Anda di halaman 1dari 184

1.

NASO GASTRIC TUBE (NGT)


Noordiani, Ns., M.Kep., Sp.Kep.MB

A. Pengertian
Melakukan pemasangan selang (tube) dari rongga hidung ke lambung (gaster).

B. Tujuan
1. Memasukan makanan cair atau obat-obatan cair atau padat yang dicairkan
2. Mengeluarkan cairan/ isi lambung (lavage) dan gas yang ada dalam lambung
(decompression)
3. Mengirigasi karena perdarahan/ keracunan dalam lambung
4. Mencegah atau mengurangi nausea (mual) dan vomiting (muntah) setelah
pembedahan atau trauma
5. Mengatasi obstruksi mekanis pada saluran pencernaan bagian atas
6. Mengambil specimen pada lambung untuk studi laboratorium

C. Tipe dan Indikasi Pemasangan NGT


1. NGT tipe Levin, Ewald, Salem Sumo untuk mengeluarkan cairan/ isi lambung
(lavage)
2. NGT tipe Salem Sump, Levin, Miller-Abbott untuk decompression
3. NGT tipe Sengstaken-Blakemore untuk compression
4. NGT tipe Duo, Dobhoff, Levin untuk feeding (gavage)

D. Dilakukan pada
1. Klien tidak sadar (coma)
2. Klien dengan masalah salura pencernaan atas (stenosis esofagus, tumor mulut/
faring/ esofagus, dll)
3. Klien yang tidak mampu menelan, dll

E. Persiapan Alat
1. Selang NG (karet atau plastic) ukuran No.14 atau 16 Fr (untuk anak lebih kecil
ukurannya), atau ukuran No.12-18 Fr-Levin
2. Jelly/ pelumas
3. Tongue spatel/ sudip lidah/ tongue blade
4. Sepasang sarung tangan
5. Senter/ penlight
6. Spuit/ alat suntik ukuran 50-100 cc
7. Plester
8. Stetoskop
9. Handuk
10. Tissue wajah
11. Bengkok
12. Segelas air
13. Peniti/ pin
14. Kapas alkohol

A. Prosedur Pelaksanaan
1. Mendekatkan alat ke samping klien
R/ Mengatur prosedur dan membatasi ketidaknyaman klien
2. Menjelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan dan tujuannya (terangkan
bahwa bernafas lewat mulut dan menelan akan sangat membantu pemasangan
selang)
R/ Mengurangi kecemasan dan membantu klien untuk mempermudah pemasukan
selang
3. Mencuci tangan
R/ Mengurangi penyebaran mikroorganisme
4. Membantu klien pada posisi high fowler
R/ Meningkatkan kemampuan klien untuk menelan
5. Memasang handuk pada dada klien, meletakkan tissue wajah dalam jangkauan
klien
R/ Mencegah mengotori pakaian klien. Pemasangan selang dapat menyebabkan
keluarnya air mata
6. Memakai sarung tangan bersih
R/ Tindakan pencegahan standar
7. Untuk menentukan insersi NGT, minta klien untuk rileks dan bernafas normal
dengan menutup satu hidung kemudian mengulangi dengan menutup hidung yang
lain
R/ Selang mudah masuk melalui saluran hidung yang lebih paten
8. Mengukur panjang tube yang akan dimasukkan dengan menggunakan :
a. Metode Tradisional, mengukur jarak dari puncak lubang hidung ke daun telinga
bawah dan ke prosessus xipoideus di sternum
b. Metode Handson, mula-mula tandai 50 cm pada tube, kemudian lakukan
pengukuran dengan metode tradisonal. Selang yang akan dimasukkan
pertengahan antar 50 cm dengan tanda tradisonal
9. Beri tanda pada panjang selang yang sudah diukur dengan mengunakan plester.
10. Memberi jelly pada NGT sepanjang 10-20 cm.
R/ Pelumasan menurunkan friksi antar membran mukosa dengan selang
11. Mengingatkan klien bahwa selag akan segera dimasukkan dan instruksikan klien
untuk mengatur posisi kepala ekstensi, masukkan selang melalui lubang hidung
yang telah ditentukan.
R/ Memudahkan masukknya selang melalui hidung dan memelihara agar jalan
nafas tetap terbuka
12. Lanjutkan memasukkan selang sepanjang rongga hidung. Jika merasakan agak
tertahan, putarlah selang dan jangan dipaksakan untuk dimasukkan.
R/ Meminimalkan ketidaknyamanan pemasangan NGT. Memasukkan dengan
dengan cara memutar dan sedikit menarik, membantu masuknya ujung selang ke
faring
13. Lanjutkan memasang selang sampai melewati nasofaring, setelah melewati
nasofaring (3-4 cm) anjurkan klien untuk menekuk leher dan menelan.
14. Dorong klien untuk menelan dengan memberikan sedikit air minum (bila perlu).
Tekankan pentingnya bernafas lewat mulut.
R/ Menelan memudahkan lewatnya selang melalui orofaring
15. Tidak memaksakan selang masuk. Bila ada hambatan atau klien tersedak,
sianosis, maka hentikan mendorong selang. Periksa posisi selang di belakang
tenggorok dengan menggunakan spatel lidah dan senter.
R/ Selang mungkin terlipat, menggulung di orofaring atau masuk ke trakea
16. Jika telah selesai memasang NGT sampai ujung yang telah ditentukan, anjurkan
klien rileks dan bernafas normal.
R/ Memberi kenyamanan dan mengurangi cemas
17. Periksa letak selang dengan :
a. Memasang spuit pada ujung NGT, memasang bagian diafragma stetoskop pada
perut di kuadran kiri atas klien (gaster) di bawah kosta, kemudian suntikkan 10-
20 cc udara bersamaan dengan auskultasi abdomen
b. Aspirasi pelan-pelan untuk mendapatkan isi lambung
c. Memasukkan ujung bagian luar selang NGT, kedalam mangkuk yang berisi air,
jika ada gelembung udara berarti masuk ke dalam paru-paru dan jika tidak ada
berarti masuk kedalam lambung
R/ Posisi yang tepat penting untuk diketahui sebelum mulai memasukkan
makanan
18. Oleskan alkohol/ bensin pada ujung hidung klien dan biarkan sampai kering
R/ Membantu merekatkan plester lebih baik
19. Fiksasi selang denga plester dan hindari penekanan pada hidung :
a. Potong 10 cm plester, belah menjadi dua salah satu ujungnya sepanjang 5 cm.
Memasang ujung yang tidak dibelah pada batang hidung klien dan silangkan
plester pada selang yang keluar dari hidung
b. Tempelkan ujung NGT, pada baju klien dengan memasang plester pada
ujungnya dan penitikan pada baju
20. Mengevaluasi klien setelah terpasang NGT
21. Merapikan alat-alat
22. Melepas sarung tangan, buang perlatan habis pakai, dan cuci tangan
R/ Mengurangi transmisi mikroorganisme
23. Mendokumentasikan hasil tindakan pada catatan perawatan

Kewaspadaan :
1. Lakukan irigasi teratur dengan volume cairan sedikit untuk mempertahankan
kepatenan
2. Rotasikan selang lambung setiap hari
3. Lakukan perawatan mulut lebih sering
4. Berikan krim atau gliserin pada bibir untuk mempertahankan kelembaban
Tandai selang NG pada titik berjarak 50 cm dari ujung distal dengan titik A. klien
duduk dengan posisi netral dengan kepala menghadap ke depan. Letakkan ujung
distal selang pada puncak hidung klien ke ujung bawah telinga lalu ke bawah
sampai xiphoid. Tandai jarak ini sebagai titik B pada selang (Brunner &Suddarth)

Pemeriksaan pH
PEMBERIAN MAKANAN MELALUI SELANG NGT

Pengertian :
Memberikan makanan kepada klien melalui selang nasogastrik

Tujuan :
1. Memenuhi nutrisi klien yang tidak dapat makan secara normal per oral melalui selang
NG
2. Memberikan nutrisi yang dapat mengurangi sepsis, menumpulkan respons
hipermetabolik pada trauma, dan memelihara struktur dan fungsi intestinal

Dilakukan pada :
1. Klien dengan fungsi saluran GI yang tidak adekuat/ disfungsi
2. Klien tidak sadar yang memerlukan nutrisi enteral (24-48 jam post operasi, trauma)

Persiapan Alat :
1. Corong
2. Spuit 20 cc
3. Pengalas
4. Bengkok/ piala ginjal/ nierbekken
5. Makanan dalam bentuk cair
6. Air matang
7. Obat-obatan (bila ada)
8. Klem
9. Stetoskop

Prosedur Pelaksanaan :
1. Kaji kebutuhan pemberian makanan klien melalui selang (puasa 5 hari, fungsi saluran
GI, ketidakmampuan mengingesti nutrien yang cukup)
R/ Mengidentifikasi klien yang membutuhkan pemberian makanan melalui selang
sebelum menjadi kurang nutrisi yang mencegah komplikasi yang berhubungan dengan
malnutirisi
2. Periksa perintah dokter
3. Menjelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan dan tujuannya
R/ Mengurangi kecemasan dan membantu klien untuk mempermudah pemasukan
makanan
4. Elevasikan bagian kepala tempat tidur minimal 45/ posisi semi-fowler atau dudukkan
klien di kursi
R/ Mengurangi resiko aspirasi paru dan refluks lambung selama atau setelah
pemberian makan melalui selang
5. Mencuci tangan
R/ Mengurangi penyebaran mikroorganisme
6. Atur perlengkapan berikut :
a. Wadah selang dan selang yang sekali pakai
R/ Memastikan perlengkapan pemberian makanan yang tepat efisien
b. Spuit 60 ml (kateter tip atau Luer-lock)
R/ Formula dapat diberikan melalui spuit untuk pemberian makan yang berkala ke
dalam perut
c. Tentukan jumlah formula
d. Pompa makanan enteral pada pemberian yang terus menerus
R/ Pompa adalah penting untuk mjengatur pemberian makanan yang terus
menerus atau pemberian makanan melalui intestinal
7. Gunakan sarung tangan
R/ Tindakan pencegahan standar
8. Tentukan penempatan selang makan :
Periksa penempatan selang dalam lambung atau intestin
a. Aspirasikan sekresi lambung dan periksa residu lambung dalam perut
R/ Mengindikasikan penundaan pengosongan lambung (jika > 150 ml tetap dalam
perut)
b. Aspirasikan sekresi intestinal dan ukur pH untuk mengkonfirmasi penempatan di
intestinal
R/ Penempatan diintestinal diindikasikan denga nilai pH > 6
c. Bilas selang dengan 30 ml air setelah mengukur pH atau residu
R/ Penggumpalan formula dapat terjadi melalui kontak dengan keasaman sekresi
d. Observasi adanya distensi abdomen dan kaji ketidaknyamanan perut.
R/ Membantu mengenal penundaan pengosongan lambung dan mengurangi resiko
muntah yang berhubungan dengan distensi abdomen
9. Auskultasi bising usus
R/ Ketidakadaan bising usus apabila disertai gejala lain seperti distensi perut
mengindikasikan tidak ada peristaltis

10. Pemberian makan lewat selang :


a. PEMBERIAN MAKANAN SECARA BERKALA DENGAN SPUIT ATAU WADAH
PEMBERIAN MAKANAN
i. Jepit selang makan di bawah ujung proksimal
R/ Mencegah udara masuk kedalam perut klien
ii. Hubungkan spuit dengan alat penyedot dipindahkan ke ujung selang
iii. Isi syringe dengan formula. Biarkan spuit mengosongkan pengisian secara
perlahan sehingga jumlah yang ditentukan telah diberikan kepada klien
R/ Pengosongan secara bertahap mengurangi resiko kembung atau diare yang
disebabkan bolus selang makan. Idealnya, pelaksanaan arus terjadi lebih dari
20 menit, sama dengan mengingesti makanan
iv. Untuk pemberian makanan melalui wadah, mengisi wadah tersebut dengan
jumlah yang ditentukan dan udara bersih dari selang. Gantung wadah diatas
saluran intravena. Hubungkan ujung selang ke selang dan atur aliran untuk
memompa makanan lebih dari 20 menit
b. METODE DRIP YANG TERUS MENERUS
i. Isi wadah pemberian makanan dengan formula yang cukup pada pompa selama
4 jam
ii. Gantung wadah di atas saluran intravena
iii. Pasang selang di atas pompa sesuai petunjuk pabrik
iv. Hubungankan selang pada ujung selang makan
v. Mulai pompa pada kecepatan yang ditentukan
11. Lepaskan dan buang sarung tangan dalam wadah yang tepat. Cuci tangan
R/ Mencegah penyebaran mikroorganisme
12. Ketika pemberian makan melalui selang tidak diberikan maka jepit atau sumbat ujung
proksimal dari selang makan
R/ Mencegah udara masuk ke perut atau intestinal klien diantara waktu pemberian
makanan
13. Pemberian air melalui selang makanan seperti diperintahkan, dengan atau di antara
waktu makan
R/ Memberikan klien sumber air untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit
14. Catat jumlah, rute, formula, dan respons klien, catat jumlah residu yang telah
dihasilkan
R/ Mendokumentasikan pemberian makanan

Pemberian secara drip Pompa Digital

PENILAIAN KETERAMPILAN MEMASANG NASOGASTRIK TUBE (NGT)

NAMA :
MHS :
NILAI
No ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
TAHAP PRE INTERAKSI
1. Cek catatan medis dan perawatan
2. Cuci tangan
3. Menyiapkan alat-alat yang diperlukan
TAHAP ORIENTASI
4. Memberi salam, panggil klien serta mengenalkan diri
5. Menerangkan prosedur dan tujuan tindakan pemasangan NGT pada
klien
6. Menjelaskan informed consent pada klien dan keluarga
7. Menunjukkan rasa empati pada klien
TAHAP KERJA
8. Memberikan kesempatan klien untuk bertanya
9. Menanyakan keluhan utama klien
10. Menjaga privasi
11. Membantu klien untuk posisi high fowler
12. Bersama dengan klien menentukan kode yang akan digunakan
misalnya mengangkat telunjuk untuk mengatakan tunggu sejenak
karena rasa tidak enak
13. Menyiapkan alat disamping tempat tidur klien dan memasang
handuk pada dada klien, meletakkan tissue, bengkok, dan air minum
pada jangkauan klien
14. Mencuci tangan dan memasang sarung tangan (prinsif bersih)
15. Menentukan lubang hidung mana yang akan dimasuki NGT dengan
cara menutup sebelah hidung kemudian mengulangi dengan
menutup hidung yang lainnya
16. Mengukur panjang selang yang akan dimasukkan dengan
menggunakan :
a. Metode Tradisional : ukur jarak dari puncak lubang hidung ke
daun telinga bawah dan ke prosesus xifoideus di sternum
b. Metode Hanson : mula-mula tandai 50 cm pada selang kemudian
lakukan pengukuran dengan Metode Tradisional. Selang yang
akan dimasukkan pertengahan antara 50 cm dan tanda tradisional
17. Memberi jelly pada selang sepanjang 10-20 cm
18. Mengingatkan klien bahwa selang segera akan dimasukkan dengan
posisi kepala ekstensi, masukkan selang melalui lubang hidung
yang telah ditentukan
19. Memerintahkan klien untuk menundukkan kepala ke dada (fleksi)
setelah selang melewati nasofaring dan klien diminta untuk relaks
sebentar
20. Menekankan perlunya bernafas dengan mulut dan menelan selama
prosedur berlangsung
21. Memberikan air minum (dengan sendok/ sedotan) jika perlu;
mendorong selang sampai sepanjang yang diinginkan dengan
memutar pelan-pelan bersamaan pada saat klien menelan
22. Tidak memaksakan selang masuk bila ada hambatan; menghentikan
mendorong selang dan segera menarik selang; mengecek posisi
selang mengunakan spatel lidsah/ tongue blade dan senter
23. Mengecek letak selang :
a. Memasang spuit pada ujung NGT; memasang stetoskop pada
perut bagian kiri atas klien (daerah gaster), kemudian suntikan 10-
20 cc udara bersamaan dengan auskultasi abdomen
b. Aspirasi pelan-pelan untuk mendapatkan isi lambung
c. Bila selang tidak dilambung, masukkan lagi 2,5-5 cm selangnya
24. Oleskan kapas alkohol pada hidung klien dan selang, biarkan
sampai kering
25. Melepaskan sarung tangan
26. Fiksasi selang dengan plester :
a. Memotong 5-7,5 cm plester; membelah menjadi 2 salah satu
ujungnya sepanjang 3,5 cm; memasang ujung yang lainnya di
batang hidung klien; lingkarkan/ silangkan plester pada selang
yang keluar dari hidung dan tempelkan pada batang hidung
b. Tempelkan ujung NGT pada baju klien dengan memasang plester
pada ujungnya dan penitikan pada baju
27. Merapikan alat-alat
TAHAP TERMINASI
28. Mengevaluasi klien setelah pemasangan
29. Memberikan reinforcement
30. Kontrak untuk kegiatan selanjutnya
31. Mencuci tangan
32. Pendokumentasian
TOTAL NILAI
Keterangan:
0= tidak dilakukan
1= dilakukan tapi tidak sempurna
2= dilakukan sempurna

Nilai = Jumlah nilai yang didapat x 100 %


Jumlah Aspek yang dinilai

Banjarbaru, ...............................
Evaluator

...................................................
2. PEMASANGAN KATETER
Dhian Ririn Lestari, Ns., M.Kep.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :


Setelah mengikuti praktikum ini, mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Program
Alih Jenjang semester I akan mampu :
Menjelaskan proses terjadinya produksi urine
Menjelaskan proses terjadinya miksi
Menjelaskan pengertian prosedur pemasangan kateter urine pada pria dan wanita
Menjelaskan tujuan pemasangan kateterisasi urine pada pria dan wanita
Menjelaskan tujuan pemasangan kateterisasi urine kondom
Menjelaskan prosedur pemasangan kateterisasi urine pada pria, wanita dan kateter
kondom
Mampu melakukan prosedur pemasangan kateterisasi urine pada pria, wanita dan
kateter kondom

PENDAHULUAN
Miksi (berkemih)
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi urine.
Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu :
Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas
nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua. Timbul refleks saraf yang
disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih
atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan ke3inginan untuk
berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini
bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.

REORIENTASI ANATOMI SISTEM PERKEMIHAN :

Lokasi
Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang
perut atau abdomen. Ginjal ini terletak di kanan dan kiri
tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di bagian atas
(superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut
kelenjar suprarenal).
Ginjal bersifat retroperitoneal, yang berarti terletak di
belakang peritoneum yang melapisi rongga abdomen.
Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3.
Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di bawah ginjal kiri
untuk memberi tempat untuk hati. Sebagian dari bagian
atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan duabelas.
Ginjal dilihat dari belakang (tulang rusuk Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak
dihilangkan) perirenal dan lemak pararenal) yang membantu
meredam goncangan.
Organisasi
Struktur detail

Pada orang dewasa, setiap ginjal memiliki ukuran


panjang sekitar 11 cm dan ketebalan 5 cm dengan
berat sekitar 150 gram. Ginjal memiliki bentuk seperti
kacang dengan lekukan yang menghadap ke dalam.
Di tiap ginjal terdapat bukaan yang disebut hilus
yang menghubungkan arteri renal, vena renal, dan
ureter.

Bagian paling luar dari ginjal


disebut korteks, bagian lebih dalam lagi disebut medulla.Bagian paling dalam disebut
pelvis. Pada bagian medulla ginjal dapat pula dilihat adanya piramida yang merupakan
bukaan saluran pengumpul. Ginjal dibungkus oleh lapisan jaringan ikat longgar yang
disebut kapsula.
Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari satu
juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator
air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah,
kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan
sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan
mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian
diekskresikan disebut urin.
Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula
(atau badan Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus). Setiap korpuskula
mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang berada dalam kapsula
Bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri aferen. Dinding kapiler dari
glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring melalui
dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya
tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke
dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri
eferen.
Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula
Bowman terdapat tiga lapisan:
1. kapiler selapis sel endoteliumpada glomerulus
2. lapisan kaya protein sebagai membran dasar
3. selapis sel epitel melapisi dinding kapsula Bowman (podosit)
Dengan bantuan tekanan, cairan dalan darah didorong keluar dari glomerulus,
melewati ketiga lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam kapsula Bowman
dalam bentuk filtrat glomerular.
Filtrat plasma darah tidak mengandung sel darah ataupun molekul protein yang besar.
Protein dalam bentuk molekul kecil dapat ditemukan dalam filtrat ini. Darah manusia
melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan
125 cc filtrat glomerular per menitnya. Laju penyaringan glomerular ini digunakan untuk
tes diagnosa fungsi ginjal.

Jaringan ginjal. Warna biru menunjukkan satu tubulus


Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang mengalirkan
filtrat glomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi proksimal. Bagian
selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada tubulus konvulasi distal.
Lengkung Henle diberi nama berdasar penemunya yaitu Friedrich Gustav Jakob
Henle di awal tahun 1860-an. Lengkung Henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran
lawan arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang melapisi tubulus memiliki banyak
mitokondria yang menghasilkan ATP dan memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk
menyerap kembali glukosa, asam amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air
(97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui
osmosis.
Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang terdiri dari:
Tubulus penghubung
Tubulus kolektivus kortikal
Tubulus kloektivus medularis
Tempat lengkung Henle bersinggungan dengan arteri aferen disebut aparatus
juxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular
adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi renin. Cairan menjadi makin kental di
sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung
kemih melewati ureter.
Uretra
Uretra adalah saluran yang menghubungkan kantung kemih ke lingkungan luar tubuh.
Uretra berfungsi sebagai saluran pembuang baik pada sistemkemih atau ekskresi dan
sistem seksual. Pada pria, berfungsi juga dalam sistem reproduksi sebagai saluran
pengeluaran air mani.
Pada wanita, panjang uretra sekitar
2,5 sampai 4 cm dan terletak di
antara klitoris dan pembukaan
vagina.

Pria memiliki uretra yang lebih


panjang dari wanita. Artinya, wanita
lebih berisiko terkena infeksi kantung
kemih atau sistitis dan infeksi
saluran kemih.

Anatomi uretra wanita

Pada pria, panjang uretra sekitar 20 cm dan


berakhir pada akhir penis.

Uretra pada pria dibagi menjadi 4 bagian,


dinamakan sesuai dengan letaknya:

- Pars pra-prostatica, terletak sebelum


kelenjar prostat.
-Pars prostatica, terletak di prostat, Terdapat
pembukaan kecil, dimana terletak muara
vas deferens.
- Pars membranosa, sekitar 1,5 cm dan di
lateral terdapat kelenjar bulbouretralis.
pars spongiosa/cavernosa, sekitar 15 cm
dan melintas di corpus spongiosum penis.

Anatomi Uretra pria.

KATETERISASI PERKEMIHAN

Kateterisasi perkemihan adalah tindakan memasukkan selang karet atau plastic melalui
uretra dan masuk kedalam kandung kemih.Terdapat 2 jenis kateterisasi perkemihan yaitu
menetap dan intermitten.

TUJUAN
1. Menghilangkan ketidaknyamanan karena distensi kandung kemih
2. Mendapatkan urine steril untuk specimen
3. Pengkajian residu urine, jika kandung kemih tidak mampu sepenuhnya dikosongkan
4. Penatalaksanaan pasien yang dirawat karena trauma medulla spinalis, gangguan
neuromuskuler, atau inkompeten kandung kemih, serta pasca operasi besar
5. Mengatasi obstruksi aliran urine
6. Mengatasi retensi perkemihan
ALAT DAN BAHAN
1. Bak instrument berisi :
Kateter steril (sesuai dengan ukuran dan jenis)/ Folley/nelaton kateter no.16
French/ 18 French/14 French/12 French, untuk anak digunakan rumus: usia
anak (dalam tahun)+ 8 French
Kantung penampung urine (urine bag) steril 1 buah
Pinset anatomi 2 buah
Duk lubang steril
Jelly K-Y
2. Sarung tangan steril
3. Larutan pembersih antiseptik cairan sublimat/ larutan povidone iodine 10%
4. Kapas sublimat dalam kom
5. Spuit 10 cc
6. Cairan aquadest 50 cc atau NaCl
7. Perlak dan alas
8. Bengkok
9. Plester
10. Gunting plester
11. Sampiran
12. Korentang dalam tempatnya
13. Cotton swab steril dalam kom tertutup

MEMASANG KATETER KONDOM

Tindakan ini dilakukan dengan memasang kateter kondom pada pasien yang
inkontinensia atau pasien koma yang masih mempunyai fungsi pengosongan kandung
kemih utuh.
TUJUAN
1. Mempertahankan higiene perineal pasien inkontinensia
2. Mengumpulkan urine dan mengontrol urine inkontinensia
3. Klien dapat melakukan aktifitas fisik tanpa harus merasa malu karena adanya
kebocoran urine (ngompol)
4. Mempertahankan eliminasi perkemihan
5. Mencegah iritasi pada kulit akibat urine inkontinensia

ALAT DAN BAHAN


1. Sarung tangan
2. Baskom dengan air hangat dan sabun
3. Handuk dan wahlap
4. Selimut mandi
5. Kom kecil steril
6. Kapas sublimat
7. Bengkok
8. Perlak/ alas
9. Kateter kondom ukuran S,M,L beserta strip elastik
10. Kassa
11. Plester
12. Gunting plester
13. Kantong penampung urine (urine bag)
14. Sampiran
PENILAIAN KETERAMPILAN
PEMASANGAN KATETER URINE

NAMA :
NIM :
NILAI
NO. ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
TAHAP PRE INTERAKSI
1. Melakukan verivikasi order sesuai tindakan yang akan
dilakukan
2. Mencuci tangan
Menyiapkan alat-alat yang diperlukan:
Bak instrument berisi :
- Pinset anatomi 2 buah
- Duk lubang steril
- Kassa
- Kom kecil
Set Kateter:
- Kateter steril (sesuai dengan ukuran dan jenis)/
Folley/nelaton kateter no.16 French/ 18 French/14
French/12 French, untuk anak digunakan rumus: usia anak
(dalam tahun)+ 8 French
- Kantung penampung urine (urine bag) steril 1 buah
3.
- Jelly K-Y
- Spuit 10cc
- Cairan Aquadest
- Sarung tangan steril
- Larutan pembersih antiseptik cairan sublimat/ larutan
povidone iodine 10%
- Kapas sublimat
- Plester
- Gunting
- Bengkok
- Perlak dan pengalas
- Sampiran
TAHAP ORIENTASI
Memberi salam, panggil pasien dengan panggilan yang
1.
disenangi
2. Memperkenalkan nama perawat
Menjelaskan prosedur tujuan tindakan pada pasien dan
3.
keluarga*
4. Menjelaskan informed consent pada pasien dan keluarga*
5. Menunjukkan rasa empati pada pasien
6. Menanyakan keluhan pasien
7. Memberikan kesempatan pasien untuk bertanya
TAHAP KERJA
Pemasangan Kateter Urine Pria
1. Menjaga privasi pasien*
2. Mencuci tangan*
3. Pasang perlak
4. Buka area yang diperlukan (pakaian bawah klien dilepas),
posisi klien supine, kaki sedikit dibuka. Bengkok diletakkan
didekat bokong pasien
5. Buka bak instrumen steril, kemudian buka set kateter (kateter,
kantung penampung urine) dengan teknik steril dan letakkan di
bak instrumen steril. Tuangkan Jelly K-Y pada kassa steril
pada bak instrumen, dan tuangkan cairan sublimat pada kom.
6. Gunakan sarung tangan steril*
7. Pasang duk steril disekitar alat genital
8. Tangan kiri memegang penis lalu prepusium ditarik sedikit ke
pangkalnya dan bersihkan dengan kapas yang sudah
dimasukkan dalam cairan sublimat dengan gerakan memutar
dari meatus keluar
9. Sambung kateter dengan kantung penampung urine. Ambil
kateter beri jeli K-Y pada ujungnya (kurang lebih 12,5-17,5 cm)
lalu masukkan perlahan hingga percabangannya/pangkalnya
(kurang lebih 35cm) dan sambil anjurkan pasien menarik
napas dalam
10. Jika tertahan jangan dipaksa
11. Setelah kateter masuk, isi balon dengan aquedes atau
sejenisnya untuk kateter menetap,dengan cara menusukkan
spuit yang telah berisi cairan aquadest pada tempatnya
sebanyak 5-10 ml ,(dan bila kateter intermitten tarik kembali
sambil pasien diminta menarik nafas dalam).Tarik sedikit
kateter. Pastikan kateter terasa tertahan, berarti kateter sudah
masuk kandung kemih
12. Lepas duk
13. Sambungan kateter dengan kantung penampung urine
difiksasi kearah atas paha/abdomen dengan menggunakan
plester.*
14. Rapikan pasien dan alat
15. Mencuci tangan*
Pemasangan Kateter Urine Wanita
1. Menjaga privasi pasien*
2. Mencuci tangan*
3. Pasang perlak
4. Buka area yang diperlukan (pakaian bawah klien dilepas),
posisi klien lithotomi, kaki sedikit dibuka. Bengkok diletakkan
didekat bokong pasien
5. Buka bak instrumen steril, kemudian buka set kateter (kateter,
kantung penampung urine) dengan teknik steril dan letakkan di
bak instrumen steril. Tuangkan Jelly K-Y pada kassa steril
pada bak instrumen, dan tuangkan cairan sublimat pada kom.
6. Gunakan sarung tangan steril*
7. Pasang duk steril disekitar alat genital
8. Bersihkan vulva dengan kapas yang telah dimasukkan ke
dalam cairan sublimat dengan arah dari atas kebawah ( 3 kali
hingga bersih)*
9. Buka labia mayora dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri dan
bersihkan bagian dalam, labia minora, klitoris dan anus*
10. Sambung kateter dengan kantung penampung urine. Kateter
diberi jeli K-Y pada ujung (kurang lebih 2,5-5 cm) lalu
masukkan perlahan ke dalam uretra hingga
percabangannya/pangkalnya (kira-kira 35 cm) atau hingga
urine keluar dan minta pasien menarik nafas dalam
11. Setelah kateter masuk, isi balon dengan aquedes atau
sejenisnya untuk kateter menetap,dengan cara menusukkan
spuit yang telah berisi cairan aquadest pada tempatnya
sebanyak 5-10 ml atau sesuai ukuran yang tertulis, (dan bila
kateter intermitten tarik kembali sambil pasien diminta menarik
nafas dalam). Tarik sedikit kateter. Apabila tertahan, berarti
kateter sudah masuk pada kandung kemih
12. Lepaskan duk steril
13. Sambungan kateter dengan kantong penampung urine
difiksasi ke arah samping dengan menggunakan plester*
14. Rapikan pasien dan alat
15. Mencuci tangan*
TAHAP TERMINASI
1. Menanyakan pada pasien apa yang dirasakan setelah
dilakukan tindakan
2. Menyimpulkan hasil prosedur yang telah dilakukan
3. Melakukan kontrak (Waktu, tempat, dan kegiatan selanjutnya)
4. Memberikan reinforcement sesuai dengan kemampuan pasien
5. Memberikan reinforcement sesuai dengan kemampuan pasien
6. Mengakhiri kegiatan dengan cara memberi salam
TAHAP DOKUMENTASI
1. Mencatat seluruh hasil tindakan dalam catatan keperawatan
- Prosedur dan respon pasien
- Produksi dan warna urine yang keluar
TOTAL NILAI
Jumlah yang didapat
Banjarbaru,
Nilai = ------------------------ x 100% = Evaluator
Jumlahaspek yang dinilai
Ket :
0 = Tidak dilakukan ...................................
1 = Dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Nilai Batas Lulus : 75

3. RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP)

Setiap menit terdapat sekitar 4-6 orang meninggal didunia karena serangan
jantung. Dan sangat disayangkan jika seseorang tiba-tiba meninggal, yang tadinya
kelihatan segar bugar, dengan kata lain jantungnya yang sehat untuk tiba-tiba tidak
berdenyut lagi.
Di Amerika penyakit jantung merupakan pembunuh nomor satu. Setiap tahun
hampir 330.000 warga Amerika meninggal karena penyakit jantung. Setengahnya
meninggal secara mendadak, karena serangan jantung (cardiac arrest).

Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi di rumah,
sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau
cardiopulmonary resuscitation (CPR). Menurut American Heart Association bahwa rantai
kehidupan mempunyai hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena
bagi penderita yang terkena serangan jantung, dengan diberikan RJP segera maka akan
mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali.

RJP biasanya di pelajari oleh dokter, perawat dan para medis lainya, akan tetapi di
Amerika CPR di pelajari oleh orang-orang yang bertugas di publik (keramaian orang),
seperti satpam, polisi, petugas stasiun dan pekerja publik lainnya.
1. Chain of Survival

Resusitasi jantung paru (RJP / CPR) pasien dengan henti jantung jarang berhasil
jika semata mata dilakukan dengan resusitasi jantung paru saja. Pada tahun 1992, The
American Heart Association (AHA) memperkenalkan alur untuk penanganan korban
dengan henti jantung yang disebut dengan Chain of Survival. Alur ini terdiri dari 4
komponen yaitu : Pengenalan dini dan akses segera ke pelayanan gawat darurat (Early
Recognition and Early access), segera melakukan resusitasi jantung paru (Early CPR),
segera melakukan defibrilasi, (Early Defibrilation), dan segera mendapatkan perawatan
lanjut (Early Advance Care)

Gambar 1. alur chain of survival

1. Early Access

Waktu adalah faktor penting kesuksesan resusitasi dan defibrilasi. Semakin cepat
seseorang dapat mengenali pasien yang mengalami kegawatan jantung atau henti jantung
dan menghubungi petugas medis, maka semakin baik kesempatan hidup pasien tersebut.
Oleh karena itu, tujuan Early access adalah memperpendek interval waktu antara onset
kejadian dengan datangnya tim emergency yang terlatih.

2. Early CPR

Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR) telah menunjukkan mampu untuk


meningkatkan kemungkinan hidup dalam kasus henti jantung di luar rumah sakit. CPR
perlu dilakukan segera pada semua kasus henti jantung. Sedikit darah yang mengalir ke
jantung dan otak tetapi sangat penting bagi kehidupan. Idealnya, dalam waktu 2 menit
setelah kejadian sudah harus ada petugas terlatih yang datang untuk melakukan CPR
pada korban.

Korban yang mengalami henti jantung memerlukan bantuan segera untuk


mempertahankan jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasinya untuk mencegah jatuhnya
korban ke kondisi yang lebih buruk. CPR perlu dilakukan segera untuk memberikan
oksigen dan aliran darah ke otak dan jantung dan membuang kelebihan CO2 dari paru.

CPR juga penting dilakukan sebelum dan setelah defibrilasi.Studi yang dilakukan
oleh University of Washington menunjukkan bahwa pemberian CPR dalam waktu
maksimal 90 detik sebelum melakukan defibrilasi ternyata mampu meningkatkan tingkat
keberhasilan penanganan henti jantung pada kondisi dimana saat kejadian berlangsung
dan waktu yang diperlukan untuk melakukan defibrilasi mencapai 4 menit.
3. Early Defibrilation

Penyebab kematian pada korban yang mengalami henti jantung karena mengalami
infark miocard acut atau ischemia biasanya adalah ventrikel aritmia, yang paling sering
adalah ventrikel fibrilasi. Hal inilah yang mendasari prosedur defibrilasi harus segera
dilakukan untuk menyelamatkan korban. Penelitian menunjukkan bahwa defibrilasi dini
seringkali dapat meningkatkan angka kehidupan korban henti jantung di luar rumah sakit.
Defibrilasi paling baik bekerja pada menit menit pertama setelah onset henti jantung.
Jika terlambat, jantung tidak akan bereaksi terhadap terapi Defibrilasi. Setiap menit
keterlambatan pemberian pemberian defibrilasi akan diikuti oleh menurunnya angka
kehidupan pasien 7 % hingga 10 %.

4. Early Advance Care

Bantuan hidup lanjut (Advance Life Support), yaitu menstabilkan kondisi pasien yang telah
diresusitasi untuk melewati tahapan kritis. Tahap ini terdidi dari penatalaksanaan jalan
nafas lanjutan (pemasangan Endo tracheal tube/ ETT) pemberian obat obatan, dan
cairan, serta jika perlu terapi defibrilasi sesuai gambaran ECG. Untuk tindakan
selanjutnya, pasien segera dipindahkan ke ruang perawatan intensif untuk mendapatkan
terapi dalam rangka bantuan hidup jangka panjang, yaitu pengelolaan intensif pasca
resusitasi.
2. Rangkaian CPR pada dewasa

1. Cek respon korban

Ketika terjadi keadaan kolaps, Penolong harus segera memindahkan korban ke


tempat aman sambil mencek respon korban. Tempatkan korban pada permukaan yang
datar dan keras pada posisi supinasi. Jika korban berada pada posisi pronasi, gulingkan
korban sehingga menjadi posisi supinasi.

Untuk mencek respon korban dapat dilakukan dengan menepuk bahu korban
sambil bertanya : apakah anda baik baik saja ?. Jika korban memberikan respon tapi
dia dalam keadaan cedera dan memerlukan pertolongan atau peralatan medis, penolong
bisa meninggalkan korban dan segera hubungi 911 , kemudian segera kembali untuk
mencek kondisi korban.

Gambar 2. Cek respon korban

2. Aktifkan Emergency Medical Services

Jika korban tidak berespon (seperti ; tidak ada pergerakan atau tidak berspon
terhadap stimulus), segera aktifkan EMS dengan cara menghubungi nomor nomor yang
dikenal sebagai penyedia layanan emergency.

a. Tenaga kesehatan yang terlatih

Jika hanya ada 1 penolong ,maka :

jika diduga kuat penyebab kolaps adalah masalah jantung, maka penolong segera
menghubungi 911 untuk memberitahukan keadaan (sebutkan nama kita, apa yang
terjadi, berapa jumlah korban, lokasi korban, alat yang diperlukan, nomor telepon
yang kita pakai, minta ambulans segera datang, tutup telpon hanya jika diminta
menutup) dan mintalah AED, kemudian kembali kepada korban dan memulai CPR.
Jika penyebab kolaps bukan berasal dari masalah masalah jantung (misal,
tenggelam dan asfixia), penolong harus memberi 5 siklus CPR (kira kira 2 menit)
sebelum mengaktifkan EMS.
Jika terdapat beberapa penolong, maka penolong bisa berbagi tugas.

b. Orang biasa yang terlatih

Jika hanya ada 1 penolong, maka penolong segera mengaktifkan EMS (sebutkan
nama, apa yang terjadi, berapa jumlah korban, alat yang kita minta) dan mintalah
AED, kemudian kembali ke korban untuk melakukan CPR dan Defibrilasi.
Jika terdapat beberapa orang yang terlatih, maka lakukan pembagian tugas.

3. Memeriksa denyut nadi

Memeriksa denyut nadi hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih
dan dilakukan maksimal 10 detik. Jika dalam 10 detik tidak ditemukan denyut nadi,
segera lakukan kompresi dada.

Jika dalam 10 detik ditemukan denyut nadi dan tidak terdeteksi tanda tanda
pernafasan, maka segera lakukan Rescue breathing dengan kecepatan 10 12 x /
menit. Setiap bantuan nafas harus bisa menaikkan dinding dada. Nafas berikutnya
dapat dilakukan jika dinding dada sudah berada pada posisi semula.

Gambar 3. cek Nadi

4. Memulai CPR

CHEST COMPRESSION

1. Menentukan landmark
Pertahankan head tilt, lalu dengan jari tengah anda raba tulang iga paling bawah
sampai anda menemukan batas bawah sternum (sternum notch)
Letakkan jari telunjuk anda di sebelah jari tengah anda
Letakkan bantalan telapak tangan anda yang lain di sebelah jari telunjuk anda
2. Mengunci tangan
Angkat jari telunjuk dan jari tengah anda
Letakkan bantalan telapak tangan anda yang lain di atas tangan yang sebelumnya
diatas sternum
Kaitkan jari tangan anda yang diatas ke jari tangan yang di bawah daridinding
dada korban
Luruskan kedua siku anda dan pastikan mereka terkunci dalam posisinya
Gambar 4. posisi tangan dan
jari pada CPR

3. Memulai kompresi : PUSH HARD PUSH FAST

Mulai dengan menekan dinding dada hingga kedalaman 1,5 2 inches, kecepatan
100x / menit dan sebelum melakukan kompresi berikutnya harus terlebih dahulu
melihat dinding dada kembali ke posisi semula, hindari penghentian yang terlalu
sering pada saat memberikan kompresi.

4. Membuka Jalan Nafas dan cek pernafasan

Pada korban yang terpasang peralatan pada jalan nafasnya (misal : ETT, laryngeal
mask airway) yang tidak bisa ditempatkan pada posisi supinasi, penolong boleh
melakukan CPR pada posisi pronasi (hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang terlatih.

Membuka jalan nafas

a. Orang biasa yang dilatih

Penolong membuka jalan nafas dengan manuver Head tilt Chin lift pada
korban baik pada kondisi cedera ataupun tidak.

b. Tenaga kesehatan yang dilatih

Penolong membuka jalan nafas dengan manuver Head tilt Chin lift pada
korban yang tidak memiliki tanda tanda cedera kepala atau cedera leher.

Hampir 2 % dari korban yang mengalami trauma tumpul mengalami juga


trauma spinal, dan kemungkinan mendapat trauma spinal meningkat jadi 3 x lipat
pada korban dengan trauma craniofacial dan atau GCS < 8. Jika diperkirakan terjadi
trauma spinal, maka penolong membuka jalan nafas dengan manuver Jaw thrust
tanpa mengekstensikan kepala. Jika dengan manuver Jaw thrust jalan nafas masih
belum bisa dibuka, maka lakukan Head tilt Chin lift karena pada CPR membuka
jalan nafas adalah prioritas utama.

Pada korban dengan trauma spinal, utamakan menahan leher korban


(supaya tidak bergerak) secara manual (menggunakan tangan) daripada dengan alat
seperti Cervical Collar. Alasannya adalah karena penggunaan alat bantu immobilisasi
leher dapat mempengaruhi patensi jalan nafas ketika dilakukan CPR. Cervical Collar
dapat meningkatkan tekanan intrakranial pada korban dengan trauma kepala. Namun,
peralatan ini akan berguna pada saat transportasi pasien.

Gambar 5. Head tilt chin lift

Gambar 6. Jaw trust tanpa ekstensi

5. Memberikan rescue breathing setelah 30 kompresi

Berikan 2x Rescue breath, masing masing selama 1 detik, dengan volume


udara yang cukup untuk menaikkan dinding dada. Cara ini dipakai untuk semua
pemberian ventilasi selama siklus CPR, baik dengan cara mouth to mouth ataupun
dengan cara Bag mask ventilation (baik dengan pemberian oksigen maupun tidak).

Panduan melakukan Rescue breathing dan ventilasi :

1. Berikan dengan ukuran tidal volume


2. Hindari bantuan nafas yang terlalu cepat atau terlalu keras
3. jika sudah terpasang alat bantu jalan nafas (seperti ett) dan ada 2
penolong, lakukan ventilasi dengan kecepatan 8 10 x / menit tanpa perlu
menyesuaikan dengan frekuensi kompresi dada

Gambar 7. Rescue breath

Lanjutkan sampai 5 siklus (1 siklus terdiri dari 30 kompresi : 2


ventilasi), atau ada respon dari pasien.
Cek nadi karotis

Setiap melakukan 5 siklus CPR, penolong harus melakukan pengkajian ulang dengan
cara :

Kaji denyut nadi korban, tanda sirkulasi, dan pernafasan setiap 5


siklus CPR, maksimal 10 detik
Jika tidak ada denyut nadi, atau anda tidak yakin terhadap adanya
denyut nadi dan korban tidak menunjukkan tanda sirkulasi, anggap henti
jantung, LANJUTKAN CPR 30 : 2 untuk 5 siklus
Jika denyut nadi muncul, cek pernafasan korban dengan Look,
Listen, Feel
Jika tidak bernafas, lakukan rescue breathing selama 10 12 x /
menit (normoventilasi) setiap 5 detik. Caranya : menghitung 2 ribu, 3 ribu, 4
ribu, 5 ribu setelah tiap hembusan. Ulangi sampai anda mendapatkan totak 12
tiupan

Jika denyut nadi dan nafas korban muncul, posisikan korban pada posisi recovery

RECOVERY POSITION

1. Memposisikan korban (gambar 9 A dan B)


2. Letakkan tangan korban dekat dengan anda dalam posisi lengan lurus dan telapak
tangan menghadap ke atas ke arah paha korban
3. Letakkan lengan yang jauh dari anda menyilang di atas dada korban dan letakkan
punggng tangannya menyentuh pipinya
4. Dengan menggunakan tangan anda yang lain, tekuk lutut korban yang jauh dari
anda sampai membentuk sudut 90 derajat
5. Gulingkan korban ke arah penolong (Gambar 9C)
6. Sentuh telapak tangan korban yang terletak di pipinya dengan telapak tangan anda
dan pertahankan posisi tersebut. Dengan menggunakan tangan yang lain, pegang
pinggang /panggul korban yang jauh dari anda dan guingkan korban ke arah anda
sampai korban berbaring miring
7. Gunakan lutut anda untuk menahan tubuh korban saat anda menggulingkan korban
agar tidak berguling terlalu jauh ke depan
8. Akhir posisi recovery (Gambar 9D)
9. Pastikan pipi dan kepala korban benar benar menyentuh punggung tangannya
10. Pastikan tangan korban yang lain terbebas (tidak tertekuk) di sisi tubuhnya dengan
posisi telapak tangannya menghadap ke atas
11. Kaki yang berada di depan harus tertekuk dalam sudut 90 derajat

Gambar 8. Gambar Recovery Position

CPR boleh tidak dilakukan pada kondisi kondisi berikut :

1. Tertulis order DNAR (Do Not Attempt Resuscitation) secara legal


2. Terdapat tanda tanda irreversible death (seperti : rigor mortis)
3. Tidak ada hasil yang bisa diharapkan secara fisiologis oleh karena perkembangan
terapi yang sudah maksimal ataupun karena penyakit yang sangat progresif

CPR boleh dihentikan pada kondisi kondisi berikut :

1. Jantung mulai berdenyut secara adekuat


2. Korban dan penolong berada dalam kondisi tidak aman
3. Adanya tenaga terampil lain yang mengambil alih CPR
4. Penolong kelelahan dan tidak dapat melanjutkan CPR
BAB III. PENILAIAN KETERAMPILAN CPR

Cek list CPR dengan 1 penolong


Nama :

NIM :

No Aspek yang dinilai skor


0 1 2
1 Memperhatikan lingkungan sekitar, hati hati terhadap bahaya dan
memastikan korban berada di tempat aman
2 Mengkaji tingkat kesadaran :
1. Memanggil, menepuk, atau mengguncang korban perlahan
2. Memanggil dengan keras :halo ! Halo ! Apakah anda baik baik saja?
3 Mengaktifkan EMS (118) atau no pelayanan RS
4 Memposisikan korban
5 Mengkaji nadi karotis / tanda sirkulasi selama maksimal 10 detik
6 Mencari landmark untuk kompresi dada, mengatur posisi tubuh tegak lurus
dengan landmark
7 Melakukan 30 kompresi dada dengan menekan ke dala 1,5 2 inches dengan
relaksasi sempurna dari tekanan yang diberikan setelah tiap kompresi dengan
kecepatan 100 x/menit.
8 Membuka jalan nafas dengan manuver Head tilt Chin lift atau Jaw Trust
9 Bila tidak ada nafas, berikan 2x tiupan nafas pendek (1 detik/tiupan, volume
tidal 400 600 ml). Biarkan terjadi ekspirasi pasif diantara keduanya
10 Melanjutkan kompresi dan ventilasi sampai 5 siklus
11 Mengevaluasi nadi dan tanda tanda sirkulasi korban setiap 5 siklus RJP 30 :
2.
Bila tidak ada nadi atau tidak menunjukkan tanda tanda sirkulasi dianggap
sebagai henti jantung, lanjutkan CPR
Bila nadi teraba, periksa pernafasan korban
12 Melakukan rescue breathing dengan hitungan tiup, 2 ribu, 3 ribu, 4 ribu, 5
ribu, tiup, dst.
Berikan 10 12 x/menit
13 Setelah 1 menit, melakukan evaluasi
15 Setelah nafas ada dan adekuat, meletakkan korban pada posisi recovery
16 Memonitor nadi, tanda tanda sirkulasi, dan pernafasan setiap beberapa
menit

total
Keterangan:
0 = tidak dilakukan

1 = dilakukan tetapi tidak sempurna

2 = dilakukan dengan sempurna

Nilai Batas Lulus 75 %

Jumlah nilai yang didapat


Nilai = x 100% = .
Jumlah aspek yang dinilai
4. ELEKTROKARDIOGRAM (EKG)

1. Definisi
Elektrokardiogram merupakan hasil dari proses perekaman kelistrikan jantung
dengan elektrokardiograf. Elektrokardiogram merupakan hasil dari proses perekaman
kelistrikan jantung dengan elektrokardiograf.

Hasil perekaman aktivitas listrik jantung berupa perubahan tegangan (V) yang
ditangkap oleh elektroda dan dicatat pada kertas perekam dengan gambaran garis ke
atas (defleksi positif) dan garis ke bawah (defleksi negatif) dari garis dasar yang
disebut garis isoelektris.

Hasil rekaman dapat menilai sumbu jantung, kelainan irama jantung, pembesaran
jantung, serta gangguan konduksi listrik jantung.

Gambar 1.

Gambar 1. Grafik yang menunjukkan hubungan antara elektrode positif, arah


depolarisasi, dan kompleks yang ditampilkan EKG. (a).Saat bergerak ke arah
elektrode positif, maka gelombang depolarisasi menciptakan defleksi positif di
EKG (b). Saat bergerak dari elektrode positif, muka gelombang depolarisasi
menciptakan defleksi negatif pada EKG . (c). Saat bergerak tegak lurus ke
elektrode positif, muka gelombang depolarisasi menciptakan kompleks equifasik
(atau isoelektrik) di EKG,

2. Dasar Perekaman EKG


- Kontraksi otot manapun akan selalu menimbulkan perubahan kelistrikan yang
dikenal dengan istilah potensial aksi
- Elektrode pada permukaan kulit merekam beda potensial
- Fungsi elektroda adalah untuk memindahkan transmisi ion ke penyalur elektron,
dan perbedaan potensial yang timbul antara kedua ujungnya itulah yang dicatat
sebagai besarnya potensial listrik yang dihasilkan oleh tempat atau organ yang
diukur
- Perubahan letak elektroda menghasilkan perubahan hasil perekaman

Jadi, pada EKG, kelistrikan jantung diukur dari potensial listrik yang
dirambatkan jantung ke berbagai tempat di permukaan tubuh khususnya pada
ekstremitas dan permukaan dada.
3. Gelombang Dasar EKG

Gambar 2. Gelombang dasar dan kertas EKG

Gambar 3. Gelombang dasar EKG

Konfigurasi Gelombang pada EKG :

Gelombang P
- Gelombang positip pertama kali muncul adalah gelombang P
- Menggambarkan depolarisasi dari otot kedua atrium (kanan & kiri).Cara
mengukur gel P adalah dihitung mulai dari awal gelombang P sampai dengan
akhir gel P.
- Nilai normal gel P tinggi tidak melebihi 2,5mm (2,5 kotak kecil) dan lebarnya
juga tidak melebihi 2,5mm (2,5 kotak kecil).
Tinggi gel P melebihi 2,5 mm (P pulmonal), mengidentifikasikan adanya
pembesaran di otot atrium kanan.
- Lebar melebihi 2,5 mm( P mitral), mengidntifikasikan adanya pembesaran pada
otot atrium kiri.
- Gelombang P harus positip di lead II dan harus negatif di lead aVR.
P R interval
P R Interval adalah waktu yang dibutuhkan oleh SA node untuk mendepolarisasi
otot atrium, sampai AV node dan Bundle his.

PR interval di ukur mulai dari permulaan gel P sampai dengan awal komplek
QRS.
Normal PR interval yaitu 3 mm - 5 mm (3 kotak kecil - 5 kotak kecil) atau 0,12
detik sampai 0,20 detik.
Apabila PR interval melebihi 0,20 detik atau 5 kotak kecil, mengidentifikasikan
adanya AV blok.
Apabila PR interval kurang dari 0,12 detik atau 3 kotak kecil, mengidentifiksikan
adanya accelerated pacemaker (seperti kasus WPW syndrome = Wolff
Parkinson White).
Komplek QRS
Komplek QRS terdiri dari gelombang Q, gelombang R, gelombang S.

Komplek QRS menggambarkan depolarisasi otot ventrikel.


Gelombang Q adalah gelombang negatif pertama setelah gelombang P,
gelombang Q mewakili depolarisasi otot septum ventikel, normal gelombang
Q tidak boleh melebihi 1/3 gelombang R, apabila gelombang Q melebihi 1/3
gel R mengidentifikasikan adanya infark.
Pada lead (V1,V2,V3) apabila ditemukan gelombang Q, ini
mengidentifikasikan abnormal EKG, biasanya di temukan pada kasus MI
atau gangguan konduksi seperti LBBB.
Gelombang Q normal ditemukan pada lead V5 & V6, apabila tidak ditemukan
geloombang Q pada lead ini, kemungkinan besar adanya LBBB.
Gelombang R adalah gelombang positip pertama setelah gelombang Q.
Gelombang R pada V1 sampai dengan V6 mengalami penambahan voltage,
apabila gelombang R dari V1 sampai dengan V6 tidak mengalami
penambahan maka dinamakan "poor progression"
Gelombang S adalah gelombang negatif kedua setelah gelombang R.
Gelombang S dari V1 sampai dengan V2 voltasenya akan menurun, apabila
di temukan gelombang S pada V5 atau V6 dengan kedalaman lebih dari 5
mm, maka besar kemungkinan adanya RBBB.
Pada precordial lead (V1 s/d v6) terdapat transition zone, yaitu normalnya
terletak pada lead V3 or V4.( lihat gambar 4)
Komplek QRS diukur mulai dari awal Komplek QRS atau gelombang Q
sampai dengan akhir gelombang S.
Normal komplek QRS tidak boleh melebihi 0,10 detik, apabila melebihinya
mengidentifikasikan adanya gangguan konduksi pada intraventrikuler (seperti
LBBB, RBBB, LAHB, LPHB).
Apapun bentuk konfigurasi yang terlihat di gambar 4 adalah semua sama
menggambarkan depolarisasi otot ventrikel.

Gambar 4. Konfigurasi depolarisasi ventrikel

Gelombang T
1. Gelombang positip pertama setelah gelombang S
2. Gelombang T menggambarkan repolarisasi otot ventrikel
3. Normal gelombang T, selalu mengikuti arah komplek QRS, selalu negatif
pada lead aVR, tinggi tidak melebihi 5 mm pada ekstermitas lead (I, II, III,
aVR, aVL, aVF) dan tidak melebihi 10 mm pada precordial lead (V1 s/d
V6)
4. Gelombang T yang tinggi biasanya sering ditemukan pada kasus
hiperkalemia
5. Sedangkan gelombang T yang datar atau terbalik atau inverted biasanya
sering di temui pada kasus penyakit jantung iskemia, dll.
Interval QT
Interval QT adalah waktu yang diperlukan untuk mendepolarisasi otot venrikel
sampai dengan mengadakan repolarisasi kembali.

1. QT interval diukur dari permulaan komplek QRS atau gelombang Q sampai


dengan akhir gelombang T.
2. Normal QT interval antara 0,38 detik sampai dengan 0,46 deik. Biasanya QT
interval pada wanita lebih panjang dari laki-laki.
3. QT interval memanjang biasanya ditemukan pada kasus hipokalsemia atau
obat-obatan
4. QT interval memendek biasanya di temukan pada kasus takikardia dan
hiperkalsemia.
5. Apabila kita menemukan EKG dengan QT interval yang memanjang disertai
dengan keluhan pasien, kalau tidak diobati dengan cepat biasana EKG akan
berubah menjadi ventrikel fibrilasi atau ventikel takikardi dan kematian
nantinya.
ST Segment
ST segmen adalah garis zero line atau isoelektrik antara akhir gelombang S sampai
awal gelombang T, atau tepatnya di mulai dari titik "J" atau junctinal point sampai
awal dimulanya gelombang T.

1. Titik J junctional adalah titik berakhirnya gelombang S.


Normal ST segmen tidak boleh melebihi +2 mm dari zero line/ garis isoelektrik,
tidak melebihi -1 mm dari zero line atau garis isoelektrik.
2. Apabila ST segmen melebihi + 2mm dari garis isoelektrik, kemungkinan besar
dinamakan ST elevasi pada kasus MI (myocardiac infarction) atau pada normal
EKG dinamakan early repolarization.
3. Apabila ST segmen melebihi -1mm dari garis isoelektrik, dinamakan ST depresi.
Biasanya ditemukan pada kasus jantung iskemia.
Pada prakteknya,tergantung kejelian kita. Karena kriteria ST elevasi maupun
ST depresi tidak selamanya sesuai dengan kriterianya.

Gambar 5.
ST Elevasi (pada lead II, III, aVF) dan ST Depresi (aVL)

4. Sadapan sadapan EKG


1. Sadapan Bipolar
Mengukur beda potensial medan biolektrik jantung pada bidang frontal

Sadapan I (lead I)

mengukur beda potensial antara lengan kanan dengan lengan kiri (+).
Gambar 6. Sadapan Lead I

Sadapan II (lead II)

Mengukur beda potensial antara lengan kanan ( - ) dengan kaki kiri ( + )

Gambar 7. Arah sadapan Lead II

Sadapan III (lead III)

Mengukur beda potensial antara lengan kiri ( - ) dengan kaki kiri ( + )

Gambar 7. Arah sadapan Lead III

2. Sadapan Unipolar Ekstremitas


Rekaman beda potensial antara lengan kanan (Right Arm = RA), lengan kiri
(LA), dan kaki kiri (LL) terhadap elektroda indiferen berpotensial Nol.
Ada 3 sadapan :

aVR : sadapan unipolar dari RA yang diperkuat

aVL : sadapan unipolar dari LA yang diperkuat

aVF : sadapan unipolar dari LL yang diperkuat



(b)

Gambar 8.(a). sadapan unipolar ekstremitas. Atas: sadapan aVR. Tengah:


sadapan aVL. Bawah: sadapan aVF. (b). arah sadapan bipolar dan unipolar
ekstremitas

Sadapan Unipolar Prekordial


Sadapan ini merekam bioelektrikal jantung dari bidang horizontal, dimana hanya
menggunakan 6 single positip elektroda yang di tempatkan pada permukaan dada
pada tempat-tempat yang telah ditentukan.

Gambar 9. Posisi sadapan prekordial


Posisi sadapan prekordial :

V1 : sebelah kanan sternum pada ICS 4


V2 : sebelah kiri sternum pada ICS 4
V3 : di pertengahan antara V2 dan V4
V4 : Midclavikular line ICS 5 kiri
V5 : anterior axilary line, ICS 5 kiri
V6 : mid axilary line, ICS 5 kiri
5. Kertas EKG

Gambar 10. Kertas EKG

6. Aksis Jantung

Aksis jantung adalah arah rata rata penyebaran gelombang depolarisasi ke


seluruh otot jantung. Normalnya aksis jantung mengarah dari arah tangan kanan ke
arah kaki kiri kira-kira 30-60 derajat (lihat Gambar 11) karena otot ventrikel kiri lebih
tebal dibandingkan otot jantung lainya. Adapun normal axis jantung antara -30 derajat
s/d +110 derajat dibawah usia 40 thn, -30 derajat s/d +90 derajat diatas 40 thn.

Gambar 11. skema aksis jantung


Cara membaca aksis jantung :

Lihat lead I dan aVF , kalau kedua lead ini dominan menggambarkan positip defleksi,
anda jangan ragu untuk mengatakan normal aksis karena masih dalam daerah normal
aksis.
Kalau ditemukan salah satu dari lead I atau aVF negatif, maka gunakan cara ini:
Misalkan lead aVF defleksi pasitip 5 mm (5 kotak kecil= 1 kotak besar) dan defleksi
negatif 10 mm( 10 kotak kecil) jadi di lead aVF dominasinya defleksi negatif :

(-10mm )- (+5 mm) = -5mm

sedangkan di lead I misalkan defleksi positip 11mm (11 kotak kecil) dan defleksi negatif 2
mm (2 kotak kecil). Jadi di lead I dominasinya defleksi positip.

(+11mm) - (-2mm) = + 9mm.

Kita tinggal hitung 5mm kearah negatif lead aVF, dan 9 mm kearah positip lead I.
Setelah itu tentukan titik pertemuan kedua lead tersebut, kemudian hubungkan titik
pertemuan itu dengan titik pusat.

Cari lead yang mempunyai amplitude yang paling besar (baik positip maupun negatif).
Misalkan amplitudo terbesar ditemukan di lead I dengan dominan defleksi positip,
maka aksis jantungnya adalah O degree (Normal aksis). Misalkan amplitude terbesar
di temukan di lead III dengan dominan defleksi negatif, maka aksis jantungnya
berlawanan arah dengan negatif lead III yaitu kearah lead III positip sebesar +120
derajat (RAD)
Cari lead yang bifasik atau yang mendekati bifasik defleksi (50:50) baik kearah positif
maupun ke arah negatif defleksi. Misalkan anda menemukan lead yang bifasik berada
di lead aVF, selanjutnya anda cari lead yang tegak lurus dengan lead aVF (yaitu lead
I). Perhatikan lead I, ke arah mana defleksinya? (negatif atau positip) bila lead I
defleksinya dominan positip, maka aksisnya ke arah positip lead I (yaitu O derajat or
normal aksis), bila sebaliknya lead I dominan negatif, maka aksisnya ke arah negatif
lead I (yaitu -180 derajat or RAD).
7. Cara Menghitung Frekuensi Denyut Jantung

1. Menggunakan kotak sedang/besar (Cara ini khusus untuk gambaran EKG dengan
irama regular)
Kita ambil RR interval dari lead mana saja, yang penting Gel R nya jelas.
Dari RR interval itu, anda hitung berapa jumlah kotak sedang/besarnya.
Setelah itu, 300 dibagi jumlah kotak sedang yang anda dapatkan dari RR interval
tersebut.
Jadi rumusnya 300 dibagi jumlah kotak sedang antara RR interval.
Frekuensi Denyut Jantung = 300 / kotak
besar RR interval
2. Menggunakan kotak kecil
Cara ini juga khusus untuk irama EKG yang regular. Cara ini sangat
akurat atau tepat, tapi membutuhkan waktu yang agak lama. Caranya sama dengan
cara pertama tadi, cuma anda harus mencari jumlah kotak kecil antara RR interval
tadi. Setelah itu, 1500 dibagi jumlah kotak kecil yang anda temukan di antara RR
interval tadi.

3. Menggunakan 6 detik
Cara ini bisa digunakan untuk gambaran EKG yang regular maupun irregular.
Ventrikel ekstra sistole atau komplek QRS yang abnormal adalah tetap kita
namakan sebagai komplek QRS yang harus kita hitung pada perhitungan frekfensi
jantung menggunakan cara ini.

- Pilih lead EKG strip yang panjang dan jelas (biasanya di lead II)
- Hitung komplek QRS dalam 6 detik.
- Berapa jumlah komplek QRS yang ditemukan, kemudian kalikan dengan 10.
Frekuensi denyut Jantung = 1500 / kotak
kecil RR interval

8. Kriteria Normal EKG :

1. Irama regular
2. Frekwensi antara 60-100x/menit
3. Adanya gelombang P yang normal atau berasal dari SA node, karena adanya gel P
tapi belum tentu berasal dari SA node. Jadi anda harus bandingkan di dalam satu
lead harus mempunyai bentuk gel P yang sama.
4. Selalu ada gelombang P yang diikuti komplek QRS dan gel T Gelombang P wajib
positip di lead II
5. Gelombang P wajib negatif di lead aVR
6. Komplek QRS normal (0,08 - 0,11 detik)
Urutan membaca EKG :

5. Identifikasi gelombang P
6. Tentukan irama EKG: regular atau iregular
1. ukur jarak P P pada lead II
2. ukur jarak R R pada lead II
3. bandingkan jarak P P dengan R R pada lead II
7. Tentukan frekuensi denyut jantung
8. Tentukan aksis jantung
9. Ukur panjang komplek QRS
10. Menentukan posisi segmen ST dari J point
PENILAIAN KETERAMPILAN MELAKUKAN PEMASANGAN REKAMAN EKG

Nama :

NIM :

No Aspek yang Dinilai Nilai


Pre Interaksi 0 1 2
1 Verifikasi Order
2 Mencuci tangan
3 Mempersiapkan alat
1. Alat rekam EKG lengkap dan siap pakai
2. Kapas alkohol dalam tempatnya
3. Jelly EKG
4. Kapas / kassa lembab
Tahap Orientasi
4 Mengucapkan salam dan menyapa klien dengan nama
kesukaannya
5 Menjelaskan tujuan, prosedur, dan lama tindakan
Tahap kerja
6 Memberi kesempatan klien untuk bertanya
7 Memulai tindakan dengan cara yang baik
8 Membuka dan melonggarkan pakaian bagian atas.
Meminta klien untuk melepas jam tangan, kalung, dan
logam lainnya.
9 Membersihkan daerah dada, kedua pergelangan tangan,
dan kedua pergelangan kaki pada lokasi pemasangan
manset dengan menggunakan kapas alkohol
10 Mengoleskan jelly EKG pada permukaan elekroda. Bila
tidak ada jelly, bisa menggunakan kapas basah.
11 Memasang manset elektroda pada kedua pergelangan
tangan dan kedua tungkai
12 Memasang arde pada mesin EKG yang masih
menggunakan kabel arde
13 Menghidupkan alat EKG
14 Menyambung kabel EKG pada kedua pergelangan tangan
dan kedua tungkai pasien untuk merekam pada lead I, II, III,
aVR, aVL, aVF dengan urutan sebagai berikut :
1. warna merah pada tangan kanan
2. warna kuning pada tangan kiri
3. warna hijau pada kaki kiri
4. warna hitam pada kaki kanan
15 Memasang elektroda dada untuk merekam prekordial lead
(V1,V2,V3,V4,V5, dan V6)
17 Melakukan kalibrasi 10 mm dengan kecepatan 25 mmvolt /
detik
18 Membuat rekaman secara berurutan sesuai dengan pilihan
lead yang terdapat pada mesin EKG
19 Melakukan kalibrasi kembali setelah perekaman selesai
20 Memberi identitas pasien pada hasil rekaman : nama, umur,
tanggal dan jam rekaman, serta nomor lead dan nomor
rekam medik
Tahap Terminasi
21 Melakukan evaluasi terhadap hasil yang telah dicapai
22 Memberikan reinforcement positif pada klien
23 Membuat kontrak untuk pertemuan selanjutnya (waktu,
kegiatan, tempat)
24 Mengakhiri pertemuan dengan cara yang baik
25 Mencuci tangan
26 Mendokumentasikan kegiatan yang telah dilakukan
Total nilai

Keterangan:

0 = tidak dilakukan

1 = dilakukan tetapi tidak sempurna

2 = dilakukan dengan sempurna

Nilai Batas Lulus 75 %

Nilai = Jumlah nilai yang didapat x 100%

Jumlah aspek yang dinilai


5. PENGENDALIAN INFEKSI
(Versi Lama)

PENDAHULUAN
Kesehatan yang baik bergantung sebagian pada lingkungan yang aman. Praktisi
atau teknisi yang memantau atau mencegah penularan infeksi membantu melindungi klien
dan pekerja perawatan kesehatan dari penyakit. Klien dalam lingkungan perawatan
kesehatan berisiko terkena infeksi karena daya tahan tubuh yang menurun terhadap
mikroorganisme infeksius, meningkatnya pajanan terhadap jumlah dan jenis penyakit
yang disebabkan oleh mikroorganisme dan prosedur invasif. Dengan cara mempraktikkan
teknik pencegahan dan pengendalian infeksi, perawat dapat menghindarkan penyebaran
mikroorganisme terhadap klien.
Petugas perawatan kesehatan dapat melindungi diri mereka sendiri dari kontak
dengan bahan infeksius atau terpajan pada penyakit menular dengan memiliki
pengetahuan tentang proses infeksi dan perlindungan barier yang tepat. Penyakit seperti
hepatitis B, AIDS dan tuberculosis telah menyebabkan perhatian yang lebih besar pada
teknik pengontrolan infeksi.

RANTAI INFEKSI
Proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antar berbagai faktor yang
mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit, cara penularan, portal of entry
dan host/ pejamu yang rentan.

1. Agen infeksi
Microorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri, virus, jamur
dan protozoa. Mikroorganisme di kulit bisa merupakan flora transient maupun resident.
Organisme transient normalnya ada dan jumlahnya stabil, organisme ini bisa hidup dan
berbiak di kulit. Organisme transien melekat pada kulit saat seseorang kontak dengan
obyek atau orang lain dalam aktivitas normal. Organisme ini siap ditularkan, kecuali
dihilangkan dengan cuci tangan. Organisme residen tidak dengan mudah bisa
dihilangkan melalui cuci tangan dengan sabun dan deterjen biasa kecuali bila gosokan
dilakukan dengan seksama. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi tergantung
pada: jumlah microorganisme, virulensi (kemampuan menyebabkan penyakit),
kemampuan untuk masuk dan bertahan hidup dalam host serta kerentanan dari
host/penjamu.
2. Reservoar (sumber mikroorganisme)
Adalah tempat dimana mikroorganisme patogen dapat hidup baik berkembang biak
atau tidak. Yang bisa berperan sebagai reservoir adalah manusia, binatang, makanan,
air, serangga dan benda lain. Kebanyakan reservoir adalah tubuh manusia, misalnya di
kulit, mukosa, cairan maupun drainase. Adanya microorganisme patogen dalam tubuh
tidak selalu menyebabkan penyakit pada hostnya. Sehingga reservoir yang di dalamnya
terdapat mikroorganisme patogen bisa menyebabkan orang lain menjadi sakit (carier).
Kuman akan hidup dan berkembang biak dalam reservoar jika karakteristik
reservoarnya cocok dengan kuman. Karakteristik tersebut yaitu oksigen, air, suhu, pH
dan pencahayaan.
3. Portal of exit (jalan keluar)
Mikroorganisme yang hidup di dalam reservoir harus menemukan jalan keluar
(portal of exit) untuk masuk ke dalam host dan menyebabkan infeksi. Sebelum
menimbulkan infeksi, mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu dari reservoarnya.
Jika reservoarnya manusia, kuman dapat keluar melalui saluran pernapasan,
pencernaan, perkemihan, genitalia, kulit dan membrane mukosa yang rusak serta darah
4. Cara penularan
Kuman dapat menular atau berpindah ke orang lain dengan berbagai cara seperti
kontak langsung dengan penderita melalui oral, fekal, kulit atau darahnya; kontak tidak
langsung melalui jarum atau balutan bekas luka penderita; peralatan yang
terkontaminasi; makanan yang diolah tidak tepat; melalui vektor nyamuk atau lalat
5. Portal masuk
Sebelum seseorang terinfeksi, mikroorganisme harus masuk dalam tubuh. Kulit
merupakan barier pelindung tubuh terhadap masuknya kuman infeksius. Rusaknya kulit
atau ketidakutuhan kulit dapat menjadi portal masuk. Mikroba dapat masuk ke dalam
tubuh melalui rute atau jalan yang sama dengan portal keluar. Faktor-faktor yang
menurunkan daya tahan tubuh memperbesar kesempatan patogen masuk ke dalam
tubuh.
6. Daya tahan hospes (manusia)
Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen infeksius.
Kerentanan bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu terhadap patogen.
Meskipun seseorang secara konstan kontak dengan mikroorganisme dalam jumlah
yang besar, infeksi tidak akan terjadi sampai individu rentan terhadap kekuatan dan
jumlah mikroorganisme tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan
tubuh terhadap kuman yaitu usia, keturunan, stress (fisik dan emosional), status nutrisi,
terapi medis, pemberian obat dan penyakit penyerta.

Agen infeksi

Daya tahan hospes


Reservoir

Portal masuk Portal keluar

Cara penularan

PERTAHANAN TERHADAP INFEKSI


Kemampuan individu untuk melawan infeksi tergantung pada pertahan tubuh dan
status kesehatan. Faktor yang berkontribusi terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi
antara lain kurangnya status nutrisi, stress, kelemahan, penyakit, pengobatan, fungsi
metabolic dan umur. Klien dengan penyakit berat lebih besar kemungkinan untuk
mendapat infeksi nasokomial. Pertahanan tubuh melalui imunitas, proses inflamasi, dan
pertahanan anatomis yang terdiri dari kulit dan membran mukosa.
Ketika integritas kulit dan membran mukosa rusak, flora atau bakteri residen dan
transien akan langsung masuk ke jaringan internal tubuh. Untuk mencegah serangan
infeksi, tubuh mengatur mekanisme pertahanan dan mulai membersihkan dan
memperbaiki bagian tubuh yang rusak. Kesembuhan luka tergantung pada derajat
vaskularisasi, lokasi dan kebersihan luka serta derajat kerusakan jaringan.
Cara kedua dari tubuh untuk mencegah infeksi tergantung pada imunitas, antitoksin
dan vaksinasi. Imunitas alami diturunkan. Imunitas buatan terjadi setelah individu terpapar
penyakit, infeksi atau telah divaksinasi.
Cara ketiga adalah dengan proses inflamasi. Inflamasi terjadi ketika penggunaan
energi metabolic, peningkatan aliran darah ke area inflamasi dan pada banyak kasus
terjadi kerusakan aliran ke lingkungan luar.
Ketika suatu area terinfeksi, sel akan mengaktifkan sistem plasmin, sistem
pembekuan dan sistem kinin. Hasil dari aktifnya beberapa sistem tersebut adalah
histamin yang berfungsi meningkatkan permeabilitas vaskular di sekitar injuri dan
menghasilkan agen kemotoksik yang akan mengundang fagosit ke vaskular dan jaringan.
Fagosit adalah sel darah putih yang menyerang dan mencegah infeksi dengan
menangkap mikroorganisme berbahaya.

PERTAHANAN TUBUH ALAMI


Perubahan pertahanan tubuh alami akan meningkatkan kejadian infeksi. Penyebab
terbanyak karena infeksi nasokomial. Beberapa variabel dapat mengenali organisme
tersebut sebagai pathogen yang jahat dan termasuk kategori organisme, terpapar dan
terikat oleh organisme tersebut dapat mempengaruhi imunitas tubuh serta lamanya
organisme tersebut di dalam tubuh menjadi kesempatan lebih besar untuk terjadinya
infeksi. Ilustrasi tersebut dapat dilihat pada formula di bawah ini :

Infeksi = Dose x Virulence


Host Resistance

Dengan menggunakan formula ini, faktor risiko pada klien dapat dievaluasi. Status
kesehatan dan imunitas klien juga factor utama untuk menentukan penyebab terjadinya
infeksi. Kerusakan pada kulit tergantung pada kerusakan integritas kulit secara fisiologis.
Kerusakan yang disengaja disebabkan oleh penggunaan kateter dan jarum perkutan serta
karena prosedur operasi. Penyebab yang tidak disengaja antara lain karena tekanan pada
luka dan luka trauma.
INFEKSI NOSOKOMIAL
Klien yang berada dalam lingkungan perawatan kesehatan dapat berisiko tinggi
mendapat infeksi. Infeksi nosokomial diakibatkan oleh pemberian layanan kesehatan
dalam fasilitas perawatan kesehatan. Rumah sakit merupakan satu dari tempat yang
paling mungkin mendapat infeksi karena mengandung populasi mikroorganisme yang
tinggi dengan jenis virulen yang mungkin resisten terhadap antibiotik. Secara umum,
pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam
menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah
sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah
sakit baru disebut infeksi nosokomial
Di negara maju pun, infeksi yang didapat dalam rumah sakit terjadi dengan angka
yang cukup tinggi. Misalnya, di AS, ada 20.000 kematian setiap tahun akibat infeksi
nosokomial. Di seluruh dunia, 10 persen pasien rawat inap di rumah sakit mengalami
infeksi yang baru selama dirawat 1,4 juta infeksi setiap tahun. Di Indonesia, penelitian
yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada 2004 menunjukkan bahwa 9,8
persen pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat.
Infeksi iatrogenik adalah jenis infeksi nosokomial yang diakibatkan oleh prosedur
diagnostik atau terapeutik. Infeksi nosokomial dapat secara eksogen atau endogen. Infeksi
eksogen didapatkan dari mikroorganisme eksternal terhadap individu, yang bukan
merupakan flora normal, contohnya adalah organisme Salmonella dan Clostridium tetani.
Infeksi endogen dapat terjadi bila sebagian dari flora normal klien berubah dan terjadi
pertumbuhan yang berlebihan. Contohnya adalah infeksi yang disebabkan oleh
enterokokus, ragi dan streptokokus. Jumlah mikroorganisme yang diperlukan untuk
menyebabkan infeksi nosokomial bergantung pada virulensi organisme, kerentanan
hospes dan daerah yang diinfeksi.

Tempat dan Penyebab Infeksi Nosokomial


a. Traktus urinarius
- Pemasangan kateter urine
- Sistem drainase terbuka
- Kateter dan selang tidak tersambung
- Kantung drainase menyentuh permukaan yang terkontaminasi
- Teknik penampungan yang tidak tepat
- Obstruksi atau gangguan pada drainase urine
- Urine dalam kateter atau selang drainase masuk kembali ke dalam kandung kemih
(refluks)
- Teknik mencuci tangan yang tidak tepat
- Mengirigasi ulang kateter dengan larutan
b. Luka bedah atau traumatik
- Persiapan kulit (mencukur dan membersihkan) yang tidak tepat, sebelum
pembedahan
- Teknik mencuci tangan yang tidak tepat
- Tidak membersihkan permukaan kulit dengan tepat
- Tidak tepat menggunakan teknik aseptik selama ganti balutan
- Menggunakan larutan aseptik yang sudah terkontaminasi
b. Traktus respiratorius
- Peralatan terapi pernapasan yang terkontaminasi
- Tidak tepat menggunakan teknik aseptik saat pengisapan pada jalan napas
- Pembuangan sekresi mukosa dengan cara yang tidak tepat
- Teknik mencuci tangan yang tidak tepat
c. Aliran darah
- Kontaminasi cairan intravena melalui pergantian selang atau jarum
- Memasukkan obat tambahan ke cairan intravena
- Penambahan selang penyambung atau stopcocks pada sistem intravena
- Perawatan area tusukan yang tidak tepat
- Jarum atau kateter yang terkontaminasi
- Gagal untuk mengganti tempat akses intravena ketika tampak pertama kali ada
inflamasi
- Teknik yang tidak tepat selama pemberian bermacam produk nanah
- Perawatan yang tidak tepat terhadap pirau peritoneal atau hemodialisis
- Teknik mencuci tangan yang tidak tepat

KEWASPADAAN STANDAR
Salah satu strategi yang sudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi
nosokomial adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode Universal
Precautions (UV) atau dalam bahasa Indonesia Kewaspadaan Universal (KU) yaitu suatu
cara penanganan baru untuk meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua
pasien, tanpa memperdulikan status infeksi. Dasar KU adalah cuci tangan secara benar,
penggunaan alat pelindung, desinfeksi dan mencegah tusukan alat tajam, dalam upaya
mencegah transmisi mikroorganisme melalui darah dan cairan tubuh.
Penerapan ini merupakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus rutin
dilaksanakan terhadap semua pasien di semua fasilitas pelayanan kesehatan (FPK).
Kebersihan tangan merupakan komponen terpenting dari KU dan merupakan salah satu
metode yang paling efektif dalam mencegah penularan pathogen yang berhubungan
dengan pelayanan kesehata. Selain kebersihan tangan, pemilihan alat pelindung diri
(APD) yang akan dipakai harus didahului dengan penilaian risiko pajanan dan sejauhmana
antisipasi kontak dengan patogen dalam darah dan cairan tubuh.

BAHAN DAN RISIKO PAPARAN


Berisiko tinggi Batas risiko tidak jelas Berisiko rendah*
Darah, serum Cairan Amnion Lendir serviks
Semen Cairan Serebrospinalis Bahan muntahan
Sputum, nanah Cairan Pleura Tinja
Vaginal secretions Cairan Peritoneal Air liur
Cairan Pericardial Keringat
Cairan Sinovial Air mata
Urin
ASI
* Kecuali terlihat terinfeksi dengan darah

KONSEP ASEPSIS
Asepsis berarti tidak adanya patogen penyebab sakit. Teknik aseptik adalah usaha
mempertahankan klien sedapat mungkin bebas dari mikroorganisme. Dua jenis teknik
aseptik adalah asepsis medis dan bedah.
Asepsis medis atau teknik bersih, termasuk prosedur yang digunakan untuk
mencegah penyebaran mikroorganisme. Mencuci tangan, mengganti linen tempat tidur
dan menggunakan cangkir untuk obat, merupakan contoh asepsis medis. Prinsip asepsis
medis biasanya yang dilakukan di rumah seperti mencuci tangan sebelum menghidangkan
makanan.
Asepsis bedah, teknik steril, termasuk prosedur yang digunakan untuk membunuh
mikroorganisme dari suatu daerah. Sterilisasi membunuh semua mikroorganisme dan
spora. Teknik steril harus digunakan saat melakukan prosedur invasif.
Setelah suatu objek menjadi tidak steril atau tidak bersih, objek tersebut
terkontaminasi. Pada asepsis medis suatu area atau objek dinyatakan terkontaminasi jika
area atau objek tersebut mengandung atau diduga mengandung patogen. Misalnya
bedpan yang sudah terpakai, lantai dan kasa yang basah merupakan contoh objek yang
terkontaminasi. Pada asepsis bedah, suatu area atau objek dinyatakan terkontaminasi jika
disentuh oleh setiap objek yang tidak steril. Misalnya sobekan pada sarung tangan bedah
memaparkan bagian luar sarung tangan terhadap permukaan kulit, sehingga
mengontaminasi sarung tangan tersebut.

a. Kebersihan tangan
Ringkasan teknik :
- Cuci tangan (40-60 detik) : basahi tangan dan gunakan sabun, gosok seluruh
permukaa, bilas kemudian keringkan dengan handuk sekali pakai, sekaligus untuk
mematikan keran
- Penggosokan tangan (20-30 detik) : gunakan produk dalam jumlah cukup untuk
seluruh bagian tangan, gosok tangan hingga kering

Ringkasan indikasi :
- Sebelum dan sesudah kontak langsung dengan pasien dan di antara pasien, baik
menggunakan maupun tidak menggunakan sarung tangan
- Segera setelah sarung tangan dilepas
- Sebelum memegang peralatan
- Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekret, ekskresi, kulit terluka dan benda-
benda terkontaminasi, walaupun menggunakan sarung tanga
- Selama merawat pasien, saat bergerak dari sisi terkontaminasi ke sisi bersih dari
pasien
- Setelah kontak dengan benda-benda di samping pasien

b. Sarung tangan
- Gunakan bila akan menyentuh darah, cairan tubuh, secret, ekskresi, membrane
mukosa, kulit yang tidak utuh
- Ganti setiap kali selesai satu tindakan ke tindakan berikutnya pada pasien yang
sama setelah kontak dengan bahan-bahan yang berpotensi infeksius
- Lepaskan setelah penggunaan, sebelum menyentuh benda dan permukaan yang
tidak terkontaminasi dan sebelum pindah ke pasien lain. Lakukan tindakan
membersihkan tangan segera setelah melepaskan sarung tangan.

c. Pelindung wajah (mata, hidung dan mulut)


- Gunakan 1) masker bedah dan pelindung mata (kacamata pelindung) atau 2)
pelindung wajah untuk melindungi membrane mukosa mata, hidung dan mulut
selama tindakan yang umumnya dapat menyebabkan terjadinya percikan darah,
cairan tubuh, sekret dan ekskresi.
d. Gaun Pelindung
- Gunakan untuk memproteksi kulit dan mencegah kotornya pakaian selama
tindakan yang umumnya bias melindungi percikan darah, cairan tubuh, secret dan
ekskresi
- Lepaskan gaun pelindung yang kotor sesegera mungkin dan bersihkan tangan

e. Pencegahan luka tusukan jarum dan benda tajam lainnya


Hati-hati jika :
- Memegang jarum, pisau dan alat-alat tajam lainnya
- Bersihkan alat-alat yang telah digunakan
- Buang jarum dan alat-alat tajam lainnya yang telah digunakan

f. Kebersihan pernafasan dan etika batuk


Seseorang dengan gejala gangguan napas harus :
- Tutup hidung dan mulut saat batuk/bersin dengan tisu dan masker, serta
membersihkan tangan setelah kontak dengan secret saluran napas
Fasilitas pelayanan kesehatan harus :
- Menempatkan pasien dengan gejala gangguan pernapasan akut setidaknya 1
meter dari pasien lain saat berada di ruang umum jika memungkinkan
- Letakkan tanda peringatan untuk melakukan kebersihan pernapasan dan etika
batuk pada pintu masuk fasilitas pelayanan kesehatan
- Pertimbangkan untuk meletakkan perlengkapan/fasilitas kebersihan tangan di
tempat umum dan area evaluasi pasien dengan gangguan pernapasan

g. Kebersihan lingkungan
Gunakan prosedur yang memadai untuk kebersihan rutin dan disinfeksi permukaan
lingkungan dari benda lain yang sering disentuh

h. Linen
Penanganan transportasi dan pemrosesan linen yang telah dipakai dengan cara :
- Cegah pajanan pada kulit dan membrane mukosa serta kontaminasi pada pakaian
- Cegah penyebaran pathogen ke pasien lain dan lingkungan
i. Pembuangan limbah
- Pastikan pengelolaan limbah yang aman
- Perlakukan limbah yang terkontaminasi darah, cairan tubuh, secret dan ekskresi
sebagai limbah infeksius, berdasarkan peraturan setempat.
- Jaringan manusia dan limbah laboratorium yang secara langsung berhubungan
dengan pemrosesan specimen harus juga diperlakukan sebagai limbah infeksius.
- Buang alat sekali pakai dengan benar.
j. Peralatan perawatan pasien
- Peralatan yang ternoda oleh darah, cairan tubuh, secret dan ekskresi harus
diperlakukan sedemikian rupa sehingga pajanan pada kulit dan membrane mukosa,
kontaminasi pakaian dan penyebaran pathogen ke pasien lain atau lingkungan
dapat dicegah.
- Bersihkan, disinfeksi dan proses kembali perlengkapan yang digunakan ulang
dengan benar sebelum digunakan pada pasien lain.

Langkah pengendalian infeksi :


1. Cuci tangan
2. Pakai sarung tangan
3. Tindakan aseptik
4. Dekontaminasi-sterilisasi alat
5. Pengelolaan bahan habis pakai

CUCI TANGAN
Pengertian
Membersihkan tangan dari segala kotoran dimulai dari ujung jari sampai siku dan lengan
dengan cara tertentu sesuai kebutuhan.
Menggosok dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat
dan ringkas kemudian di bilas di bawah aliran air (Larson, 1995 dalam Perry & Potter,
2004).
Tujuan :
1. Mencegah terjadinya infeksi silang melalui tangan
2. Menjaga kebersihan perorangan
3. Membuang kotoran dan organism yang menempel dari tangan dan untuk
mengurangi jumlah mikroba total
Prinsip Cuci tangan
1. Di awal shift sebelum melakukan perawatan pada klien
2. Sebelum dan setelah kontak dengan klien
3. Sebelum dan setelah perawatan
4. Sebelum dan setelah menyiapkan pengobatan
5. Setelah memegang linen kotor, alat atau peralatan
6. Saat melakukan kontak antara satu klien dengan klien lainnya
7. Sebelum memakai dan setelah melepas sarung tangan
8. Sebelum dan setelah makan
9. Saat bersin atau batuk
10. Sebelum meninggalkan nursing unit
MENCUCI TANGAN BERSIH (ASEPSIS MEDIS)
SARUNG TANGAN

Prinsip dasar :
1. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan setelah tangan melakukan kegiatan yang
mengakibatkan kontaminasi
2. Ganti sarung tangan setiap berganti klien
3. Ganti sarung tangan selama perawatan hanya untuk satu orang klien
4. Gunakan sarung tangan sekali pakai
5. Jangan menyentuh permukaan tubuh yang lembab atau basah tanpa sarung tangan
6. Siapkan sarung tangan yang bebas latex untuk anggota yang alergi atau sensitif
terhadap latex
7. Dekontaminasi tangan sebelum memakai sarung tangan steril

Hal-hal yang harus dipertimbangkan


1. Seseorang dapat membawa 10 ribu sampai 10 juta bakteri di setiap tangan
2. Seseorang yang menggunakan sarung tangan selama kontak dengan klien akan
terkontaminasi bakteri sebanyak 3 kali per menit dibandingkan dengan seseorang yang
tidak menggunakan sarung tangan akan terkontaminasi bakteri sebanyak 6 kali per
menit.
3. Aktivitas keperawatan seperti mengangkat klien, mengukur tekanan darah, nadi,
temperatur atau sering menyentuh klien tangan dapat terkontaminasi dengan bakteri
sebanyak 100 1.000 CFU Klebsiella selama melakukan prosedur.

MEMASANG DAN MELEPAS SARUNG TANGAN


Alat :
1. Sarung tangan
2. Tempat sampah
Prosedur :
1. Cuci tangan
2. Ambil sarung tangan bersih ( dari tempat khusus )
3. Pasang sarung tangan sampai ujung pergelangan tangan dengan menyelipkan jari
ke dalamnya
4. Pasang sarung tangan pada tangan kedua dengan metode yang sama
5. Lepas sarung tangan, dengan cara sentuh bagian luar sarung tangan kemudian
tarik ke luar
6. Letakkan gulungan sarung tangan tadi di telapak tangan
7. Lepas sarung tangan kedua dengan menyelipkan satu jari di bawah ujung sarung
tangan dan tarik ke bawah untuk melepaskan sarung tangan dengan gulungan
sarung tangan pertama di dalam sarung tangan kedua.
8. Buang sarung tangan di dalam kontainer, bukan disamping
9. Cuci tangan

MEMASANG SARUNG TANGAN TERBUKA


1. Siapkan kemasan sarung tangan steril yang sesuai ukurannya pada area
penanganan
2. Lakukan cuci tangan dengan seksama
3. Buka pembungkus bagian paling luar dari kemasan sarung tangan dengan
memisahkan dan melepaskan sisi-sisinya
4. Pegang bagian dalam kemasan dan letakkan pada permukaan yang bersih/steril,
datar tepat di atas tinggi siku. Buka kemasan, jaga supaya sarung tangan tetap di
atas permukaan bagian dalam pembungkus
5. Jika sarung tangan tidak dibedaki, ambil pak bedak dan pakai tipis-tipis pada
tangan di atas wastafel atau keranjang sampah
6. Identifikasi sarung tangan kanan dan kiri. Setiap sarung tangan memiliki manset
kira-kira lebar 5 cm
7. Dengan ibu jari dan telunjuk serta jari tengah dari tangan non dominan, pegang tepi
dari manset sarung tangan untuk tangan dominan. Sentuh hanya permukaan
bagian dalam sarung tangan
8. Pakai sarung tangan pada tangan dominan, biarkan manset dan pastikan manset
tidak bertumpuk di pergelangan tangan. Pastikan ibu jari dan jari lainnya berada
pada tempat yang tepat
9. Dengan tangan dominan yang bersarung tangan selipkan jari di dalam manset
sarung tangan kedua
10. Kenakan sarung tangan kedua pada tangan non dominan. Jangan biarkan jari
tangan dan ibu jari dari tangan dominan yang bersarung tangan menyentuh setiap
bagian tangan non dominan yang dibuka. Jaga supaya ibu jari tangan dominan
terabduksi ke belakang.
MEMBUANG SARUNG TANGAN
11. Pegang bagian luar dari satu manset dengan tangan yang bersarung
tangan, hindari menyentuh pergelangan tangan
12. Lepaskan sarung tangan, balikkan menjadi bagian dalam ke luar. Buang ke tempat
pembuangan
13. Dengan jari yang telah lepas tersebut ambil bagian dalam dari sarung tangan
yang masih dikenakan. Lepaskan sarung tangan, bagian dalam ke luar.
14. Buang di tempat pembuangan.

MEMASANG SARUNG TANGAN TERTUTUP


1. Dengan tangan tertutup kain gown, buka bagian dalam kemasan sarung tangan
steril
2. Dengan tangan non dominan masuk ke dalam manset gown, ambil sarung tangan
bagi tangan non dominan dengan menggenggam manset yang dilipat
3. Ekstensikan lengan bawah, dominan dengan telapak ke atas.dan letakkan telapak
tangan dari sarung tangan terhadap telapak tangan dominan. Jari sarung tangan akan
mengarah ke siku
4. Pegang bagian belakang manset sarung tangan dengan tangan non dominan dan
balik sarung tangan dan manset gown
5. Pegang bagian atas sarung tangan dan bagian dalam lengan gown dengan tangan
non dominan yang ditutupi. Ekstensikan jari tangan ke dalam sarung tangan secara
hati-hati, pastikan manset sarung tangan menutupi manset gown.
6. Pasang sarung tangan pada tangan non dominan dengan cara yang sama, tangan
sebaliknya. Gunakan tangan dominan yang bersarung tangan untuk menarik sarung
tangan. Pertahankan tangan berada dalam lengan gown.
7. Pastikan jari tangan terektensi secara penuh ke dalam kedua sarung tangan
8. Untuk melilitkan gown steril, gunakan tangan yang bersarung tangan dan lepaskan
kaitan atau ikatan di depan gown
9. Beri tali pada anggota tim steril yang masih berdiri. Berikan batas yang aman,
berputar balik ke kiri, tutupi punggung dengan penutup gown yang ditarik. Ambil
kembali tali dari anggota tim dan amankan tali ke gown.

DEKONTAMINASI DAN STERILISASI ALAT


Dekontaminasi adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran dari
suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya dan dilakukan sebagai
langkah pertama bagi pengelolaan alat kesehatan bekas pakai sebelum atau pengelolaan
pencemaran lingkungan juga sebagai langkah pertama pengelolaan limbah yang tidak
dimusnahkan dengan cara insimirasi atau pembakaran dengan alat insimirator, yaitu
sebelum alat tersebut dikubur dengan cara kaporisasi. Dekontaminasi dilakukan dengan
menggunakan bahan disinfektan, yaitu suatu bahan atau larutan kimia yang digunakan
untuk membunuh mikroorganisme pada benda mati dan tidak digunakan untuk kulit dan
jaringan mukosa, agar mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan misalnya HIV,
HBV, dan kotoran lain yang tidak tampak sehingga dapat melindungi petugas maupun
pasien.
Untuk perlindungan lebih jauh, pakai sarung tangan karet yang tebal atau sarung
tangan rumah tangga dari lateks jika menangani peralatan yang sudah digunakan atau
kotor. Segera setelah digunakan, rendam seluruh bagian benda-benda
yangterkontaminasi dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit. Ini akan cepat mematikan
virus hepatitis B dan HIV. Daya kerja larutan klorin akan cepat menurun sehingga harus
diganti minimal setiap 24 jam atau lebih cepat jika terlihat telah kotor atau keruh.

Adapun prosedur penyiapan larutan klorin adalah sebagai berikut:


1. Alat kesehatan jarum dan semprit :
Sebaiknya wadah yang tahan tusukan diisi dengan larutan klorin 0,5 %, isi jarum dan
semprit dengan larutan klorin dan semprotkan, lakukan sebanyak tiga kali. Rendam
dalam larutan klorin atau diinsimirasi bersama wadahnya.
2. Sarung tangan :
Sebelum melepaskan sarung tangan celupkan tangan dalam larutan klorin 0,5 % untuk
membersihkan permukaan luar sarung tangan dan menghilangkan darah dan cairan
tubuh yang lain. Lepas sarung tangan tanpa menyentuh permukaan luarnya dengan
tangan telanjang dan segera cuci tangan. Rendam sarung tangan dalam larutan klorin
0,5 % dan biarkan selama 10 menit sebelum dicuci. Untuk mencegah sarung tangan
robek dan berlubang selama proses dekontaminasi tempatkan sarung tangan dalam
wadah yang berbeda dengan wadah yang dipakai utnuk peralatan tajam. Untuk sarung
tangan sekali pakai buang sarung tangan bekas pakai ditempat penampungan limbah
medis, untuk sarung tangan pakai ulang tampung sarung tangan dalam wadah
sementara yang tertutup menunggu untuk dilakukan dekontaminasi bersama-sama
3. Wadah untuk penyimpanan peralatan
Isi wadah dengan larutan klorin 0,5 % dan biarkan selama 10 menit sebelum
dibersihkan bilas dan cuci dengan segera
4. Permukaan meja yang tidak berpori
Gunakan sarung tangan rumah tangga dan celemek kedap air saat mengerjakannya.
Siapkan larutan klorin 0,05 % dalam alat penyemprot. Semprotkan larutan tersebut
pada permukaan yang akan di dekontaminasi, biarkan selama 10 menit, kemudian lap
dengan lap basah yang bersih berulang kali sehingga larutan klorin terangkat.

Setelah dekontaminasi dilakukan pembersihan yang merupakan langkah penting


yang harus dilakukan. Tanpa pembersihan yang memadai maka pada umumnya proses
disinfeksi atau sterilisasi selanjutnya menjadi tidak efektif, pembersihan dengan cara
mencuci adalah menghilangkan segala kotoran yang kasat mata dari benda dengan sabun
atau detergen, air dan sikat. Pada pencucian digunakan detergen dan air. Pencucian
harus dilakukan dengan teliti sehingga darah atau cairan tubuh lain, jaringan, bahan
organic dan kotoran betul-betul hilang dari permukaan alat tersebut. Peralatan yang sudah
dicuci dibilas dan dikeringkan dahulu sebelum diproses lebih lanjut, Tidak dianjurkan untuk
menggunakan sabun cuci biasa untuk membersihkan peralatan karena sabun yang
bereaksi dengan air akan meninggalkan residu yang sulit dihilangkan.

Rumus untuk membuat larutan klorin 0,5% dari larutan konsentrat berbentuk cair :

Jumlah bagian air = (% larutan konsentrat : % larutan yang diinginkan) 1


Contoh :
Untuk membuat larutan klorin 0,5% dari larutan klorin 5,25%
1. Jumlah bagian air = (5,25% : 0,5%) 1 = 10,5 1 = 9,5
2. Tambahkan 9 bagian (pembulatan ke bawah dari 9,5) air ke dalam 1 bagian larutan
klorin 5,25 %

Rumus untuk membuat larutan klorin 0,5% dari bubuk klorin kering :

Jumlah bagian air = (% larutan yang diinginkan : % konsentrat) x 1000

Contoh :
Untuk membuat larutan klorin 0,5% dari bubuk klorin yang bisa melepaskan klorin (seperti
kalsium hipoklorida) yang mengandung 35% klorin
1. Gram/liter = (0,5% : 35%) x 1000 = 14,3 gram/liter
2. Tambahkan 14 gram (pembulatan kebawah dari 14,3) bubuk klorin 35% ke dalam 1 liter
air bersih.

PENGELOLAAN BAHAN HABIS PAKAI


1. Pemrosesan alat bekas pakai
a. Menyiapkan alat dan bahan untuk memproses alat bekas pakai (sarung tangan
tebal, wadah plastik, larutan chlorine 0,5%, air sabun/detejen, sikat halus, air
bersih, handuk bersih, tempat alat, duk bersih, autoklav/oven, kompor)
b. Dengan memakai sarung tangan tebal, merendam semua peralatan yang
digunakan di dalam bak plastik yang berisi larutan chlorine 0,5% selama 10 menit
c. Memindahkan alat ke dalam wadah berisi air sabun/deterjen
d. Menyikat peralatan dengan sikat yang halus serta air dan sabun. Menyikat harus
dilakukan di bawah permukaan air
e. Memindahkan alat ke dalam wadah berisi air bersih
f. Membilas lagi dengan air bersih sampai tidak ada lagi detejen yang tersisa
g. Mengeringkan alat dengan udara atau handuk bersih. Pengeringan tidak diperlukan
jika dilakukan DTT dengan perebusan
h. Memeriksa apakah ada alat yang rusak. Apabila rusak, dipisahkan
i. Masukkan alat ke tempat alat, dibungkus dengan kain duk bersih
j. Lanjutkan proses dengan melakukan sterilisasi jika memungkinkan atau DTT bila
tidak memungkinkan.

2. Pemprosesan bahan habis pakai


a. Menyiapkan alat dan bahan untuk memproses alat bekas pakai (sarung tangan
tebal, wadah plastik, larutan chlorine 0,5%, air sabun/deterjen, sikat halus, air
bersih, tempat sampai bahan habis pakai)
b. Dengan masih memakai sarung tangan, membuang bahan habis pakai ke tempat
sampah khusus bahan habis pakai
c. Mengisi spuit injeksi (jarum masih terpasang) dengan larutan chlorine 0,5% dengan
mengisapnya melalui jarum
d. Merendam semprit dan jarumnya ke dalam larutan chlorine 0,5% dengan posisi
horizontal selama 10 menit
e. Membuang larutan desinfektan dari dalam semprit dan jarum
f. Melepaskan jarum dari semprit dan membersihkan dengan air sabun,
membersihkan pangkal jarum dan memastikan bahwa jarum tidak buntu
g. Memasang kembali jarum dan membersihkan semprit beserta jarum suntik dengan
cara mengisap dan mengeluarkan air melalui jarum (di spool) sekurang-kurangnya
dua kali
h. Melepas jarum dari semprit dan memastikan bahwa daerah pangkal telah bersih
i. Memasang tutup semprit pada jarumnya dan membuang semprit ke tempat
sampah bahan habis pakai

3. Pemprosesan sarung tangan pakai ulang


a. Menyiapkan alat dan bahan untuk memproses alat bekas pakai (sarung tangan
tebal, wadah plastik, larutan chlorine 0,5%, air sabun/deterjen, sikat, air bersih,
handuk bersih, tempat sampah khusus bahan habis pakai, duk bersih, autoklav)
b. Sebelum melepas sarung tangan, mencelupkan dahulu tangan ke dalam wadah
yang berisi larutan chlorine 0,5% dan menggosok-gosok darah/nanah/cairan lain
yang menempel agar lepas
c. Melepaskan sarung tangan dengan cara membaliknya dan merendam sarung
tangan tersebut di dalam larutan chlorine 0,5% selama 10 menit
d. Dengan menggunakan sarung tangan tebal, memindahkan sarung tangan ke dalam
wadah berisi air sabun/deterjen
e. Membersihkan bagian luar dan dalam sarung tangan dengan sikat
f. Memindahkan sarung tangan dengan air bersih agar tidak ada sisa deterjen yang
tertinggal
g. Melakukan pengujian untuk melihat kebocoran dengan cara menggembungkannya
(dengan tangan) dan memasukkannya ke dalam air. Jika ada lubang akan timbul
gelembung udara
h. Mengeringkan bagian dalam dan luar sarung tangan dengan hati-hati sebelum
melakukan sterilisasi atau DTT
i. Untuk sarung tangan yang akan disterilisasi, membungkus sarung tangan terlebih
dahulu dengan duk steril
4. Pemprosesan bahan tenun bekas pakai
a. Menyiapkan alat dan bahan untuk memproses bahan habis pakai (sarung tangan
tebal, wadah plastik, larutan chlorine 0,5%, air sabun/detejen, sikat, air panas,
autoklav)
b. Merendam bahan tenun yang terkontaminasi darah atau cairan tubuh lainnya dalam
larutan chlorine 0,5 % selama 10 menit
c. Mencuci bahan tenun dengan deterjen dan air panas
d. Membilas sampai bersih
e. Mengeringkan bahan tenun dengan mesin pengering atau di bawah matahari
f. Melakukan sterilisasi

5. Dekontaminasi permukaan meja bekas tindakan bedah


a. Menyiapkan alat dan bahan untuk dekomintasi permukaan meja bekas tindakan
bedah (sarung tangan tebal, lap, larutan chlorine 0,5%, air sabun/detejen, air
bersih)
b. Dengan memakai sarung tangan tebal, mengelap permukaan yang terkontaminasi
dengan larutan chlorine 0,5%
c. Mengelap permukaan dengan air sabun/detejen sampai bersih
d. Mengelap permukaan dengan air bersih
e. Membiarkan permukaan kering sebelum digunakan kembali

Sterilisasi dapat dilakukan dengan dua cara yakni :


1. Secara fisik :
a. Pemanasan
Pada pemanasan dengan oven dibutuhkan panas setinggi 150-170 C dengan waktu
yang lebih lama dari autoklaf. Sebagai gambaran untuk mematikan spora dibutuhkan
waktu dua jam dengan suhu 180 C
b. Radiasi
Dengan menggunakan sinar gamma, namun cara ini tidak sesuai untuk sterilisasi
skala kecil seperti rumah sakit apalagi puskesmas Karena sangat mahal. Cara ini
hanya digunakan untuk industry besar dalam jumlah besar, seperti jarum suntik dan
semprit sekali pakai, alat infuse.
c. Penyaringan
Merupakan cara yang dipakai untuk larutan yang tidak tahan panas seperti serum,
plasma atau vaksin. Sterilisasi ini menggunakan saringan atau filter yang terbuat dari
selulosa berpori. Ukuran penyaring untuk sterilisasi adalah 0,22 nm Yang berarti lebih
kecil dari bakteri
2. Secara kimia :
a. Gluteraldehid
b. Gas etilin oksida

Infeksi yang terjadi di sarana kesehatan salah satu faktor resikonya adalah
pengelolaan alat kesehatan atau cara dekontaminasi dan disinfeksi yang kurang tepat.
Meskipun tidak semua alat kesehatan yang digunakan dalam pelayanan medis pada
pasien harus disterilkan, tetapi pengelolaannya harus dengan cara yang benar dan tepat.
Disinfeksi adalah satu proses untuk menghilangkan sebagian atau seluruh mikrooranisme
dari alat kesehatan kecuali endospora bakteri. Biasanya dilakukan di sarana kesehatan
dengan menggunakan cairan kimia, pasterurisasi atau perebusan. Efikasi dipengaruhi
oleh banyak faktor, diantaranya adalah proses yang dilakukan sebelumnya seperti
pencucian, pengeringan, adanya zat-zat organic, tingkat pencemaran, jenis
mikroorganiseme pada alat kesehtan, lamanya terpajang oleh disinfektan. Bila faktor-
faktor tersebut ada yang diabaikan akan mengurangi efektivitas proses disinfeksi itu
sendiri.

Dikenal macam-macam disinfektan :


1. Disinfektan kimiawi seperti : alcohol, klorin, formaldehid, glutardehid, hydrogen
peroksida, asam parasetet, fenol dll.
2. Cara disinfeksi lainnya seperti radiasi sinar ultraviolet, pasteurisasi dan mesin pencuci.

Masing-masing disinfektan tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan tidak dapat


saling mengganti satu sama lain. Karakteristik disinfektan yang ideal yaitu bersprektum
luas, membunuh kuman secara cepat, tidak dipengaruhi faktor lingkungan, tidak toksik,
tidak korosif atau merusak bahan, tidak berbau, mudah pemakaiaanya, ekonomis, larut
dalam air, dan mempunyai efek pembersih.
Disinfeksi tingkat tinggi (DTT) merupakan alternatif penatalaksanaan alat kesehatan
apabila sterilisasi tidak tersedia atau tidak mungkin dilaksanakan, DTT dapat membunuh
semua mikroorganisme termaksud virus hepatitis B dan HIV tetapi tidak dapat membunuh
endospora dengan sempurna seperti tetanus atau gas ganggren. Adapun beberapa cara
melakukan disinfeksi tingkat tinggi diantaranya dentgan cara :
1. Merebus dalam air mendidih selama 20 menit, merebus tidak memerlukan peralatan
yang mahal dan selalu tersedia maka cara tersebut adalah cara yang lebih disukai di
klinik kecil atau daerah terpencil
2. Rendam dalam disinfektan kimiawai seperti glutar aldehid, formaldehid 8 %
3. DTT dengan uap

Penyimpanan yang baik sama pentingnya dengan proses sterilisasi atau disinfeksi itu
sendiri. Ada dua macam alat dilihat dari cara penyimpangannya yakni :
1. Alat yang dibungkus
Dalam kondisi penyimpangan yang optimal dan penanganan yang minimal, dapat
dinyatakan steril sepanjang bungkus tetap utuh dan kering. Untuk penyimpanan yang
optimal, simpang bungkusan steril dalam lemari tertutup dibagian yang tidak terlalu
sering dijamah, suhu udara sejuk dan kering atau kelembaban rendah. Jika ragu-ragu
akan sterilitas paket maka alat itu dianggap tercemar dan harus disterilkan kembali
sebelum pemakaian. Alat yang tidak dibungkus harus digunakan segera setelah
dikeluarkan. Jangan menyimpan alat dalam larutan.
2. Pengelolaan benda tajam
Benda tajam sangat berisiko untuk menyebabkan perlukaan sehingga meningkatkan
terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah, untuk menghindari perlukaan atau
kecelakan kerja maka semua benda tajam harus digunakan sekali pakai, dengan
demikian jarum suntik bekas tidak boleh digunakan lagi. Tidak dianjurkan untuk
melakukan daur ulang atas pertimbangan penghematan karena 17 % kecelakan kerja
disebabkan oleh luka tusukan sebelum atau selama pemakaian. Salah satu contoh cara
yang dianjurkan untuk mencegah perlukaan akibat penggunaan jarum suntik yaitu jarum
suntuik tersebut langsung dibuang ke tempat sementaranya tanpa menyentuh atau
memanipulasi bagian tajamnya seperti dibengkokkan, dipatahkan atau ditutup kembali.
Jika jarum terpaksa ditutup kembali, gunakanlah cara penutupan jarum dengan satu
tangan untuk mencegah jari tertusuk jarum.
PENILAIAN KETERAMPILAN MENCUCI TANGAN BERSIH (ASEPSIS MEDIS)

NAMA :
NIM :

ASPEK YANG DINILAI NILAI


0 1 2
Persiapan Alat :
1. Bak cuci dengan kran air hangat mengalir
2. Sabun atau disinfektan (antimikroba )
3. Handuk (paper towel)
4. Sikat kuku (tidak menjadi keharusan)
5. Tempat untuk handuk kotor
Pelaksanaan
1. Dorong ke atas lengan baju seragam yang panjang di atas
pergelangan tangan.
2. Lepasakan perhiasan dan jam tangan
3. Pertahankan kuku jari anda pendek dan terkikir
4. Perhatikan permukaan tangan anda dan jari-jari terhadap
adanya luka goresan atau potongan pada kulit. Laporkan
adanya lesi jika merawat klien dengan kerentangan tinggi
5. Berdiri di depan bak cuci, jaga agar tangan dan seragam anda
tidak menyentuh permukaan bak cuci (Ulangi jika menyentuh)
6. Pastikan handuk sudah berada di tempat yang bersih dan
mudah dijangkau
7. HIdupkan kran yang dioperasikan dengan tangan
8. Atur aliran air sehingga suhunya hangat
9. Basahi tangan dan lengan bawah secara menyeluruh di bawah
air mengalir
10. Oleskan 1 ml sabun cair biasa atau 3 ml sabun cair antiseptic
pada tangan dan buat berbusa. Bila menggunakan sabun
batangan, pegang dan gosok sampai berbusa.
11. Cuci tangan menggunakan banyak busa dan gosokkan selama
10 sampai 15 detik.
12. Jalin jari-jari dan gosok telapak dan punggung tangan dengan
gerakan memutar
13. Bila area di bawah jari-jari kotor, bersihkan dengan kuku jari
tangan yang lain dan tambahkan sabun atau disikat. Jaga agar
kulit di bawah (di sekitar) kuku tidak luka atau terpotong
14. Bilas tangan dan pergelangan tangan secara menyeluruh, jaga
agar tangan di atas dan siku di bawah
15. Ulangi langkah 10 sampai 14 tetapi perpanjang mencuci tangan
selama 1, 2, 3 menit
16. Keringkan tangan dengan handuk, usap dari jari turun ke
pergelangan tangan dan lengan bawah
17. Tutup kran dengan handuk
18. Letakkan handuk pada tempatnya
19. Pertahankan tangan tetap bersih (jika menyentuh tepi bak cuci
ulangi kembali prosedur)
Total
MENCUCI TANGAN STERIL (ASEPSIS BEDAH)

Nama Mahasiswa : .
NIM : .

ASPEK YANG DINILAI NILAI


0 1 2
Persiapan Alat :
1. Bak cuci tangan dengan kran tangkai atau pedal kaki
2. Sabun antimicrobial
3. Sikat tangan steril sekali pakai
4. Pengikir kuku
5. Masker
6. Tempat sikat
Pelaksanaan :
1. Periksa tangan dan jarin terhadap luka atau abrasi
2. Lepaskan semua perhiasan
3. Kenakan masker wajah, pastikan bahwa masker tersebut
menutupi hidung dan mulut dengan baik
4. Atur aliran air pada suhu hangat
5. Basahi tangan dan lengan bawah tangan dengan bebas,
pertahankan tangan atas berada setinggi siku selama prosedur
6. Tuang/ambil sabun (2-5 ml) k etangan dan gosokkan tangan
serta lengan sampai 2 cm (2 inchi) di atas lengan
7. Bersihkan kuku di bawah air mengalir dengan sikat steril atau
pengikir
8. Basahi sikat dan oleskan sabun antimicrobial. Sikat ujung jari,
tangan, lengan dengan cara :
a. Sikat kuku tangan 25 kali gosokkan
b. Lakukan gerakan sirkular, sikat telapak tangan dan
permukaan anterior jari 10 kali gosokan
c. Sikat bagian samping ibu jari 10 kali gosokan dan bagian
posterior ibu jari 10 kali gosokan
d. Sikat bagian samping dan belakang tiap jari 10 gosokan tiap
area
e. Sikat punggung tangan 10 kali gosokan
9. Cuci sikat. Oleskan kembali sabun
10. Bedakan lengan dalam 3 bagian, sikat setiap permukaan
bagian bawah lengan dengan gerakan sirkular selama 10
kali gosokan, sikat bagian tengah dan atas lengan
bawah dengan cara yang sama. Buang sikat pada
tempat yang telah disediakan.
11. Dengan tangan fleksi, bilas menyeluruh dari ujung jari sampai
siku dalam satu kali gerakan, biarkan air mengalir pada siku.
12. Ulangi langkah 8 sampai 11 untuk lengan yang lain
13. Pertahankan lengan fleksi, buang sikat kedua. Matikan air
dengan siku atau pedal kaki
14. Gunakan handuk steril untuk mengeringkan satu tangan secara
menyeluruh, gerakan dari jari ke siku. Keringkan dengan
gerakan melingkar dari area yang paling bersih ke area yang
kurang bersih

15. Ulangi metode pengeringan untuk tangan yang lain, gunakan


area handuk yang lain atau handuk steril baru
16. Pertahankan tangan lebih tinggi dari siku dan jauh dari tubuh
17. Masuk ruang operasi atau bersalin, lindungi tangan dari kontak
dengan objek apapun

Total
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna

Nilai Batas Lulus 75 %

Jumlah nilai yang didapat

Nilai = x 100% = ..
Banjarbaru, ...............................
Jumlah aspek yang dinilai Evaluator
...................................................
PENILAIAN KETERAMPILAN
MEMASANG DAN MELEPAS SARUNG TANGAN BERSIH

Nama Mahasiswa : ............................


NIM : ............................

ASPEK YANG DINILAI NILAI


0 1 2
Persiapan Alat :
1. Sarung tangan
2. Tempat sampah
Prosedur Pelaksanaan

MEMASANG SARUNG TANGAN


1. Cuci tangan
2. Ambil sarung tangan bersih ( dari tempat khusus )
3. Pasang sarung tangan sampai ujung pergelangan tangan
dengan menyelipkan jari ke dalamnya
4. Pasang sarung tangan pada tangan kedua dengan
metode yang sama
MELEPAS SARUNG TANGAN
1. Lepas sarung tangan, dengan cara sentuh bagian luar
sarung tangan kemudian tarik ke luar
2. Letakkan gulungan sarung tangan tadi di telapak tangan
3. Lepas sarung tangan kedua dengan menyelipkan satu jari
di bawah ujung sarung tangan dan tarik ke bawah untuk
melepaskan sarung tangan dengan gulungan sarung
tangan pertama di dalam sarung tangan kedua.
4. Buang sarung tangan di dalam kontainer, bukan
disamping
5. Cuci tangan
Total
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna
Nilai Batas Lulus 75 %

Jumlah nilai yang didapat

Nilai = x 100% = ..
PENILAIAN KETERAMPILAN
Jumlah aspek yang
MEMASANGdinilai SARUNG TANGAN STERIL
Nama Mahasiswa : ....................................
NIM : ....................................

ASPEK YANG DINILAI NILAI


0 1 2
Persiapan Alat :
1. Sarung tangan steril
2. Tempat sampah

Prosedur Pelaksanaan :
MEMASANG SARUNG TANGAN STERIL
1. Siapkan kemasan sarung tangan steril yang sesuai
ukurannya pada area penanganan.
2. Lakukan cuci tangan dengan seksama.
3. Buka pembungkus bagian paling luar dari kemasan sarung
tangan .
4. Pegang bagian dalam kemasan dan letakkan pada
permukaan yang bersih/steril, datar tepat di atas tinggi siku.
Buka kemasan, jaga supaya sarung tangan tetap di atas
permukaan bagian dalam pembungkus.
5. Identifikasi sarung tangan kanan dan kiri. Setiap sarung
tangan memiliki manset kira-kira lebar 5 cm
6. Dengan ibu jari dan telunjuk serta jari tengah dari tangan
non dominan, pegang tepi dari manset sarung tangan untuk
tangan dominan. Sentuh hanya permukaan bagian dalam
sarung tangan.
7. Pakai sarung tangan pada tangan dominan, biarkan manset
dan pastikan manset tidak bertumpuk di pergelangan
tangan. Pastikan ibu jari dan jari lainnya berada pada
tempat yang tepat.
8. Dengan tangan dominan yang bersarung tangan selipkan
jari di dalam manset sarung tangan kedua.

9. Kenakan sarung tangan kedua pada tangan non dominan.


Jangan biarkan jari tangan dan ibu jari dari tangan dominan
yang bersarung tangan menyentuh setiap bagian tangan
non dominan yang dibuka. Jaga supaya ibu jari tangan
dominan terabduksi ke belakang.
MELEPAS SARUNG TANGAN
1. Lepas sarung tangan, dengan cara sentuh bagian luar
sarung tangan kemudian tarik ke luar.
2. Letakkan gulungan sarung tangan tadi di telapak tangan
3. Lepas sarung tangan kedua dengan menyelipkan satu jari
di bawah ujung sarung tangan dan tarik ke bawah untuk
melepaskan sarung tangan dengan gulungan sarung
tangan pertama di dalam sarung tangan kedua.
4. Buang sarung tangan di dalam kontainer, bukan disamping.
5. Cuci tangan
Total

Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna

Nilai Batas Lulus 75 %

Jumlah nilai yang didapat

Nilai = x 100% = ..
Banjarbaru, ...............................
Jumlah aspek yang dinilai Evaluator

...................................................

6. FISIOTERAPI DADA

Sasaran pembelajaran:
1. Mahasiswa mampu melakukan drainage postural sesuai kondisi penyakit atau
lokasi penumpukan sekret klien
2. Mahasiswa mampu melakukan perkusi dada
3. Mahasiswa mampu melakukan vibrasi dada
4. Mahasiswa mampu melakukan latihan pernapasan diafragma dan pernafasan bibir
5. Mahasiswa mampu mengajarkan latihan pernapasan diafragma dan pernafasan
bibir pada klien

Pendahuluan
Fisioterapi dada merupakan kelompok terapi kombinasi yang dilakukan dengan
tujuan untuk memobilisasi sekret pulmonary, meningkatkan ventilasi, dan meningkatkan
efisiensi otot-otot pernafasan. Fisioterapi dada direkomendasi untuk klien yang
memproduksi sputum dengan jumlah banyak (30 cc per hari) atau menunjukkan bukti
atelektasis dengan sinar X. Fisioterapi dada terdiri dari :
- Drainase postural atau drainase segmen bronkus
- Perkusi dada dan vibrasi dada
- Latihan pernafasan (diafragma dan pursed-lip breathing)

Drainase Postural (Drainase Segmen Bronkus)


Drainase postural dilakukan dengan menggunakan posisi-posisi tertentu
memanfaatkan gaya gravitasi untuk memindahkan sekresi dari bronkiolus ke bronkus dan
trakea, kemudian dikeluarkan dengan batuk atau suction. Drainase postural digunakan
untuk mencegah terjadinya obstruksi bronkus akibat akumulasi secret. Drainase postural
dapat dilakukan pada hampir semua segmen paru-paru. Biasanya ada 5 posisi yang
sering dilakukan untuk drainase postural yaitu head down (kepala lebih rendah dari
badan), prone, lateral kanan, lateral kiri, dan upright (duduk tegak atau duduk dengan
kepala lebih tinggi dari badan).
Perawat harus memperhatikan dengan lokasi lobus dan segmen paru tempat
berkumpulnya secret. Auskultasi dinding dada sebelum dan sesudah prosedur dapat
membantu untuk mengidentifikasi area yang membutuhkan drainase postural dan
keefektifan terapi. Selain itu, perawat juga harus memperhatikan cardiac status serta
adanya deformitas struktur dinding dada dan tulang punggung sebelum dilakukan
drainase postural.
Drainase postural dapat dilakukan 2-4 kali sehari sebelum makan (untuk mencegah
mual, muntah, dan aspirasi) dan dilakukan di atas tempat tidur klien. Klien dapat juga
diberikan agen-agen bronkodilator, air, atau nebulizer dengan saline sebelum dilakukan
drainase postural untuk mendilatasi bronkiolus, mengurangi bronkospasme, menurunkan
kekentalan sputum dan mucus, dan mengurangi edema dinding bronkiolus. Urutan yang
dianjurkan untuk melakukan drainase postural yaitu posisi untuk mendrainase lobus
inferior paru dahulu baru kemudian ke lobus superior. Saat dilakukan drainase postural,
klien diminta untuk menahan posisi yang sama selama 10-15 menit dan bernafas secara
perlahan melalui hidung, menghembuskannya perlahan melalui mulut untuk menjaga jalan
nafas terbuka. Jika klien tidak dapat mentoleransi salah satu posisi drainase postural,
maka perawat harus melakukan modifikasi terhadap posisi tersebut. Saat klien berganti
posisi, perawat harus menjelaskan cara batuk efektif dan mengeluarkan sekret. Jika klien
tidak dapat batuk, perawat mungkin membutuhkan suction mekanis untuk membantu
mengeluarkan secret. Perkusi dada dan vibrasi dada dapat juga dikombinasikan untuk
melepaskan secret dan mucus yang menempel pada bronkiolus dan bronkus.
Setelah Drainase postural selesai dilakukan, perawat mencatat jumlah, warna,
kekentalan, dan karakter sutum. Penting juga untuk mengevaluasi warna kulit klien dan
nadi selama prosedur berlangsung. Jika diperlukan, klien dapat diberikan terapi oksigen
selama prosedur drainase postural.
Perkusi Dada dan Vibrasi Dada
Sekresi dan mucus tebal yang sulit untuk dibatukkan dapat dibantu dengan
melakukan pekusi dada dan vibrasi dada. Teknik ini akan membantu mengeluarkan mucus
yang menempel di bronkiolus dan bronkus.
Perkusi dada dilakukan dengan cupping (menangkupkan telapak tangan) dan
menepuk perlahan dinding dada dengan tepukan berpola dan beritme di atas daerah yang
akan didrainage. Perkusi pada permukaan dinding dada akan mengirimkan gelombang
berbagai amplitudo dan frekuensi melalui dada sehingga mengubah konsistensi dan lokasi
sputum. Perkusi dada dilakukan dengan mengubah gerakan tangan melawan dinding
dada. Pakaian yang lembut atau handuk dapat ditempatkan di sekitar segmen dada yang
diperkusi untuk mencegah iritasi kulit dan kemerahan. Jangan melakukan perkusi di
daerah skapula karena bisa mengakibatkan trauma pada kulit dan struktur
muskuloskeletal di bawahnya.
Perkusi dada, termasuk juga vibrasi dada dilakukan selama 3-5 menit pada setiap
posisi. Klien menggunakan pernafasan diafragma selama prosedur ini untuk
meningkatkan relaksasi. Sebagai pencegahan, perkusi dada di daerah selang drainase,
sternum, tulang belakang, hepar, ginjal, spleen, dan mammae (wanita) harus dihindari.
Perkusi dada pada lanjut usia harus dilakukan dengan hati-hati karena kerawanan insiden
osteoporosis dan resiko fraktur costae.

Kontraindikasi perkusi dada :


1. Gangguan perdarahan
2. Osteoporosis
3. Fraktur tulang iga
4. Abses paru
5. Adanya peningkatan tekanan intra kranial (TIK)
6. Klien dengan syok, kritis dan terminal
7. Gangguan jantung seperti IMA dan aritmia
8. Hipertenesi
9. Edema serebri
10. Cedera kepala
11. Gangguan spinal
12. Distensi abdomen
13. Fase akhir dari PPOM
14. Klien yang tidak kooperatif

Vibrasi dada merupakan teknik pemberian tekanan halus yang menggoyang pada
dinding dada selama fase ekshalasi. Teknik ini akan meningkatkan kecepatan dan
turbulensi udara yang dikeluarkan kemudian memfasilitasi pengeluaran sekresi. Vibrasi
meningkatkan pengeluaran udara yang terperangkap dan menggoyang mukus sehingga
lepas dan menyebabkan batuk. Setelah 3 atau 4 kali vibrasi dada, klien dapat dianjurkan
untuk batuk menggunakan otot abdomen. Vibrasi tidak direkomendasi untuk dilakukan
bagi bayi dan anak kecil.
Pemberian program batuk efektif dan pembersihan sputum bersamaan dengan
hidrasi akan menurunkan produksi sputum pada sebagian besar klien. Perkusi dada dan
vibrasi dada dapat dilakukan berulang tergantung pada tolerasi dan respon klinis klien.
Penting juga untuk selalu mengevalusi suara nafas sebelum dan sesudah prosedur.
Perawat dapat memberikan analgesic (sesuai resep) sebelum prosedur, melindungi incisi
bedah (jika ada), dan menyediakan bantal sebagai alat bantu jika diperlukan. Perawat
harus menghentikan prosedur jika klien mengalami peningkatan nyeri, nafas menjadi
cepat dan dangkal, lemah, pusing atau sakit kepala, atau hemoptosis. Perkusi dada dan
vibrasi dada diindikasikan sampai respirasi klien normal, dapat memobilisasi secret, suara
nafas normal, dan temuan X-ray juga normal.

Gambar A : Posisi tangan yang tepat saat perkusi dada


Gambar B : Teknik yang tepat saat vibrasi dada. Pergelangan tangan dan siku
dipertahankan kaku, gerakan vibrasi dihasilkan dari otot-oto bahu.
Gambar C : Posisi tangan yang tepat saat vibrasi dada

Latihan Pernafasan
Latihan pernafasan ditujukan untuk mengefisiensikan dan mengontrol ventilasi.
Latihan pernafasan secara khusus diindikasikan untuk klien dengan COPD dan dyspneu.
Latihan ini akan memaksimalkan inflasi alveolar, relaksasi otot, menurunkan kecemasan,
mengeliminasi pola aktivitas otot pernafasan yang tidak efektif dan tidak terkoordinasi,
menurunkan frekuensi pernafasan, dan menurunkan kinerja pernafasan. Latihan
pernafasan yang spesifik meliputi pernafasan diafragma dan pursed-lip breathing.
Tujuan dari pernafasan diafragma adalah untuk memperkuat dan menggunakan
diafragma saat bernafas. Pernafasan diafragma akan menjadi otomatis dengan
konsentrasi dan latihan yang cukup. Sedangkan tujuan dari pursed-lip breathing adalah
untuk melatih otot ekspirasi pernafasan sehingga dapat memperpanjang fase ekshalasi
dan meningkatkan tekanan udara selama ekspirasi. Hal ini akan mengurangi resistensi
dan jumlah udara yang tersisa di paru-paru. Pursed-lip breathing akan meningkatkan
transport oksigen, menginduksi pernafasan yang lebih perlahan, dalam, dengan pola yang
regular, bahkan pada saat mengalami periode stress. Tipe pernafasan ini juga dapat
mencegah kolaps akibat penurunan elastisitas paru-paru pada emfisema.

Langkah-langkah latihan pernafasan :


Petunjuk umum :
- Tarik nafas secara perlahan dengan pola teratur untuk ekshalasi dan
pengosongan paru-paru secara sempurna
- Inhalasikan udara melalui hidung untuk menyaring, melembabkan, dan
menghangatkan udara sebelum masuk ke dalam paru-paru
- Jika merasa kesulitan untuk bernafas, bernafaslah lebih perlahan dengan
memperpanjang fase ekshalasi
Pernafasan Diafragma
Tujuan : Untuk menggunakan dan memperkuat diafragma selama bernafas
- Letakkan satu tangan pada abdomen (di bawah costae) dan tangan yang lain di
pertengahan dada untuk meningkatkan perhatian posisi diafragma dan
fungsinya dalam bernafas
- Tarik nafas perlahan dan dalam melalui hidung, biarkan abdomen tertarik sejauh
mungkin
- Hembuskan nafas dengan mengerutkan bibir sembari mengontraksikan
abdomen
- Tekan dengan lembut abdomen saat menghembuskan nafas
- Ulangi selama 1 menit, ikuti dengan istirahat selama 2 menit
- Secara bertahap, tingkatkan durasi sampai 5 menit, beberapa kali dalam sehari
(sebelum makan dan saat istirahat)

Pursed-Lip Breathing
Tujuan : Untuk memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan udara selama fase
ekspirasi serta mengurangi resistensi dan jumlah udara yang tersisa di paru-paru
- Tarik nafas melalui hidung sembari berhitung sampai 3
- Hembuskan nafas perlahan melawan bibir yang dikerutkan sambil
mengontraksikan otot abdomen (mengerutkan bibir akan meningkatkan tekanan
intratrakeal, ekshalasi melalui mulut akan menurunkan resistensi udara
ekspirasi)
- Hitung sampai 7 saat memperpanjang fase ekshalasi
- Dengan posisi duduk :
Lipat tangan di abdomen
Tarik nafas melalui hidung sambil menghitung sampai 3
Hembuskan nafas perlahan menggunakan pursed-lip breathing sambil
menghitung sampai 7 dengan membungkukkan badan ke depan
- Dengan posisi berjalan :
Tarik nafas selama berjalan 2 langkah
Hembuskan nafas perlahan menggunakan pursed lip breathing selama berjalan
5 langkah
FISIOTERAPI DADA
PERKUSI DADA DAN VIBRASI DADA
Nama Mahasiswa :
NIM :
No. Aspek yang dinilai Nilai
0 1 2
Tahap pre interaksi
1. Verifikasi order (catatan status kesehatan klien)
2. Cuci tangan
3. Siapkan alat
1. Handuk besar (pilihan)
2. Peralatan pengisap (suction)
3. Baskom emesis (bengkok)
4. Tissue dan kantong kertas
5. Stetoskop
6. Bantal (minimal 6 buah)
7. Skort (untuk Universal precaution)
8. Tempat tidur khusus (jika ada)
Tahap orientasi
1. Berikan salam dan panggil klien dengan nama
kesukaannya
2. Menjelaskan tujuan, prosedur dan lama tindakan
Tahap kerja
1. Menjelaskan tujuan prosedur perkusi dan vibrasi
2. Pasien dianjurkan melakukan pernafasan diafragma dan
batuk efektif.
3. Posisi pasien sebaiknya posisi drainage (tergantung di
daerah mana terjadi penumpukan sekret)
4. Melakukan perkusi pada dinding rongga dada selama 1
2 menit.
a. Costae paling bawah sampai bahu pada bagian
belakang
b. Costae paling bawah sampai koste atas pada
bagian depan
5. Jari tangan dan ibu jari dirapatkan dan fleksikan sedikit,
buat mangkuk dangkal pada tangan.
6. Tepuk area target dengan menggunakan mangkuk
telapak tangan, tahan pergelangan tangan dengan kuat
dan ganti tangan (harus menghasilkan bunyi gaung).
7. Perkusi seluruh area target dengan menggunakan pola
tangan bergantian secara sistematik dan berirama.
8. Menganjurkan pasien menarik nafas dalam perlahan,
lakukan vibrasi sambil pasien menghembuskan nafas
perlahan melalui pursed lip, yaitu:
a. Letakkan 1 tangan pada daerah yang akan
divibrasi (area target) dan letakkan tangan lain di
atasnya.
b. Tegangkan otot-otot tangan dan lengan sambil
melakukan tekanan yang cukup dan vibrasikan tangan
dan lengan
c. Angkat tekanan pada dada ketika pasien menarik
nafas.
d. Menganjurkan pasien batuk dengan menggunakan
otot abdominal setelah 3 4 kali vibrasi
9. Memberi waktu pasien untuk beristirahat selama
beberapa menit.
10. Auskultasi adanya perubahan pada suara nafas di area
target yang terjadi penumpukan sekret sebelum dilakukan
tindakan.
11. Mengulangi perkusi dan vibrasi secara bergantian sesuai
kondisi pasien, biasanya 15 20 menit.
12. Merapikan alat-alat dan klien
13. Mendokumentasikan prosedur dan respon klien pada
catatan klien
Tahap terminasi
1. Evaluasi hasil yang dicapai (subjektif dan objektif), hasil
pembalutan: mudah dilepas, mengganggu peredaran
darah, mengganggu gerakan lain.
2. Berikan reinforcement positif pada klien
3. Kontrak pertemuan selanjutnya (waktu, kegiatan, tempat)
4. Akhiri pertemuan dengan cara yang baik
5. Cuci tangan
6. Dokumentasikan kegiatan yang dilakukan
Total Nilai
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan Evaluator,
1 = Dilakukan tapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
............................
Nilai = Jumlah yang didapat x 100 %
Jumlah aspek yang dinilai
Nilai = ........................

Nilai Batas Lulus : 75 %


PERNAPASAN DIAFRAGMA & PURSED LIP BREATHING
Nama :
NIM :
No. Aspek yang dinilai Nilai
0 1 2
Tahap pre interaksi
1. Verifikasi order (catatan status kesehatan
klien)
2. Cuci tangan
3. Siapkan alat
Tahap orientasi
1. Berikan salam dan panggil klien dengan
nama kesukaannya
2. Menjelaskan tujuan, prosedur dan lama
tindakan
Tahap kerja
1. Menjelaskan tujuan pernapasan diafragma.
2. Pasien meletakkan satu lengan di atas perut,
di bawah tulang iga dan tangan yang lainnya
diletakkan pada bagian tengah dada.
3. Menarik napas perlahan dan dalam melalui
hidung sampai perut.
4. Mengembang maksimal. Perut akan
mengembang selama inspirasi dan
mengempis selama ekspirasi.
5. Menghembuskan napas melalui pursed lip
sambil menegangkan otot perut dengan kuat
ke arah dalam.
6. Rongga dada tidak bergerak, perhatian
ditujukan pada perut.
7. Mengulangi kira-kira satu menit dan istirahat
dua menit, lakukan selama 10 menit.
Tahap terminasi
1. Evaluasi hasil yang dicapai (subjektif dan
objektif), hasil pembalutan: mudah dilepas,
mengganggu peredaran darah, mengganggu
gerakan lain.
2. Berikan reinforcement positif pada klien
3. Kontrak pertemuan selanjutnya (waktu,
kegiatan, tempat)
4. Akhiri pertemuan dengan cara yang baik
5. Cuci tangan
Keterangan :
6. Dokumentasikan kegiatan yang dilakukan
0 = Tidak dilakukan Total Nilai

1 = Dilakukan tapi tidak sempurna

2 = Dilakukan dengan sempurna


Banjarbaru,..................

Evaluator,

............................

Nilai = Jumlah yang didapat x 100 %


Jumlah aspek yang dinilai

Nilai = ........................
Nilai Batas Lulus : 75 %

7. PEMERIKSAAN FISIK PARU

Pemeriksaan fisik paru terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Tapi
sebelum melakukan keempat tahap di atas ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh
pemeriksa, yaitu :
1. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada tempat yang tenang, terang, dan usahakan
ada di ruang tertutup agar pasien tidak merasa malu serta usahakan ada pendamping
2. Pemeriksa sabar dan tenang, berdiri di samping kanan pasien
3. Pasien sebaiknya terbaring lurus terlentang. Bila tidak dapat terbaring terlentang bisa
dilakukan sambil duduk dengan kaki tergantung ke bawah di pinggir bangku
pemeriksaan.
4. Pasien sebaiknya telanjang pada bagian atas dada sampai batas pinggang. Pada
pasien wanita perlu diterangkan untuk membuka bagian dada tersebut untuk dapat
memeriksa jantung dan paru secara jelas.
Pemeriksaan thorax ini perlu dilakukan secara berurutan dan untuk memudahkan kita
melokalisasi kelainan, pada dinding thorax ditetapkan garis-garis / linea-linea imajiner
sebagai berikut :
Garis-garis vertikal :
Di Depan ( ventral ) :
o Garis midsternalis
o Garis sternalis kanan dan kiri
o Garis midclavicularis kanan dan kiri
o Garis parasternalis kanan dan kiri
Di Sisi ( lateral ) :
o Garis axillaris anterior
o Garis axillaris media
o Garis axillaris posterior
Di Belakang ( dorsal ) :
o Garis midspinalis
o Garis scapularis kanan dan kiri
o Garis midscapularis kanan dan kiri
Garis-garis horizontal :
Di Depan dan sisi adalah sela-sela iga
Di belakang adalah garis-garis horizontal setinggi vertebrae thorakal

Proyeksi permukaan struktur tulang thorax dan lobus pulmonary dengan tempat-tempat
garis thorax anterior.
Proyeksi permukaan lobus paru kanan terhadap garis thorax lateral

Proyeksi permukaan visera paru posterior terhadap garis thorax posterior

Urutan Pemeriksaan Dada (Bila pasien duduk selama pemeriksaan)


Posisi Pemeriksa Manuver
Berhadapan dengan pasien Inspeksi dinding dada anterior
Inspeksi dan palpasi posisi trakea
Menghadap punggung Inspeksi gerakan pernafasan
pasien Hitung pernafasan
Inspeksi dan palpasi vertebra torakalis
Perkusi angulus costo vertebralis
Palpasi gerakan pernafasan
Perkusi peranjakan diafragma
Perkusi paru (posterior)
Auskultasi paru (posterior)
Pada sisi kanan dan kiri Inspeksi dinding dada lateral
pasien berurutan Perkusi paru (lateral)
Auskultasi paru (lateral)
Berhadapan dengan pasien Auskultasi paru (anterior)
Perkusi paru (anterior)

I. INSPEKSI
Pada inspeksi terdapat hal-hal yang harus diperhatikan:
1. Bentuk Dada atau Thoraks dalam Keadaan Tidak Bergerak ( statis )
a. Normal
Simetris, potongan melintang bentuk elips, diameter anteroposterior : diameter lateral
= 5 : 7, sela iga tidak terlalu lebar/sempit, iga-iga tidak terlalu horizontal / vertical, angulus
costae 70o 90o
b. Abnormal:
b.1 Dada paralitikum
o Dada kecil, gepeng, diameter anteroposterior pendek
o Sela iga sempit, iga lebih miring / vertical
o Angulus costae < 70o
o Scapula menonjol ke belakang
o Terdapat pada pasien malnutrisi tuberculosis
o Sinonim : Pthisic chest
b.2 Dada tong
o Dada mengembung, diameter anteroposterior besar
o Sela iga lebar, iga lebih horizontal
o Pada potongan melintang jadi membulat
o Tulang punggung melengkung ( kifosis )
o Angulus costae > 90 o
o Terdapat pada : bayi ( normal ), proses penuaan, penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK), emfisema.
o Sinonim : Barrel chest atau dada emfisematikus
b.3 Kifosis :
Melengkungnya ( lordosis ) kurvatura vertebra pada posisi anterior posterior secara
berlebihan dari normal. Jika berbentuk anguler ( sudut ) = gibbus, yang terdapat pada
penderita spondilitis TBC. Jika seperti busur ( arkuer ) kemungkinan karena osteoporosis.
Kelainan ini terlihat pada pemeriksaan dari samping.

Kifosis dorsalis ringan Kifosis dorsalis berat (gibbus)


b.4 Scoliosis :
Melengkungnya kurvatura vertebra ke lateral. Kemungkinan karena kebiasaan berposisi
jelek sejak kecil atau poliomyelitis. Kelainan ini jelas terlihat pada pemeriksaan dari
belakang.
b.5 Lordosis :
Melengkungnya kurvatura vertebra ke anterior. Kemungkinan karena hamil tua, ascites,
atau tumor intra abdominal.
b.6 Pectus excavatum :
Dada dengan tulang sternum yang mencekung ke dalam. Perubahan letak ke arah
posterior dari sternum bawah. Kompresi pada jantung atau pembuluh darah yang besar
dapat menyebabkan murmur. Kelainan ini jelas terlihat pada pemeriksaan dari depan.
Sinonim : Funnel - chest

b.7 Pectus carinatum :


Dada dengan tulang sternum menonjol ke depan. Perubahan letak ke arah anterior dari
sternum. Perbatasan kartilago kosta terhadap sternum relatif tertekan. Kelainan ini jelas
terlihat pada pemeriksaan dari depan. Sinonim : Pigeon chest atau dada burung.

b.8 Flail chest :


Gerakan pernafasan abnormal yang berkaitan dengan fraktur iga multiple. Area yang
mengalami cedera bergerak ke dalam selama inspirasi dan ke arah luar saat expirasi.
b.9 Rachitic rosary :
Hampir semua perlekatan iga dengan rawan iga di dada membentuk benjolan sehingga
menyerupai untaian biji tasbih. Terdapat pada penderita rachitis.
b.10 Scorbutic rosary :
Hampir semua perlekatan iga dengan tulang dada seolah menonjol karena tulang dada
mengalami depresi sehingga tampak juga seperti untaian biji tasbih. Terdapat pada
penderita skorbut (defisiensi vit. C)

1. Kelainan lain pada dada yang sering ditemukan:


- Kulit : warna, bintik-bintik, spider nevi (sirosis hepatic), tonjolan tumor, bekas jaringan
parut, luka operasi
- Bendungan vena
- Emfisema subkutis
- Ginekomastia ( pada pria ) atau mammae atrofi / tumor
- Penyempitan/Pelebaran sela iga
2. Dada dalam Keadaan Bergerak / Dinamis
Frekuensi pernafasan :
Frekuensi pernafasan normal pada pria 14-18 x / menit sedangkan pada wanita adalah
16-20 x / menit, dan pada bayi adalah 30-50 x / menit.
Bradipnoe : frekuensi nafas <14x / menit, misalnya pada pemakaian overdosis obat-obat
narkotik, kelainan serebral.
Takipnoe : frekuensi nafas >20x / menit, misalnya pada decompensatio cordis,
pneumonia, anxietas, asidosis.
A. Sifat pernafasan :
- thorakal contoh pada pasien sakit tumor dalam perut
- abdominal contoh pada pasien PPOK lanjut
- Kombinasi
Pada wanita sehat umumnya pernafasan thorakal lebih dominan dan disebut thorako-
abdomino, bila terbalik mungkin ada kelainan pada rongga thorax atau dindingnya.
Sedangkan pada pria sehat, pernafasan abdominal lebih dominan dan disebut abdomino-
thorakal, bila terbalik kemungkinan menderita peritonitis atau paralysis diafragma.
Kelainan ini disebabkan bentuk anatomi dada dan perut wanita yang berbeda dari pria.
Perhatikan juga apakah terdapat pemakaian otot-otot bantu pernafasan, misalnya pada
pasien TBC lanjut atau PPOK. Di samping itu adakah terlihat bagian dada yang tertinggal
dalam pernafasan.
Jenis pernafasan lain adalah :
Pernafasan dengan pursed lips, pernafasan seperti menghembus sesuatu lewat mulut,
misalnya pada pasien PPOK dan asma.
Pernafasan dengan mengambil nafas lewat mulut dan mengeluarkan lewat hidung,
misalnya pada pasien pneumonia.
Pernafasan cuping hidung ( lebih terlihat pada pasien anak kecil )
B. Irama pernafasan
1. Normal :
Dilakukan secara teratur dengan fase-fase inspirasi-ekspirasi yang teratur secara
bergantian.
2. Abnormal :
Pernafasan Cheyne Stokes : amplitudo pernafasan mulai dari kecil makin lama
makin besar sampai mencapai yang tertinggi, kemudian makin mengecil hingga apnoe
(tidak bernafas) beberapa saat lalu mulai lagi dengan amplitude yang kecil, makin lama
makin besar dan kembali lagi seperti tadi dan seterusnya. Terdapat pada : decompensatio
cordis kiri, tekanan intracranial meninggi, keracunan opium, barbiturat, atau uremia,
hypoxia kronik. Hal ini terjadi karena terlambatnya respon reseptor klinis medulla otak
terhadap pertukaran gas.
Pernafasan Biot : irama pernafasan yang sama sekali tidak teratur. Terdapat pada
kerusakan otak. Sinonim : pernafasan ataxic.
Pernafasan Kussmaul : pernafasan cepat dan dalam (takipnoe disertai hiperpnoe).
Terdapat pada asidosis ( misalnya pada DM tidak terkontrol dan gagal ginjal ).
Bentuk kelainan irama pernafasan tersebut kadang-kadang dapat ditemukan pada orang
normal tapi gemuk ( obesitas ) atau pada waktu tidur. Keadaan ini biasanya merupakan
pertanda kurang baik.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pemeriksa berhubungan dengan penyakit paru
seperti :
- Jari tabuh (clubbing), pada penyakit paru suppuratif dan kanker paru
- Sianosis perifer pada ujung-ujung kuku jari tangan menunjukkan hipoksemia
- Karat nikotin pada perokok berat
- Otot-otot tangan dan lengan yang megecil karena penekanan nervus thoracic oleh
tumor paru di apeks paru (Sindrom Pancoast)
- sianosis pada ujung lidah pada hipoksemia.
Hal lain yang perlu diperhatikan pada gangguan paru adalah sputum :
- sputum banyak dan purulen terdapat pada bronkiektasis
- sputum warna merah muda dan berbusa ( pink frothy ) terdapat pada oedema paru
(gagal jantung)
- sputum berdarah ( hemoptisis ) terdapat pada penyakit tuberculosis paru, kanker
paru, bronkiektasis.

II. PALPASI
1. Dalam keadaan statis :
Apakah ada kelenjar getah bening yang membesar di daerah supraklavikula,
submandibula dan kedua axilla. Bila membesar limfadenopati yang menunjukkan
terdapatnya proses di daerah paru seperti kanker paru. Trakea, normalnya terletak di
tengah. Bila trakea bergerak ke kiri atau ke kanan perhatikan apakah karena pendorongan
oleh tumor atau tertarik ke bagian yang sakit ( scwharte / fibrosis apeks paru oleh
tuberculosis ). Diraba apakah ada penonjolan pada dinding dada. Angulus subcostae :
dengan kedua telapak tangan pada masing-masing arcus costae, sudut yang dibentuk
oleh kedua ibu jari pemeriksa ditetapkan, normalnya 70 o - 90o
2. Dalam keadaan dinamis :
- Gerak dinding thorax saat inspirasi dan ekspirasi. Tentukan amplitude gerak nafas
hemithorax kiri dan kanan serta bandingkan. Kedua telapak tangan pemeriksa diletakkan
pada tempat-tempat yang simetris. Normal amplitudonya sama. Bila tidak sama,
kemungkinan terdapat emfisema, efusi pleura, atau atelektasis, fibrosis pada satu sisi.
Atau pada kedua sisi terdapat kelainan yang tidak sama.
- Vocal fremitus
Pasien diminta untuk mengucapkan kata-kata apa saja, misal tujuh puluh tujuh berulang-
ulang dan getarannya pada kedua dinding thorax diraba oleh kedua telapak tangan yang
masing-masing diletakkan pada hemithorax secara simetris. Normal akan dirasakan sama
kuatnya. Bila melemah pada salah satu sisi mungkin penyebabnya adalah efusi pleura,
emfisema, pneumothorax, atau atelektasis obstruktif. Bila mengeras pada satu sisi
kemungkinan ada infiltrat, konsolidasi, atelektasis kompresif, atau tumor.
- Friction fremitus
Mungkin dapat teraba getaran pada dinding thorax akibat gesekan permukaan kedua
pleura ( parietalis dan viseralis ) yang meradang / pleuritis. Sinkron saat gerak inspirasi-
ekspirasi dan teraba amat halus.

III. PERKUSI
Teknik perkusi dinding thorax dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
a. Perkusi langsung adalah pemeriksaan dimana dinding dada diketuk ringan dengan
ujung jari tengah.
b. Perkusi tidak langsung adalah dengan menggunakan bagian distal jari tengah dan
telunjuk dari tangan yang satu kita tempelkan dengan erat pada dinding dada,
kemudian jari tengah tangan yang lain kita gunakan untuk mengetuk dengan kuat jari
yang ditempelkan pada dinding dada.

Tujuan perkusi adalah untuk memperlihatkan keadaan pekak pada tempat dimana
seharusnya ada resonansi.
Macam-macam bunyi perkusi :
- Bunyi perkusi tympani adalah bunyi yang amat nyaring seperti mengetuk abdomen
yang kosong. Misalnya pada perkusi yang dilakukan pada pneumothorax.
- Bunyi perkusi hipersonor adalah bunyi perkusi yang kurang nyaring disbanding
dengan bunyi timpani. Misalnya pada paru yang mengalami emfisema.
- Bunyi perkusi sonor adalah bunyi yang kurang nyaring disbanding bunyi hipersonor.
Merupakan bunyi perkusi dinding thorax yang normal.
- Bunyi perkusi redup adalah bunyi perkusi yang kurang nyaring disbanding dengan
bunyi sonor.ini timbul pada paru yang terdapat infiltrate atau konsolidasi, atau paru
normal dengan efusi pleura.
- Bunyi pekak ialah bunyi perkusi pada thorax bila jaringan paru didalamnya tidak lagi
terdapat udara. Misalnya pada paru dengan tumor yang besar atau atelektasi
Menetapkan batas paru hepar
Perkusi dari atas ke bawah garis midclavikularis kanan. Normal, batas antara bunyi sonor
(paru) dan redup (hati yang diliputi paru) adalah pada sela iga ke IV, dan batas redup ke
pekak (hati yang tidak diliputi jaringan paru) pada sela iga ke VI. Bila pasien dalam
keadaan inspirasi dalm maka batas ini normalnya 2 jari lebih rendah. Ini disebut
peranjakan.
Menetapkan batas paru-lambung
Perkusi dari atas kebawah pada garis axillaries anterior kiri dengan pasisi pasien tegak,
dan perut kosong.
Menetapkan batas paru-jantung
Batas bawah paru dan batas atas jantung normalnya pada sela iga ke VIII
IV. AUSKULTASI
Terdapat 2 cara untuk mendengarkan suara yang ditimbulkan oleh paru:
a. Auskultasi langsung terdiri dari menempelkan telinga langsung pada dinding dada/
didengar tanpa bantuan alat pemeriksa :
- Suara batuk ( kering dan berdahak ) menunjukkan adanya gangguan dalam saluran
bronkus / bronkiolus.
- Suara mengi ( wheezing ) yaitu suara nafas berbunyi ngikk yang terdengar selama
fase inspirasi dan ekspirasi karena terjadi penyempitan jalan udara.
- Stridor adalah suara nafas ngorok secara teratur. Terjadi karena adanya
penyumbatan daerah laring. Stridor dapat berupa inspiratoir ( gangguan pada saluran
nafas atas ) dan ekspiratoir ( ganguan pada saluran nafas bawah), misalnya pada
tumor, peradangan pada trakea, atau ada benda asing di trakea.
- Suara serak ( hoarseness ) yang terjadi karena kelumpuhan pada saraf laring atau
peradangan pita suara
b. Auskultasi tidak langsung menggunakan stetoskop.
Pemeriksaan ini digunakan untuk :
1. Suara nafas normal
Suara nafas trakeal Suara inspirasi ekspirasi di trachea (didengar di daerah leher) Fase
inspirasi:ekspirasi 1:3
Suara nafas brnchial Berasal dari bronchus besar, didengar pada dada bagian tengah.
Fase inspirasi:ekspirasi 1:2
Suara nafas vesikuler Barasal dari bronchus kecil/bronchiolus.didengar di seluruh daerah
perifer dada. Fase inspirasi:ekspirasi 3:1
2. Suara nafas abnormal
Suara nafas trakeal, bronchial, vesikuler tidak pada tempatnya. Keadaan ini mungkin
disebabkan oleh karena bronkus/bronkiolus dan alveolus mengalami infiltrasi/konsolidasi
Suara nafas vesikuler memanjang (fase ins:eks 3:2/3:3). Terdengar bila bronkus
kecil/bronkiolus mengalami penyempitan.
Suara nafas yang lemah. Pada empiema, efusi pleura, pneumo thorax, atau obstuksi
bronkus.
Suara nafas yang mengeras. Pada keadaan infiltrasi/konsolidasi paru dan atelektasis
Suara nafas amforik, seperti meniup kedalam botol kosong pada kavitas besar pada paru.
Suara nafas asmatik. Ekspirasi memanjang dengan wheezing pada penderita asma
bronchial.
3. Suara tambahan
Ronkhi
Disebabkan adanya cairan di dalm lumen bronkus.
Ronkhi basah bila cairan bersifat encer dan kering bila cairannya agak kental tergantung
lumennya (bronkus besar/sedang/kecil_) ronkhi basah dapat bersifat kasar, sedang dan
halus.
Krepitasi , suara seperti menggesek rambut dekat telinga, karena adanya cairan pada
alveolus. Suara gesek pleura Karena gesekan kedua permukaan pleura. Terjadi pada
peradangan pada pleura.
4. Vocal resonance
Seperti vocal fremitus tetapi didengarkan dengan stetoskop.Bila vocal resonance
mengeras disebut aegophoni.Bila vocal resonance mengeras disebut whispered
pectoriloquy.
PENILAIAN KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIK PARU/ SISTEM RESPIRASI
NAMA :
NIM :
NILAI
ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
Tahap Pre Interaksi
1. Melakukan verifikasi order yang ada untuk
pemeriksaan.
2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat (stetoskop, meteran)
Tahap Orientasi
4. Memberi salam, panggil klien dengan
panggilan yang disenangi.
5. Memperkenalkan nama perawat.
6. Menjelaskan prosedur dan tujuan tindakan
pada klien dan keluarga.
7. Menjelaskan informed consent pada klien
dan keluarga
8. Menunjukkan rasa empati pada pasien.
Tahap Kerja
I. INSPEKSI THORAX
Melakukan inspeksi dari depan, samping dan belakang thorax,
temukan:
I. Bentuk Abnormal Thoraks
1. Identifikasi Dada tong /Barrel chest
2. Identifikasi Kifosis
3. Identifikasi Scoliosis
4. Identifikasi Lordosis
5. Identifikasi Pectus excavatum (Funnel
chest)
6. Identifikasi Pectus carinatum
7. Identifikasi Flail chest
2. Melakukan inspeksi keadaan spatium
intercostal pada waktu inspirasi dan ekspirasi
Bentuk Abnormal Irama Pernafasan Thoraks
1. Identifikasi pernapasan bradipneu
2. Identifikasi pernapasan tachipneu
3. Identifikasi pernapasan cheyne stokes
4. Identifikasi pernapasan bioot
5. Identifikasi pernapasan Kussmaul
II. PALPASI THORAX
1. Melakukan palpasi;
1. Identifikasi posisi tracheal
2. Identifikasi adanya penonjolan pada
dinding dada
3. Identifikasi Angulus subcostae dengan
kedua telapak tangan pada masing-
masing arcus costae
2. Kedua telapak tangan pemeriksa diletakkan
pada tempat-tempat yang simetris
1. Membandingkan gerakan dinding thorax
dextra-sinistra
2. Memeriksa Vocal Fremitus dengan
meminta pasien menngucapkan 77
3. Memeriksa Friction Fremitus
III. PERKUSI THORAX
Melakukan perkusi pada daerah dinding dada;
1. Identifikasi bunyi perkusi tympani
2. Identifikasi bunyi Perkusi hipersonor
3. Identifikasi bunyi perkusi sonor
4. Identifikasi bunyi perkusi redup
5. Identifikasi bunyi perkusi pekak
IV. AUSKULTASI THORAX
Auskultasi langsung ;
1. Identifikasi suara mengi ( wheezing )
2. Identifikasi adanya stridor
3. Identifikasi suara serak ( hoarseness )
Auskultasi tidak langsung (menggunakan
stetoskop) ;
1. Identifikasi suara nafas trakeal, bronchial,
vesikuler tidak pada tempatnya
2. Identifikasi suara nafas vesikuler
memanjang
3. Identifikasi suara nafas lemah
4. Identifikasi suara nafas mengeras
5. Identifikasi suara nafas amforik
6. Identifikasi suara nafas asmatik
7. Identifikasi suara ronkhi
8. Identifikasi suara krepitasi
Tahap Terminasi
1. Menyimpulkan hasil prosedur yang telah
dilakukan.
2. Memberikan reinforcement sesuai dengan
kemampuan klien.
3. Mengakhiri kegiatan dengan cara memberi
salam.
Dokumentasi
Mencatat seluruh hasil tindakan dalam
catatan keperawatan.
Total

Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi tidak sempurna Nilai = Jumlah nilai yang didapat x 100% =
Jumlah aspek yang dinilai
2 = dilakukan dengan sempurna
Nilai Batas Lulus 75 %
8. OKSIGENASI
Eka Santi, Ns., M.Kep.

SASARAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa dapat memahami konsep oksigenasi
Mahasiswa dapat melakukan terapi oksigen dengan tepat sesuai kondisi klien

PENDAHULUAN
Oksigen adalah salah satu kebutuhan utama setiap sel tubuh agar dapat bertahan
hidup, beregenerasi, dan menjalankan fungsinya dengan normal. Organ utama yang
bertanggung jawab terhadap keadekuatan oksigenasi setiap system tubuh adalah paru
paru. Untuk dapat berfungsi optimal dalam oksigenasi, paru-paru memerlukan
serangkaian interaksi antar berbagai organ. Organ-organ yang berperan dalam memenuhi
kebutuhan oksigen tubuh tergabung dalam sebuah system, yaitu system respirasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fungsi utama dari system respirasi
adalah mendapatkan oksigen (O2) yang digunakan oleh sel-sel tubuh dan mengeluarkan
karbondioksida (CO2).Di samping fungsi utamanya sebagaimana disebutkan di atas,
fungsi lain dari system respirasi yaitu:
1. Keseimbangan asam basa
Regulasi pH mengatur kadar karbondioksida dalam darah
Membuang air
2. Proteksi
Memanaskan dan melembabkan udara sebelum masuk paru
Mukus (lendir) mencegah partikel asing
Batuk dan bersin oleh karena ada partikel asing
Menguap menyeimbangkan tekanan udara luar dengan cavum
tympani (telinga tengah)
3. Produksi suara
Udara melalui tulang vokal untuk menghasilkan suara

BAGIAN 1. ANATOMI DAN FISIOLOGI SYSTEM RESPIRASI


1. Anatomi system respirasi
Manusia memiliki sepasang paru paru yang terletak di bagian dalam cavum
thorax. Paru paru kanan terdiri dari 3 lobus, sedangkan paru paru kiri terdiri dari 2
lobus. Secara anatomis, paru paru kanan terletak lebih ke depan (anterior) dibanding
paru paru kiri. Jaringan parenkim paru bersifat elastic dan dapat menyesuaikan
ukurannya terhadap perubahan tekanan cavum thorax. Hal ini secara fisiologis sangat
bermanfaat karena paru paru akan dapat memenuhi berbagai tingkatan kebutuhan
oksigen tubuh dengan cara meningkatkan atau menurunkan jumlah udara yang
ditampungnya.
Sebelum didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu oksigen bebas harus
melalui serangkaian saluran/ struktur dari system respirasi. Secara umum, struktur
system respirasi dibagi menjadi dua : jalan nafas atas (upper airway) dan jalan nafas
bawah (lower airway).
Berikut adalah deskripsi singkat dari masing masing bagian pada system
respirasi
a. Hidung
Struktur kaku dengan tulang menonjol pada 1/3 atas dan tulang rawan pada 2/3
bagian bawah
Terdiri dari dua lubang yang dipisahkan oleh septum
Septum dan dinding inferior dari rongga hidung dibatasi oleh membran mucous
Terdapat ujung-ujung saraf pembau (N.1)
Terdapat tiga tonjolan tulang yang berasal dari dinding lateral dari bagian internal
hidung, yaitu:
Conchae nasalis superior
Conchae nasalis media
Conchae nasalis inferior
Conchae meningkatkan total area
permukaan untuk:
Menyaring (filtering),
Memanaskan (heating) dan
Melembabkan (humidifying)

Fungsi filtering dilakukan oleh rambut-rambut hidung. Hal ini berfungsi sebagai
system pertahanan terhadap benda asing yang akan memasuki hidung. Selain itu
fungsi pertahanan juga dilakukan oleh immunoglobulin yang terdapat pada lapisan
mukosa.
Selain difiltrasi udara juga harus dipanaskan agar sesuai dengan suhu tubuh. Hal
ini mencegah respon pada otot polos jalan nafas yang disebabkan karena stimulasi
oleh udara dingin. Terakhir, udara yang masuk juga harus dilembabkan untuk menjaga
integritas lapisan mukosa. Hal ini disebabkan karena udara yang kering akan dapat
mengeringkan mukosa dan menyebabkan iritasi mukosa.

b. Sinus
Pada system respirasi, fungsi sinus terutama berkaitan dengan proses
produksi suara, dalam hal ini fungsi resonansi udara. Untuk resonansi terdapat 4
sinus :
1) Sinus frontalis (dahi)
2) Sinus maxilaris (pipi)
3) Sinus sphenoidalis (bawah mata)
4) Sinus ethmoidalis (belakang tulang)
Sinus ini dapat membuat getaran untuk menghasilkan dan menghantarkan
suara
c. Pharynx
Pharynx adalah jaringan lunak yang terletak dibelakang rongga mulut dan
rongga hidung, yang dibagi menjadi:
Nasopharynx, berbatasan langsung dengan rongga hidung. Pada nasopharynx
terdapat sebuah struktur khusus yang disebut dengan tuba eustachius yang
menghubungkan jalan nafas dengan telinga tengah
Oropharynx, berbatasan langsung dengan rongga mulut salah. Satu peran
penting oropharynx bagi tubuh adalah adalah sebagai system imun. Untuk
sistem imun, terdapat 2 pasang tonsil: tonsil lingual dan tonsil palatina/ amandel.
Tonsil merupakan salah satu bentuk dari nodus limfe. Pada oropharynx
ditemukan pula uvula ditengah-tengahnya.
Laryngopharynx, berbatasan langsung dengan larynx (terletak paling bawah)
d. Larynx
Larynx terletak diatas trakea dan dibawah pharynx
Larynx, atau voice box, terdiri dari beberapa kartilage:
Kartilage thyroidea adalah yang paling besar
Kartilage cricoid yang mengandung pita suara (plica vocalis), terletak dibawah
kartilage thyroid dan merupakan cincin kartilage pada jalan napas
Ukurannya menentukan bentuk suara
e. Trakea
Tersusun atas cincin-cincin tulang rawan yang dihubungkan satu sama lain
dengan jaringan ikat. Karena strukturnya yang demikian, trakea bersifat mobile dan
fleksibel. Hal ini penting agar trakea terhindar dari trauma yang diakibatkan oleh
mobilitas/ gerakan dari leher. Selain itu elastisitas trakea juga berfungsi menjaga
jalan nafas agar tidak kolaps. Semakin ke bawah, jumlah kartilago semakin sedikit.
Pada permukaan bagian dalam trakea terdapat silia yang berfungsi
mengalirkan sekret dan benda asing keluar dari trakea menuju saluran pernafasan
atas. Selain itu silia juga sangat sensitive terhadap rangsangan, sehingga apabila
ada benda asing/ cairan yang menstimulasinya, maka silia akan merespon dengan
menimbulkan reflek batuk. Mekanisme ini berfungsi untuk mencegah masuknya
benda asing ke dalam paru-paru.
f. Bronkus
Trakea bercabang menjadi dua buah bronkus utama. Daerah percabangan
trakea ini disebut dengan karina. Lokasi karina sekitar 1/3 bawah sternum. Masing-
masing bronkus kemudian akan masuk ke dalam paru-paru dan bercabang menajdi
bronkus segmentalis, bronkus sub segmental, dan bronkiolus. Bronkus lebih sedikit
kartilago, semakin ke bawah jumlahnya semakin sedikit dan digantikan oleh otot-
otot polos pernasafan.
g. Paru paru
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, manusia memiliki sepasang paru paru
yang terletak di bagian dalam cavum thorax. Paru paru kanan terdiri dari 3 lobus,
sedangkan paru paru kiri terdiri dari 2 lobus. Secara anatomis, paru paru kanan
terletak lebih ke depan (anterior) dibanding paru paru kiri. Hal ini disebabkan karena
paru-paru kiri tertutup oleh sebagian besar jantung.
Agar dapat menjalankan fungsinya memasukkan oksigen ke dalam tubuh,
paru-paru memiliki beberapa unit fungsional, yaitu bagian dari paru-paru yang
memfasilitasi terjadinya pertukaran gas. Unit fungsional ini terdiri dari bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, dan sakus alveolaris. Bronkiolus tidak mengandung
kartilago (pengembangannya tergantung tekanan transpulmoner). Bagian dimana
tidak terdapat kartilago diisi otot polos yg mudah berkonstriksi terutama pada
penyakit obstruksi (misalnya asma bronkiale).
Pada bagian luar, paru-paru dilindungsi oleh sebuah lapisan yang disebut
lapisan pleura. Terdapat dua jenis pleura:
- Pleura parietalis, lapisan pleura yang terdapat pada bagian luar dan menempel
pada dinding cavum thorax.
- Pleura viseralis, lapisan pleura yang terdapat pada bagian dalam dan menempel
pada dinding paru-paru.
Diantara kedua pleura terdapat sebuah ruangan/ rongga yang berisi cairan
pleura. Rongga ini disebut dengan cavum pleura. Cairan dalam cavum pleura
berfungsi sebagai pelumas yang berguna untuk meminimalkan gesekan antara
paru-paru dengan cavum thorax sehingga ekspansi paru-paru dapat terjadi secara
optimal.
h. Alveolus
Alveolus adalah unit fungsional utama dari paru-paru. Berbentuk granuler
berkelompok, strukturnya menyerupai segerombol buah anggur. 100 juta alveoli
pada masing paru. Untuk menunjang proses pertukaran gas, jaringan alveolus
langsung berhubungan dengan lapisan kapiler paru. Diantara alveolus dan kapiler
paru terdapat ruang interstitial yang berisi cairan surfaktan.
Gambar. Alveolus
2. Fisiologi Sistem Respirasi
Sebagaimana telah disebutkan dalam penjelasan di atas, fungsi utama system
respirasi adalah mendapatkan oksigen (O 2) yang digunakan oleh sel-sel tubuh dan
mengeluarkan karbondioksida (CO2).
Secara fungsional, struktur system respirasi dibagi menjadi 2 bagian:
Area konduksi: sepanjang saluran nafas berakhir sampai bronchioli
terminalis
Area fungsional atau respirasi: mulai bronchioli respiratory sampai alveoli
Yang dimaksud area konduksi adalah bagian dari system respirasi yang
berfungsi menyalurkan udara, akan tetapi di sana tidak terjadi pertukaran gas. Karena
pada area ini tidak terjadi pertukaran gas, maka area ini sering disebut dengan ruang
rugi atau dead space. Sedangkan Area fungsional atau respirasi adalah bagian dari
system pernafasan yang terjadi pertukaran gas.
Dalam proses pernapasan O2 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan, dan
CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi melalui 3 fase:
Ventilasi
Transportasi
- Difusi gas2 antara alveolus dengan kapiler paru (respirasi eksterna)
- Distribusi O2 melalui darah darah dari kapiler paru menuju ke seluruh jaringan
tubuh.
Respirasi sel (resp. interna):
- Pengambilan O2 dari darah oleh sel sel tubuh
- Pelepasan CO2 dari sel-sel tubuh ke darah untuk selanjutnya CO2 dikeluarkan
paru paru.

Berikut adalah penjelasan dari masing-masing proses di atas:


VENTILASI
Adalah Suatu pertukaran udara dari saluran pernafasan ke udara luar.
Terdapat dua fase dalam ventilasi :
- Inspirasi aliran udara kedalam paru
- Ekspirasi udara meninggalkan paru
Proses keluar masuknya udara ini mengikuti prinsip fisika: udara mengalir dari
tempat tekanan tinggi ke tempat bertekanan rendah ( paru adalah struktur elastis -
dapat mengembang dan mengempis seperti balon, sesuai perubahan volume
rongga dada).
Hal ini sebagaimana tercantum dalam hukum Boyle (tekanan pada ruangan
tertutup berbanding terbalik dengan volumenya). Bila rongga dada mengembang
volume Paru akan meningkat dan tekanan udara paru akan turun maka udara luar
akan masuk paru (Inspirasi). Bila volum thorax menurun, volume paru juga
menurun, dan tekanannya meningkat sehingga udara keluar dari paru-paru
(ekspirasi).
Volume thorax dapat diperbesar maupun diperkecil dengan cara:
Diafragma bergerak turun naik
Hal ini berfungsi untuk memperbesar dan memperkecil rongga thorax.
Selama inspirasi, kontraksi diafragma menarik permukaan paru kebawah
sehingga rongga thorax membesar dan tekanannya menurun udara masuk.
Selama ekspirasi, diafragma relaksasi dan sifat elastis daya lenting paru,
dinding dada dan struktur abdomen menekan paru-paru sehingga rongga dada
mengecil dan tekanannya meningkat udara keluar.
Depresi dan elevasi tulang iga
Dinding dada tersusun atas sebuah sangkar yang dibentuk terutama
oleh tulang dada (sternum) dan tulang-tulang rusuk (costae). Diantara tulang
tulang costae terdapat otot otot yang mengisi ruang intercostal. Kelompok otot
tersebut dinamakan otot-otot intercostalis. Terdapat dua jenis otot intercostalis,
yaitu M intercostalis externa dan M intercostalis interna. Ketika otot intercostalis
berkontraksi, hal ini akan menyebabkan tulang costae tertarik dan saling
berdekatan satu sama lain. Akibatnya, diameter antero-posterior rongga dada
akan meningkat dan volume dada akan bertambah. Bertambahnya volume
akan menurunkan tekanan dalam rongga dada sehingga udara dari luar akan
tertarik masuk. Mekanisme sebaliknya terjadi pada fase ekspirasi pernafasan.
Gambar . perbandingan ukuran thorax saat ekspirasi (kiri) dan inspirasi
Pengendalian fungsi ventilasi
Pusat pengendali fungsi pernafasan terletak di otak. Secara umum fungsi otak
dalam mengatur pernafasan dibagi menjadi dua:
1. Sistem pernafasan sadar
2. Sistem pernafasan tak sadar
Berikut adalah penjelasan dari masing-masing fungsi tersebut
a. Sistem pernafasan sadar
Area ini terletak di korteks otak, mengatur pengendalian ventilasi secara
sadar. Akan tetapi, fungsi sistem pernafasan sadar ini sangat terbatas karena
mayoritas factor-faktor yang mempengaruhi keadekuatan fungsi system respirasi
bersifat mikroskopis dan tidak dapat dikontrol oleh indera manusia. Hal ini akan
dibahas lebih lanjut di bawah. Fungsi pengendalian respirasi secara sadar lebih
banyak berperan pada proses ekspirasi.
b. Sistem pernafasan tak sadar
Pengendali pernafasan ini berpusat di Medula oblongata dan Pons. Melalui
serangkaian mekanisme, pusat pernafasan ini menerima berbagai impuls yang
timbul sebagai akibat dari perubahan keseimbangan oksigenasi tubuh. Kerjanya
bersifat otomatis dan tidak disadari oleh manusia.
Mekanisme pengendalian jumlah udara masuk ke dalam paru-paru:
Kemoreseptor pusat pernapasan (medula oblongata dan pon ) bereaksi
terhadap tekanan Parsial CO2 (PaCO2), tekanan Parsial O2 (PaO2) dan Ph
(Konsentrasi ion H+) dalam darah arteri. Dari ketiga factor ini, yang paling
dominan dalam mempengaruhi pusat pernafasan adalah tekanan parsial
CO2.
- Kemoreseptor perifer pada badan karotis dan badan aorta peka thd
penurunan PaO2 60 mmhg (normal 90 100mmhg). Reseptor ini cenderung
bekerja pada fase akut jika terjadi perubahan status oksigenasi jaringan.
Seiring berjalannya waktu fungsinya akan diambil alih oleh kemoreseptor
pusat.
- Stretch reseptor atau reseptor regang, terjadi waktu paru-paru
mengembang - mengempis memberikan sinyal ke pusat pernapasan,
disebut juga dengan refleks hering breuer, penting pada neonatus.
Reseptor ini bekerja ketika paru-paru menunjukkan tanda mengalami
hiperinflasi. Reseptor ini akan menghambat terjadinuya hiperinflasi paru.
Ketika serangkaian stimulus masuk ke pusat-pusat pernafasan
sebagaimana dijelaskan di atas, maka akan timbul respons yang bermanifestasi
pada perubahan pola pernafasan. Misalkan pada pasien dengan kondisi
metabolic alkalosis, maka guna menyeimbangkan kembali pH pusat pernafasan
akan memberikan respon dengan enurunkan laju ventilasi yang ditandai dengan
penurunan frekuensi maupun kedalaman nafas.

TRANSPORTASI
Untuk bisa sampai ke seluruh tubuh, oksigen dari paru-paru harus
ditransportasikan oleh darah baru kemudian dapat diambil dan digunakan oleh
jaringan tubuh untuk metabolisme. Transportasi oksigen terjadi melalui dua tahap
yaitu: difusi gas antara alveolus dengan kapiler paru, dan antara darah dengan sel
sel jaringan.
a. Difusi gas antara alveolus dengan kapiler paru (respirasi eksterna)
Mekanisme difusi yang terjadi bersifat pasif. Prinsip dari terjadinya
mekanisme ini adalah prinsip fisika dimana terjadi aliran zat dari tempat dengan
konsentrasi tinggi menuju tempat dengan konsentrasi rendah. Proses ini baru
akan berhenti jika konsentrasi zat diantara kedua tempat tersebut mencapai
kondisi yang sama. Jadi bisa disimpulkan bahwa proses difusi terjadi karena
adanya perbedaan konsentrasi.
Dalam paru-paru, terjadi difusi dua macam gas, yaitu oksigen (O 2) dan
karbondioksida (CO2). Difusi O2 terjadi dari alveolus menuju kapiler, sedangkan
difusi CO2 terjadi secara berlawanan. Hal ini terjadi karena konsentrasi O 2 lebih
tinggi di alveolus, sedangkan konsentrasi CO2 lebih tinggi di kapiler.
Keterangan:
Dari gambar di atas dapat kita lihat ilustrasi sederhana dari mekanisme
difusi. Nampak di sana bahwa terdapat perbedaan konsentrasi O 2 dan CO2
antara alveolus dan kapiler paru. Konsentrasi O 2 dan CO2 dalam darah
dinyatakan dengan tekanan parsial (P). Begitu tercapai keseimbangan antara
konsentrasi O2 dan CO2 , maka difusi akan berhenti. Selanjutnya, O 2 yang
berdifusi ke dalam kapiler akan ditransportasikan ke seluruh tubuh, sedangkan
sisa O2 yang tidak berdifusi akan dikeluarkan kembali bersama dengan CO2.
b. Transportasi O2 dari kapiler paru menuju sel.
Oksigen yang telah berdifusi ke dalam kapiler akan terbagi ke dalam
beberapa komponen darah sebagai berikut:
1,5% larut dalam plasma darah
98,5% berikatan dengan hemoglobin (Hb)
Sedangkan karbondioksida terbagi sebagai berikut :
7% larut dalam plasma darah
93% dalam sel darah merah
93% dengan Hb
70% berkonversi menjadi ion bikarbonat
Pada Hb terdapat keseimbangan antara O2 dan CO2:
CO2 terikat pada bagian globin dari Hb. Ikatan Hb dengan O 2 akan
mengurangi ikatan Hb dengan CO2 dan sebaliknya efek ini disebut: EFEK
HALDANE.Pada fase ini, selain dipengaruhi oleh fungsi sistem respirasi,
oksigenasi jaringan juga sangat dipengaruhi oleh keadekuatan fungsi dari sistem
hematologi (jumlah Hb, morfologi eritrosit, hematokrit) dan kardiovaskuler (fungsi
jantung sebagai pompa, diameter pembuluh darah).

RESPIRASI SEL (RESPIRASI INTERNA)


Saat oksigen yang terikat dalam Hb sampai kepada sel target, maka sel akan
melakukan pengambilan (uptake) oksigen. Ketika sel mendapat suplai O 2 yang
cukup, maka proses metabolism dalam sel tersebut akan berlangsung secara
AEROB. Ini adalah status metabolism selular yang normal (fisiologis). Hasil dari
metabolism aerob adalah 38 ATP . Sebaliknya, jika sel mengalami defisiensi O 2 ,
maka status metabolism sel akan berubah menjadi ANAEROB. Ini adalah kondisi
patologis yang akan membawa banyak gangguan. Dua masalah utama yang
dihasilkan dari kondisi ini adalah: energy yang dihasilkan sangat sedikit (2 ATP) dan
terjadinya akumulasi asam laktat yang akan menimbulkan asidosis laktat.
Selain uptake O2, pada respirasi interna juga terjadi pelepasan CO 2 dari sel
menuju darah. Pada kondisi normal proses ini akan menentukan gradient tekanan
parsial O2 dan CO2 yang akan mempengaruhi proses difusi pada alveolus. Tekanan
parsial CO2 yang berlebihan akan menstimulasi pusat pernafasan untuk
meningkatkan ritme pernafasan dengan maksud membuang kelebihan CO 2.

BAGIAN 2: TERAPI OKSIGEN


Pada kondisi nyata di lapangan, klien akan dating dengan bermacam-macam
kondisi. Klien dengan diagnose medis yang sama seringkali menunjukkan status respirasi
yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu sangatlah penting bagi perawat untuk
memahami prinsip kerja system respirasi dan berbagai macam factor yang dapat
mempengaruhinya.
Sebelum menentukan bentuk bantuan pernafasan yang akan kita perlukan kepada
klien, terlebih dahulu kita harus mengevaluasi status respirasi klien. Hal ini dapat
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, mengamati gejala-gejala
yang muncul, dan mengidentifikasi komplikasi yang timbul/ mungkin timbul. Oleh
karenanya, selain pemeriksaan fisik kita juga perlu mencari data tambahan berupa riwayat
penyakit, serta pemeriksaan penunjang.
Terapi oksigen dapat diberikan kepada klien dengan jumlah tertantu sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan klien. Oleh karena kondisi yang amat bervariasi antar individu,
maka terdapat beberapa pengklasifikasian alat yang digunakan untuk memberikan terapi
oksigen, yaitu:
1. Low flow
- Nasal cannula , Nasal catheter
2. Reservoir
- Simple mask, Partial rebreathing mask, Non rebreathing mask
3. High flow
- Air entraintment mask (Venturi mask), Enclosure (Oxyhood, Incubator, O2
Tent)

PERALATAN DALAM TERAPI OKSIGEN


1. Low flow system
Low flow system adalah peralatan oksigenasi yang berfungsi mengalirkan
oksigen dengan aliran rendah (1-8 liter per menit). Low flow system yang paling
banyak digunakan adalah nasal cannule.
Gambar nasal cannule
Alat ini digunakan untuk klien dengan kemampuan bernafas spontan. Untuk
nasal cannule, jumlah oksigen yang dapat diberikan adalah 1-6 liter/ menit, akan tetapi
dianjurkan pemberian oksigen tidak melebihi 5 liter/ menit jika akan digunakan untuk
waktu yang lama. Untuk setiap peningkatan pemberian sebesar 1 liter/ menit,
konsentrasi O2 kira kira meningkat sebesar 4% sehingga total jumlah O2 yang dapat
diberikan melalui nasal cannule adalah 24 - 44%. Kelebihan penggunaan nasal
cannule antara lain:
Mudah digunakan
Disposable
Baik untuk weaning dari terapi oksigen
Akan tetapi sebagai perawat kita perlu pula untuk mengantisipasi beberapa efek
negative yang mungkin timbul, yaitu iritasi pada hidung dan tenggorokan jika O2
diberikan dalam aliran maksimal (di atas 5 liter/ menit) dalam waktu lama.
Contoh lain dari low flow system adalah nasal catheter. Jumlah O 2 yang dialirkan
adalah 1-6 L/menit. Dibandingkan dengan nasal cannule, nasal catheter memiliki
beberapa kelebihan, antara lain:
- Jumlah udara yang masuk ke paru-paru relative lebih stabil
- Dapat digunakan untuk menghisap lendir (suction)
Akan tetapi dalam kenyataan praktik di lapangan alat ini lebih jarang digunakan,hal ini
dikarenakan terdapat beberapa kerugian dalam pemakaiannya, Yaitu:
- Pemasangan lebih sulit
- Rasa tidak nyaman,terutama pada klien dengan tingkat kesadaran penuh.
- Resiko iritasi lebih besar
- Kanul mudah tersumbat oleh lender sehingga pengiriman O 2 terhambat.
Dalam pemasangannya, panjang nasal catheter yang akan dimasukkan dapat diukur
yaitu sepanjang jarak antara meatus nasi (lubang hidung) dengan meatus auditorius
externus (lubang telinga).
2. Reservoir System
Reservoir system menggunakan peralatan tambahan yang berfungsi
menyimpan/ menampung O2 diantara periode inspirasi klien, dengan demikian maka
konsentrasi O2 yang diterima klien akan lebih tinggi dibanding low flow system.
Contoh dari reservoir system yaitu: Simple face mask, Partial rebreather mask dan
Non rebreather mask. Penjelasanannya sebagai berikut:
a. Simple face mask
Sering disebut dengan simple mask, adalah alat berupa masker yang
melingkupi sebagian wajah. Alat ini digunakan untuk pemberian oksigen dengan
aliran sebesar 5-10 liter/ menit (dianjurkan aliran 8 - 10 liter / menit). Konsentrasi
oksigen yang dihasilkan antara 40-60%.

Gambar simple face mask


b. Partial Rebreather mask
Prinsip kerjanya hampir sama dengan NRBM. Yang membedakan adalah fungsi
katup yang terletak di atas reservoir. Pada partial rebreather mask, katup ini dapat
berjalan dua arah sehingga udara ekspirasi sebagian masuk ke dalam reservoir,
sementara sebagian lagi keluar.

Gambar ilustrasi cara kerja


partial rebreathing mask

Salah satu indikasi penggunaan masker ini adalah pada kien yang mengalami
alkalosis/alkalemia.
c. Non rebreather mask
Sering juga disebut dengan NRBM (non rebreathing bag mask). Alat ini mirip
dengan simple face mask, akan tetapi yang membedakan adalah adanya
penggunaan kantung reservoir udara. Fungsi reservoir ini adalah menampung
oksigen udara diantara fase inspirasi. Dengan demikian, konsentrasi O 2 yang
dihirup akan lebih tinggi. Selain reservoir, masker ini juga dilengkapi dengan dua
jenis katup:
- Katup searah pada kedua sisinya. Hal ini dimaksudkan agar udara ekspirasi
dapat keluar melalui katup ini akan tetapi idara dati luar tidak dapat masuk ke
dalam masker. Sehingga udara yang dihirup murni berasal dari dalam kantung
reservoir.
- Katup searah pada bagian atas reservoir. Hal ini dimaksudkan agar udara
mengalir searah dari dalam katup ke luar, sehingga udara ekspirasi klien tidak
masuk ke dalam reservoir.
Jenis masker ini diberikan pada klien yang memerlukan oksigen murni dalam
jumlah besar.

Gambar ilustrasi cara kerja


Ilustrasi cara kerja NRBM

3. High Flow System


System ini bekerja dengan memenuhi seluruh kebutuhan oksigen yang
diperlukan klien.
Contoh:
- Venturi mask, prinsip kerja venturi mask adalah memberikan O2 dalam
jumlah yang konstan. Alat ini dilengkapi dengan panel pengatur aliran udara pada
reservoir nya. Salah satu penggunaan venturi mask adalah pada klien dengan
COPD. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan melalui venturi mask adalah
24%, 35%, 40%, dan 50%.

Gambar. Venturi mask


- Oxygen hood, digunakan untuk menyediakan lingkungan dengan kadar
oksigen yang tinggi. Seringkali digunakan pada neonates dengan respiratory
compromise. Kelebihan alat ini selain memberikan oksigen dalam jumlah yang
adekuat juga tidak membatasi aktivitas motorik bayi dan tindakan perawatan yang
dilakukan.

Gambar
oxygen hood
4. Bag Valve Mask (BVM)
Alat ini digunakan secara khusus untuk klien dengan ventilasi yang inadekuat.
Prinsip dari cara kerja alat ini adalah dengan memberikan tekanan positif ke dalam
jalan nafas agar udara dapatmasuk ke dalam paru-paru meskipun mekanisme
ventilasi klien tidak adekuat untuk dapat menarik udara masuk.
Alat ini terdiri dari:
Masker yang terletak pada bagian ujung. Masker yang digunakan
pada BVM dilengkapi dengan seal karet pada bagian tepinya agar udara yang
dipompakan tidak keluar dari masker dan sepenuhnya masuk ke jalan nafas kien.
Bag/ kantong yang terbuat dari karet elastic. Fungsi bag ini adalah
untuk memproduksi tekanan positif, dengan kata lain fungsi dari bag ini adalah
menggantikan mengembang dan mengempisnya rongga thorax yang
mempengaruhi tekanan udara.
Diantara masker dan bag terdapat katup searah yang mengunci aliran
udara agar hanya dapat mengalir dari bag menuju masker.
Pada bagian pangkal terdapat port yang dapat dihubungkan dengan
tabung oksigen.

Gambar. BVM
Setelah memahami penggunaan alat alat di atas, maka tugas anda selanjutnya
adalah memahami konsep mengenai penghitungan kebutuhan oksigen dan penentuan
teknik pemberian terapi oksigen yang tepat. Terdapat beberapa factor yang
mempengaruhi tingkat kebutuhan oksigen. Hal inilah yang menyebabkan mengapa
kebutuhan oksigen dapat bervariasi meskipun kondisi atau diagnose medis klien
cenderung hampir sama. Factor factor tersebut antara lain:
- Berat badan
- Frekuensi pernafasan (RR)
- Kadar Hb
- Kadar gas darah (dilihat dari hasil AGD)
- Tingkat metabolisme

Secara umum, untuk mengetahui kebutuhan dukungan O 2 pada seseorang dapat


dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
BB x RR x TV
100
VT : volume tidal (500-700cc)
Berdasarkan penghitungan ini maka kita akan dapat menentukan alat apa yang
paling tepat digunakan dalam memberikan terapi O 2.

PENILAIAN KETERAMPILAN OKSIGENASI

NAMA :
NIM :
No. Aspek yang dinilai Nilai
0 1 2
Tahap pre interaksi
1. Verifikasi order (catatan status kesehatan klien), konfirmasi
dengan hasil lab
2. Cuci tangan
3. Siapkan alat, cek patensi alat, jumlah O 2 dalam tabung,
humidifier
4. Gunakan sarung tangan dan alat perlindungan diri yang lain
Tahap orientasi
1. Berikan salam dan sapa klien, perkenalkan diri
2. Menjelaskan tujuan, prosedur dan lama tindakan
3. Menanyakan keluhan utama klien
4. Memberi kesempatan pada klien untuk bertanya
Tahap kerja
1. Mengatur posisi klien
2. Menghubungkan peralatan terapi oksigen dengan manometer
3. Mengalirkan oksigen ke dalam peralatan terapi oksigen
4. Mengatur jumlah aliran oksigen yang diberikan
5. Memeriksa aliran oksigen yang keluar dari peralatan terapi
oksigen
6. Memasang peralatan terapi oksigen pada klien dengan cara
yang baik dan posisi yang tepat
Tahap terminasi
1. Evaluasi hasil yang dicapai (subjektif dan objektif) yaitu keluhan
klien, dan status respirasi
2. Berikan reinforcement positif pada klien
3. Kontrak pertemuan selanjutnya (waktu, kegiatan, tempat)
4. Akhiri pertemuan dengan cara yang baik
5. Cuci tangan
6. Dokumentasikan kegiatan yang dilakukan
Total Nilai

Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna
Nilai Batas Lulus 75 %
Banjarbaru, ...............................
Evaluator

...................................................

9. NEBULISASI
Devi Rahmayanti, S.Kep, Ns, M.Imun

Kemampuan klien untuk memobilisasi sekresi dapat membuat perbedaan antara


penyakit jangka pendek dan proses penyembuhan jangka panjang yang melibatkan
komplikasi. Intervensi keperawatan untuk meningkatkan mobilisasi sekresi pulmonari
dilakukan dengan hidrasi, humidifikasi, nebulisasi dan fisioterapi dada.
Nebulizasi
A. Definisi
Nebulizasi merupakan proses penambahan pelembab atau obat-obatan keudara yang
diispirasi dengan mencampur partikel berbagai ukuran dengan udara. Nebulizer adalah
alat yang dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus
menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang
ultrasonik.

B. Tujuan
a. Mengobati peradangan saluran pernafasan bagian atas
b. Menghilangkan sesak selaput lendir saluran pernafasan bagian atas sehingga
lendir menjadi encer dan mudah keluar
c. Menjaga selaput lendir dalam keadaan lembab
d. Pernafasan menjadi lega
e. Mengurangi pembengkakan selaput lendir
f. Mencegah pengeringan selaput lendir
g. Mengendurkan relaksasi (otot) dan penyembuhan batuk
h. Menghilangkan gangguan gatal pada kerongkongan dengan melembabkan udara

C. Mekanisme
Sebuah nebulizer menggunakan prinsif aerosol untuk menambah jumlah maksimum
tetesan air atau partikel dengan ukuran yang diinginkan dalam udara inspirasi.
Apabila diinspirasi dengan udara atau oksigen yang diberikan, tetesan partikel
kemudian disimpan dipercabanagan trekeobronkhial. Pelembab yang ditambahkan pada
system pernafasan melalui nebulizasi akan meningkatkan bersihan sekresi pulmonary.
Apabila lapisan tipis cairan yang menyokong lapisan lendir pada silia dibiarkan kering,
maka silia menjadi rusak dan tidak dapat membersihkan nafas dengan adekuat.
Humidifikasi melalui nebulizasi akan meningkatkan bersihan mukosilia, membantu
mekanisme alamiah tubuh untuk membuang lendir dan debris dari saluran nafas.

D. Indikasi Nebulizer Therapy


Memberikan medikasi secara langsung pada saluran napas unuk mengobati pasien yang
mengalami :
1. Kesulitan dalam mengeluarkan sekresi saluran pernafasan
2. Prosedur bantuan dengan metode sederhana tidak berhasil
3. Penurunan kapasitas vital (VC) dengan pernafasan dalam
4. Bronchospasme akut
5. Inflamasi pada saluran pernafasan atas ; Rhinitis, Sinusitis, Epiglotitis
6. Produksi mukus yang berlebihan
D. Keuntungan Nebulizer Therapy
1. Medikasi dapat diberikan langsung pada tempat/sasaran aksinya (spt paru) oleh
karena itu dosis yang diberikan rendah.
2. Dosis yg rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik dan efek samping sistemik.
3. Pengiriman obat melalui nebulizer ke paru sangat cepat, sehingga aksinya lebih cepat
dari pada rute lainnya seperti subkutan atau oral.
4. Udara yang dihirup melalui nebulizer telah lembab, yang dapat membantu
mengeluarkan sekresi bronchus

E. Perhatian dan Kontraindikasi


1. Pasien yg tidak sadar atau confusion tidak kooperatif dengan prosedur ini,
membutuhkan pemakaian mask/sungkup; tetapi mask efektivitasnya berkurang secara
signifikan.
2. Medikasi nebulizer kontraindikasi pada keadaan dimana suara napas tidak ada atau
berkurang, kecuali jika medikasi nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang
meggunakan tekanan positif. Pasien dengan penurunan pertukaran gas juga tidak
dapat menggerakan/memasukan medikasi secara adekuat ke dalam saluran napas.
3. Pemakaian katekolamin pada pasien dengan cardiac iritability harus dengan perhatian.
Ketika diinhalasi, katekolamin dapat meningkatkan cardiac rate dan dapat menimbulkan
disritmia.
4. Medikasi nebulizer tidak dapat diberikan terlalu lama melalui intermittent positive-
pressure breathing (IPPB), sebab IPPB mengiritasi dan meningkatkan bronchospasme.
5. Kemampuan pasien melakukan pernafasan diafragmatik penting untuk menyiapkan
penggunaan yang tepat
F. Komplikasi (umumnya karena efek samping obat)
1. Nausea
2. Vomiting
3. Tremor
4. Bronchospasme
5. Tachicardia
H. Tipe utama nebulizer
a. Nebulizer mini; alat genggam yang menyemburkan medikasi atau agens pelembab;
seperti agens bronkhodilator atau mukolitik menjadi partikel mikroskopik dan
mengirinkannya kedalam paru-paru ketika pasien menghirup nafas.
b. Nebulizer jet aerosol; menggunakan gas dibawah tekanan. Jet nebulizers dihubungkan
dengan pipa ke sumber udara terkompresi yang menyebabkan udara atau oksigen
untuk ledakan di kecepatan tinggi melalui obat cair untuk mengubahnya menjadi
aerosol, yang kemudian dihirup oleh pasien.
c. Nebulizer ultrasonik menggunakan getaran frekuensi tinggi untuk memecah air atau
obat menjadi tetesan atau partikel halus.
I. Jenis Obat Inhalasi
Obat diberikan secara kombinasi sesuai kebutuhan pasien :
1. Brokhodilator; beta agonis, terbutalin, Salbutamol, Fenoterol, dll
2. Anti kolinergik; Ipratropin bromide, tiotropium
3. Mukolitik
4. Antiinflamasi; Budesonide, Flutikason, Beklometason, dll
5. Antibiotika
6. Anastesi lokal; Lidokain, prokain, HCl, dll
7. Larutan isotonik, hipertonik, aquadest

Contoh Alat Nebulizasi :


J. Penatalaksanaan
a. Peralatan
1. Nebulizer dan tube penghubung (connecting tube).
2. Selang/ kanule udara
3. Masker, Nasal kanule, mouthpiece
4. Kassa lembab
5. Na Cl 0,9%
6. Tissue
7. Sarung tangan
8. Kapas alkohol
9. Nierbekken
10. Set oksigen
b. Persiapan Pasien
1. Tempatkan pasien pada posisi tegak (40-90), yg memungkinkan klien ventilasi
dalam dan pergerakan diafragma maksimal.
2. Kaji suara napas, pulse rate, status respirasi, saturasi oksigen sebelum medikasi
diberikan.
3. Kaji heart rate selama pengobatan. Jika heart rate meningkat 20 kali permenit,
hentikan terapi nebulizer. Pada pasien hamil, heart rate fetus harus dikaji
4. Instruksikan pasien utk mengikuti prosedur dengan benar. Lakukan perlahan, napas
dalam dan tahan napas saat inspirasi puncak beberapa saat

c. Tahapan Prosedur
1. Berikan oksigen suplemen, dg flow rate disesuaikan menurut kondisi/keadaan
pasien, pulse oximetry, atau hasil gas darah arteri. Inhalasi katekolamin dapat
mengubah rasio ventilasi-perfusi paru dan memperburuk hipoksemia untuk periode
singkat (Anderson, 1989 dalam Proehl, 1999).
2. Pasang nebulizer dan tube, dan masukan obat ke dalam nebulizer sesuai program.
3. Tambahkan sejumlah normal saline steril ke nebulizer sesuai program.
4. Hubungkan nebulizer ke sumber kompresi gas.
5. Pandu pasien untuk mengikuti tehnik bernapas yang benar
6. Lanjutkan pengobatan sampai kabut tidak lagi diproduksi
7. Kaji ulang suara napas, pulse rate, saturasi oksigen, dan respiratory rate.
8. Pemberian mungkin membutuhkan waktu selama 30-40 menit
PENILAIAN KETERAMPILAN NEBULIZASI
NAMA :
NIM :
NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
Tahap Pre Interaksi
1 Baca status dan data klien untuk memastikan program terapi
Nebulizasi
2 Cek alat-alat yang akan digunakan
3 Cuci tangan
Tahap Orientasi
1 Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya
2 Perkenalkan nama perawat
3 Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada klien
4 Jelaskan tujuan tindakan yang dilakukan
5 Beri kesempatan pada klien untuk bertanya
6 Tanyakan keluhan klien saat ini
Persiapan Alat
1 Nebulizer dan tube penghubung (connecting tube).
2 Selang/ kanule udara
3 Masker, mouthpiece
4 Kassa lembab
5 Na Cl 0,9%
6 Tissue
7 Sarung tangan
8 Kapas alkohol
9 Nierbekken
10 Spuit dan obat
Tahap Kerja
1 Jaga privasi klien
2 Dekatkan alat-alat ke sisi tempat tidur klien
3 Pasang sarung tangan
4 Tempatkan pasien pada posisi tegak (40-90), yg
memungkinkan klien ventilasi dalam dan pergerakan
diafragma maksimal
5 Jalan nafas dibersihkan, hidung dibersihkan dengan kasa
lembab, (buang bahan habis pakai) yang telah digunakan
pada nierbekken
6 Masukkan obat ke dalam nebulizer sesuai program,
tambahkan sejumlah normal saline steril ke nebulizer sesuai
program.
7 Pasang nebulizer dan tube
8 Ingatkan kembali pada pasien untuk bernafas teratur, dalam
dan rileks
9 Hubungkan nebulizer kesumber listrik
10 Gunakan moutpiece/ nasal kanule/ masker pada pasien,
hidupkan nebulizer
11 Cek berfungsinya nebulizer dengan melihat adanya uap
yang keluar dari mouthpiece, masker, nasal kanule
12 Lanjutkan pengobatan sampai kabut tidak lagi diproduksi
13 Jika pasien lelah hentikan nebulizasi sebentar dan berikan
kesempatan pasien istirahat
14 Berikan O2 1-2 liter/menit atau sesuai instruksi (jika
diperlukan)
15 Perhatikan keadaan umum
16 Alat dibersihkan (selang dicuci dengan air bersih dan
didesinfeksi) kemudian dirapikan
17 Lepas sarung tangan
18 Rapikan klien
Terminasi
1 Berikan reinforcement positif
2 Buat kontrak pertemuan selanjutnya
3 Akhiri kegiatan dengan baik
4 Observasi klien pada jam pertama untuk menentukan
respon terhadap terapi Nebulizasi & munculnya komplikasi
Dokumentasi
1 Dokumentasikan di catatan perawatan (obat; nama, dosis,
waktu diberikan, lama waktu pemberian, respon klien)

Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna
Nilai Batas Lulus 75 %

Nilai = Jumlah nilai yang didapat x 100%


Jumlah aspek yang dinilai

9. PENGISAPAN LENDIR TRAKEOSTOMI (SUCTIONING)


Eka Santi, S.Kep.,Ns. M.Kep.

Prosedur suctioning
Definisi
Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan jalan nafas
sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan cara
mengeluarkan sekret pada klien yang tidak mampu mengeluarkannya sendiri.
( Ignativicius, 1999 ).
Indikasi dilakukannya penghisapan adalah adanya atau banyaknya sekret yang
menyumbat jalan nafas, ditandai dengan :
1. Terdengar adanya suara pada jalan nafas
2. Hasil auskultasi: ditemukan suara crackels atau ronkhi
3. Kelelahan
4. Nadi dan laju pernafasan meningkat
5. Ditemukannya mukus pada alat Bantu nafas
6. Permintaan dari klien sendiri untuk disuction
7. Meningkanya peak airway pressure pada mesin ventilator
Suction jangan dilakukan bila kita akan melakukan pemeriksaan analisa gas darah 15
menit -20 menit sebelumnya dan hindarkan bila hemodinamik tidak stabil.
Kateter Suction
Kateter suction yang akan digunakan untuk membersihkan jalan nafas biasanya
mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda idealnya kateter suction yang baik adalah
efektif menghisap sekret dan resiko trauma jaringan yang minimal. Diameter kateter
suction bagian luar tidak boleh melebihi setengah dari diameter bagian dalam lumen tube
diameter kateter yang lebih besar akan menimbulkan atelectasis sedangkan kateter yang
terlalu kecil kurang efektif untuk menghisap sekret yang kental. Yang penting diingat
adalah setiap kita melakukan suction, bukan sekretnya saja yang dihisap tapi oksigen di
paru juga dihisap dan alveoli juga bisa collaps.
Ukuran kateter suction biasanya dalam French Units (F)

Selang suction

Teknik
Setiap melakukan suction melalui artificial airway harus steril untuk mencegah
kontaminasi kuman dan dianjurkan memakai sarung tangan yang steril. Karakter suction
harus digunakan satu kali proses suction misalnya setelah selesai suction ETT dapat
dipakai sekalian untuk suction nasofaring dan orofaring dan sesudah itu harus dibuang
atausdisterilkan kembali, Ingat jangan sekali-kali memakai kateter suction untuk
beberapa pasien. Peralatan lain yang perlu disediakan cairan antiseptik, vacum suction,
spuit 5-10 ml untuk spooling (lavage sollution) dan ambubag (hand resuscitator) untuk
oksigen 100%. Vacum suction harus dicek dan diatur jangan terlalu tinggi karena dapat
menyebabkan trauma jaringan dan jangan terlalu rendah ==> penghisapan tidak efektif.
Tabel 1. Setting Vakum untuk Pasien berdasarkan Usia
Setting Kategori Usia
60 80 mm Hg Infant
80 120 mm Hg Anak
120 150 mm Hg Dewasa

o Cairan antiseptik untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah suction untuk
mengurangi kontaminasi kuman.
o Sebelum suction, pasien harus diberi oksigen yang adekuat (pre oxygenasi) sebab
oksigen akan menurun selama proses pengisapan.
Pada pasien-pasien yang oksigennya sudah kurang. Pre oksigen isi dapat menghindari
hipoksemia yang berat dengan segala akibatnya, sebab proses suction dapat
menimbulkan hipoksemia . Pre oksigen dapat diberikan dengan ambubag dengan O 2
100 % (0-10 liter) atau dengan memakai alat ventilator mekanik dengan O 2 100%.
o Setelah pre oksigensi yang cukup, masukan kateter suction ke dalam airway
sampai ujungnya menotok tanpa hisap, kemudian tarik kateter suction sedikit, lakukan
penghisapan dan pemutaran berlahan dan sambil menarik keluar untuk mencegah
kerusakan jaringan dan memudahkan penghisapan sekret. Proses suction tidak boleh
melebihi 10-15 detik di lumen artificial airway, total proses suction jangan melebihi 20
detik. Bila hendak mengulangi suction harus diberikan pre oksigenasi kembali 6-10 kali
ventilasi dan begitu seterusnya sampai jalan nafas bersih.
o Jangan lupa monitor vital sign, ECG monitor, sebelum melanjutkan suction, bila
terjadi dysritmia atau hemodinamik tidak stabil, hentikan suction sementara waktu.
Suction harus hati-hati pada kasus-kasus tertentu misalnya penderita dengan orde
paru yang berat dengan memakai respirator dan PEEP, tidak dianjurkan melakukan
suction untuk sementara waktu sampai oedem parunya teratasi. Bila sputum kental
dan sulit untuk dikeluarkan dapat dispooling dengan cairan NaCl 0,9% sebanyak 5-10
ml dimasukkan ke dalam lumen artificial airway sebelum disuction, untuk bayi cukup
beberapa tetes saja. Dianjurkan setiap memakai artificial airway harus menggunakan
humidifier dengan kelembaban I 100% pada temperatur tubuh untuk mengencerkan
dan memudahkan pengeluaran sputum.

Suction melalui Naso Tracheal


Penghisapan melalui naso tracheal biasanya lebih sulit dan berbahaya bila
dibanding dengan memakai via artifical airway dan tidak dianjutkan untuk rutin prosedur
pada pembersihan jalan nafas, sebab dapat menyebabkan spasme taring, iritasi nasal dan
perdarahan.
Pada kasus tertentu dimana artificial airway tidak ada, sedangkan retensi sputum
banyak dapat dilakukan perlahan dengan memakai kateter suction yang sebelumnya
diolesi pelcin (water soluble lumbricant) dan sementara vacuum dilepaskan, sambil
mendengar suara nafas melalui kateter bila sudah sampai di depan trachea, kateter
suction diteruskan sampai saat inspirasi sambil menghisap, biasanya timbul rangsangan
batuk sehingga sputum dapat keluar melalui suction atau ke rongga jalan natas bagian
atas (nasofaring atau orofaring) sehingga mudah dikeluarkan melalui kateter suction dapat
dilakukan spooling untuk mengencerkan sputum bila dilakukan berulang dapat dibantu
dengan nasofaringeal tube untuk mengurangi trauma, jangan lupa memberikan
reoksigenasi dan monitor vital sign sesudah melakukan suction.
Ingat: Bila terjadi spasme laring pada waktu suction naso tracheal: Segera cabut kateter
suction dan bantu dengan memakai ambubag dan oksigen 100%, ini merupakan life
treathening.
Komplikasi :
1. Hipoxemia , oleh kenana suction melalui artiticial aireway dapat menghisap oksigen
yang di alveoli dan menurunkan oksigen pada darah arteri yang dapat menimbulkan
takicardi, aritmia/PVC, bradikardi
Untuk mencegah hipoksemia ini
Oksigenasi yang baik sebelum dan sesudah suction
Suction jangan melebihi 15 detik
Ukuran diameter suction yang benar
2. Trauma Jaringan
Sunctioning dapat menyebabkan trauma jaringan, iritasi dan pendarahan untuk
pencegahan :
Pakai karakter suction dengan jenis dan ukuran yang benar
Teknik suction yang baik dan benar
3. Atelektasis
Atelektasis dapat terjadi bila pemakaian kateter suction yang terlalu besar dan vacuum
suction yang terlalu kuat sehingga terjadi collaps paru atau atelektasis dan bisa terjadi
persistent hipoksemia .
Untuk pencegahan :
Pakai kateter suction dengan jenis dan ukuran yang benar
Teknik suction yang baik dan benar
Auskultasi pre dan post suction
4. Hipotensi :
Hipotensi yang terjadi pada sewaktu suction biasanya oleh karena: vagal stimulasi,
batuk dan hipoxemia. Vagal stimulasi menyebabkan bradikardi, batuk menyebabkan
penurunan venous return, sedangkan hipoksemia menyebabkan aritmia dan
vasodilatasi perifer. Walaupun tekanan darah sistemik menurun, namun tekanan intra
cranial pressure (ICP) tetap naik pada waktu dilakukan suction.
Untuk pencegahan :
Cek darah sebelum dan sesudah suction
Monitor yang ketat vital sign dan ECG.
5. Konstriksi jalan nafas
Konstriksi jalan nafas terjadi karena adanya rangsangan mekanik langsung dari
suction terhadap mukosa saluran nafas sehingga terjadi broncho konstriksi dengan
tanda adanya wheezing. Bila terjadi broncho konstriksi berikan bronchodilator, pada
nasotrakeal suction dapat terjadi spasme laring.

(Ignativicius, 1999) menuliskan langkah-langkah dalam melakukan tindakan


penghisapan adalah sebagai berikut :
1. Kaji adanya kebutuhan untuk dilakukannya tindakan penghisapan (usahakan tidak rutin
melakukan penghisapan karena menyebabkan kerusakan mukosa, perdarahan, dan
bronkospasme).
2. Lakukan cuci tangan, gunakan alat pelindung diri dari kemungkinan terjadinya
penularan penyakit melalui sekret.
3. Jelaskan kepada pasien mengenai sensasi yang akan dirasakan selama penghisapan
seperti nafas pendek, batuk dan rasa tidak nyaman.
4. Cek mesin penghisap, siapkan tekanan mesin suction pada level 80 120 mmHg
untuk menghindari hipoksia dan trauma mukosa.
5. Siapkan tempat yang steril
6. Lakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 30 detik sampai 3 menit untuk
mencegah terjadinya hipoksemia.
7. Secara cepat dan gentle masukkan kateter, jangan lakukan suction saat kateter
sedang dimasukkan.
8. Tarik kateter 1-2 cm dan mulai lakukan suction. Lakukan suction secara intermitten,
tarik kateter sambil menghisap dengan cara memutar. Jangan pernah melakukan
suction lebih dari 10 15.
9. Hiperoksigenasi selama 1-5 menit atau bila nadi dan SaO 2 pasien normal.
10. Ulangi prosedur bila diperlukan ( maksimal 3 x suction dalam 1 waktu )
11. Tindakan suction pada mulut boleh dilakukan jika diperlukan, lakukan juga mouth care
setelah tindakan suction pada mulut.
12. Catat tindakan dalam dokumentasi keperawatan mengenai karakteristik sputum
(jumlah, warna, konsistensi, bau, adanya darah ) dan respon pasien.

Peralatan yang disiapkan:


1. Kateter pengisap steril
2. Sarung tangan steril
3. Googles untuk pelindung mata
4. Spuit 5 10 ml
5. Normal salin yang dituangkan ke dalam cangkir untuk irigasi
6. Bag yang dapat mengembang sendiri milik pasien (resusitator tangan) dengan
oksigen suplemental (kantung diganti setiap hari untuk mengurangi kemungkinan
terjadi infeksi)
7. Mesin pengisap (suction)

PENILAIAN KETERAMPILAN SUCTIONING TRAKEOSTOMI


NAMA :
NIM :
No Aspek Yang Dinilai Nilai
0 1 2
PERSIAPAN
Persiapan Pasien
1 Mengucapkan salam terapeutik
2 Memperkenalkan diri
3 Periksa order dokter dan rencana keperawatan
4 Rekrut asisten
5 Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan
dilakukan perawat)
6 Pastikan alat suction dapat berfungsi dengan baik
Persiapan Alat
1 Kateter suction sesuai ukuran
2 Sarung tangan steril
3 Normal salin dalam kom steril
4 Masker
5 Resuscitator tangan
6 Mesin suction + pipa penyambung
7 Stetoskop
Prosedur
1. Cuci tangan
2 Kaji suara paru, heart rate dan irama napas
3 Setting vakum sesuai kriteria usia
4 Pasang masker (gown jika diperlukan)
5 Jelaskan prosedur kepada klien
6 Atur posisi klien semi fowler atau fowler
7 Nyalakan mesin suction
8 Buka kateter suction dan siapkan normal salin
9 Pasang sarung tangan pada tangan yang dominan
10 Ventilasi pasien dengan bag resusitasi manual dan aliran
02 yang tinggi
11 Ambil kateter pengisap dengan tangan yang
mengenakan sarung tangan dan hubungkan ke pengisap
12 Cek kateter dengan normal salin
13 Masukkan kateter sejauh mungkin sampai ujung selang
tanpa memberikan isapan, cukup untuk menstimulasi
batuk
14 Beri isapan sambil menarik kateter, memutar kateter
dengan perlahan 360 (tidak lebih dari 10 -15 detik,
karena pasien dapat menjadi hipoksik dan mengalami
disritmia yang dapat mengarah pada henti jantung
15 Reoksigenasikan dan inflasikan paru-paru pasien selama
beberapa kali napas
16 Ulangi 3 langkah sebelumnya sampai jalan napas bersih
17 Bilas kateter dalam basin dengan normal salin steril
antara tindakan pengisapan bila perlu
18 Hisap kavitas orofaring setelah menyelesaikan
pengisapan trakeal
19 Bilas selang pengisap
20 Lepaskan kateter dari selang penyambung
21 Lepaskan sarung tangan dan buang
22 Matikan mesin suction
23 Rapikan alat dan klien
24 Cuci tangan
Terminasi
1 Menyimpulkan hasil prosedur yang telah dilakukan
2 Memberikan reinforcement sesuai dengan kemampuan
klien
3 Mengakhiri kegiatan dengan cara memberi salam
Dokumentasi
1 Mencatat seluruh hasil tindakan dalam catatan
keperawatan
Keterangan :
Banjarbaru,..................
0 = Tidak dilakukan
Evaluator,
1 = Dilakukan tapi tidak sempurna

2 = Dilakukan dengan sempurna ............................

Nilai Batas Lulus : 75 %

Nilai = Jumlah yang didapat x 100 %

Jumlah aspek yang dinilai

10. ADMINISTRASI OBAT


Dhian Ririn Lestari, S.Kep, Ns. M.Kep.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :


Setelah mengikuti praktikum ini, mahasiswa akan mampu :
Menjelaskan pengertian dan tujuan pelaksanaan pemberian obat pada pasien
Menjelaskan jenis-jenis administrasi obat
Melakukan pemberian obat pada pasien dengan benar

PENDAHULUAN
Pemberian obat yang aman dan akurat merupakan salah satu tugas terpenting
perawat. Obat adalah alat utama terapi yang digunakan dokter untuk mengobati klien yang
memiliki masalah kesehatan. Walaupun obat menguntungkan klien dalam banyak hal,
beberapa obat dapat menimbulkan efek samping yang serius atau berpotensi
menimbulkan efek yang berbahaya bila tidak tepat diberikan. Perawat bertanggungjawab
memahami kerja obat dan efek samping yang ditimbulkan, memberikan obat dengan
tepat, memantau respons klien dan membantu klien menggunakannya dengan benar
berdasarkan pengetahuan.
Suatu obat atau medikasi adalah zat yang digunakan dalam diagnosis, terapi,
penyembuhan, penurunan atau pencegahan penyakit. Supaya dapat tercapainya
pemberian obat yang aman, seorang perawat harus melakukan 10 hal benar yaitu klien
yang benar, obat yang benar, dosis yang benar, waktu yang benar, rute yang benar, benar
pendidikan kesehatan perihal medikasi klien, benar dokumentasi, hak klien untuk
menolak, benar pengkajian (memeriksa tanda-tanda vital sebelum obat diberikan) dan
benar evaluasi (melihat efek kerja dari obat yang diberikan).Farmakokinetik obat
menentukan rute obat.

PERAN PERAWAT DALAM PENGOBATAN


1. Peran independen
Peran dimana perawat secara legal dapat melakukan tindakan secara mandiri
terhadap diagnosa keperawatan tertentu
2. Peran dependen
Peran dimana perawat tergantung pada profesi lain dalam melakukan tindakan
terhadap masalah kesehatan
3. Peran interdependen (kolaborasi)
Dimana perawat melakukan tindakan terhadap masalah kesehatan yang memerlukan
penanganan bersama
4. Peran dalam mendukung keefektivan obat
Perawat harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang daya kerja dan efek
terapeutik obat sehingga perawat mampu melakukan observasi untuk mengevaluasi
efek obat dan harus melakukan upaya untuk meningkatkan efektivitas obat
5. Peran dalam mengobservasi efek samping dan alergi obat
Perawat harus mengetahui obat dan kemungkinan efek samping yg dapat terjadi
6. Peran perawat dalam menyimpan, menyiapkan dan administrasi obat
Umumnya obat tidak boleh terkena sinar matahari langsung, terkena cahaya yang
tajam, disimpan ditempat yang lembab atau disimpan pada tempat yang bersuhu ekstrim.
Suhu ekstrim : >400C, <80C
Suhu kamar : 15 300C
Suhu sejuk : 8 150C
7. Peran perawat dalam melakukan pendidikan kesehatan tentang obat
Perawat mempunyai tanggung jawab dalam melakukan pendidikan kesehatan pada
pasien, keluarga dan masyarakat luas terutama yang berkaitan dengan obat seperti
manfaat obat secara umum
Rute yang sering digunakan dalam pemberian obat :
Oral (melalui mulut) : cairan, suspensi, pil, tablet atau kapsul
Sublingual (dibawah lidah utk absorbsi vena)
Bukal (antara gusi dan pipi)
Topikal (pada kulit)
Inhalasi (semprot aerosol)
Instilasi (pada hidung, mata, telinga, rektum, vagina)
Parenteral (Subcutan, Intracutan, Intramuskular, Intravena)

PEMBERIAN OBAT SECARA ORAL

PENGERTIAN
Memberikan obat melalui mulut
TUJUAN
Menyediakan obat yang memiliki efek lokal atau sistemik melalui saluran gastro
intestinal
Menghindari pemberian obat yang dapat menyebabkan kerusakan kulit dan
jaringan
Menghindari pemberian obat yang dapat menyebabkan nyeri
FOKUS PERHATIAN PERAWAT
Alergi terhadap obat
Kemampuan klien untuk menelan obat
Adanya muntah dan diare yang dapat mengganggu absorbsi obat
Effek samping obat
interaksi obat
kebutuhan pembelajaran mengenai obat yang di berikan
Daya kerja dan efek terapeutik obat
Menyiapkan obat, perhitungan obat dan tanggal kadaluarsa
Kaji kemampuan klien untuk dapat minum obat peroral:
Kemampuan menelan / ketidakmampuan menelan (disphagia)
Kaji mual (nausea) & muntah (emesis)
Kaji apakah pasien boleh makan atau minum

PEMBERIAN OBAT SECARA SUBLINGUAL


PENGERTIAN
Pemberian obat dengan cara meletakkannya di bawah lidah sampai habis diabsorbsi ke
dalam pembuluh darah.

TUJUAN
Memperoleh effek local dan sistematik
Memperoleh aksi kerja obat yang lebih cepat dibandingkan secara oral
Menghindari kerusakan obat oleh hepar

PROSEDUR PELAKSANAAN
Secara umum persiapan dan langkah langkahnya sama dengan pemberian obat secara
oral.hal yang perlu di perhatikan adalah klien perlu diberi penjelasan untuk meletakkan
obat di bawah lidah,obat tidak boleh di telan, dan biarkan berda di bawah lidah sampai
habis diabsorbsi seluruhnya. Obat yang biasa di berikan secara sublingual adalah
nitrogliserin(OBAT vasodilator pada penyakit jantung anginapektoris).

PEMBERIAN OBAT SECARA BUKAL


PENGERTIAN
Pemberian obat dengan cara meletakkannya di antara gusi dengan membran mukosa pipi

TUJUAN
Memperoleh efek local dan sistematik
Memperoleh aksi kerja obat yang lebih cepat dibandingkan secara oral
Menghindari kerusakan obat oleh hepar

Prosedur pelaksanaan
Secara umum sama dengan pemberian obat dengan cara oral.akan tetapi perawat perlu
memberi penjelasan bahwa obat harus di letakkan di antara gusi dan selaput mukosa pipi
sampai seluruh obat habis di absorbsi.

PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL


Pengertian
Pemberian obat melalui jaringan atau pembuluh darah dengan menggunakan spuit
Tujuan
Mendapatkan reaksi yang lebih cepat dibandingkan dengan cara lain
Memperoleh reaksi setempat (tes alergi)
Membantu menegakkan diagnosa (penyuntikan zat kontras)
Memberikan zat imunologi

PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL


INDIKASI
1. Pada pasien yang tidak dapat diberikan secara oral.
2. Pada pasien dg penyakit tertentu yg harus diberi pengobatan dg cara suntikan
misalnya suntikan insulin.
3. Pada pasien yang terus muntah-muntah.
4. Pada pasien yang menginginkan reaksi obat dg cepat.
5. Pada pasien dengan keadaan darurat.
MANFAAT
1. Menghindari obat dirusak oleh enzim-enzim dalam saluran gastrointestinal.
2. Diperoleh kadar obat yg ditentukan karena tidak ada obat atau sedikit sekali dosis
obat yg berkurang.
3. Efeknya timbul lebih cepat dan teratur dari pada pemberian dengan rute oral.
4. Dapat diberikan pada pasein tidak sadar.
5. Dapat diberikan pada pasein yang sulit menelan.

KERUGIAN
1. Efek toksisnya sulit sekali dinetralkan bila terjadi kesalahan dalam pemberian obat.
2. Sediaan injeksi lebih mahal.
3. Ada bahaya penularan.
4. Sukar dilakukan sendiri oleh penderita.
5. Pada tempat suntikan bisa terjadi odem
6. Dapat menyebabkan kematian jaringan dibawah kulit karena terjadi penyerapan
yang lambat

Injeksi Intradermal/intra cutan


Pengertian
Injeksi intradermal adalah pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam
jaringan dermis dibawah epidermis kulit dengan menggunakan spuit

Tujuan
Memasukkan sejumlah toksin atau obat yang disimpan dibawah kulit untuk
diabsorbsi
Metode untuk tes diagnostik terhadap alergi atau adanya penyakit-penyakit tertentu
Test tuberkulin
Mengetahui reaksi alergi thd obat tertentu
Vaksinasi
Anestesi local

Tempat Injeksi
Lengan bawah bagian dalam
Dada bagian atas
Punggung dibawah skapula
Dibawah lengan : bag.depan lengan 1/3 dari lekukan siku, pada kulit sehat,
jauh dari pembuluh darah.
Di lengan atas : Tiga jari dibawah sendi bahu ditengah-tengah daerah
muskulus deltoideus.
Punggung pada area skapula

Injeksi Subcutaneus
Pengertian
Adalah pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam jaringan subkutan
dibawah kulit yaitu pada jaringan konektif atau lemak dibawah dermis dengan
menggunakan spuit
Tujuan
Memasukkan sejumlah toksin atau obat pada jaringan subkutan dibawah kulit untuk
diabsorbsi
Tempat Injeksi
Lengan atas bagian luar
Paha anterior
Daerah abdomen
Area skapula pada punggung atas
Daerah ventrogluteal dan dorsogluteal bagian atas (Gambar)

Injeksi Intramuskular
Pengertian
Pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam jaringan otot dengan
menggunakan spuit
Tujuan
Memasukkan sejumlah obat pada jaringan otot untuk diabsorbsi
Tempat Injeksi
o Lengan bawah bagian dalam
o Dada bagian atas
o Punggung bawah skapula
Otot bokong (musculus gluteus maximus/Dorsogluteal) kanan/kiri, yang tepat
adalah 1/3 bagian dari spina iliacae anterior superior ke tulang ekor (os. cocygeus)
Area rektus femoralis, Otot paha bagian luar (musculus quadriceps femoris/ Vastus
lateralis)
Area deltoid/ Otot pangkal lengan (musculus deltoideus)
Area Ventrogluteal dan dorso gluteal
Injeksi Intravena
Pengertian
Pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam pembuluh darah vena dengan
menggunakan spuit

Tujuan
Memperoleh reaksi obat yang lebih cepat dibandingkan dengan injeksi parenteral
yang lain
Menghindari kerusakan jaringan
Memasukkan obat dalam volume yang lebih besar

Tempat Injeksi
Pada lengan (vena basilika dan vena sefalika)
Pada tungkai (vena safena)
Pada leher (vena jugularis) khusus pada anak-anak
Pada kepala (vena frontalis atau vena temporalis) khusus pada anak-anak

PEMBERIAN OBAT SECARA TOPIKAL


Pengertian
Pemberian obat secara topikal adalah memberikan obat secara lokal pada kuli atau
membran mukosa pada area mata, hidung, lubang telinga, vagina dan rektum
Tujuan:
Memperoleh reaksi lokal dari obat tersebut

PEMBERIAN OBAT TOPIKAL PADA KULIT


Pengertian
Pemberian obat secara topikal pada kulit adalah memberikan obat secara lokal pada kulit

PEMBERIAN OBAT MATA


Pengertian
Memberikan obat pada mata dalam bentuk cair atau ointment (salep)
Tujuan
Mengobati gangguan mata
Mendilatasikan pupil pada pemeriksaan struktur internal mata
Melemahkan otot lensa mata pada pengukuran refraksi mata
Mencegah kekeringan pada mata

PEMBERIAN OBAT TETES TELINGA


Pengertian
Memberikan obat pada telinga melalui kanal eksternal dalam bentuk cair

Tujuan
Memebrikan efek terapi lokal (mengurangi peradangan, membunuh organisme
penyebab infeksi pada kanal telinga esternal)
Menghilangkan nyeri
Melunakkan serumen agar mudah diambil

PEMBERIAN OBAT TETES HIDUNG


Pengertian
Memberikan obat tetes melalui telinga
Tujuan
Mengencerkan sekresi dan memfasilitasi drainase dari hidung
Mengobati infeksi pada rongga hidung dan sinus

PEMBERIAN OBAT MELALUI VAGINA


Pengertian
Memberikan sejumlah obat ke dalam vagina
Tujuan
Mengobati infeksi pada vagina
Menghilangkan nyeri, rasa terbakar dan ketidaknyamanan pada vagina
Mengurangi peradangan

PEMBERIAN OBAT SUPOSITORIA MELALUI REKTAL


Pengertian
Memberikan sejumlah obat ke dalam rektum dalam bentuk suppositoria
Tujuan
Memperoleh efek pengobatan secara lokal maupun sistemik
Melunakkan feses sehingga mudah untuk dikeluarkan

Cara memotong dan melihat batas obat

Menyiapkan obat
Bentuk sediaan obat

Pemberian obat per oral (sublingual dan buccal)


Ampul Vial

Menyiapkan obat dari ampul

Menyiapkan obat dari vial


Sudut penyuntikan 90 , 45 , 15

Injeksi sub kutan


Injeksi Intracutan

Injeksi sub kutan dan intra kutan

Dekontaminasi area penusukan


Injeksi intramuskuler

Injeksi sub kutan


Rectal suppositoria

Pemberian obat lewat mukosa/suppositoria

Pembuangan jarum suntik bekas pakai


PENILAIAN KETERAMPILAN PEMBERIAN OBAT SECARA ORAL

Nama :
NIM :
No NILAI
ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
1 Persiapan Alat
Baki berisi obat-obatan atau kereta dorong
obat (trolly)
Kartu atau buku rencana pengobatan
Mangkuk sekali pakai untuk tempat obat
Pemotong obat (jika diperlukan)
Martil dan lumpang penggerus (jika diperlukan)
Gelas pengukur (jika diperlukan)
Gelas dan air minum
Tisu
Sedotan
Sendok
Pipet
2 Tahap Pre Interaksi
1. Melakukan verifikasi order yang ada untuk
pemberian obat
2. Cek program pengobatan untuk menentukan
jenis dan dosis obat serta jenis larutan yang akan
digunakan
3 Tahap Orientasi
1. Memberi salam, panggil klien dengan panggilan
yang disenangi
2. Memperkenalkan nama perawat
3. Periksa riwayat alergi
4. Menjelaskan prosedur dan tujuan
4 Tahap Kerja
1. Cuci tangan
2. Siapkan lingkungan / jaga privacy klien
3. Kaji kemampuan klien untuk dapat minum obat
peroral
Kemampuan menelan / ketidakmampuan
menelan (disphagia)
Kaji mual (nausea) & muntah (emesis)
Kaji apakah pasien boleh makan atau minum

4. Kaji tanda-tanda vital jika diperlukan pada obat-


obatan tertentu (narkotik, digitalis, penurun tensi)
5. Periksa kembali order pengobatan (nama pasien,
dosis, nama obat, waktu dan cara pemberian, tanggal
kadaluarsa). Identifikasi klien dengan benar
6. Ambil obat sesuai dosis dan keperluan pada
tempatnya tanpa mengkontaminasi obat
7. Gunakan teknik aseptik untuk menjaga kebersihan
obat
Tablet atau Kapsul
Tuangkan tablet atau kapsul dengan takaran
sesuai kebutuhan ke dalam mangkuk sekali
pakai tanpa menyentuh obat
Gunakan alat pemotong tablet (jika diperlukan)
untuk membagi obat sesuai dosis.
Jika klien mengalami kesulitan untuk menelan,
gerus obat menjadi bubuk dengan
menggunkan alat (martil atau lumpang)
penggerus. (Konfirmasikan pada bagian
farmasi sebelum menggerus obat. Beberapa
obat tidak boleh digerus karena
mempengaruhi daya kerjanya)
Campurkan dengan menggunakan air atau
makanan
Obat dalam Bentuk Cair
Putar atau bolak-balikkan obat agar tercampur
rata.
Buka penutup botol dan letakkan menghadap
keatas
Pegang botol obat sehingga sisi labelnya
berada pada telapak tangan kemudian
tuangkan jauh dari label
Tuangkan obat dengan takaran sesuai
kebutuhan kedalam mangkuk obat berskala
Usap bibir tutup botol dengan tisu, kemudian
tutup botol obat dengan penutupnya
Jika jumlah obat yang diberikan hanya kurang
dari 5 ml, gunakan spuit steril tanpa jarum
untuk mengambilnya dari botol
7. Atur pasien pada posisi duduk. Jika tidak
memungkinkan, atur posisi lateral
8. Beri klien air untuk menelan obat. Jika sulit ditelan,
anjurkan klien meletakkan obat dibagian pangkal
lidah bagian dalam kemudian anjurkan minum
9. Rapikan alat dan kembalikan peralatan yang
dipakai. Buang alat-alat sekali pakai
10. Cuci tangan
Tahap Terminasi
1. Menyimpulkan hasil prosedur yang telah dilakukan
(Evaluasi mengenai efek obat pada klien 30 menit
setelah pemberian obat)
2. Berikan reinforcement sesuai dengan kemampuan
klien
3. Akhiri kegiatan dengan cara memberi salam
Dokumentasi
1. Mencatat seluruh hasil tindakan dalam catatan
keperawatan ( meliputi nama, dan dosis obat, setiap
keluhan pasien, tandatangan. Jika obat tidak dapat
masuk atau dimuntahkan , catat secara jelas
alasannya dan tindakan perawat)
Total
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Nilai Batas Lulus : 75

Nilai = Jumlah yang didapat x 100%

Jumlah aspek yang dinilai


PENILAIAN KETERAMPILAN PEMBERIAN OBAT SECARA SUBLINGUAL
Nama :
NIM :
No NILAI
ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
1 Persiapan Alat
Baki berisi obat-obatan atau kereta dorong obat (trolly)
Kartu atau buku rencana pengobatan
Mangkuk sekali pakai untuk tempat obat
Pemotong obat (jika diperlukan)

2 Tahap Pre Interaksi


1. Melakukan verifikasi order yang ada untuk pemberian
obat
2. Cek program pengobatan untuk menentukan jenis dan
dosis obat serta jenis larutan yang akan digunakan

3 Tahap Orientasi
1. Memberi salam, panggil klien dengan panggilan yang
disenangi
2. Memperkenalkan nama perawat
3. Menjelaskan prosedur dan tujuan (Obat diletakkan
dibawah lidah, obat tidak boleh ditelan dan biarkan berada
dibawah lidah sampai habis diabsorbsi seluruhnya)
4 Tahap Kerja
1. Cuci tangan
2. Kaji kemampuan klien untuk dapat minum obat peroral
Kemampuan menelan / ketidakmampuan menelan
(disphagia)
Kaji mual (nausea) & muntah (emesis)
Kaji apakah pasien boleh makan atau minum

3. Kaji tanda-tanda vital jika diperlukan pada obat-obatan


tertentu (narkotik, digitalis, penurun tensi)
4. Periksa kembali order pengobatan (teknik 10 benar).
Identifikasi klien dengan benar
5. Ambil obat sesuai dosis dan keperluan pada tempatnya
tanpa mengkontaminasi obat
6. Gunakan teknik aseptik untuk menjaga kebersihan obat
7. Atur pasien pada posisi duduk. Jika tidak memungkinkan,
atur posisi lateral
8. Letakkan obat dibawah lidah
9. Rapikan alat dan kembalikan peralatan yang dipakai.
Buang alat-alat sekali pakai
10. Cuci tangan
5 Tahap Terminasi
1. Menyimpulkan hasil prosedur yang telah dilakukan
(Evaluasi mengenai efek obat pada klien 30 menit setelah
pemberian obat)
2. Berikan reinforcement sesuai dengan kemampuan klien
3. Akhiri kegiatan dengan cara memberi salam
6 Dokumentasi
1. Mencatat seluruh hasil tindakan dalam catatan
keperawatan ( meliputi nama, dan dosis obat, setiap keluhan
pasien, tandatangan. Jika obat tidak dapat masuk atau
dimuntahkan , catat secara jelas alasannya dan tindakan
perawat)
Total
Keterangan :

0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Nilai Batas Lulus : 75

Nilai = Jumlah yang didapat x 100%

Jumlah aspek yang dinilai


PENILAIAN KETERAMPILAN PEMBERIAN OBAT SECARA BUKAL

Nama :
NIM :
No NILAI
ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
1 Persiapan Alat
Baki berisi obat-obatan atau kereta dorong
obat (trolly)
Kartu atau buku rencana pengobatan
Mangkuk sekali pakai untuk tempat obat
Pemotong obat (jika diperlukan)
2 Tahap Pre Interaksi
1. Melakukan verifikasi order yang ada untuk
pemberian obat
2. Cek program pengobatan untuk
menentukan jenis dan dosis obat serta jenis
larutan yang akan digunakan
3 Tahap Orientasi
1. Memberi salam, panggil klien dengan panggilan
yang disenangi
2. Memperkenalkan nama perawat
3. Menjelaskan prosedur dan tujuan (Obat
diletakkan diantara gusi dan selaput mukosa pipi
sampai obat habis diabsorbsi)
4 Tahap Kerja
1. Cuci tangan
2. Kaji kemampuan klien untuk dapat minum obat
peroral
Kemampuan menelan / ketidakmampuan
menelan (disphagia)
Kaji mual (nausea) & muntah (emesis)
Kaji apakah pasien boleh makan atau
minum
3. Kaji tanda-tanda vital
4. Periksa kembali order pengobatan (nama
pasien, dosis, nama obat, waktu dan cara
pemberian, tanggal kadaluarsa). Identifikasi klien
dengan benar
5. Ambil obat sesuai dosis dan keperluan pada
tempatnya tanpa mengkontaminasi obat
6. Gunakan teknik aseptik untuk menjaga
kebersihan obat
7. Atur pasien pada posisi duduk. Jika tidak
memungkinkan, atur posisi lateral
8. Letakkan obat diantara gusi dan selaput
mukosa pipi sampai habis diabsorbsi. Anjurkan
klien untuk tidak minum, makan dan berbicara
sebelum obat habis
9. Rapikan alat dan kembalikan peralatan yang
dipakai. Buang alat-alat sekali pakai
10. Cuci tangan
Tahap Terminasi
1. Menyimpulkan hasil prosedur yang telah
dilakukan (Evaluasi mengenai efek obat pada
klien 30 menit setelah pemberian obat)
2. Berikan reinforcement sesuai dengan
kemampuan klien
3. Akhiri kegiatan dengan cara memberi salam
Dokumentasi
1. Mencatat seluruh hasil tindakan dalam catatan
keperawatan ( meliputi nama, dan dosis obat,
setiap keluhan pasien, tandatangan. Jika obat
tidak dapat masuk atau dimuntahkan , catat
secara jelas alasannya dan tindakan perawat)
Total

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna

Nilai Batas Lulus : 75

Nilai = Jumlah yang didapat x 100%

Jumlah aspek yang dinilai


PENILAIAN KETERAMPILAN MENYIAPKAN OBAT DARI AMPUL

Nama :
NIM :
No NILAI
ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
1 Persiapan Alat
Catatan pemberian obat atau kartu obat
Ampul obat sesuai resep
Spuit dan jarum yang sesuai
Jarum steril ekstra (jika perlu)
Kapas alkohol
Kassa steril
Baki obat
Gergaji ampul (jika perlu)
Label obat
Bak spuit
Bengkok
2 Tahap Pre Interaksi
1. Melakukan verifikasi order yang ada untuk
pemberian obat
2. Cek program pengobatan untuk menentukan jenis
dan dosis obat serta jenis larutan yang akan
digunakan

4 Tahap Kerja
1. Cuci tangan
2. Periksa label obat sesuai order medikasi pengobatan
dengan prinsip 10 benar
3. Lakukan penghitungan dosis sesuai kebutuhan
4. Pegang ampul dan turunkan cairan diatas leher ampul
dengan cara menjentikkan jari tangan pada leher ampul
beberapa kali atau dengan cara memutar ampul dengan
tangan searah jarum jam
5. Letakkan kasa steril diantara ibu jari tangan kemudian
patahkan patahkan leher ampul kearah menjauhi tubuh
perawat. Gunakan gergaji ampul jika ampul sulit
dipatahkan dengan cara biasa.
6. Buang leher ampul pada tempat khusus
7. Tempatkan ampul pada permukaan yang datar
8. Buka penutup jarum spuit dan masukan jarum
kedalam ampul tepat di bagian tengah ampul
9. Aspirasi sejumlah cairan dari ampul sesuai dosis
10. Keluarkan jarum dari ampul
11. Tutup kembali jarum spuit dengan teknik yang benar
12. Jika terdapat gelembung udara pada spuit :
Pegang spuit secara vertikal dengan jarum
menghadap keatas
Tarik plunger kebawah dan jentikan spuit dengan
jari
Dorong plunger perlahan keatas untuk
mengeluarkan udara, jaga agar tidak
mengeluarkan larutan
13. Periksa kembali jumlah larutan yang ada pada spuit
bandingkan dengan volume yang dibutuhkan
14. Bandingkan label obat dengan catatan pemberian
obat
15. Beri label spuit dengan label obat yang sesuai
16. Tempatkan spuit (dalam bak spuit), kapas alkohol
dan kartu obat diatas baki
17. Buang atau simpan kembali peralatan yang tidak
diperlukan
18. Perawat cuci tangan
Total
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Nilai Batas Lulus : 75

Nilai = Jumlah yang didapat x 100%

Jumlah aspek yang dinilai


PENILAIAN KETERAMPILAN MENYIAPKAN OBAT DARI VIAL

Nama :
NIM :
No NILAI
ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
1 Persiapan Alat
Catatan pemberian obat atau kartu obat
Vial obat sesuai resep
Spuit dan jarum yang sesuai
Jarum steril ekstra
Kapas alkohol
Baki obat
Label obat
Bak spuit
Aquabidest
Bengkok
2 Tahap Pre Interaksi
1. Melakukan verifikasi order yang ada untuk
pemberian obat
2. Cek program pengobatan untuk menentukan jenis
dan dosis obat serta jenis larutan yang akan
digunakan

4 Tahap Kerja
1. Cuci tangan
2. Periksa label vial obat sesuai order medikasi
pengobatan dengan prinsip 10 benar
3. Lakukan penghitungan dosis sesuai kebutuhan
4. Rotasikan cairan yang ada dalam vial dengan
menggunakan tangan agar tercampur sempurna. Jangan
dikocok larutan dalam vial karena dapat menyebabkan
larutan berbuih
5. Buka segel pada bagian tutup obat tanpa menyentuh
bagian karetnya
6. Usap bagian karet tersebut dengan kapas alkohol
7. Buka tutup jarum spuit
8. Masukkan udara kedalam spuit sesuai dengan jumlah
obat yang dibutuhkan
9. Masukkan jarum tegak lurus tepat ditengah-tengah
karet vial
10. Injeksikan udara kedalam vial, jaga agar ujung jarum
spuit berada diatas permukaan cairan obat
11. Aspirasi sejumlah obat yang diperlukan sesuai dosis
dengan cara :
Metode 1 :
Pegang vial menghadap keatas, gerakkan ujung
jarum kebawah hingga berada pada bagian bawah
cairan obat
Tarik plunger hingga spuit terisi cairan obat sesuai
jumlah dosis yang dibutuhkan
Hindari pengisapan tetes terakhir dari vial

Metode 2 :
Pegang vial menghadap kebawah (terbalik),
pastikan ujung jarum berada diawah cairan obat
Secara bertahap aspirasi cairan obat sesuai
dengan dosis yang dibutuhkan
12. Pegang spuit dan vial sejajar mata
13. Aspirasi obat ke dalam spuit
14. Cabut jarum dari vial dan tutup jarum dengan
penutup jarum
15. Jika masih ada gelembung udara pada spuit :
Pegang spuit secara vertikal dengan jarum
menghadap keatas
Tarik plunger kebawah dan jentikkan spuit dengan
jari
Dorong plunger perlahan keatas untuk
mengeluarkan udara dan jaga agar tidak
megeluarkan larutan
15. Periksa kembali jumlah larutan yang ada pada spuit
dan bandingkan dengan volume yang dibutuhkan
16. Bandingkan label obat dengan catatan pemberian
obat
17. Ganti jarum spuit yang baru
18. Beri label spuit dengan label obat yang sesuai
19. Tempatkan spuit dalam bak spuit beserta kapas
alkohol dan kartu obat ditas baki
20.Rapikan peralatan
21. Perawat mencuci tangan
Total
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Nilai Batas Lulus : 75

Nilai = Jumlah yang didapat x 100%

Jumlah aspek yang dinilai


PENILAIAN KETERAMPILAN PEMBERIAN OBAT PARENTERAL SECARA INJEKSI
INTRADERMAL

Nama :
NIM :
No NILAI
ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
1 Persiapan Alat
Buku catatan pemberian obat atau kartu obat
Kapas alkohol
Sarung tangan sekali pakai
Obat yang sesuai
Spuit 1 ml dengan ukuran 25,26,27
Pulpen
Bak spuit
Baki obat
Bengkok

2 Tahap Pre Interaksi


1. Melakukan verifikasi order yang ada untuk pemberian
obat
2. Cek program pengobatan untuk menentukan jenis dan
dosis obat serta jenis larutan yang akan digunakan

3 Tahap Orientasi
1. Memberi salam, panggil klien dengan panggilan yang
disenangi
2. Memperkenalkan nama perawat
3. Menjelaskan prosedur dan tujuan
4 Tahap Kerja
1. Cuci tangan
2. Siapkan obat sesuai dengan prinsip 10 benar
3. Identifikasi klien
4. Atur klien pada posisi yang nyaman
5. Pilih area penusukan yang bebas dari tanda kekakuan,
peradangan atau rasa gatal
6. Pakai sarung tangan
7. Dekontaminasi area penusukan dengan kapas alkohol
secara sirkuler dari arah dalam keluar dengan diameter 5
cm. Tunggu sampai kering.
8. Pegang kapas alkohol dengan jari-jari tengah pada tangan
nondominan
9.Buka tutup jarum
10. Tempatkan ibu jari tangan non dominan sekitar 2,5 cm
dibawah area penusukan kemudian tarik/ regangkan kulit
11. Insersikan jarum pada tangan dominan teapat dibawah
kulit dengan posisi ujung jarum menghadap keatas dengan
sudut 150
12. Masukkan jarum perlahan-lahan, perhatikan
terbentuknya undulasi
13. Cabut jarum dengan sudut 15 0, dan jangan dimassage
pada area penusukan
14. Buat lingkaran dengan menggunakan pulpen berdiameter
2,5 cm disekitar undulasi.
15. Instruksikan pasien untuk tidak menggosok area
penyuntikan
16. Observasi kulit untuk mengetahui adanya kemerahan
atau bengkak. ( Untuk tes alergi; observasi adanya reaksi
sistemik seperti sulit bernafas, berkeringat dingin, pingsan,
mual dan muntah)
17. Rapikan pasien
18.Lepas sarungtangan
19. Perawat mencuci tangan
Tahap Terminasi
1. Menyimpulkan hasil prosedur yang telah dilakukan
(Evaluasi mengenai efek obat pada klien setelah 5 menit, 15
menit setelah pemberian obat)
2. Berikan reinforcement sesuai dengan kemampuan klien
3. Akhiri kegiatan dengan cara memberi salam
Dokumentasi
1. Mencatat seluruh hasil tindakan dalam catatan
keperawatan ( meliputi nama, dan dosis obat, setiap keluhan
pasien, tandatangan. Jika obat tidak dapat masuk atau
dimuntahkan , catat secara jelas alasannya dan tindakan
perawat)
Total

Keterangan :

0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna

Nilai Batas Lulus : 75

Nilai = Jumlah yang didapat x 100%

Jumlah aspek yang dinilai


PENILAIAN KETERAMPILAN PEMBERIAN OBAT PARENTERAL SECARA INJEKSI
SUBKUTANEUS

Nama :
NIM :
No NILAI
ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
1 Persiapan Alat
Buku catatan pemberian obat atau kartu obat
Kapas alkohol
Sarung tangan sekali pakai
Obat yang sesuai
Spuit 2 ml dengan ukuran 25
Bak spuit
Baki obat
Plester
Kassa steril (jika perlu)
Bengkok

2 Tahap Pre Interaksi


1. Melakukan verifikasi order yang ada untuk
pemberian obat
2. Cek program pengobatan untuk menentukan
jenis dan dosis obat serta jenis larutan yang akan
digunakan

3 Tahap Orientasi
1. Memberi salam, panggil klien dengan panggilan
yang disenangi
2. Memperkenalkan nama perawat
3. Menjelaskan prosedur dan tujuan
4 Tahap Kerja
1. Cuci tangan
2. Siapkan obat sesuai dengan prinsip 10 benar
3. Identifikasi klien
4. Atur klien pada posisi yang nyaman
5. Pilih area penusukan yang bebas dari tanda
kekakuan, peradangan atau rasa gatal
6. Pakai sarung tangan
7. Dekontaminasi area penusukan dengan kapas
alkohol secara sirkuler dari arah dalam keluar dengan
diameter 5 cm. Tunggu sampai kering.
8. Pegang kapas alkohol dengan jari-jari tengah pada
tangan nondominan
9.Buka tutup jarum
10. Tarik kulit dan jaringan lemak dengan ibu jari dan
jari tangan nondominan
11. Dengan menggunakan tangan dominan insersikan
lubang jarum spuit menghadap keatas pada kulit
dengan sudut 45 0 atau 90 0 (untuk orang yang memiliki
jaringan subkutan yang lebih tebal)
12. Lepaskan tarikan tangan nondominan
13. Tarik plunger dan observasi adanya darah pada
spuit
14. Jika tidak ada darah, masukkan obat perlan-lahan
15. Jika ada darah :
Tarik kembali jarum dari kulit
Tekan tempat penusukan selama 2 menit
Observasi adanya hematoma atau memar, jika
perlu berikan plester
Siapkan obat yang baru, mulai dengan langkah 1
dan pilih area penusukan yang baru
16. Cabut jarum dengan sudut yang sama waktu jarum
dimasukkan
17. Usap area penusukan dengan kapas alkohol
18. Rapikan pasien
19.Lepas sarungtangan
20. Perawat mencuci tangan
5 Tahap Terminasi
1. Menyimpulkan hasil prosedur yang telah dilakukan
(Evaluasi mengenai efek obat pada klien setelah 5
menit, 15 menit setelah pemberian obat)
2. Berikan reinforcement sesuai dengan kemampuan
klien
3. Akhiri kegiatan dengan cara memberi salam
6 Dokumentasi
1. Mencatat seluruh hasil tindakan dalam catatan
keperawatan ( meliputi nama, dan dosis obat, setiap
keluhan pasien, tandatangan. Jika obat tidak dapat
masuk atau dimuntahkan , catat secara jelas
alasannya dan tindakan perawat)
Total

Keterangan :

0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Nilai Batas Lulus : 75

Nilai = Jumlah yang didapat x 100%

Jumlah aspek yang dinilai


PENILAIAN KETERAMPILAN PEMBERIAN OBAT PARENTERAL SECARA INJEKSI
INTRAMUSKULAR

Nama :
NIM :
No NILAI
ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
1 Persiapan Alat
Buku catatan pemberian obat atau kartu obat
Kapas alkohol
Sarung tangan sekali pakai
Obat yang sesuai
Spuit 2-5 ml dengan ukuran 21-25 (Bergantung pada
kebutuhan, ketebalan otot, jenis obat dan usia klien)
Bak spuit
Baki obat
Plester
Kassa steril (jika perlu)
Bengkok

2 Tahap Pre Interaksi


1. Melakukan verifikasi order yang ada untuk pemberian
obat
2. Cek program pengobatan untuk menentukan jenis dan
dosis obat serta jenis larutan yang akan digunakan

3 Tahap Orientasi
1. Memberi salam, panggil klien dengan panggilan yang
disenangi
2. Memperkenalkan nama perawat
3. Menjelaskan prosedur dan tujuan
4 Tahap Kerja
1. Cuci tangan
2. Siapkan obat sesuai dengan prinsip 10 benar
3. Identifikasi klien
4. Atur klien pada posisi yang nyaman
5. Pilih area penusukan yang bebas dari tanda lesi,
kekakuan, peradangan atau rasa gatal
6. Pakai sarung tangan
7. Dekontaminasi area penusukan dengan kapas alkohol
secara sirkuler dari arah dalam keluar dengan diameter 5
cm. Tunggu sampai kering.
8. Pegang kapas alkohol dengan jari-jari tengah pada
tangan nondominan
9.Buka tutup jarum
10. Tarik kulit kebawah 2,5 cm dibawah area penusukan
dengan tangan nondominan
11. Insersikan jarum dengan sudut 90 0 dengan tangan
dominan, masukkan obat sampai pada jaringan otot
12. Lakukan aspirasi dengan tangan nondominan menahan
barel dari spuit dan tangan dominan menarik plunger
13. Observasi adanya darah pada spuit. Jika tidak ada
darah masukkan obat perlahan-lahan
14. Jika terdapat darah :
Tarik kembali jarum dari kulit
Tekan tempat penusukan selama 2 menit dengan
kassa
Observasi adanya hematoma atau memar, jika perlu
berikan plester
Siapkan obat yang baru, mulai dengan langkah 1 dan
pilih area penusukan yang baru

15. Cabut jarum dengan sudut yang sama waktu jarum


dimasukkan
16. Tekan area penusukan dengan kapas alcohol dan
Jangan memassase area injeksi untuk menghindari iritasi
pada jaringan
17. Rapikan pasien
18.Lepas sarungtangan
19. Perawat mencuci tangan
5 Tahap Terminasi
1. Menyimpulkan hasil prosedur yang telah dilakukan
(Evaluasi mengenai efek obat pada klien setelah 5 menit, 15
menit setelah pemberian obat)
2. Berikan reinforcement sesuai dengan kemampuan klien
3. Akhiri kegiatan dengan cara memberi salam
6 Dokumentasi
1. Mencatat seluruh hasil tindakan dalam catatan
keperawatan ( meliputi nama, dan dosis obat, setiap
keluhan pasien, tandatangan. Jika obat tidak dapat masuk
atau dimuntahkan , catat secara jelas alasannya dan
tindakan perawat)
Total

Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Nilai Batas Lulus : 75

Nilai = Jumlah yang didapat x 100%

Jumlah aspek yang dinilai


PENILAIAN KETERAMPILAN PEMBERIAN OBAT PARENTERAL SECARA INJEKSI
INTRAVENA

Nama :
NIM :
No NILAI
ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
1 Persiapan Alat
Buku catatan pemberian obat atau kartu
obat
Kapas alkohol
Sarung tangan sekali pakai
Obat yang sesuai
Spuit 2-5 ml dengan ukuran 21-25
(Bergantung pada kebutuhan, ketebalan
otot, jenis obat dan usia klien)
Bak spuit
Baki obat
Plester
Perlak pengalas
Kassa steril
Bethadine
Torniquet (pembendung vena)
Bengkok

2 Tahap Pre Interaksi


1. Melakukan verifikasi order yang ada untuk
pemberian obat
2. Cek program pengobatan untuk
menentukan jenis dan dosis obat serta jenis
larutan yang akan digunakan

3 Tahap Orientasi
1. Memberi salam, panggil klien dengan
panggilan yang disenangi
2. Memperkenalkan nama perawat
3. Menjelaskan prosedur dan tujuan
4 Tahap Kerja
1. Cuci tangan
2. Siapkan obat sesuai dengan prinsip 10 benar
3. Identifikasi klien
4. Atur klien pada posisi yang nyaman
5. Pasang perlak pengalas
6. Bebaskan lengan klien dari baju atau kemeja
7. Letakkan torniquet 15 cm diatas area
penusukan
8.Pilih area penusukan yang bebas dari tanda
lesi, kekakuan, peradangan atau rasa gatal
9. Pakai sarung tangan
10. Dekontaminasi area penusukan dengan
kapas alkohol secara sirkular dari arah dalam
keluar dengan diameter 5 cm. Tunggu sampai
kering.
11. Pegang kapas alkohol dengan jari-jari tengah
pada tangan nondominan
12.Buka tutup jarum
13. Tarik kulit kebawah 2,5 cm dibawah area
penusukan dengan tangan nondominan
14. Pegang jarum pada posisi 30 0 sejajar vena
yang akan ditusuk, tusuk secara perlahan dan
pasti
15. Rendahkan posisi jarum sejajar kulit dan
teruskan jarum kedalam vena
16. Lakukan aspirasi dengan tangan nondominan
menahan barel dari spuit dan tangan dominan
menarik plunger
17. Observasi adanya darah dalam spuit
18. Jika ada darah, lepaskan torniquet dan
masukkan obat secara perlahan-lahan
19. Keluarkan jarum dengan sudut yang sama
waktu jarum dimasukkan
20. Tekan area penusukan dengan kapas alkohol
21. Tutup area penusukan dengan kassa
betadhine
22. Rapikan pasien
23.Lepas sarungtangan
24. Perawat mencuci tangan
5 Tahap Terminasi
1. Menyimpulkan hasil prosedur yang telah
dilakukan (Evaluasi mengenai efek obat pada
klien setelah 5 menit, 15 menit setelah
pemberian obat)
2. Berikan reinforcement sesuai dengan
kemampuan klien
3. Akhiri kegiatan dengan cara memberi salam
6 Dokumentasi
1. Mencatat seluruh hasil tindakan dalam catatan
keperawatan ( meliputi nama, dan dosis obat,
setiap keluhan pasien, tandatangan. Jika obat
tidak dapat masuk atau dimuntahkan , catat
secara jelas alasannya dan tindakan perawat)
Total

Keterangan :

0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna

Nilai Batas Lulus : 75

Nilai = Jumlah yang didapat x 100%

Jumlah aspek yang dinilai


PENILAIAN KETERAMPILAN PEMBERIAN OBAT SUPOSITORIA MELALUI REKTAL

Nama :
NIM :
No NILAI
ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
1 Persiapan Alat
Kartu obat
Suppositoria rectal
Jeli pelumas
Sarung tangan bersih
Tissu
Selimut mandi
2 Tahap Pre Interaksi
1. Melakukan verifikasi order yang ada untuk
pemberian obat
2. Cek program pengobatan untuk
menentukan jenis dan dosis obat serta jenis
larutan yang akan digunakan

3 Tahap Orientasi
1. Memberi salam, panggil klien dengan
panggilan yang disenangi
2. Memperkenalkan nama perawat
3. Menjelaskan prosedur dan tujuan
4 Tahap Kerja
1. Cuci tangan
2. Siapkan obat sesuai dengan prinsip 10
benar
3. Identifikasi klien
4. Atur klien pada posisi sims dengan tungkai
bagian atas feksi ke depan
5. Tutupi tubuh klien dengan selimut mandi dan
pajankan area perineal saja
6. Pakai sarung tangan
7. Buka oba suppositoria dari kemasannya dan
beri pelumas pada ujung bulatnya dengan Heli
8. Beri pelumas telunjuk bersarung tangan
pada jari tangan dominan
9. Minta klien menarik nafas dalam melalui
mulut untuk merileks kan sfingter ani
10. Regangkan bokong klien dengan tangan
nondominan
11. Masukkan suppositoria ke dalam anus,
melalui sfingter ani dan mengenai dinding rektal
sedalam 10 cm pada orang dewasa dan 5 cm
pada bayi dan anak-anak kemudian tarik jari
anda keluar anus
12. Bersihkan area anal klien dengan tisu
13. Anjurkan klien untuk tetap berbaring
telentang atau miring selama 5 menit untuk
mencegah keluarnya suppositoria
14. Jika suppositoria yang diberikan
mengandung laksatif atau pelumas feses,
letakkan tombol pemanggil dalam jangkauan
klien
15. Rapikan pasien
16.Lepas sarungtangan
17. Perawat mencuci tangan
5 Tahap Terminasi
1. Menyimpulkan hasil prosedur yang telah
dilakukan (Evaluasi mengenai efek obat pada
klien setelah 5 menit, 15 menit setelah
pemberian obat)
2. Berikan reinforcement sesuai dengan
kemampuan klien
3. Akhiri kegiatan dengan cara memberi salam
6 Dokumentasi
1. Mencatat seluruh hasil tindakan dalam
catatan keperawatan ( meliputi nama, dan dosis
obat, setiap keluhan pasien, tandatangan. Jika
obat tidak dapat masuk atau dimuntahkan ,
catat secara jelas alasannya dan tindakan
perawat)
Total
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna
Nilai Batas Lulus : 75

Nilai = Jumlah yang didapat x 100%

Jumlah aspek yang dinilai

11. TERAPI INTRAVENA

Devi Rahmayanti, Ns., M.Imun

A. Definisi
Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan dengan cara memasukkan
cairan, elektrolit, obat intravena dan nutrisi parenteral ke dalam tubuh melalui
intravena. Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan
cairan yang banyak, dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan cara
pemberian yang aman diperlukan pengetahuan dasar tentang keseimbangan cairan
dan elektrolit serta asam basa. Tindakan ini merupakan metode efektif dan efisien
dalam memberikan suplai cairan ke dalam kompartemen intravaskuler.
Terapi intravena dilakukan berdasarkan order dokter dan perawat bertanggung
jawab dalam pemeliharaan terapi yang dilakukan. Pemilihan pemasangan terapi
intravena didasarkan pada beberapa faktor, yaitu tujuan dan lamanya terapi, diagnosa
pasien, usia, riwayat kesehatan dan kondisi vena pasien. Apabila pemberian terapi
intravena dibutuhkan dan diprogramkan oleh dokter, maka perawat harus
mengidentifikasi larutan yang benar, peralatan dan prosedur yang dibutuhkan serta
mengatur dan mempertahankan sistem.

B. Tipe-tipe cairan
Cairan/larutan yang digunakan dalam terapi intravena berdasarkan
osmolalitasnya dibagi menjadi:

1. Isotonik
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas sama atau mendekati
osmolalitas plasma. Cairan isotonik digunakan untuk mengganti volume ekstrasel,
misalnya kelebihan cairan setelah muntah yang berlangsung lama. Cairan ini akan
meningkatkan volume ekstraseluler. Satu liter cairan isotonik akan menambah CES
1 liter. Tiga liter cairan isotonik diperlukan untuk mengganti 1 liter darah yang hilang.
Contoh:
NaCl 0,9 % ; Ringer Laktat ; Komponen-komponen darah (Albumin 5 %,
plasma), Dextrose 5 % dalam air (D5W)

2. Hipotonik
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih kecil daripada osmolalitas
plasma. Tujuan cairan hipotonik adalah untuk menggantikan cairan seluler, dan
menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pemberian cairan ini
umumnya menyebabkan dilusi konsentrasi larutan plasma dan mendorong air
masuk ke dalam sel untuk memperbaiki keseimbangan di intrasel dan ekstrasel, sel
tersebut akan membesar atau membengkak. Perpindahan cairan terjadi dari
kompartemen intravaskuler ke dalam sel. Cairan ini dikontraindikasikan untuk
pasien dengan risiko peningkatan TIK. Pemberian cairan hipotonik yang berlebihan
akan mengakibatkan:
a. Deplesi cairan intravaskuler
b. Penurunan tekanan darah
c. Edema seluler
d. Kerusakan sel
Karena larutan ini dapat menyebabkan komplikasi serius, klien harus dipantau
dengan teliti. Contoh: Dextrose 2,5 % dalam NaCl 0,45 % ; NaCl 0,45 %; NaCl 0,2
%

3. Hipertonik
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih tinggi daripada
osmolaritas plasma. Pemberian larutan hipertonik yang cepat dapat menyebabkan
kelebihan dalam sirkulasi dan dehidrasi. Perpindahan cairan dari sel ke
intravaskuler, sehingga menyebabkan sel-selnya mengkerut. Cairan ini
dikontraindikasikan untuk pasien dengan penyakit ginjal dan jantung serta pasien
dengan dehidrasi.
Contoh: D 5% dalam saline 0,9 %
- D 5 % dalam RL
- Dextrose 10 % dalam air
- Dextrose 20 % dalam air
- Albumin 25

Pembagian cairan/larutan berdasarkan tujuan penggunaannya:


a. Nutrient solution
Berisi karbohidrat ( dekstrose, glukosa, levulosa) dan air. Air untuk menyuplai
kebutuhan air, sedangkan karbohidrat untuk kebutuhan kalori dan energi. Larutan ini
diindikasikan untuk pencegahan dehidrasi dan ketosis. Contoh: D5W; Dekstrose 5 %
dalam 0,45 % sodium chloride
b. Electrolyte solution
Berisi elekrolit, kation dan anion. Larutan ini sering digunakan untuk larutan
hidrasi, mencegah dehidrasi dan koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Contoh: Normal Saline (NS), Larutan ringer (sodium, Cl, potassium dan kalsium),
Ringer Laktat /RL (sodium, Cl, Potassium, Kalsium dan laktat)
c. Alkalizing solution
Untuk menetralkan asidosis metabolic. Contoh: Ringer Laktat /RL
d. Acidifying solution
Untuk menetralkan alkalosis metabolic. Contoh : Dekstrose 5 % dalam NaCl 0,45
% NaCl 0,9 %.
e. Blood volume expanders
Digunakan untuk meningkatkan volume darah karena kehilangan darah/plasma
dalam jumlah besar. (misal: hemoragi, luka baker berat). Contoh :
Dekstran
Plasma
Human Serum Albumin
C. Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:
1. Kristaloid
Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume
expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna
pada pasien yang memerlukan cairan segera. Contoh: Ringer-Laktat dan garam
fisiologis.
2. Koloid
Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar
dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya
hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contoh: albumin
dan steroid.
Contoh cairan infus:

D. Tujuan
Tujuan terapi intravena adalah:
1. Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,
vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral.
2. Mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit
3. Memperbaiki keseimbangan asam basa
4. Memberikan tranfusi darah
5. Menyediakan medium untuk pemberian obat intravena
6. Membantu pemberian nutrisi parenteral

E. Indikasi
1. Keadaan emergency (misal pada tindakan RJP), yang memungkinkan pemberian
obat langsung ke dalam IV
2. Keadaan ingin mendapatkan respon yang cepat terhadap pemberian obat
3. Klien yang mendapat terapi obat dalam dosis besar secara terus-menerus melalui
IV
4. Klien yang mendapat terapi obat yang tidak bisa diberikan melalui oral atau
intramuskuler
5. Klien yang membutuhkan koreksi/pencegahan gangguan cairan dan elektrolit
6. Klien yang sakit akut atau kronis yang membutuhkan terapi cairan
7. Klien yang mendapatkan tranfusi darah
8. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi
besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika
terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)
9. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi
(kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah
kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus

F. Kontraindikasi
Infus dikontraindikasikan pada daerah:
1. Daerah yang memiliki tanda-tanda infeksi, infiltrasi atau trombosis
2. Daerah yang berwarna merah, kenyal, bengkak dan hangat saat disentuh
3. Vena di bawah infiltrasi vena sebelumnya atau di bawah area flebitis
4. Vena yang sklerotik atau bertrombus
5. Lengan dengan pirai arteriovena atau fistula
6. Lengan yang mengalami edema, infeksi, bekuan darah, atau kerusakan kulit
7. Lengan pada sisi yang mengalami mastektomi (aliran balik vena terganggu)
8. Lengan yang mengalami luka bakar

G. Macam-Macam Infus
1. Continous Infusion (Infus Berlanjut) Menggunakan Alat Kontrol
Infus ini bisa diberikan secara tradisional melalui cairan yang digantung,
dengan atau tanpa pengatur kecepatan aliran. Infus melalui intravena, intra arteri
dan intra techal (spinal) dapat dilengkapi dengan menggunakan pompa khusus
yang ditanam maupun eksternal.
Keuntungan:
a. Mampu untuk menginfus cairan dalam jumlah besar dan kecil dengan akurat
b. Adanya alarm menandakan adanya masalah seperti adanya udara di selang
infus atau adanya penyumbatan
c. Mengurangi waktu perawat untuk memastikan kecepatan aliran infus
Kerugian:
a. Memerlukan selang khusus
b. Biaya lebih mahal
c. Pompa infus akan dilanjutkan untuk menginfus kecuali ada infiltrasi
Contoh alat pengontrol infus:

Syringe pump
Infus pump

2. Intermittent Infusion (Infus Sementara)


Infus ini dapat diberikan melalui heparin lock, piggybag untuk infus yang
kontinyu, atau untuk terapi jangka panjang melalui perangkat infus.
Keuntungan :
a. Inkompabilitas dihindari
b. Dosis obat yang lebih besar dapat diberikan dengan konsentrasi
permililiter yang lebih rendah daripada yang dipraktikkan dengan metode
dorongan IV.
Kerugian :
a. Kecepatan pemberian tidak dikontrol dengan teliti kecuali infus dipantau
secara elektronik
b. Volume yang ditambahkan 50-100 ml cairan IV dapat menyebabkan
kelebihan cairan pada beberapa pasien

H. Prinsip Gerontologis dan Pediatrik Pemberian Infus


1. Pediatrik
a. Karena vena klien sangat rapuh, hindari tempat-tempat yang mudah digerakkan
atau digeser dan gunakan alat pelindung sesuai kebutuhan (pasang spalk kalau
perlu)
b. Pilih aktivitas sesuai usia yang sesuai dengan pemeliharaan infus IV
c. Vena-vena kulit kepala sangat mudah pecah dan memerlukan perlindunga agar
tidak mudah mengalami infiltrasi (biasanya digunakan untuk neonatus dan bayi)
d. Selalu memilih tempat penusukan yang akan menimbulkan pembatasan yang
minimal
e. Kebanyakan klien pediatrik biasanya menggunakan kateter/jarum ukuran 22 G-
24 G
2. Gerontik
a. Pada klien lansia, sedapat mungkin gunakan kateter/jarum dengan ukuran paling
kecil (24-26). Ukuran kecil mengurangi trauma pada vena dan memungkinkan
aliran darah lebih lancar sehingga hemodilusi cairan intravena atau obat-obatan
akan meningkat.
b. Hindari bagian punggung tangan atau lengan lansia yang dominan untuk tempat
pungsi, karena akan mengganggu kemandirian lansia
c. Apabila kulit dan vena lansia rapuh, gunakan tekanan torniket yang minimal
d. Kestabilan vena menjadi hilang dan vena akan bergeser dari jarum (jaringan
subkutan lansia hilang). Untuk menstabilkan vena, pasang traksi pada kulit di
bawah tempat insersi
e. Penggunaan sudut 5 15 saat memasukkan jarum akan sangat bermanfaat
karena vena lansia lebih superficial
f. Pada lansia yang memiliki kulit yang rapuh, cegah terjadinya perobekan kulit
dengan meminimalkan jumlah pemakaian plester.

I. Komplikasi
1. Komplikasi lokal
a. Flebitis
Inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik.
Kondisi ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat
di sekitar daerah insersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak
pada area insersi atau sepanjang vena, dan pembengkakan. Insiden flebitis
meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi
cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya, ukuran dan
tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan
masuknya mikroorganisme saat penusukan).
Intervensi :
1) Menghentikan IV dan memasang pada daerah
lain
2) Tinggikan ekstremitas
3) Memberikan kompres hangat dan basah di
tempat yang terkena
Pencegahan :
1) Gunakan tehnik aseptik selama pemasangan
2) Menggunakan ukuran kateter dan jarum yang sesuai dengan vena
3) Mempertimbangkan komposisi cairan dan medikasi ketika memilih area
insersi
4) Mengobservasi tempat insersi akan adanya kemungkinan komplikasi apapun
setiap jam
5) Menempatkan kateter atau jarum dengan baik
6) Mengencerkan obat-obatan yang mengiritasi jika mungkin
b. Infiltrasi
Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekeliling
tempat pungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan (akibat
peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi yang menurun)
di sekitar area insersi, ketidaknyamanan dan penurunan kecepatan aliran secara
nyata. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih besar daripada
tempat yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Suatu cara yang lebih
dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang torniket di atas
atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan mengencangkan
torniket tersebut secukupnya untuk menghentikan aliran vena. Jika infus tetap
menetes meskipun ada obstruksi vena, berarti terjadi infiltrasi.
Intervensi:
1) Menghentikan infus (infus IV seharusnya dimulai di tempat baru atau
proksimal dari infiltrasi jika ekstremitas yang sama digunakan)
2) Meninggikan ekstremitas klien untuk mengurangi ketidaknyamanan
(meningkatkan drainase vena dan membantu mengurangi edema)
3) Pemberian kompres hangat (meningkatkan sirkulasi dan mengurangi nyeri)
Pencegahan:
1) Mengobservasi daerah pemasangan infus secara kontinyu
2) Penggunaan kanula yang sesuai dengan vena
3) Minta klien untuk melaporkan jika ada nyeri dan bengkak pada area
pemasangan infus
c. Iritasi vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit di
atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH tinggi, pH
rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin, vancomycin, eritromycin,
dan nafcillin).
Intervensi: Turunkan aliran infuse
Pencegahan:
1) Encerkan obat sebelum diberikan
2) Jika terapi obat yang menyebabkan iritasi direncanakan dalam jangka waktu
lama, sarankan dokter untuk memasang central IV.
d. Hematoma
Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar
area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang berlawanan
selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang tidak sesuai yang
diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter dilepaskan. Tanda dan
gejala hematoma yaitu ekimosis, pembengkakan segera pada tempat
penusukan, dan kebocoran darah pada tempat penusukan.
Intervensi:
1) Melepaskan jarum atau kateter dan memberikan tekanan dengan kasa steril
2) Memberikan kantong es selama 24 jam ke tempat penusukan dan kemudian
memberikan kompres hangat untuk meningkatkan absorpsi darah
3) Mengkaji tempat penusukan
4) Memulai lagi uintuk memasang pada ekstremitas lain jika diindikasikan
Pencegahan:
1) Memasukkan jarum secara hati-hati
2) Lepaskan torniket segera setelah insersi berhasil
e. Tromboflebitis
Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan
dalam vena. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya nyeri yang terlokalisasi,
kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area insersi atau
sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa tidak nyaman dan
pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise, dan
leukositosis.
Intervensi:
1) Menghentikan IV
2) Memberikan kompres hangat
3) Meninggikan ekstremitas
4) Memulai jalur IV di ekstremitas yang berlawanan
Pencegahan:
1) Menghindarkan trauma pada vena pada saat IV dimasukkan
2) Mengobservasi area insersi tiap jam
3) Mengecek tambahan pengobatan untuk kompabilitas
f. Trombosis
Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan
aliran infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding vena,
pelekatan platelet.
Intervensi:
1) Menghentikan IV
2) Memberikan kompres hangat
3) Perhatikan terapi IV yang diberikan (terutama yang berhubungan dengan
infeksi, karena thrombus akan memberikan lingkungan yang istimewa/baik
untuk pertumbuhan bakteri)
Pencegahan:
1) Menggunakan tehnik yang tepat untuk
mengurangi injuri pada vena.

g. Occlusion
Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol
dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area
pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV, aliran balik
darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.
Intervensi:
1) Bilas dengan injeksi cairan, jangan dipaksa jika tidak sukses
Pencegahan:
1) Pemeliharaan aliran IV
2) Minta pasien untuk menekuk sikunya ketika berjalan (mengurangi risiko
aliran darah balik)
3) Lakukan pembilasan segera setelah pemberian obat
h. Spasme vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar
vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal. Spasme vena bisa
disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin, iritasi vena oleh obat
atau cairan yang mudah mengiritasi vena dan aliran yang terlalu cepat.
Intervensi:
a) Berikan kompres hangat di sekitar area insersi
b) Turunkan kecepatan aliran
Pencegahan:
a) Apabila akan memasukkan darah (misal Packet
Red Cells), buat hangat terlebih dahulu.

i. Reaksi Vasovagal
Kondisi ini digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kolaps pada vena,
dingin, berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah. Reaksi
vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan
Intervensi:
1) Turunkan kepala tempat tidur
2) Anjurkan klien untuk nafas dalam
3) Cek tanda-tanda vital (vital sign)
Pencegahan:
1) Siapkan klien ketika akan mendapatkan terapi, sehingga bisa mengurangi
kecemasan yang dialami
2) Gunakan anestesi lokal untuk mengurangi nyeri (untuk klien yang tidak tahan
terhadap nyeri)
j. Kerusakan Syaraf, Tendon dan Ligament
Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan kontraksi otot.
Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa dan deformitas.
Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang tidak tepat sehingga
menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligament.
Intervensi:
1) Hentikan pemasangan infuse
Pencegahan:
1) Hindarkan pengulangan insersi pada tempat yang sama
2) Hindarkan memberikan penekanan yang berlebihan ketika mencari lokasi
vena

2. Komplikasi sistemik
a. Septikemia/Bakteremia
Adanya susbtansi pirogenik baik dalam larutan infus atau alat pemberian
dapat mencetuskan reaksi demam dan septikemia. Perawat dapat melihat
kenaikan suhu tubuh secara mendadak segera setelah infus dimulai, sakit
punggung, sakit kepala, peningkatan nadi dan frekuensi pernafasan, mual dan
muntah, diare, demam dan menggigil, malaise umum, dan jika parah bisa terjadi
kollaps vaskuler. Penyebab septikemi adalah kontaminasi pada produk IV,
kelalaian tehnik aseptik. Septikemi terutama terjadi pada klien yang mengalami
penurunan imun.
Intervensi:
1) Monitor tanda vital
2) Lakukan kultur kateter IV, selang atau larutan yang dicurigai.
3) Berikan medikasi jika diresepkan
Pencegahan:
1) Gunakan tehnik steril pada saat pemasangan
2) Gantilah tempat insersi, dan cairan, sesuai ketentuan yang berlaku
b. Reaksi alergi
Kondisi ini ditandai dengan gatal, hidung dan mata berair, bronkospasme,
wheezing, urtikaria, edema pada area insersi, reaksi anafilaktik (kemerahan,
cemas, dingin, gatal, palpitasi, paresthesia, wheezing, kejang dan kardiak arrest).
Kondisi ini bisa disebabkan oleh allergen, misal karena medikasi.
Intervensi :
1) Jika reaksi terjadi, segera hentikan infus
2) Pelihara jalan nafas
3) Berikan antihistamin steroid, antiinflamatori dan antipiretik jika diresepkan
4) Jika diresepkan berikan epinefrin
5) Jika diresepkan berikan kortison
Pencegahan:
1) Monitor pasien setiap 15 menit setelah mendapat terapi obat baru
2) Kaji riwayat alergi klien
c. Overload sirkulasi
Membebani sistem sirkulasi dengan cairan intravena yang berlebihan akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan tekanan vena sentral, dipsnea berat,
dan sianosis. Tanda dan gejala tambahan termasuk batuk dan kelopak mata yang
membengkak. Penyebab yang mungkin termasuk adalah infus larutan IV yang
terlalu cepat atau penyakit hati, jantung dan ginjal. Hal ini juga mungkin bisa terjadi
pada pasien dengan gangguan jantung yang disebut denga kelebihan beban
sirkulasi.
Intervensi:
1) Tinggikan kepala tempat tidur
2) Pantau tanda-tanda vital setiap 30 menit sampai 1 jam sekali
3) Jika diperlukan berikan oksigen
4) Mengkaji bunyi nafas
5) Jika diresepkan berikan furosemid
Pencegahan:
1) Sering memantau tanda-tanda vital
2) Menggunakan pompa IV untuk menginfus
3) Melakukan pemantauan secara cermat terhadap semua infus
d. Embolisme udara
Emboli udara paling sering berkaitan dengan kanulasi vena-vena sentral.
Manifestasi klinis emboli udara adalah dipsnea dan sianosis, hipotensi, nadi yang
lemah dan cepat, hilangnya kesadaran, nyeri dada, bahu, dan punggung bawah.
Intervensi :
1) Klem atau hentikan infus
2) Membaringkan pasien miring ke kiri dalaam posisi Trendelenburg
3) Mengkaji tanda-tanda vital dan bunyi nafas
4) Memberikan oksigen
Pencegahan:
1) Pastikan sepanjang selang IV telah bebas dari udara, baru memulai
menyambungkan infus
2) Pastikan semua konektor tersambung dengan baik

J. Cara Pemilihan Daerah Infus


Banyak tempat bisa digunakan untuk terapi intravena, tetapi kemudahan akses
dan potensi bahaya berbeda di antara tempat-tempat ini. Pertimbangan perawat
dalam memilih vena adalah sebagai berikut:
1. Usia klien (usia dewasa biasanya menggunakan vena di lengan, sedangkan infant
biasanya menggunakan vena di kepala dan kaki)
2. Lamanya pemasangan infus (terapi jangka panjang memerlukan pengukuran untuk
memelihara vena)
3. Type larutan yang akan diberikan
4. Kondisi vena klien
5. Kontraindikasi vena-vena tertentu yang tidak boleh dipungsi
6. Aktivitas pasien (misal bergerak, tidak bergerak, perubahan tingkat kesadaran,
gelisah)
7. Terapi IV sebelumnya (flebitis sebelumnya membuat vena menjadi tidak baik untuk
digunakan)
Tempat insersi/pungsi vena yang umum digunakan adalah tangan dan lengan.
Namun vena-vena superfisial di kaki dapat digunakan jika klien dalam kondisi tidak
memungkinkan dipasang di daerah tangan. Apabila memungkinkan, semua klien
sebaiknya menggunakan ekstremitas yang tidak dominan.
Berikut ini adalah gambar tempat yang bisa dipasang infus:

Gambar. Tempat insersi jarum intravena


Panduan singkat pemilihan vena:
1. Gunakan vena distal lengan untuk pilihan pertama
2. Jika memungkinkan pilih lengan non dominan
3. Pilih vena-vena di atas area fleksi
4. Gunakan vena kaki jika vena lengan tidak dapat diakses
5. Pilih vena yang mudah diraba, vena yang besar dan yang memungkinkan aliran
cairan adequat
6. Pastikan bahwa lokasi yang dipilih tidak akan mengganggu aktivitas sehari-hari
pasien
7. Pilih lokasi yang tidak mempengaruhi pembedahan atau prosedur-prosedur yang
direncanakan
Tips untuk vena yang sulit:
1. Pasien gemuk, tidak dapat mempalpasi atau melihat vena--------buat citra visual
dari anatomi vena, pilih kateter yang lebih panjang
2. Kulit dan vena mudah pecah, infiltrasi terjadi setelah penusukan------gunakan
tekanan torniket yang minimal
3. Vena bergerak ketika ditusuk-----fiksasi vena menggunakan ibu jari ketika
melakukan penusukan
4. Pasien dalam keadaan syok atau mempunyai aliran balik vena minimal----biarkan
torniket terpasang untuk meningkatkan distensi vena, gunakan kateter no. 18 atau
16.
Hindari menggunakan vena berikut:
1. Vena pada area fleksi (misal:fossa ante cubiti)
2. Vena yang rusak karena insersi sebelumnya (misal karena flebitis, infiltrasi atau
sklerosis)
3. Vena yang nyeri palpasi
4. Vena yang tidak stabil, mudah bergerak ketika jarum dimasukkan
5. Vena yang mudah pecah
6. Vena yang berbelok-belok
7. Vena dorsal yang rapuh pada klien lansia dan pembuluh darah pada ekstremitas
dengan gangguan sirkulasi (misal pada mastektomi, graft dialysis atau paralysis)
Cara memunculkan vena:
1. Mengurut ekstremitas dari distal ke proksimal di bawah tempat pungsi vena yang
dituju
2. Minta klien menggenggam dan membuka genggaman secara bergantian
3. Ketuk ringan di atas vena
4. Gunakan torniket sedikitnya 5-15 cm di atas tempat yang akan diinsersi,
kencangkan torniket
5. Berikan kompres hangat pada ekstremitas selama beberapa menit (misal dengan
waslap hangat)

K. Cara Penghitungan Cairan Infus


Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus adalah tanggung jawab perawat.
Masalah yang dapat muncul apabila perawat tidak memperhatikan regulasi infus
adalah hipervolemia dan hipovolemia. Dalam menentukan tetesan infus, perawat perlu
memperhatikan faktor tetesan yang akan digunakan. Faktor tetesan yang sering
digunakan adalah:
1. Mikrodrips (tetes mikro) : 60 tetes/ml (infuset mikro)
2. Makrodrips (tetes makro) : 10 tetes/ml, 15 tetes/ml, 20 tetes/ml (infuset
regular/makro)
Untuk mengatur tetesan infus, perawat harus mengetahui volume cairan yang
akan dimasukkan dan waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan cairan infus.
Penghitungan cairan yang sering digunakan adalah penghitungan millimeter perjam
(ml/h) dan penghitungan tetes permenit.
1.Millimeter perjam
Total volume infuse
Total waktu pemberian infus
Contoh:
3000 ml diinfuskan dalam 24 jam, maka jumlah milliliter perjamnya adalah sebagai
berikut: 3000 / 24 = 125 ml/h.
2.Tetes permenit

Total volume infuse x faktor tetesan


Total waktu dalam menit
Contoh:
1000 ml dalam 8 jam, faktor tetesan 20. maka jumlah tetesan permenitnya adalah
sebagai berikut:
1000 x 20 / 8 x 60 = 41 tpm (tetes per menit)

Faktor yang mempengaruhi tetesan infus:


1.Posisi lengan, klien terkadang bisa menurunkan aliran infus. Sedikit pronasi,
supinasi, ekstensi atau elevasi lengan dengan bantal dapat meningkatkan aliran.
2.Posisi dan kepatenan selang infus (aliran berbanding langsung dengan diameter
selang), aliran akan lebih cepat melalui kanula dengan diameter besar, berlawanan
dengan kanul kecil.
3.Posisi botol infuse, menaikkan ketinggian wadah infus dapat memperbaiki aliran
yang tersendat-sendat (aliran berbanding langsung dengan ketinggian bejana
cairan).
4.Larutan/cairan yang dialirkan (aliran berbanding terbalik dengan viskositas cairan),
larutan intravena yang kental, seperti darah, membutuhkan kanula yang lebih besar
dibandingkan dengan air atau larutan salin.
5.Panjang selang (aliran berbanding terbalik dengan panjang selang), menambah
panjang selang pada jalur IV akan menurunkan aliran.

L. Hal-hal yang perlu diperhatikan


1. Sebelum pemberian obat
a. Pastikan bahwa obat sesuai dengan anjuran
b. Periksa larutan/cairan sebelum dimasukkan (masa kadaluarsa, keutuhan botol,
ada bagian yang bocor atau tidak)
c. Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena yang telah
rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil
d. Gunakan jarum sesuai dengan kondisi vena klien
e. Larutkan obat sesuai indikasi, banyak obat yang dapat mengiritasi vena dan
memerlukan pengenceran yang sesuai
f. Pastikan kecepatan pemberiannya dengan benar
g. Jika akan memberikan obat melalui selang infus yang sama, akan lebih baik jika
dibilas terlebih dulu dengan cairan fisiologis (misal NaCl)
h. Kaji kondisi pasien dan toleransinya terhadap obat yang diberikan
i. Kaji kepatenan jalan infuse
j. Perhatikan waktu pemasangan infus, ganti tempat pemasangan jika ada tanda-
tanda infeksi
2. Respon pasien terhadap obat
a. Adakah efek mayor yang timbul (anafilaksis, respiratori distress, takikardia,
bradikardi, kejang)
b. Adakah efek samping minor (mual, pucat, kulit kemerahan atau bingung)

M. Pemeliharaan infus
1. Periksa area insersi
2. Periksa seluruh system IV (jumlah cairan, kecepatan aliran, integritas jalur, posisi
jalur halus, kondisi area insersi, kondisi proksimal vena sampai area insersi)
3. Kaji adanya komplikasi terapi IV
4. Kaji respon klien terhadap terapi
5. Lakukan perawatan pada daerah insersi (sesuai kebijakan institusi)

N. Persiapan Pasien
1. Jelaskan pada pasien tentang prosedur yang akan dilakukan (meliputi proses
pungsi vena, informasi tentang lamanya infus dan pembatasan aktivitas)
2. Jika pasien akan menggunakan anestesi lokal pada area insersi, tanyakan adanya
alergi terhadap anestesi yang digunakan
3. Jika pasien tidak menggunakan anestesi, jelaskan bahwa nanti akan muncul nyeri
ketika jarum dimasukkan, tapi akan hilang ketika kateter sudah masuk.
4. Jelaskan bahwa cairan yang masuk awalnya akan terasa dingin, tapi sensasi itu
hanya akan terasa pada beberapa menit saja.
5. Jelaskan pada pasien bahwa jika ada keluhan/ketidaknyamanan selama
pemasangan, supaya menghubungi perawat.

O. Persiapan Alat
1. Larutan yang benar
2. Jarum yang sesuai (abbocath, wing needle/butterfly)
3. Set infus
4. Selang intravena
5. Alkohol dan swab pembersih yodiumpovidon
6. Torniket
7. Sarung tangan sekali pakai
8. Kasa atau balutan trasparan dan larutan atau salep yodiumpovidon
9. Plester
10. Handuk/pengalas tangan
11. Tiang penyangga IV
12. Bengkok (tempat pembuangan jarum)
13. Gunting

Contoh jarum infus/abbocath:


a. ONC (Over the Needle Cannula)
1) Tujuan:
Terapi jangka panjang untuk pasien agitasi atau pasien yang aktif.
2) Manfaat:
Lebih nyaman bagi klien, ada tempat untuk mengecek aliran darah balik,
kerusakan pada vena lebih kecil.
3) Kerugian:
Lebih sulit dimasukkan daripada alat lain

b. Through the needle cannula


1) Tujuan :
Terapi jangka panjang untuk pasien agitasi atau pasien yang aktif.
2) Manfaat :
Kerusakan pada vena lebih kecil, lebih nyaman bagi klien, tersedia dalam
berbagai ukuran panjang.
3) Kerugian:
Biasanya untuk pasien lansia, menimbulkan kebocoran.

c. Wing needle
1. Tujuan:
Terapi jangka pendek untuk pasien yang kooperatif, terapi untuk neonatus, anak
atau lansia dengan vena yang fragile dan sklerotik
2. Manfaat:
Meminimalkan nyeri ketika insersi, ideal untuk memasukkan obat
3. Kerugian:
Mudah menimbulakan infiltrasi, jika wing needle kaku yang digunakan

Contoh ukuran jarum:


1. Nomor 16------bedah mayor atau trauma
2. Nomor 18------darah dan produk darah, pemberian obat-obat yang kental
3. Nomor 20------digunakan pada kebanyakan pasien
4. Nomor 22------digunakan pada kebanyakan pasien, terutama anak-anak dan
orangtua
5. Nomor 24------pasien pediatric atau neonatus
Semakin besar ukuran, semakin kecil caliber kateter.
Contoh gambar selang infus:

Gambar pemasangan torniket:

Contoh cara membersihkan tempat insersi:


Contoh pungsi vena:

Contoh cara fiksasi infus:


Metode chevron Metode H Metode U

Contoh pemberian tanggal:


P. Prosedur Kerja Pungsi/Pemasangan Infus
1. Baca status dan data klien untuk memastikan program terapi IV
2. Cek alat-alat yang akan digunakan
3. Cuci tangan
4. Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya
5. Perkenalkan nama perawat
6. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada klien
7. Jelaskan tujuan tindakan yang dilakukan
8. Beri kesempatan pada klien untuk bertanya
9. Tanyakan keluhan klien saat ini
10. Jaga privasi klien
11. Dekatkan alat-alat ke sisi tempat tidur klien
12. Tinggikan tempat tidur sampai ketingian kerja yang nyaman
13. Letakkan klien dalam posisi semifowler atau supine jika tidak memungkinkan
(buat klien senyaman mungkin)
14. Buka kemasan steril dengan meanggunakan tehnik steril
15. Periksa larutan dengan menggunakan lima benar dalam pemberian obat
16. Buka set infus, pertahankan sterilitas kedua ujungnya
17. Letakkan klem yang dapat digeser tepat di bawah ruang drip dan gerakkan klem
pada posisi off
18. Lepaskan pembungkus lubang slang IV pada kantung larutan IV plastik tanpa
menyentuh ujung tempat masuknya alat set infuse
19. Tusukkan set infus ke dalam kantong atau botol cairan (untuk kantong, lepaskan
penutup protektor dari jarum insersi selang, jangan menyentuh jarumnya, dan
tusukkan jarum ke lubang kantong IV. Untuk botol, bersihkan stopper pada botol
dengan menggunakan antiseptik dan tusukkan jarum ke karet hitam stopper botol
IV.
20. Gantungkan botol infus yang telah dihubungkan dengan set infus pada tempat
yang telah disediakan (pertahankan kesterilan set infus)
21. Isi selang infus dengan cairan, pastikan tidak ada udara dalam selang (terlebih
dulu lakukan pengisian pada ruang tetesan/the drip chamber). Setelah selang
terisi, klem dioffkan dan penutup ujung selang infus ditutup
22. Beri label pada IV dengan nama pasien, obat tambahan, kecepatan pemberian.
23. Pasang perlak kecil/pengalas di bawah lengan/tangan yang akan diinsersi
24. Kenakan sarung tangan sekali pakai
25. Identifikasi aksesibilitas vena untuk pemasangan kateter IV atau jarum
26. Posisikan tangan yang akan diinsersi lebih rendah dari jantung, pasang torniket
mengitari lengan, di atas fossa antekubital atau 10-15 cm di atas tempat insersi
yang dipilih (jangan memasang torniket terlalu keras untuk menghindari adanya
cidera atau memar pada kulit). Pastikan torniket bisa menghambat aliran IV.
Periksa nadi distal.
27. Pilih vena yang berdilatasi baik, dimulai dari bagian distal, minta klien untuk
mengepal dan membuka tangan (apabila belum menemukan vena yang cocok,
lepaskan dulu torniket, dan ulangi lagi setelah beberapa menit).
28. Bersihkan tempat insersi dengan kuat, terkonsentrasi, dengan gerakan sirkuler
dari tempat insersi ke daerah luar dengan larutan yodiumpovidon, biarkan
sampai kering. (klien yang alergi terhadap yodium, gunakan alkohol 70 % selama
30 detik)
29. Lakukan pungsi vena, fiksasi vena dengan menempatkan ibu jari tangan yang
tidak memegang alat infus di atas vena dengan cara meregangkan kulit. Lakukan
penusukan dengan sudut 20-30, tusuk perlahan dengan pasti
30. Jika tampak aliran darah balik, mengindikasikan jarum telah masuk vena.
31. Rendahkan posisi jarum sejajar kulit dan tarik jarum sedikit lalu teruskan plastik IV
kateter ke dalam vena
32. Stabilkan kateter IV dengan satu tangan dan lepaskan torniket dengan tangan
yang lain
33. Tekan dengan jari ujung plastik IV karteter, lalu tarik jarum infus keluar
34. Sambungkan plastic IV kateter dengan ujung selang infus dengan gerakan cepat,
jangan menyentuh titik masuk selang infus
35. Buka klem untuk memulai aliran infus sampai cairan mengalir lancar
36. Fiksasi sambungan kateter infus (apabila sekitar area insersi kotor, bersihkan
terlebih dulu)
37. Oleskan dengan salep betadin di atas area penusukan, kemudian tutup dengan
kasa steril, pasang plester
38. Atur tetesan infus sesuai ketentuan
39. Beri label pada temapt pungsi vena dengan tanggal, ukuran kateter, panjang
kateter, dan inisial perawat.
40. Buang sarung tangan dan persediaan yang digunakan
41. Cuci tangan
42. Berikan reinforcement positif
43. Buat kontrak pertemuan selanjutnya
44. Akhiri kegiatan dengan baik
45. Observasi klien setiap jam untuk menentukan respon terhadap terapi cairan
(jumlah cairan benar sesuai program yang ditetapkan, kecepatan aliran benar,
kepatenan vena, tidak terdapat infiltrasi, flebitis atau inflamasi)
46. Dokumentasikan di catatan perawatan (tipe cairan, tempat insersi,
kecepatanaliran, ukuran dan tipe kateter atau jarum, waktu infus dimulai, respon
terhadap cairan IV, jumlah yang diinfuskan, integritas serta kepatenan sistem IV.
PENILAIAN KETERAMPILAN PEMASANGAN INFUS

NAMA MAHASISWA :
NIM :
NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
A. Persiapan Alat
1. Larutan sesuai indikasi
2. Jarum yang sesuai (abbocath, wing needle/butterfly)
3. Set infus
4. Selang intravena
5. Alkohol dan swab pembersih yodiumpovidon
6. Tornikuet
7. Sarung tangan sekali pakai
8. Kasa/balutan trasparan dan larutan / salep yodium-povidon
9. Plester
10. Handuk/pengalas tangan
11. Tiang penyangga IV
12. Bengkok (tempat pembuangan jarum)
13. Gunting
B. Tahap Pre Interaksi
2. Baca status dan data klien untuk memastikan program terapi
IV
3. Cek alat-alat yang akan digunakan
4. Cuci tangan
C. Tahap Orientasi
1.Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya
2.Perkenalkan nama perawat
3.Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada klien
4.Jelaskan tujuan tindakan yang dilakukan
5.Beri kesempatan pada klien untuk bertanya
6.Tanyakan keluhan klien saat ini
D. Tahap Kerja
1. Jaga privasi klien
2. Dekatkan alat-alat ke sisi tempat tidur klien
3. Tinggikan tempat tidur sampai ketingian kerja yang nyaman
4. Letakkan klien dalam posisi semifowler atau supine jika tidak
memungkinkan (buat klien senyaman mungkin)
5. Buka kemasan steril dengan meanggunakan tehnik steril
6. Periksa larutan dengan menggunakan lima benar dalam
pemberian obat
7. Buka set infus, pertahankan sterilitas kedua ujungnya
8. Letakkan klem yang dapat digeser tepat di bawah ruang drip
dan gerakkan klem pada posisi off
9. Lepaskan pembungkus lubang slang IV pada kantung larutan
IV plastik tanpa menyentuh ujung tempat masuknya alat set
infus
10. Tusukkan set infus ke dalam kantong atau botol cairan (untuk
kantong, lepaskan penutup protektor dari jarum insersi selang,
jangan menyentuh jarumnya, dan tusukkan jarum ke lubang
kantong IV. Untuk botol, bersihkan stopper pada botol dengan
menggunakan antiseptik dan tusukkan jarum ke karet hitam
stopper botol IV.
11. Gantungkan botol infus yang telah dihubungkan dengan set
infus pada tempat yang telah disediakan (pertahankan
kesterilan set infus)
12. Isi selang infus dengan cairan, pastikan tidak ada udara dalam
selang (terlebih dulu lakukan pengisian pada ruang
tetesan/the drip chamber). Setelah selang terisi, klem dioffkan
dan penutup ujung selang infus ditutup
13. Beri label pada IV dengan nama pasien, obat tambahan,
kecepatan pemberian.
14. Pasang perlak kecil/pengalas di bawah lengan/tangan yang
akan diinsersi
15. Kenakan sarung tangan sekali pakai
16. Identifikasi aksesibilitas vena untuk pemasangan kateter IV
atau jarum
17. Posisikan tangan yang akan diinsersi lebih rendah dari
jantung, pasang torniket mengitari lengan, di atas fossa
antekubital atau 10-15 cm di atas tempat insersi yang dipilih
(jangan memasang torniket terlalu keras untuk menghindari
adanya cidera atau memar pada kulit). Pastikan torniket bisa
menghambat aliran IV. Periksa nadi distal.
18. Pilih vena yang berdilatasi baik, dimulai dari bagian distal,
minta klien untuk mengepal dan membuka tangan (apabila
belum menemukan vena yang cocok, lepaskan dulu torniket,
dan ulangi lagi setelah beberapa menit).
19. Bersihkan tempat insersi dengan kuat, terkonsentrasi, dengan
gerakan sirkuler dari tempat insersi ke daerah luar dengan
larutan yodiumpovidon, biarkan sampai kering. (klien yang
alergi terhadap yodium, gunakan alkohol 70 % selama 30
detik)
20. Lakukan pungsi vena, fiksasi vena dengan menempatkan ibu
jari tangan yang tidak memegang alat infus di atas vena
dengan cara meregangkan kulit. Lakukan penusukan dengan
sudut 20-30, tusuk perlahan dengan pasti
21. Jika tampak aliran darah balik, mengindikasikan jarum telah
masuk vena.
22. Rendahkan posisi jarum sejajar kulit dan tarik jarum sedikit
lalu teruskan plastik IV kateter ke dalam vena
23. Stabilkan kateter IV dengan satu tangan dan lepaskan torniket
dengan tangan yang lain
24. Tekan dengan jari ujung plastik IV karteter, lalu tarik jarum
infus keluar
25. Sambungkan plastic IV kateter dengan ujung selang infus
dengan gerakan cepat, jangan menyentuh titik masuk selang
infus
26. Buka klem untuk memulai aliran infus sampai cairan mengalir
lancar
27. Fiksasi sambungan kateter infus (apabila sekitar area insersi
kotor, bersihkan terlebih dulu)
28. Oleskan dengan salep betadin di atas area penusukan,
kemudian tutup dengan kasa steril, pasang plester
29. Atur tetesan infus sesuai ketentuan
30. Beri label pada tempat pungsi vena dengan tanggal, ukuran
kateter, panjang kateter, dan inisial perawat.
31. Buang sarung tangan dan persediaan yang digunakan
32. Cuci tangan
E. Terminasi
1. Berikan reinforcement positif
2. Buat kontrak pertemuan selanjutnya
3. Akhiri kegiatan dengan baik
4. Observasi klien setiap jam untuk menentukan respon terhadap
terapi cairan (jumlah cairan benar sesuai program yang
ditetapkan, kecepatan aliran benar, kepatenan vena, tidak
terdapat infiltrasi, flebitis atau inflamasi)
5. Dokumentasikan di catatan perawatan (tipe cairan, tempat
insersi, kecepatanaliran, ukuran dan tipe kateter atau jarum,
waktu infus dimulai, respon terhadap cairan IV, jumlah yang
diinfuskan, integritas serta kepatenan sistem IV.
Keterangan :
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan tapi tidak sempurna
2 = Dilakukan dengan sempurna Banjarbaru,..................
Evaluator,
Nilai = Jumlah yang didapat x 100 %
............................
Jumlah aspek yang dinilai
Nilai Batas Lulus : 75 %

Anda mungkin juga menyukai