Anda di halaman 1dari 85

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, maka bangsa

Indonesia dituntut untuk beradaptasi dengan meningkatkan kualitas sumber daya

manusianya. Hal ini sangat penting demi kelangsungan kehidupan berbangsa dan

bernegara. Berbicara tentang kualitas sumber daya manusia, maka salah satu yang

paling terkait adalah pendidikan. Diakui bahwa perhatian pemerintah, pada dunia

pendidikan memang sudah cukup besar, dengan diadakannya berbagai perbaikan

di segala bidang pendidikan, antara salah satu sebabnya diduga diakibatkan oleh

tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum.

Pengembangan sumber daya manusia ke arah yang lebih berkualitas dalam

proses pendidikan sudah tentu tidak dapat dipisahkan dengan semua upaya yang

harus dilakukan. Hal ini dapat dibuktikam dari banyaknya penelitian yang

dilaksanakan guna peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran. Manusia yang

berkualitas itu, dilihat dari segi pendidikan, telah terkandung secara jelas dalam

tujuan pendidikan nasional, sebagaimana yang tertulis dalam UUD RI No. 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Pasal 3, yakni,

pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peseta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggung jawab.


Bercermin pada keterbatasan upaya lembaga pendidikan dalam membekali

nilai-nilai moral peserta didik selama ini telah mengilhami munculnya komitmen

dari sejumlah kalangan untuk memberikan pendidikan budi pekerti secara terpisah

dari beberapa mata pelajaran yang sudah ada. Atau, setidak-tidaknya dilakukan

penambahan porsi materi pendidikan budi pekerti pada pelajaran agama dan

PPKn.

Penerapan model pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar sangat

menentukan berhasil tidaknya pencapaian tujuan pembelajaran yang diinginkan

dan ketuntasan materi sesuai target kurikulum. Untuk menetapkan suatu model

pembelajaran yang efektif dan efisien, diperlukan patokan yang bersumber dari

beberapa faktor antara lain tujuan, siswa, jenis materi dan situasi.

Istilah strategi, sebagaimana banyak istilah lainnya, dipakai dalam banyak

konteks dengan makna yang tidak selalu sama. Di dalam konteks pembelajaran,

strategi berarti pola umum antara guru dan murid dalam perwujudan kegiatan

pembelajaran. Konsep strategi dalam hal ini merujuk kepada karakteristik abstrak

rentetan perbuatan guru dan murid di dalam peristiwa pembelajaran. Implicit

dibalik karakteristik itu adaah rasional yang membedakan strategi yang satu dari

strategi yang lain secara fundamental.

J.R David dalam Teaching Strategies for College Class Room (1976),

mengemukakan, A plan, method, or series of activities designed to achieves a

particular education goal. Menurut pengertian ini strategi pembelajaran meliputi

rencana, metode dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai

tujuan pengajaran tertentu.


Strategi pembelajaran juga tidak sama dengan metode pengajaran. Strategi

pembelajaran merupakan kegiatan rencana untuk mencapai tujuan, sedangkan

metode pengajaran adalah cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.

Metode pengajaran adalah untuk mengoperasionalkan apa yang direncanakan.

Strategi pembelajaran merupakan hal yang perlu diperhatikan guru dalam

proses pembelajaran.

1. Strategi makro dan mikro

Beberapa dari sejumlah teori yang berurusan dengan strategi mikro adalah

teori model pembentukan konsep taba, dan pnguasaan konsep Bruner. Untuk

strategi makro pengintegrasian sejumlah teori, seperti hierarki belajar Gagne,

teori spiral Bruner, analisis tugas Gropper, teori skema Mayer, urutan

subsumtive Ausubel, dan Webteaching dari Norman.

2. Strategi mikro

Selama bertahun-tahun, Gagne dan Briggs telah mengembangkan berbagai

teori pengajaran yang peprespektif. Teori pengajaran yang dikembangkannya

mempreskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan: (a)

3. Kapabilitas belajar

Untuk keperluan merancang pembelajaran, Gagne (1984) menemukan

kategori kapailitas yang didapat siswa, yaitu:

a. Informasi verbal artinya apabila siswa telah belajar ia dapat mengingat

kembali informasi tersebut. Indikator yang biasa digunakan untuk

menunjukkan kapabilitas ini berupa menyebutkan atau menuliskan

informasi seperti nama, kalimat, alasan, argumen, proposisi.


b. Keterampilan intelektual, siswa akan menggunakan keterampilan

intelektual apabila ia berinteraksi dengan lingkungan. Keterampilan

intelektual yang mencakup lima kategori:

1) Diskriminasi

Suatu kapabilitas untuk melakukan respon yang berbeda pada

perangsang yang memiliki dimensi fisik yang berbeda.

2) Konsep konkret

Siswa telah belajar konsep konkret apabila telah dapat

mengidentifikasi contoh-contoh baru (kelompok yang belum

dipelajari) dan sekelompok objek.

3) Konsep anstrak

Siswa telah belajar konsep abstrak apabila ia dapat menggunakan

kaidah itu pada sontoh-contoh yang tidak dipelajari sebelumnya.

4) Kaidah

Siswa telah belajar kaidah apabila, ia dapat menggunakan kaidah itu

pada contoh-contoh yang sebelumnya tidak dipelajari. Kaidah adalah

hubungan antar dua konsep atau lebih.

5) Kaidah tingkat lebih tinggi (pemecahan masalah)

Siswa telah mencapai kaidah tingkat tinggi apabila telah

menggunakan kaidah dua atau lebih, yang sudah dipelajari

sebelumnya untuk memecahkan masalah-masalah baru.

c. Strategi kognitif
Siswa telah belajar strategi kognitif apabila ia telah mengembangkan cara-

cara untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi proses berpikir dan

proses belajarnya.

d. Sikap

Sikap adalah keadaan mental yang kompleks dan siswa dapat

mempengaruhi pikirannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang

sifatnya pribadi terhadap orang lain, benda atau peristiwa.

e. Keterampilan motorik

Siswa telah mengembangkan keterampilan motorik apabila ia telah

menampilkan gerakan-gerakan fisik dalam menggunakan bahan atau

peralatan-peralatan menurut prosedur yang semestinya.

Pembelajaran aktif adalah suatu pembelajaran yang mengajak siswa untuk

belajar secara aktif. Menurut Hisyam Zaini dkk strategi pembelajaran aktif adalah:

1. Critical Incident (Pengalaman Penting)

Strategi ini digunakan untuk memulai pelajaran. Tujuan penggunaan strategi

ini untuk melibatkan siswa sejak awal dengan melihat pengalaman mereka.

Langkah-langkah strategi Critical Incident:

a. Sampaiakan kepada siswa topik atau materi yang akan dipelajari.

b. Beri kesempatan kepada siswa untuk mengingat pengalaman mereka yang

tidak terlupakan berkaitan dengan materi yang ada.

c. Tanyakan pengalaman apa yang menurut mereka tidak terlupakan.

d. Sampaikan mata pelajaran dengan mengingatkan pengalaman siswa

dengan materi yang akan disampaikan.


2. Prediction Guide (Tebak Pelajaran)

Strategi ini digunakan untuk melibatkan siswa dalam proses pembelajaran

secara aktif dari awal sampai akhir. Dengan menggunakan strategi ini, siswa

diharapkan dapat terlibat dalam pelajaran dan tetap memiliki perhatian ketika

guru menyampaikan materi. Langkah-langkah Prediction Guide (Tebak

Pelajaran) sebagai berikut:

a. Tentukan topik yang akan disampaikan.

b. Bagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil.

c. Guru meminta siswa untuk menebak apa saja yang kira-kira akan mereka

dapatkan dalam pelajaran.

d. Sampaikan materi pelajaran secara interaktif.

e. Selama proses pembelajaran siswa diminta untuk mengidentifikasi

tebakan mereka yang sesuai dengan materi yang akan disampaikan.

f. Di akhir pelajaran, tanyakan berapa jumlah tebakan mereka yang benar.

3. Group Resume (Resume Kelompok)

Sebuah resume menggambarkan hasil yang telah dicapai oleh individu.

Resume akan lebih menarik apabila dikerjakan secara berkelompok.

Langkah-langkah strategi Group Resume (Resume Kelompok) sebagai

berikut:

a. Bagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil terdiri dari 36 anggota.

b. Terangkan kepada siswa bahwa kelas mereka dipenuhi individu yang

penuh bakat dan pengalaman.


c. Sarankan bahwa salah satu cara untuk mengidentifikasi dan menunjukkan

kelebihan yang dimiliki kelas dengan membuat resume kelompok.

d. Bagikan kertas piano kepada masing-masing kelompok untuk membuat

resume mereka.

e. Minta masing-masing keompok untuk mempresentasikan resume mereka.

f. Untuk memperlancar, bagikan garis-garis besar yang dapat diisi masing-

masing kelompok.

4. Assessment Search (Menilai Kelas)

Strategi ini dapat dilakukan dalam waktu yang cepat dan sekaligus

melibatkan siswa yang saling mengenal dan bekerja sama. Langkah-langkah

dalam melakukan strategi Assessment Search (Menilai Kelas) sebagai berikut:

a. Buat 3 atau 4 pertanyaan untuk mengetahui kondisi kelas

b. Tuliskan pertanyaan tersebut sehingga dapat dijawab secara konkrit.

c. Bagi siswa menjadi kelompok kecil, beri masing-masing siswa satu

pertanyaan dan minta untuk menginterview teman satu kelompok.

d. Pastikan agar setiap siswa mempunyai pertanyaan sesuai dengan

bagiannya.

e. Meminta masing-masing kelompok untuk menyelesaikan dan meringkas

data dari hasil interview yang telah dilakukan.

f. Minta masing-masing kelompok untuk melaporkan hasil dari apa yang

mereka pelajari dari temannya di kelas.

5. Questions Student Have (Pertanyaan dari siswa)

6. Active Knowledge Sharing (Saling Tukar Pengetahuan)


7. Listening Teams (Tim Pendengar)

8. Synergetik Teaching (Pengajaran Sinergis)

9. Active Debate (Debat Aktif)

10. Jigsaw Learning (Belajar Metode Jigsaw)

11. Student Team Achievment Division (STAD)

12. Everyone Is A Teacher Here (Setiap Orang Adalah Guru)

Melaksanakan tugas secara profesional, seorang guru memerlukan wawasan

yang mantap tentang kemungkinan-kemungkinan strategi pembelajaran sesuai

dengan tujuan-tujuan belajar. kegiatan pembelajaran adalah suatu kondisi dengan

sengaja diciptakan. Guru menciptakan guna membelajarkan anak didik, guru

mengajarkan dan anak didik yang belajar. perpaduan kedua unsur manusiawai

melahirkan interaksi edukatif dengan manfaatkan bahan sebagai mediumnya.

Sebagai guru mengharuskan menciptakan kondisi pembelajaran yang dapat

mengantarkan anak didiknya sampai ke tujuan. Tugas guru berusaha menciptakan

suasana belajar yang menggairahkan dan menyenangkan bagi semua anak didik.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah secara umum

atau mata pelajaran geografi secara khusus diperlukan perubahan dalam pola pikir

yang digunakan sebagai landasan pendidikan. Pada masa lalu proses belajar

mengajar untuk mata pelajaran geografi pada khususnya terlalu berfokus pada

guru dan kurang berfokus pada siswa. Akibatnya kegiatan belajar mengajar lebih

menekakan kepada pengajaran dari pada pembelajaran. Kata pembelajaran dapat

diartikan sebagai perubahan dalam kemampuan, sikap atau perilaku siswa yang

relatif permanen sebagai akibat dari pengalaman atau latihan. Perubahan


kemampuan yang hanya berlaku sekejap dan kemudian kembali seperti semula

belum terjadi pembelajaran, walaupun mungkin terjadi pengajaran. Tugas seorang

guru adalah membuat agar terjadi pembelajaran pada siswa.

Selain fokus pada siswa, pola pikir pembelajaran perlu diubah dari sekedar

memahami konsep dan prinsip keilmuan, yaitu kepada kandungan ilmu, siswa

juga harus memiliki kemampuan untku berbuat sesuatu dengan menggunakan

konsep dan prinsip keilmuan yang telah dikuasai, selain terjadi learning to know

(Pembelajaran Untuk Tahu), juga harus terjadi learning to do (Pembelajaran

Untuk Membuat). Kemampuan untuk berbuat sesuatu berdasar pada pengetahuan

yang dimiliki membentuk kompetensi seseorang.

Upaya peningkatan kuailtas pendidikan terus-menerus dilakukan, baik

secara konvensional maupun inovatif, namun hingga saat ini belum menunjukkan

peningkatan yang berarti. Dalam kaitan dengan pendidikan nasional, (Mulyasa,

2003: 4) mengemukakan bahwa pendidikan nasional dewasa ini dihadapkan pada

empat krisis pokok yang berkaitan dengan kuantitas, relevensi atau efesiensi

eksternal, elitisme dan manajemen. Ada enam masalah pokok sistem pendidikan

nasional, yaitu: (1) Menurunnya akhlak dan moral peserta didik; (2) Pemerataan

kesempatan belajar; (3) Masih rendahnya efisiensi enternal sistem pendidikan; (4)

Status kelembagaan; (5) Manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan

pembangunan nasional; dan (6) Sumber daya yang belum profesional.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan seperangkat rencana

dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh

siswa, penilaian kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya


pendidikan dalam rangka pengembangan kurikulum sekolah. Menurut Boediono

(2002: 1), kurikulum berbasis kompetensi memiliki ciri sevagai berikut:

1. Menekankan kepada ketercapaian kompetensi siswa, maupun secara

individual maupun klasikal.

2. Berorientasi pada hasil belajar.

3. Penyampaian materi dengan metode yang bervariasi.

4. Sumber belajar yang memenuhi unsur edukatif.

5. Penilaian penakanan pada proses dan hasil belajar.

Berdasarkan pengamatan, pemahaman penerapan KBK masih jauh dari

harapan. Bahkan secara nasional tidak tersedia tutor yang benar-benar paham

primsip-prinsip maupun penerapan dari KBK secara tuntas. Para guru belum

mengenal pengajaran khususnya pada mata pelajaran geografi dengan

menggunakan penggabungan beberapa mata pelajaran lain. Bahkan masing asing

didengar oleh para guru. Kurikulum hanya dikenal secara parsial sehingga guru

belum memahami konstelasi bidang yang diajarkannya. Dalam penerapan

Kurikulum Berbasis Kompetensi saat ini, dapat diterapkan metode pembelajaran

Contextual Teaching and Learning (CTL), dimana metode ini terdapat salah satu

komponen pembelajaran yaitu Konstruktivisme.

Penerapan model pembelajaran konstruktivisme yang merupakan komponen

dari Contextual Teaching and Learning (CTL), secara umum dari semua guru

mapu melaksanakan dengan maksimal khususnya pada guru geografi. Banyak

faktor yang menjadi penghambat dalam proses penerapan tersebut, sehingga

tujuan yang tercantum dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi tidak dapat


terwujud dengan baik. Beberapa hambatan yang mungkin timbul, misalnya dalam

kegiatan belajar mengajar, ketersediaan fasilitas dan sumber belajar, siswa sebagai

subyek belajar, alokasi waktu yang telah ditetapkan dan pelaksanaan penelitian.

Pemilihan Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Alla sebagai lokasi

penelitian, mengingat bahwa sekolah ini merupakan salah satu sekolah menengah

yang ada di Kecamatan Alla yang masih memberlakukan Kurikulum Berbasis

Kompetensi (KBK), patut untuk dilibatkan dalam sebuah penelitian untuk melihat

bagaimana permasalahan-permasalahan pendidikan dapat diatasi dengan

menerapkan pilar-pilar atau model-model pembelajaran yang tepat dan sesuai

khususnya pada mata pelajaran geografi. Dalam rangka penerapan Kurikulum

Berbasis Kompetensi (KBK) secara menyeluruh, SMP Negeri 3 Alla sudah

saatnya untuk mengenal pilar-pilar atau model-model pembelajaran yang tertuang

dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yakni: Inquri (Menemukan),

Questioning (Bertanya), Learning Community (Masyarakat Belajar), Modeling

(Pemodelan), Reflection (Refleksi), Autentik Assessment (Penilaian Sebenarnya)

dan Contructivisme (Konstruktivisme).

Kurikulum merupakan alat pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan

yang telah ditentukan. Tafsiran tentang kurikulum dapat dalam arti luas dan arti

sempit. Dalam studi tentang kukrikulum kita akan menemukan berbagai definisi

yang seringkali berbeda antara yang satu dengan yang lain. Namun para ahli

dalam bidang tersebut umumnya sependapat bahwa kurikulum adalah suatu alat

yang amat penting dalam rangka merealisasikan dan mencapai tujuan pendidikan

sekolah.
Kurikulum yang dilaksanakan di sekolah-sekolah kita dewasa ini memiliki

organisasi yang terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut:

a. Prinsip-Prinsip Dasar

b. Dasar dan tujuan pendidikan

c. Tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan institusional

d. Susunan kurikulum

e. Program pengajaran dan metode penyampaian

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis sebagai calon pendidik bermaksud

melakukan penelitian yang memfokuskan pada hambatan guru geografi yang

menerapkan salah satu model pembelajaran yang tertuang dalam Kurikulum

Berbasis Kompetensi (KBK) yang masih merupakan komponen dari pendekatan

kontekstual (CTL) yaitu konstruktivisme di SMP Negeri 3 Alla pada mata

pelajaran geografi. Oleh karena itu, penulis mengangkat sebuah judul penelitian

yakni: Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivisme dan Hambatannya pada

Mata Pelajaran Geografi di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk penerapan model pembelajaran konstruktivisme pada mata

pelajaran geografi di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang?

2. Bagaimana gambaran pemahaman guru tentang model pembelajaran

konstruktivisme mata pelajaran geografi di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten

Enrekang?
3. Hambatan apa yang dihadapi oleh guru dalam penerapan model pembelajaran

konstruktivisme pada mata pelajaran geografi di SMP Negeri 3 Alla

Kabupaten Enrekang?

4. Upaya-upaya apa yang ditempuh oleh guru mata pelajaran geografi untuk

menanggulangi hambatan yang dialami dalam penerapan model pembelajaran

konstruktivisme di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk penerapan model pembelajaran

konstruktivisme pada mata pelajaran geografi di SMP Negeri 3 Alla

Kabupaten Enrekang.

2. Untk mengetahui bagaimana gambaran pemahaman guru tentang model

pembelajaran konstruktivisme mata pelajaran geografi di SMP Negeri 3 Alla

Kabupaten Enrekang.

3. Untk mengetahui hambatan apa yang dihadapi oleh guru dalam penerapan

model pembelajaran konstruktivisme pada mata pelajaran geografi di SMP

Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang.

4. Untuk mengetahui upaya pemecahan yang ditempuh oleh guru untuk

menanggulangi masalah yang berkaitan dalam penerapan model pembelajaran

konstruktivisme pada mata pelajaran geografi.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Untuk memberikan gambaran secara umum tentang hambatan yang dialami

oleh guru dalam penerapan model pembelajaran konstruktivisme pada mata

pelajaran geografi.

2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada kepala sekolah tentang cara

penanggulangan masalah penerapan konstruktivisme dalam proses belajar

mengajar.

3. Melatih penulis dalam mengaplikasikan teori dan pemecahan masalah secara

sistematis melalui metode ilmiah.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Hasil Belajar Geografi

a. Geografi

Geografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu geos yang berarti ilmu dan

grafien yang berarti mencitrakan, melukiskan atau menguraikan tentang bumi.

Jadi secara sederhana geografi diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang

mencitrakan, melukiskan dan menguraikan tentang bumi. Geografi yang dahulu

dikenal dengan sebutan ilmu bumi pertama kali dikemukakan oleh Erasthotenes

pada tahun 276-196 SM dalam karyanya yang berjudul Geographika (Mulyono B,

2003: 3).

Sejak pertemuan para pakar geografi se-Indonesia di Semarang pada tahun

1972, istilah ilmu bumi tidak dipakai lagi sebagai sebutan nama mata pelajaran di

sekolah. Sebagai gantinya memakai nama geografi. Adapun alasan utama

menggunakan sebutan geografi karena banyak cabang pengetahuan yang sama-

sama mempelajari tentang bumi, diantaranya dapat juga disebut sebagai ilmu

bumi yang memiliki pusat perhatian dan kajian yang berbeda. Geografi

memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang terjadi di muka bumi baik yang

menyangkut keadaan lingkungan alam maupun kehidupan di muka bumi.

Batasan tentang pengertian geografi sebagai pengetahuan yang mempelajari

permukaan bumi telah ada sejak geografi tumbuh sebagai ilmu. Sehingga para ahli

geografi mengemukakan batasan kajian geografi misalnya menurut Ferdinan Von


Richthofen (Mulyono B, 1003: 4), Geografi sebagai ilmu mempelajari gejala dan

sifat-sifat permukaan bumi dan penduduknya, serta menerangkan hubungan sebab

akibat ataupun terdapatnya gejala dan sifat-sifat itu secara bersama. Bintarto

(Mulyono B, 2003: 5) mengungkapkan Geografi adalah ilmu pengetahuan yang

mencitrakan, menerapkan sifat-sifat bumi, menganalisis gejala-gejala alam dan

bentuk serta mempelajarai corak dan khas mengenai penghidupan dan berusaha

mencari fungsi dari unsur-unsur bumi dalam ruang dan waktu. Dan berdasarkan

hasil seminar dan lokakarya Geografi di Semarang tahun 1988, Geografi adalah

pengetahuan mengenai persamaan dan perbedaan gejala alam dan kehidupan di

bumi ini (gejala geosfer) serta interaksi manusia dengan lingkungannya dalam

konteks keruangan dan kewilayahan.

Geografi di Indonesia sudah lama menjadi bahan pelajaran di sekolah, mulai

sekolah dasar hingga menengah. Namun, dari waktu ke waktu kedudukannya

berubah-ubah pada saat ini banyak orang menggolongkan geografi ke dalam ilmu

pengetahuan sosial meskipun sasaran kajian geografi sebagai ilmu mencakup ilmu

pengetahuan alam.

b. Pengertian Belajar

Pengertian belajar menurut Skinner (1985) mengartikan belajar sebagai

suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara

progresif. Hilgard dan Bower (1975) (Fathurrohman, 2007: 5) mengemukakan

bahwa:

Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap

sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang


berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak

dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan

atau keadaan-keadaan sesaat seseorang.

Belajar menurut R. Gagne (Haling, 2004: 9) belajar adalah suatu proses

dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman. Suatu

kegiatan dapat dikatakan belajar apabila memiliki tiga-tiga ciri-ciri sebagai

berikut:

1) Belajar adalah perubahan tingkah laku.

2) Perubahan terjadi karena latihan dan pengalaman, bukan karena

pertumbuhan.

3) Perubahan tersebut harus bersifat permanen dan tetap ada untuk waktu

yang cukup lama.

Slameto (1995: 2) berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses usaha

yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang

baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam

berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan Thursan Hakim (Fathurrohman,

2007: 6) mengartikan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan di dalam

kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk

peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah

suatu proses perubahan tingkah laku pada diri individu yang sifatnya dapat

bertahan cukup lama dan perubahan itu terjadi bukan secara kebetulan tetapi

karena latihan dan pengalaman saat berinteraksi dengan lingkungannya.


Perubahan tingkah laku yang dimaksud berupa perubahan pengetahuan, sikap,

keterampilan, pemahaman dan aspek-aspek lain yang ada pada diri individu.

c. Hasil Belajar

Sasaran dari kegiatan belajar adalah hasil belajar. apabila proses belajar

berjalan dengan baik, maka hasil belajar akan baik pula. Artinya hasil belajar

harus bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pengajar dalam menyelesaikan suatu

masalah dan sebagai pertimbangan dalam langkah selanjutnya. Hasil belajar

adalah prestasi yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar

yang berkenaan dengan materi suatu mata pelajaran. Hasil belajar ini dapat diukur

dengan menggunakan tes hasil belajar.

Adapun pengertian hasil belajar menurut Sujana (1989: 34), bahwa hasil

belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima

pengalaman belajar. sedangkan menurut Soedijarto (Nuramar, 2007: 8)

mengemukakan bahwa hasil belajar adalah tingkat penguasaan yang dicapai oleh

pelajar dalam mengikuti program belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidik

yang diterapkan. Hasil belajar dalam hal ini meliputi kawasan kognitif, afektif,

dan kecakapan belajar seorang pelajar.

Dalam proses belajar mengajar, hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai

siswa penting diketahui oleh guru, agar guru dapat merencanakan/mendesain

pengajaran secara tepat dan penuh arti. Setiap proses belajar mengajar

keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa, di

samping diukur dari segi prosesnya. Artinya seberapa jauh hasil belajar dimiliiki

siswa.
Peristiwa belajar sendiri adalah alat untuk mencapai tujuan pengajaran. Ada

beberapa pendapat yang melihat peristiwa belajar. Dari semua pendapat dapat

dibagi menjadi tiga sudut pandang. Yakni (a) melihat belajar sebagai proses, (b)

melihat belajar sebagai hasil, (c) melihat belajar sebagai fungsi. Ketiga cara

memandang ini penting bagi guru, karenantugas guru adalah membina,

membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa agar memperoleh hasil

yang telah dirancang sebelumnya.

Benyamin Bloom (Sudjana, 1989: 46) berpendaat bahwa tujuan pendidikan

yang hendak dicapai digolongkan menjadi tiga bidang, yakni kognitif, afektif, dan

psikomotor. Klasifikasi kognitif terdiri atas:

1) Pengetahuan merupakan pengingat bahan-bahan yang telah dipelajari,

mulai dari fakta sampai teori, yang menyangkut informasi yang

bermanfaat.

2) Pemahaman mengacu kepada kemampuan memahami makna materi.

3) Penerapan (Aplikasi) merupakan kemampuan menggunakan atau

menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan

menyangkut penggunaan aturan dan prinsip.

4) Analisis (pengkajian) merupakan kemampuan menguraikan materi ke

dalam komponen-komponen atau faktor penyebabnya dan mampu

memahami hubungan diantara bagian yang satu dengan yang lainnya

sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti.


5) Sintesis mengacu kepada kemampuan memadukan konsep atau

komponen-komponen sehingga membentuk suatu pola struktur atau

bentuk baru.

6) Evaluasi merupakan kemampuan memberikan pertimbangan terhadap

nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu.

Klasifikasi tujuan afektif terbagi dalam 5 kategori yaitu:

1) Penerimaan merupakan suatu keadaan sadar, kemauan untuk menerima,

perhatian terpilih.

2) Pemberian respon merupakan suatu sikap terbuka ke arah sambutan.

3) Penilaian mengacu kepada nilai atau pentingnya kita menterikatkan diri

pada objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima,

menolak, atau tidak menghiraukan.

4) Pengorganisasian mengacu kepada penyatuan nilai,

5) Karakteristik mengacu kepada karakter dan gaya hidup seseorang.

Klasifikasi tujuan psikomotor terbagi dalam tujuh kategori yaitu persepsi,

kesiapan, respon terbimbing, mekanis, respon terpola, penyesuaian dan keaslian.

Hasil belajar bidang psikomotor tampak dalam bentuk keterampilan (skill),

kemampuan bertindak individu.

Tujuan pendidikan yang ingin dicapai yakni bidang kognitif (penguasaan

intelektual), bidang afektif (hubungan dengan sikap dan nilai), serta bidang

psikomotor (kemampuan/ keterampilan bertindak/berprilaku). Ketiganya tidak

berdiri sendiri, tapi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, bahkan

membentuk hubungan yang hirarki. Sebagai tujuan yang hendak dicapai,


ketiganya harus nampak sebagai hasil belajar siswa di sekolah. Oleh sebab itu,

ketiga aspek tersebut, harus dipandang sebagai hasil belajar siswa, dari proses

pengajaran. Hasil belajar tersebut nampak dalam perubahan tingkah laku, secara

teknik dirumuskan dalam sebuah pernyataan variabel melalui tujuan pengajaran

(tujun instruksional).

d. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Menurut Slameto (1995: 56) faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar

adalah:

1) Faktor interen yang terdri dari:

a. Faktor jasmaniah seperti kesehatan, cacat tubuh.

b. Faktor psikologi antara lain: perhatian, minat, bakat dna motivasi.

c. Faktor kelelahan. Dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:

kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh timbul

kecenderunagn untuk membaringkan tubuh dan kelelahan rohani

dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat

dan dorongan untuk sesuatu hilang.

2) Faktor eksteren yang teridiri dari:

a. Faktor keluarga meliputi: cara orang tua mendidik, relasi antar

anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomis keluarga,

pengertian orang tua dan latar belakang kebudayaan.

b. Faktor seklah meliputi: gru sebagai pengajar, metode mengajar, alat

pengajaran, disiplun sekolah, relasi guru dengan siswa, waktu

sekolah dan standar pelajaran di atas ukuran.


2. Konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi

a. Pengertian kurikulum berbasis kompetensi

Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin yaitu curriculum, semula

berarti a running course, or rase course, especially a chariot rase course dan

dapat pula dalam bahasa Prancis courier artinya turun, berlari. Kemudian

diartikan sebagai sejumlah mata pelajara yang harus ditempuh untuk mencapai

suatu gelar atau ijazah.

Kebijakan pemerintah menggunakan kurikulum berbasis kompetensi sesuai

dengan PP Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan

kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, khususnya bidang pendidikan dan

kebudayaan yang menyatakan bahwa wewenang pemerintah pusat diantaranya

adalah penetapan standar kompetensi peserta didik dan warge belajar serta

pedoman pelaksanaannya dan penetapan standar materi pelajaran pokok. Adanya

ketentuan diberi wewenang pemerintah untuk menetapkan standar kompetensi

untuk semua jenjang pendidikan. Dalam penetapan standar materi pelajaran pokok

mata pelajaran geografi ditetapkan pada tingkat pertama dan tingkat atas dan pada

tingkat dasar materi pelajaran geografi yang diberikan pada peserta didik masuk

dalam satu konsep dasar yaitu ilmu pengetahuan sosial.

Pendidikan adalah sebuah sistem. Setiap sistem, memppunyai tujuan.

Tujuan suatu lembaga pendidikan ialah memberikan layanan pendidikan kepada

yang membutuhkannya. Adanya tujuan yang harus dicapai oleh satu sistem

menuntut terlaksananya berbagai fungsi yang diperlukan untuk menunjang usaha

mencapai tujuan itu, yaitu dengan menghasilkan murid yang berkualitas baik,
apabila di sekolah dapat terlaksana berbagai fungsi pengelolaan, fungsi kegiatan

belajar mengajar, fungsi berbagai pelayanan, fungsi penilaian, fungsi pengalaman

lapangan yang bertujuan.

Pendidikan terdiri atas berbagai komponen yang saling berpengaruh dan

berkaitan. Komponen yang paling memegang peranan penting dan merupakan

kunci pokok bagi keberhasilan peningkatan mutu pendidikan adalah guru. Untuk

itu, kemampuan profesional guru perlu ditingkatkan dan dikembangkan dengan

berbagai upaya, antara lain melalui pendidikan.

Persoalan belajar tidak dapat dipisahkan dengan pemaknaan hakikat

manusia baik yang belajar maupun yang membelajarkan. Persoalan belajar terus

menjadi masalah yang menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Dalam keseluruhan pencapaian tujuan pendidikan, kegiatan belajar

merupakan kegiatan yang paling pokok. Hal ini berarti bahwa berhasil tidaknya

pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung kepada proses belajar yang

dialami individu yang melaksanakan proses belajar tersebut.

Salah satu akhir dari proses belajar yang diinginkan oleh setiap individu

yang belajar adalah tercapainya hasil yang diharapkan dari proses belajar tersebut.

Pada umumnya, hasil belajar yang baik adalah belajar yang dapat mempengaruhi

tindakan-tindakan individu yang melaksanakan proses belajar tersebut. Hasil

belajar juga sering diidentikkan dengan prestasi belajar. Oleh karena itu,

tantangan terbesar yang dihadapi guru di sekolah dan orang tua di rumah adalah

bagaimana meningkatkan prestesi belajar murid.


Prestasi belajar merupakan dambaan setiap murid yang melakukan proses

belajar. Prestasi belajar tidak akan tercapai tanpa adanya proses belajar yang

efektif. Oleh karena itu, diperlukan berbagai cara yang dapat menciptakan belajar

dapat terwujud terhadap tercapainya prestasi belajar, sesuai dengan yang

diharapkan. Salah satu cara yang dapat digunakan pendidik dalam hal ini guru

untuk meningkatan prestasi belajar adalah pemberian bimbingan terhadap murid.

Kegiatan belajar yang dilaksanakan oleh guru hendaknya memperhatikan

berbagai segi dan karakter dari murid sebagai bentuk bimbingan dalam

melaksanakan proses pembelajaran.

Pendidikan sebagai usaha mewariskan dan mewarisi budaya kebudayaan

sangatlah berkepentingan dengan bahasa. Pendidikan sangatlah tergantung kepada

bahasa yang digunakan dalam proses penyelenggaraannya. Kelancaran dan

ketetapan komunikasi itu akan tercapai jika pemakai bahasa menggunakan bahasa

yang sesuai dengan situasi dan kondisi si pemakai bahasa itu.

Pewarisan kebudayaan bukanlah satu-satunya tumpuan di dalam

pendidikan. Pendidikan diharapkan menghasilkan anak didik yang kreatif dan

penuh inisiatif. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan hanya tergantung pada

bahasa yang digunakan dalam proses penyelenggaraannya. Isi pendidikan

dikomunikasikan kepada seseorang melalui bahasa. Bahasa merupakan prilaku di

dalam lingkup buadaya seseorang atau sekelompok orang yang terlibat di dalam

proses pendidikan itu.


Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai,

dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Mc Ahsan

dalam (Mulyasa, 2003: 38) mengemukakan bahwa:

Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan

yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya

sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, efektif dan

psikomotorik dengan sebaik-baiknya.

Berdasarkan pengertian kompetensi di atas, Mulyasa (2003: 39)

mengungkapkan bahwa:

Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dapat diartikan sebagai satu konsep

kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan

(kompetensi), tugas-tugas, dan standar performance tertentu sehingga

hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa penguasaan terhadap

seperangkat kompetensi tertentu.

b. Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi antara lain mencakup seleksi

kompetensi yang sesuai: spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk

menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi dan pengembangan sistem

pembelajaran. Depdiknas (2002) dalam (Mulyasa, 2002: 42) mengemukakan

bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki karakteristik sebagai berikut:

(1) Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual

maupun klasial; (2) Berorientasi pada hasil belajar (Learning outcomes) dan

keragaman; (3) Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan


metode yang bervariasi; (4) Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber

belajar lainnya memenuhi unsur edukatif; (5) Penilaian menekankan pada proses

dan hasil belajar dalam upaya penguasaan dan pencapaian suatu kompetensi.

Mulyasa (2003: 42) mengungkapkan bahwa karakteristik kurikulum

berbasis kompetensi yaitu: (1) Sistem belajar dengan modul; (2) Menggunakan

keseluruhan sumber belajar; (3) Pengalaman lapangan; (4) Strategi individual

personil; (5) Kemudahan belajar; (6) Belajar tunta.

c. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Indikator merupakan acuan dalam menentukan tagihan berupa ujian ataupun

bentuk lain dan harus diukur. Standar kompetensi dan kompetensi dasar nasional

menjadi acuan bagi sekolah-sekolah atau daerah-daerah untuk mengembangkan

silabus dan sistem penilaian. Indikator dikembangkan dari kompetensi dasar

dengan menggunakan kata kedua operasional dengan tingkat berpikir menengah

dan tinggi. Indikator juga dapat digunakan untuk mengembangkan instrumen

notes, seperti pengukuran bakat, minat, sikap, motivasi dan sejenisnya.

d. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

Mulyasa (2003: 93) mengungkapkan bahwa implementasi merupakan

suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan

praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan,

leterampilan maupun sikap. Berdasarkan defenisi implementasi tersebut,

implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat didefinisikan sebagai suatu

proses penerapan ide, konsep, dan kebijakan kurikulum (kurikulum potensial)

dalam suatu aktivitas pembelajaran, sehingga peserta didik menguasai perangkat


kompetensi tertentu, sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Implementasi

kurikulum dapat pula dikatakan operasionalisasi kurikulum yang masih bersifat

potensial (tertulis) menjadi aktual dalam bentuk kegiatan pembelajaran.

3. Tinjauan Tentang Pendekatan Kontekstual (CTL)

Salah satu komponen dari pembelajaran melalui pendekatan kontekstual

(CTL) adalah penilaian yang sesungguhnya (Authentic assessment). CTL ini

merupakan salah satu pendekatan dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK)

yang akan diterapkan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah sejak tahun

2004. Penerapan pembelajaran yang berbasis kompetensi memerlukan guru yang

memahami dan mampu menyajikan suatu lingkungan belajar yang dapat

membangun dan memperluas pengalaman siswa sebelumnya dan responsi

terhadap keragaman tipe pembelajaran siswa.

Kontekstual adalah proses yang membantu siswa melihat makna dalam

bahan pembelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan dengan

konteks kehidupan mereka sehari-hari. Sedangkan the washington state

consertion. Merumuskan pengertian dari pengajaran kontekstual dalah pengajaran

yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas dan menerapkan

pengetahuan dan keterampilan akademisnya.

Dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK), seorang guru diharapkan

mamapu merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan

mental siswa, mempertimbangkan keragaman siswa, menggunakan teknik-teknik

bertanya untuk meningkatkan pembelajaran siswa. Pembelajaran yang berbasis


kompetensi memerlukan seseorang guru yang mampu menggunakan penilaian

yang kontekstual pula yaitu authentic assessment.

Secara terminologis authentic assessment dapat diartikan sebagai penilaian

nyata, dalam arti penilaian dengan menggunakan berbagai bukti/bahan yang

nyata yang dimiliki atau dilakukan subjek belajar. Teknik evaluasi ini memonitor

kemampuan subjek belajar bukan saja dalam penguasaan/pemahaman materi

pelajaran, namum juga dalam melakukan tindakan nyata dan atau menghasilkan

suatu karya nyata sebagai wujud dari perolehan/pemahamannya atas materi dalam

pembelajaran.

Pada dasarnya authentic assessment merupakan suatu prosedur penilaian

yang dilakukan untuk memperoleh informasi sebanyak mungkin tentang seberapa

baik subjek belajar dalam satu mata pelajaran melalui indikator penguasaan

materi, pengamatan hasil-hasil pekerjaan dan tugas. Dalam beberapa bentuk yang

dikembangkan dengan alat evaluasi ini, penilaian sering dilakukan melalaui

penyajjian atau penampilan oleh peserta didik dalam bentuk pemberian tugas-

tugas atau berbagai aktivitas tertentu yang secara langsung mempunyai makna

dalam pendidikan.

Pendekatan kontekstual merupakan konsep dasar yang membantu guru

mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan

mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya

dengan penerapan dalam kehidupan mereka dengan konsep ini hasil pembelajaran

lebih bermakna bagi siswa. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna

belajar, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Ada beberapa
komponen dalam pembelajaran kontekstual yakni, Konstruktivisme, Bertanya,

Menemukan, Masyarakat belajar, Pemodelan, dan Penilaian sebenarnya.

4. Tinjauan Tentang Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (Filosoft) pendekatan CTL

(Contextual Teaching and Learning), yaitu bahwa pengetahuan dobangun oleh

manusia sedikit demi sedikit dan hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas

(sempit). Sepengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah

yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan

mereka melalaui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar, siswa

menjadi pusat kegiatan dan bukan guru, Hamsah (2004: 4).

Siswa perlu dibiasakan untuk memecah masalah, menemukan sesuatu yang

bagi dirinya dan bergaul dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan

semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkontruksikan pengetahuan di

benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide. Siswa harus

menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain dan

apabila dikehendaki, informasi itu enjadi milik mereka sendiri.

Landasan teori konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum

obyektivitas, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan

konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibanding seberapa

kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri dan menyediakan

siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

Pembelajaran sosial tentang ide-ide konstruktivisme modern banyak

berlandaskan pada teori Vygotsky, yang telah digunakan untuk menunjang


metode pengajaran yang menekankan pada pembelajran kooperatif, pembelajaran

proyek, dan penemuan sendiri. Menurut Mohamad Nur (1998), empat prinsip

dalam model pembelajaran konstruktivisme adalah: 1) penekanan pada hakekat

sosial dari pembelajaran, 2) siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu

berbeda dalam zona perkembangan terdekat merek, 3) melibatkan siswa dalam

belajar kelompok kooperatif heterogen dimana siswa yang pandai membantu

siswa yang agak kekurangan dalam belajar, dan 4) siswa seharusnya diberikan

tugas yang kompleks atau sulit sehingga merangsang kretivitas siswa untuk

berpikir.

Teori-teori Neo-Piaget merupakan modivikasi terkini atas teori Piaget yang

berupaya untuk mengatasi keterbatasan dalam proses pembelajaran sebelumnya.

Menurut teori Piaget, perkembangan mendahului pembelajaran dengan kata lain

struktur kognitif perlu berkembang sebelum jenis pembelajaran tertentu dapat

terjadi. Adanya penerapan model pembelajaran konstruktivisme di setiap sekolah,

maka diharapkan sikap siswa pasif selamam kegiatan pembelajaran berlangsung

dapat diminimalkan, tetapi dalam penerapan banyak masalah yang menjadi

kendala misalnya keterbatasan sarana penunjang, literature dan ruang kelas yang

sempit (Anonim, 2004: 23).

Model pembelajaran konstruktivisme melibatkan bahwa pembelajaran

merupakan proses aktif dalam membuat sebuah pengalaman menjadi masuk akal,

dan proses ini sangat dipengaruhi oleh apa yang sudah diketahui orang

sebelumnya. Karena itu, dalam setiap kegiatan belajar guru harus memperoleh,

atau sampai pada persamaan dan pemahaman dengan murid. Dalam model
konstruktivisme, pelajaran melibatkan negosiasi (pertukaran pikiran) dan

interpretasi. Wacana penyesuaian pikiran ini dapat dilakukan antara murid dan

guru, atau antara sesama murid. Karena itu strategi pembelajaran kooperatif (kerja

sama) adalah sangat kecil. Dalam model konstruktivisme harus tercipta hubungan

kerjasama antara guru dengan murid dan antara sesama murid. Beberapa butir di

bawah ini perlu diingat dalam strategi belajar mengajar dengan menggunakan

model konstruktivisme: 1) Pusat kegiatan belajar mengajar adalah peserta didik

yang aktif. (2) Pembelajaran dimulai dari yang sudah diketahui dan sudah

dipahami peserta didik. (3) Bangkitkan motivasi belajar peserta didik dengan

membuat materi pelajaran sebagai hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan

peserta didik. (4) Guru harus segera mengenali materi pelajaran dan metode

pembelajaran yang membuat peserta didik bosan.

Driver dan Oldham dalam Paul Suparno (1997: 69) mengemukakan

beberapa bentuk dan cara pelaksanaan mengajar konstruktivisme sebagai berikut:

1. Mediator dan Fasilitator. Meyakinkan apa yang siswa ketahui,

merangkai tigas-tugas sehingga mereka dapat membangun pengethuan.

Murid mencari arti atau makna dalam materi yang dipelajari. Memonitor

pengertian siswa, membimbing diskusi sehingga setiap siswa aktif dan

mendapat kesempatan untuk mengungkapkan pengertiannya. Guru juga

aktif dalam mencari penjelasan, menanyakan kebenaran yang

mengevaluasi altermatif yang ada. Guru berfungi sebagai pemandu dan

sekaligus teman belajar. Inilah dasar pelaksanaan model pembelajaran

konstruktivisme.
2. Orientasi. Murid diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi

dalam mempelajari topik. Murid diberi kesempatan untuk mengadakan

observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.

3. Elicitasi. Murid dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas

dengan berdiskusi, menulis, membuat laporan dan lain-lain. Murid

diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang telah didapat dalam

pelajaran, dalam wujud tulisan.

4. Restrukurisasi. Dalam hal ini ada tiga hal:

a. Klarifikasi ide yang dikontruksikan dengan ide-ide orang lain atau

teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide untuk dapat

terangsang, untuk merekonstruksikan gagasannya.

b. Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila idenya bertentangan

dengan ide yang lain.

c. Mengevaluasi ide barunya dengan persoalan baru.

5. Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah

dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi

yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan murid lebih lengkap.

6. Review. Bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi

pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang perlu

merevisi gagasannya entah dengan menambahkan suatu keterangan

ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap.

5. Hambatan Pencapaian Kurikulum Berbasis Kompetensi


Beberapa faktor yang menjadi sumber penghambat dalam proses, penerapan

model pembelajaran kostruktivisme mata pelajaran geografi, yaitu: Dari segi guru

sebagai unsur utama yang bertugas sebagai pendidik dalam proses belajar

mengajar di kelas. Guru harus mempunyai kualifikasi kompetensi mengajar,

meningkatkan, kemampuan dalam keterampilannya dalam menggunakan metode

dan pengelolaan kelas, (Nasution, 2003: 149).

Mencapai tujuan Kurikulum Berbasis Kompetensi secara maksimal, guru

perlu meningkatkan kemampuan dengan cara mengikuti penataran, pelatihan-

pelatihan, atau seminar-seminar terkhusus pada guru geografi tentang penetapan

model pembelajaran konstruktivisme. Sebagai subyek belajar dan pelaksanaan

pengajaran dapat merupakan suatu sumber hambatan dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme, misalnya: tingkat kecerdasan, kreativitas, minat

dan jumlah yang tidak sesuai dengan daya tampung ruangan.

Sarana dan prasarana dapat juga menjadi sumber hambatan penerapan

model pembelajaran konstruktivisme, misalnya: fasilitas gedung sekolah,

perpustakaan, laboratorium, komputer, dan penggunaan alat peraga. Alokasi

waktu merupakan salah satu unsur penghambat dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme. Serta, evaluasi dan penilaian yang merupakan

proses sistematis untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi suatu

pembelajaran. Namun sering juga menjadi unsur penghambat dalam penerapan

model pembelajaran konstruktivisme (Tilaar, 2002: 5).

6. Standar Kompetensi

Standar kompetensi ada tiga macam, yaitu:


a. Standar Kompetensi Lintas Kurikulum

Standar kompetensi lintas kurikulum merupakan kecakapan untuk hidup dan

belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik

melalui pengalaman belajar. Standar kompetensi lintas kurikulum meliputi:

1) Memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dab kewajiban,

salling menghargaid an memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang

dianutnya.

2) Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan dan

mengomunikasikan gagasan dan informasi serta untuk berikteraksi

dengan orang lain.

3) Memilih, memadukan dan menerapkan konsep-konsep, teknik-teknik,

pola, struktur dan hubungan.

4) Memilih, mencari dan menerapkan teknologi dan informasi yang

diperlukan dari berbagai sumber serta menilai kebermanfaatannya.

5) Memahami dan menghargai lingkungan fisik, makhluk hidup dan

teknologi, dan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai

untuk mengambil keputusan yang tepat.

6) Berpartisipasi, berinteraksi dalam masyarakat dan budaya global

berdasarkan pemahaman konteks budaya, geografis, dan historis.

7) Berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya dan intelektual serta

menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi

menuju masyarakat beradab.


8) Berpikir logis, kritis dan lateral dengan memperhitungkan potensi dan

peluang untuk menghadapi berbagai kemungkinan.

9) Menunjukkan motivasi dalam belajar, percaya diri, bekerja mandiri dan

kerja sama dengan orang lain.

b. Standar Kompetensi Bahan Kajian Ilmu-Ilmu Sosial

Standar kompetensi bahan kajian ilmu sosial merupakan kemampuan untuk

memahami fakta, konsep dan generalisasi manusia. Standar kompetensi bahan

kajian ilmu-ilmu sosial meliputi:

1. Kemampuan memahami fakta, konsep dan generalisasi tentang sistem

sosial budaya dan penerapannya untuk:

a. Mengembangkan sikap kritis dalam situasi sosial yang timbul

sebagai akibat perbedaan yang ada dalam masyarakat.

b. Menentukan sikap terhadap proses perkembangan dan perubahan

sosial budaya.

c. Menghargai keanekaragaman sosial budaya dalam masyarakat

multikultur.

2. Kemampuan memahami fakta, konsep dan generalisasi tentang manusia,

tempat dan lingkungan dan menerapkannya untuk:

a. Menganalisasi proses kejadian, interaksi dan saling ketergantungan

antara gejala alam dan kehidupan di muka bumi dalam dimensi

ruang dan waktu.

b. Terampil memperoleh, mengelola dan menyajikan informasi

geografis.
3. Kemampuan memahami fakta, dan konsep dan generalisasi tentang

perilaku ekonomi dan kesejahteraan dan menerapkannya untuk:

a. Berperilaku yang rasional dan manusia dalam memanfaatkan sumber

daya alam.

b. Menumbuhkan jiwa, sikap dan perilaku kewirausahaan.

c. Menganalisis sistem informasi keuangan lembaga-lembaga ekonomi.

d. Terampil dalam praktik usaha ekonomi sendiri.

4. Kemampuan memahami fakta, dan konsep dan generalisasi tentang

waktu, berkelanjutan dan perubahan dan menerapkannya untuk:

a. Menganalisis keterkaitan antara manusia, waktu, tempat dan

kejadian.

b. Merekonstruksi masa lalu, memaknai masa kini dan memprediksi

masa depan.

c. Menghargai berbagai perbedaan serta keragaman sosial kultur,

agama, etnis dan politik dalam masyarakat dari pengalaman belajar

peristiwa sejarah.

5. Kemampuan memahami dan menginteraksi sistem berbangsa dan

bernegara dan menerapkannya untuk:

a. Mewujudkan persatuan bangsa berdasarkan pancasila dan UUD

1945.

b. Membiasakan untuk mematuhi norma, menegakkan hukum dan

menjalankan peraturan.
c. Berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat dan pemerintahan

yang demokratis, menjujung tinggi, melaksanakan dan menghargai

HAM.

c. Standar Kompetensi Mata Pelajaran

Standar kompetensi mata pelajaran adalah kompetensi yang harus dikuasai

oleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran geografi di SMP Negeri 3 Alla

meliputi:

1. Memahami ciri-ciri fisik dari sosial budaya secara keruangan.

2. Memahami interaksi antara fisik dan sosial budaya wilayah tertentu.

3. Menggunakan komsep wilayah dalam menginterpretasikan keragaman

bumi.

4. Menggunakan peta dan keterampilan geografis lainnya untuk mengelola

keterampilan fisik, sosial dan budaya dalam konteks keruangan.

B. Kerangka Berpikir

Setelah memperhatikan beberapa uraian yang telah disusun, ada beberapa

hal yang menjadi landasan berpikir dan selanjutnya mengarahkan penulis untuk

merumuskan data sebahai bahan penelitian ini. Adapun landasan berpikir itu

adalah: kutikulum merupakan bahan tertulis yang berupa uraian tentang program

pendidikan suatu sekolah yang harus dilaksanakan dari tahun ke tahun. Proses

penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi dimaksudkan untuk mengembangkan

pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar

dalam melakukan sesuatu dalam bentu kkemahiran, ketetapan dan keberhasilan

dengan penuh tanggung jawab.


Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi, seorang guru dituntut untuk

lebih profesional dalam merancang ataupun menganalisis semua perangkat-

perangkat persiapan proses belajar mengajar. Sehingga dapat tercapai tujuan yang

diharapkan. Sebagai tenaga pendidik, guru perlu mendapat perhatian utama

disamping kurikulumnya karena baik buruknya suatu kurikulum tergantung dari

aktivitas dan kreativitas guru dalam menjabarkan dan merealisasikan kurikulum

tersebut. Untuk itu diperlukan guru yang berkualitas dan profesional untuk

melakukan kerja sama dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan.

Penerapan pilar Konstruktivisme, tidak semua guru mampu

melaksanakannya dengan maksimal. Banyak faktor yang menjadi penghambat

dalam proses penerapan tersebut, sehingga tujuan yang tercantum dalam

Kurikulum Berbasis Kompetensi tidak dapat terwujud dengan baik. Beberapa

hambatan yang mungkin timbul, misalnya dalam kegiatan belajar mengajar,

ketersediaan fasilitas dan sumber belajar, siswa sebagai subyek belajar, alokasi

waktu yang telah ditetapkan dan pelaksanaan penilaian. Berdasarkan hal tersebut,

penulis ingin mengetahui dan mendeskripsikan tentang hambatan yang dihadapi

oleh guru dalam penerapan model pembelajaran konstruktivisme khususnya untuk

mata pelajaran geografi di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang.


SKEMA KERANGKA BERPIKIR

Kurikulum
(KBK)

Metode Pembelajaran
Contextual Teaching and Learning

Penerapan
Pembelajran Konstruktivisme

Hambatan

Sarana/Prasarana
Perangkat Belajar Upaya
Metode Pembelajaran
Penanggulangan Hambatan
Literature
Instrumen
Dana

Peningkatan Kualitas
Proses Belajar Mengajar
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif yaitu untuk mengetahui hambatan

yang dihadapi guru dalam penerapan mode pembelajaran konstruktivisme pada

mata pelajaran geografi di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang.

B. Fokus Permasalahan dan Desain Penelitian

1. Fokus Permasalahan

Fokus permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah penerapan

model pembelajaran konstruktivisme. Adapun fokus permasalahan yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Bentuk penerapan model pembelajaran konstruktivisme pada mata

pelajaran geografi.

2. Hambatan yang dihadapi oleh guru dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme dalam bentuk sebagai berikut: sarana dan

prasaranan, perangkat belajar, metode pembelajaran, literatur, instrumen

dan dana.

3. Upaya-upaya yang ditempuh oleh guru untuk menanggulangi hambatan

yang dialami dalam penerapan model pembelajaran konstruktivisme.

2. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan salah satu rencana tentang cara pengumpulan,

mengelola dan menganalisis data secara sistematis dan terarah agar penelitian
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan tujuannya. Adapun desain

penelitian sebagai berikut:

a. Tahap Persiapan

Pada tahap ini beberapa hal yang dilakukan yaitu rencana penelitian rencana

penyusunan proposal untuk diseminarkan, setelh itu kemudian membuat surat

izin penelitian untuk ditujukan kepada lokasi penelitian.

b. Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini hal yang dilakukan adalah mengumpulkan data yang berupa

daftar pertanyaan yang berisikan daftar pertanyaan-pertanyaan mengenai

tentang bentuk penerapan model pembelajaran konstruktivisme dan

hambatan-hambatan yang dialami oleh guru serta upaya-upaya yang

ditempuh untuk menanggulangi hambatan yang ada.

c. Tahap Pengolahan Data

Pada tahap ini semua data yang diperoleh di lokasi penelitian yang berupa

daftar pertanyaan diperiksa kembali selanjutnya diolah.

d. Tahap Penarikan Kesimpulan

Pada tahap ini hal yang dilakukan adalah penarikan kesimpulan dan saran

yang disusun dalam bentuk skripsi yang merupakan akhir dari penelitian.

C. Deskripsi Fokus Penelitian

Bentuk penerapan model pembelajaran konstruktivisme adalah suatu model

atau bentuk penerapan model pembelajaran konstruktivisme yang dilakukan oleh

guru dalam memberikan pembelajaran geografi terhadap peserta didik dalam

proses belajar mengajar.


Yang dimaksud dengan hambatan guru dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme mata pelajaran geografi adalah masalah-masalah

yang dialami oleh guru selama proses pelaksanaan pembelajaran. Adapun

hambatan-hambatan sebagai berikut:

a. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana dapat menjadi sumber hambatan dalam penerapan

model pembelajaran konstruktivisme pada setiap sekolah-sekolah yang

menerapkan model pembelajaran ini. Yang dimaksud di sini sarana dan

prasarana adalah sebagai berikut: gedung sekolah, perpustakaan,

laboratorium, komputer, OHP dan alat olahraga.

b. Perangkat Belajar

Perangkat belajar yang harus dimiliki oleh setiap guru, seperti: silabus

dan Rencana Pembelajaran (RP). Untuk memulai suatu pembelajaran

seorang guru harus memiliki rencana pembelajaran (RP). Karena,

rencana pembelajaran merupakan pedoman guru mengenai batasan

pemberian materi kepada peserta didik.

c. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran dapat pula merupakan hambatan dalam penerapan

model konstruktivisme. Guru harus segera mengenali materi pelajaran

dan metode pembelajaran yang membuat peserta didik bosan, ini harus

segera ditanggulangi. Dengan pemahaman tentang metode pembelajaran

yang harus digunakan. Maka, seorang guru akan menggunakan metode

yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Sehingga diharuskan setiap


guru mengetahui atau memahami metode pembelajaran yang akan

digunakan. Seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, bertanya dan

eksperimen (praktek).

d. Literatur

Dalam penerapan model pembelajaran konstruktivisme diperlukan

banyak litearut misalnya: buku, media pembelajaran. Sebab dalam hal

ini siswa dituntut untuk menemukan sendiri masalah yang dipelajari

terus memecahkan masalah tersebut dengan idenya sendiri.

e. Instrumen

Dalam kegiatan pembelajaran, instrumen memegang peranan yang

sangat penting meliputi: lembar kegiatan siswa (LKS), pemberian tugas,

dan laporan. Dengan berdasarkan pada tujuan dan kompetensi yang

ingin dicapai dalam kurikulum. Semua guru belum maksimal dalam

menggunakan instrumen dalam penelitian.

f. Dana

Penerapan model pembelajaran konstruktivisme di kelas, guru dan siswa

sangat membutuhkan buku, mata pembelajaran, lembar kerja siswa

(LKS), semua butuh biaya. Kurangnya dana yang dibutuhkan, akan

menjadi hambatan dalam penerapan model konstruktivisme di kelas.

Upaya-upaya yang ditempuh oleh guru untuk menanggulangi hambatan

yang dialami adalah salah satu cara untuk mengatasi hambatan yang ada dalam

proses belajar-mengajar dalam mencapai peningkatan kualitas proses belajar-

mengajar.
D. Sumber Data

Menurut Suharsini (1999 67) populasi adalah keseluruhan subyek

penelitian. apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam

wilayah penelitian maka, penelitian merupakan penelitian populasi, studi atau

penelitiannya juaga disebut dtudi populasi. Penelitian ini hanya memfokuskan

pada guru geografi saja yang berjumlah 3 orang. Teknik pengambilan sasaran

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh. Riduwan

(2004: 64) mengemukakan bahwa: Sampling jenuh merupakan teknik

pengambilan sampel apabila semua populasi digunakan sebagai sampel dan

dilakukan jumlah populasi kurang dari 30 orang.

Adapun yang menjadi sumber data pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Kepala Sekolah di lokasi penelitian.

2. Guru Geografi yang bersangkutan.

3. Siswa Geografi yang bersangkutan.

E. Instrumen Penelitian

Berdasarkan judul dan judul penelitian yang telah ditetapkan, yaitu untuk

mengetahui hambatan yang dihadapi oleh guru dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme pada mata pelajaran geografi di SMP Negeri 3

Alla Kabupaten Enrekang, maka disusunlah instrumen penelitian yang diharapkan

dapat memberikan data yang akurat dalam penelitian ini. Instrumen yang

digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini yakni:


1. Daftar pertanyaan yang terdiri dari 15 item yang menyangkut tentang

hambatan guru terhadap penerapan model pembelajaran konstruktivisme

di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang.

2. Pedoman wawancara yang berisi pertanyaan sehubungan dengan

hambatan guru dalam upaya penanggulangan masalah terhadap

penerapan model pembelajaran konstruktivisme pada mata pelajaran

geografi di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang.

3. Panduan observasi pada lokasi penelitian.

4. Catatan lapangan selama penelitian berjalan.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Teknik Observasi

Teknik ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan untuk

mengenal lokasi dan melihat langsung keadaan sekolah, fasilitas belajar dan

juga untuk mengobservasi langsung guru di lapangan menyangkut bentuk

pelaksanaan model pembelajaran konstruktivisme yang diterapkan oleh guru

yang bersangkutan, hambatan oleh guru dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme dan upaya-upaya yang ditempuh dalam

penanggulangan hambatan yanag ada dan sebaginya yang relevan dengan

topik penelitian itu.

2. Wawancara
Wawancara digunakan pedoman wawancara yang diperuntukkan bagi guru

bidang studi geografi dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara

langsung sehubungan dengan masalah dalam penelitian, kemudian jawaban-

jawaban tersebut dicatat guna mendapatkan informasi tentang masalah yang

diahadapi guru dalam penerapan model pembelajaran konstruktivisme pada

sekolah tempat mengajarnya.

3. Daftar Pertanyaan

Daftar pertanyana bertujuan untuk memperoleh data tentang hambatan guru

dalam penerapan model pembelajaran konstruktivisme mata pelajaran

geografi di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang. Pada tahap awal,

variabel yang akan diukur, dirumuskan dalam beberapa indikator-indikator.

Selanjutnya, indikator-indikator tersebut dijabarkan dalam beberapa

pertanyaan.

4. Teknik Dokumentasi

Untuk mengumpulkan data tentang jumlah siswa, jumlah pegawai dan tata

usaha, jumlah kelas, nilai aktif siswa serta lokas dan data lain yang ada

hubungannya dengan penelitian ini yang semuanya diambil dari staf tata

usaha SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang.

G. Teknik Analisis Data

Data yang telah berhasil dikumpulkan selanjutnya dianalisis menggunakan

rumus statistik persentase. Kemudian dijelaskan dengan menggunakan suatu

kriteria yang relevan dengan menggunakan analisis sebagai berikut:


1. Data pertanyaan yang telah diisi informan dikumpul, diperiksa dan

diklasifikasi.

2. Dibuat suatu tabel untuk menyatakan persentase jawaban tiap informan pada

setiap jawaban dan diklasifikasi pada kriteria yang relevan.

3. Berdasarkan klasifikasi tersebut, dapat ditentukan apakah jawaban informan

pada setiap pertanyaan merupakan masalah atau bukan.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Letak

Untuk menginformasi lokasi penelitian tidak terlepas tentang informasi kota

Enrekang yang terdiri dari sembilan Kecamatan, yakni: Kecamatan Anggeraja,

Kecamatan Alla, Kecamatan Alla Timur, Kecamatan Maiwa, Kecamatan

Enrekang Selatan, Kecamatan Anggeraja Timur, Kecamatan Maiwa Atas,

Kecamatan Enrekang, dan Kecamatan Baraka.

Dari kesembilan Kecamatan di atas, Kecamatan Alla Kelurahan Kalosi

merupakan daerah lokasi penelitian tepatnya di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten

Enrekang. Adapun batasan-batasan wilayah Kecamatan Alla adalah sebagai

berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tanatoraja

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Alla Timur

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Anggeraja

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tanatoraja

Berdasarkan batas-batas wilayah yang dikemukakan di atas, secara

keseluruhan luas wialayah kecamatan Alla 21,76 km2 yang terdiri dari dua

Kelurahan dan empat belas Desa yaitu, Kelurahan Kambiolangi, Kelurahan

Kalosi, Desa Baroko, Desa Pana, Desa Buntu Sugi, Desa Sumillan, Desa Mata

Allo, Desa Masallae, Desa Buntu Sarong, Desa Rampunan, Desa Mundan, Desa

Batu Kede, Desa Benteng Alla Utara, Desa Tongkonan Basse, Desa Tongko dan
Desa Benteng Alla. SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang dianggap cukup

strategis dimana letaknya mudah dijangkau, karena didukung oleh jaringan

transportasi yang lancar baik sarana maupun prasarana transportasi. Pusat

pemerintahan Kecamatan Alla memiliki jarak dan waktu yang relatif dengan pusat

berbagai pusat pemerintahan lainnya.

Wilayah Kabupaten Enrekang sebahagian kecamatannya terletak di daerah

pegunungan dan sebagian berada di daerah yang datar. Perbedaan letak ini

menunjukkan perbedaan iklim. Kalau di daerah ini hawanya cukup sejuk terutama

di daerah pegunungan yang diliputi oleh hutan-hutan sehingga sejauh mata

memandang yang nampak adalah pohon yang hijau, serta hamparan gunung-

gunung. Sebagai iklim yang berlaku di daerah gunung, maka iklimnya agak

dingin. Kabupaten Enrekang juga memiliki keindahan alam wisata panorama

Gunung Nona. Ada permandian alam Lewaja yang menarik apra wisatawan asing

yang hendak berkunjung di Tana Toraja tentu menyempatkan diri singgah di

Kabupaten Enrekang.

pola pendidikan di Kabupaten Enrekang bisa dikatakan sudah ada upaya

untuk melakukan sebuah terobosan-terobosan baru yang mengarah kepada

motivasi untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satu bukti bahwa

pemerintah daerah juga sudah merancang sebuah peraturan daerah demi

peningkatan mutu pendidikan di Kabupaten Enrekang.

Sebagaimana telah diketahui bahwa pengembangan yang digalakkan oleh

pemerintah dalam segala bidang yang harus dirasakan oleh seluruh lapisan

masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan daerah adaah bahagian internal dari
pembangunan nasional dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, yang salah

satu tujuannya adalah meningkatkan agronomi daerah. Penduduk Kabupaten

Enrekang adalah 99 persen beragama Islam. Walaupun ada penduduk yang bukan

beragama Islam, itu hanyalah penduduk yang datang dari luar.

Berdasarkan keadaan alam wilayah Kabupaten Enrekang sesuai yang telah

disinggung terlebih dahulu, maka sewajarnyalah kalau kebanyakan penduduk

yang bergerak di bidang pertanian (bercocok tanam), beternak dan lain-lain.

Dalam hal ini oleh pemerintah memberikan berbagai bantuan-bantuan, baik itu

bersifat materil dan non-materil terhadap masyarakat agar dapat mengembangkan

usaha-usaha yang mereka geluti tentunya yang bergerak di bidang tersebut di atas.

2. Sarana dan Prasarana Pendidikan

Masalah sarana dan prasarana pendidikan dalam suatu sekolah memegang

peranan yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan proses belajar

mengajar sekalipun siswa dan guru berlimpah ruah, tetapi sarana dan prasarana

tidak ada, tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara optimal.

Adapun jumlah bangunan di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang yaitu

sebagai berikut: Ruangan kepala sekolah satu unit, Ruangan guru satu unit,

Ruangan tata usaha satu unit, Ruangan BK satu unit, Ruangan laboratorium satu

unit, Ruang kelas 19 unit, Ruang OSIS satu unit, Ruang kesenian satu unit, UKS

satu unit, Musallah satu unit, Dapur satu buah, Perpustakaan satu unit, Lapangan

upacara satu unit, Lapangan basket satu unit, Parkir dua unit, Kantin dua unit dan

WC empat unit.
Ketersediaan sarana/prasarana pembelajaran sangat diperlukan demi

kelancaran belajar mengajar, utamanya pada penerapan model pembelajaran

konstruktivisme. Adapun yang tergolong dalam sarana/prasarana adalah gedung

sekolah, laboratorium, perpustakaan, komputer, OHP dan alat peraga.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Fasilitas SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang Tahun Ajaran

2008/2009.

No Fasilitas Jumlah

1 Ruangan kepala sekolah 1

2 Ruangan guru 1

3 Ruangan tata usaha 1

4 Ruangan BK 1

5 Ruangan laboratorium 1

6 Ruang kelas 19

7 Ruang OSIS 1

8 Ruang kesenian 1

9 UKS 1

10 Musallah 1

11 Dapur 1

12 Perpustakaan 1

13 Lapangan upacara 1

14 Lapangan basket 1

15 Parkir 2
16 Kantin 2

17 WC 3

Sumber: Tata Usaha SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang

B. Penyajian Hasil Penelitian

Penelitian yang dilakukan di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang lebih

mengkhusus pada bentuk pelaksanaan dari hambatan guru geografi dalam

menerapkan model pembelajaran konstruktivisme pada pembelajaran geografi,

serta upaya yng ditempuh dalam menanggulangi masalah yang ada. Oleh karena

itu, hambatan yang ada akan berpengaruh terhadap kualitas proses belajar

mengajar dalam penerapan model pembelajaran konstruktivisme pada mata

pelajaran geografi. Di samping itu, peningkatan proses belajar mengajar dalam

penerapan model pembelajaran konstruktivisme akan terganggu di SMP Negeri 3

Alla Kabupaten Enrekang. Untuk lebih jelasnya dikemukakan sebagai berikut:

1. Bentuk pelaksanaan model pembelajaran konstruktivisme pada mata

pelajaran geografi

Bentuk pelaksanaan model pembelajaran konstruktivisme yang dilakukan

oleh guru geografi di lokasi penelitian adalah guru sebagai mediator dan

fasilitator, menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang

keingintahuan dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-

gagasannya dalam menyelesaikan masalah yang ada dengan ide-idenya sendiri,

serta memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik

jalan atau tidak.


Dalam proses belajar mengajar peran seorang guru sangat diperlukan

utamanya dalam penerapan model pembelajaran konstruktivisme. Dan penjelasan

di atas menyatakan bahwa guru sebagai mediator dan fasilitator artinya guru

menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab

dalam memberikan jawaban tentang persoalan yang diberikan. Karena itu, jelas

bahwa memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru dalam

menerapkan model pembelajaran konstruktivisme. Menyediakan sarana yang

merangsang siswa berpikir secara produktif dan menyediakan kesempatan dan

pengalaman yang paling mendukung dalam proses belajar serta guru harus

menyemangati siswa.

Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal kegiatan yang

dilakukan guru adalah banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa

yang sudah mereka ketahui dan pikirkan, tujuan dan apa yang akan dibuat, ini

dilakukan di kelas dengan maksud supaya dalam proses belajar mengajar siswa

terlibat aktif, guru perlu mengerti pengalaman belajar yang mana lebih sesuai

dengan kebutuhan siswa, ini dilakukan dengan cara guru harus berpartisipasi

sebagai siswa bergabung di tengah siswa sehingga mengerti dan mengetahui

pengalaman belajar mana yang akan diberikan kepada siswa, memberi

kepercayaan kepada siswa bahwa mereka dapat belajar dengan maksimal dan

menghargai pemikiran siswa yang terkadang berpikir berdasarkan pengandaian

yang tidak diterima guru.

Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang

keingintahuan dan membantu mengekspresikan gagasan-gagasannya dengan


menyelesaikan masalah yang ada dengan ide-ide sendiri. Menyediakan atau

memberikan kegiatan berupa pengalaman belajar yang mendukung dalam proses

pembelajaran dan membantu siswa dalam mengemukakan gagasannya dalam

menyelesaikan masalah dalam proses belajar mengajar, karena dalam menerapkan

model pembelajaran konstruktivisme bukanlah tugas seorang guru langsung

memberikan jawaban mengenai tentang persoalan tetapi diberikan kesempatan

kepada siswa untuk berpikir dalam menemukan jawaban dan memberikan

gagasannya dengan idenya sendiri.

Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa

berjalan atau tidak guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan

siswa berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru mengawasi

dan memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas dari tiap siswa, menghargai

pendapat setiap siswa, dengan memfokuskan pada hal-hal yang akan dipelajari

guru akan menemukan konsep bahwa apakah materi yang diberikan sulit diterima

dan membutuhkan waktu lebih banyak untuk mengkonstruksikannya. Dalam

mengevalasi proses belajar siswa, guru memberikan persoalan kepada siswa

kemudian mengamati dan memonitor bagaimana cara menyelesaikan persoalan

tersebut, pendekatan kepada siswa dalam menyelesaikan persoalan lebih penting

daripada jawaban akhir yang diberikannya.

Dengan mengamati cara atau proses digunakan siswa, kita dapat menangkap

bagaimana jalannya pemikiran mereka dalam menyelesaikan persoalan. Dalam

mengaitkan kurikulum yang ada model pembelajaran konstruktivisme merupakan

rangkaian model pembelajaran yang ada dalam kurikulum berbasis kompetensi


yang menilai sikap, pengetahuan dan keterampilan. Penilaian dalam model

pembelajaran konstruktivisme siswa dinilai sesuai dengan apa yang diperolehnya

dengan tujuan untuk mengkonstruksi atau membangun pengetahuannya.

2. Hambatan apa yang dihadapi oleh guru dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme pada mata pelajaran geografi

Penelitian yang dilakukan di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang lebih

menerapkan pada hambatan guru geografi dalam menerapkan model pembelajaran

konstruktivisme pada pembelajaran geografi. Dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme pada mata pelajaran geografi, guru pasti

mengalami hambatan- hambatan. Hambatan- hambatan tersebut, nantinya akan

berpengaruh terhadap peningkatan kualitas proses belajar mengajar. Dimana

hambatan tersebut, apakah berupa sarana/prasarana, perangkat belajar, metode

pengajaran, literatur, instrumen penilaian dan dana. Untuk lebih jelasnya dapat

dikemukakan sebagai berikut:

a. Sarana/Prasarana

Sarana dan prasarana dapat menjadi sumber hambatan dalam penerapan

model pembelajaran konstruktivisme pada setiap sekolah-sekolah yang

menerapkan model pembelajran ini. Yang dimaksud di sini sarana dan prasarana

adalah sebagai berikut: gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, komputer,

OHP dan alat peraga.

Ketersediaan sarana/prasarana pembelajaran sangat diperlukan demi

kelancaran belajar mengajar, utamanya pada penerapan model pembelajaran

konstruktivisme. Adapun yang tergolong dalam sarana/prasarana gedung sekolah,


perpustakaan, laboratorium, komputer, OHP dan alat peraga. Adapun fasilitas

sekolah yang terdiri dari: Ruangan kepala sekolah satu unit, Ruangan guru satu

unit, Ruangan tata usaha satu unit, Ruangan laboratorium satu unit, Ruang kelas

19 unit, Perpustakaan satu unit.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

Tabel 2. Fasilitas SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang Tahun Ajaran

2008/2009

No Fasilitas Jumlah Persentase

1 Ruangan kepala sekolah 1 4,16

2 Ruangan guru 1 4,16

3 Ruangan tata usaha 1 4,16

4 Ruangan laboratorium 1 4,16

5 Ruang kelas 19 79,1

6 Perpustakaan 1 4,16

Jumlah 24 100

Sumber: Tata Usaha SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang

Dari tabel di atas menunjukkan fasilitas yang dimiliki SMP Negeri 3 Alla

Kabupaten Enrekang dalam melaksanakan proses pembelajaran. Adapun

sarana/prasarana yang masih kurang memadai dalam mendukung proses belajar

mengajar dalam menerapkan model pembelajaran konstruktivisme yaitu:

Perpustakaan, Komputer, OHP dan Alat Peraga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

pada tabel 3 berikut:

Tabel 3. Hambatan informan dalam bidang sarana/prasarana pembelajaran


Jumlah Persentase & Jawaban Informan
No Sarana/Prasarana
N=3 Persentase

1 Gedung Sekolah - -

2 Perpustakaan 2 66,7

3 Laboratorium - -

4 Komputer 3 100

5 OHP 2 66,7

6 Alat Peraga 3 100

Sumber: Hasil olahan kuesioner tahun 2009

Dari tabe 3 dapat dikemukakan bahwa kawaban informan (guru geografi),

terlihat ada tiga informan tidak menjawab yang menyatakan bahwa gedung

sekolah dan laboratorium bukan merupakan hambatan dalam proses belajar

mengajar. Sedangkan perpustakaan, komputer, OHP dan alat peraga merupakan

hambatan dalam proses belajar mengajar yang dialami oleh guru dalam

menerapkan model pembelajaran konstruktivisme. Dari jawaban informan

menunjukkan bahwa perpustakaan dan OHP terapat dua informan dari tiga

informan yang menjawab dengan persentase 66,7 persen, sedangkan komputer

dan alat peraga menunjukkan bahwa semua informan menjawab dengan

persentase 100 persen menyatakan bahwa komputer dan alat peraga merupakan

hambatan daam proses pembelajaran. Ketersediaan sarana/prasarana pembelajaran

dalam melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi sangat diperlukan demi

kelancaran proses belajar mengajar, utamanya pada penerapan model

pembelajaran konstruktivisme.
b. Perangkat Belajar

Perangkat belajar yang harus dimiliki oleh setiap guru, seperti: silabus dan

Rencana Pembelajaran (RP). Untuk memulai suatu pembelajaran seorang guru

harus memiliki Rencana Pembelajaran (RP), karena rencana pembelajaran

merupakan pedoman guru mengenai bahasan pemberian materi kepada peserta

didik.

Adapun yang tergolong dalam perangkat belajar adalah Silabu dan Rencana

Pembelajaran (RP). Rencana Pembelajaran dan silabus merupakan kewajiban

yang harus dimiliki oleh setiap guru. Dewasa ini, banyak guru yang kurang

mampu menyiapkan bahan menyusun rencana pembelajaran sendiri. Untuk

mengatasi kendala tersebut banyak guru yang mengikuti pelatihan-pelatihan atau

penataran, yang dilaksanakan oleh pemerintah atau lembaga (organisasi). Dengan

adanya rencana pembelajaran dan silabus maka mempermudah guru dalam

melaksanakan proses pembelajaran di sekolah. Di mana seorang guru dapat

membagi alokasi waktu dengan pemberian materi pelajaran yang akan diberikan

kepada peserta didik dan penilaian yang akan dilakukan sesuai dengan tujuan

yang akan dicapai. Adapun hambatan yang tergolong dalam perangkat belajar

dapat dilihat pada tabel 4 berikut.

Tabel 4. Hambatan informan dalam Perangkat Belajar

Jumlah Persentase & Jawaban Informan


No Sarana/Prasarana
N=3 Persentase

1 Silabus Tidak Ada 0

2 Rencana Pembelajaran (RP) Tidak Ada 0


Sumber: Hasil dan olahan kuesioner tahun 2009

Berdasarkan data dari Tabel 4 terlihat tak satupun dari tiga informan yang

menjawab bahwa silabus dan rencana pembelajaran merupakan hambatan dalam

proses belajar mengajar. Itu berarti bahwa silabus dan rencana pembelajaran

bukan termasuk hambatan dalam proses belajar mengajar pada SMP Negeri 3 Alla

Kabupaten Enrekang.

c. Metode Penagajaran

Guru merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap

keberhasilan implementasi KBK, terutama dalam menerapkan model

pembelajaran konstruktivisme, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya

peserta didik dalam menerima materi pembelajaran di sekolah. Guru juga harus

segera mengenali materi pelajaran dan metode pengajaran yang bisa membuat

peserta didik bosan. Karena, bukanlah tugas seorang guru untuk selalu berdiri di

depan untuk memberikan materi tapi seorang guru harus membantu peserta didik

dalam mengenali, memecahkan dan memahami permasalahan yang diahadapi oleh

peserta didik. Adapun yang termasuk dalam metode pengajaran adalah Ceramah,

Tanya jawab, Diskusi, Bertanya dan Praktek.

Metode pembelajaran dapat pula merupakan hambatan dalam penerapan

model konstruktivisme. Guru harus segera mengenali materi pelajaran dan metode

pembelajaran yang membuat peserta didik bosan, ini harus segera ditanggulangi.

Dengan pemahaman tentang metode pembelajaran yang harus digunakan. Maka,

seorang guru akan menggunakan metode yang sesuai dengan materi yang

diajarkan. Sehingga diharuskan setiap guru mengetahui atau memahami metode


pembelajaran yang akan digunakan. Seperti metode ceramah, tanya jawab,

diskusi, bertanya dan eksperimen (praktek).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5 berikut:

Tabel 5. Hambatan informan dalam menggunakan metode pengajaran

Jumlah Persentase & Jawaban Informan


No Sarana/Prasarana
N=3 Persentase

1 Ceramah - -

2 Tanya jawab 3 100

3 Diskusi 2 66,7

4 Bertanya 2 66,7

5 Praktek 1 33,3

Sumber: Hasil olahan kuesioner tahun 2009

Dari data tabel di atas menunjukkan bahwa metode ceramah bukan

merupakan hambatan dalam proses belajar mengajar, karena metode ceramah

merupakan cara memberikan materi kepada siswa yang sangat mudah, dalam

menerapkan metode pembelajaran konstruktivisme metode ceramah harus

dikurangi karena sering membuat siswa bosan dan mengantuk, sedangkan metode

bertanya dan metode diskusi menunjukkan bahwa ada dua dari tiga informan yang

menjawab tentang persentase 66,7 persen, sedangkan untuk metode tanya jawab

salah satu dari informan menjawab dengan persentase 100 persen. Metode tanya

jawab yang dilakukan oleh guru adalah setelah selesai memberikan materi kepada

siswa, metode bertanya dilakukan oleh guru pada saat guru memberi penjelasan

tentang materi dengan tujuan mendorong, menumbuhkan keingintahun siswa dan


menilai pemikiran siswa, dari tiga informan ada satu informan yang menjawab

bahwa metode ini merupakan hambatan dalam pembelajaran dan praktek

dilakukan dengan tujuan untuk membentuk dan merangsang pemikiran siswa

dalam memaknasi sesuatu, ada satu dari tiga informan yang menjawab bahwa

metode praktek merupakan hambatan dalam pembelajaran dengan persentase 33,3

persen.

d. Literatur

Dalam penerapan model pembelajaran konstruktivisme diperlukan

banyaknya literatur, sebab dalam hal ini siswa dituntut untuk menemukan sendiri

masalah yang dipelajari dan memecahkan sendiri masalah yang dihadapinya.

Literatur merupakan perangkat pembelajaran yang bertujuan untuk lebih

memudahkan peserta didik dalam memahami materi yang diajarkan.

Dalam penerapan model pembelajaran konstruktivisme diperlukan banyak

literatur misalnya: buku, media pembelajaran. Sebab dalam hal ini siswa dituntut

untuk menemukan sendiri masalah yang dipelajari terus memecahkan masalah

tersebut dengan idenya sendiri.

Dalam menggunakan literatur merupakan kewajiban bagi tiap sekolah,

mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan pengembangan. Hal ini didasari

kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengerti kebutuhan baik kecukupan,

kesesuaian materi, maupun kemutakhiran terutama buku paket yang dirancang

secara khusus untuk kepentingan pembelajaran bagi tiap mata pelajaran utamanya

mata pelajarangeografi. Adapun yang tergolong dalam literatur yaitu buku paket

dan media pembelajaran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 6. Hambatan informan dalam memaknai literatur

Jumlah Persentase & Jawaban Informan


No Sarana/Prasarana
N=3 Persentase

1 Buku Paket 2 66,7

2 Media Pembelajaran 2 66,7

Sumber: Hasil olahan kuesioner tahun 2009

Dari data tabel 6 menunjukkan bahwa ada dua dari tiga informan yang

menjawab dengan persentase 66,7 persen menyatakan bahwa buku paket

merupakan hambatan dalam proses belajar mengajar karena kurang memadai

dalam menunjang pembelajaran. Sedangkan media pembelajaran menunjukkan

bahwa ada dua informan yang menjawab dengan persentase 66,7 persen

menyatakan bahwa media pembelajaran merupakan hambatan dalam

pembelajaran.

e. Instrumen Penilaian

Dalam suatu penilaian seorang guru harus mengetahui apa yang digunakan

dalam memberikan penilaian pada peserta didik. Karena dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme penilaian yang dilakukan tidak hanya sebatas bahan

materi pelajaran tapi seorang guru harus dapat membewa peserta didik dalam

memahami, mengetahui dan menginterpretasikan tentang materi yang sudah

diberikan serta mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dengan

menggunakan idenya sendiri.

Dalam kegiatan pembelajaran, instrumen memegang peranan yang sangat

penting meliputi:lembar kegiatan siswa (LKS), pemberian tugas, dan laporan.


Dengan berdasarkan pada tujuan dan kompetensi yang ingin dicapai dalam

kurikulum. Semua guru belum maksimal dalam menggunakan instrumen dalam

penilaian.

Penilaian dilakukan dengan melihat kemampuan peserta didik dalam

memahami, mengetahui dan menginterpretasikan materi sesuai dengan bagaimana

proses mengetahui materi yang diperolehnya dalam pembelajaran. Adapun yang

termasuk dalam instrumen penilaian yaitu LKS, Pemberian tugas, dan Pembuatan

laporan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 7 berikut:

Tabel 7. Hambatan informan dalam menggunakan instrumen penilaian

Jumlah Persentase & Jawaban Informan


No Sarana/Prasarana
N=3 Persentase

1 LKS - -

2 Pemberian tugas 1 33,3

3 Pembuatan laporan - -

Sumber: Hasil olahan kuesioner tahun 2009

Berdasarkan data tabel 7 menunjukkan bahwa ada satu dari tiga informan

menyatakan bahwa pemberian tugas merupakan hambatan dalam pembelajaran

dengan persentase 33,3 persen. Sedangkan pemberian LKS dan pembuatan

laporan ada dua informan tidak menjawab apa-apa. Itu artinya bahwa pemberian

LKS dan pembuatan laporan bukan merupakan hambatan utama dalam

pembelajaran

f. Dana
Dalam melaksanakan proses pembelajaran, seorang guru dituntut dapat

mempersiapkan materi yang akan diajarkan. Untuk melakukan hal tersebut, maka

guru harus menyiapkan sumber belajar dan penilaian agar dapat terlaksana dengan

baik dan untuk menyiapkan semuanya diperlukan biaya. Dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang,

ternyata dalam persiapan mengajar yang membutuhkan dana merupakan

hambatan dalam penerapan pembelajaran konstruktivisme.

Penerapan model pembelajaran konstruktivisme di kelas, guru dan siswa

sangat membutuhkan buku, media pembelajaran, lembar kerja siswa (LKS),

semua butuh biaya. Kurangnya dana yang dibutuhkan, akan menjadi hambatan

dalam penerapan model konstruktivisme di kelas.

Adapun yang termasuk di dalamnya adalah penyediaan buku paket,

penyediaan LKS, dan penyediaan media pembelajaran. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada tabel 8 berikut:

Tabel 8. Hambatan informan dalam ketersediaan dana

Jumlah Persentase & Jawaban Informan


No Sarana/Prasarana
N=3 Persentase

1 Penyediaan Buku Paket 1 33,3

2 Penyediaan LKS 2 66,7

3 Penyediaan Media Pembelajaran 3 100

Sumber: Hasil olahan kuesioner tahun 2009

Terlihat bahwa ada satu informan menyatakan bahwa penyediaan buku

merupakan hambatan dalam proses pembelajaran dengan persentase 33,3 persen,


dan terlihat bahwa ada dua informan menyatakan bahwa penyediaan LKS juga

merupakan hambatan dalam proses pembelajaran dengan persentase 66,7 persen,

sedangkan penyediaan media pembelajaran ada tiga informan yang menjawab

dengan persentase 100 persen menyatakan hambatan dalam proses pembelajaran.

3. Upaya-upaya apa yang ditempuh oleh guru mata pelajaran geografi

untuk menanggulangi hambatan yang dialami dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme

Dalam penerapan model pembelajaran konstruktivisme pada pembelajaran

geografi di SMP Negeri 3 Alla. Adanya hambatan-hambatan dalam penerapan

model pembelajaran konstruktivisme, mendorong mereka untuk melakukan

upaya-upaya dalam hal mengatasi masalah pembelajaran, khususnya pada mata

pelajaran geografi.

Secara garis besar upaya yang dilakukan adalah melaksanakan pembelajaran

sesuai dengan sarana/prasarana yang ada. Dengan maksud, bahwa bukan suatu

alasan untuk tidak melaksanakan pembelajaran akan tetapi tetap melaksanakan

pembelajaran dengan menggunakan sarana/prasarana yang ada.

Dalam pengertian konstruktivisme dalam pelaksanaan pembelajaran bahwa

situasi dan kondisi setiap sekolah tidak sama. Ada beberapa sekolah yang tidak

mempunyai macam-macam sarana yang dapat membentuk keaktifan dan

kreativitas murid. Dalam situasi seperti ini, kita tidak perlu idealis untuk

melaksanakanmodel ini secara ketat. Lebih baik dalam situasi itu kita mencoba

beberapa hal yang dapat dikerjakan. Kita dapat memilih hal-hal yang dapat

dilakukan dalam memupuk siswa aktif dalam pembelajaran untuk membangun


pengetahuan mereka sendiri. Untuk merangsang keingintahuan siswa perlu

dikurangi metode ceramah yang membuat siswa mengantuk dan bosan, lebih baik

diberi waktu bagi siswa untuk mengekspresikan gagasan, aktif dalam

pembelajaran, merumuskan kesimpulan dan berdiskusi, yang kiranya perlu

dikembangkan dalam sistem belajar mengajar adalah semakin dikembangkannya

kesempatan bagi siswa untuk mengekspresikan apa yang mereka ketahui dan apa

yang mereka tidak ketahui.

Dengan mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, siswa akan dibantu

untuk lebih berpikir dan merefleksikan pengetahuan mereka. Diskusi kelompok,

membuat laporan, praktek lapangan, menungkapkan pertanyaan dan juga

sanggahan terhadap yang diungkapkan guru. Semua dapat menantang siswa lebih

berpikir dan membangun pengetahuan mereka. Dalam menggunakan media

pembelajaran dalam menerapkan model pembelajaran konstruktivisme tidak sulit

untuk memilih atau menentukan media pembelajaran yang akan dipakai, karena

disesuaikan dengan lingkungan dan materi yang akan diberikan. Penilaian seperti

ini menekankan pada isi dari bahan pelajaran, sistem belajar mengajar

konstruktivisme memerlukan penilaian memungkinkan siswa dapat

mengungkapkan gagasan mereka sendiri dengan leluasa. Dapat disimpulkan

bahwa melaksanakan proses belajar mengajar masih banyak ada hambatan yang

dialami oleh guru geografi di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang, bukan

berarti gagal dalam melaksanakan peningkatan proses belajar mengajar. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 9 sebagai berikut:


Tabel 9. Upaya-upaya yang ditempuh oleh guru dalam menanggulangi

hambatan dalam pembelajaran di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten

Enrekang

No. Upaya-upaya yang ditempuh

1 Mengusahakan sendiri media pembelajaran yang akan dipergunakan atau

memanfaatkan alat peraga yang ada sesuai dengan materi dengan sederhana.

2 Menugaskan kepada siswa untuk membuat alat peraga sendiri. Dengan

demmikian dapat menghemat biaya dari sekolah.

3 Berusaha dalam penguasaan materi pelajaran yang akan diajarkan dan

menendukan setiap indikator dari materi tadi, kemudian dilanjutkan dengan

pembuatan RPP lalu ke Analisis butir soal setelah pelajaran dari materi

selesai.

Dari tabel 9 di atas terlihat bahwa adanya berbagai cara yang ditempuh oleh

guru mata pelajaran geografi untuk mengatasi masalah terkait dengan penerapan

model pembelajaran konstruktivisme dalam proses belajar mengajar di SMP

Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang. Melaksanakan proses pembelajaran sesuai

dengan sarana dan prasarana yang ada dengan maksud bahwa tidak seharusnya

menjadi satu alasan dalam melaksanakan pembelajaran akan terganggu.

Dengan mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, siswa akan dibantu

untuk lebih berpikir dan merefleksikan pengetahuan mereka. Diskusi kelompok,

membuat laporan, praktek lapangan, mengungkapkan pertanyaan dan juga

sanggahan terhadap yang diungkapkan guru. Semua dapat menantang siswa lebih

berpikir dan membangun pengetahuan mereka. Dalam menggunakan media


pembelajaran dalam menerapkan model pembelajaran konstruktivisme tidak sulit

untuk memilih atau menentukan media pembelajaran yang akan dicapai, karena

disesuaikan dengan lingkungan dan materi yang akan diberikan. Memberikan

penilaian kepada siswa dengan menerapkan model pembelajaran konstruktivisme

beda dengan penilaian yang dilakukan dengan cara evaluasi akhir multiple choice

maupun tes-tes yang menuntut pemahaman banyak bahan dan juga hafalan yaang

banyak. Penilaian yang seperti ini menekankan pada isi dari bahan pelajaran,

sistem belajar mengajar konstruktivisme memerlukan penilaian memungkinkan

siswa dapat mengungkapkan gagasan mereka sendiri dengan leluasa. Dapat

disimpulkan bahwa melaksanakan proses belajar mengajar masih banyak ada

hambatan yang dialami oleh guru geografi di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten

Enrekang, bukan berartigaga dalam melaksanakan peningkatan proses belajar

mengajar yang terlaksana.

Dalam pengertian konstruktivisme dalam pelaksanaan pembelajaran bahwa

situasi dan kondisi setiap sekolah tidak sama. Ada beberapa sekolah yang tidak

mempunyai macam-macam sarana yang dapat membantu keaktifan dan kretivitas

murid. Dalam situasi seperti ini, kita tidak perlu idealis untuk melaksanakan

model ini secara ketat. Lebih baik dalam situasi itu kita mencoba beberapa hal

yang dapat dikerjakan. Kita dapat memilih hal-hal yang dapat dilakukan dalam

memupuk siswa aktif dalam pembelajaran untuk membangun pengetahuan

mereka sendiri. Untuk merangsang keingintahuan siswa perlu dikuraangi metode

ceramah yang membuat siswa mengantuk dan bosan. Lebih baik diberi waktu bagi

siswa untuk mengekspresikan gagasan, aktif dalam pembelajaran, merumuskan


kesimpulan dan berdiskusi, yang kiranya perlu dikembangkan dalam sistem

belajar mengajar adalah semakin dikembangkannya kesempatan bagi siswa untuk

mengekspresikan apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka tidak ketahui.

Dengan mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, siswa akan dibantu untuk

lebih berpikir dan merefleksikan pengetahuan mereka. Diskusi kelompok,

membuat laporan, praktek lapangan, mengungkapkan pertanyaan dan juga

sanggahan terhadap yang diungkapkan guru. Semua dapat menantang siswa lebih

berpikir dan membangun pengetahuan mereka. Dalam menggunakan media

pembelajaran dalam menerapkan model pembelajaran konstruktivisme tidak sulit

untuk memilih atau menenrukan media pembelajaran yang akan dipakai, karena

disesuaikan dengan lingkungan dan materi yang akan diberikan. Memberikan

penilaian kepada siswa dengan menerapkan model pembelajaran konstruktivisme

beda dengan penilaian yang dilakukan dengan cara evaluasi akhir multiple choice

maupun tes-tes yang menuntut pemahaman banyak bahan dan juga hafalan yang

banyak. Penilaian seperti ini menekankan pada makna isi dari bahan pelajaran,

sistem belajar mengajar konstruktivisme memerlukan penilaian memungkinkan

siswa dapat mengungkapkan gagasan mereka sendiri dengan leluasa.

C. Pembahasan

1. Bentuk pelaksanaan model pembelajaran konstruktivisme pada

pembelajaran geografi

Banyak pelaksanaan model pembelajaran konstruktivisme yang dilakukan

oleh guru geografi di lokasi penelitian adalah guru sebagai mediator dan

fasilitator, menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang


keingintahuam dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-

gagasannya dalam menyelesaikan masalah yang ada dengan ide-idenya sendiri,

serta memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik

jalan atau tidak, karena diaharapkan peserta didik dalam menerima. Materi

pelajaran apakah dapat dipahami atau dapat diterima atau tidak. Guru sebagai

mediator dan fasilitator dengan cara guru menyediakan pengalaman belajar yang

memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam memberikan jawaban tentang

persoalan yang diberikan. Meyakinkan apa yang siswa ketahui, merangkai tugas-

tugas sehingga mereka dapat membangun pengetahuan. Murid mencari arti atau

makna dalam materi yang dipelajari. Memonitor pengertian siswa, membimbing

diskusi sehingga setiap siswa aktif dan mendapat kesempatan untku

mengungkapkan pengertiannya. Guru juga aktif dalam mencari penjelasan,

menanyakan kebenaran dan mengevaluasi aternatif yang ada.

Guru berfungsi sebagai pemandu dan sekaligus teman belajar. menyediakan

atau memberikan kegiatan berupa pengalaman belajar yang mendukung dalam

proses pembelajaran dan membantu siswa dalam mengemukakan gagasannya

dalam menyelesaikan masalah dalam proses belajar mengajar, karena dalam

menerapkan model pembelajaran konstruktivisme bukanlah tugas seorang guru

langsung memberikan jawaban mengenai tentang persoalan tetapi diberikan

kesempatan kepada siswa untuk berpikir dalam menemukan jawaban dan

memberikan gagasannya dengan idenya sendiri. Memonitor, mengevaluasi dan

menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. guru menunjukkan dan
mempertanyakan apakah pengetahuan siswa berlaku untuk menghadapi persoalan

baru yang berkaitan.

2. Hambatan-hambatan yang diahadapi oleh guru dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme pada mata pelajaran geografi

Berdasarkan analisis di atas mengenai hambatan guru dalam menerapkan

model pembelajaran konstruktivisme pada mata pelajaran geografi di SMP Negeri

3 Alla, terlihat bahwa banyak hambatan yang dialami oleh guru dalam penerapan

model pembelajaran konstruktivisme di dalam proses belajar mengajar. Adapun

hambatan-hambatan tersebut sebagai berikut:

a. Sarana/Prasarana

Dari jawaban informan (guru geografi), terlihat bahwa gedung sekolah dan

laboratorium bukan merupakan hambatan dalam proses belajar mengajar.

Sedangkan perpustakaan, komputer, OHP dan alat peraga merupakan hambatan

dalam proses belajar mengajar yang dialami oleh guru dalam menerapkan model

pembelajaran konstruktivisme. Dimana dari jawaban informan menunjukkan

bahwa perpustakaan dan OHP terdapat dua informan yang menjawab dengan

persentase 66,7 persen, sedangkan komputer dan alat peraga menunjukkan bahwa

semua informan menjawab dengan persentase 100 persen.

Menurut Paul S (1997), bahwa konstruktivisme merupakan landasan

berpikir filosofi pendekatan CTL. Siswa perlu untuk dibiasakan memecahkan

masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-

ide. Berdasarkan hal tersebut, tercermin bahwa letersediaan sarana/prasarana


pembelajaran sangat diperlukan demi kelancaran proses belajar mengajar,

utamanya pada penerapan model pembelajaran konstruktivisme.

b. Perangkat Belajar

Perangkat belajar yang terdiri dari silabus dan rencana pembelajaran

merupakan kewajiban yang harus dimiliki setiap guru. Dewasa ini, banyak guru

yang kurang mampu menyiapkan bahkan menyusun rencana pembelajaran

sendiri. Dengan adanya rencana pembelajaran dan silabus maka mempermudah

guru dalam melaksanakan proses pembelajaran di sekolah. Dimana seorang guru

dapat membagi alokasi waktu dengan pemberian materi pelajaran yang akan

diberikan kepada peserta didik sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.

Berdasarkan dari analisis data terlihat bahwa tak satupun dari informan yang

menjawab bahwa silabus dan rencana pembelajaran termasuk hambatan dalam

proses belajar mengajar. Artinya bahwa silabus dan rencana pembelajaran bukan

merupakan hambatan dalam proses belajar mengajar.

c. Metode Penagajaran

Guru harus segera mengenali materi pelajaran dan metode pengajaran yang

membuat peserta didik bosan. Karena, bukanlah tugas seorang guru untuk selalu

beridiri di depan untuk memberikan materi tapi seorang guru harus membantu

peserta didik dalam mengenali, memecahkan dan memahami permasalahan yang

dihadapi oleh peserta didik.

Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa metode ceramah bukan

merupakan hambatan dalam proses belajar mengajar. Metode ceramah dilakukan

dengan cara guru hanya berdiri di depan siswa memberikan materi, sedangkan
metode bertanya dan metode diskusi menunjukkan bahwa ada dua informan yang

menjawab dengan persentase 66,7 persen, sedangkan untuk metode tanya jawab

semuanya menjawab dengan persentase 100 persen. Metode tanya jawab

dilakukan pada saat guru selesai menjelaskan atau memberikan materi dan metode

diskusi dilakukan antara siswa dengan siswa, guru bertindak sebagai mediator dan

fasilitator, metode praktek menunjukkan bahwa ada satu informan yang menjawab

dengan persentase 33,3 persen. Metode bertanya dilakukan pada saat guru

memberikan penjelasan mengenai materi yang diberikan kepada siswa.

d. Literatur

Dalam mpenerapan model pembelajaran konstruktivisme diperlukan

banyaknya literatur, sebab dalam hal ini siswa dituntut untuk menemukan sendiri

masalah yang dipelajari dan memecahkan sendiri masalah yang dihadapinya.

Literatur merupakan perangkat pembelajaran yang bertujuan untuk lebih

memudahkan peserta didik dalam memahami materi yang diajarkan.

Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa ada dua informan yang

menjawab dengan persentase 66,7 persen menyatakan bahwa buku paket

merupakan hambatan dalam proses belajar mengajar. Karena kurangnya buku

paket tersedia sehingga proses belajar mengajar agak terhambat tetapi guru

mengupayakan agar proses belajar mengajar berjalan lancar dengan cara guru

menginformasi yang belum dipahami dan menjelaskan materi kepada siswwa.

Sedangkan media pembelajaran menunjukkan bahwa ada dua informan, yang

menjawab dengan persentase 66,7 persen.

e. Instrumen Penilaian
Dalam suatu penilaian seorang guru harus mengetahui apa yang digunakan

dalam memberikan penilaian pada peserta didik. Karena dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme penilaian yang dilakukan tidak hanya sebatas bahan

materi pelajaran tapi seorang guru harus dapat membawa peserta didik dalam

memahami, mengetahui dan menginterpretasikan tentang materi yang sudah

diberikan serta mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dengan

menggunakan idenya sendiri.

Berdasarkan analisis data menunjukkan bahwa ada satu informan

menyatakan bahwa pemberian tugas merupakan hambatan dalam pembelajaran

dengan persentase 33,3 persen. Sedangkan pemberian LKS dan pembuatan

laporan menurut informan bukan merupakan hambatan dalam pembelajaran

karena tak satupun dari informan yang memberikan jawaban.

f. Dana

Dalam melaksanakan proses pembelajaran, seorang guru dituntut dapat

mempersiapkan materi yang akan dajarkan. Untuk melakukan hal tersebut, maka

guru harus menyiapkan sumber belajar dan penilaian agar dapat terlaksana dengan

baik dan untuk menyiapkan semuanya diperlukan biaya. Dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang,

ternyata dalam persiapan belajar mengajar yang membutuhkan dana merupakan

hambatan dalam penerapan pembelajaran konstruktivisme. Terlihat bahwa ada

satu informan menyatakan bahwa penyediaan buku merupakan hambatan dalam

proses pembelajaran dengan persentase 33,3 persen, dan terlihat bahwa ada dua

informan menyatakan bahwa penyediaan LKS juga merupakan hambatan dalam


proses pembelajaran dengan persentase 66,7 persen, sedangkan penyediaan media

pembelajaran ada tiga informan yang menjawab dengan persentase 100 persen

menyatakan hambatan dalam proses pembelajaran

g. Upaya-upaya yang ditempuh oleh guru dalam menanggulangi

hambatan-hambatan dalam pembelajaran geografi

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dalam penerapan model

pembelajaran konstruktivisme di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang, masih

banyak hambatan yang dihadapi oleh guru. Untuk mengatasi masalah tersebut ada

beberapa langkah yang ditempuh oleh guru yaitu:

1) Mengusahakan sendiri media pembelajaran yang akan dipergunakan atau

memanfaatkan alat peraga yang ada sesuai dengan materi dengan sederhana

Melaksanakan pembelajaran dalam menerapkan model pembelajaran

konstruktivisme mempunyai hambatan dalam bidang sarana/prasarana. Untuk

menanggulangi hambatan tersebut guru mengupayakan agar proses belajar

mengajar tetap berjalan. Secara garis besar upaya yang dilakukan adalah

melaksanakan pembelajaran sesuai dengan sarana/prasarana yang ada. Dengan

maksud, bahwa bukan suatu alasan untuk tidak melaksanakan pembelajaran akan

tetapi tetap melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan sarana/prasarana

yang ada.

Menurut Paul S (1997-82) dalam situasi seperti ini, kita tidak perlu menjadi

idealis untuk melaksanakan model pembelajaran ini secara ketat. Akan tetapi lebih

baik kita mencoba beberapa hal yang dapat dikerjakan atau dilakukan dalam
melaksanakan pembelajaran, kita perlu memilih hal-hal yang dapat dilakukan

dalam memupuk siswa aktif dalam membangun pengetahuan mereka sendiri.

2) Menugaskan kepada siswa untuk membuat alat peraga sendiri. Dengan

demikian dapat menghemat biaya dari sekolah

Untuk menerapkan model pembelajaran konstruktivisme media

pembelajaran mempunyai peran penting dalam meningkatkan kualitas proses

pembelajaran. Dari pembahasan sebelumnya media pembelajaran merupakan

kendala yang dialami oleh guru tapi, bukan berarti tidak melaksanakan

pembelajaran.

Dengan demikian, peranan guru dalam mengembangkan moral siswa,

khususnya siswa usia sekolah dasar dapat dilakukan dengan bentuk usaha-usaha

yang positif. Artinya, guru hendaknya melakukan pendekatan komunikatif

terhadap siswa dalam bentuk pendidikan atau bimbingan yang lemah lembut

sebagai bentuk pendidikan yang baik terhadap siswa-siswanya.

Pelaksanaan belajar dan mengajar merupakan dua aspek yang sulit untuk

dipisahkan. Di satu pihak menuntut murid untuk belajar yang lebih baik,

sedangkan di lain pihak menuntut cara dan pendekatan guru dalam menyampaikan

materi pelajaran yang disajikan. Oleh karena itu, salah satu cara yang terbaik

dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar murid adalah senantiasa memberikan

bimbingan belajar.

Bimbingan belajar merupakan tugas guru sebagai pendidik yang

bertanggung jawab atas prestasi murid di sekolah. Bimbingan juga merupakan

proses pendekatan guru dengan murid dalam interaksi belajar mengajar, agar
motivasi murid dalam mengikuti pembelajaran tetap terjaga dan terus ditingkatkan

guna mencapai prestasi belajar yang diinginkan. Dengan demikian, peranan guru

sebagai pembimbing bagi muridnya tidak dapat dipisahkan bagi tercapainya

proses pembelajaran yang efektif sebagai salah satu perwujudan guna mencapai

prestasi belajar yang lebih baik. Dengan kreativitas guru untuk mengatasi keadaan

tersebut guna menggunakan media pembelajaran alami.

3) Berusaha dalam penguasaan materi pelajaran yang akan diajarkan dan

menentukan sikap indikator dari materi tadi, kemudian dilanjutkan dengan

pembuatan RPP lalu ke Analisis butir soal setelah pelajaran dari materi

selesai

Dalam pengertian konstruktivisme dalam pelaksanaan pembelajaran bahwa

situasi dan kondisi setiap sekolah tidak sama. Ada beberapa sekolah yang tidak

mempunyai macam-macam sarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas

murid. Dalam situasi seperti ini, kita tidak perlu idealis untuk melaksanakan

model ini secara ketat. Lebih baik dalam situasi itu kita mencoba beberapa hal

yang dapat dikerjakan. Kita dapat memilih hal-hal yang dapat dilakukan dalam

memupuk siswa aktif dalam pembelajaran untuk membangun pengetahuan

mereka sendiri. Untuk merangsang keingintahuan siswa perlu dikurangi metode

ceramah yang membuat siswa mengantuk dan bosan, lebih baik diberi waktu bagi

siswa untuk mengekspresikan gagasan, aktif dalam pembelajaran, merumuskan

kesimpulan dan berdiskusi, yang kiranya perlu dikembangkan dalam sistem

belajar mengajar adalah semakin dikembangkannya kesempatan bagi siswa untuk

mengekspresikan apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka tidak ketahui.
Dengan mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, siswa akan dibantu

untuk lebih berpikir dan merefleksikan pengetahuan mereka. Diskusi kelompok,

membuat laporan, praktek lapangan, mengungkapkan pertanyaan dan juga

sanggahan terhadap yang diungkapkan guru. Semua dapat menantang siswa lebih

berpikir dan membangun pengetahuan mereka. Dalam menggunakan media

pembelajaran dalam menerapkan model pembelajaran konstruktivisme tidak sulit

untuk memilih atau menentukan media pembelajaran yang akan dipakai, karena

disesuaikan dengan lingkungan dan materi yang akan diberikan. Memberikan

penilaian kepada siswa dalam menerapkan model pembelajaran konstruktivisme

beda dengan penilaian yang dilakukan dengan cara evaluasi akhir multiple choice

maupun tes-tes yang menuntut pemahaman banyak bahan dan juga hafalan yang

banyak. Penilaian seperti ini menekankan pada isi dari bahan pelajaran, sistem

belajar mengajar konstruktivisme merupakan penilaian memungkinkan siswa

dapat mengungkapkan gagasan mereka sendiri dengan leluasa. Dapat disimpulkan

bahwa melaksanakan proses belajar mengajar masih ada banyak hambatan yang

dialami oleh guru geografi di SMP Negeri 3 Alla Kabupaten Enrekang, bukan

berarti gagal dalam melaksanakan peningkatan proses belajar mengajar. Akan

tetapi, semua itu merupakan bentuk dari peningkatan proses belajar mengajar

yang terlaksana.

Dalam proses belajar mengajar peran seorang guru sangat diperlukan

utamanya dalam penerapan model pemnelajaran konstruktivisme. Dan penjelasan

di atas menyatakan bahwa guru sebagai mediator dan fasilitator artinya guru

menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab


dalam memberikan jawaban tentang persoalan yang diberikan. Karena itu, jelas

bahwa memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru dalam

menerapkan model pembelajaran konstruktivisme. Menyediakan sarana yang

merangsang siswa berpikir secara produktif dan menyediakan kesempatan dan

pengalaman yang paling mendukung dalam proses belajar serta guru harus

menyemangati siswa.

Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal kegiatan yang

dilakukan guru adalah banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa

yang sudah mereka ketahui dan pikirkan, tujuan dan apa yang akan dibuat, ini

dilakukan di kelas dengan maksud supaya dalam proses belajar mengajar siswa

terlibat aktif, guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai

dengan kebutuhan siswa, ini dilakukan dengan cara guru harus berpartisipasi

sebagai siswa bergabung di tengah siswa sehingga mengerti dan mengetahui

pengalaman belajar mana yang akan diberikan kepada siswa, memberi

kepercayaan kepada siswa bahwa mereka dapat belajar dengan maksimal dan

menghargai pemikiran siswa yang terkadang berpikir berdasarkan pengandaian

yang tidak diterima guru.

Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang

keingintahuan dan membantu mengekspresikan gagasan-gagasan dengan

menyelesaikan masalah yang ada dengan ide-ide sendiri. Menyediakan atau

memberikan kegatan berupa pengalaman belajar yang mendukung dalam proses

pembelajaran dan membantu siswa dalam mengemukakan gagasannya dalam

menyelesaikan masalah dalam proses belajar mengajar, karena dalam menerapkan


model pembelajaran kinstruktivisme bukanlah tugas seorang guru langsung

memberikan jawaban mengenai tentang persoalan tetapi diberikan kesempatan

kepada siswa untuk berpikir dalam menemukan jawaban dan memberikan

gagasannya dengan idenya sendiri.

Memonitor, mengevaluasi dan menujukkan apakah pemikiran siswa

berjalan atau tidak guru menunjukkan atau mempertanyakan apakah pengetahuan

siswa berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru mengawasi

dan memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas dari tiap siswa, menghargai

pendapat setiap siswa, dengan memfokuskan pada hal-hal yang akan dipelajari

guru akan menemukan konsep bahwa apakah materi yang diberikan sulit diterima

dan membutuhkan waktu lebih banyak untuk mengkonstruksikannya. Dalam

mengevaluasi proses belajar siswa, guru memberikan persoalan kepada siswa

kemudian mengamati dan memonitor bagaimana cara menyelesaikan persoalan

tersebut, pendekatan kepada siswa dalam menyelesaikan persoalan lebih penting

daripada jawaban akhir yang diberikannya.

Dengan mengamati cara atau proses digunakan siswa, kita dapat menangkap

bagaimana jalannya pemikiran mereka dalam menyelesaikan persoalan. Dalam

mengaitkan kurikulum yang ada model pembelajaran konstruktivisme merupakan

rangkaian model pembelajaran yang ada dalam kurikulum berbasis kompetensi

yang menilai sikap, pengetahuan dan keterampilan. Penilaian dalam model

pembelajaran konstruktivisme siswa dinilai sesuai dengan apa yang diperolehnya

dengan tujuan untuk mengkonstruksi atau membangun pengetahuannya.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka sebagai peneliti dapat

dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

1. Bentuk pelaksanaan model pembelajaran konstruktivisme yang dilakukan

oleh guru geografi di lokasi penelitian adalah guru sebagai mediator dan

fasilitator, menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang

merangsang keingintahuan dan membantu mereka untuk mengekspresikan

gagasan-gagasan dalam menyelesaikan masalah yang ada dengan ide-idenya

sendiri, serta memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran

peserta didik jalan atau tidak.

2. Hambatan yang dialami oleh guru geografi dalam pembelajaran berupa

rencana pembelajaran, metode bertanya, praktek, LKS, penyediaan buku,

perpustakaan, OHP, alat peraga, silabus, metode tanya jawab, metode diskusi,

buku paket, media pembelajaran, pemberian tugas, penyediaan LKS,

komputer, pembuatan laporan, penyediaan media pembelajaran.

3. Upaya-upaya yang ditempuh oleh guru dalam menanggulangi masalah dalam

pembelajaran adalah menerapkan model pembelajaran konstruktivisme tidak

terlalu ketat, akan tetapi mencoba memberikan kesempatan pada siswa untuk

membangun pengetahuannya dengan tujuan merangsang keingintahuannya

dalam memahami materi dan melaksanakan pembelajaran sesuai dengan

sarana/prasarana yang ada.


B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dikemukakan saran sebagai berikut:

1. Diharapkan kepada pihak sekolah utamanya kepala sekolah untuk

menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan proses pembelajaran

geografi agar penerapan model pembelajaran konstruktivisme dapat

dilaksanakan dengan baik.

2. Diharapkan kepada guru bidang studi khususnya guru geografi untuk

memperdalam pengetahuan mengenai model pembelajaran konstruktivisme

agar minat dan motivasi belajar siswa lebih meningkat dan berkualitas.

3. Diharapkan kepada pihak sekolah dan instansi yang terkait untuk aktif

mengontrol kegiatan pembelajaran utamanya pada penerapan model

pembelajaran konstruktivisme agar hasil yang diperoleh maksimal.

4. Penelitian ini jangkauannya cukup luas, sehingga disarankan kepada semua

yang berminat, khususnya tenaga pendidik untuk dapat meneliti masalah yang

sama dengan menggunakan populasi yang lebih besar pada lokasi lain untuk

dijadikan bahan pertimbangan.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. 2002. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru

Aglasindo.

Anonim. 2003. Garis-Garis Besar Haluan Negara. Tap. No II/MPR/1998.

Ansar. 1994. Kompetensi Guru dan Minat Baca Murid dalam Hubungan dengan

Prestasi Belajar SMP dan Sekolah Dasar. Ujung Pandang: IKIP FPIPS.

Boediono. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetemsi. Jakarta: Depdiknas.

Fathurrohman P. 2007. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep

Umum dan Konsep Islami. Bandung: PT. Refika Aditama.

Ghofur, A. 2003. Pedoman Umum Pengembangan Penilaian. Jakarta: Depdiknas.

Haling, A. 2004. Belajar Pembelajaran. Makassar: FIP Universitas Negeri

Makassar.

Hamzah, A. 2003. Pengajaran Bahasa Berbasis Kontekstual. Makassar: FBS

UNM.

Maridana. 2002. Hambatan-Hambatan yang Dialami oleh Siswa dalam Mengikuti

Mata Kuliah Kimia Fisik Jurusan Kimia di SMA (Studi Kasus pada SMU di

Pantai Timur Kabupaten Danggala). Skripsi FMIPA Universitas Negeri

Makassar. Tidak Diterbitkan. Makassar.

Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Mulyono, B. 2003. Geografi untuk SMU Kelas I Semester I. Bandung: PT. Tiga

Serangkai.
Nuramar. 2007. Peningkatan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII4 SMP

Negeri 3 Makassar Melalui Pembelajaran Kooperatif dengan

Mengintensifkan Scaffolding. Skripsi. Makassar: FMIPA Universitas Negeri

Makassar.

Nur, M, Wikandari P.R. 1998. Pendekatan-Pendekatan Konstruktivis dalam

Pembelajaran. Surabaya: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Nasution. 2003. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Nasution, S. 1999. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Paul, Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:

Kanisius.

Phopan, JW. 2001. Teknik Mengajar Secara Sistematik. Jakarta: Rineka Cipta.

Poerwadarminta, W.J.S. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Riduwan. 2004. Metode dan Teknik Penelitian. bandung: Alfabeta.

Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:

Rineka Cipta.

Sudjana. 1992. Metode Statistika. Cetakan III. Bandung: Tarsito.

Sudjana, Nana. 1989. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar

Baru Algensindo.

Suharsini. 1993. Metode dan Prosedur Penelitian. jakarta: Rineka Cipta.

Sutrisno, J dan A. Muzakkir. 1995. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Pustaka Setia.


Singarimbun, Masri. 1998. Metode Penelitian dan Survei. LP3ES.

Tilaar. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.

http:/Surakita.com/artikel.html

Anda mungkin juga menyukai