S eberapa besar atau seringkah pajak menyentuh kehidupan kita? Bayangkan apa yang dilakukan
oleh setiap individu dan/atau perusahaan pada setiap harinya. Membeli dan mengonsumsi
makanan atau minuman, bahan baku & bahan penolong, melakukan perawatan, pemeliharaan &
perbaikan bangunan, kendaraan, mesin dan alat pabrik, mengolah atau mengubah bahan baku &
penolong menjadi barang/jasa, menjual barang/jasa kepada konsumen. Pajak ada di mana-mana,
hampir pada setiap transaksi ada pajak atau semacam pajak yang harus dibayar dan/atau dipungut
oleh pemerintah melalui perusahaan/instansi yang ditunjuk. Sebagian dari harga yang harus dibayar
oleh perusahaan dari aktivitas pembelian atau pengadaan bahan baku & penolong, melakukan
perbaikan kendaraan & alat transport, mesin & alat pabrik adalah pajak. Demikian pula halnya
dengan gaji & upah yang dibayarkan kepada karyawan atau tenaga kerja ada sejumlah pajak yang
harus dipungut atau dipotong oleh perusahaan. Bahkan dari aktivitas penjualan barang/jasa kepada
konsumen, perusahaan harus juga memungut pajak.
Salah satu alasan yang membuat pajak seakan-akan ada di mana-mana adalah karena pajak
merupakan harga yang harus dibayar atas barang/jasa yang disediakan oleh pemerintah. Memang,
bukan keseluruhan harga: karena dalam batas-batas tertentu (untuk beberapa hal, baik secara
langsung atau tidak langsung pemerintah membiayai dirinya melalui pembebanan langsung kepada
pemakai atau pengguna barang/jasa yang disediakan, seperti misalnya: pajak restoran, tarif jalan tol
yang dibebankan kepada para pemakai jalan tol). Namun sumber pembiayaan utama pemerintah di
negara manapun pada umumnya berasal dari pajak yang dipungut atau dikenakan kepada individu
dan badan/organisasi sebagai wajib pajak.
Pajak adalah pembayaran atau pembebanan yang tidak secara langsung berhubungan dengan
barang/jasa yang disediakan oleh pemerintah kepada masyarakat dan badan/organisasi yang berada
dalam wilayah atau dalam jangkauan pemerintah. Di banyak negara, pemerintah pada berbagai
tingkat (pemerintah pusat, pemerintah daerah: kabupaten/kota, provinsi), dan beberapa instansi
mulai dari lembaga pendidikan, rumah sakit, perusahaan transportasi umum, memungut semacam
pajak melalui berbagai macam aktivitas, seperti: pajak penghasilan perusahaan, pajak atas
kekayaan (pajak bumi dan bangunan-PBB, pajak BBM, pajak kendaraan bermotor-PKB), pajak
pertambahan nilai dan penjualan barang mewah (PPN dan PPn BM), pajak atas gaji dan upah.
Beberapa jenis pajak bersifat periodik, seperti misalnya: pajak penghasilan pasal-21 (pajak
atas gaji & upah) yang dikenakan pada setiap kali terjadi pembayaran gaji & upah yang dilakukan
oleh pemberi kerja, pajak penghasilan badan biasanya didasarkan pada jumlah penghasilan dalam
satu tahun pajak. Sedang pajak-pajak yang lain dikenakan/dipungut hanya pada setiap kali terjadi
transaksi yang menyebabkan terutangnya pajak. Sebagai contoh, pajak pertambahan nilai dan pajak
penjualan barang mewah (PPn dan PPn BM), bea-perolehan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB), bea-balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).
Maksud atau tujuan utama pemungutan atau pengenaan sebagian besar jenis pajak adalah
untuk memperoleh pendapatan/penerimaan yang akan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan fungsi-fungsi dan kegiatan pemerintahan. Akan tetapi, karena pemungutan pajak
menyangkut biaya transaksi, maka pajak mempengaruhi perilaku masyarakat (wajib pajak),
sehingga pemungutan pajak juga dapat dan seringkali digunakan untuk oleh pemerintah untuk
mencoba membangun atau membentuk perilaku masyarakat (wajib pajak). Pengenaan atau
pemungutan pajak berupa cukai rokok/tembakau, pajak bahan bakar minyak, pajak
lingkungan/polusi misalnya lebih mengutamakan pada upaya untuk mencapai tujuan sosial
(pembentukan perilaku masyarakat) daripada untuk memobilisasi sumber penerimaan pemerintah.
1
Pajak tampak ada di mana-mana dan terutang atau timbul sebagai akibat dari berbagai
macam aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat sebagai wajib pajak. Pajak juga menyangkut
biaya yang bisa jadi tidak kecil jumlahnya, dan bisa dihindarkan atau dapat dihemat melalui
perubahan perilaku seseorang/badan sebagai wajib pajak. Oleh karena itu, perencanaan pajak bisa
berperan sangat penting untuk dapat membuat keputusan finansial yang baik dan rasional.
2
Wajib Pajak untuk meminimisasikan beban atau kewajiban pajaknya, baik yang berupa Pajak
Penghasilan maupun pajak-pajak yang lain; melalui pemanfaatan fasilitas perpajakan,
penghematan pajak (tax saving), dan penghindaran pajak (tax avoidance) yang sesuai dengan
atau tidak menyimpang dari ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Tujuan perencanaan pajak adalah untuk meminimisasi beban atau pajak yang terutang
(dalam tahun berjalan dan tahun-tahun berikutnya). Sebagai suatu aktivitas, secara garis besar
skope atau lingkup perencanaan pajak dapat digeneralisasi ke dalam dua aspek: (i) aspek formal,
dan (ii) aspek material.
Perencanaan-Aspek Formal
Perencanaan aspek formal menekankan pada aspek administratif dengan tujuan untuk menghindari
sangsi administrasi, dan mempersiapkan atau memudahkan wajib pajak dalam menghadapi
pemeriksaan pajak. Secara garis besar, komponen perencanaan aspek formal meliputi:
Mematuhi peraturan perundang-undangan perpajakan (Compliance),
Kejelasan akun/rekening pembukuan (Self Explanatory),
Ketepatan waktu membayar dan melaporkan pajak (Timeliness), dan
Dokumentasi yang memadai.
Perencanaan-Aspek Material
Perencanaan aspek material bertujuan untuk memperoleh penghematan pajak secara legal (tidak
melanggar hukum & ketentuan perpajakan) sehingga beban atau pajak yang terutang menjadi
minimum, dan laba akuntansi serta laba tunai (arus kas dari aktivitas operasi) sesudah pajak
menjadi maksimum. Perencanaan aspek material menyangkut perumusan strategi dan penerapan
teknik-teknik perencanaan/penghematan pajak, termasuk di antaranya: (1) stabilisasi penghasilan
(income stabilization atau income smoothing), (ii) manajemen laba (earnings management), (iii)
penciptaan beda waktu (temporary/timing differences), (iv) revaluasi atau penilaian kembali aktiva
tetap (assets revaluation), (v) penciptaan sumber penghasilan dari luar negeri, (vi) pemanfaatan
kontrak/transaksi sewaguna usaha (leasing), (vii) pelunasan utang sebelum tanggal jatuh tempo
dan/atau pendanaan kembali utang (refunding debt), (viii) penarikan kembali sekuritas saham dari
peredaran (treasury stock), (ix) desain sistem insentif kepada karyawan berbasis saham (employee
stock ownership plan-ESOP, stock appreciation right-SAR), dan (x) berbagai macam skenario
distribusi kepada pemilik atau pemegang saham perusahaan, seperti misalnya: penarikan kembali
saham dari peredaran saham treasuri (treasury stock), distribusi dividen berupa barang (property
dividend), saham (stock dividend), surat utang dividen (scrip dividend)..
3
Maksimisasi penundaan atau penangguhan (pembayaran) pajak adalah upaya untuk menemukan
cara agar pengakuan penghasilan obyek pajak (pendapatan dan biaya) dapat ditunda dan bukan
sebaliknya dipercepat. Meskipun dari waktu ke waktu, ketentuan perpajakan membuat upaya
penundaan pengakuan penghasilan menjadi semakin sulit untuk dilakukan; namun dalam beberapa
hal peluang untuk itu masih tetap terbuka. Sebagai contoh, perusahaan bisa mendesain transaksi
reorganisasi/restrukturisasi (penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan
usaha) sebagai transaksi bebas atau tidak kena pajak (tax free transaction). Pengakuan terhadap
beberapa jenis keuntungan juga bisa ditunda atau ditangguhkan melalui penggunaan suatu
transaksi pertukaran yang tidak menyangkut pembayaran dan/atau penerimaan kas (like-kind
exchanges). Beberapa jenis penerimaan di muka atas penghasilan yang berasal dari penyerahan jasa
(service revenue) juga dapat ditunda atau ditangguhkan pengakuannya. Melalui pemahaman
terhadap lingkungan bisnis yang dihadapi oleh perusahaan dan bantuan dari konsultan pajak,
apabila diperlukan; manajemen yang prudent akan senantiasa dihadapkan pada beberapa alternatif
aktivitas dan/atau transaksi-transaksi perusahaan yang membawa konsekuensi pada adanya
kebutuhan untuk melakukan penundaan/penangguhan pengakuan penghasilan.
4
dikaitkan dengan (taksiran) masa manfaat dan metode penyusutan yang diperkenankan. Aktiva
tetap berupa bangunan dikelompokkan lebih lanjut ke dalam: (a) bangunan permanen, dan (b)
bangunan tidak permanen. Sedang untuk aktiva tetap bukan bangunan masih dikelompokkan lebih
lanjut ke dalam 4 subkategori kelompok umur atau masa manfaat, yaitu: (a) aktiva tetap bukan
bangunan kelompok-1, (b) aktiva tetap bukan bangunan kelompok-2, (c) aktiva tetap bukan
bangunan kelompok-3, dan (d) aktiva tetap bukan bangunan kelompok-4.
5
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, harus dikapitalisasi untuk kemudian diamortisasi
selama atau sesuai dengan masa manfaat pengeluaran tersebut.
Seperti halnya pada depresiasi/penyusutan proses alokasi harga perolehan aktiva tetap
berwujud sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (biaya fiskal,
harga perolehan aktiva/harta tak berwujud diamortisasi berdasar metode garis lurus dan metode
saldo menurun sesuai dengan masa manfaat, dengan nilai sisa buku pada akhir masa manfaat
diamortisasi sekaligus. Secara garis besar, penggolongan, metode dan besaran tarif amortisasi
aktiva/harta tak berwujud dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
Khusus untuk perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan dan pengeluaran lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun diamortisasi berdasar metode satuan produksi. Sedang atas pengeluaran
untuk memperoleh hak penambangan selain penambangan minyak dan gas bumi, dan hak
pengusahaan hutan (HPH) yang bermanfaat lebih dari 1 tahun diamortisasi dengan metode satuan
produksi berdasar tarif setinggi-tingginya 20% (dari nilai perolehan) per tahun.
6
perusahaan menerima penawaran dari pemasok untuk membeli barang dagangan berdasar kontrak
jangka panjang (satu tahun), yang pembayarannya harus dilakukan pada setiap kali terjadi
pengiriman sebagai berikut: (i) 10.000 unit per bulan dengan harga @ Rp150.000,00, atau (ii)
30.000 unit per triwulan dengan harga @ Rp146.250,00. Untuk tahun pajak 2012, volume
penjualan perusahaan direncanakan akan berjumlah 10.000 unit per bulan. Meskipun tidak
mempengaruhi aktivitas penjualannya, namun perbedaan siklus pengiriman yang ditawarkan oleh
pemasok di samping mempengaruhi harga beli atau kos per unit barang juga mempengaruhi nilai
rata-rata persediaannya. Terlepas dari profitabilitas yang akan dihasilkan dalam transaksi
penjualannya (tergantung pada harga jual per unit barang yang ditetapkan dan harga pokok
penjualannya), efek perbedaan siklus/jadual pengiriman yang ditawarkan oleh pemasok terhadap
kebutuhan modal kerja per bulan dapat ditentukan sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):
Perhatikan bahwa kebutuhan modal kerja berbeda pada kedua alternatif pengiriman barang yang
ditawarkan oleh pemasok. Pada pengiriman barang yang dilakukan pada setiap bulan, rata-rata
jumlah investasi modal kerja berupa barang dagangan memang berjumlah lebih besar (Rp1,500
milyar) dibandingkan dengan pengiriman barang yang dilakukan pada setiap triwulan (Rp1,46 25
milyar). Namun sebagai pengusaha kena pajak, perusahaan juga memerlukan investasi modal kerja
dalam bentuk PPN-Masukan untuk setiap unit barang yang masih dalam persediaan dalam periode
terkait. Dengan pengiriman dilakukan pada setiap bulan rata-rata persediaan akan berjumlah 5.000
[(0 + 10.000)/2] unit. Sedang pada pengiriman triwulanan, rata-rata persediaannya akan berjumlah
15.000 [(0+30.000)/2] unit. Meskipun bukan satu-satunya faktor, namun jelas keberadaan PPN-
Masukan sebagai komponen modal kerja harus juga dipertimbangkan di dalam membuat keputusan
terkait dengan aktivitas pengadaan barang dagangan tersebut.
Perencanaan pajak bisa mempengaruhi pengambilan keputusan, bahkan pada hampir setiap
alternatif yang terkait dengan pajak. Sebagai contoh, suatu perusahaan wajib pajak-orang pribadi
dalam negeri yang bergerak dibidang usaha transportasi umum. Manajemen harus membuat
keputusan tentang misalnya, apakah sebaiknya perusahaan membeli lepas kendaraan atau alat
transportasinya atau mendapatkannya melalui kontrak sewaguna usaha. Terkait dengan pajak
penghasilan, misalnya setiap perusahaan harus mempertimbangkan efeknya terhadap setiap
alternatif yang tersedia dalam aktivitas operasi (pengadaan barang/jasa), aktivitas investasi atau
pemerolehan aset tetap, dan aktivitas pendanaan atau pembiayaannya. Bahkan harus dimulai dari
sejak pemilihan bentuk-bentuk badan usaha, pengaturan struktur perusahaan.
Banyak orang berfikir bahwa meminimisasi beban pajak seharusnya menjadi tujuan dari
perencanaan pajak. Pemikiran demikian itu tidak sepenuhnya benar dan kurang mendasar karena
pajak hanya merupakan salah satu faktor; dalam suatu kombinasi antara biaya atau pengorbanan
dan faktor-faktor lain yang menghasilkan basis pemungutan pajak, yaitu penghasilan atau laba dan
harta/kekayaan. Berbicara tentang minimisasi pajak, tidak ada beban pajak yang lebih rendah dari
nihil. Siapapun (baik individu maupun badan/organisasi) dapat dengan mudah menghindari banyak
macam kewajiban untuk membayar pajak dengan membuat dirinya agar tidak berpenghasilan (atau
untuk Wajib Pajak-Perorangan berpenghasilan sebesar batas maksimum penghasilan tidak kena
pajak saja) dan tidak memiliki harta atau kekayaan (atau memiliki kekayaan berupa tanah dan
bangunan sebesar batas maksimum nilai jual obyek pajak tidak terkena pajak- untuk Wajib Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan). Namun tidak seorangpun bercita-cita atau berkeinginan untuk hidup
dalam kondisi miskin semacam itu; meskipun akan terbebas dari kewajiban untuk membayar pajak.
Di samping itu, setiap strategi yang dapat digunakan untuk mengurangi beban atau menghemat
pajak hampir dapat dipastikan bukan tanpa biaya. Dengan asumsi, tidak ada hal lain kecuali untuk
7
memperoleh penghematan pajak; biasanya manajemen tidak akan memfokuskan pada upaya untuk
meningkatkan omset penjualan (atau peredaran brutonya), meningkatkan kualitas produk, atau
memproduksi barang/jasa secara lebih efisien. Dengan lain perkataan, tujuan perencanaan pajak
adalah optimisasi dan bukan minimisasi pajak. Perencanaan pajak harus diarahkan pada
tercapainya keseimbangan antara manfaat dengan biaya (pengorbanan) dan risiko yang timbul di
dalam implementasinya.
Setiap strategi penghematan pajak juga tidak tanpa risiko. Perubahan aktivitas operasi
perusahaan untuk memperoleh penghematan pajak (dari bisnis tunggal menjadi multi-bisnis)
biasanya berdampak pada kenaikan biaya administrasi jangka panjang dan membuat laba menjadi
semakin tidak pasti, karena Undang-undang Perpajakan bisa berubah secara dramatis, berlangsung
cepat dan seringkali tak terduga; dan secara keseluruhan ketentuan-ketentuan perpajakan seringkali
tidak jelas atau multitafsir.
Dalam transaksi antar negara, interaksi dari berbagai macam pajak yang dipungut oleh
masing-masing otoritas pajak harus juga dipertimbangkan. Strategi penghematan pajak juga bisa
mengganggu. Sebagai contoh, mengapa suatu perusahaan yang bertempat kedudukan dan
menjalankan usahanya di Indonesia ditengarai oleh tarif pajak penghasilan yang relatif tinggi- dan
senantiasa memperoleh laba atau keuntungan tidak berusaha untuk memindahkan tempat
kedudukan dan lokasi usahanya ke Singapura- yang tarif pajak penghasilannya relatif lebih rendah?
Salah satu alasannya barangkali adalah relatif besarnya biaya yang diperlukan untuk memindahkan
tempat kedudukan dan lokasi usahanya. Alasan yang lain adalah adanya faktor-faktor di luar pajak
yang justru lebih dominan di dalam membuat keputusan terkait. Bisa jadi, pemilik perusahaan
merasa lebih nyaman untuk bertempat tinggal atau berdomisili dan bekerja di Indonesia daripada di
Singapura. Alasan yang lain lagi, bisa jadi disebabkan oleh karena relatif rendahnya tarif upah
tenaga kerja, adanya jaminan pasokan bahan baku yang lebih baik, tidak adanya perusahaan
pesaing, dan kedekatan jarak antara pabrik dengan tempat tinggal konsumen; apabila perusahaan
bertempat kedudukan dan menjalankan usahanya di Indonesia.
Untuk menaikkan nilai kekayaan para pemilik, perusahaan harus melakukan transaksi .
Nilai perusahaan bisa meningkat dengan berbagai alasan: misal nilai aktiva nonkas perusahaan bisa
saja mengalami kenaikan sebagai akibat dari kenaikan harga pasar, yang berada di luar kendali
manajemen. Namun transaksi pemerolehan dan pengonversian aktiva nonkas tersebut menjadi kas
sudah pasti/harus terjadi. Di dalam menjalankan usahanya, terdapat berbagai macam transaksi akan
8
terjadi di dalam perusahaan; yang secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam 3 kategori
transaksi: (1) transaksi-transaksi terkait dengan aktivitas operasi, (2) transaksi-transaksi terkait
dengan aktivitas investasi, dan (3) transaksi-transaksi terkait dengan aktivitas pendanaan.
Jika setiap transaksi dapat didesain sedemikian rupa sehingga nilainya dapat dimaksimumkan,
maka pada akhir periode jumlah akumulatif dari keseluruhan transaksi akan memaksimumkan nilai
perusahaan. Namun setiap transaksi mengundang kehadiran pihak ketiga, yaitu pemerintah. Oleh
karena itu, dalam mendesain transaksi harus juga mempertimbangkan efeknya terhadap beban atau
kewajiban pajaknya.
Efek Pajak dari setiap transaksi dapat dikelola dengan suatu strategic manner
Sebagai teknik atau strategi untuk memperoleh penghematan atau meminimisasi beban atau
kewajiban pajak, istilah SAVANT merupakan kependekan dari, strategi, antisipasi, value adding,
negosiasi, dan transformasi sebagai berikut.
9
Aspek Antisipasi (A)
Secara garuis besar, aspek antisipasi menyangkut tiga hal, yaitu: lingkungan bisnis, perubahan
peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan baik yang sudah pasti akan diberlakukan
maupun yang kemungkinan akan diberlakukan di masa yang akan datang.
Perusahaan beroperasi dalam suatu lingkungan yang dinamis, sehingga perlu mengantisipasi
tentang apa yang akan dilakukan oleh pesaing, pasar, dan pemerintah (regulasi).
Terkait dengan kewajiban atau beban pajaknya, pengaturan (adjustment) waktu/saat terjadinya
transaksi sebagai antisipasi akan terjadinya perubahan ketentuan perpajakan harus dilakukan.
Pengaturan (adjustment) waktu/saat terjadinya transaksi dilakukan hanya apabila ada kepastian
akan status pajaknya di masa mendatang atau apabila perubahan ketentuan perpajakan sudah
diketahui karena sudah diumumkan sebelumnya.
Anticipation and Certain Tax Changes
Untuk perubahan ketentuan perpajakan yang sudah pasti, pada tingkat korporat; masalah
penyesuaian atau pengaturan waktu terjadinya transaksi (adjustment of timing of transactions)
biasanya difokuskan pada upaya untuk menunda atau mempercepat pengakuan penghasilan kena
pajak (menunda atau mempercepat pengakuan penghasilan dan biaya atau pengurang penghasilan)
ke dalam masa atau tahun pajak yang relatif rendah tarif pajaknya. Hak atas kompensasi kerugian
harus juga dipertimbangkan di dalam membuat penyesuaian waktu/saat terjadinya transaksi sebagai
respon terhadap perubahan ketentuan perpajakan yang sudah pasti.
Anticipation and Uncertain Tax Changes
Pada dasarnya penyesuaian/pengaturan waktu terjadinya transaksi adalah fokus dari antisipasi
terhadap setiap perubahan ketentuan perpajakan, baik untuk perubahan yang sudah pasti maupun
perubahan yang belum pasti (belum diumumkan oleh pemerintah). Untuk perubahan ketentuan
perpajakan yang belum pasti, penerapan strategi antisipasi menyangkut penentuan probabilitas
terhadap setiap kemungkinan/tipe perubahan. Pengambilan keputusan untuk menyesuaikan waktu
terjadinya transaksi didasarkan pada expected tax saving atau tax benefits minus any related
transaction costs yang bisa diperoleh dari hasil implementasi strategi antisipasi tersebut.
10
firm). Terdapat beberapa peluang di mana prinsip-prinsip perencanaan pajak sebagaimana
dikemukakan tersebut dapat diimplementasikan:
Transaksi pertukaran antar aktiva sejenis (tanpa disertai penerimaan/pengeluaran kas)
Pembentukan kantor cabang di luar negeri
Penjualan angsuran
Rekapitalisasi (Restrukturisasi finansial atau kuasi reorganisasi)
Management stock options
Employee stock option plans (ESOP)
Other Measure of Value-Adding
Discounted cash flows (DCF) bukan satu-satunya metode pengukuran kenaikan nilai
perusahaan yang dapat digunakan. Setiap tahun para pemodal dan kreditur memonitor kinerja
finansial perusahaan. Karena DCF (khususnya untuk setiap transaksi atau kegiatan) tidak
dilaporkan kepada pihak ekstern, mereka harus mengandalkan hanya pada pengukur kinerja
finansial perusahaan yang dipublikasikan di dalam laporan keuangannya. Oleh karena itu,
manajemen harus juga tahu efek dari setiap transaksi yang terjadi terhadap pengukur kinerja
finansial perusahaan tersebut. Beberapa pengukur kinerja yang digunakan oleh para pemodal dan
kreditur untuk memonitor kinerja finansial perusahaan, antara lain: (i) laba per saham (EPS)- laba
bersih sesudah pajak dibagi jumlah saham yang beredar, (ii) return on equity (ROE) - laba bersih
sesudah pajak dibadi nilai buku ekuitas (HPS), (iii) economic value added (EVA)- laba bersih
sesudah pajak minus rata-rata biaya modalnya
Transaksi yang hemat pajak (meminimisasi beban pajak) namun berdampak pada penurunan
kinerja finansial perusahaan harus dihindari. EVA misalnya, bisa berkurang sebagai akibat dari
berkurangnya laba sesudah pajak, penggunaan ekuitas (sebagai sumber pembiayaan) secara eksesif,
atau penggunaan sumber dana yang relatif tinggi/mahal biayanya.
11
biasanya berpengaruh signifikan terhadap harga pasar saham) harus dilaporkan berdasar jumlah
neto sesudah pajak. Bahkan tidak hanya harus dikurangi dengan pajak dalam tahun berjalan, laba
harus juga dikurangi dengan pajak atas setiap penghasilan yang diharapkan akan diperoleh dari
laba tersebut. Karena kompensasi/imbalan kepada para manajer puncak seringkali dikaitkan dengan
laba melalui harga pasar saham (seperti misalnya, program ESOP), sebagai pihak pengambil
keputusan di dalam perusahaan; tidak jarang mereka lebih mengutamakan kepentingan untuk
mengoptimisasi pajaknya sebagai wajib pajak-orang pribadi.
12
30%, dengan tarif pajak untuk penghasilan (kena pajak) sampai dengan Rp50,00 juta pertama
hanya 5% pada hal tarif pajak penghasilan untuk perusahaan sebagai wajib pajak-badan adalah
25%. Mengorganisasi suatu perusahaan yang berpenghasilan kena pajak sebesar Rp50,00 juta
sebagai perusahaan perorangan (wajib pajak-perseorangan), berarti menerapkan splitting strategy
yang berpeluang untuk menghemat pajak sebesar Rp10,00 juta [(0,25 0,05) X Rp50,00 juta] per
tahun. Penghematan pajak melalui splitting strategy bahkan bisa lebih besar lagi manakala
penghasilan kena pajak juga semakin besar, karena sebagai wajib pajak- perseorangan tarif pajak
sebesar 25% berlaku untuk lapisan penghasilan kena pajak sebesar Rp250,00 juta kedua (antara
Rp250,00 juta hingga Rp500,00 juta). Suatu perusahaan yang diorganisasi sebagai wajib pajak-
perseorangan dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp250,00 juta, akan dapat menghemat pajak
sebesar Rp30,00 juta [(0,20 X Rp50,00 juta) + (0,10 X Rp200,00 juta)] dibanding apabila
perusahaan diorganisasi sebagai wajib pajak-badan. Namun strategi splitting semacam itu tidak lagi
berdampak positif, manakala perusahaan sudah berpenghasilan kena pajak di atas Rp250,00 juta
hingga Rp500,00 juta per tahun. Dengan berpenghasilan kena pajak sebesar Rp500,00 juta, beban
pajak penghasilan untuk suatu perusahaan berstatus wajib pajak-perseorangan akan berjumlah
Rp95,00 juta dan Rp125,00 juta apabila berstatus sebagai wajib pajak-badan, sehingga pada tingkat
penghasilan kena pajak tersebut penghematan pajak tetap berjumlah Rp30,00 juta. Efek positif dari
splitting strategy melalui pemilihan bentuk perusahaan demikian itu, selanjutnya akan semakin
berkurang jika perusahaan berpenghasilan kena pajak lebih dari Rp500,00 juta per tahun. Sebagai
contoh, beban pajak penghasilan dari suatu perusahaan yang penghasilan kena pajak sebesar
Rp1,00 miliar akan berjumlah Rp245,00 juta jika berstatus wajib pajak-perseorangan, dan
Rp250,00 juta jika berstatus wajib pajak-badan. Efek positif splitting strategy berkurang dari
semula sebesar Rp30,00 juta menjadi hanya Rp5,00 juta.
Pajak juga bisa dihindari melalui kecurangan (fraud), yang bisa jadi merupakan praktik yang
lazim (meskipun tidak terdeteksi) di negara manapun. Penghindaran pajak melalui kecurangan
semacam itu, pada umumnya dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. Mereka yang memilih
untuk melakukan kecurangan sebagai suatu strategi penghindaran pajak, pada umumnya tidak perlu
membaca buku-buku semacam ini.
13
setiap strategic business unit (SBU), sehingga berdampak atau mempengaruhi kinerja dari unit-unit
bisnis terkait.
Tidak setiap gagasan dan peluang yang dapat mengurangi atau menghemat pajak selalu
berdampak positif. SAVANT framework dapat membantu manajemen untuk membuat perencanaan
dan keputusan yang lebih baik, karena mempertimbangkan keseimbangan (trade-off) antara
manfaat yang didapat/diperoleh dengan biaya yang diperlukan untuk merealisasikan setiap peluang
atau mengimplementasikan ide/gagasan terkait.
14