Anda di halaman 1dari 24

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM PROSES PRODUKSI

Judul Percobaan : Biobriket Dari Batubara Dengan Campuran Serbuk


Gergaji
Dosen Pembimbing : M. Syahrir, S.T.,M.T.
Kelas : VII A / S1 Terapan
Kelompok : V (Lima)
Nama Mahasiswa / Nim : Dinda Putri Amalia (14 644 008)
Resky Novianti (14 644 035)
Diyah Wulan Sari (14 644 040)
Aditya Rivan Pramana (14 644 061)

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal 2017

Mengesahkan dan Menyetujui


Dosen Pembimbing

M. Syahrir, S.T.,M.T.
19690204 199802 1 001
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Tujuan Percobaan
1. Mahasiswa dapat membuat biobriket
2. Mahasiswa dapat menganalis kualitas biobriket

1.2. Dasar Teori


1.2.1 Batubara
Batubara berasal dari sisa tumbuhan yang telah tertimbun dalam tanah pada
jangka waktu yang lama bahkan sampai ratusan tahun dan telah mengalami proses
kimia dan proses fisika karena perubahan suhu, waktu, tekanan dan adanya bakteri
pembusuk (Batubara Wikipedia Indonesia).
Pada dasarnya batubara terdiri dari tiga komponen yaitu karbon sebagai unsur
utama, zat terbang (mineral organik dan anorganik), serta kadar air. Kandungan ini
mempunyai komposisi yang berbeda setiap peringkat batubara. Batubara lignit
biasanya ditandai dengan tingginya kandungan air dan zat terbang.
Lignit merupakan batubara yang paling rendah, lignit berasal dari kata latin
lignum yang berarti kayu. Warnanya coklat, strukturnya berlapis dan di dalamnya
masih terlihat sisa kayu. Lignit kebanyakan berasal dari tumbuhan yang mengandung
resin dan karena itu tinggi dalam kandungan kadar inherent dan zat terbangnya sampai
30%. Nilai kalornya berkisar (6300 8300 Btu/lb) atau (4800 5400 Kcal/kg) oleh
karena itu kandungan kadar airnya tinggi dan nilai kalornya rendah (Dewi Agustin,
2005).

1.2.2 Klasifikasi Batubara


Klasifikasi batubara merupakan salah satu cara mengelompokkan batubara
tersebut menurut jenis dan kualitasnya. Klasifikasi batubara dibuat berdasarkan data
analisa dan pengujian batubara (Michanarchy, 2013) diantaranya adalah :
1. Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan metalik,
mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
2. Bituminusmengandung 68 86% unur karbon (C) dan mengandung kadar air 8
10% dari beratnya.
3. Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air dan oleh karenanya
menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
4. Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung
kadar air 35 75% dari beratnya, kadar abunya 26,24% dengan nilai kalor yang
rendah yaitu 5.827 kkal/kg (Sukandarrumidi, 1995).
5. Gambut berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling
rendah.
1.2.3 Crusher
Batubara yang didapatkan dari Pusat Unggulan Teknologi (PUT) memiliki
diameter yang beragam. Proses pengolahan briket memerlukan ukuran partikel
batubara yang sama setidaknya berukuran 10 mesh, 12 mesh, dan 14 mesh. Pengecilan
bahan baku batubara dilakukan dengan bantuan alat crusher. Alat crusher dioperasikan
dengan tenaga listrik, dengan alat ini diharapkan ketidakseragaman yang terdapat pada
batubara dapat diminimalisir sehingga proses pembuatan batubara dapat berjalan
optimal.
Crusher merupakan mesin yang dirancang untuk mengurangi besar batubara
keukuran yang lebih kecil. Crusher dapat digunakan untuk mengurangi ukuran atau
mengubah bentuk bahan tambang sehingga dapat diolah lebih lanjut. Oleh karena itu,
penggunaan crusher dalam operasi ini sangatlah penting. Karena fungsi crusher
penting, maka kita perlu mengkajinya lebih jauh.Crusher yang digunakan pada operasi
ini merupakan jenis crusher sederhana. Crusher inidipilih karena memiliki beberapa
keunggulan, yaituharganya yang relatif murah, biaya perawatan yang tidak terlalu
mahal, dan dapat mengecilkan ukuran batubara dengan baik.
Selain itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui ukuran batubara yang
dihasilkan setelah dikecilkan ukurannya dengan crusher, ukuran batubara tersebut
dapat kita ketahui dengan menggunakan screening dan rumus tertentu.Crusher adalah
alat yang digunakan dalam proses crushing yaitu sebuah proses melakukan liberisasi
mineral dari mineral pengotornya.Secara umum fungsi dari semua crusher adalah
dirancang dan dibangun untuk mengurangi ukuran suatu benda lebih kecil dan atau
mengubah bentuk bahan sehingga dapat diolah lebih lanjut.
Prinsip Kerja Crusher, yaitu:
1. Motor listrik memberikan kerja kepada alat crusher
2. Kerja yang diberikan kepada crusher memutar bagian kinetic disc plate pada alat
crusher
3. Pada kinetic disc plate dan fixed disc plate dilengkapi gerigi untuk menggilas
batubara saat kinetic disc plate bergerak
4. Batubara yang telah hancur selanjutnya diayak dengan ukuran lubang tertentu
5. Batubara yang lolos dari ayakan keluar di bagaian bawah alat crusher untuk segera
ditampung.
1.2.4 Screening
Screening atau pengayakan adalah suatu proses pemisahan secara mekanik
berdasarkan perbedaan ukuran partikel suatu material. Setiap pemisahan padatan
berdasarkan ukuran diperlukan pengayakan. Screen mampu mengukur partikel dari 76
mm sampai dengan 38 m.
Setelah melakukan penghancuran batubara atau crusher, maka setelah itu
dilakukan penyeragaman ukuran batubara dengan menggunakan screening. Screening
atau pengayakan adalah suatu proses pemisahan secara mekanik berdasarkan
perbedaan ukuran partikel suatu material.
Operasi screening dilakukan dengan jalan melewatkan material pada suatu
permukaan yang banyak lubang atau opening dengan ukuran yang sesuai. Dari hasil
screening akan didapatkan 2 fraksi yaitu yaitu fraksi oversize (padatan yang tertahan
diatas ayakan akibat diameter partikel padatan lebih besar daripada diameter lubang
yang ada pada ayakan) dan fraksi undersize (padatan yang berhasil lolos dari ayakan
karena diameter partikel padatan lebih kecil daripada diameter lubang yang ada pada
ayakan).
Jika ayakan lebih dari 2 ayakan yang berbeda ukuran lubangnya, maka akan
diperoleh fraksi-fraksi padatan dengan ukuran padatan sesuai dengan ukuran lubang
ayakan.
Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengayakan, yaitu jenis
ayakan, cara pengayakan, kecepatan pengayakan, ukuran ayakan, waktu pengayakan,
dan sifat bahan yang akan diayak
Pengayak terbuat dari kawat dengan ukuran lubang tertentu. Istilah mesh
digunakan untuk menyatakan jumlah lubang tiap inci linear (Parrot,1970). Tabel.1
Menggambarkan nomor standar ayakan dan masing-masing lubang ayakan dinyatakan
dalam milimeter dan inchi.
Tabel 1.2 Lubang Ayakan Standar (Source: www.AZoM.com)

Salah satu yang harus diperhatikan dalam pengayakan adalah jenis


ayakannya.Berdasarkan gerak pengayak, alat ayakan dibagi menjadi 2 jenis, yaitu
stationary screen dan dynamic screen. Beberapa alat ayakan dynamic screen, yaitu:
1. Vibrating Screen, permukaannya horizontal dan miring digerakkan pada frekuensi
tinggi (1000-7000 Hz). Satuan kapasitas tinggi, dengan efisiensi pemisahan yang
baik, yang digunakan untuk range yang luas dari ukuran partikel. Gambar 1.1
menunjukkan jenis ayakan model vibrating screen.

Gambar 1.1 Ayakan Jenis Vibrating Screen


Vibrating screen adalah peralatan sieving yang digunakan untuk penyaringan
atau memisahkan material padatan berdasarkan ukuran partikel suatu material.
Vibrating sieve disusun seri dimana getarannya ada yang dihasilkan dari getaran
mekanis dan eksetris, yang langsung dihasilkan dari permukaan ayakan.
Mekanisme eksetris yaitu semua elektromagnet, seperti berhenti atau meletakkan
unsur ulet untuk memperkuat atau memperhebat getaran efek. Sedangkan getaran
mekanis adalah getaran yang disebabkan oleh pergerakan alat, terdiri dari palu
(hammers), cams, eksentrik, shaker, pemutar dan beberapa kombinasi mekanis
lainnya (Brown,1950). Vibrating screen yang biasa digunakan dalam skala
laboratorium adalah vibrating screen yang digerakkansecara mekanis
menggunakan shaker atau disebut screen shaker. Mesin pengayak atau vibrator
screen ini terbuat dari plat stainless steel dengan frame berbahan besi. Terdiri dari
beberapa lapisan screen sieve berbahan stainless steel yang disusun seri . Dimana
lapisan paling bawah adalah apisan untuk menampung bahan hasil ayakan,
sedangkan lapisan-lapisan diatasnya digunakan untuk menyaring dengan ukuran
partikel hasil ayakan yang berbeda-beda. Prinsip kerja mesin ini adalah
menyesuaikan amplitudo melalui tube-shaped violent vibration screen. Mesin
bergetar dengan berputar seperti lingkaran sehingga material dapat tersaring.
2. Occilating Screen, dioperasikan pada frekuensi yang lebih rendah dari vibrating
screen (100-400 Hz) dengan waktu yang lebih lama, lebih linier dan tajam.
3. Reciprocating Screen, dioperasikan dengan gerakan menggoyang, pukulan yang
panjang (20-200 Hz). Digunakan untuk pemindahan dengan pemisahan ukuran.

Gambar 1.2 Ayakan jenis reciprocating screen

4. Shifting Screen, dioperasikan dengan gerakan dalam bidang permukaan ayakan.


Gerakan aktual dapat berupa putaran atau gerakan memutar. Digunakan untuk
pengayakan material basah atau kering.
5. Resolving Screen, ayakan miring berotasi pada kecepatan rendah (910-20 rpm).
Digunakan untuk pengayakan basah dari material-material yang relatif kasar,
tetapi memiliki pemindahan yang kasar dengan vibrating screen.
Hasil dari suatu pengayakan adalah produk dengan ukuran-ukuran partikel
tertentu. Produk dari proses pengayakan ada dua macam, yaitu:
1. Ukuran lebih besar daripada ukuran lubang-lubang ayakan (oversize)
2. Ukuran yang lebih kecil daripada ukuran lubang-lubang ayakan (undersize)
Dalam proses industri, biasanya digunakan material yang berukuran tertentu dan
seragam. Untuk memperoleh ukuran yang seragam, maka perlu dilakukan
pengayakan. Pada proses pengayakan zat padat itu dijatuhkan atau dilemparkan ke
permukaan pengayak. Partikel yang di bawah ukuran atau yang kecil (undersize), atau
halusan (fines), lulus melewati bukaan ayak, sedang yang di atas ukuran atau yang
besar (oversize), atau buntut (tails) tidak lulus. Pengayakan lebih lazim dalam keadaan
kering (McCabe, 1999).

1.2.5 Briket dan Biobriket


Briket merupakan konversi dari sumber energi padat berupa batubara yang
dibentuk dan dicampur dengan bahan baku lain sehingga memiliki nilai kalor yang lebih
rendah daripada nilai kalor batubara itu sendiri. Batubara dan campuran lain yang
digunakan untuk membuat briket akan melalui proses pembakaran tidak sempurna
sehingga tidak sampai menjadi abu atau biasa disebut dengan proses pengarangan
(karbonisasi). Selanjutnya arang tersebut dicampur dengan perekat, dipadatkan dan
dikeringkan kemudian disebut sebagai briket. Kualitas briket yang baik adalah yang
memiliki kandungan karbon yang besar dan kandungan sedikit abu. Sehingga mudah
terbakar, menghasilkan energi panas yang tinggi dan tahan lama. Sementara Briket
kualitas rendah adalah yang berbau menyengat saat dibakar, sulit dinyalakan dan tidak
tahan lama. Jumlah kalori yang baik dalam briket adalah 5000 kalori dan kandungan
abunya hanya sekitar 8% (Sofyan Yusuf, 2013).
Menurut Sukandarrumidi (1995) dalam J.F. Gultom (2011) dikenal 2 jenis briket yaitu:
1. Tipe Yontan (silinder berlubang), biasanya digunakan untuk keperluan rumah
tangga. Briket tipe ini berbentuk silinder dengan garis tengah 150 mm, tinggi 142
mm, berat 3,5 kg dan mempunyai lubang-lubang sebanyak 22 lubang.
2. Tipe Mametan (bantal/telur), biasanya untuk keperluan industri dan rumah
tangga. Jenis ini mempunyai lebar 32-39 mm, panjang 46-58 mm, dan tebal 20-
24 mm.

Selain itu, dikenal pula beberapa briket dengan bentuk lainnya, seperti briket
bentuk kenari, bentuk sarang tawon (honey comb), bentuk hexagonal atau segi enam,
bentuk kubus dan lain sebagainya. Adapun keuntungan dari bentuk briket yang
bermacam-macam ini adalah sebagai berikut: (1) Ukuran dapat disesuaikan dengan
kebutuhan, (2) porositas dapat diatur untuk memudahkan pembakaran, (3) mudah
dipakai sebagai bahan bakar (Adi Chandra Brades dkk, 2007). Biobriket adalah bahan
bakar yang potensial dan dapat diandalkan untuk rumah tangga maupun industri.
Biobriket mampu menyuplai energi dalam jangka panjang.
Biobriket didefinisikan sebagai bahan bakar yang berwujud padat dan berasal
dari sisa-sisa bahan organik yang mengalami proses pemampatan dengan daya tekan
tertentu. Biobriket dapat menggantikan penggunaan kayu bakar yang mulai
meningkat konsumsinya dan berpotensi merusak ekologi hutan. Biobriket dapat
dibuat dari campuran bermacam-macam sisa bahan organik antara lain sekam padi,
tempurung biji jarak, serbuk gergaji, sabut kelapa, tempurung kelapa (sudah
diarangkan), jerami, bottom ash, bungkil jarak pagar, eceng gondok, kulit kacang,
kulit kayu dan lain-lain. Dalam pembuatan biobriket memerlukan bahan pengikat.
Bahan pengikat organik yang bisa digunakan antara lain kanji, aspal, mollases, parafin
dan lain-lain (Sri Murwanti, 2009).
Penggunaan biobriket diyakini dapat bersaing dengan briket batubara
tentunya dengan berbagai persyaratan. Penggunaan batubara memang secara ad hoc
mampu mengatasi masalah harga BBM yang mahal. Namun dalam jangka panjang,
jika polusi udara maupun darat (sisa pembakaran) tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan kerusakan lingkungan. Memang nilai kalor dari biobriket lebih rendah
dari batubara, tetapi jika dilihat dari aspek polusinya jauh lebih rendah dibandingkan
polusi dari pembakaran batubara, karena Biobriket juga mempunyai kadar sulfur yang
rendah (kurang dari 1%).
1.2.6 Serbuk Gergaji
Serbuk gergajian adalah serbuk kayu dari jenis kayu yang sembarang yang
diperoleh dari limbah ataupun sisa yang terbuang dari jenis kayu dan dapat diperoleh di
tempat pengolahan kayu ataupun industri kayu. Serbuk ini biasanya terbuang percuma
ataupun dimanfaatkan dalam proses pengeringan kayu yang menggunakan metode kiln
ataupun dimanfaatkan untuk bahan pembuatan obat nyamuk bakar. Maka dicari
alternatif untuk membuat limbah gergaji kayu lebih bermanfaat dalam penggunaannya.
(Wijayanti, 2009).
Serbuk gergaji kayu mempunyai kandungan selulosa, lignin, pentosan, air dan
abu. Untuk kadar selulosa didapat sebesar 48,8935%, kadar lignin sebesar 28,8977%,
kadar abu sebesar 2,09435%, kadar air sebesar 6,015% dan kadar pentosan sebesar
14,09945%.
1.2.7 Bahan Perekat
Bahan perekat adalah bahan pencampur pada pembuatan briket yang terdiri dari
bahan perekat organik dan bahan pengikat anorganik. Bahan pengikat diperlukan dalam
pembuatan briket biocoal ini karena dengan adanya perekat maka batubara dan
biomassa dapat dibentuk menjadi briket biocoal. Adapun jenis-jenis perekat terdiri dari
perekat anorganik, perekat hidrokarbon dan perekat kanji atau molase (Peraturan
Menteri dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No: 047 Tahun 2006).
Berdasarkan bahan pengikat dan kualitasnya sangat penting dalam pembuatan
briket biocoal yang baik antara lain (Adi Candras Site, 2008). Pemilihan bahan perekat
harus didasarkan pada :
1. Pengikat harus memiliki daya adhesi yang baik bila dicampur dengan batubara dan
biomassa.
2. Pengikat harus dapat terbakar dan tidak berasap.
3. Pengikat harus mudah didapat dalam jumlah yang banyak dan harganya murah.
4. Pengikat tidak boleh beracun dan berbahaya.
Sagu Aren merupakan salah satu pengikat organik selain tepung tapioka, sagu
aren memiliki kadar karbohidrat cukup tinggi dan ketersediaannya cukup melimpah
khususnya didaerah yang memiliki usaha perkebunan aren. Sebagai sumber
karbohidrat, sagu aren juga memiliki pati dari amilosa dan amilopektin yang
menjadikannya mampu mengikat karbon-karbon dalam briket arang seperti halnya
tapioka (Diana Ekawati Fajrin, 2009).
Tabel 4. Komposisi Proksimat Sagu Aren
Komponen Persentase (%)
Kadar Air 17,82
Kadar Protein 0,11
Kadar Lemak 0,04
Kadar Abu 0,258
Kadar Karbohidrat 81,772
Sumber : Pandisurya, 1983 (dalam Diana Ekawati Fajrin, 2009)
1.2.8 Analisa Proximate
A. Kandungan Air
Penentuan Total moisture ada dua cara, yaitu cara satu tahap dan cara dua
tahap. Pada cara satu tahap, semua moisture dalam sampel langsung ditentukan,
sedangkan pada cara dua tahap, peratama ditentukan free moisture, kemudian
ditentukan residual moisture. Metode yang digunakan yaitu standar ASTM D-3173
dengan rumus :

23
(%) = 21 100% (Pers. 1.1)

Dimana :
m1 = berat cawan kosong (gr).
m2 = berat sampel dan cawan sebelum pemanasan (gr)
m3 = berat sampel dan cawan sesudah pemanasan (gr)

B. Kandungan Abu
Abu adalah bahan yang tersisa apabila bahan bakar padat dipanaskan hingga
berat konstan. Kandungan abu dapat ditentukan melalui metode ASTM D 3174-02
Standard practice of determination of ash in the analysis sample of coal and coke
from coal. Kandungan abu dapat ditentukan dengan rumus berikut:
( )
(%) = (3 4 ) 100% (pers.1.2)
2 1

Dimana :
1 = berat cawan dan tutupnya (gr)
2 = berat cawan dan tutupnya tambah sampel (gr)
3 = berat sampel dan tutupnya tambah ash (gr)
4 . = berat sampel dan tutupnya setelah semua ash dibuang dan
dibersihkan

C. Volatile Matter
Volatile matter ialah banyaknya zat yang hilang bila sampel dipanaskan pada
suhu dan waktu yang telah ditentukan (setelah dikoreksi oleh kadar moisture).
Semakin banyak kandungan volatile matter pada biobriket maka semakin mudah
biobriket untuk terbakar dan menyala, sehingga laju pembakaran semakin cepat.
Besarnya zat mudah menguap dihitung menggunakan standar ASTM D-3175-02
dengan rumus :

( )
= {(2 3 ) 100%} (pers.1.3)
2 1

Dimana :
m1 =berat cawan kosong + tutupnya (gr)
m2 =berat cawan kosong + tutupnya +sampel sebelum dipanaskan (gr)
m3 =berat cawan kosong + tutupnya +sampel setelah dipanaskan (gr)

D. Fixed Carbon
Fixed Carbon (FC) menyatakan banyaknya karbon yang terdapat dalam material
sisa setelah volatile matter dihilangkan. Penentuan fixed carbon dapat dilakukan
dengan metode ASTM D 3172 dengan rumus sebagai berikut:
(%) = 100% (% + % + %) (pers. 1.4)

1.2.9 Standar Mutu Briket


Standar kualitas secara baku untuk briket arang Indonesia mengacu pada standar
Nasional Indonesia (SNI) 01-6235-2000 dapat dilihat pada tabel 1.4.

Tabel 1.4 Standar mutu briket


Sifat arang briket Standar SNI

Kadar air (%maks) 8


Bagian yang hilang pada
15
pemanasan 950C (%maks)

Fixed Carbon (%) -

Kadar abu (%maks) 8

Nilai kalori (cal/g) 5000

Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2000)


BAB II
METODOLOGI
2.1 Alat dan Bahan
2.1.1 Alat yang digunakan
1. Crusher 9. Batang pengaduk
2. Screening 10. Loyang Stainless
3. Neraca Digital 11. Cawan petridish
4. Oven 12. Cawan crucible
5. Desikator 13. Gelas Kimia 250 ml, 500 ml
6. Furnace 14. Gegep
7. Hot Plate 15. Blender
8. Spatula
2.1.2 Bahan yang digunakan
1. Batubara
2. Serbuk gergaji
3. Aquades
4. Tepung sagu

2.2 Prosedur Kerja


A. Crushing Batubara
1. Menyalakan mesin crusher dengan menekan tombol pada papan kontrol
2. Mengambil batubara sebanyak 3 kg
3. Memasukkan batubara ke dalam mesin crusher secara perlahan-lahan,
diameter maksimal batubara yang dapat masuk ke dalam crusher adalah
berkisar 4-5 cm.
4. Menadah hasil yang diperoleh dari crusher tersebut
5. Diameter batubara hasil olahan crusher dan yang akan masuk ke dalam
gasifier adalah 0,91 mm
B. Screening Batubara
1. Menyusun screening dari No. Mesh terkecil (14, 16 dan 18 mesh) secara
berurutan dari atas ke bawah.
2. Memasukkan batubara yang sudah di crushing ke dalam alat screening.
3. Menjalankan alat screen shaker dengan memutar saklar ON dan menjalankan
selama lima menit.
4. Memasukkan batubara ke dalam plastik dengan ukuran batubara 16 mesh.

C. Persiapan Serbuk Gergaji


1. Menghaluskan serbuk gergaji menggunakan blender
2. Memasukkan serbuk gergaji yang telah di blender ke dalam wadah.

D. Pembuatan Bahan Perekat


1. Mencampurkan tepung sagu dan air dengan perbandingan 1:10 (40 gram
tepung: 400 ml air)
2. Memanaskan campuran hingga bercampur dan berwarna bening

E. Pembuatan Briket
1. Menimbang 200 gram batubara dan mencampurkan dengan perekat sagu
sebesar 10, 15 dan 20% dari berat batubara.
2. Mengaduk batubara dan perekat sagu hingga menyatu.
3. Mencetak batubara dengan menggunakan alat cetakan (minimal mendapatkan
3 briket untuk masing-masing variasi komposisi briket dan perekat kanji).
4. Mengulangi langkah 1-3 dengan berat batubara 180 gram dan serbuk gergaji
20 gram.
5. Mengulangi langkah 1-3 dengan berat batubara 140 gram dan serbuk gergaji
60 gram.
6. Mengoven hasil cetakan pada suhu 90C selama 1 jam.

F. Prosedur analisa biobriket


Analisa Kadar Air (ASTM D-3173)
1. Menaikkan suhu oven hingga 105-110C
2. Menimbang cawan petridish kosong + tutupnya, mencatat data
3. Menimbang sampel 1 gram ke dalam cawan petridish, meletakkan di
atas tray.
4. Memasukkan tray beserta sampel ke dalam oven dan meletakkan tutup
cawan petridish di luar.
5. Memanaskan selama 1 jam.
6. Mengeluarkan tray beserta sampel dari oven dan menutup kembali dengan
penutup cawan petridish yang sesuai.
7. Mendinginkan tray beserta sampel di dalam desikator selama 5 menit.
8. Menimbang kembali cawan petridish beserta sampel yang telah
didinginkan.
9. Mencatat data analisa pada lembar kerja analisa.
10. Melakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan
11. Perhitungan:
23
% kadar air = 21 100%

Keterangan:
m1 = massa cawan kosong (gram)
m2 = massa cawan + sampel (sebelum pemanasan) (gram)
m3 = massa cawan + sampel (setelah pemanasan) (gram)
Analisa Kadar Abu (ASTM D 3174)
1. Mencatat nomor sampel, nomor pekerjaan dan nomor crucible pada
lembar kerja analisa.
2. Menimbang cruicible kosong, mencatat data
3. Menimbang sampel 1 gram ke dalam crucible, meratakannya lalu
meletakkan di atas tray.
4. Memijarkan crucible yang telah berisi sampel di dalam furnace pada suhu
400-450C selama 1 jam, kemudian dilanjutkan pada suhu 750c selama
3 jam. Mengeluarkan crucible dari furnace dan mendinginkan di dalam
desikator selama 5-10 menit.
5. Memanaskan crucible yang berisi residu
6. Membersihkan residu di dalam crucible dengan menggunakan kuas
kering.
7. Menimbang crucible kosong setelah pemanasan.
8. Mencatat data analisa pada lembar kerja analisa.
9. Melakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan:
10. Perhitungan:
34
% kadar abu = 21 100%

Keterangan:
m1 = massa cawan kosong (sebelum pemanasan) (gram)
m2 = massa cawan + sampel (sebelum pemanasan) (gram)
m3 = massa cawan + sampel (setelah pemanasan) (gram)
m4 = massa cawan kosong (setelah pemanasan) (gram)
Analisa Uji Volatile Matter (ASTM D 3175)
1. Menaikkan suhu furnace VM hingga 950C.
2. Mencatat nomor sampel, nomor pekerjaan dan nomor cawan crucible
pada lembar kerja analisa.
3. Menimbang cawan crucible kosong beserta tutup kemudian
mencatatnya pada lembar kerja analisa.
4. Menimbang secara merata sampel 1 gram ke dalam cawan crucible,
lalu menutupnya kembali dan mencatat hasil timbangan.
5. Memasukkan cawan crucible yang telah berisi sampel ke dalam
furnace beserta tutupnya dan memijarkan selama 7 menit.
6. Mengeluarkan cawan crucible dari furnace dan mendinginkannya pada
desikator selama 7 menit.
7. Menimbang cawan yang berisi residu yang telah didinginkan tersebut
beserta tutupnya dan mencatatnya pada lembar kerja analisa.
8. Melakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan:
23
%Volatile Matter = ( 21 100% )

Keterangan:
m1 = massa cawan kosong (gram)
m2 = massa cawan + sampel (sebelum pemanasan) (gram)
m3 = massa cawan + sampel (setelah pemanasan) (gram)
Analisa Uji Fixed Carbon (ASTM D 3172)
Penentuan fixed carbon ditentukan dengan rumus:
% Fixed carbon = 100% - (% M) (% ash) (% VM)
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Pengamatan dan Hasil Perhitungan


Tabel 3.1 Analisa Kadar Air

%
% % M1 M2 M3
No Kadar
batubara Perekat (gram) (gram) (gram)
Air
1 100 10 74,6440 75,6440 75,4582 17
2 100 15 75,9083 76,9083 76,7090 19
3 100 20 71,7731 72,7731 72,5893 20
4 90 10 70,2622 71,2622 71,0795 18
5 90 15 85,6685 86,6685 86,4860 18
6 90 20 88,2399 89,2399 89,0525 19
7 70 10 87,0401 88,0401 87,8839 16
8 70 15 75,4696 76,4696 76,3138 16
9 70 20 77,2568 78,2568 78,0926 16

Tabel 3.2 Analisa Kadar Abu

%
% % M1 M2 M3 M4
No Kadar
batubara Perekat (gram) (gram) (gram) (gram)
Abu
1 100 10 21,5922 22,5922 21,6811 21,5934 9
2 100 15 22,3351 23,3351 22,4301 22,3358 9
3 100 20 20,7575 21,7575 20,8449 20,7577 9
4 90 10 25,7387 26,7387 25,8217 25,7396 8
5 90 15 21,1507 22,1507 21,2267 21,1469 8
6 90 20 22,4911 23,4911 24,5626 24,4847 8
7 70 10 25,6414 21,1065 22,1065 21,1624 6
8 70 15 21,1065 26,6414 25,7095 25,6359 7
9 70 20 21,598 22,598 21,6742 21,5907 8
Tabel 3.3 Analisa Uji Volatil Matter

%
% % M1 M2 M3
No volatile
batubara Perekat (gram) (gram) (gram)
matter
1 100 10 35,7200 36,7200 36,0891 45
2 100 15 38,8370 39,8370 39,2112 43
3 100 20 37,4863 38,4863 37,8443 46
4 90 10 38,0845 39,0845 38,4669 43
5 90 15 33,7955 34,7955 34,1623 45
6 90 20 34,7859 35,7859 35,1455 45
7 70 10 34,5543 35,5543 34,8585 54
8 70 15 35,0753 36,0753 35,3818 54
9 70 20 33,5014 34,5014 33,7872 55

Tabel 3.4 Hasil Analisa Biobriket 100% Batubara

Standar Mutu Briket (SNI)


Karakteristik Variasi perekat kanji
01-6235-2000
10% 15% 20%
Kadar air (%) Maks. 8 17 19 20
Kadar abu (%) Maks. 8 9 9 9
Volatile Matter (%) Maks. 15 45 43 46
Fixed Carbon (%) - 28 28 27

Tabel 3.5 Hasil Analisa Biobriket 90% Batubara dan 10% Serbuk Gergaji

Standar Mutu Briket (SNI)


Karakteristik\ Variasi perekat kanji
01-6235-2000
10% 15% 20%
Kadar air (%) Maks. 8 18 18 19
Kadar abu (%) Maks. 8 8 8 8
Volatile Matter (%) Maks. 15 43 45 45
Fixed Carbon (%) - 30 29 28
Tabel 3.6 Hasil Analisa Biobriket 70% Batubara dan 30% Serbuk Gergaji

Karakteristik Standar Mutu Briket (SNI)


Variasi perekat kanji
01-6235-2000
10% 15% 20%
Kadar air (%) Maks. 8 16 16 16
Kadar abu (%) Maks. 8 6 7 8
Volatile Matter (%) Maks. 15 54 54 55
Fixed Carbon (%) - 23 25 20

3.2 Pembahasan
Praktikum ini bertujuan untuk dapat membuat biobriket dan menganalisa kualitas
biobriket. Briket merupakan konversi dari sumber energi padat berupa batubara yang
dibentuk dan dicampur dengan bahan baku lain sehingga memiliki nilai kalor yang lebih
rendah daripada nilai kalor batubara itu sendiri. Adapun komposisi divariasikan anatara
lain batubara 100% ,batubara 90%;serbuk gergaji 10%, dan batubara 70%;serbuk gergaji
30%. Masing-masing komposisi briket ditambahkan perekat sagu dengan variasi 10% ,
15%, dan 20%. Analisa kualitas biobriket meliputi analisa proksimat yang terdiri dari
analisa kadar air, kadar abu, volatile matter dan fixed carbon, serta analisa uji nyala.

Analisa pertama yakni analisa kadar air. Kadar air merupakan banyaknya air yang
terkandung dalam briket. Kadar air mencerminkan kemurnian briket, karena apabila
kadar airnya terlalu besar maka bahan tersebut makin sulit terbakar. Pada gambar 3.1
briket dengan 3 komposisi berbeda diketahui semakin besar penambahan perekat naka
semakin besar kadar air dari briket tersebut. Hal ini disebabkan karena pada proses
pembuatan perekat ditambahkan sejumlah air pada sagu.

Sedangkan jika dilihat dari tabel 3.4 komposisi briket yang berbeda menghasilkan
kadar air yang belum memnuhi standar dimana standar acuan digunakan berupa Standar
Nasional Indonesia atau SNI 01-6235-2000. Kadar air maksimum yang diijinkan yakni
maksimal 8 %. Sedangkan dari hasil analisa diperoleh kadar air terendah sebanyak 16%
dengan komposisi 70% batubara dan 30% serbuk gergaji.
25

20

15
% kadar air

10

0
0 5 10 15 20 25
% perekat

100% Batubara 90% Batubara 70% Batubara

Gambar 3.1 Grafik Kadar Air Briket (%)

Hal ini terjadi dikarenakan semakin tinggi nilai persen perekat maka persen kadar
air juga meningkat. Menurut Asri, dkk (2017) kadar air yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan briket yang dihasilkan semakin lama terbakar.

Analisa kedua yakni penentuan kadar abu pada briket. Tujuannya adalah untuk
mengetahui kandungan mineral yang terdapat didalam briket. Kadar abu juga merupakan
faktor yang menunjukkan kemurnian briket. Kedua metode ini saangat berpengaruh
terhadap kuaitas briket. Pada gambar 3.2 dapat diketahui semakin banyak kandungan
serbuk gergaji maka kadar abu yang dimiliki semakin rendah. Hal ini disebabkan karena
serbuk gergaji merupakan senyawa yang ikut terbang sehingga menyebabkan kadar abu
dari briket semakin rendah. Kadar abu yang tinggi didalam batubara tidak mempengaruhi
proses pembakaran batu bara itu sendiri, namun dapat memperbesar kerugian yang
disebabkan terdapatnya sejumlah bahan bakar yang terbuang bersama dengan abu.
Disamping itu kadar abu tinggi dalam batubara akan mempersulit penyalaan batubara
tersebut.

Pada praktikum ini nilai kadar abu pada komposisi briket 90%batubara;10%
serbuk gergaji dan 70%batubara;30%serbuk gergaji pada masing-masing variasi perekat
memenuhi standar SNI yaitu maksimal 8%. Namun pada komposisi briket 100% batubara
dengan berbagai variasi perekat tidak ada yang memenuhi standar SNI. Hal ini
disebabkan pada saat proses pembakaran menggunakan furnace terdapat galat dimana ada
sebagian briket yang ikut terbakar. Data dapat dilihat pada tabel 3.5 dan gambar 3.2.

10
9
8
7
% Kadar Abu

6
5
4
3
2
1
0
0 5 10 15 20 25
% Perekat

100% Batubara 90% Batubara 70% Batubara

Gambar 3.2 Grafik Kadar Abu Briket (%)

Analisa ketiga yakni analisa volatile matter. Volatile Matter adalah banyaknya zat
yang hilang bila sampel batu bara dipanaskan pada suhu dan waktu yang telah ditentukan.
Volatile yang menguap terdiri atas sebagian besar gas-gas yang mudah terbakar, seperti
hidrogen, karbon monoksida, dan metan, serta sebagian kecil uap yang dapat mengembun
seperti tar, hasil pemecahan termis seperti karbon dioksida dari karbonat, sulfur dari pirit,
dan air dari lempung.

Dari percobaan yang dilakukan diperoleh hasil analisa seperti pada tabel 3.3 dan
gambar 3.3 dimana secara keseluruhan nilai volatil matter baik pada variasi perekat sagu
10% , 15%, maupun 20% mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan teori semakin
banyak perekat maka kandungan zat mudah menguap akan semakin tinggi.
60

50
%Volatile Matter
40

30

20

10

0
0 5 10 15 20 25
% Perekat

100% Batubara 90% Batubara 70% Batubara

Gambar 3.3 Grafik Kadar Volatile Matter Briket (%)

Sedangkan pada analisa fixed carbon diperoleh data analisa seperti pada tabel
3.4;3.5;3.6 dan gambar 3.4. Fixed carbon atau FC menyatakan banyaknya karbon yang
terdapat dalam material sisa setelah volatile matter dihilangkan. FC ini mewakili sisa
penguraian dari komponen organik batubara ditambah sedikit senyawa nitrogen,
belerang, hidrogen dan mungkin oksigen yang terserap atau bersatu secara kimiawi.

Secara keseluruhan hasil fixed carbon tertinggi berada pada komposisi briket
dengan variasi perekat 10%.

35

30
%Fixed Carbon

25

20

15

10

0
0 5 10 15 20 25
% Perekat

100% Batubara 90% Batubara 70% Batubara

Gambar 3.4 Hasil Analisa Fixed Carbon (%)


DAFTAR PUSTAKA
Amborowati, C. 2015. Pengaruh Temperatur Pirolisis dalam Proses Pembuatan Sekam
Padi Menjadi Biobriket. Politeknik Negeri Ssamarinda: Samarinda.
Badan Standarisasi Nasional. 2000. Standar Mutu Briket. 1 Oktober 2017.
http://sismi.bsn.go.id/index.php/sni_main/sni/detail_sni/5781
Manullang., dkk. 2016. Crusher. Politeknik Negeri Samarinda : Samarinda
Saleh.,dkk. 2017. Analisis kualitas briket serbuk gergaji kayu dengan penambahan
tempurung kelapa sebagai bahan bakar alternatif. Fakultas Sains dan Teknologi.
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Setyawan, Arifin. 2010. uji karakteristik pembakaran briket bio-coal campuran batubara
dengan serrbuk gergaji dengan komposisi 100%, 70%, 50%,30%. Skripsi.
Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Tim Laboratorium. 2016. Penuntun Praktikum Laboratorium Pilot Plant. Samarinda :
POLNES
LAMPIRAN
CONTOH PERHITUNGAN (100% Batubara, Perekat 10%)
Analisa Kadar Air
23
% kadar air = 21 100%
75,644075,4582
= 100% = 17%
75,644074,6440

Analisa Kadar Abu


34
% kadar abu = 21 100%
21,681121,5934
= 100% = 9%
22,592221,5922

Analisa Volatile Matter


23
%Volatile Matter = ( 21 100% )
36,720036,0891
= ( 36,720035,7200 100% ) 17% = 45%

Analisa Fixed Carbon


% Fixed carbon = 100% - (% M) (% ash) (% VM)
= 100% - (17 %) (9 %) (45%)
= 28%

Anda mungkin juga menyukai