Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penglihatan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam

seluruh aspek kehidupan, apabila terdapat gangguan pada penglihatan

seperti low vision, ini dapat menyebabkan efek negatif terhadap proses

pembelajaran dan interaksi sosial sehingga dapat mempengaruhi

perkembangan alamiah dari intelegensi maupun kemampuan akademis,

profesi dan sosial.1

Severe low vision merupakan kerusakan fungsi penglihatan yang

berat dan mempunyai tajam penglihatan kurang dari 6/60 sampai 3/60

(Dengan pemeriksaan kartu tumbling E serta penutup mata dengan pin-

hole tidak dapat melihat E besar dengan jarak 6 meter, tetapi dapat melihat

E besar dalam jarak 3 meter).2 Severe low vision pada negara tertentu

dimasukkan kedalam golongan buta, dimana terdapat gangguan

penglihatan berat, tajam penglihatan kurang dari 0,12 (5/40, 6/48, atau

20/160).3

Walaupun low vision dapat terjadi disegala usia, low vision

terutama lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Low vision bukan bagian

dari proses penuaan. Namun penyebab utama low vision pada dewasa

antara lain : Usia yang berhubungan dengan degenerasi makula, glaukoma,

katarak dan retinopati diabetes.3

1
2

Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang mengarah kepada

penurunan ketajaman visual atau cacat fungsional.4 Sedangkan glaukoma

adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang ditandai oleh

pencekungan (cupping) diskus optikus dan pengecilan lapangan pandang,

biasanya disertai peningkatan tekanan intraokular.5 Dan retinopati diabetik

adalah penyulit penyakit Diabetes Mellitus yang insidennya cukup tinggi

dan prognosanya yang kurang baik bagi penglihatan.6

Berdasarkan World Health Organization (WHO) memiliki catatan

tentang kondisi kebutaan di masyarakat terdapat di negara-negara

berkembang. Data tahun 2010 terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia

dan 135 juta penduduk lainnya menderita penglihatan kurang (low vision).

Sekitar 90% diantaranya berada di kawasan Asia Selatan dan Asia

Tenggara. Indonesia berada diurutan ketiga di dunia dengan terdapat

angka kebutaan sebesar 1,47%.7,8 Angka kebutaan ini menjadi 1,21% pada

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 di Indonesia yang

mewakili tingkat Kawasan Sumatra, Jawa, Bali dan Kawasan Timur

Indonesia.9

Menurut riset yang dilakukan lembaga Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) pada tahun 2007 menunjukan bahwa proporsi low vision di

Indonesia sebesar 4,8% dengan kisaran antara (1,7%) di Provinsi Papua

hingga (10,1%) tertinggi di Provinsi Bengkulu diikuti oleh Provinsi

Sulawesi Selatan (9,8%), mencapai lebih dari dua kali lipat dibanding

angka nasional.10 Dan meningkat pada tahun 2013 menunjukan severe low

vision tertinggi terdapat di Lampung (1,7%) diikuti Nusa Tenggara Timur


3

dan Kalimantan Barat (masiing-masing 1,6%), Papua Barat dan Papua

Timur (masing-masing 0,4%) dan provinsi terendah adalah di Yogyakarta

(0,3%).2

Pada kelompok yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan serta gejala

meningkat seiring dengan bertambahnya usia, adapun data statistiknya

tahun 2013 dari kelompok usia terendah sampai tertinggi yaitu pada usia

6-14 tahun (0,03%), usia 15-24 (0,06%), usia 25-34 (0,13%), usia 35-44

(0,3%), usia 45-54 (1%), usia 55-64 (3%), usia 56-74 (7,6%) dan usia 75

(13,9%). Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun)

sebesar 1,49 persen. Prevalensi severe low vision meningkat pesat pada

penduduk kelompok umur 45 tahun keatas dengan rata-rata peningkatan

sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya. Prevalensi tertinggi

ditemukan pada penduduk kelompok umur 75 tahun keatas sesuai

peningkatan proses degeneratif pada pertambahan usia.2

Sebaran demografi responden untuk survei mata tahun 2007

menunjukan proporsi wanita lebih tinggi dibanding dengan laki-laki

adalah 51,3% : 48,7% dengan sebaran kelompok usia sekolah (6-16 tahun)

sebesar 26,5% usia produktif (17-54 tahun) 60,5% dan usia lanjut (55

tahun keatas) 13%. Berbanding terbalik dengan tingkat pendidikannya,

makin rendah tingkat pendidikan makin tinggi proporsinya. Latar belakang

pendidikan formal dari 58,6% responden adalah tamat SD (6 tahun) atau

kurang dan proporsi terbesar juga berada pada kelompok penduduk yang

tidak bekerja 26,1% responden, diikuti kelompok petani/nelayan/buruh.

Hasil survei juga memperlihatkan 78,2% responden mempunyai tajam


4

penglihatan (visus) normal dan 16,2% memiliki visus abnormal. Sebanyak

29% responden termasuk dalam keluarga dengan pengeluaran per kapita

per bulan yang rendah. Proporsi low vision cenderung lebih tinggi di

daerah pedesaan dibanding perkotaan, tetapi terdistribusi hampir merata

disemua tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita.10

Beberapa faktor terkait dengan low vision berdasarkan

sosiodemografi yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan formal dan

kuintil. Faktor lain yang juga terkait adalah adanya penyakit penyerta lain,

baik sistemik maupun penyakit pada segmen anterior mata. Penyakit

sistemik yang terkait adalah diabetes mellitus dan hipertensi yang dapat

meningkatkan risiko low vision sampai dua kali lipat lebih. Penyakit

penyerta lain yang terkait adalah riwayat katarak, glaukoma, juling,

pterigium, parut kornea dan lensa katarak. Lensa katarak merupakan faktor

risiko paling tinggi untuk terjadinya low vision dan dapat meningkatkan

risiko sampai sembilan kali lipat, setara dengan faktor pertambahan usia.

lensa katarak dapat dioperasi, sehingga gangguan penglihatan yang

diakibatkannya dapat direhabilitasi.10

Dari uraian pada latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk

meneliti lebih lanjut tentang : Karakteristik Pasien Severe Low Vision di

Poliklinik Mata Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Husada

Lampung Tahun 2015.


5

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana karakteristik pasien severe low vision di Poliklinik

Mata Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Lampung Tahun 2015 ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui karakteristik severe low vision di Poliklinik

Mata Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung tahun 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pasien severe low vision

berdasarkan sosiodemografi meliputi : usia, jenis kelamin dan

pekerjaan.

2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan riwayat penyakit

sistemik pada pasien severe low vision meliputi : diabetes mellitus dan

hipertensi.

3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan riwayat penyakit

penyerta pada pasien severe low vision meliputi : katarak, glaukoma

dan retinopati diabetis.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Peneliti

1. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan

mengenai teori yang berkaitan dengan penderita severe low vision di

Bandar Lampung.
6

2. Dapat memberikan masukan tambahan bagi kegiatan penelitian

berikutnya yang lebih spesifik.

1.4.2 Ilmu Pengetahuan

Sebagai bahan tambahan untuk penelitian lebih lanjut tentang

severe low vision dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

1.4.3 Institusi

Sebagai bahan masukan untuk Rumah Sakit Pertamina Bintang

Amin tentang karakteristik severe low vision di Poliklinik Mata Rumah

Sakit Pertamina Bintang Amin Lampung.

1.5 Ruang Lingkup

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif retrospektif,

mengenai karakteristik severe low vision di Poliklinik Mata Rumah Sakit

Pertamina Bintang Amin Husada. Subjek penelitian ini adalah pasien

katarak, glaukoma dan retinopati diabetik di Poliklinik Mata Rumah Sakit

Pertamina Bintang Amin Lampung Tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai

  • Kerangka Teori
    Kerangka Teori
    Dokumen2 halaman
    Kerangka Teori
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen1 halaman
    Bab Iii
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen1 halaman
    Bab 1
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Virus
    Infeksi Virus
    Dokumen48 halaman
    Infeksi Virus
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Parasitologi
    Parasitologi
    Dokumen54 halaman
    Parasitologi
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Caver
    Caver
    Dokumen1 halaman
    Caver
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • 3.2. Skin
    3.2. Skin
    Dokumen27 halaman
    3.2. Skin
    Dada Doni
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen1 halaman
    Bab Iii
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Haniv
    Haniv
    Dokumen19 halaman
    Haniv
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Patologi Kulit
    Patologi Kulit
    Dokumen31 halaman
    Patologi Kulit
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Fisiologi
    Fisiologi
    Dokumen14 halaman
    Fisiologi
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Virus
    Infeksi Virus
    Dokumen48 halaman
    Infeksi Virus
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • 48 96 1 SM PDF
    48 96 1 SM PDF
    Dokumen7 halaman
    48 96 1 SM PDF
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Haniv
    Haniv
    Dokumen19 halaman
    Haniv
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Haniv
    Haniv
    Dokumen19 halaman
    Haniv
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Vitiligo Bab II
    Vitiligo Bab II
    Dokumen4 halaman
    Vitiligo Bab II
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    ferri
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka Vitiligo
    Daftar Pustaka Vitiligo
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka Vitiligo
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • BAB III Vitiligo
    BAB III Vitiligo
    Dokumen8 halaman
    BAB III Vitiligo
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen5 halaman
    Bab Iii
    ferri
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka Vitiligo
    Daftar Pustaka Vitiligo
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka Vitiligo
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Amalia O.
    Amalia O.
    Dokumen69 halaman
    Amalia O.
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Nadya
    Nadya
    Dokumen13 halaman
    Nadya
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Fisiologi
    Fisiologi
    Dokumen14 halaman
    Fisiologi
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Vitiligo Bab II
    Vitiligo Bab II
    Dokumen4 halaman
    Vitiligo Bab II
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Vitiligo Bab II
    Vitiligo Bab II
    Dokumen4 halaman
    Vitiligo Bab II
    haniv jo
    Belum ada peringkat
  • Kerangka Teori
    Kerangka Teori
    Dokumen2 halaman
    Kerangka Teori
    haniv jo
    Belum ada peringkat