Kesimpulan: Faktor otot berperan penting dalam TTH episodik. Ibuprofen 400
mg dan Aspirin 1000 mg direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama.
Apa yang sudah diketahui tentang topik ini?
Otot memainkan peran dalam sakit kepala tipe tegang (TTH)
Analgesik berpengaruh pada ketegangan episodic sakit kepala
Database
PubMed dan Cochrane Central telah dicari
1. Perkenalan
2. Faktor otot
2.1 Otot nociceptors
Faktor otot sudah lama diminati dan beberapa mungkin memainkan peran
dalam patofisiologi TTH. Nociceptors ada dalam otot skeletal (Mense dan Meyer,
1985) dan terletak di sepanjang dinding arteriol dan jaringan ikat di otot (Mense,
1993). Nociceptors otot dapat distimulasi secara kimiawi dengan zat endogen
seperti bradykinin, 5-hydroxytryptamin dan ion potasium konsentrasi tinggi, dan
secara mekanis oleh rangsangan berbahaya. Kontraksi iskemik juga bisa
merangsang nociceptors pada otot rangka (Mense and Stahnke, 1983).
Prostaglandin terlibat dalam nyeri otot dengan memediasi peradangan dan
sensitisasi perifer nociceptors (Korotkova dan Lundberg, 2014). NSAID paling
mungkin menggunakan sifat analgesiknya sebagian dengan penghambatan sintesis
prostaglandin.
2.2 Kelembutan dan kekerasan myofascial pada TTH
Studi telah secara konsisten menunjukkan bahwa jaringan myofascial
perikranial jauh lebih lembut pada pasien dengan TTH daripada subyek sehat, dan
kelembutan itu berhubungan positif dengan intensitas dan frekuensi episode TTH
(Jensen, 1999; Lipchik et al., 2000; Buchgreitz et al., 2006; Fernandez-de-Las-
Penas et al., 2007a). Kelembutan meningkat secara merata sepanjang daerah
perikranial di kedua subtipe TTH episodik dan kronis (Langemark dan Olesen,
1987; Jensen et al., 1998; Buchgreitz et al., 2006). Hal ini juga telah ditunjukkan
bahwa otot perikranial lebih sulit palpasi (Ashina et al., 1999). Kelembutan dan
kekerasan telah ditemukan meningkat baik pada hari-hari dengan sakit kepala
maupun tanpa sakit kepala (Ashina et al., 1999; Jensen, 1999; Lipchik dkk, 2000)
mengemukakan bahwa faktor - faktor ini sangat penting bagi perkembangan sakit
kepala dan tidak hanya konsekuensi dari sakit kepala. Apalagi, nyeri leher secara
signifikan lebih umum pada subjek dengan TTH dibandingkan dengan populasi
kontrol (Ashina et al., 2015). Frekuensi nyeri leher terbukti berkorelasi dengan
frekuensi TTH (Ashina et al., 2015).
Apa yang bisa menjadi dasar patofisiologis untuk sakit yang berasal dari
jaringan myofascial? Dibawah kondisi normal, nyeri myofascial dimediasi oleh
serat bermyelin tipis [Ad] dan serat tidak bermyelin [C], sedangkan serat
bermyelin yang tebal [Aa dan Ab] biasanya menengahi sensasi tidak berbahaya
(Newham et al., 1994). Berbagai peristiwa berbahaya dan tidak berbahaya seperti
rangsangan mekanis, iskemia dan mediator kimiawi bisa merangsang dan
menyensor serat-Ad dan serat-C (Mense, 1993) dan karenanya berperan dalam
menghasilkan kelembutan yang meningkat di TTH.
Input nyeri secara terus menerus Sensitisasi jaringan myofascial regio perikranial
dari rangsang yang tidak berbahaya sehingga stimulus normal menjadi nyeri
TTH kronik
Gambar 1. Bagan patofisiologi TTH kronik memberikan 2 tujuan utama dalam penelitian
selanjutnya 1) mengidentifikasi pencetus nyeri nosiseptif perifer untuk mecegah terjadinya
sensitisasi sentral pada pasien dengan TTH episodik 2) menurunkan terjadinya sensitisasi sentral
pada pasien dengan TTH.
Terapi nonfarmakologis yang ditujukan pada komponen otot saat ini telah
banyak digunakan. Bukti ilmiah mengenai efikasi modalitas terapi
nonfarmakologis ini masih sangat sedikit. Hal ini sebagian disebabkan karena
penelitian mengenai terapi nonfarmakologis masih sangat sedikit dan desain
penelitian yang berkualitas masih sulit untuk dilakukan, dengan blinding
penelitian yang benar sebagai salah satu hambatan utamanya. Lalu bagaimana
cara kita mengaplikasikan pengetahuan mengenai faktor-faktor muscular untuk
mengembangkan tatalaksana TTH?
TTH dapat dijelaskan sebagai nyeri otot yang dipersepsikan sebagai nyeri
kepala. Selanjutnya, dapat dijelaskan bahwa apabila nyeri otot dan nyeri kepala
menjadi sangat sering, hal tersebut dapat menggangu system modulasi nyeri di
otak, dimana rangsang yang seharusnya tidak cukup adekuat untuk menyebabkan
nyeri diterjemahkan sebagai nyeri, dan selanjutnya dipersepsikan sebagai nyeri
otot dan nyeri kepala. Lokasi dan derajat nyeri myofascial perikranial dan titik
picunya harus diperiksa dengan palpasi secara manual (dengan tangan) untuk
mengetahui sumber nyeri yang mungkin.
Efek obat dalam mengobati TTH telah diteliti dalam berbagai penelitian,
dimana telah digunakan berbagai pengukuran efisiensi dan memberikan berbagai
hasil. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam membandingkan hasil penelitian.
Pada tahunn 2010, sebuah kelompok peneliti dari European Federation of
Neurological Societies (EFNS) menerbitkan sebuah guideline untuk pengobatan
TTH berdasarkan percobaan controlled trials, revie, meta analisis, dan karena
seringkali bukti berdasarkan percobaan sering mempunyai keterbatasan, maka
disertakan juga berbagai pendapat ahli (bendtsen et al., 2010). Untuk terapi fase
akut, guideline tersebut merekomendasikan parasetamol dan OAINS, termasuk
ibuprofen, aspirin, ketoprofen, naproxen dan diklofenak. Analgesik kombinasi
yang mengandung kafein direkomendasikan sebagai obat lini kedua, karena
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya nyeri kepala akibat
pengobatan berlebihan. Dalam praktek, analgesia sering digunakan secara
kombinasi dengan codein, opioid lain, obat sedative atau penenang, namun
kommbinasi tersebut sebaiknya dihindari karena mempunyai resiko yang tinggi
untuk terjadinya ketergantungan, penyalah gunaan dan menyebabkan nyeri
kepala yang berkepangjangan ( Bendtsen et al., 2003). Triptans, pelemas otot dan
opioid tidak direkomendasikan sebagai terapi TTH ( Bendtsen et al., 2010).
Dua meta analisis menyediakan data yang baru sejak publikasi dari
international guideline. Hal ini dapat menyebabkan perubahan rekomendasi terapi
untuk TTH akut. Sebuah meta analisis dari reandomized placebo controlled trial
tahun 2012 meneliti efisiensi dan keamanan dari parasetamol dibandingkan
dengan OAINS termasuk aspirin ( Yoon et al., 2012). Namun sayangnya, hal
tersebut menggunakan metode yang secara spesifik mengkaji nyeri paska operasi
akut untuk mengubah data rerata menjadi data dikotom; sehingga kesimpulan
tidak terdapat perbedaan terhadap OAINS dosis rending dan parasetamol dalam
pengobatan dapat diragukan.
Obat mana yang paling mungkin efektif untuk TTH episodik? Dengan
pertimbangan bahwa sensitisasi periferberperan dalam TTH episodik, dan bahwa
sensitisasi sentral bertanggung jawab atas perubahan dari episodik menjadi TTH
kronis seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, obat-obatan yang berkerja
dengan baik pada perifer maupun sentral adalah pilihannya. Ini termasuk NSAID
yang menghambat sintesis prostaglandin pada sistem saraf pusat maupun perifer
(Burian dan Geisslinger, 2005). Parasetamol memiliki efek yang kurang menonjol
pada sintesis prostaglandin dan konsisten dengan ini, kemungkinan besar juga
memiliki efek analgesic lebih rendah pada TTH. Hal ini juga sesuai dengan studi
akhir-akhir ini yang tidak menemukan efek parasetamol untuk mengobati nyeri
punggung bawah akut (Williams et al., 2014). Terlepas dari tingkat nyeri yang
tinggi, onset cepat pereda nyeri dianggap sangat penting oleh pasien, seperti yang
telah ditunjukkan pada pasien dengan migrain (Lipton et al., 2002). Ini mungkin
dicapai dengan menggunakan formulasi NSAID yang mudah larut (Moore et al,
2014b). Sebuah tinjauan baru-baru ini tentang ibuprofen kerja-cepat untuk nyeri
akut, pada lebih dari 10.000 pasien terutama dengan sakit gigi, menyimpulkan
bahwa formulasi ibuprofen kerja-cepat mengahasilkan efek analgesic yang lebih
baik dalam onset cepat secara signifikan dari pada formulasi standar ibuprofen.
Kecepatan reduksi nyeri dikaitkan dengan berkurangnya kebutuhan akan
pengobatan kembali (Moore et al, 2014b). Ini akan sangat relevan untuk meneliti
apakah hal yang sama juga terjadi pada TTH. Demikian juga obat dengan
penetrasi tinggi ke dalam SSP seperti etoricoxib mungkin berguna dalam
tatalksana akut TTH (Renner et al., 2010).
Dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan obat yang lebih efektif dan bekerja
cepat untuk pengobatan TTH episodik. Hal ini dapat dicapai dengan
mengembangkan obat-obatan yang dapat bekerja pada sensitisasi perifer dan
sentral pada TTH. Selanjutnya harus diuji apakah formulasi analgesik kerja-cepat
juga memiliki efek kerja cepat yang penting secara klinis pada TTH.
5. Kesimpulan