Anda di halaman 1dari 3

MELIHAT palagan politik kekinian di Aceh sedang diwarnai oleh memanasnya suhu konflik.

Kondisi ini terjadi seiring tewas tertembaknya empat orang anggota kelompok Din Minimi
saat terjadi kontak tembak di pedalaman Pidie. Penyergapan yang berakhir dengan kontak
tembak ini adalah ekses dari meninggalnya dua prajurit TNI yang diduga diculik dan dibunuh
oleh kelompok Din Minimi.
Atas kejadian ini, Din Minimi alias Nurdin bin Ismail Amat selaku pimpinan kelompok
memaklumatkan untuk menyerang balik ke pihak TNI/Polri. Serangan balik ini diarahkan
kepada siapa saja anggota TNI/Polri sampai pos-pos TNI/Polri juga direncanakan akan
diserang (Serambi, 26/5/2015).
Pemerintah Aceh bersama TNI/Polri sudah memaklumkan bahwa kelompok Din Minimi
merupakan kelompok pengacau keamanan. Pemerintah Aceh bahkan menilai bahwa
kelompok Din Minimi hanya mencari sensasi dan eksistensi diri. Namun, benarkah
demikian? Mari sejenak kita melihat dalam paradigma terbalik.
Din Minimi sejak semula mengatakan bahwa tujuan dan fokus pemberontakan mereka adalah
pemerintah Aceh. Bagi kelompok Din Minimi, pemerintah Aceh sudah gagal
menyejahterakan rakyat Aceh. Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh dianggap tidak lagi
memikirkan nasib rakyat Aceh yang miskin, janda dan yatim korban konflik, mantan
kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), serta turunan UUPA dalam bingkai MoU Helsinki
yang tak kunjung diselesaikan.
Kritik tajam
Dari dasar perlawanan yang dilakukan kelompok Din Minimi, dapat terlihat bahwa
tersumbatnya komunikasi politik antara pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Zaini
Abdullah-Muzakir Manaf dengan rakyat Aceh. Perlawanan kelompok Din Minimi bukan
hanya sekadar dimaknai sebagai kriminalitas. Akan tetapi, juga harus dimaknai sebagai kritik
tajam terhadap rezim yang berkuasa. Perlawanan Din Minimi hanya akibat dari sebab
ketimpangan kesejahteraan rakyat Aceh.
Agaknya, alasan pemberontakan kelompok Din Minimi ini ada benarnya. Tengok saja,
tingkat kemiskinan di Aceh belum turun secara signifikan. Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS), pada 2014 lalu, misalnya, jumlah penduduk miskin di Aceh berkisar 881 ribu
jiwa atau sekitar 18,05%. Angka ini meningkat dibandingkan jumlah penduduk miskin di
Aceh tahun 2013, yaitu sebesar 842 ribu jiwa (17,60%). Data ini dapat menjadi indikator,
bahwa kinerja pemerintah Aceh masih jauh panggang dari api.
Alasan lainnya yang juga tidak bisa dilepaskan adalah tidak efektifnya komunikasi politik
Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. Kegagalan komunikasi politik ini berdampak kepada tidak
sejalannya visi dan misi Pemerintah dengan masyarakat. Tersumbatnya keran komunikasi
politik, menyebabkan kegagalan interpretasi rakyat terhadap apa yang sedang dikerjakan
Pemerintah Aceh khususnya terkait dengan program-program kesejahteraan rakyat.
Komunikasi politik dimaknai sebagai proses penyampaian pesan-pesan politik dari aktor
politik (baca: pemerintah) kepada khalayak/rakyat. Poin penting dari komunikasi politik
adalah bagaimana pesan-pesan atau informasi mengenai kebijakan, program kerja, dan misi-
misi aktor politik ditransfer kepada rakyat. Konstruksi pesan politik harus disesuaikan dengan
karakteristik dan kebutuhan rakyat. Tidak kalah pentingnya, pemilihan media penyaluran
pesan-pesan politik agar pesan-pesan itu sampai dan diterima dengan baik oleh rakyat.
Perlawanan kelompok Din Minimi kepada pemerintah Aceh tidak hanya dimaknai sebagai
sebuah tindakan makar. Dalam paradigma yang terbalik, lahirnya kelompok Din Minimi
penting dipandang sebagai sebuah kritik atas buruknya komunikasi politik pemerintah Aceh.
Akibat paling nyata dari buruknya komunikasi politik pemerintah Aceh adalah gagalnya
konsolidasi menyeluruh para mantan kombatan GAM.
Pasca-perjanjian damai di Helsinki, seharusnya konsolidasi seluruh mantan kombatan GAM
sudah selesai dilakukan. Semua kombatan GAM ikut dilibatkan dalam aktivitas baik politik
maupun non-politik. Akan tetapi, keberadaan kelompok Din Minimi yang mengikrarkan diri
untuk melawan pemerintah Aceh menjadi indikasi gagalnya konsolidasi dibangun oleh
mantan petinggi GAM.
Kepemimpinan Aceh yang dipegang oleh duo mantan kombatan GAM yang dulu berjuang
demi kesejahteraan rakyat Aceh, telah gagal menjadi representasi seluruh mantan pejuang
GAM, bahkan gagal mengakomodir kepentingan rakyat Aceh. Kepentingan politik lebih
besar dari pada misi menyejahterakan rakyat Aceh. Janji-janji politik yang dijadikan mesin
pendulang suara saat kampanye Pilkada 2012 dulu, sampai saat ini justru cenderung
terabaikan.
Pemerintah Aceh lebih banyak disibukkan dengan program-program politik simbolik yang
hanya menguntungkan pihak tertentu, Qanun Bendera dan Lambang Aceh misalnya. Apalagi,
sudah selama tiga tahun berkuasa pemerintah Aceh belum mampu menyejahterakan rakyat
Aceh. Janji masa kampanye dulu hanya dijadikan lipstick untuk mendongkrak elektabilitas.
Rakyat Aceh hanya dijadikan sebagai mesin pendulang suara. Ketika sudah berkuasa, janji-
janji itu terlupakan.
Buka ruang komunikasi
Sudah saatnya pemerintah Aceh perlu berbenah diri. Di sisa akhir masa tugas sebagai aktor
politik dan pemimpin rakyat Aceh, jangan hanya bisa ber-dramaturgi dan berapologi. Janji
saat kampanye dulu harus segera direalisasikan. Jangan sampai janji-janji itu hanya tinggal
dalam kertas-kertas usang yang siap untuk dibuang. Jika perlu susun ulang program kerja
yang benar-benar melayani rakyat Aceh. Pemerintah Aceh perlu membuka ruang-ruang
komunikasi politik. Tujuannya, agar rakyat merasa memiliki dan sehati dengan pemimpin
mereka.

Selain itu, pesan-pesan politik pemerintahan sampai dengan tepat, sehingga tidak ada
kesalahan interpretasi oleh rakyat. Sebelum konflik semakin melebar, apalagi bisa
menumbuhkan dendam dari anak-anak mereka yang tewas tertembak. Pemerintah Aceh perlu
segera merespons tuntutan kelompok Din Minimi. Pemerintah Aceh perlu segera
berkomunikasi dengan kelompok Din Minimi. Konflik terjadi akibat tersumbatnya
komunikasi. Namun, komunikasi pula yang membuat konflik bisa mereda.
Semua pihak perlu menahan diri, agar konflik tidak segera membesar. Cukuplah empat orang
anggota Din Minimi yang tewas tertembak. Cukuplah dua orang anggota TNI yang dibunuh.
Damai sudah bersemi di bumi Serambi Mekkah. Air mata sudah lama kering. Ingatan akan
konflik sudah lama terlupakan. Jangan biarkan konflik kembali terbuka hanya karena
keegoan antarpihak.
Rakyat Aceh hanya butuh ketenangan. Rakyat Aceh sudah cinta perdamaian. Komunikasi
bukan segala-galanya, akan tetapi segala-galanya perlu dikomunikasikan. Semoga!
* Yuhdi Fahrimal, M.I.Kom., Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh. Email:
fahrimalhazmi@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai