Pendekatan Negosiasi PDF
Pendekatan Negosiasi PDF
Oleh:
Darius Arkwright*)
Abstract
Coastal zone is a strategic area in supporting the economy of a region, but also a
region highly vulnerable to change, disturbance and pollution. Integrated
Coastal Zone Governance cannot be done only within the administrative
boundaries, but by observing the ecological relevance of a region as a whole
through the ecoregion approach. In order ecology, Watershed (DAS) is an area
that connects between the upstream, downstream and coastal areas, where
human activities upstream and downstream impact on the coastal areas.
Therefore, the Integrated Coastal Zone Governance in the ecoregion boundaries
should be done by negotiation approach, in which all stakeholders participate
actively in determining policies for coastal governance.
I. PENDAHULUAN
Kawasan Pesisir merupakan wilayah yang strategis sekaligus paling rentan
terhadap perubahan, gangguan dan pencemaran oleh manusia. Dikatakan daerah
yang strategis karena hampir semua kawasan pesisir di Indonesia merupakan pintu
gerbang utama aktivitas ekonomi kelautan di wilayahnya masing-masing,
sementara dikatakan paling rentan terhadap perubahan yang terjadi secara alami,
akibat aktivitas manusia, maupun kombinasi dari keduanya. Namun diantara
faktor-faktor tersebut, pengaruh aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan
merupakan penyebab utamanya. Fakta menunjukkan, kondisi kawasan pesisir di
berbagai penjuru tanah air mengalami kerusakan ekosistem yang sangat
mencemaskan, misalnya kerusakan terumbu karang, kerusakan mangrove, erosi
pantai, maupun pencemaran.
Pencemaran merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan
ekologis kawasan pesisir saat ini, umumnya disebabkan oleh akumulasi limbah
dari aktivitas manusia di wilayah pesisir sendiri, maupun limbah dari aktivitas
manusia dari daerah hulu dan hilir yang dialirkan melalui aliran sungai pada
suatu Daerah Aliran Sungai (selanjutnya ditulis : DAS). DAS merupakan daerah
yang menghubungkan daratan di hulu dengan kawasan pesisir, sehingga
pencemaran di kawasan hulu akan berdampak pada kawasan pesisir (UNEP,
1990; Norrena & Wells, 1990 ; Nam, 1987).
Sebagai konsekuensi dari negara kepulauan, kawasan pesisir di Indonesia
berkembang menjadi kawasan dengan pertumbuhan yang cukup pesat, mengingat
kawasan pesisir dapat menyediakan ruang dengan aksesibilitas tinggi dan relatif
murah dibandingkan dengan ruang daratan di atasnya (Bengen, 1999). Oleh
karena itu, pesisir menjadi tempat tujuan pergerakan penduduk. Hampir 60%
jumlah penduduk di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang,
Medan, dan Makasar menyebar ke daerah pesisir (Adibroto, 1999 : 125 ; Dahuri,
et al, 2001 ; Burbridge, 1988). Dalam kaitan dengan kemudahan akses dan
hubungan antar pulau dan antar wilayah itulah sebagian besar kota-kota di
Indonesia berada di kawasan pesisir. Berdasarkan fakta tersebut, dapat dikatakan
bahwa pengelolaan kawasan pesisir merupakan komponen penting yang perlu
diperhatikan dalam menunjang pembangunan di Indonesia.
Menurut Pratikto (2006), kebijakan desentralisasi kewenangan pemerintah
kepada pemerintah daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999/32 Tahun 2004,
khususnya pasal pada pasal 10 ayat 2 dan 3, telah diinterpretasikan secara
berbeda, menyangkut batas kewenangan pemerintah kabupaten/kota, pemerintah
propinsi dan pemerintah pusat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Hal ini
menggambarkan bahwa kebijakan pengelolaan wilayah pesisir masih dilakukan
dalam batasan wilayah administratif. Dikeluarkannya UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjawab
kesimpangsiuran tersebut dengan konsep pengelolaan pesisir secara terpadu.
Asas keterpaduan pada pasal 3 huruf c tersebut menurut Pratikto (2006),
sesungguhnya mengandung arti keterpaduan secara horisontal dan vertikal.
Secara horisontal, harus ada keterpaduan perencanaan antar sektor, misalnya
pertanian dan konservasi yang berada di DAS hulu, sektor perikanan (tangkap
maupun budidaya), sektor pariwisata, perhubungan laut, serta pengembangan
kota. Sedangkan keterpaduan perencanaan secara vertikal meliputi keterpaduan
kebijakan perencanaan dan operasional mulai dari tingkat desa, kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi, sampai nasional. Lebih jauh, Pratikto (2006)
menjelaskan bahwa konsep pengelolaan kawasan pesisir terpadu seyogyanya
menggunakan pendekatan batas-batas ekologis (ecoregion approach), salah
satunya dengan menempatkan DAS sebagai basis perencanaan, sehingga dampak
dari kegiatan pertanian, industri maupun pembangunan perkotaan di DAS perlu
diperhatikan.
Makalah ini berusaha untuk menjelaskan konsep pengelolaan wilayah
pesisir terpadu sebagaimana dengan pendekatan batasan ekologis (ecoregion
approach) sebagai penerapan konsep pembangunan berkelanjutan. Selain itu juga
dijelaskan suatu konsep pengelolaan (governance) kawasan pesisir yang
negosiatif, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Berdasarkan tujuan tersebut, maka sasaran yang ingin dicapai adalah pertama
mengidentifikasi konsep batasan ekologis (ecoregion) dalam pengelolaan
wilayah pesisir terpadu, dan kedua merumuskan suatu konsep pendekatan
negosiasi dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
II. KONSEP DASAR PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU
(PWPT)
V. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Adibroto, T.A. 1994. Managing the Indonesia Marine and Coastal Environment
: The Role of Monitoring Activities. Proceeding no. 979 8465 07 5
Workshop on Technology Application on Marine Environmental
Monitoring, Forecasting and Information System. Institutional
Framework and Project Benefits, 17 November 1994. Jakarta. Indonesia.
Burbridge, D.R (Eds). 1998. Coastal Zone Management is the Strait of Malacca.
Proceedings of Symposium on Environmental Research and Coastal
Zone Management is the Strait of Malacca in 1995. Medan. Indonesia.
Dahuri, R., Rais J., Ginting S.P., Sitepu, M.J. (cet. 2), 2001 : Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu ; PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, Indonesia.
Hursh, D., van der Werf ten Bosch, M.J., Paranpye, V. 2005. River Basin
Management: A Negotiated Approach. ENDS and Gomukh.
Pratikto, W.A. 2006. Menjual Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. DKP RI. Jakarta.
Stead, S. tanpa tahun. Coastal Governance : Introduction to principles and
practice. Lecturer Presentation. School of Marine Science &
Technology University of Newcastle.
Subandono, D., Budiman, Agung, F. 2009. Menyiasati Perubahan Iklum di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer.
Bogor.
Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil
UNEP. 1995. Meeting of Government designated Experts to Review and Revice
a Global Program of Action to Protect the Marine Environment from
Land-based Activities. Reykjavik, 6-10 Maret 1995 (UNEP/ICL/IG/1/2).