Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sumber energi di Indonesia ditandai dengan keterbatasan cadangan
minyak bumi, cadangan gas alam yang mencukupi serta cadangan batubara yang
melimpah. Sumber daya energi batubara diperkirakan sebesar 36.5 milyar ton,
dengan sekitar 5.1 milyar ton dikategorikan sebagai cadangan terukur. Sumber
daya ini sebagian besar berada di Kalimantan yaitu sebesar 61 %, di Sumatera
sebesar 38 % dan sisanya tersebar di wilayah lain. Menurut jenisnya dapat dibagi
menjadi lignite sebesar 58.6 %, sub-bituminous sebesar 26.6 %, bituminous
sebesar 14.4 % dan sisanya sebesar 0.4 % adalah anthracite. Produksi batubara
pada tahun 1995 mencapai sebesar 44 juta ton. Sekitar 33 juta ton dieksport dan
sisanya sebesar 11 juta ton untuk konsumsi dalam negeri.
Dewasa ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga
BBM, termasuk minyak bakar. Kenaikan harga minyak bakar di industri, otomatis
akan berhubungan langsung dengan kenaikan operating cost perusahaan. Sebagai
gambaran, kenaikan harga minyak tanah untuk industri menjadi Rp 1800,00 per
liternya. Sebagai contoh misalkan minyak bakar di industri dipakai sebagai bahan
bakar boiler, untuk menghasilkan kukus dengan jumlah energi yang sama, berarti
terjadi kenaikan operating cost yang sangat tinggi.
Kenaikan operating cost yang besar tentunya akan sangat mempengaruhi
ekonomi perusahaan yang memakai minyak bakar sebagai salah satu bahan bakar
di unit operasinya. Karenanya diperlukan upaya untuk melakukan penelitian
tentang teknologi yang bisa menghasilkan sumber energi alternatif dan bernilai
ekonomis.Salah satunya adalah menggunakan batubara (BB) sebagai alternatif
penggantian BBM. Konversi inilah yang kini tengah diteliti di Indonesia,
mengingat persediaan batu baranya melimpah. Selama sepuluh tahun terakhir ini
penggunaan batubara dalam negeri terus mengalami pertumbuhan sejalan dengan
pertumbuhan perekonomian dan industrialisasi.
1.2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana teknologi yang dipakai pada proses gasifikasi batubara?
2) Bagaimana perbedaan dan perbandingan jurnal yang ada?
3) Apakah ada pemakaian katalis dalam proses tersebut?

1.3. Manfaat
1) Mengetahui teknologi yang dipakai pada proses gasifikasi batubara.
2) Mengetahui perbedaan dan perbandingan jurnal yang ada.
3) Mengetahui ada pemakaian katalis dalam proses tersebut.

1.4. Tujuan
1) Mengetahui prose- proses dari teknologi yang dipakai pada proses
gasifikasi batubara.
2) Mengetahui dari proses terdapat perbedaan dan perbandingan dari jurnal.
3) Mengetahui ada pemakaian katalis dan macam-macam dalam proses
tersebut serta kelebihannya masing-masing.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teknologi Pemanfaatan Batubara


Secara umum, teknologi pemanfaatan batubara terbagi menjadi
pembakaran (combustion), pirolisis (pyrolysis), pencairan (liquefaction), dan
gasifikasi (gasification). Pembakaran merupakan pemanfaatan batubara secara
langsung untuk memperoleh energi panas, menghasilkan produk sampingan
berupa gas buang (flue gas) dan abu. PLTU merupakan salah satu contoh
pemanfaatan batubara secara langsung, dimana batubara dibakar di boiler untuk
menghasilkan panas yang akan digunakan untuk mengubah air menjadi uap air
(steam), yang selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin uap dan
memutar generator untuk menghasilkan energi listrik.
Sedangkan pada pirolisis, batubara dipanaskan dalam kondisi tanpa
oksigen. Pada keadaan demikian, zat terbang (volatile matter) di dalamnya akan
terusir keluar. Bila suhu pemanasannya rendah, proses ini disebut pirolisis suhu
rendah (low temperature pyrolysis), menghasilkan produk berupa bahan bakar
padat non asap (coalite). Sedangkan pada pirolisis suhu tinggi, bila batubara yang
diproses adalah batubara kokas, maka akan dihasilkan kokas yang keras. Selain
padatan yang disebut char ataupun kokas, produk sampingan berupa gas dan
material cair yang disebut tar juga akan dihasilkan pada pirolisis. Pada awalnya,
gas dan tar ini tidak dimanfaatkan. Gas hasil pirolisis ini dimulai dimanfaatkan
sejak tahun 1800an, yang digunakan untuk keperluan penerangan.
Pemanfaatannya bahkan meluas hingga untuk bahan bakar (fuel gas),
sehingga industri pirolisis yang bertujuan untuk menghasilkan gas dari batubara
pun berkembang pesat. Pada industri ini, gas merupakan produk utama, sedangkan
char atau kokas dan tar merupakan produk sampingan. Sebelum tahun 1960an
ketika bahan baku migas mulai menggeser peranan batubara, suplai gas kota
(town gas) terutama berasal dari pirolisis batubara ini. Adapun untuk tar,
pemanfaatannya dimulai pada pertengahan abad ke-19, ketika perkembangan
teknik kimia telah memungkinkan untuk melakukan distilasi dan pemurnian tar
menjadi produk pewarna sintetik dan bahan kimia.
Dibandingkan dengan minyak, salah satu kekurangan batubara adalah
bentuknya yang berupa padatan, menyebabkan skala dan nilai pemanfaatannya
menjadi terbatas. Pencairan batubara sebenarnya berangkat dari pemikiran untuk
lebih meningkatkan nilai guna batubara seperti halnya minyak. Seperti disinggung
pada bahasan pirolisis di atas, salah satu produk batubara ketika dilakukan
pemanasan adalah tar, yang berupa cairan. Pada dasarnya, batubara dan minyak
merupakan material hidrokarbon yang susunan utamanya terdiri dari karbon (C),
hidrogen (H), dan oksigen (O), hanya saja jumlah unsur hidrogen dalam batubara
lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak. Oleh karena itu, untuk
menghasilkan produk cairan dari batubara yang karakteristiknya menyerupai
minyak, perlu diupayakan agar kandungan hidrogennya diperbanyak sehingga
mendekati minyak. Proses ini disebut dengan hidrogenasi (hydrogenation),
dimana batubara dipanaskan dalam kondisi tekanan dan penambahan katalis.
Pencairan batubara dengan metode ini merupakan salah satu pencairan
batubara secara langsung (direct coal liquefaction, DCL) yang disebut dengan
proses Bergius. Metode ini digunakan oleh Jerman selama Perang Dunia I dan II
untuk memenuhi kebutuhan minyak sintetik oleh militer. Selain itu, Jepang pun
berhasil mengembangkan sendiri teknologi DCL ini dengan menggabungkan 3
macam metode pencairan pada batubara bituminus yaitu, direct hydrogenation,
solven extraction, dan Solvolysis.
Selain pencairan secara langsung, metode lain untuk menghasilkan minyak
sintetik dari batubara adalah dengan pencairan tidak langsung (indirect coal
liquefaction, ICL), yaitu melalui proses gasifikasi batubara yang akan dijelaskan
lebih lanjut di bawah ini. Pada perkembangannya, pencairan batubara akhirnya
lebih banyak menggunakan metode tidak langsung, yaitu melalui gasifikasi.
2.2. Teknologi Gasifikasi
Gasifikasi (gasification) adalah konversi bahan bakar karbon menjadi
produk gas gas yang memiliki nilai kalor yang berguna. Pengertian ini tidak
memasukkan istilah pembakaran (combustion) sebagai bagian daripadanya, karena
gas buang (flue gas) yang dihasilkan dari pembakaran tidak memiliki nilai kalor
yang signifikan untuk dimanfaatkan (Higman, 2003). Karena proses ini
merupakan konversi material yang mengandung karbon, maka semua hidrokarbon
seperti batubara, minyak, vacuum residue, petroleum coke atau petcoke,
Orimulsion, bahkan gas alam dapat digasifikasi untuk menghasilkan gas sintetik
(syngas). Pada dasarnya, terdapat 3 cara untuk memproduksi gas sintetik dari
batubara, yaitu pirolisis, hidrogenasi, dan oksidasi sebagian (partial oxidation).
Meskipun produksi gas sintetik pada awalnya memanfaatkan teknologi
pirolisis, tapi saat ini pirolisis lebih banyak diaplikasikan untuk memproduksi bio-
oil dari bahan baku biomassa. Metode yang dipakai adalah flash pyrolysis, dimana
biomassa dipanaskan secara cepat tanpa oksigen pada suhu tinggi antara
450~600, dengan waktu tinggal gas (residence time) yang pendek yaitu kurang
dari 1 detik. (Bramer, 2006).
Adapun hidrogenasi yang dimaksud disini adalah hidrogasifikasi (hydro-
gasification), yang bertujuan memproduksi gas metana (Synthetic Natural Gas)
langsung dari batubara. Karena operasional hidrogasifikasi memerlukan tekanan
yang tinggi, teknologi ini kurang berkembang dan akhirnya tidak sampai ke tahap
komersial. (Higman, 2003)
Sedangkan pada oksidasi sebagian, pemanasan batubara dilakukan
dengan mengatur kadar oksigen dari oksidan yang digunakan selama proses
berlangsung. Oksidan tersebut dapat berupa udara (air), oksigen murni, maupuan
uap air (steam). Produk yang dihasilkan oleh oksidasi sebagian adalah gas sintetik,
dimana 85% lebih volumenya terdiri dari hidrogen (H2) dan karbon monoksida
(CO), sedangkan karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) terdapat dalam jumlah
sedikit. Dengan karakteristik produk yang dihasilkan, secara praktikal, istilah
gasifikasi sebenarnya merujuk ke metode oksidasi sebagian. Untuk selanjutnya,
penjelasan tentang gasifikasi batubara akan mengacu ke penggunaan metode
oksidasi sebagian.
2.3. Gasifikasi Batubara
Gasifikasi Batubara pada prinsipnya adalah suatu proses penghasilan gas
sintesis (syn gas) yang mudah terbakar dari batubara. Proses ini melalui beberapa
proses kimia dalam reaktor gasifikasi (gasifier). Mula-mula batubara yang sudah
diproses secara fisis diumpankan ke dalam reaktor dan akan mengalami proses
pemanasan sampai temperatur reaksi serta mengalami proses pirolisa (menjadi
bara api). Kecuali bahan pengotor, batubara bersama-sama dengan oksigen
dikonversikan menjadi hidrogen, karbon monoksida dan methana. Produk
gasifikasi berupa bahan bakar gas mempunyai beberapa keuntungan seperti mudah
di transfer, pengendalian pembakaran mudah, konstruksi burner sederhana, emisi
partikel yang relatif kecil dan menurunnya polusi ke lingkungan.
Terdapat 3 jenis penggas (gasifier) yang banyak digunakan untuk
gasifikasi batubara, yaitu tipe moving bed (lapisan bergerak), fluidized bed
(lapisan mengambang), dan entrained flow (aliran semburan). Karena masing
masing penggas memiliki kelebihan dan kekurangan, maka alat mana yang akan
digunakan lebih ditentukan oleh karakteristik bahan bakar dan tujuan gasifikasi.
Untuk model moving bed, batubara yang digasifikasi adalah yang berukuran agak
besar, sekitar beberapa sentimeter (lump coal).
Batubara dimasukkan dari bagian atas, sedangkan oksidan berupa oksigen
dan uap air dihembuskan dari bagian bawah alat. Mekanisme ini akan
menyebabkan batubara turun pelan pelan selama proses, sehingga waktu tinggal
(residence time) batubara adalah lama yaitu sekitar 1 jam, serta menghasilkan
produk sisa berupa abu. Karena penggas model ini beroperasi pada suhu relatif
rendah yaitu maksimal sekitar 6000C, maka batubara yang akan digasifikasi harus
memiliki suhu leleh abu (ash fusion temperature) yang tinggi.
Hal ini dimaksudkan agar abu tidak meleleh yang akhirnya mengumpul di
bagian bawah alat sehingga dapat menyumbat bagian tersebut. Disamping produk
utama yaitu gas hidrogen dan karbon monoksida, gasifikasi pada suhu relatif
rendah ini akan meningkatkan persentase gas metana pada produk gas. Karena gas
metana ini dapat meningkatkan nilai kalor gas sintetik yang dihasilkan, maka
penggas moving bed sesuai untuk produksi SNG (Synthetic Natural Gas) maupun
gas kota (town gas).Contoh alat tipe ini adalah penggas Lurgi, yang digunakan
oleh Sasol di Afrika Selatan untuk produksi BBM sintetis dan Dakota Gasification
di AS untuk produksi SNG..
Gambar 2. Tipikal penggas jenis moving bed
(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)

Pada tipe fluidized bed, batubara yang digasifikasi ukurannya lebih kecil
dibandingkan pada moving bed, yaitu beberapa milimeter sampai maksimal 10
mm saja. Tipikal penggas ini memasukkan bahan bakarnya dari samping (side
feeding) dan oksidan dari bagian bawah. Oksidan disini selain sebagai reaktan
pada proses, juga berfungsi sebagai media lapisan mengambang dari batubara
yang digasifikasi. Dengan kondisi penggunaan oksidan yang demikian maka salah
satu fungsi tidak akan dapat maksimal karena harus melengkapi fungsi lainnya,
atau bersifat komplementer. Hal ini mengakibatkan tingkat konversi karbon pada
tipe ini maksimal hanya sekitar 97% saja, tidak setinggi pada tipe moving bed dan
entrained flow yang dapat mencapai 99% atau lebih. (Higman, 2003).
Batubara yang akan diproses harus memiliki temperatur melunak abu
(softening temperature) di atas suhu operasional tersebut. Hal ini bertujuan agar
abu yang dihasilkan selama proses tidak meleleh, yang dapat mengakibatkan
terganggunya kondisi lapisan mengambang. Dengan suhu operasi yang relatif
rendah, penggas ini banyak digunakan untuk memproses batubara peringkat
rendah seperti lignit atau peat yang memiliki sifat lebih reaktif dibanding jenis
batubara yang lain. Pengembangan lebih lanjut teknologi penggas jenis ini sangat
diharapkan untuk dapat mengakomodasi secara lebih luas penggunaan batubara
peringkat rendah, biomassa, dan limbah seperti MSW (Municipal Solid Waste).
Gambar 3. Tipikal penggas jenis fluidized bed
(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)

Kemudian untuk tipe entrained flow, penggas ini sekarang mendominasi


proyek proyek gasifikasi baik yang berbahan bakar batubara maupun minyak
residu. Pada alat ini, batubara yang akan diproses dihancurkan dulu sampai
berukuran 100 mikron atau kurang. Batubara serbuk ini disemburkan ke penggas
bersama dengan aliran oksidan, dapat berupa oksigen, udara, atau uap air. Proses
gasifikasi berlangsung pada suhu antara 1200~18000C, dengan waktu tinggal
batubara kurang dari 1 detik. Dengan suhu operasi sedemikian tinggi, pada
dasarnya tidak ada batasan jenis batubara yang akan digunakan karena abunya
akan meleleh membentuk material seperti gelas (glassy slag) yang bersifat inert.
Meski demikian, batubara sub-bituminus sampai dengan antrasit lebih
disukai untuk penggas jenis ini. Lignit atau brown coal pada prinsipnya dapat
digasifikasi, hanya saja kurang ekonomis karena kandungan airnya yang tinggi
yang menyebabkan konsumsi energi yang besar. Meskipun abu akan meleleh
membentuk slag, tapi batubara berkadar abu tinggi sebaiknya dihindari pula
karena dapat mengganggu kesetimbangan panas akibat proses pelelehan abu
dalam jumlah banyak. Batubara dengan suhu leleh abu tinggi biasanya dicampur
dengan kapur (limestone) untuk menurunkan suhu lelehnya sehingga suhu pada
penggas pun dapat ditekan. Gasifikasi suhu tinggi pada penggas ini menyebabkan
kandungan metana dalam gas sintetik sangat sedikit, sehingga gas sintetik
berkualitas tinggi dapat diperoleh.
Terdapat beberapa tipe penggas entrained flow berdasarkan kondisi dan
cara mengumpan bahan bakarnya. Penggas Koppers-Totzek yang merupakan
pionir jenis ini mengumpan batubara serbuk dalam kondisi kering dari bagian
bawah, atau disebut dry up. Gas sintetik akan keluar dari bagian atas alat. Tipe dry
up ini juga dijumpai pada penggas Shell dan Mitsubishi (CCP). Untuk arah umpan
dari bawah, selain terdapat bahan bakar dalam kondisi kering, terdapat pula bahan
bakar dalam kondisi basah atau disebut slurry up. Tipikal jenis ini adalah penggas
E-Gas dari Conoco Phillips. Selain slurry up, terdapat pula metode slurry down,
yang dijumpai pada penggas Chevron Texaco. Secara umum, bahan bakar
berupa batubara kering mengkonsumsi energi yang lebih sedikit dibandingkan
dengan dalam keadaan basah (slurry) sehingga lebih menguntungkan.

Gambar 4. Tipikal penggas jenis entrained flow (dry down)


(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)

Tabel 1: Perbandingan jenis-jenis gasifier


Parameter Fixed/Moving Bed Fluidized Bed Entrained Bed
Ukuran umpan < 51 mm < 6 mm < 0.15 mm
Toleransi kehalusan Terbatas Baik Sangat baik
partikel
Toleransi kekasaran Sangat baik Baik Buruk
partikel
Toleransi jenis Batubara kualitas Batubara kualitas Segala jenis
umpan rendah rendah dan batubara, tetapi
biomassa tidak cocok untuk
biomassa
Kebutuhan oksidan Rendah Menengah Tinggi
Kebutuhan kukus Tinggi Menengah Rendah
Temperatur reaksi 1090 C 800 1000 C > 1990 C
Temperatur gas 450 600 C 800 1000 C > 1260 C
keluaran
Produksi abu Kering Kering Terak
Efisiensi gas dingin 80% 89.2% 80%
Kapasitas Kecil Menengah Besar
penggunaan
Permasalahan Produksi tar Konversi karbon Pendinginan gas
produk

2.4 APLIKASI GASIFIKASI BATUBARA


Gas sintetik hasil gasifikasi batubara dapat diproses lebih lanjut atau
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, diantaranya adalah sebagai berikut:
2.1.1. Bahan bakar sintetik (Coal to Liquid, CTL)
Salah satu alasan mengapa pembuatan bahan bakar sintetik melalui
gasifikasi batubara terus berlangsung sampai sekarang adalah karena cadangan
batubara dunia yang begitu melimpah. Berdasarkan data BP World Energy Review
tahun 2004, dengan tingkat produksi sebesar 4,9 milyar ton per tahun (akhir
2003), cadangan terbukti batubara dapat bertahan hingga 192 tahun. Sedangkan
minyak dan gas, dengan tingkat produksi saat itu, masing masing hanya mampu
bertahan selama 41 tahun dan 67 tahun saja. Selain itu, harga minyak yang
fluktuatif dan cenderung tinggi menyebabkan bahan bakar sintetik dari batubara
(CTL) menjadi semakin kompetitif. Laporan departemen energi AS (DOE Annual
Energy Outlook 2005) menyebutkan potensi CTL diperkirakan sebesar 2 juta barel
per hari pada tahun 2025, ditambah Cina yang diperkirakan memiliki potensi 1
juta barel per hari.
Pada pembuatan BBM sintetik, batubara digasifikasi terlebih dulu untuk
menghasilkan gas sintetik yang komposisi utamanya terdiri dari hidrogen (H 2) dan
karbon monoksida (CO), kemudian dilanjutkan dengan proses Fischer-Tropsch
(FT) untuk menghasilkan hidrokarbon ringan (paraffin). Hidrokarbon tersebut
kemudian diproses lebih lanjut untuk menghasilkan bensin dan minyak diesel.
Karena nilai oktan pada produk bensin yang dihasilkan rendah, maka dilakukan
upaya untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi dari gas sintetik ini. Proses
tersebut dilakukan dengan memproduksi metanol dari gas sintetik terlebih dulu,
kemudian metanol diproses untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi.
Metode ini disebut MTG (Methanol to Gasoline), yang dikembangkan oleh Mobil
pada tahun 1970an.
Salah satu kisah sukses pembuatan bahan bakar sintetik dari batubara
adalah South African Coal Oil and Gas Corporation atau yang dikenal dengan
Sasol di Afrika Selatan, yang saat ini memproduksi gas sintetik sebesar 55 juta
Nm3 per hari menggunakan penggas Lurgi, dan memproduksi minyak sintetik
sebanyak 150 ribu barel per hari melalui sintesis Fischer-Tropsch.
Berawal dari boikot dunia terhadap politik apartheid sehingga
menyebabkan Afsel tidak dapat membeli minyak mentah di pasaran, pemerintah
setempat akhirnya meluncurkan proyek CTL setelah menyadari bahwa Afsel
memiliki cadangan batubara yang melimpah. Pabrik pertama (Sasol I) selesai
didirikan di Sasolburg pada tahun 1954, dan minyak sintetik pertama dipasarkan
pada tahun berikutnya.
2.4.2. Pembangkit listrik (Coal to Power)
Standar mutu lingkungan yang semakin ketat tentunya akan memaksa
fasilitas pembangkit listrik yang telah terpasang untuk dapat mengakomodasi
peraturan tersebut. Ada 3 pilihan yang dapat dilakukan untuk itu, yaitu modifikasi
dan upgrade fasilitas sehingga teknologi pembersihan pasca pembakaran (post-
combustion clean up technology) dapat diterapkan, modifikasi sistem
pembangkitan berbahan bakar batubara menjadi pembangkitan kombinasi
berbahan bakar gas alam (Natural Gas Combined Cycle, NGCC), dan modifikasi
sistem pembangkitan dengan memanfaatkan mekanisme gasifikasi batubara untuk
menghasilkan pembangkitan kombinasi (Childress, 2000).
Gambar 4. Konsep Sistem Gasifikasi
(Sumber:www.fossil.energy.gov/programs/powersystems/gasification/howgasif
icationworks.html)

Pada pilihan pertama di atas, biaya pemasangan peralatan pembersihan


pasca pembakaran sangat besar. Sebagai contoh, untuk pembangkit berbahan
bakar batubara serbuk (pulverized coal) yang saat ini mendominasi, biaya
pemasangan unit desulfurisasi (Flue Gas Desulfurization, FGD) dapat mencapai
20% dari total biaya pembangunannya. Untuk pilihan kedua yaitu mekanisme
NGCC, meskipun emisi yang rendah dapat dicapai, tapi ongkos bahan bakar yang
relatif tinggi otomatis akan mempengaruhi biaya pembangkitan. Pilihan ketiga
merupakan alternatif terbaik, dimana pembangkitan kombinasi tersebut mampu
menghasilkan emisi yang sangat rendah dengan mengoptimalkan fasilitas
pembangkit yang ada serta menggunakan bahan bakar berbiaya rendah yaitu
batubara.
Pembangkit listrik yang memanfaatkan gas sintetik hasil gasifikasi
batubara disebut dengan IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle). Pada
IGCC, pembangkitan listrik dihasilkan dari mekanisme kombinasi antara turbin
gas, HRSG (Heat Recovery Steam Generator), dan turbin uap. Tipikal penggas
yang digunakan pada IGCC adalah bertipe entrained flow, seperti E-Gas (Conoco
Phillips), Chevron-Texaco (GE Energy), SFG (Siemens), Mitsubishi, dan Shell.
Secara garis besar, gas sintetik yang dihasilkan oleh penggas akan diproses di
pendingin gas (gas cooler) dan fasilitas pembersih gas (gas clean up) terlebih dulu
sebelum mengalir ke turbin gas.
Gasifikasi batubara tidak semata hanya dapat digunakan untuk satu tujuan
saja, misalnya untuk pembangkitan listrik, tapi dapat pula dirancang untuk tujuan
yang lain secara bersamaan. Sebagai contoh, fasilitas gasifikasi dapat didesain
untuk menghasilkan listrik, memproduksi bahan baku industri kimia, maupun
membuat bahan bakar sintetis sekaligus. Mekanisme ini disebut dengan
polygeneration (polygen) atau co-generation (co-gen).

Gambar 5. Polygeneration
(Sumber: B. Trap, dkk, Eastman Gasification Services Company)

BAB III
JURNAL

3.1. Proses Gasifikasi Batubara dengan Menggunakan Katalsi Exxon


Reaktor gasifikasi dalam proses gasifikasi dengan menggunakan katalis
Exxon dengan desainbasis yang telah ditentukan. Banyak penelitian yang telah
dilakukan dengan rekayasa studi untuk merancang reaktor yang konseptual,
namun konfigurasi umum dan kondisi prosesnya dipilih sangat awal
pengembangan. Penemuan ini membahas dan memperlihatkan konsep dan basis
data dan termodinamika yang terbatas.
Desain basis teknik pada panemuan ini digunakan di awal proses. Reaktor
gasifikasi di Exxon Catalytic Coal. Proses Gasifikasi (CCG) membentuk dasar di
mana sisa prosesnya dirancang. Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan
rekayasa studi untuk merancang reaktor yang konseptual, namun konfigurasi
umum dan kondisi prosesnya dipilih sangat awal pengembangan. Penemuan ini
membahas dan memperlihatkan konsep dan basis data dan termodinamika yang
terbatas.Desain basis teknik pada panemuan ini digunakan di awal proses.

3.1.1. Basis Katalis


Dasar pendekatan katalitik ditentukan oleh sifat termodinamika metana. Ini
hidrokarbon yang paling stabil, mampu ada di suhu yang jauh lebih tinggi
daripada hidrokarbon yang lainnya. Meski begitu, pembentukan hidrokarbon dari
hydrogen dan karbon sangat eksotermik dan biasanya batubara membutuhkan
suhu yang lebih rendah. Panas eksotermik dari formasi metana juga mengurangi
panas yang masuk ke gasifier tempat pembentukan hidrogen dan karbon
monoksida, atau disebut sebagai produk gasifikasi batubara. para peneliti mencari
kondisi gasifikasi dengan suhu yang rendah untuk pembentukan metana yakni
dengan menggunakan exxon yakni katalisis uap logam alkali pada gasifikasi
batubara.
Logam alkali mengkatalisis gasifikasi uap batubara telah dikenal selama
bertahun-tahun. Taylor dan Neville 'menerbitkan beberapa teori kinetik pada tahun
1921. Sebagian besar penemuannya ada dalam literatur, Hal tersebut telah
dilakukan pada berbagai tekanan termasuk tekanan atmosfir. Di percobaan batch
dengan berbagai katalis logam alkali pada tekanan sampai 7,1 MPa,didapat hasil
yang baik pada katalis exxon dengan suhu yang tinggi dapat mengkonversi uap
yang memberi hidrokarbon yang stabil.

Gambar 6. Diagram Skematik Katalis Exxon Gasifikasi Batubara yang


Menunjukkan recycle Hidrogen dan Karbon Monoksida

(Sumber : Naha, 1983)

3.1.2. Seleksi Katalis


Semua logam alkali adalah katalis aktif yang dicampur secara heterogen
dengan batubara. proses akan meningkat sejalan dengan peningkatan katalis yang
digunakan. Namun, jumlah yang dibutuhkan sangat besar dibandingkan dengan
katalisis lainnya. optimumnya yakni - 10 sampai 20% dari berat batubara. Di
permukaan bumi, natrium menempati urutan keenam, dan kalium pada ketujuh
dimana 90 kali lebih banyak dari karbon. Kalium memiliki keaktifan yang lebih
besar dari sodium namun harganya lebih mahal. Meski rubidium dan cesium
masih lebih aktif, tetapi terlalu mahal untuk digunakan secara komersial. Beberapa
aplikasi telah membahas mekanisme alkali metal katalisis, terutama karya Mims
dan Pabst.
Dua efek kinetik dari katalis kalium yang menggabungkan urutan proses
yang terseleksi dari produk reaksi untuk efisiensi tinggi yakni katalisis reaksi
karbon uap, memungkinkan pengurangan suhu gasifikasi dari 950 C menjadi
700 C. Pada suhu 700 C metana bisa konsentrasi bisa menjadi tinggi, yang
merupakan hidrokarbon stabil. Hanya empat senyawa yakni hidrogen, karbon dan
oksigen bisa ada dalam ekuilibrium dengan karbon - karbon monoksida, karbon
dioksida,hidrogen dan uap. Dari reaksi kimia uap dan karbon, campuran dari lima
komponen bisa diperlakukan dengan kombinasi tiga reaksi:

2H2O f 2C-+2H2 + 2C O (1)


H2O +CO2+H2 +CO (2)
3H2 +CO-CH2+ H2O (3)

3.1.3. Ukuran Reaktor


Sebelum dilakukan upaya pengembangan yang signifikan, perlu dilakukan
evaluasi teknik proses di awal. Berdasarkan percobaan batch, ditentukan bahwa
suhu dikisaran 650 sampai 750 C akan cukup untuk mencapai konversi uap
ekuilibrium.Tingkat reaksi tidak sensitif terhadap tekanan total. Waktu tinggal
char batubara yang dibutuhkan untuk konversi karbon yakni 6-10 jam.
Untuk tujuan penelitian, ukuran pabrik komersial dipilih. untuk
menghasilkan 8 x 106 m3 per hari metana produk.Untuk menghindari entrainment
berlebihan partikel keluar darifluidized bed, kecepatan gas yang mengalir ke atas.
Aliran volume gas produk material diberikan di tabel I kira-kira, membutuhkan
133 m2 luas penampang. Untuk tekanan 3,5 MPa, diameter reaktor bisa dibuat
sebanyak 7 sampai 10 m.

Tabel 2. Kesetimbangan Komposisi pada 700 C dan Tekanan Berbeda


(Sumber; Nahas, 1983)

3.1.4. Pentingnya Konversi Steam


Karena metana adalah produk yang diinginkan, konversi uapsangat
penting. Pemeriksaan reaksi (3) menunjukkan bahwa uap yang tidak terkonversi
dalam gas produk H, dan CO relatif terhadap CH. Kandungan metana merupakan
fungsi linear konversi uap.

3.2. Produksi Hidrogen Yield Tinggi oleh Katalis Gasifikasi Batubara atau
Biomassa

3.2.1. Efek Katalis dalam Reaktivitas


Katalis yang digunakan adalah potasium-bearing catalyst yang dapat
digunakan dalam batubara bituminus dan kayu yang reaktivitasnya dapat
bertambah dengan kenaikan temperatur. Batubara sangat bervariasi dalam
kandungan intrinsik atau reaktivitas self-catalyzed, Kayu poplar hibrida, yang
menunjukkan potensi sebagai tanaman yang eknonomi sebagai energi di Amerika
Serikat. Sementara kandungan abu tidak konsisten dengan umur geologis, proporsi
logam kation terikat secara organik pada struktur karbon akan meningkat pada
batubara muda.

Gambar 7. Gasifier Fluid Bed Katalis yang Diintegrasikan dengan Fue Cell
Karbonat Molten
(Sumber : Hauserman, 1994)
3.2.2. Ekstensi Gasifikasi Batubara dalam Biomassa
Gasifikasi Batubara sudah berkembang secara komersial, dengan teknologi
cadangan yang besar untuk generasi mendatang dalam percepatan pembangunan
ekonomi yang menguntungkan. Kondisi kebijakan nasional mempromosikan
energi independensi atau efisiensi konversi yang lebih besar. Ekstensi dari
teknologi ini ke kayu hanya berpengaruh pada perubahan kecil dalam desain
komponen dan peningkatkan kayu secara ekonomis. Studi ekonomi menunjukkan
bahwa hibrida poplar dapat ditanam dan dipanen pada tahun 2000 dengan biaya
energi sebanding dengan biaya penambangan batubara. Bahan bakar gasifier
diperkirakan akan mencapai kira-kira dua kali dari efisiensi konversi konvensional
pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, sehingga mengurangi separuh emisi
CO2.

3.3. Efek Katalis Logam Alkali dalam Gasifikasi Arang Batubara

Penggunaan katalis untuk mempercepat gasifikasi uap batubara sangat


direkomendasikan karena memungkinkan operasi gasifiers pada throughput
batubara yang lebih tinggi dan suhu yang lebih rendah dibanding dengan tidak
adanya katalis. Pencarian studi yang dilakukan oleh sejumlah peneliti
mengungkapkan bahwa katalis yang paling efektif adalah logam alkali garam dan
kation tertentu anion yang terkait memiliki peran penting. Jadi, secara umum
disimpulkan bahwa oksida, hidroksida, bikarbonat, dan karbonat lebih aktif dari
pada garam lainnya.
Tujuan dari jurnal adalah untuk menyelidiki secara rinci efek garam logam
alkali dan khususnya K2CO3 pada gasifikasi uap karat yang berasal dari batubara
sub-bituminous barat gasifikasi belaka tarif dan tingkat produksi gas diukur
sebagai fungsi jenis katalis, pemuatan katalis, dan suhu reaksi. Untuk kasus
K2CO3, dapat mempercepat gasifikasi dan pengendalian distribusi gas produk.
Katalis yang digunakan adalah LiCl, NaCl, KCl, RbCl, CsCl,KOH, dan
K2CO3. Masing-masing bahan ini ditambahkan kebatu bara dengan impregnasi
berair. Katalis disiapkan agar larutan 0,75 ml per g batubara bisa digunakan untuk
mencapai kapasitas yang diinginkan. Bubur yang diperoleh pada penambahan
batubara ke larutan katalis dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 85 C
selama sekitar 2 jam, sehingga kadar air dari batubara yang diimpregnasi kira-kira
sama dengan batu bara mentah. Keaktifan katalitik superior dari K2C03 dianggap
berasal dari langkah berikut:

K2C03 + 2C = 2K + 3C0 (1)


2K t 2H20 = 2KOH + H2 (2)
CO+H2O=CO2 +H2 (3)
2KOH + CO2 + K2CO3 + H2O (4)

2C t 2H20 = 2C0 + 2H2

3.4. Coal, Oil Shale, Natural Bitumen, Heavy Oil and Peat
Gasifikasi batubara merupakan salah satu teknologi batubara. Tujuan
mengkonversi batubara menjadi gas batubara dinyatakan. Penekanannya adalah
pada gasifikasi batubara terpadu siklus gabungan sebagai salah satu aplikasi
gasifikasi batubara karena semakin tinggi efisiensi dan potensi terbesar untuk
memenuhi kontrol emisi yang kuat. Reaksi gasifikasi batubara, termodinamika,
dan kinetika gasifikasi.
Reaksi disajikan secara singkat. Setelah proses gasifikasi batubara dibagi
menjadi beberapa kategori, 4 jenis proses gasifikasi batubara ditunjukkan masing-
masing yaitu proses moving bed, fluidized bed, entrained bed, dan molten bed.
Beberapa tipikal atau gasifiers maju diperkenalkan terbatas pada operasi komersial
ini dan operasi tersebut di pabrik percontohan ukuran besar adalah lurgi gasifier
and BGC-L gasifier untuk moving bed proses, gasifier winkler, gasifier HTW dan
gasifier U-Gas atau KRW untuk fluidisasi proses bed dan gasifier K-T, Prenflo,
SCGP, TCGP dan Dow gasifier untuk entrained bed process. Gasifiers ini dibahas
sesuai dengan metode mereka memberi makan pembuangan.
Gas batubara adalah campuran gas. Campuran ini biasanya terdiri dari
karbon monoksida (CO), hidrogen (H2), karbon dioksida (CO2), nitrogen (N2), dan
jumlah yang bervariasi dari metana (CH4). Gas batubara diklasifikasikan
berdasarkan nilai kalor. Gas dengan kadar rendah-panas (juga disebut rendah-Btu)
memiliki nilai pemanasan di bawah 7 MJ m-3 dan terutama campuran nitrogen
dan karbon dioksida, dengan komponen yang mudah terbakar, yaitu karbon
monoksida, hidrogen, dan metana. Gas dengan kandungan panas tinggi (atau
tinggi Btu) memiliki nilai pemanasan sekitar 37 MJ/m 3 dan terutama terdiri dari
metana. Gas tersebut juga disebut gas alam pengganti atau sintetis atau SNG.
Medium-heat-content (atau medium Btu) gas memiliki nilai pemanasan antara 7
dan 15 MJ/m3. Gas di ujung bawah kisaran ini terdiri dari karbon monoksida dan
hidrogen, sedangkan gas di ujung yang lebih tinggi mengandung lebih banyak
metana udara dan abu,kondisi operasi utama, efisiensi gasifikasi, dan karakteristik.
Batubara pertama kali dihancurkan dan kadang dikeringkan, kemudian
dimasukkan ke dalam gasifier, di mana batubara bereaksi dengan uap dan udara
(oksigen). Reaksi gasifikasi biasanya terjadi pada tingkat tinggi suhu 800-1900C
dan tekanan tinggi hingga 10 MPa. Saat batubara dibakar dengan jumlah udara
stoikiometri yang kurang dengan atau tanpa uap, produknya lowheat-gas isi, yang
setelah pemurnian bisa digunakan sebagai bahan bakar gas. Menggunakan oksigen
di tempat udara menghasilkan gas dengan kadar panas sedang. Gas yang
dihasilkan digunakan sebagai sintetis gas. Beberapa CO dalam gas harus
direaksikan dengan uap untuk mendapatkan hidrogen tambahan. Langkah ini
disebut konversi pergeseran, yang membentuk rasio komponen gas yang tepat
tergantung pada kebutuhan gas sintetis yang berbeda untuk memproduksi bahan
bakar cair, SNG, amonia, atau metanol.

3.4.1 Chemistry of Coal Gasification


Gasifikasi batubara melibatkan dua tahap yang berbeda, yaitu
devolatilisasi yang diikuti oleh gasifikasi char. Devolatilisasi terjadi cukup cepat
karena batubara dipanaskan di atas suhu 400C. Selama periode ini, struktur
batubara diubah, menghasilkan char padat, tars, terkondensasi menjadi cairan dan
gas ringan. Distribusi produk devolatilisasi di bawah berbagai kondisi pemanasan
telah ditentukan. Ditemukan bahwa produk devolatilisasi dalam suasana gas inert
sangat berbeda dengan atmosfer yang mengandung hidrogen pada tekanan tinggi.
Setelah devolatilisasi char kemudian gasifikasi pada tingkat yang lebih rendah,
reaksi spesifik yang terjadi selama tahap kedua ini tergantung pada media
gasifikasi. Awalnya, batubara mengalami reaksi depolimerisasi yang mengarah ke
pembentukan produk metastable intermediate. Produk kemudian mengalami retak
dan rekondisi untuk menghasilkan evolusi gas dan minyak primer, menghasilkan
semichar. Setelah laju devolatilisasi telah berlalu maksimal, reaksi ketiga, di mana
semichar diubah menjadi char terutama melalui evolusi hidrogen menjadi penting.
Dalam atmosfer hidrogen pada tekanan tinggi, tambahan hasil metana atau
hidrokarbon gas ringan lainnya dapat terjadi selama tahap gasifikasi batubara awal
dari:
1) hidrogenasi langsung batubara atau semichar karena aktif antara terbentuk
dalam struktur batubara setelah pirolisa batubara. Hidrogenasi langsung
juga harus menghasilkan peningkatan jumlah karbon batubara yang
digasifikasi.
2) hidrogenasi gas lain hidrokarbon, minyak, tars, dan karbon oksida.
Kinetika reaksi laju cepat antara gas hidrogen dan zat antara aktif telah
dipelajari. Hal ini menunjukkan bahwa hidrogenasi langsung bergantung pada
tekanan parsial hidrogen. Hidrokarbon gas yang sangat meningkat yang dihasilkan
selama tahap gasifikasi batubara awal sangat penting dalam proses konversi
batubara menjadi SNG. Beberapa proses hidrogasifikasi batubara telah dirancang
dan diuji dan telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam efisiensi
proses secara keseluruhan.

3.4.2. Reaksi Gasifikasi Batubara


Bila batubara digasifikasi dalam kondisi praktis gasifikasi batubara, berikut reaksi
akan berlangsung selama gasifikasi:
1. Pirolisis

Coal Char(C) + Coal volatiles(VM) (1)

2. Hydrocracking

VM + H CH (2)

3. Gasification

VM + H O CO + H + (3)
4. Hydrogasification

C + H CH (4)
5. Gasification

C+HO CO + H + (5)

6. Gasification

C + CO CO + (6)

7. Shift Conversion
CO + H2O CO2 + H2 (7)
8. Combustion
C + O CO (8)
Coal volatiles meliputi semua gas, tar, dan gas hidrokarbon ringan. Reaksi
pirolisis terjadi pada semua kondisi gasifikasi. Tar mengalami reaksi
hydrocracking dan gasifikasi yang menghasilkan CH4, H2, dan CO. Char
mengalami reaksi hidrogasifikasi dan gasifikasi yang menghasilkan CH4, H2, dan
CO. Reaksi Shift Conversion terjadi di bawah semua kondisi gasifikasi. Sulfur,
nitrogen, dan oksigen yang ada dalam batubara diubah menjadi H2S, NH 3, dan
senyawa organik yang mengandung sulfur dan nitrogen dan H2O. Tingkat
konversi batubara bergantung pada termodinamika dan kinetika reaksi ini.
3.4.3. Termodinamika
Reaksi gasifikasi 5 dan 6 bersifat endotermik dengan entalpi H sekitar
120-160 KJ mol-1 dan di rekomendasikan pada suhu tinggi di atas 1000K.
Reaksi shift reaction dan hydrogasification cukup eksotermik dengan entalpi H
sekitar 32-88 KJ mol-1. Mereka disukai pada suhu rendah di bawah 1000 K.
Reaksi pembakaran 8 adalah reaksi eksotermik yang kuat dengan entalpi 376 KJ
mol-1. Konstanta kesetimbangan reaksi 8 menunjukkan bahwa reaksinya tidak
signifikan keterbatasan termodinamika pada suhu sampai 2500 K. Dalam kondisi
praktisgasifikasi batubara, reaksi pembakaran berlangsung sampai selesai
sementara gasifikasireaksi dan pendekatan pergeseran reaksi pseudoequilibrium.
BAB IV
PERBANDINGAN JURNAL

No Judul sistem Teknologi Katalis


1. Proses Gasifikasi Penggunaan basis Penggunaan Exxon
Batubara dengan dan hukum
reaktor fluidized
Menggunakan termodinamika pada
Katalsi Exxon awal proses bed dengan basis
termodinamika di
awal proses

2. Produksi Hidrogen Pembentukan energi Gasifier Fluid Potasium-


bearing
Yield Tinggi oleh dari gasifikasi Bed Katalis
Katalis Gasifikasi batubara yang dapat
Batubara atau berekstensi ke dalam
Biomassa biomassa.

3. Efek Katalis Logam Penentuan katalis Penggunaan Berbagai


logam
Alkali dalam logam alkali yang aqueous
alkali
Gasifikasi Arang paling optimal untuk impregnation.
Batubara coal char Dengan alat dried
dengan oven
vakum

4. Coal, Oil Shale, Efisiensi dan potensi Penggunaan Tidak


gasifier disebutkan
Natural Bitumen, terbesar untuk
BGC-L, HTW,
Heavy Oil and Peat memenuhi kontrol
U-Gas atau KRW,
emisi yang kuat
K-T, Prenflo,
dengan reaksi
SCGP, TCGP dan
gasifikasi batubara,
Dow dalam tiap
termodinamika, dan
proses
kinetika gasifikasi.

BAB V

KESIMPULAN

Jenis katalis yang sering digunakan adalah jenis logam alkali yang dapat
mempercepat proses reaksi dan menghasilkan produk yang baik. Begitu pula
dengan jenis gasifier yang dipakai yaitu dapat ditentukan dengan klasifikasi
parameternya seperti ukuran, toleransi kehalusan partike, toleransi kekerasan
partikel, dan sebagainya. Teknologi dari ke empat jurnal tersebu berbeda-beda
tergantung dengan kondisi operasi, jenis batubara yang dipakai hasil yang
diinginkan. Demikian pula akan reaksi yang ada pada pemrosesan gasifikasi
batubara, pada setiap reaksi memiliki H yang berbeda yang akan mempengaruhi
kinetika reaksi pada proses gasifikasi tersebut. Penentuan basis dan hukum
termodinamika juga perlu ditetapkan sebelum reaksi akan dilakukan.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN....1
1.1. Latar Belakang..........1
1.2. Rumusan Masalah .......2
1.3. Manfaat 2
1.4. Tujuan...2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................3
2.1. Teknologi pemanfaatan barubara......................3
2.2. Teknologi gasifikasi batubara. ..................4
2.3 Gasifikasi batubara....................5
2.4. Aplikasi gasifikasi batubara .......................10
BAB III JURNAL ......14
3.1. Proses Gasifikasi Batubara dengan Menggunakan Katalsi Exxon......14
3.2. Produksi Hidrogen Yield Tinggi oleh Katalis Gasifikasi Batubara........17
3.3. Efek Katalis Logam Alkali dalam Gasifikasi Arang Batubara...18
3.4. Coal, Oil Shale, Natural Bitumen, Heavy Oil and Peat..19
BAB IV PERBADINGAN JURNAL.23
BAB V KESIMPILAN...24
DAFRAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai