Anda di halaman 1dari 18

European Journal of Pain (EJP)

Eur J Pain 20 (2016) 166--175


Otot dan perannya dalam tension-type headache episodik: implikasi untuk
pengelolaan

Muscles and their role in episodic tension-type headache: implications for


treatment
L. Bendtsen, S. Ashina, A. Moore, T. J. Steiner
Abstrak
Latar belakang dan tujuan: Tension-type headache (TTH) menjatuhkan beban
berat pada populasi global namun tetap tidak dipahami secara lengkap dan kurang
dikelola.

Database dan Pengolahan Data: Di sini, kami meninjau pengetahuan terkini


tentang faktor perifer yang terlibat dalam mekanisme TTH dan membuat
rekomendasi untuk pengobatan TTH episodik berdasarkan hal ini.

Hasil: Aktivasi perifer atau sensitisasi nociceptors myofascial kemungkinan besar


terlibat dalam pengembangan nyeri otot dan episode akut TTH. Episode berulang
rasa sakit otot bisa jadi peka sistem saraf pusat yang menghasilkan kemajuan TTH
ke bentuk kronis. Dengan demikian, faktor otot mungkin bertanggung jawab tidak
hanya untuk episode sakit kepala akut tapi juga untuk gangguan kronik. Obat
analgesik sederhana dan obat anti-inflamasi non-steroid adalah pengelolaan utama
episode sakit kepala individu. Ibuprofen 400 mg dan Aspirin 1000 mg
direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama berdasarkan efek pengobatan,
profil keselamatan dan biaya. Non-farmakologis terapi meliputi biofeedback
elektromyografi, fisioterapi dan terapi relaksasi otot. Penelitian berikutnya harus
bertujuan untuk mengidentifikasi pemicu nosisepsi perifer dan bagaimana cara
menghindari sensitisasi perifer dan sentral. Masih dibutuhkan obat yang lebih
efektif dan beraksi lebih cepat untuk TTH akut.

Kesimpulan: Faktor otot berperan penting dalam TTH episodik. Ibuprofen 400
mg dan Aspirin 1000 mg direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama.
Apa yang sudah diketahui tentang topik ini?
Otot memainkan peran dalam sakit kepala tipe tegang (TTH)
Analgesik berpengaruh pada ketegangan episodic sakit kepala
Database
PubMed dan Cochrane Central telah dicari

Apa yang ditambahkan studi ini?


Tinjau ulang peran otot dalam sakit kepala dengan penekanan
pada peran sensitisasi perifer
Kajian kritis akan efikasi dan keamanan analgesik untuk sakit
kepala episodik
Mengubah rekomendasi obat terlebih dahulu pilihan untuk TTH
episodik

1. Perkenalan

Tension-type headache (TTH) adalah gangguan kedua tersering di dunia


(Vos et al., 2012), namun tetap saja kurang dipahami dan kurang memadai
dikelola (Schwartz et al., 1997). TTH diklasifikasikan menjadi tiga subtipe
menurut frekuensi sakit kepala: TTH episodik jarang, TTH episodik sering dan
TTH kronis. Subtipe selanjutnya dibagi lagi sesuai dengan ada atau tidak adanya
peningkatan kelembutan perikranial pada palpasi manual (Tabel 1) (Klasifikasi
Sakit Kepala International Headache Society Subkomite, 2013).

Berbeda dengan sakit kepala migrain, tidak ada perbaikan signifikan


dalam pengobatan atau pilihan pengobatan baru untuk TTH yang muncul dalam
dekade terakhir. Meskipun ini mungkin karena pemahaman kita tentang
patofisiologi TTH kurang lengkap dibandingkan dengan migrain, itu harus
dipertanyakan mengapa ini sendiri begitu. Meskipun demikian, pengetahuan baru
tentang patofisiologi dari TTH muncul, dan kita mulai mengerti beberapa
mekanisme kompleksnya (Jensen, 1999; Bendtsen, 2000; Vandenheede dan
Schoenen, 2002; Ashina, 2004; Ashina et al., 2005; Bendtsen dan Jensen, 2006,
2009; Mathew, 2006; Fernandezde-Las-Penas et al., 2007b; Fumal dan Schoenen,
2008). Meskipun penelitian terakhir berfokus terutama pada faktor perifer, yaitu
faktor otot dan nociceptors perifer, baru-baru ini peran penting dari sistem saraf
pusat, terutama pada bentuk kronis dari kelainan ini, menjadi jelas.

Memahami patofisiologi TTH adalah sebuah langkah pertama dan perlu


untuk mengembangkan lebih banyak pengobatan yang efektif. Tanpa ini tidak
akan ada obat spesifik untuk pengelolaannya. Parasetamol (asetaminofen) dan
obat-obatan anti-inflamasi non-steroid (NSAID) termasuk aspirin dianjurkan
sebagai obat pilihan pertama (Bendtsen et al., 2010). Di sini, kami meninjau
pengetahuan terkini tentang faktor-faktor perifer terlibat dalam mekanisme TTH,
dengan saran bagaimana ini bisa mempengaruhi pilihan dan penggunaan
analgesik dan perawatan non-farmakologis untuk mengobati TTH episodik. Kami
mencari dari PubMed dan Cochrane Central (pencarian terakhir Januari, 2015)
menggunakan kata kunci TTH dan memeriksa bibliografi dari makalah asli dan
ulasan untuk studi tambahan.

Tabel 1. Kriteria diagnostik Tension-type headache dari klasifikasi IHS


(Klasifikasi Sakit Kepala International Headache Society Subkomite, 2013)
2.1 Tension-type headache episodik yang jarang terjadi
A. Setidaknya 10 episode terjadi rata-rata <1 hari / bulan (<12 hari / tahun)
dan memenuhi kriteria B-D
B. Sakit kepala yang berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari
C. Sakit kepala memiliki setidaknya dua karakteristik berikut:
1. lokasi bilateral
2. kualitas menekan / mengencangkan (tidak berdenyut)
3. intensitas nyeri ringan atau sedang
4. tidak diperparah dengan aktivitas fisik rutin seperti berjalan kaki
atau menaiki tangga
D. Kedua hal berikut:
1. tidak ada mual atau muntah (anoreksia dapat terjadi)
2. tidak lebih dari satu fotofobia atau fonofobia
E. Tidak dikaitkan dengan kelainan lain
2.2 Tension-type headache episodik sering
Seperti 2.1 kecuali untuk:
A. Setidaknya 10 episode terjadi pada 1 tapi <15 hari / bulan dengan paling
sedikit 3 bulan (12 dan <180 hari / tahun) dan memenuhi kriteria B-D
2.3 Tension-type headache kronis
Seperti 2.1 kecuali untuk:
A. Sakit kepala terjadi pada 15 hari / bulan rata-rata> 3 bulan (180 hari /
tahun) dan memenuhi kriteria B-D
B. Sakit kepala berlangsung beberapa jam atau mungkin terus menerus
D. Kedua hal berikut:
1. Tidak lebih dari satu fotofobia, fonofobia atau mual ringan
2. Mual atau muntah sedang
Tiga subtipe selanjutnya dibagi lagi menurut ada atau tidak adanya nyeri
tekan perikranial pada palpasi manual.

2. Faktor otot
2.1 Otot nociceptors
Faktor otot sudah lama diminati dan beberapa mungkin memainkan peran
dalam patofisiologi TTH. Nociceptors ada dalam otot skeletal (Mense dan Meyer,
1985) dan terletak di sepanjang dinding arteriol dan jaringan ikat di otot (Mense,
1993). Nociceptors otot dapat distimulasi secara kimiawi dengan zat endogen
seperti bradykinin, 5-hydroxytryptamin dan ion potasium konsentrasi tinggi, dan
secara mekanis oleh rangsangan berbahaya. Kontraksi iskemik juga bisa
merangsang nociceptors pada otot rangka (Mense and Stahnke, 1983).
Prostaglandin terlibat dalam nyeri otot dengan memediasi peradangan dan
sensitisasi perifer nociceptors (Korotkova dan Lundberg, 2014). NSAID paling
mungkin menggunakan sifat analgesiknya sebagian dengan penghambatan sintesis
prostaglandin.
2.2 Kelembutan dan kekerasan myofascial pada TTH
Studi telah secara konsisten menunjukkan bahwa jaringan myofascial
perikranial jauh lebih lembut pada pasien dengan TTH daripada subyek sehat, dan
kelembutan itu berhubungan positif dengan intensitas dan frekuensi episode TTH
(Jensen, 1999; Lipchik et al., 2000; Buchgreitz et al., 2006; Fernandez-de-Las-
Penas et al., 2007a). Kelembutan meningkat secara merata sepanjang daerah
perikranial di kedua subtipe TTH episodik dan kronis (Langemark dan Olesen,
1987; Jensen et al., 1998; Buchgreitz et al., 2006). Hal ini juga telah ditunjukkan
bahwa otot perikranial lebih sulit palpasi (Ashina et al., 1999). Kelembutan dan
kekerasan telah ditemukan meningkat baik pada hari-hari dengan sakit kepala
maupun tanpa sakit kepala (Ashina et al., 1999; Jensen, 1999; Lipchik dkk, 2000)
mengemukakan bahwa faktor - faktor ini sangat penting bagi perkembangan sakit
kepala dan tidak hanya konsekuensi dari sakit kepala. Apalagi, nyeri leher secara
signifikan lebih umum pada subjek dengan TTH dibandingkan dengan populasi
kontrol (Ashina et al., 2015). Frekuensi nyeri leher terbukti berkorelasi dengan
frekuensi TTH (Ashina et al., 2015).
Apa yang bisa menjadi dasar patofisiologis untuk sakit yang berasal dari
jaringan myofascial? Dibawah kondisi normal, nyeri myofascial dimediasi oleh
serat bermyelin tipis [Ad] dan serat tidak bermyelin [C], sedangkan serat
bermyelin yang tebal [Aa dan Ab] biasanya menengahi sensasi tidak berbahaya
(Newham et al., 1994). Berbagai peristiwa berbahaya dan tidak berbahaya seperti
rangsangan mekanis, iskemia dan mediator kimiawi bisa merangsang dan
menyensor serat-Ad dan serat-C (Mense, 1993) dan karenanya berperan dalam
menghasilkan kelembutan yang meningkat di TTH.

2.3 Kontraksi otot


Asal mula rasa sakit di TTH biasanya terjadi disebabkan oleh kontraksi
dan konsekuensi iskemia otot kepala dan leher yang meningkat. Eksperimen
pengencangan gigi dilaporkan menginduksi lebih banyak sakit kepala pada pasien
dengan TTH daripada yang sehat (Jensen dan Olesen, 1996), meskipun sebuah
studi pada penderita TTH perempuan muda tidak menemukan perbedaan dalam
perkembangan sakit kepala antara mengepalkan rahang dan prosedur plasebo
(Neufeld et al., 2000). Studi lain menunjukkan bahwa pasien TTH adalah pasien
lebih mampu daripada orang sehat dalam merasakan nyeri bahu dan leher sebagai
respons terhadap olahraga statis (Christensen et al., 2005). Banyak laboratorium
berbasis studi elektromiografi (EMG) melaporkan aktivitas otot normal atau
hanya sedikit meningkat pada TTH (Jensen, 1999). Namun, aktivitas EMG
dilaporkan meningkat dalam pemicu myofascial poin (Hubbard dan Berkoff,
1993), dan mungkin aktivitas terus-menerus yang lama di beberapa unit motor
cukup untuk eksitasi atau sensitisasi nociceptors perifer (Bendtsen, 2000). Ini juga
telah disarankan bahwa aktivitas otot tingkat rendah yang tahan lama bisa
merusak otot serat (Zennaro et al., 2003). Namun, studi buta dari kelompok lain
tidak dapat mendeteksi peningkatan aktivitas EMG spontan di titik pemicu di
pasien dengan TTH kronis (Couppe et al., 2007). Dengan demikian memang
mungkin, tapi jauh dari terbukti, otot pada TTH menunjukkan aktivitas EMG
global yang normal, namun beberapa poin khusus di antaranya, yaitu titik pemicu,
ungkap area kecil peningkatan aktivitas EMG.
Adanya dan pentingnya titik pemicu di kelainan rasa sakit myofascial telah
lama diperdebatkan (Fernandez-de-Las-Penas et al., 2007b; Quintner et al., 2015).
Serangkaian penelitian dilakukan dalam sebuah mode buta menunjukkan
peningkatan jumlah titik pemicu aktif pada pasien dengan episodik sering TTH
dan pada pasien dengan TTH kronis (Fernandez-de-Las-Penas et al., 2006a, b,
2007c; Couppe et al., 2007). Studi ini menunjukkan bahwa nyeri yang disebabkan
oleh titik pemicu aktif di leher dan otot bahu mereproduksi pola sakit kepala pada
pasien dengan TTH episodik yang sering dan kronis. Selain itu, secara kronis,
namun tidak bersifat episodik, TTH, adanya titik pemicu aktif dikaitkan dengan
tingkat keparahan sakit kepala yang lebih besar. Studi lain mengungkapkan
bahwa adanya titik pemicu bilateral di otot trapezius superior dikaitkan dengan
ambang rasa nyeri lebih rendah di TTH kronis (Fernandezde-Las-Penas dkk.,
2007d).
Telah disarankan agar trigger point aktif menyebabkan tingkat mediator
kimia menjadi lebih tinggi seperti bradikinin, peptida terkait gen kalsitonin
(CGRP), zat P, serotonin dan norepinephrine, tidak hanya di sekitar titik pemicu
tapi juga jauh daerah yang bebas dari rasa sakit (Shah et al., 2008). Jika ini benar,
maka secara teori, trigger point aktif dapat menyebabkan sensitisasi nociceptors
perifer, yang pada gilirannya melalui input nociceptive dapat secara terus-menerus
berkontribusi pada sensitisasi dan sentralisasi kronik dari TTH (Fernandez-de-
Las-Penas dan Schoenen, 2009). Kronifikasi dari TTH kemudian akan menjadi
penyebab dari peningkatan kelembutan perikranial (Buchgreitz et al., 2008).
Memang, titik pemicu aktif ditemukan di otot, diinervasi oleh saraf trigeminal,
seperti temporalis, masseter dan otot ekstraokuler, dan di otot yang diserap oleh
segmen C1-C3, seperti sternokleidomastoid, subokcipital dan trapezius superior
(Fernandez-de-Las-Penas et al., 2007b).
Kelenturan otot dan kekerasan pada bagian otot lembut juga bisa
dihasilkan dari kontraktur lokal (mis. perpendekan aparatus kontraktil tanpa
potensial aksi dalam serat otot) daripada kontraksi normal unit motor (Simons dan
Mense, 1998). Mekanisme ini akan menjelaskan kurangnya kelainan EMG di
TTH, tapi mekanisme aktivasi nociceptor perifer oleh contracture belum dipelajari
dengan cukup detail (Mense et al., 2003).
Dengan menggunakan teknik microdialysis, Ashina et al. (2002)
menunjukkan bahwa kadar laktat dalam bagian lembut di otot trapezius tidak
berbeda antara pasien dan subyek sehat selama istirahat dan olahraga statis, dalam
hal ini mengesampingkan iskemia otot pasien. Namun, peningkatan aliran darah
otot selama latihan lebih rendah pada pasien daripada kontrol. Para peneliti
mengatakan bahwa aliran darah yang berubah disebabkan oleh aliran simpatik
yang berubah di pembuluh darah otot lurik sebagai tambahan dari perubahan
plastik pada sistem saraf pusat (central sensitivityization) (Ashina et al., 2002).
Dapat disimpulkan bahwa nyeri otot pada TTH adalah bukan karena
kontraksi otot berlebihan dan iskemia otot. Bagaimanapun, tidak mungkin
dikecualikan bahwa peningkatan tonus otot secara lokal tanpa aktivitas EMG
(kontraktur) dapat menyebabkan mikrotrauma serat otot dan insersi tendon atau
aktivitas yang berlebihan di beberapa unit motor mungkin merangsang atau
menyadarkan nociceptors perifer. Faktanya, teori titik pemicu aktif berperan
dalam TTH mendukung hipotesis, karena otot dengan titik pemicu dapat
menunjukkan aktivitas EMG normal saat istirahat (Fernandez-Carnero et al.,
2010). Titik pemicu kemudian akan menjadi satu-satunya area kecil otot yang
menunjukkan peningkatan aktivitas EMG. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk
menjelaskan pertanyaan-pertanyaan ini.
2.4 Sensitisasi Perifer

Peningkatan kepekaan nyeri myofascial pada TTH diperkirakan terjadi


akibat adanya pelepasan mediator-mediator inflamasi yang menghasilkan eksitasi
dan sensitisasi serabut aferen sensorik saraf perifer pada otot (Bendtsen, 2000).
Namun, Ashina et al. (2003) menunjukkan bahwa konsentrasi interstisial adenosin
5-trifosfat, glutamat, glukosa, piruvat, urea dan prostaglandin E2 in vivo pada otot
selama istirahat dan olahraga statis tidak berbeda secara signifikan antara pasien
dengan TTH kronis dan pasien kontrol yang sehat. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa bagian otot yang rentan pada pasien tersebut tidak
merefleksikan proses inflamasi yang sedang berlangsung. Di sisi lain, Shah et al.
(2008) melaporkan adanya inflamasi berkelanjutan pada titik nyeri. Hal ini
mungkin saja terjadi, namun hingga saat ini belum dapat diklarifikasi, bahwa titik
nyeri tersebut mewakili entitas yang berbeda dari titik picu (Mense, 2011). Hal ini
secara klinis penting dan perlu dikaji dalam studi-studi lain di masa yang akan
dating

Schmidt-Hansen dkk. (2006) menunjukkan bahwa pemberian infus salin


hipertonik pada berbagai otot perikranial dapat mencetuskan adanya nyeri alih
yang dipersepsikan sebagai nyeri kepala pada subyek yang sehat. Mork et al.
(2004) memberikan infus kombinasi zat endogen seperti bradikinin, serotonin,
histamin dan prostaglandin E2 pada otot trapezius dan dilaporkan bahwa pasien
dengan TTH episodik mengalami nyeri yang lebih kuat dibanding subyek kontrol
yang sehat. Hal ini menunjukkan bahwa sensitisasi perifer dari aferen sensorik
myofascial bertanggung jawab atas hipersensitivitas otot pada pasien-pasien TTH.
2.5 Kronisitas TTH

Progesi dari TTH episodik menjadi TTH kronis, contohnya mengalami


nyeri kepala setiap hari, merupakan hal yang penting baik bagi individu tersebut
maupun lingkungannya. Hal ini menjadi penting karena TTH kronis
meningkatkan kemungkinan terjadinya pengobatan yang refrakter, meningkatkan
potensi penggunaan obat pereda nyeri kepala secara berlebihan dan meningkatkan
disabilitas yang berefek pada tingginya biaya personal dan sosioekonomi (Chen,
2009). Dalam studi epidemiologis longitudinal selama 12 tahun mengenai TTH,
sekitar satu setengah dari subjek mengalami remisi sementara 16% tetap dalam
keadaan TTH kronis atau baru berkembang menjadi TTH kronis selama follow-up
(Lyngberg et al., 2005). Faktor muskular tidak hanya berperan dalam episode akut
TTH saja. Dalam hal persepsi nyeri, pencitraan, farmakologi dan studi
longitudinal, telah disebutkan bahwa input nosiseptif jangka panjang dari jaringan
myofascial perifer dalam kaitannya dengan TTH periodik dapat menyebabkan
sensitisasi sistem saraf pusat yang selanjutnya menyebabkan progresifitas TTH
dari episodic menjadi kronik (Bendtsen, 2000; Bendtsen and Jensen, 2006;
Fernandez- de-Las-Penas et al., 2007b; Ailani, 2009; Chen, 2009; Cathcart et al.,
2010; Bendtsen and Fernandez-de-laPenas, 2011; Bezov et al., 2011) (Gambar. 1).
Konversi TTH episodik
menjadi kronis
TTH episodik jarang

Peningkatan frekuensi myofascial Input nyeri pada jaringan


perikranial

TTH episodik sering

Input nyeri secara terus menerus Sensitisasi jaringan myofascial regio perikranial
dari rangsang yang tidak berbahaya sehingga stimulus normal menjadi nyeri

TTH kronik

Gambar 1. Bagan patofisiologi TTH kronik memberikan 2 tujuan utama dalam penelitian
selanjutnya 1) mengidentifikasi pencetus nyeri nosiseptif perifer untuk mecegah terjadinya
sensitisasi sentral pada pasien dengan TTH episodik 2) menurunkan terjadinya sensitisasi sentral
pada pasien dengan TTH.

TTH : Tension Type Headache

Kronifikasi gejala tersebut kecil kemungkinannya terjadi pada penderita TTH


dengan serangan yang jarang, namun hal tersebut menjadi penting apabila terjadi
peningkatan frekuensi dan intensitas nyeri kepala. Secara teoritis, pengobatan
TTH episodik yamg adekuat akan mencegah progresifitasnya menjadi TTH
kronis.

3. Otot dan Relevansinya dengan Pengobatan Nonfarmakologis

Terapi nonfarmakologis yang ditujukan pada komponen otot saat ini telah
banyak digunakan. Bukti ilmiah mengenai efikasi modalitas terapi
nonfarmakologis ini masih sangat sedikit. Hal ini sebagian disebabkan karena
penelitian mengenai terapi nonfarmakologis masih sangat sedikit dan desain
penelitian yang berkualitas masih sulit untuk dilakukan, dengan blinding
penelitian yang benar sebagai salah satu hambatan utamanya. Lalu bagaimana
cara kita mengaplikasikan pengetahuan mengenai faktor-faktor muscular untuk
mengembangkan tatalaksana TTH?

TTH dapat dijelaskan sebagai nyeri otot yang dipersepsikan sebagai nyeri
kepala. Selanjutnya, dapat dijelaskan bahwa apabila nyeri otot dan nyeri kepala
menjadi sangat sering, hal tersebut dapat menggangu system modulasi nyeri di
otak, dimana rangsang yang seharusnya tidak cukup adekuat untuk menyebabkan
nyeri diterjemahkan sebagai nyeri, dan selanjutnya dipersepsikan sebagai nyeri
otot dan nyeri kepala. Lokasi dan derajat nyeri myofascial perikranial dan titik
picunya harus diperiksa dengan palpasi secara manual (dengan tangan) untuk
mengetahui sumber nyeri yang mungkin.

Edukasi pada pasien dengan melakukan pemeriksaan fisik dan pentingnya


faktor muskuler dapat membantu pasien memahami patofisiologi TTH yang
dialaminya dan memotivasi pasien untuk menambahkan terapi nonfarmakologis
dalam tatalaksana TTH. Selanjutnya, pemeriksaan fisik ini membantu tenaga
kesehatan untuk memilih modalitas terapi nonfarmologis yang paling relevan
untuk pasien.

Terapi fisik adalah modalitas terapi nonfarmakologis yang paling banyak


digunakan pada pengobatan TTH yang meliputi perbaikan postur, instruksi
mengenai posisi kerja yang optimal, program relaksasi dan latihan. Perawatan
dengan strategi aktif, seperti latihan relaksasi berbasis rumah untuk bahu
dibanding perawatan pasif seperti pemijatan, umumnya lebih direkomendasikan
(Jensen dan Roth, 2005). Menambahkan pelatihan kranioservikal yaitu latihan
ketahanan dengan beban ringan untuk melatih dan / atau mengembalikan kontrol
atas otot servikoskapular dan kranioservikal, hingga fisioterapi klasik lebih baik
daripada penggunaan fisioterapi saja (van dan Lucas, 2006). Sebuah penelitian
menunjukkan efek menguntungkan dari terapi manual yang menggabungkan
mobilisasi tulang belakang region servikal dan thorakal dengan latihan dan
koreksi postur (Castien et al., 2011).
Strategi terapi psikologis secara ilmiah diperkirakan dapat membantu
efektivitas terapi fisik, walaupun penelitian-penelitian terbaru masih
mempertanyakan buktinya (Verhagen et al., 2009). Terapi relaksasi merupakan
modalitas terapi yang dapat dikontrol sendiri oleh pasien yang memberikan pasien
kemampuan untuk mengurangi ketegangan otot dan peningkatan otonom secara
sadar yang dapat memicu serangan nyeri kepala. Biofeedback EMG dapat
membantu terapi relaksasi tersebut (Nestoriuc et al., 2008). Selama dilakukan
Biofeedback EMG, pasien diberikan tampilan audio maupun visualisasi aktivitas
listri otot-otot di wajah, leher atau bahu. Umpan balik ini membantu pasien untuk
melakukan relaksasi.

4. Otot dan Kaitannya Terhadap Terapi Farmakologi

4.1 Farmakologi Akut

Efek obat dalam mengobati TTH telah diteliti dalam berbagai penelitian,
dimana telah digunakan berbagai pengukuran efisiensi dan memberikan berbagai
hasil. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam membandingkan hasil penelitian.
Pada tahunn 2010, sebuah kelompok peneliti dari European Federation of
Neurological Societies (EFNS) menerbitkan sebuah guideline untuk pengobatan
TTH berdasarkan percobaan controlled trials, revie, meta analisis, dan karena
seringkali bukti berdasarkan percobaan sering mempunyai keterbatasan, maka
disertakan juga berbagai pendapat ahli (bendtsen et al., 2010). Untuk terapi fase
akut, guideline tersebut merekomendasikan parasetamol dan OAINS, termasuk
ibuprofen, aspirin, ketoprofen, naproxen dan diklofenak. Analgesik kombinasi
yang mengandung kafein direkomendasikan sebagai obat lini kedua, karena
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya nyeri kepala akibat
pengobatan berlebihan. Dalam praktek, analgesia sering digunakan secara
kombinasi dengan codein, opioid lain, obat sedative atau penenang, namun
kommbinasi tersebut sebaiknya dihindari karena mempunyai resiko yang tinggi
untuk terjadinya ketergantungan, penyalah gunaan dan menyebabkan nyeri
kepala yang berkepangjangan ( Bendtsen et al., 2003). Triptans, pelemas otot dan
opioid tidak direkomendasikan sebagai terapi TTH ( Bendtsen et al., 2010).

Terdapat beberapa studi yang menyelidiki tentang dosis obat untuk


pengobatan TTH akut ( Steiner and Lannge, 1998; Steiner et al., 2003). Guideline
EFNS merekomendasikan ibuprofen 200-800 mg, ketoprofen 25 mg, aspirin 500-
1000 mg dan parasetamol 1000 mg. Kelompok penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa bukti untuk dosis pengobatan yang optimal sangat jarang, sehingga pilihan
yang tepat adalah dosis obat yang paling efektif dari obat yang dapat ditoleransi
dengan baik oleh pasien.

Demikian juga, terdapat beberapa studi lain yang membandingkan


berbagai macam obat untuk efisiensi dan efek sampingnya pada pasien dengan
TTH (Steiner and Lange, 1998; Steiner et al., 2003). Guideline EFNS
menyimpulkan bahwa 1000 mg paracetamol kemungkinan kurang efektif
disbanding OAINS, namun memilki efek samping terhadap lambung yang lebih
ringan. Ibuprofen 400 mg direkomendasikan sebagai onat pilihan diantara OAINS
yang lain karena efek samping terhadap sistem gastrointestinal yang masih dapat
ditoleransi disbanding OAINS yang lainnya. Namun, disimpulkan juga bahwa
efektifitas obat yang akut cukup rendah dan masih banyak peluang untuk
pengobatan TTH akut yang lebih baik.

Sistematik review yang terdahulu juga menyimpulkan bahwa OAINS


lebih efektif dalam pengobatan TTH episodic daripada parasetamol dan ibuprofen
seharusnya direkomendasikan diantara OAINS atas dasar efek samping yang lebih
sedikit (Verhagen et el., 2006). Guideline Jerman, Swiss dan Austria Headache
society merekomendasikan kombinasi tetap dari aspirin, paracetamol dan kafein
sebagai pilihan pengobatan pertama (Haag et al., 2011), asosiasi Inggris untuk
penelitian nyeri kepala merekomendasikan ibuprofen dan aspirin (Mac Gregor et
al., 2010), sementara Danish Headache Society merekomendasikan buprofen,
ketoprofen, aspirin, naproxen, diklofenak dan parasetamol (Bendtsen et al., 2012).
4.2 Penelitian Terbaru Mengenai Terapi Akut

Dua meta analisis menyediakan data yang baru sejak publikasi dari
international guideline. Hal ini dapat menyebabkan perubahan rekomendasi terapi
untuk TTH akut. Sebuah meta analisis dari reandomized placebo controlled trial
tahun 2012 meneliti efisiensi dan keamanan dari parasetamol dibandingkan
dengan OAINS termasuk aspirin ( Yoon et al., 2012). Namun sayangnya, hal
tersebut menggunakan metode yang secara spesifik mengkaji nyeri paska operasi
akut untuk mengubah data rerata menjadi data dikotom; sehingga kesimpulan
tidak terdapat perbedaan terhadap OAINS dosis rending dan parasetamol dalam
pengobatan dapat diragukan.

Namun, sebuah review sistematik yang luas memeriksa segala intervensi


untuk pengobatan TTH akut dimana dalam percobaan telah dilakukan randomisasi
dan double blinding : hal tersebut mencangkup 55 penelitian serupa dengan
12.143 pasien ( Moore et al.,. 2014c). Jumlah yang membutuhkan pengobatan
berbeda bermakna dengan plasebo karena subjek yang menjadi bebas rasa nyeri
dalam waktu 2 jam berjumlah 8.7 ( 95% CI: 6,2-15) untuk parasetamol 1000 mg,
8.9 (5.9-18) untuk ibuprofen 400 mg dan 9.8 (5.0-146) untuk ketoproven 25 mmg,
dengan ketidak tersediaan data untuk aspirin. Sementara menjadi bebas nyeri
dalam 2 jam merupakan hasil yang diharapkan, jumlah yang membutuhkan
pengobatan dalam rentang 8-10 tidak menunjukan hasil klinis yang signifikan,
setidaknya untuk obat yang sekarang tersedia. Jumlah yang membutuhkan
pengobatan yang lebih rendah (3.5-8.4) untuk keempat obat ini dihitung untuk
hasil bebas nyeri dalam 2 jam, dan asesmen pasien secara menyeluruh. Dalam hal
ini juga memungkinkan bahwa naproxen dan diklofenak lebih efektif daripada
plasebo, namun data masih kurang untuk menjadi yakin akan hal tersebut. Lebih
banyak data lagi diperlukan untuk menunjukan keunggulan satu obat disbanding
yang lain, dan kita tidak mengetahui apakah formulasi OAINS fast acting dapat
memberikan pengurangan rasa nyeri yang lebih baik, seperti pada kasus nyeri akut
lainnya.
Bukti terbaik untuk pengobatan nyeri akut TTH ada untuk ibuprofen 400
mg, aspirin 1000 mg, ketoprofen 25 mg dan paracetamol 1000 mg. hal ini adalah
sebuah kemungkinan, yang belum terbukti bahwa paracetamol 1000 mg mungkin
kurang efektif disbanding ketiga obat lainnya.

4.3 Efek Samping Obat untuk TTH akut

TTH biasanya hanya membutuhkan terapi anti nyeri sewaktu dengan


resiko rendah untuk terjadinya efek samping dan kejadian yang tidak diharapkan
dari pengobatan tersebut. Pada kebanyakan penelitian yang tersedia mengenai
efek samping dari parasetamol dan OAINS didapatkan dari randomized control
trial atau studi observasional yang mengkaji penggunaan dosis tinggi dalam waktu
yang lama. Sebuah artikel menyimpulkan bahwa penggunaan ibuprofen dan
diklofenak berkaitan dengan efek samping gastrointestinal yang lebih nyata
dibandingkan dengan kelompok plasebo ( Bjamason, 2013). Sebuah tinjauan
sistematis lain melaporkan bahwa tingkat terjadinya efek samping dari ibuprofen,
ketoproven, naproxen dan prasetamol dalam dosis tunggal yang digunakan
sebelum operasi tidak menunjukan perbedaan dengan kelompok plasebo, namun
terjadi peningkatan efek samping pada penggunaan aspirin ( 13% pasien dengan
penggunaan aspirin mempunyai setidaknya 1 efek samping dibandingkan dengan
11% pasien yang diberikan plasebo) ( Moore et al., 2011a). Tinjauann yang lain
menyimpulkan bahwa tingkat kejadian efek samping pada terapi nyeri akut jangka
pendek adalah 14,9% untuk aspirin dan 11,1% untuk plasebo perbedaan yang
sangat kecil tersebut sebaiknya tidak dijadikan sebagai acuan dalam menentukan
pemilihan obat anti nyeri jangka pendek yang sebaiknya ditentukan berdasarkan
efisiensi dari obat ( Steiner and Voelker, 2009). Tidak ada bukti mengenai efek
samping kardiovaskular dalam penggunaan ibuprofen dalam dosis non preskripsi
(Moore et al., 2014a). Analisis dalam studi keperawatan menunjukan tidak adanya
peningkatan resiko penyakit kardiovaskular mayor dalam 12 tahun pada pengguna
aspirin, OAINS atau parasetamol sewaktu- waktu (1-14 hari/ bulan) ( Chan et al.,
2006). Tingkat kejadian kerusakan hepar akut yang membutuhkan transplantasi
adalah 3,3 untuk penggunaan paracetamol dalam dosis yang sesuai dan 1,59 untuk
OAINS dalam 1 juta tahun pengobatan ( Gulmez et al., 2013). Tidak ada bukti
yang pasti mengenai manfaat keselamatan untuk parasetamol dibandingkan
ibuprofen dalam dosis non prekripsi yang digunakan selama 7 hari atau kurang (
Rainsford et al., 1997), atau dalam 3 bulan ( Doherty et al., 2011).

4.4 Kesimpulan Tentang Khasiat dan Keamanan

Kemungkinan besar (belum terbukti) , bahwa ibuprofen 400 mg, aspirin


1000 mg dan ketoprofen 25 mg lebih efektif dibandingkan dengan parasetamol
1000 mg. Diantara pilihan obat ini, kami merekomendasikan ibuprofen dan
aspirin sebagai obat lini pertama. Dalam mengeksklusi ketoprofen dari
rekomendasi terakhir kami, kami tidak hanya memperhatikan bukti (evidence)
kemanjuran (efektifitas) dan keamanan yang diuraikan di atas tetapi juga untuk
faktor penting ketersediaan secara universal dengan biaya minimal (International
Drug Price Indicator Guide, 2015), yang merupakan kekurangan ketoprofen. Di
banyak belahan dunia faktor ini sangat penting; ini juga berarti penggunaannya
berlaku di seluruh dunia, dan data mengenai keselamatan tidak dikumpulkan
hanya dari populasi dengan perlakuan khusus. Bagi orang yang minum dosis
analgesik kadang-kadang saja untuk TTH, tidak ada bukti peningkatan risiko
kejadian ikutan buruk yang serius. Secara khusus, ada tidak ada bukti bahwa
parasetamol memiliki efek samping yang lebih baikdibandingkan dengan NSAID.

Dengan memperthatikan data mengenai kemanjuran(efektifitas) dan data


mengenai kemanan penggunaan, serta pertimbangan dari segi biaya biaya, kami
merekomendasikan penggunaan ibuprofen 400 mg dan aspirin 1000 mg ssebagai
obat lini pertama (first line drugs) untuk perawatan TTH akut.

4.5 Apa yang Dibutuhkan Untuk Dapat Meningkatkan Pengobatan Fase


Akut TTH?

Walaupun parasetamol dan NSAID memang memiliki efek signifikan


pada TTH episodik, ukuran efeknya tidak mengesankan. Persentase untuk bebas
rasa sakit 2 jam setelah perawatansekitar 30% (Bendtsen et al., 2010); sebuah
review baru-baru ini melaporkan bahwa NNT untuk hasil ini dibandingkan
dengan plasebo adalah 8-10 untuk parasetamol 1000 mg, ibuprofen 400 mg dan
ketoprofen 25 mg (Moore et al, 2014c). Atas dasar ini, jelaslah perlu perlakuan
yang lebih efektif.

Obat mana yang paling mungkin efektif untuk TTH episodik? Dengan
pertimbangan bahwa sensitisasi periferberperan dalam TTH episodik, dan bahwa
sensitisasi sentral bertanggung jawab atas perubahan dari episodik menjadi TTH
kronis seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, obat-obatan yang berkerja
dengan baik pada perifer maupun sentral adalah pilihannya. Ini termasuk NSAID
yang menghambat sintesis prostaglandin pada sistem saraf pusat maupun perifer
(Burian dan Geisslinger, 2005). Parasetamol memiliki efek yang kurang menonjol
pada sintesis prostaglandin dan konsisten dengan ini, kemungkinan besar juga
memiliki efek analgesic lebih rendah pada TTH. Hal ini juga sesuai dengan studi
akhir-akhir ini yang tidak menemukan efek parasetamol untuk mengobati nyeri
punggung bawah akut (Williams et al., 2014). Terlepas dari tingkat nyeri yang
tinggi, onset cepat pereda nyeri dianggap sangat penting oleh pasien, seperti yang
telah ditunjukkan pada pasien dengan migrain (Lipton et al., 2002). Ini mungkin
dicapai dengan menggunakan formulasi NSAID yang mudah larut (Moore et al,
2014b). Sebuah tinjauan baru-baru ini tentang ibuprofen kerja-cepat untuk nyeri
akut, pada lebih dari 10.000 pasien terutama dengan sakit gigi, menyimpulkan
bahwa formulasi ibuprofen kerja-cepat mengahasilkan efek analgesic yang lebih
baik dalam onset cepat secara signifikan dari pada formulasi standar ibuprofen.
Kecepatan reduksi nyeri dikaitkan dengan berkurangnya kebutuhan akan
pengobatan kembali (Moore et al, 2014b). Ini akan sangat relevan untuk meneliti
apakah hal yang sama juga terjadi pada TTH. Demikian juga obat dengan
penetrasi tinggi ke dalam SSP seperti etoricoxib mungkin berguna dalam
tatalksana akut TTH (Renner et al., 2010).

Menggabungkan analgesik berbeda secara bersamaan juga menunjukan


potensi untuk meningkatkan dampak terapi. Pada nyeri akut dan migrain, manfaat
obat spesifik diketahui aditif, sehingga kemungkinan kombinasi dapat
dieksplorasi terlebih dahulu sebelum memulai uji klinis (Moore et al., 2012).
Kombinasi yang termasuk kafein mungkin diperbolehkan dan yang termasuk
opioid pasti harus dihindari, tapi menggabungkan parasetamol dengan ibuprofen
pada nyeri akut menghasilkan khasiat yang tinggi pada dosis yang relatif rendah
(Moore et al., 2011b). Khasiat analgesik pada nyeri akut mungkin dapat relevan
dengan TTH, dan seharusnya menunjukan kemajuan untuk pengobtan TTH
(Moore et al., 2011a).

Dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan obat yang lebih efektif dan bekerja
cepat untuk pengobatan TTH episodik. Hal ini dapat dicapai dengan
mengembangkan obat-obatan yang dapat bekerja pada sensitisasi perifer dan
sentral pada TTH. Selanjutnya harus diuji apakah formulasi analgesik kerja-cepat
juga memiliki efek kerja cepat yang penting secara klinis pada TTH.

5. Kesimpulan

Aktivasi perifer atau sensitisasi nociceptor myofascial sangat mungkin


terlibat dalam pengembangan nyeri otot dan episode akut dari TTH. Episode
berulang mengenai rasa sakit otot dapat mengsensitasi sistem saraf pusat
menghasilkan progresifitas dari TTH ke bentuk kronis. Faktor otot, oleh karena
itu mungkin bertanggung jawab tidak hanya untuk sakit kepala episodik yang akut
tapi juga untuk bentuk kronisnya. Terapi non-farmakologis harus dilakukan,
termasuk biofeedback EMG, fisioterapi dan relaksasi otot. Ibuprofen 400 mg dan
aspirin 1000 mg direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama untuk
pengobatan TTH episodik berdasarkan efek pengobatan, profil keamanan dan
biaya. Obat-obatan yang lebih efektif dan dapat bekerja secara cepat dibutuhkan
untuk pengobatan TTH episodik. Hal ini dapat dicapai jika kita memperoleh
pemahaman yang lebih baik bagaimana cara melawan sensitisasi perifer dan
sentral pada TTH.

Anda mungkin juga menyukai