu sel limfosit B. Antibodi monoklonal
merupakan senyawa yang homogen, sangat spesifik dan dapat diperoleh dalam jumlah yang
besar sehingga sangat menguntungkan jika digunakan sebagai alat diagnostik untuk
mendeteksi bakteri patogen dan virus, serta untuk uji kehamilan (Ahmad, 2014:152).
2) Terapi gen
Terapi gen bertujuan untuk membetulkan kelainan metabolisme karena bawaan sejak
lahir dengan cara menyisipkan gen normal ke organisme penderita. Biasanya tahapan
meliputi; seleksi dan isolasi gen pemeliharaan kultur propagasi. Sel diekstrasi
(dikeluarkan) dari tubuh kemudian ditumbuhkan dalam medium kultur selanjutnya gennya
dimanipulasi dikembalikan ke pasien (penderita) yang jaringannya diambil, komponen yang
digunakan misalnya bone marrow atau sel kulit, karena keduanya dapat dipelihara dalam
medium kultur (Nurcahyo, 2011:105).
3) Somatostatin
Diproduksi dari hasil transplantasi gen eukariosit dari hipofisis manusia ke gen E. coli.
Hormon pertumbuhan pada manusia (humangrowth hormone) ini diberikan kepada para
penderita dwarfisme hipofisis dan berfungsi untuk meningkatkan sekresi hormon
pertumbuhan; somatotropin, hormon yang juga dikloning dari bakteri E. coli, digunakan
sebagai hormon pertumbuhan, pengobatan patah tulang, luka bakar, dan pendarahan di
lambung (Smith, 2009).
4) Hormon Insulin
Insulin merupakan protein manusia pertama yang disintesis secara kimia. Secara
tradisional, insulin untuk pengobatan manusia diisolasi dari pancreas sapi atau babi.
Kemudian seiring perkembangan di bidang bioteknologi telah terjadi perbaikan cara produksi
insulin melalui rekayasa genetika. Melalui DNA rekombinan, insulin diproduksi
menggunakan sel mikroba yang tidak pathogen. Produk hormone insulin manusia dapat
dihasilkan melalui teknik rekayasa genetika dengan teknologi plasmid. Hormone ini
berfungsi mengubah glukosa dalam darah menjadi glikogen (Sudjadi, 2008).

3. Contoh bioteknologi farmasi dengan mekanismenya


a. Pembuatan Insulin
Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel-sel yang membentuk pulau
sehingga disebut pulau langerhans di kelenjar pangkreas. Pada awalnya terbentuk proinsulin
yang molekulnya lebih besar daripada insulin. Proinsulin tersimpan di pankreas hingga
dibutuhkan tubuh. Ketika proinsulin keluar ke peredaran darah, proinsulin diuraikan menjadi
2 bagian: peptida penghubung dan hormon insulin aktif. Fungis utama hormon insulin adalah
menurunkan kadar glukosa di dalam sel. Teori yang ada mengatakan bahwa seseorang 45
tahun memiliki peningkatan resiko terhadap terjadinya diabetes dan intoleransi glukosa yang
di sebabkan oleh faktor degeneratif yaitu menurunya fungsi tubuh, khususnya kemampuan
dari sel dalam memproduksi insulin untuk memetabolisme glukosa (Betteng et al., 2014).
Oleh karena itu diperlukan suatu teknik untuk memperoleh tambahan insulin. Adanya teknik
rekayasa genetika, maka bisa didapatkan hormon insulin dalam jumlah yang banyak, insulin
ini diperoleh dengan mencangkokkan gen (transplantasi gen) yang mengkode insulin ke
dalam plasmid bakteri. Proses pembuatan insulin dengan teknik DNA recombinan adalah
sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi dan mengisolasi gen penghasil insulin dari sel pankreas manusia:
a. Mula-mula mRNA yang telah disalin dari gen penghasil insulin diekstrak dari sel
pancreas. Kemudian enzim transcriptase ditambahkan pada mRNA bersamaan dengan
nukleotida penyusun DNA.
b. Enzim ini menggunakan mRNA sebagai cetekan untuk membentuk DNA berantai
tunggal.
c. DNA ini kemudian dilepaskan dari mRNA.
d. Enzim DNA polymirase digunakan untuk melengkapi DNA rantai tunggal menjadi
rantai ganda, disebut DNA komplementer (c- DNA), yang merupakan gen penghasil
insulin.
2. Melepaskan salinan gen penghasil insulin tersebut dengan cara memotong kromosom
secara khusus menggunakan enzim retriksi endonuklease.
3. Mengekstrak plasmid dari sel bakteri, kemudian membuka plasmid dari sel bakteri
dengan menngunakan enzim retriksi lain. Sementara itu, di dalam serangkain tabung
reaksi atau cawan petri, gen penghasil insulin manusia dalam bentuk c- DNA disiapkan
untuk dipasangkan pada plasmid yang terbuka tersebut.
4. Memasang gen penghasil insulin kedalam cincin plasmid. Mula-mula ikatan yang terjadi
masih lemah, kemudian enzim DNA ligase memperkuat ikatan ini sehingga dihasilkan
molekul DNA recombinan/plasmid recombinan yang bagus.
5. Memasukkan plasmid recombinan kedalam bakteri E.coli. Di dalam sel bakteri ini
plasmid mengadakan replikasi
6. Mengultur bakteri E.coli yang akan berkembang biak dengan cepat menghasilkkan klon-
klon bakteri yang mengandung plasmid recombinan penghasil insulin. Melalui rekayasa
genetika dapat dihasilkan E.coli yang merupakan penghasil insulin dalam jumlah banyak
dan dalam waktu yang singkat.

Gambar 2 Langkah-Langkah DNA Rekombinan pada Produksi Insulin

b. Pembuatan Antibodi Monoklonal


Produksi molekul antibodi merupakan tanggungjawab sel limfosit B (sel plasma) yang
masing-masing spesifik terhadap antigen. Menurut teori klonal, adanya interaksi antara
antigen dengan klone limfosit B akan merangsang sel tersebut untuk berdiferensiasi dan
berproliferasi sehingga diperoleh sel yang mempunyai ekspresi klonal untuk memproduksi
antibodi. Produksi antibody monoklonal merupakan gabungan penerapan teknik hibridoma
dan kloning. Dengan berkembangnya teknologi dan pengetahuan tentang molekul Ig, maka
kini dikenal teknik hibridoma untuk tujuan menghasilkan antibodi monoklonal dalam jumlah
banyak dan tidak terbatas oleh waktu dengan cara kloning. Teknik hibridoma adalah suatu
teknik dengan cara menggabungkan dua macam sel eukariot dengan tujuan mendapatkan sel
hibrid yang memiliki kemampuan kedua sel induknya. Pada hakekatnya produksi antibodi
monoklonal tetap mengikuti prinsip teori seleksi klonal (Artama, 1990: 165). Pada dunia
kesehatan, antibodi monoklonal ini dapat digunakan untuk diagnosis kehamilan, uji golongan
darah ABO, dan uji serum (AIDS, Hepatitis). Prosedur produksi antibodi monoclonal sebagai
berikut.
1. Antigen yang telah dimurnikan disuntikkan ke hewan percobaan mencit (mice) untuk
mendapatkan sel limfosit B yang spesifik.
2. Limpa (spleen) dikeluarkan dari tikus setelah lebih dulu dimatikan dan dikerjakaan
secara aseptis.
3. Sel limfosit B sebagai penghasil Ab tersebut kemudian diisolasi dari limpa (spleen)
dipisahkan dari eritrosit dan cairan limpa dengan cara sentrifus (gradient centrfuge).
4. Sel penghasil Ab tersebut kemudian diisolasi dan selanjutnya dikawinkan dengan sel
myeloma (sel kanker) dalam media PEG (polyethilene glycol) atau dapat juga dengan
virus Sendai.
5. Sel hibrid yang diperoleh kemudian diseleksi dalam medium HAT (hypoxanthine
aminopterin thimidin), oleh karena tidak semua sel hibrid yang dihasilkan sesuai dengan
yang diharapkan yakni sel limfosit B dengan sel myeloma, akan tetapi dapat terjadi
hibrid antara sel limfosit B dengan sel limfosit B, atau sel myeloma dengan sel myeloma.
6. Sel hibrid yang terseleksi kemudian diuji untuk mengetahui kemampuan menghasilkan
Ab yang diharapkan, jika hasilnya pasti maka sel tersebut dikultur (cloning) kemudian
dipropagasi pada kultur jaringan (bioreaktor) atau disuntikkan ke tikus (in vivo) untuk
produksi MAb atau dapat pula dibekukan untuk koleksi.
7. Sel hibrid yang terseleksi kemudian diuji (assay) untuk mengetahui kemampuan
menghasilkan Ab yang diharapkan denngan menggunakan kultur sel dan diuji antibodi.
8. Jika hasilnya pasti, maka sel tersebut kemudian dipropagasi dengan menggunakan kultur
jaringan dalam skala besar (bioreaktor) untuk mendapatkan sel turunan yang sama persis
dengan induknya (cloning), atau disuntikkan ke tikus (in vivo) untuk produksi MAB,
atau dapat pula dibekukan untuk koleksi (stock cell culture).
Gambar 3 Skema tahapan kegiatan produksi antibodi monoklonal dari imunisasi sampai
mendapatkan klon hibridoma. Sumber: (Machmud et al., 2004)
c. Produk Vaksin Herpes
Selain digunakan untuk memproduksi hormon maupun enzim, teknologi DNA rekombinan
juga digunakan untuk membuat vaksin. Pada aplikasi ini, secara garis besar beberapa
mikroorganisme digunakan untuk menghambat kemampuan mikroorganisme patogen
(penyebab penyakit). Mikrobia menjadi suatu bibit penyakit dalam tubuh apabila mikrobia
tersebut menghasilkan senyawa toksik bagi tubuh manusia. Selain itu, bagian-bagian tubuh
mikrobia seperti flagel dan membran sel juga dapat menimbulkan penyakit. Hal ini karena
bagian-bagian tersebut kemungkinan terdiri dari protein asing bagi tubuh. Senyawa dan
protein asing ini disebut antigen. Gen yang mengkode senyawa penyebab penyakit (antigen)
diisolasi dari mikrobia yang bersangkutan. Kemudian gen ini disisipkan pada plasmid
mikrobia yang sama, tetapi telah dilemahkan (tidak berbahaya). Mikrobia ini menjadi tidak
berbahaya karena telah dihilangkan bagian yang menimbulkan penyakit, misal lapisan
lendirnya. Mikrobia yang telah disisipi gen ini akan membentuk antigen murni. Bila antigen
ini disuntikkan pada manusia, sistem kekebalan manusia akan membuat senyawa khas yang
disebut antibodi.
Gambar 4 Vaksinasi dari virus Herpes

d. Vaksin Hepatitis
Hepatitis merupakan penyakit hati yang disebabkan oleh virus. Virus terdiri atas selubung
protein dan DNA-nya. Jika bagian selubung protein ini dimasukkan dalam tubuh manusia,
maka tubuh akan membentuk antibodi sehingga tubuh dapat menangkal virus yang masuk.
Saat ini sudah berhasil diisolasi gen yang menghasilkan selubung protein tanpa menghasilkan
DNA-nya. Caranya hampir sama dengan pembuatan insulin, yaitu gen tersebut dimasukkan
ke dalam sel ragi Saccharomyces sehingga sel ragi ini akan menghasilkan protein virus yang
tidak berbahaya bagi tubuh kita. Jika protein tersebut disuntikkan ke dalam tubuh, maka
tubuh akan memproduksi antibodi, akibatnya orang yang disuntik akan kebal dari serangan
virus hepatitis (Sindumarta, 1983).

e. Terapi Gen
Menurut Nurcahyo (2011), terapi gen adalah suatu teknik yang digunakan untuk
memperbaiki gen-gen mutan (abnormal/cacat) yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
suatu penyakit. Pada awalnya, terapi gen diciptakan untuk mengobati penyakit keturunan
(genetik) yang terjadi karena mutasi pada satu gen, seperti penyakit fibrosis sistik.
Penggunaan terapi gen pada penyakit tersebut dilakukan dengan memasukkan gen normal
yang spesifik ke dalam sel yang memiliki gen mutan. Terapi gen kemudian berkembang
untuk mengobati penyakit yang terjadi karena mutasi di banyak gen, seperti kanker. Selain
memasukkan gen normal ke dalam sel mutan, mekanisme terapi gen lain yang dapat
digunakan adalah melakukan rekombinasi homolog untuk melenyapkan gen abnormal
dengan gen normal, mencegah ekspresi gen abnormal melalui teknik peredaman gen, dan
melakukan mutasi balik selektif sehingga gen abnormal dapat berfungsi normal kembali.
Secara garis besar ada dua macam cara yang biasa digunakan untuk memasukkan gen baru ke
dalam sel.
1. Terapi Gen Ex Vivo
Sel dari sejumlah organ atau jaringan (seperti kulit, system hemopoietik, hati ) atau jaringan
tumor dapat diambil dari pasien dan kemudian dibiakkan dalam laboratorium. Selama
pembiakkan, sel itu dimasuki suatu gen tertentu untuk terapi penyakit itu. Kemudian diikuti
dengan reinfusi atau reimplementasi dari sel tertransduksi itu ke pasien. Penggunaan sel
penderita untuk diperlakukan adalah untuk meyakinkan tidak ada respon imun yang
merugikan setelah infuse atau transplantasi. Terapi gen ex vivo saat ini banyak digunakan
pada uji klinis, kebanyakan menggunakan vector retrovirus untuk memasukkan suatu gen ke
dalam sel penerima.
2. Terapi Gen In Vivo
Organ seperti paru paru, otak, jantung tidak cocok untuk terapi gen ex vivo, sebab pembiakan
sel target dan retransplantasi tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu terapi gen somatic,
dilakukan dengan pemindahan gen in vivo. Dengan kata lain dengan memberikan gen
tertentu baik secara lokal maupun sistemik. Penggunaan vector retrovirus memerlukan
kondisi sel target yang sedang membelah supaya dapat terinfeksi. Akan tetapi, banyak
jaringan yang merupakan target terapi gen, sebagian besar selnya dalam keadaan tidak
membelah. Akibatnya, sejumlah strategi diperlukan baik penggunaan system vector virus
maupun non-virus untuk menghantarkan gen terapetik ke sel target yang sangat bervariasi
seperti kulit, otot, usus, liver dan sel darah. Sistem penghantar gen in vivo yang ideal adalah
efisiensi tinggi masuknya gen terapetik dalam sel target. Gen itu dapat masuk ke inti sel
dengan sedikit mungkin terdegradasi, dan gen itu tetap terekspresi walaupun ada perubahan
kondisi

Gambar 5 Terapi Gen In Vivo dan Terapi Gen Ex Vivo

Terapi gen dapat dilakukan pada gen sel somatic maupun embrional, berikut penjelasannya.
1. Terapi gen pada sel somatic
Terapi gen pada sel somatis (somatic gene therapy) yaitu usaha mereparasi gen karena
cacat bawaan dengan cara menyisipkan gene normal ke organisme penderita, sebagai contoh
kelainan metabolisme. Langkah-langkah terapi gen sebagai berikut: sel sumsum tulang
(bone marrow) atau sel kulit diekstrasi (dikeluarkan) dari tubuh pasien kemudian dipelihara
dalam medium kultur untuk perbanyakan. Kemudian disisipkan gen normal ke dalam DNA
sel tadi dengan rekayasa gen ini diharapkan dapat menyebabkan perubahan genotipe sel
yang semula cacat. Transgenesis untuk mengembalikan rDNA tubuh pasien yang menderita
cacat bawaan. Terapi gene sel somatik dari sudut pandang sosial masih menimbulkan
masalah pro dan kontra. Masih dipertimbangkan dengan alasan karena risiko dan keamanan.
2. Terapi Gen pada sel embrional
Terapi gen pada sel (Germ line gene therapy) yaitu usaha mereparasi gen karena cacat
bawaan, sebagai contoh kelainan metabolisme. Langkah-langkah terapi gen sebagai berikut:
misalnya sumsum tulang (bone marrow) atau sel kulit diambil kemudian keduanya
dipelihara dalam medium kultur vektor ke dalam sel hospes dengan menggunakan metode
mikroinjeksi DNA ke sel telur terbuahi diikuti dengan implantasi sel telur termanipulasi ke
induk titipan yang telah dipersiapkan. Pada tikus dengan induksi dapat diperoleh 40 buah
ova, namun sel telur yang dapat dibuahi sekitar 20 buah. 2 pl buffer yang mengandung klon
plasmid DNA diinjeksikan ke salah satu dari pronukleus sel telur terbuahi. Ada 2 buah
pronukleus dari jantan dan betina, pronukleus jantan lebih besar sehingga dipilih untuk
diinjeksi. Pronuklei mengalami fusi kemudian terbentuklah zygote diploid. Embryo
ditumbuhkan pada medium in vitro, sampai pembelahan sel tertentu. Kemudian
diimplantasikan ke induk titipan. Antara 3 10 % hewan yang berkembang mengandung
kopi dari DNA eksogen yang bersatu dengan kromosomnya

Pertanyaan
1. Apakah antibiotik yang di produksi dalam bioteknologi farmasi dapat menyebabkan
alergi?
Jawab: Alergi obat adalah reaksi alergi dimana sistem kekebalan tubuh bereaksi secara
berlebihan (abnormal) terhadap obat-obatan tertentu yang di konsumsi oleh seseorang.
Beberapa jenis obat termasuk obat yang dijual bebas ataupun resep dokter bisa berpotensi
menimbulkan alergi terhadap orang yang sensitif terhadap obat tersebut. Alergi obat terjadi
ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru mengidentifikasi obat seolah-olah obat
tersebut merupakan zat berbahaya. Senyawa kimia histamin yang dilepaskan
menyebabkan tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan reaksi alergi. Alergi obat
antibiotik yang sering disebabkan oleh penisilin, antibiotik terkait erat dengan penisilin
dan antibiotik yang mengandung sulfonamid (Alergi sulfa). Antibiotik juga dapat
menyebabkan reaksi nonallergic (reaski obat bukan alergi) seperti mual atau diare.

2. Pemerintah saat menggencarkan penggunaan vaksin MR untuk di berikan pada anak-anak


di seluruh Indonesia. Bagaimana pendapat Anda mengenai vaksin MR?
Jawab: Vaksin MR adalah kombinasi vaksin Campak atau Measles (M) dan Rubella (R)
untuk perlindungan terhadap penyakit Campak dan Rubella. Vaksin yang digunakan telah
mendapat rekomendasi dari WHO dan izi edar dari Badan POM. Vaksin MR efektif untuk
mencegah penyakit Campak dan Rubella.Vaksin ini aman dan telah digunakan di lebih
dari 141 negara di dunia. Imunisasi MR diberikan untuk semua anak usia 9 bulan sampai
dengan kurang dari 15 tahun selama kampanye imunisasi MR. Selanjutnya, imunisasi MR
masuk dalam jadwal imunisasi rutin dan diberikan pada anak usia 9 bulan, 18 bulan, dan
kelas 1 SD/sederajat menggantikan imunisasi Campak.
Daftar Pustaka

Ahmad, Ahyar. 2014. Bioteknologi Dasar. Makassar: LKPP Unhas.


Artama, W.T. (1990). Teknik Hibridoma untuk Porduksi Antibodi Monoklonal. Makalah
Kursus Immuno-bioteknologi. Yogyakarta: PAU UGM.
Betteng, R., Pangemanan, D., & Mayulu, N. 2014. Analisis Faktor Resiko Penyebab
Terjadinya Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Wanita Usia Produktif Ii Puskesmas
Wawonasa. Jurnal e-Biomedik, 2(2): 400-410.
Machmud, M., Harjosudarmo, Jumanto, Manzila, Ifa, & Suryadi, Yadi. 2004. Pengembangan
Teknik Produksi dan Aplikasi Antibodi Monoklonal Ralstonia solanacerum.
Kumpulan Makalah Seminar Hasil Penelitian BB-Biogen Tahun 2004.
Nurcahyo, Heru. 2011. Diktat Bioteknologi. Yogyakarta: Fakultas MIPA.Universitas Negeri
Yogyakarta.
Sindumarta, Muliawati dan Dessy Natalia. 1983. Biokimia II: Metabolisme dan Informasi
Genetika. Bandung : ITB.
Smith, J. E. 2009. Biotechnology Fifth Edition. New York: Cambridge University Press.
Sudjadi. 2008. Bioteknologi kesehatan. Yogyakarta: Kanisius
Thieman, W.J, Palladino, M.A. 2004. Introduction to Biotechnology. San Fransisco: Pearson
Benjamin Cummings

Anda mungkin juga menyukai