Anda di halaman 1dari 43

FARMAKOTERAPI DIABETES MELLITUS

Diajukan untuk memenuhi tugas farmakoterapi terapan semester ganjil

Kelas: B
Disusun Oleh:
Danintya Fairuz 260112170002
Alsya Utami Rahayu 260112170020
Mega Hijriawati 260112170022
Hanifah Nurrochmah K. 260112170024
Linda Apriyanti 260112170026
Sri Wahyuni 260112170028

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017
I. Definisi
Gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin
(WHO,1999).

Gambar 1. Ketidakseimbagan glukosa darah


A. Penyebab Diabetes
Penyebab DM Tipe 1:
Faktor keturunan atau genetika.
Autoimunitas.
Virus atau zat kimia.

1
Penyebab DM Tipe 2:
Faktor keturunan.
Pola makan atau gaya hidup yang tidak sehat.
Kadar kolesterol yang tinggi.
Jarang berolahraga.
Obesitas atau kelebihan berat badan.

B. Klasifikasi Diabetes
- DM Tipe 1: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Disebabkan
oleh destruksi sel pankreas akibat autoimun sehingga terjadi
defisiensi insulin absolut.
- DM Tipe 2: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Disebabkan oleh resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif.
- DM Gestasional : Kehamilan
- DM Tipe Lain : Kelainan genetik sel pankreas. Kelainan genetik
kerja insulin. Penyakit pankreas.

II. Patofisiologi
1. Patofisiologi DM Tipe 1
DM tipe 1 (insulin dependent diabetes mellitus) merupakan 10% dari
semua kasus diabetes. Umumnya terjadi pada masa kanak-kanak atau dewasa
muda dan biasanya muncul dari kerusakan sel pankreas yang dimediasi
sistem imun, sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Faktor yang
memunculkan respon autoimun tidak diketahui, tapi prosesnya dimediasi oleh
makrofag dan sel limfosit T degan autoantibodi terhadap antigen sel
(contoh : islet cell antibody, insulin antibodies) (Dipiro, 2012). Sebab
munculnya antibodi sel islet langerhans tersebut tidak diketahui namun jelas
terjadi kegagalan sistem imun dalam mengenali sel pankreatis sebagai bagian
dari individu tersebut. Proses terjadinya kerusakan sel beta pankreas yaitu:
a. Periode preklinik panjang yang ditandai dengan adanya penanda imun
kertika sel pankreas hancur.

2
b. Hiperglisemia terjadi ketika 80-90% sel hancur.
c. Terdapat tahap remisi sementara (Honeymoon Period).
d. Onset penyakit DM tipe 1 yang berkaitan dengan komplikasi dan
kematian, merupakan tahap akhir kerusakan sel beta pankreas (Dipiro,
2011; Ozougwu, et al., 2013).

Gambar 2. Skema kerusakan sel beta pankreas (Dipiro, 2011).

Gambar 3. Patogenesis DM Tipe 1 (Ozougwu, et al., 2013).

3
Adanya gangguan sekresi insulin juga menyebabkan ketidaknormalan
pada fungsi sel pankreas yaitu berlebihnya sekresi glucagon. Normalnya,
hiperglikemia akan memicu berkurangnya sekresi glucagon namun pada
pasien DM tipe 1 sekresi glucagon tidak berkurang. Meningkatnya kadar
glucagon ini dapat memperparah gangguan metabolisme akibat defisiensi
insulin. Defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya produksi glukosa di
hati (melalui proses glukoneogenesis menggunakan glikogen) dan
berkurangnya metabolisme glukosa di jaringan perifer menyebabkan
meningkatnya kadar glukosa di plasma. Ketika kapasitas ginjal untuk
menyerap glukosa menurun, glukosuria dapat terjadi. Glukosa merupakan zat
diuresis dan adanya glukosa pada urin juga disertai meningkatnya eksresi air
dan elektrolit sehingga muncul polidipsia, Selain itu ketidakseimbangan
kalori yang dihasilkan oleh glukosuria dan katabolisme jaringan memicu
meningkatnya nafsu makan dan asupan makanan yang disebut polifagia
(Ozougwu, et al., 2013).
Insulin membantu lipoprotein lipase yang bekerja menyimpan
trigliserida di jaringan adipose. Pada DM tipe 1, terjadi hipertrigliseridamia,
asam lemak bebas meningkat sehingga asam lemak bebas dimetabolisme
untuk menyediakan energi bagi tubuh. Asam lemak bebas ini dimetabolisme
di mitokondria, dioksidasi menjadi asetil co A yang dimetabolisme melalui
siklus TCA menjadi badan keton. Badan keton ini digunakan untuk energy
bagi otak, jantung, dan otot rangka. Badan keton berlebih yang tidak dapat
ditanggung tubuh dapat menyebabkan ketoasidosis. Efek defisiensi insulin
pada protein yaitu meningkatnya katabolisme protein sehingga kadar asam
amino di plasma meningkat. Asam amino glukogenik berperan sebagai
precursor bagi glikoneogenesis di hati dan ginjal yang akan menyebabkan
hiperglikemia pada pasien DM tipe 1 (Ozougwu, et al., 2013).
Gangguan glukosa dan defisiensi insulin ini kemudian juga akan
menurunkan ekspresi jumlah gen jaringan target yang diperlukan untuk
menormalkan insulin contohnya seperti glukokinase di hati dan transporter
glukosa GLUT 4 di jaringan adiposa (Ozougwu, et al., 2013).

4
2. Patofisiologi DM Tipe 2
DM Tipe 2 (90% dari semua kasus) dikarakterisasikan dengan
kombinasi resistensi insulin dan kekurangan insulin yang relatif seperti pada
Gambar 3. Resistensi insulin dimanisfestasi oleh meningkatnya lipolisis dan
produksi asam lemak bebas, meningkatnya produksi gula hati, sera penurunan
serapan glukosa oleh otot rangka (Dipiro, 2012). Penyebab resistensi insulin
dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Penyebab Resistensi Insulin (Ozougwu, et al., 2013).

Disfungsi sel terjadi secara progresif dan memperburuk kontrol atas


glukosa darah dengan berjalannya waktu. Faktor risiko nomor satu DM tipe 2
yaitu obesitas dan penumpukan lemak visceral, penyebab penumpukan lemak
visceral dapat dilihat pada Gambar 5. DM tipe 2 terjadi ketika gaya hidup
diabetogenik (asupan kalori berlebih, kurang latihan fisik, dan kegemukan)
yang memperburuk genotip tertentu, asupan lemak yang meningkat namun
tidak dibarengi dengan asupan karbohidrat atau serat dapat sebabkan
hiperinsulinemia. DM tipe 2 juga dapat disebabkan oleh faktor stress akibat
penuaan. Selain itu, pada DM tipe 2 juga terdapat kecenderungan genetic
yang menyebabkan pankreas menghasilkan insulin yang rusak atau
menyebabkan reseptor insulin atau second messengers gagal untuk merespon
insulin secara memadai. Kecenderungan genetik juga dapat berkaitan dengan
obesitas dan stimulasi reseptor insulin yang diperlama. Hal ini dapat
menyebabkan berkurangnya jumlah reseptor insulin pada badan sel. Pada DM

5
tipe 2 mungkin juga diproduksi autoantibody insulin yang berikatan dengan
reseptor insulin sehingga menghambat akses insulin ke reseptor. Selain itu
DM tipe 2 dapat disebabkan kekurangan hormone leptin akibat kekurangan
gen yang memproduksi hormone leptin atau terdapat disfungsi pada gennya.
Tanpa gen leptin, individu akan gagal merespon sensasi kenyang sehingga
akan cenderung mengalami obesitas dan menurun sensitivitas insulinnya.
Walau obesitas adalah faktor risiko utama namun DM tipe 2 juga dapat
dialami pada individu yang kurus atau memiliki berat badan normal. (Corwin,
2008; Dipiro, 2011).

Gambar 5. Penyebab Penumpukan Lemak Viseral (Ozougwu, et al., 2013).

Pada pasien DM tipe 2, insulin masih disekresikan namun terdapat


penundaan waktu sekresi dan adanya penurunan jumlah insulin total yang
dilepaskan. Hal ini semakin parah semakin tua usia seseorang. Jaringan lemak
dan otot menunjukkan resistensi terhadap insulin yang tersirkulasi sehingga
carrier glukosa (transporter GLUT4) tidak terdapat pada sel secara memadai
dan glukosa tidak dapat digunakan oleh sel. Ketika sel mulai kehilangan
energy, hati akan memulai proses glukoneogenesis yang lama kelamaan akan
meningkatkan kadar glukosa darah, pemecahan trigliserida, protein, dan
glikogen sebagai sumber energy sehingga kadarnya akan meningkat dalam
darah (Corwin, 2008).

6
3. Patofisiologi DM Tipe Lain
Diabetes jenis ini disebut juga diabetes sekunder atau diabetes melitus
tipe3. Etiologi diabetes jenis ini meliputi:
a) Penyakit pada pankreas yang merusak sel , seperti hemokromatosis,
pankratitis, fibrosis kistik;
b) Sindrom hormonal yang menganggu sekresi atau menghambat kerja
insulin, seperti akromegali, feokromositoma, dan sindrom Cushing;
c) Obat-obat yang menganggu sekresin insulin (fenitoin [Dilantin]) atau
menghambat kerja insulin (estrogen dan glukokortikoid);
d) Kondisi tertentu yang jarang terjadi seperti kelainan pada reseptor insulin;
e) Sindrom genetik (Arisman, 2010).

4. Patofisiologi DM Gestasional
Diabetes gestasional yaitu diabetes yang terjadi pada wanita hamil
yang sebelumnya tidak menderita DM. Pada diabetes tipe ini, kurang lebih
50% wanita setelah proses persalinan tetap mengalami diabetes atau apabila
sembuh maka risiko untuk terkena DM tipe 2 lebih tinggi dari pada normal
dalam jangka waktu kurang lebih lima tahun. Penyebab diabetes gestasional
yaitu meningkatnya kebutuhan energy selama kehamilan dan secara bertahap
terjadi peningkatan hormone pertumbuhan dan hormone estrogen. Hormon
pertumbuhan dan estrogen memicu pelepasan insulin dan mungkin
menyebabkan oversekresi insulin karena adanya penurunan keresponsifan sel.
Hormon pertumbuhan juga memilik efek anti-insulin, contohnya
menstimulasi glikogenolisis dan penguraian jaringan lemak. Adiponektin,
sebuah protein plasma turunan jaringan lemak, berperan dalam mengatur
konsentrasi insulin dan resistensinya, menurunnya kadar adiponektin
berpengaruh terhadap gangguan metabolisme glukosa dan hiperglikemia.
Diabetes gestasional dapat berakibat buruk bagi kehamilan dengan
meningkatkan risiko kecacatan janin, berat badan bayi besar, sehingga
menyebabkan masalah pada proses persalinan. Diabetes gestasional secara
rutin harus di periksa pada pemeriksaan medis prenatal. Diabetes gestasional

7
harus diobati dengan pemberian hormon insulin dan pengaturan makanan.
Sebelum terkena diabetes gestasional, sebaiknya gula darah dan berat badan
wanita sebelum kehamilan terkontrol (Corwin, 2008).

Gambar 6. Patofisiologi GDM

III. Manifestasi Klinik

Gambar 7. Karakteristik Klinik Pasien DM Tipe 1 dan 2 (Ozougwu, et al., 2013).

Pada DM Tipe 1 dan 2:


Poliuria (meningkatnya volum urin, karena air mengikuti glukosa yang
masuk ke dalam urin)

8
Polidipsia (meningkatnya rasa haus, karena banyaknya kehilangan air
melalui urin yang memicu dehidrasi ekstraselular)
Polifagia (meningkatnya rasa lapar, karena katabolisme kronik lemak dan
protein)
Kelelahan dan lemas (karena adanya katabolisme protein otot dan
ketidakmampuan sel untuk menggunakan glukosa sebagai energy,
buruknya aliran darah pada diabetes yang sudah lama memicu kelelahan)
Pada DM tipe 1 juga ditemui:
Rasa mual dan muntah yang parah
Penurunan berat badan
Individu dengan DM tipe 1 umumnya kurus dan rentan terkena diabetic
ketoacidosis (DKA) jika insulin tidak diberikan atau di bawah kondisi
stress parah dimana terjadi ekskresi berlebih hormon yang kerjanya
berlawanan dengan insulin (glucagon). Sekitar 20-40% pasien akan
mengalami DKA setelah beberapa hari mengalami poliuria, polidipsia,
polifagia, dan berat turun.
Pada DM tipe 2 juga ditemui:
Pasien DM tipe 2 seringkali asimtomatik (tanpa gejala), namun penurunan
berat badan yang signifikan jarang terjadi, lebih sering terjadi pada pasien
obesitas dan overweight
Nocturia
Meningkatnya laju infeksi karena meningkatnya konsentrasi glukosa
dalam sekresi mucus, buruknya fungsi imun, dan menurunnya aliran
darah.
Perubahan fungsi penglihatan akibat adanya ketidakseimbangan cairan
atau terjadi kerusakan retina pada kasus yang lebih parah.
Parestesia atau abnormalitas dalam sensasi.
Terkena vaginal candidiasis akibat meningkatnya kadar glukosa pada
secret vagina dan urin serta akibat lemahnya fungsi imun.

9
Kerusakan otot akibat protein otot dipecah untuk memenuhi kebutuhan
energy tubuh.
(Dipiro, 2011; Corwin, 2008).

IV. Diagnosis
1. Diabetes Melitus tipe 1
Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler
<126 mg/dL (7mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah. Diagnosis DM dapat ditegakkan
apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut (Tridjaya dkk., 2015):
- Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan yang
menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/ dL (11.1 mmol/L).
- Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu
>200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal dengan
tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.
a. Tes Toleransi Glukosa
Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan
untuk mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas. Indikasi
TTG pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu ditemukan
gejala-gejala klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan kadar glukosa
darah tidak menyakinkan. Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah
1,75 g/kgBB (maksimum 75 g). Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam
200- 250 ml air) dalam jangka waktu 5 menit. Tes toleransi glukosa dilakukan
setelah anak mendapat diet tinggi karbohidrat (150-200 g per hari) selama tiga
hari berturut-turut dan anak puasa semalam menjelang TTG dilakukan.
Selama tiga hari sebelum TTG dilakukan, aktifitas fisik anak tidak dibatasi.
Anak dapat melakukan kegiatan rutin sehari-hari. Sampel glukosa darah
diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa oral), 60 dan 120
(Tridjaya dkk., 2015).

10
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam melaksanakan TTG pada anak
yaitu (Tridjaya dkk., 2015):
- Anak tidak sedang menderita suatu penyakit.
- Anak tidak sedang dalam pengobatan/minum obat-obatan yang dapat
meningkatkan kadar glukosa darah.
- Jangan melakukan pemeriksaan dengan glukometer/kapiler, gunakanlah
darah vena.
- Berhubung kadar glukosa darah dapat berkurang 5 % per jam apabila
dibiarkan dalam suhu kamar, maka setelah darah vena diambil dengan
pengawet EDTA/heparin harus segera disimpan di lemari es.
- Selain cara diatas, maka sampel darah dapat harus segera disentrifus agar
kadar glukosa darah tidak menurun.
b. Penilaian Hasil Tes Toleransi Glukosa (Tridjaya dkk., 2015)
- Anak menderita DM apabila kadar glukosa darah puasa 140 mg/dL (7,8
mmol/L) atau Kadar glukosa darah pada jam ke 2 200 mg/dL (11,1
mmol/L).
- Anak dikatakan menderita toleransi gula terganggu apabila kadar glukosa
darah puasa <140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan Kadar glukosa darah pada jam
ke 2: 140-199 mg/dL (7,8-11 mmol/L).
- Anak dikatakan normal apabila : Kadar glukosa darah puasa (plasma)
<110 mg/dL (6,7 mmol/L) dan Kadar glukosa darah pada jam ke 2: <140
mg/dL (7,8-11 mmol/L).
-
2. Diabetes Melitus tipe 2
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.

11
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti
(Soelistijo, 2015):
- Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Gambar 8. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi


darah 2-3 bulan terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan
fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (Soelistijo, 2015).

- Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma


puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <
140 mg/dL.
- Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa < 100
mg/dL.
- Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
- Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

12
Gambar 9.Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes

Cara pelaksanaan TTGO (Soelistijo, 2015):

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat


yang cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari-
hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan.
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anakanak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5
menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai.
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban
glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes


Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM yaitu (Soelistijo, 2015):

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] 23 kg/m2 )
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.

13
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL 250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma
normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.
Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa
darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel di bawah ini.

Gambar 10. Kadar glukosa darah sewaktu dan


puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (mg/dL)

14
V. Hasil Terapi yang Diinginkan
a. Diabetes Melitus tipe 1
Sasaran dan tujuan khusus pengelolaan DM tipe 1 adalah (Tridjaya
dkk., 2015):
- Sasaran:
1. Bebas dari gejala penyakit
2. Dapat menikmati kehidupan social
3. Terhindar dari komplikasi
- Tujuan khusus:
1. Tumbuh kembang optimal
2. Perkembangan emosional normal
3. Kontrol metabolic yang baik tanpa menimbulkan hipoglikemia
4. Pasien tidak memanipulasi penyakit
5. Mampu mandiri mengelola penyakitnya

b. Diabetes Melitus tipe 2


Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas
hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaannya meliputi (Soelistijo,
2015):
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

VI. Penanganan

Penanganan Diabetes Melitus terdiri dari terapi non farmakologi dan


farmakologi. Terapi farmakologi diberikan apabila terapi non farmakologi tidak
bisa mengendalikan kontrol glukosa darah. Pemberian terapi farmakologi tetap
diseimbangi dengan terapi non farmakologi.

15
6.1 Terapi Non Farmakologi

a. Terapi Gizi Medis

Gambar 11. Piramida makanan untuk diabetes melitus

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang


seimbang, sesuai dengna kebutuhan kalori masing-masing individu dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan. Komposisi
makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45-65%, lemak 20-25%, protein
10-20%. Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari (Ndraha,
2014).

b. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 kali
seminggu selama 30-45 menit). Latihan jasmani yang dianjurkan untuk pasien
Diabetes Melitus berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas
sedang (50-70% denyut jantung maksimal), seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara = 220-usia
pasien (Eliana, 2015).

16
Gambar 12. Modifikasi gaya hidup untuk pasien DM

6.2 Terapi Farmakologi


Terapi farmakologi diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan
pasien, pengaturan makan, dan latihan jasmani. Terapi farmakologi yang dapat
digunakan oleh pasien diabetes yaitu antihiperglikemia suntik ,oral, dan
kombinasi.

6.2.1 Obat Antihiperglikemia Suntik


a. Insulin
Insulin merupakan terapi yang digunakan dalam penanganan pasien DM
tipe 1, dapat juga digunakan untuk pasien DM tipe 2 apabila obat hiperglikemik
oral tidak mampu untuk menanganinya. Insulin merupakan hormon polipeptida
yang di sekresi oleh sel pankreas. Insulin dapat dirusak oleh enzim pencernaan
sehingga diberikan melalui injeksi. Insulin di dalam tubuh membantu transpor
glukosa dari darah ke dalam sel.
Dosis insulin awal yang diberikan didasarkan terhadap berat pasien
dimana rentang dosis dari 0.4-1.0 units/kg/hari dari total insulin. Berdasarkan
American Diabetic Association/JDRF Type 1 Diabetes Sourcebook, dosis 0.5
units/kg/hari merupakan dosis awal untuk pasien dengan metabolism yang stabil,
peningkatan untuk dosis dapat dilakukan dengan pemantauan adanya ketoasidosis
(Peters et al., 2013). Pemberian insulin dengan asupan karbohidrat perlu
disesuaikan. Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal. Penyerapan paling
cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan
bokong.

17
Gambar 13. Tempat injeksi insulin
Insulin berdasarkan waktu kerja dibagi menjadi insulin kerja cepat (rapid
acting), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting), kerja
panjang (long acting), dan campuran. Insulin masa kerja panjang diberikan pada
pagi hari untuk menjaga kadar insulin dalam kondisi basal (kondisi pada saat
normal/tidak ada asupan makanan), sedangkan insulin masa kerja pendek
diberikan sebelum makan untuk menurunkan kadar glukosa darah yang meningkat
sesaat setelah adanya asupan makanan. Farmakokinetik insulin berdasarkan waktu
kerja dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. Farmakokinetik Insulin Berdasarkan Waktu Kerja

18
b. Agonis GLP-1 (Glucagon-like Peptide)/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
pelepasan insulin tanpa menimbulkan hipoglikemia, dan dapat menghambat
pelepasan glucagon. Tidak meningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek samping antara lain gangguan saluran cerna,
seperti mual dan muntah (Eliana, 2015).
Obat agonis GLP-1 contohnya adalah Exenatide dan Liraglutide.
Exenatide meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi produksi glukosa hati.
Rata-rata pengurangan A1C sekitar 0.9% dengan pemberian exenatide dua kali
sehari. Untuk Byetta, dosis awal yang digunakan adalah 5 mcg SC dua kali sehari,
sendangkan Bydureon dosis awal 2 mg SC satu kali seminggu dengan atau tanpa
makanan. Efek samping antara lain, nausea, vomiting, dan diare. Liraglutide
(Victoza) memiliki efek farmakologi dan efek samping yang mirip dengan
exenatide. Rata-rata pengurangan A1C sekitar 1.1% dan liraglutide mengurangi
FPG dan level glukosa posprandial 25-40 mg/dL. Dosis awal yang digunakan 0.6
mg SC satu kali sehari tidak tergantung makanan (Dipiro et al., 2015).

c. Analog Amylin/ Amylinomimetic


Pramlintide merupakan analog amylin yang menghambat pengosongan
lambung, sekresi pankreas glukagon, dan meningkatkan rasa kenyang. Obat ini
telah disetujui oleh FDA untuk digunakan pada orang dewasa dengan diabetes
tipe 1. Pramlintide dapat menginduksi penurunan berat badan dan dosis insulin
yang rendah (ADA, 2017). Efek samping yang biasa terjadi yaitu nausea,
vomiting, dan anoreksia. Pramlintide tidak menyebabkan hipoglikemik ketika
digunakan sendiri, namun pada pasien yang menerima insulin, hipoglikemia dapat
terjadi (Dipiro et al., 2015).

19
6.2.2 Obat Antihiperglikemia Oral
Saat ini, terdapat 8 golongan antidiabetik oral yang tersedia untuk
pengobatan, yaitu inhibitor -glukosidase, biguanid, meglitinid, tiazolidinedion,
inhibitor dipeptidil peptidase-4 (DPP-4), agonis dopamin, pemecah asam empedu,
dan sulfonilurea. Berikut adalah penjelasan untuk masing-masing golongan
tersebut:

a. Golongan Sulfoniluria
Golongan sulfonilurea sering disebut insulin secretagogue karena mekanisme
kerja nya merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel Langerhans pankreas
(Eliana, 2015). Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang.
Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati
dan ginjal, serta malnutrisi (Ndraha, 2014). Contoh golongan sulfonilurea:
Glibenklamid, Klorpropamid, Tolazamid, Gliburid, Glipizid, Glimepiride.

b. Golongan Meglitinid
Meglitinid mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan sulfonilurea,
mengurangi glukosa dengan menstimulasi sekresi insulin pankreas (Dipiro et al.,
2015). Mekenisme kerja meglitinid lebih ditekankan pada sekresi insulin fase
pertama dan baik untuk mengatasi hiperglikemia post prandial (Eliana, 2015).
Dosis Repaglinide dimulai dari 0.5-2 mg oral dengan maksimum 4 mg 4 kali
sehari dan Nateglinide 120 mg oral 3 kali sehari sebelum makan (Dipiro et al.,
2015).

c. Golongan Biguanid
Metformin digunakan sebagai obat pilihan pertama pada penderita DM tipe 2
dan DM obesitas karena keamanan terhadap kardiovaskuler. Metformin
menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan sensitivitas insulin hepar
dan meningkatkan absorbsi glukosa di otot rangka (Dipiro et al., 2015).
Metformin aman digunakan untuk pasien dengan estimated glomerular filtration

20
(eGFR) 30 mL/min/1.73 m2 (ADA, 2017). Dosis awal metformin 500 mg oral
dua kali sehari dengan makan (Dipiro et al., 2015).

d. Golongan Tiazolidindion
Tiazolidindion merupakan agonis Peroxsisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-) yang sangat selektif dan poten. Mekanisme kerja
golongan tiazolidindion adalah dengan meningkatan sensitifitas insulin,
merangsang transport glukosa ke sel dan meningkatkan oksidasi asam lemak.
Contoh golongan tiazolidindion adalah Pioglitazon 15 mg oral satu kali sehari,
maksimum 45 mg/hari dan Rosiglitazon 2-4 mg satu kali sehari, maksimum 8
mg/hari (Dipiro et al., 2015).

e. Golongan Inhibitor Glukosidase


Obat golongan ini dapat memperlambat absorbsi polisakarida dan
disakarida di usus halus. Penghambatan enzim -glikosidase dapat mengurangi
pencernaan karbohidrat dan absorbsinya, sehingga mengurangi peningkatan kadar
glukosa post prandial pada penderita DM. Efek samping yang paling sering yaitu
flatulen (kembung), ketidaknyamana perut, dan diare. Contoh golonga ini adalah
akarbose dan miglitol dengan dosis awal 25 mg/hari dengan makan. Obat ini
diminum pada suapan pertama makanan, sehingga obat dapat efektif bekerja
dalam menghambat aktivitas enzim (Dipiro et al., 2015).

f. Golongan DPP-4 (Dipeptidyl Peptidase-4 Inhibitor)


Golongan ini bekerja dengan menghambat kerja enzim DPP-4, sehingga GLP-1
tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar
glukosa darah (Eliana, 2015). Contoh obat ini adalah Sitagliptin, Saxagliptin,
Linagliptin, Alogliptin (ADA, 2017).

21
g. Golongan SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidabetes oral jenis baru
yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin (Eliana, 2015).

h. Golongan Bile Acid Sequestrants


Kolesevelam (Welchol) mengikat asam empedu di lumen usus,
mengurangi asam empedu untuk reabsorpsi. Mekanisme dalam mengurangi kadar
glukosa plasma belum diketahui. Penurunan A1C dari baseline sekitar 0.4% .
Kolesevelam juga dapat menurunkan kolesterol LDL 12-16% pada penderita DM
tiba 2. Efek samping yang paling umum adalah sembelit dan dispepsia. Dosis
Kolesevelam untuk DM tipe 2 adalah 6 tablet 625 mg setiap hari (total 3,75
g/hari), terbagi menjadi tiga tablet dua kali sehari dengan makan karena
Kolesevelam mengikat empedu yang dilepaskan saat makan (Dipiro et al., 2015).

Tabel 2. Pemberian Obat Antihiperglikemik Oral

22
6.2 Algoritma Terapi Diabetes Melitus

Gambar 14. Algoritma pemakaian obat hipoglikemik pada pasien


diabetes mellitus tipe 2 (ADA, 2015)

Gambar 15. Algoritma pemakaian obat hipoglikemik pada pasien diabetes


mellitus tipe 2 (ADA, 2017)

23
Gambar 16. Algoritma pemakaian obat hipoglikemik pada pasien diabetes
mellitus (AACE/ACE, 2015)

Gambar 17. Algoritma pemakaian obat hipoglikemik pada pasien diabetes


mellitus tipe 2 (Perkeni, 2015)

24
6.3 Terapi Kombinasi Terapi

Terapi kombinasi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara


terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus
menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada
keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa darah yang belum tercapai,
sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan (Eliana, 2015). Pilihan terapi untuk
kombinasi antidiabetik oral:

Metformin + TZD
Metformin/TZD + sulfonilurea, meglitinid
Metformin + TZD/sulfonilurea + inhibitor glukosidase
Metformin + TZD, inhibitor glukosidase, sulfonilurea + insulin

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak dipergunakan


adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja
menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang
tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi
kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat antihiperglikemia oral
dihentikan (Eliana, 2015).

25
Gambar 18. Algoritma terapi kombinasi pasien diabetes melitus
(ADA, 2017)

26
VII. Evaluasi Hasil Terapi
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai
2 target utama, yaitu:
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal.
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi
diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan
beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan
penatalaksanaan diabetes sebagai berikut :

Tabel 3. Parameter Penatalaksanaan Diabetes

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes,


yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan

27
dengan obat. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah
raga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum
tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi
insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Depkes,
2005).

VIII. Contoh Kasus dan DRP

Pasien seorang wanita bernama Hannah berusia 54 tahun memiliki riwayat


diabetes mellitus tipe 2 selama 5 tahun. Dia bercerai, memiliki 2 orang anak, dan
bekerja sebagai headhunter. Beratnya 82 kg dan memiliki BMI sebesar 32,2
kg/m2 termasuk kategori obesitas. Meskipun Hannah menunjukkan keinginan dan
kesiapan untuk menurunkan berat badan serta telah mengikuti konseling
mengenai gizi, dia tidak dapat mengubah kebiasaan hidupnya. Penyakit yang
diderita meliputi hipertensi, dislipidemia, dan osteoarthritis. Tingkat glukosa
darah puasa yaitu 174 mg/dL, kadar glukosa postprandial 240 mg/dL, dan kadar
A1C 8,6%.

Analisis SOAP

1. Subject
Pasien seorang wanita bernama Hannah berusia 54 tahun memiliki riwayat
diabetes mellitus selama 5 tahun
Berat badan 82 kg, tinggi 62 in, BMI 32,2 kg/m2
Riwayat penyakit paskamenopause (osteoarthritis), hipertensi,
dislipidemia, tidak ada riwayat pankreatitis dan kanker tiroid
Riwayat penyakit keluarga ayah pasien memiliki riwayat diabetes mellitus
tipe 2, ibu pasien meninggal pada usia 52 tahun karena infark miokard,
kakak perempuan pasien (usia 60 tahun) memiliki riwayat diabetes
mellitus tipe 2 yang diterapi dengan insulin

28
Pasien bekerja sebagai headhunter, perokok (20 tahun yang lalu),
Mengkonsumsi alkohol (segelas wine saat makan malam, hampir setiap
malam), tidak mengkonsumsi obat terlarang, aerobik 2 kali seminggu,
bercerai, memiliki 2 orang anak dengan usia 14 dan 12 tahun dalam
keadaan sehat
Pasien alergi dengan kacang
Pemeriksaan fisik pasien yaitu obesitas tanpa adanya gejala resistensi
perifer atau endokrinopati, refleks ekstermitas bawah berkurang,
pemeriksaan funduskopi menunjukkan latar belakang diabetes retinopati
bilateral tanpa adanya edema makula

2. Object

Tabel 4. Pemeriksaan Laboratorium Pasien

Data Hasil Nilai Normal Kategori


Laboratorium Pemeriksaan
Nadi 66 bpm 60-100 bpm Normal
(Chester J. G.,
2011).
Pernapasan 15 kali/menit 12-20 kali/menit Normal
(Chester J. G.,
2011).
Tekanan darah 130/78 mmHg < 120/80 Tinggi
(Dipiro, 2015).
Level A1C 8,6% 6,5% Tinggi
(Dipiro, 2015).
Kadar glukosa 174 mg/dL 70-130 mg/dL Tinggi
darah puasa (Dipiro, 2015).
Kadar glukosa 240 mg/dL < 180 mg/dL Tinggi
darah post (Dipiro, 2015).

29
prandial
Serum kreatinin 1,4 mg/dL 0,6-1,3 mg/dL Tinggi
(Kemenkes RI,
2011)
LDL 94 mg/dL < 100 mg/dL Normal
(Dipiro, 2015).
Trigliserida 189 mg/dL < 150 mg/dL Tinggi
(Dipiro, 2015).
HDL 37 mg/dL < 40 mg/dL Rendah
(Dipiro, 2015).

3. Assessment

Pasien ini memenuhi kriteria klinis untuk diabetes mellitus tipe 2,


karakteristiknya ditandai dengan tingginya level A1C yaitu 8,6%, kadar glukosa
darah puasa 174 mg/dL, dan kadar glukosa darah post prandial 240 mg/dL. Untuk
mengatasi diabetes mellitus tipe 2 yang dimiliki oleh pasien, dokter meresepkan
obat metformin 1000 mg setiap hari selama 4 tahun dan glyburide 5 mg setiap hari
selama 3 tahun.

Gambar 19. Tujuan terapi glikemik (Dipiro, 2015).

Selain diabetes mellitus tipe 2, pasien juga memiliki riwayat penyakit


hipertensi yang ditandai dengan tingginya tekanan darah yaitu 130/78 mmHg serta
dislipidemia dengan karakteristik kadar trigliserida tinggi sebesar 189 mg/dL dan

30
kadar HDL rendah 37 mg/dL, untuk mengatasinya dokter meresepkan lisinopril
12,5 mg/hari selama 8 tahun dan atorvastatin 40 mg/hari selama 4 tahun.

4. Plan
a. Terapi Farmakologi
1. Metformin

Pada kasus ini pasien diresepkan metformin dengan dosis 1000 mg sekali
sehari selama 4 tahun. Dosis yang disarankan dimulai dari 500 mg per hari sampai
dengan kemampuan fungsional ginjal pasien, dosis maksimum yang
diperbolehkan dalam terapi menggunakan metformin yaitu 2550 mg/hari.
Metformin biasanya digunakan pada pasien yang memiliki kelebihan berat badan
atau obesitas. Mekanisme kerjanya yaitu menekan produksi glukosa hepatik,
meningkatkan sensitivitas insulin, meningkatkan penyerapan glukosa oleh
fosforilasi faktor GLUT-enhancer, meningkatkan oksidasi asam lemak dan
mengurangi penyerapan glukosa dari saluran pencernaan (Dipiro, 2015).

2. Glyburide
Pada kasus ini pasien diresepkan glyburide dengan dosis 5 mg sekali
sehari selama 3 tahun. Dosis yang dianjurkan yaitu 5 mg/hari dengan dosis
maksimal 20 mg/hari. Glyburide masuk ke dalam golongan sulfonilurea,
sulfonilurea umunya dapat ditoleransi dengan baik tetapi sulfonilurea merangsang
sekresi insulin endogen yang menyebabkan adanya resiko hipoglikemia.
Penggunaan sulfonilurea long-acting harus dihindari pada pasien diabetes melitus
tipe 2 usia lanjut, sebaiknya diberikan sulfonilurea dengan short-acting (Dipiro,
2015).

3. Liraglutide
Liraglutide merupakan agonis reseptor glucagon like-peptide-1 (GLP-1).
Liraglutide disetujui oleh FDA di tahun 2010 sebagai terapi DM tipe 2. Pada
kasus DM tipe 2, cukup diberikan injeksi liraglutide 1,2 mg atau 1,8 mg,
sedangkan pada obesitas diberikan dengan dosis 3,0 mg (Lowes, 2014).

31
GLP-1 adalah sebuah inkretin, hormon saluran cerna yang dilepaskan ke
dalam sirkulasi sebagai respons terhadap nutrien yang masuk ketika kita makan.
GLP-1 mengatur kadar glukosa dengan merangsang sekresi dan biosintesis insulin
bergantung-glukosa, menekan sekresi glukagon, memperlambat pengosongan
lambung, serta memicu timbulnya rasa kenyang (Kalbe Medical, 2012).
Agonis GLP-1 diketahui dapat menimbulkan efek samping pada saluran
cerna, terutama mual. Efek samping ini paling terasa pada awal penggunaan obat,
tetapi lama-kelamaan menghilang. Fungsi sel beta membaik dengan pemberian
agonis GLP-1, tetapi efek tersebut tidak bertahan begitu terapi dihentikan.
Kenyataannya, tidak satu pun studi yang berdurasi cukup lama guna bisa menilai
efek positif/negatif jangka panjang dari penggunaan obat ini (Kalbe Medical,
2012).

Gambar 20. Algoritma terapi hipertensi menurut JNC8

4. Lisinopril (ACE inhibitor)


ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini
merupakan pilihan pertama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes.
Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang menunjukkan penurunan hipertensi yang
berhubungan dengan komplikasi, termasuk penderita sakit jantung, peningkatan
penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan bahan
antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes (Saseen dan Carter,
2005).

32
Beberapa studi mengatakan bahwa ACE inhibitor mungkin lebih efektif
mengurangi risiko kardiovaskular dari anti hipertensi lain. Pada diabetes tipe 2
ACE inhibitor lebih baik dari CCBs, bagaimanapun satu dari penelitian UKPDS
menemukan captropil sebanding dengan atenolol dalam mencegah kejadiaan
kardiovaskular pada pasien diabetes tipe 2. ACE inhibitor mengurangi kematian
dan kesakitan pada pasien dengan gagal ginjal dan mengurangi penyakit gagal
ginjal kronik. Selain itu ACE inhibitor mengurangi aldosteron dan meningkatkan
konsentrasi potassium (Saseen dan Carter, 2005).
Pada kasus ini pasien diresepkan lisinopril dengan dosis 12,5 mg sekali
sehari selama 8 tahun. Dosis yang dianjurkan yaitu 10-40 mg sekali sehari.
Lisinopril masuk ke dalam golongan ACE inhibitor, ACE inhibitor merupakan lini
pertama dalam terapi hipertensi atau tekanan darah tinggi. Selain itu, lisinopril
juga dapat mengatasi penyakit gagal jantung.
Golongan ACE inhibitor mencegah tubuh menghasilkan hormon yang
dikenal dengan nama angiotensin II. Obat ini melakukannya dengan menghalangi
unsur kimia bernama enzim pengubah angiotensin. Pembuluh darah akan rileks
dan membantu mengurangi kadar air dalam darah yang dikembalikan oleh ginjal.
Akibatnya, tekanan darah akan berkurang dan meningkatkan pasokan darah serta
oksigen ke dalam jantung. Hipertensi biasanya tidak menyebabkan tubuh terasa
sakit, tapi jika tidak ditangani, kondisi ini bisa melukai jantung dan merusak
pembuluh darah. Komplikasi lainnya adalah serangan jantung dan stroke.
Biasanya terdapat terlalu banyak cairan dalam pembuluh darah saat seseorang
mengalami gagal jantung. Obat ini membantu mengurangi cairan yang berlebih.
Obat ini memberikan efek perlindungan pada jantung dan memperlambat proses
perkembangan gagal jantung (Dipiro, 2015).

5. Atorvastatin
Pada kasus ini pasien diresepkan atorvastatin dengan dosis 40 mg sekali
sehari selama 4 tahun. Dosis yang dianjurkan yaitu 10 mg/hari dengan dosis
maksimal 80 mg/hari. Atorvastatin merupakan obat yang digunakan untuk
menurunkan LDL dan trigliserida dalam darah, sekaligus mampu meningkatkan

33
kadar HDL. Atorvastatin termasuk ke dalam golongan statin atau HMG CoA
reductase inhibitors.

Seperti semua statin, atorvastatin bekerja dengan cara menghambat 3-


hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A (HMG-CoA) reductase, suatu enzim yang
berperan dalam pembentukan kolestrol. Dengan terhambatnya kinerja enzim ini
kadar kolestrol dalam darah akan berkurang. Kadar LDL dikatakan normal jika
berada pada kadar < 100 mg/dL. Obat golongan statin lebih efektif dibandingkan
obat-obat hipolipidemia lain dalam menurunkan kolesterol (LDL) tetapi kurang
efektif dibanding golongan fibrat dalam menurunkan trigliserida (Dipiro, 2015).

34
Gambar 21. Terapi Farmakologi yang digunakan untuk penyakit Diabetes
Mellitus tipe 2 (Dipiro, 2015).

Pada kasus ini, osteoarthritis yang diderita pasien tidak secara langsung
mendapatkan terapi farmakologi. Hal tersebut dikarenakan menurut Felson tahun
2008 rencana terapi untuk pasien obesitas sebaiknya diawali dengan penurunan
berat badan, tetapi pada kasus ini pasien tidak ingin melakukan peningkatan
aktivitas fisik sehingga dilakukan penambahan terapi farmakologi dengan GLP1
menjadi solusi untuk penurunan berat badan pasien.

Gambar 22. Rencana terapi osteoarthritis pada pasien obesitas (Felson, 2008).

35
b. Terapi Nonfarmakologi
1. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai
berikut :
Karbohidrat : 60-70%
Protein : 10-15%
Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi
insulin dan memperbaiki respons sel-sel terhadap stimulus glukosa. Dalam salah
satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi
kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM),
dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan
tambahan waktu harapan hidup.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya
diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300
mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang
mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh.
Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging
dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak.
Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling
tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak,
makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu
mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan
kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-
buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral.

36
2. Mengurangi Asupan Garam
Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan
tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari
kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan
sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk
mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat 2.
Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari (PERKI, 2015)

3. Olahraga
Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan
nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita
diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Beberapa contoh olahraga
yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain
sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit
per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara
5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas
reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Dipiro,
2015).

Analisis DRP
1. Indikasi Tanpa Obat
Indikasi tanpa obat dapat terjadi apabila pasien memiliki kondisi medis
yang memerlukan terapi tapi pasien tidak mendapatkan obat. Pada kasus ini,
pasien telah mendapatkan obat sesuai dengan kondisi medis yaitu diabetes
mellitus, hipertensi, dislipidemia, dan osteoarthritis.

37
2. Obat Tanpa Indikasi
Obat tanpa indikasi dapat diartikan adanya obat yang tidak diperlukan atau
tidak sesuai dengan kondisi medis pasien. Pada kasus ini, tidak ditemukan
penggunaan obat tanpa indikasi.

3. Ketidaktepatan Pemilihan Obat


Ketidaktepatan pemilihan obat maksudnya adalah adanya pemberian obat
yang tidak efektif berdasarkan kondisi pasien. Permasalahan yang terjadi pada
kasus ini adalah pemakaian metformin dan glyburide pada pasien diabetes
mellitus tipe 2 yang sudah 5 tahun tidak mengalami penurunan sehingga
diperlukan tambahan terapi untuk memaksimalkan dalam penurunan A1C. Pada
kasus ini, terapi yang ditambahkan yaitu obat golongan GLP-1 receptor agonist
sehingga pasien memiliki kombinasi 3 obat untuk terapi diabetes mellitus tipe 2.
Pemilihan golongan GLP-1 receptor agonist dikarenakan golongan tersebut baik
digunakan untuk pasien diabetes mellitus tipe 2 yang memiliki kondisi obesitas,
dimana golongan tersebut dapat menurunkan A1C serta membantu penurunan
berat badan (Inzucchi SE et al, 2012).

4. Dosis Obat Berlebih


Dosis obat berlebih dapat disebabkan karena penggunaan dosis obat diatas
nilai batas dosis lazim atau frekuensi yang berlebih. Pada kasus ini, dosis obat
sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan.

5. Dosis Obat Kurang


Dosis obat kurang artinya obat yang digunakan dosisnya terlalu rendah
untuk efek yang diinginkan. Pada kasus ini, dosis obat sudah sesuai dengan dosis
yang dianjurkan.

6. Interaksi Obat
Interaksi obat artinya aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat
lain jika diberikan secara bersamaan. Pada kasus ini, permasalahannya adalah

38
pemilihan terapi untuk pasien memiliki interaksi moderate. Tetapi terapi masih
dapat dilakukan hanya diperlukan monitoring hasil terapi.

Tabel 5. Interaksi Obat

Obat A Obat B Tingkat Interaksi


Glyburide Lisinopril Moderate Menggunakan simvastatin bersama
dengan feofibrat dapat
meningkatkan efek glyburide
sehingga menyebabkan kadar
glukosa dalam darah menjadi
terlalu rendah (Drugs, 2017).
Lisinopril Metformin Moderate Menggunakan lisinopril bersama
dengan metformin dapat
meningkatkan efek metformin pada
penurunan glukosa darah. Hal ini
dapat menyebabkan kadar glukosa
darah menjadi terlalu rendah
(Drugs, 2017).
Glyburide Liraglutide Moderate Menggunakan glyburide bersama
dengan liraglutide dapat
meningkatkan resiko hipoglikemik
atau glukosa darah rendah (Drugs,
2017).

39
Daftar Pustaka

American Assiosiation of Clinical Endocrinology/ American College of


Endocrinology (AACE/ACE). 2015. Comprehensive Diabetes Management
Algorithm. Endocr Pract 21(4): 1-10.
American Diabetes Association (ADA). 2017. Pharmacologic approaches to
glycemic treatment. Sec. 8. In Standards of Medical Care in Diabetes 2017.
Diabetes Care; 40 (Suppl. 1): S64S74.
Arisman, M.B. 2010. Obesitas, Diabetes Mellitus, dan Dislipidemia. EGC.
Jakarta. (52, 91-96).
Chester, Jennifer Gonik., James L. Rudolph. 2011. Vital Signs in Older Patients :
Age-Related Changes. J Am Med Dir Assoc, Vol. 5: 337-343.
Corwin, J.E. 2008. Handbook of Pathophysiology Third Edition. Lippincott
Williams & Wilkins. Ohio.
Depkes. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Tersedia
pada :
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&
cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjVhJ2f06jWAhXBTLwKHSIWBrAQFggs
MAA&url=http%3A%2F%2Fbinfar.kemkes.go.id%2F%3Fwpdmact%3Dpr
ocess%26did%3DMTc2LmhvdGxpbms%3D&usg=AFQjCNExsQJ0exMov
aVqtPk_kcrHxaTdPg (Dilihat pada tanggal 16 September 2017).
DiPiro Joseph T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey.
2011. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Eight Edition, p
374-379. McGraw Medical Hill. New York.
DiPiro Joseph T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey.
2012. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Eight Edition, p
374-379. McGraw Medical Hill. New York.
Dipiro, J.T., Dipiro,C.V., Wells, B.G., dan Schwinghammer, T.L. 2015.
Pharmacotherapy Handbook. 9th edition. McGraw-Hill: United States.
Eliana, Fatimah. 2015. Penatalaksanaan DM Sesuai Konsensus Perkeni
2015. Tersedia online di http://www.pdui-pusat.com/wp-

40
content/uploads/2015/12/SATELIT-SIMPOSIUM-6.1-DM-UPDATE-DAN-
Hb1C-OLEH-DR.-Dr.-Fatimah-Eliana-SpPD-KEMD.pdf [Diakses pada 13
September 2017].
Drugs. 2017. Drug Interaction Report. Tersedia online di
https://www.drugs.com/interactions-check.php?drug_list=276-0,1185-0,3189-
0,1476-
0,15730&types[]=major&types[]=minor&types[]=moderate&types[]=food&ty
pes[]=therapeutic_duplication [Diakses pada 12 September 2017].
Felson, D.T. 2008. Osteoarthritis, HARRISONs Principles of Internal Medicine
17th Edition, 2158-2165. New York : Mc Graw-Hill Companies Inc.
Ikatan Apoteker Indonesia. 2010. ISO Indonesia Volume 46. Jakarta: ISFI
Penerbitan.
Inzucchi SE, Bergenstal RM, Buse JB, et al. 2012. Management of hyperglycemia
in type 2 diabetes: a patient-centered approach: position statement of the
American Diabetes Association (ADA) and the European Association for
the Study of Diabetes (EASD). Diabetes Care35(6):1364-1379.
Kalbe Medical. 2012. Analog Peptida Mirip-Glukagon untuk Terapi Diabetes
Melitus Tipe 2. Tersedia online di
http://www.kalbemed.com/News/tabid/229/id/1042/Analog-Peptida-Mirip-
Glukagon-untuk-Terapi-Diabetes-Melitus-Tipe-2.aspx [diakses 13
September 2017]

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Interpretasi Data


Klinik. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan.
Lowes R. FDA approves liraglutide (saxenda) for weight loss [Internet]. 2014
[cited 2014 December 24]. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/837147
Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini.
Medicinus 27(2): 9-16.
Ozougwu, J.C., Obimba, K.C., Belonwu, C.D., Unakalamba, C.B. 2013. The
pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus.
Journal of Physiology and Pathophyysiology Vol 4 (4) p 46-57.

41
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Di Indonesia 2015. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia:
Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular Edisi Pertama.
Jakarta: PP PERKI.
Peters AL, Laffel L, Eds. Alexandria, VA. 2013. American Diabetes
Association/JDRF Type 1 Diabetes Sourcebook. American Diabetes
Association, JDRF: 359-392
Saseen, J.J, & Carter, B.L., 2005, Essential Hypertension. In: Applied
Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. 8th Edition Koda-Kimble MA et
al eds. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Soelistijo, SA., Novida, H., Rudijanto, A., Soewondo, P., Suastika, K., Manaf, A.,
Sanusi, H., Lindarto, D., Shahab, A., Pramono, B., Langi, YA.,
Purnamasari, D., Soetedjo, NN., Saraswati, MR., Dwipayama, MP.,
Yuwono, A., Sasiarini, L., Sugiarto, Sucipto, KW., Zufry, H., 2015.
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta.
Tatro, David S., 2003. A to Z Drug Facts. San Fransisco.
Tridjaya, B., Yati, NP., Faizi, M., Marzuki, NS., Moelyo, AG., Soesanti, F., 2015.
Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1. Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.

42

Anda mungkin juga menyukai