Anda di halaman 1dari 5

UJIAN TENGAH SEMESTER

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

Oleh :
Nama : Andhika Kusuma
NIM : 201410110311009
Kelas : VII-A

Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
TA 2016/2017
KOMENTAR & TANGGAPAN TERHADAP PASAL 338 DAN 340 KUHP
(DARI SEGI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA)

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga


merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan
hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy).

Sementara itu, A. Mulder berpendapat bahwa Politik Hukum Pidana


(Strafrechtspolitiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan :
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui.
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.

Berdasarkan dimensi di atas, kebijakan hukum pidana pada hakikatnya


merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar
sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius
constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal
reform dalam arti sempit, kerena sebagai suatu sistem, hukum pidana terdiri dari
budaya (cultural), struktur (structural), dan substansi (substansive) hukum.

Sebelum diberlakukannya KUHP, pasti KUHP itu sendiri telah dirumuskan


dengan baik isinya, terutama pasal-pasalnya dan diharapkan pasal-pasal tersebut dapat
diterapkan dengan baik oleh pihak yang berwenang menerapkannya bagi pelaku
kejahatan sehingga akan tercipta keadilan, rasa aman bagi masyarakat dan juga korban
dari kejahatan tersebut. Namun, bagaimana jika ternyata penerapan pasal-pasal tersebut
justru sangat membingungkan dan tidak sesuai dengan apa yang telah dirumuskan
sebelumnya? Salah satu dari pasal tersebut adalah pasal 338 & pasal 340 KUHP.

Pasal 338 KUHP mengatur tentang tindak pidana Pembunuhan Biasa, yang bunyinya:
Barang Siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 340 KUHP mengatur tentang tindak pidana Pembunuhan Berencana, yang
bunyinya:
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.

Keduanya sama-sama mengatur tentang pembunuhan, yang membedakan


adalah unsur berencana yang terdapat di dalam pasal 340. Artinya, jika seseorang
melakukan tindak pidana pembunuhan tanpa perencanaan atau bisa dibilang secara
tiba-tiba, maka ia akan dijerat dengan pasal 338 dan jika dengan rencana terlebih
dahulu, maka ia akan dijerat dengan pasal 340. Tetapi ternyata tidak sesederhana itu
untuk menerapkan pasal-pasal tersebut kepada pelaku pembunuhan, Hal ini terbukti
jika kita melihat kasus Jessica Kumala Wongso yang membunuh Mirna, jaksa dan
hakim terlihat bingung pasal apa yang akan dijeratkan terhadap Jessica atas
tindakannya tersebut. Namun pada akhirnya, jaksa menuntut Jessica dengan pasal 340
KUHP, yaitu pembunuhan berencana.

Pasal 340 KUHP diciptakan untuk dijadikan pembeda dengan pasal 338 KUHP
tentang pembunuhan biasa. pasal 340 KUHP memerlukan 3 syarat agar dapat dikatakan
berencana, yaitu:
1. Pelaku ketika memutuskan kehendak untuk melakukan dalam keadaan tenang;
2. ada tenggang waktu yang cukup untuk memutuskan kehendak dan
melaksanakan perbuatan; dan
3. Pelaksanaan dalam keadaan tenang.

Jadi, jika 3 syarat di atas tidak terpenuhi, maka itu berarti bukan pasal 340
KUHP. Namun dalam kasus Jessica, polisi tidak berhasil menemukan unsur
berencana dari perbuatan Jessica tersebut, lantas kenapa jaksa malah menuntut pasal
340?

Menurut saya, yang dijadikan permasalahan utama disini adalah terkait dengan
kriminilisasi (perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana) dan penalisasi (sanksi apa
yang sebaiknya dikenakan kepada pelaku tindak pidana). Yang akan diperdebatkan
disini adalah terkait formulasi dari dari pasal 338 dan 340. Setelah kasus Jessica
kemarin, tiba-tiba para ahli pidana seketika banyak yang memperdebatkan bahwa
perlukah motif untuk menentukan suatu tindakan pembunuhan biasa dan pembunuhan
berencana? Tetapi dalam rumusan pasal 338 dan 340, sebenarnya memang tidak ada
unsur yang mendukung diperlukannya motif, karena motif diperlukan apabila terdapat
unsur:
1. Sengaja sebagai maksud (Opzet als oogmerk);
2. Sengaja sadar atau insyaf akan keharusan atau sadar akan kepastian (Ozet bij
noodzakelijkheidsbewustzijn);
3. Sengaja sadar akan kemungkinan (Opzet bij mogelijkheidsbewustzijn = dolus
eventualis = voorwaardelijk opzet).
Didalam pasal 338 maupun pasal 340 tidak ditemukan adanya unsur tersebut.

Untuk rumusan pasal 340 KUHP, unsur berencana berserta 3 syarat


didalamnya tersebut sudah dianggap mutlak sebagai satu-satunya alasan untuk
menentukan bahwa tindakan tersebut adalah pembunuhan berencana, sehingga ada
atau tidaknya motif dianggap tidak akan mempengaruhi apapun (tidak diperlukan).
Namun menurut saya secara logika, bukankah setiap tindak pidana itu harus
ada sebab-akibatnya agar tindak pidana bisa terjadi? Unsur berencana dalam pasal 340
KUHP, bisa saja suatu rencana itu muncul karena sebab-sebab tertentu, sebab-sebab
yang membuat pelaku merasa kecewa dan marah sehingga ia membuat rencana untuk
membunuhnya. Ada juga yang bilang bahwa unsur berencana tersebut adalah motif.
Bagaimana bisa? Justru rencana itu bisa saja muncul karena adanya motif.

Tetapi yang paling penting dan harus kita ingat adalah kita harus menyadari
bahwa pembunuhan merupakan perbuatan yang sangat keji dan tidak bisa di maafkan
bagaimanapun caranya karena perbuatan tersebut mengakibatkan berakhirnya hak
seorang manusia untuk hidup. Menurut saya mungkin hal ini juga lah yang membuat
rumusan dalam pasal 340 dan 338 KUHP tidak diperlukannya motif, karena mau ada
sebab atau tidakpun pembunuhan tetaplah perbuatan yang paling tidak bisa dimaafkan,
tidak wajar, dan sangat keji, terutama apabila dilakukan dengan rencana terlebih
dahulu.

Anda mungkin juga menyukai