Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENNDAHULUAN

Sistem extrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada otak

bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari

extrapiramidal adalah terutama di formation retikularis dari pons dan medulla, dan di

target saraf di medulla spinalis yang mengatur reflex, gerakan-gerakan yang

kompleks, dan kontrol postur tubuh.

Gejala psikosis dikaitkan terutama dengan adanya hiperaktivitas dari

neurotransmiter dopamin. Oleh karena itu, obat-obat yang digunakan (antipskikotik)

untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala psikosis mempunyai

mekanisme memblok reseptor dari dopamin, khususnya reseptor D2 dopamin.

Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan, utamanya

penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan tipikal yang

memiliki potensi tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling sering memberikan

efek samping pada pasien karena memiliki afinitas yang kuat pada reseptor

muskarinik. Pendekatan farmakilogi pada menifestasi psikosis ini terpusat pada

neurotransmitter yang mengontrol respon meuron-neuron terhadap ransangan.

Obat-obat antipsikotik dahulu sering disebut dengan neuroleptik karena

memiliki beberapa efek samping yang memberi gambaran seperti gangguan

neurologis yang disebut pseudoneurologis, karena adanya efek sedasi atau mengantuk

yang berat. Antara efek samping yang sering ditemui pada pasien yang mengonsumsi

antipsikotik adalah sindrom skdtrapiramidal (EPS).

1
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang

ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik

golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek

samping gejala ektrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine,

Fluphenazine dan dapat pula Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai

gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali

traktus kortikospinal (piramidal).

2
BAB II

PEMBAHASAM

2.1 Definisi

Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan

oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik

golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia

basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yan mengandung banyak

reseptor D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi

sebagai sindrom ekstrapiramidal.

2.2 Epidemiologi

Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia, dan

sindrom parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik.

Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi

tinggi.

Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria

muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut, rahang,

umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka panjang.

Sekitar 20-30% pasien telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6

bulan atau lebih, berkembang menjadi tardive dyskinesia. Sindrom parkinson

umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering pada dewasa

muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1

3
2.3 Etiologi

Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang

menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan

dopamine pusat.

Obat antispikosis dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai

berikut :

Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. ekstrapiramidal


Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
trifluoperazine 5-60 +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100 -
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +

2.4 Patofisiologi

Susunan ekstrapiramidal terdiri dari : korpus striatum, globus palidus, inti-inti

talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,

serebelum dengan korteks motorik tambahan yaitu area 4, area 6 dan area 8.

Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh

akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang

melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan

penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit

4
tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal)

dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).

Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu :

a. Hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus

b. Hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus

c. Hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6.

Data yang tiba dari seluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus

striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahannya itu

merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh

karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang

pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut

sirkuit striatal asesorik.

Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-

globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang

melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit

asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia

nigra-striatum.

Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi

ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Pada

pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi pada

sitem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi

dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi dopaminergik

5
yakni antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat tersebut

menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak

reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur striatonigral dopamin menyebabkan

depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.

Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor

dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dan sebagai akibatnya menyebabkan efek

samping gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol.

Dengan mengetahui jalur neuronal dopamin, dapat dimengerti bagaimana efek dari

obat-obat antipsikosis dan juga efek sampingnya. Terdapat 4 jalur dopamin dalam

otak :

a. Jalur dopamin mesolimbik

Jalur ini dimulai dari batang otak sampai area limbik, berfungsi mengatur

perilaku dan terutama menciptakan delusi dan halusinasi jika dopamin berlebih.

Dengan jalur ini dimatikan maka diharapkan delusi dan halusinasi dapat

dihilangkan.

b. Jalur dopamin nigrostriatal

Jalur ini berfungsi mengatur gerakan. Ketika reseptor dopamin pada jalur ini

dihambat pada postsinaps, maka akan menyebabkan gangguan gerakan yang

muncul serupa dengan penyakit Parkinson, sehingga sering disebut drug-induced

Parkinsonism. Oleh karena jalur nigrostriatal ini merupakan bagian dari sistem

ekstrapiramidal dari sistem saraf pusat, maka efek samping dari blokade reseptor

dopamin juga disebut reaksi ekstrapiramidal.

6
c. Jalur dopamin mesokortikal

Masih merupakan perdebatan bahwa blokade reseptor dopamin pada jalur ini

akan menyebabkan timbulnya gejala negatif dari psikosis, yang disebut

neuroleptic-induced deficit syndrome.

d. Jalur dopamin tuberoinfundibular

Jalur ini mengontrol sekresi dari prolaktin. Blokade dari reseptor dopamin pada

jalur ini akan menyebabkan peningkatan level prolaktin sehingga menimbulkan

laktasi yang tidak pada waktunya, disebut galaktorea.

2.5 Gambaran Klinis

Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak

bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari sistem

ekstrapiramidal adalah terutama di formatio reticularis dari pons dan medulla dan di

target saraf di medula spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang

kompleks, dan kontrol postur tubuh.

Istilah sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau

reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi

antipsikotik. Istilah ini mungkin dibuat karena banyak gejala bermanifestasikan

sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu di luar kendali

traktus kortikospinal (piramidal).

7
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu:

1. Reaksi Distonia Akut (Acute Dystonia Reaction)

Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet

yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya

menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok otot yang

paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler,

bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap

badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh).

Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah

pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak

diakibatkan oleh psikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi

dan dosis tinggi seperti haloperidol, trifluoroperazin dan fluphenazine.

Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda.

Perkembangan gejala distonik ditandai oleh onsetnya yang awal

selama perjalanan terapi dengan neuroleptik dan tingginya insiden pada laki-

laki, pada pasien di bawah usia 30 tahun, dan pada pasien yang mendapatkan

dosis tinggi medikasi antipsikotik potensi tinggi (contohnya haloperidol).

Walaupun onset seringkali tiba-tiba, onset dalam tiga sampai enam jam dapat

terjadi, seringkali keluhan pasien berupa lidah yang tebal atau kesulitan

menelan. Kontraksi distonik dapat cukup kuat sehingga dapat mendislokasi

sendi, distonia laring dapat menyebabkan tercekik jika pasien tidak segera

diobati. Otot-otot yang sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis

dan retrocolis), otot rahang (trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusion,

8
memuntir) atau spasme pada seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata

terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal yang menyebabkan disartri,

disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Spasme otot

dan postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di

daerah kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan

ekstremitas bawah.

Mekanisme patofisiologi distonia adalah tidak jelas, walaupun

perubahan dalam konsentrasi neuroleptik dan perubahan yang terjadi dalam

mekanisme homeostatik di dalam ganglia basalis mungkin merupakan

penyebab utama distonia.

2. Tardive Diskinesia

Sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid

abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau

seperti tik memperngaruhi gaya berjalan, berbicara dan bernafas. Ini

merupakan efek yang tidak dikehendaki dari obat antipsikotik. Hal ini

disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor

dopamine di putamen kaudatus. Wanita tua yang diobati jangka panjang

mudah mendapatkan gangguan tersebut walaupun dapat terjadi di perbagai

tingkat umur pria ataupun wanita. Prevalensi bervariasi tetapi tardive

diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang berobat lama. Tetapi

sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien memperlihatkan

gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat jarang sekali ditemui,

yaitu mempengaruhi berjalan, berbicara, bernapas dan makan.

9
Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita,

dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan

afektif atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami tardive

diskinesia. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya

waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis

banding jika mempertimbangkan tardive diskinesia meliputi penyakit

Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang

ditimbulkan obat (contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat

bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan

reseptor dopamine pasca sinaptik akibat blokade kronik dapat ditemukan

bersama dengan sindrom Parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas

dopaminergik yang tidak mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus

lanjut sulit di obati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit

karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas.

Tardive diskinesia dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa

bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus

dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang mendapatkan pengobatan

neuroleptik jangka panjang.

3. Akatisia

Sejauh ini EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan

terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik,

terutama pada populasi pasien lebih muda. Manifestasi berupa keadaan

gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak, atau rasa gatal pada

otot. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan (restlessness)

10
yang panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa

tenang. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang,

perasaannya menjadi cemas atau iritabel, juga telah dilaporkan sebagai rasa

gatal pada otot.

Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang

dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya,

akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak

nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik

lain dari akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga,

akinesis yang ditemukan pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik

dapat menutupi setiap gejala objektif akatisia.

Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi neuroleptik

dan pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman. Yang

dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah

ketidakpatuhan pasien.

4. Sindrom Parkinson

Sindrom Parkinson merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat

dimulai beberapa jam setelah dosis pertama neuroleptik atau gejala timbul

secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahun-tahun lama.

Patofisiologi parkinsonisme akibat neuroleptik melibatkan penghambatan

reseptor D2 dalam kaudatus pada akhir neuron dopamin nigrostriatal, yaitu

neuron yang sama yang berdegenerasi pada penyakit Parkinson idiopatik.

11
Pasien yang lanjut usia dan wanita berada dalam resiko tertinggi untuk

mengalami parkinsonisme akibat neuroleptik.

Manifestasinya meliputi berikut :

a. Akinesia : yang meliputi wajah topeng, penurunan ayunan lengan pada

saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah

atau mengecap yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur.

Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti

sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan

spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas

normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala

negative skizofrenia.

b. Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung

pil. Tremor dapat mengenai bibir dan otot-otot perioral yang

disebut sebagai sindrom kelinci. Keadaan ini dapat

dikelirukan dengan tardive diskinesia, tapi dapat dibedakan

melalui karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk mengenai

rahang daripada lidah dan responnya terhadap medikasi

antikolinergik.

c. Kekakuan otot/rigiditas : merupakan gangguan pada tonus otot, yaitu

derajat ketegangan yang ada pada otot. Gangguan tonus otot

dapat menyebabkan hipertonia. Hipertonia yang berhubungan

dengan parkinsonisme akibat neuroleptik adalah tipe pipa besi

(lead-pipe type) atau tipe roda gigi (cogwheel type). Istilah

12
tersebut menggambarkan kesan subjektif dari anggota gerak

atau sendi yang terkena.

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni dengan mulai

menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin seperti

difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik seperti trihexyphenidil ((THP), 4-

6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan,

yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu

toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini. Dosis antipsikotik

diturunkan hingga mencapai dosis minimal yang efektif. Antihistamin yang dapat

digunakan seperti difenhidramin pada pasien yang mengalami distonia. Selain itu

epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi

antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek

gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang.

Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk

memberikan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan

riwayat pernah mengalami sindrom ekstrapiramidal sebelumnya atau pada pasien

yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.Umumnya disarankan bahwa suatu

usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik medikasi anti-ekstrapiramidal

sindrom pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.

Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani.

Penghentian obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi harus

13
dilakukan sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan terapi

primer yang diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan

cepat dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg

IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM.

Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan

pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.

Untuk sindrom parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive

dyskinesia ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk dosis

medikasinya. Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan Parkinson

idiopatik umumnya untuk tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Namun

penggunaan golongan Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan involunter pada

banyak pasien.

2.7 Komplikasi

Sindroma neuroleptik maligna (SNM) merupakan suatu sindroma yang jarang

terjadi namun termasuk sindroma kegawat-daruratan neurologi yang berpotensi

mengancam nyawa dan berkaitan dengan penggunaan obat-obatan neuroleptik

(antipsikotik). Pertama kali dijelaskan oleh Delay et al. pada tahun 1960-an bahwa

sindroma ini berhubungan dengan penggunaan haloperidol.

Munculnya sindroma ini dihubungkan dengan penggunaan segala obat

neuroleptik, baik tipikal maupun atipikal. Umumnya sindroma ini memberikan gejala

demam, kekakuan otot, perubahan status mental, dan gangguan otonom.Sindroma ini

mempunyai onset dalam waktu beberapa jam setelah pemakaian obat neuroleptik,

namun sebagian besar timbul dalam kurun waktu 4-14 hari setelah terapi dimulai.

14
Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan

antipsikotik, khususnya neuroleptik.2 Hal ini sering dikaitkan dengan penggunaan

neuroleptik tipikal potensi tinggi (haloperidol, fluphenazine). Namun setiap golongan

neuroleptik telah berpengaruh terhadap SNM, termasuk neuroleptik potensi rendah

(chlorpromazine) dan antipsikotik atipikal yang lebih baru (clozapine, risperidone,

olanzapine) serta obat-obatan antiemetik (metocloperamide, prometazin).

Dari data yang dikumpulkan pada tahun 1966-1997 kejadian SMN berkisar

antara 0,2% - 3,2% dari pasien jiwa pada rawat inap yang menerima antipsikotik.

Namun karena dokter telah semakin sadar terhadap sindrom ini dan telah tersedianya

agen neuroleptik generasi terbaru, kejadian SNM telah menurun menjadi sekitar

0,01% - 0,02% pada pasien gangguan jiwa yang diobati dengan antipsikotik. Dan

angka kematian akibat SNM dari laporan awal adalah lebih 30% kasus dapat menurun

hingga mendekat ke 10%. Ketika diidentifikasi lebih cepat dan diterapi secara tepat,

maka SNM biasanya tidak fatal dan mayoritas akan sembuh sepenuhnya antara 2-14

hari.

Meskipun jarang terjadi, SNM merupakan kondisi neurologis tidak terduga

dan mengancam nyawa yang harus mampu diidentifikasi sedini mungkin dan diberi

manajemen medis oleh dokter.

15
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat diakibatkan

oleh penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat transmisi

dopamine di jalur striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi

dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus

striatum menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya terjadi pada

pemakaian jangka panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.

Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom parkinsonisme,

dan tardive dyskinesia.

Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan

memberikan terapi profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan

mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan

antihistamin dan antikolinergik seperti trihexyphenidil (THP) dan

difenhidrami. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan

cepat umumnya diberikan Beztropin secara IV atau difenhidramin secara IM.

Untuk akatisia diberikan antikolinergik dan amantadin, dan pemberian

proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.

Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat

memperbaiki prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan

komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian.

16
Dengan adanya agen antikolinergik, diharapkan efek samping ekstrapiramidal

akibat obat antipsikosis dapat ditekan dan pasien dapat lebih teratur

mengkonsumsi obat antipsikosis dan diharapkan dapat meningkatkan

kesembuhan dari pasien.

Perbaikan gejala dalam waktu dua minggu. Dilaporkan waktu pemulihan rata-

rata adalah 7 sampai 11 hari. Beberapa laporan kasus gejala bisa bertahan

selama enam bulan dengan sisa katatonia dan tanda-tanda motoric

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Bhandari G. Neuroleptic Malignant Syndrome. Chapter 118. Tersedia dari:

www.apiindia.org/medicine_ update_2013/chap118.pdf.

2. Berman BD. Neuroleptic malignant syndrome: A review for neurohospitalists.

Neurohospitalist. 2011;1(1):41-7.

3. Strawn JR, Keck PE, Caroff SN. Neuroleptic malignant syndrome. Am J

Psychiatry. 2007;164(6):870-6.

4. Sadock BJ, Sadock VA.Kaplan & Sadocks Comprehensif Textbook of

Psychiatry. 10th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

5. Kembuan, Mieke A.H.N. Sindroma Neuroleptik Maligna Patofisiologi,

Diagnosis, Dan Terapi. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas

Sam Ratulangi. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 8, Nomor 2, Juli 2016, hlm.

125-133

6. Benzer, Theodore, Neuroleptic Malignan Syndrome, 2005. Tersedia dari :

http://www.emedicine.com.

7. David M. Gardner, Michael D. Teehan. Antipsychotic and Their Side Effect.

Cambridge Medicine. 2011.

8. Langan J, Martin D, Shajahan P, Smith DJ. Antipsychotic dose escalation as a

trigger for neuroleptic malignant syndrome (NMS): literature review and case

series report. BMC Psychiatry. 2012;12:1-8.

18

Anda mungkin juga menyukai