Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH POLITIK PEMERINTAHAN ASIA TENGGARA

KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN & PERAN ASEAN


DIDALAMNYA

OLEH :

DESBIN RAJA IRSANTO SIALLAGAN (1501113385)

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS RIAU

2017/2018
KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas
limpahan berkat dan kasih-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul Konflik Laut Tiongkok Selatan & Peran ASEAN Didalamnya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk dapat menjadi bahan tambahan dalam
bacaan mengenai isu isu kontemporer dan sekaligus sebagai salah satu tugas
untuk memenuhi tugas UTS Politik Pemerintahan Asia Tenggara

Penulis berharap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat


bagi kita semua, terutama kepada penulis sendiri dan dapat menambah wawasan
kita mengenai pemikiran-pemikiran politik dari Timur. Makalah ini tidaklah
sempurna, oleh karena itu kami penerimaan dari pembaca atas karya ini dan
apabila berkesempatan untuk memberikan saran serta kritikan selanjutnya untuk
dapat terus memperbaiki karya karya selanjutnya. Terima kasih.

Pekanbaru, 18 Oktober 2017.

Penulis

i|Konflik Laut Tiongkok Selatan & Peran ASEAN


Didalamnya
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................... ii

BAB I

A. Latar Belakang ........................................................... 1


B. Rumusan Masalah ........................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................... 2
D. Metodologi Penelitian ........................................................... 3
E. Kerangka Teori ........................................................... 3

BAB II

A. Konflik Laut Tiongkok Selatan ....................... 4


B. ASEAN & Konflik Laut Tiongkok Selatan ....................... 9
C. Metode Pengelolaan Konflik Laut
Tiongkok Selatan Oleh Asean ....................... 12
D. Peran Asean Dalam Konflik Laut
Tiongkok Selatan ....................... 18

BAB III

A. Kesimpulan ....................................................................... 44

DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 45

ii | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Kebutuhan akan sumber daya alam bagi negara-negara yang ada, baik
negara maju atau berkembang, menimbulkan perselisihan antar negara-negara
tersebut. Kebanyakan perselisihan tersebut disebabkan karena antara negara yang
satu menginginkan sumber daya yang kebih besar dari negara produsen alih-alih
negara saingannya. Namun tidak jarang pula perselisihan timbul antara negara-
negara dikarenakan hal-hallain yang memiliki kaitan dengan sumber daya.

Perselisihan ini bisa saja akibat dari model standar prosedur yang
dilakukan, model pembatasan kuota atau model-model lainnya. Namun ada pula
perselisihan yang bahkan memuncak sampai perebutan wilayah. Demikianlah
yang terjadi pada wilayah Laut Tiongkok Selatan. Wilayah yang berada diwilayah
Indonesia diklaim oleh banyak negara Asia Tenggara dan juga Tiongkok. Klaim-
klaim ini kedaulatan ini terbukti dari banyaknya nama yang diberikan untuk
pulau-pulau dan lait ini. Semua klaim memiliki dasarnya masing-masing yang
menjadi perdebatan atas kepemilikan wilayah Laut Tiongkok Selatan sampai saat
ini.

Berdasarkan Limits of Ocean and Seas Edisi ketiga yang diterbitkan


tahun 1953 oleh Organisasi Hidrografi Internasional, wilayah ini terletak1:

Disebelah selatan Tiongkok


Disebelah timur Vietnam
Disebelah barat Filipina
Disebelah timur Semenanjung Malaya dan Sumatra
Disebelah barat Selat Singapura
Disebelah utara Kepulauan Bangka Belitung dan Kalimantan

1
International Hydrographic Organization,1953,Limits of Ocean and Seas:Third
Edition,Monako,Hal : 30

1|Konflik Laut Tiongkok Selatan & Peran ASEAN


Didalamnya
Sejauh ini pihak-pihak yang bersengketa, yaitu Indonesia, Tiongkok,
Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, Kamboja dan Thailand
sudah pernah melakukan perundingan baik secara bilateral ataupun multilateral.

Disini dapat dilihat suatu hal yaitu perebutan ini terjadi antara negara-
negara dibawah organisasi ASEAN dan Tiongkok, dengan anggapan Taiwan tidak
dianggap sebagai negara atas desakan Tiongkok. Dalam hal ini artinya klaim ini
terjadi antaraa ASEAN dan Tiongkok serta diantara negara-negara ASEAN
sendiri.

Perlu diperhatikan bahwa baik itu ASEAN ataupun negara-negara


ASEAN secara terpisah menginginkan kasus ini tidak terekskalasi sampai menuju
persselisihan berrsenjata. Untuk itulah ASEAN sebagai organisasi regional Asia
Tenggara bertindak sebagai penengah dalam kasus ini baik itu antara negara-
negara ASEAN sendiri dan juga antara keseluruhan negara ASEAN dan
Tiongkok.

B. RUMUSAN MASALAH

Konflik perebutan/klaim wilayah ini saat ini sudah hampir


mengekskalassi menjadi perselisihan bersenjata karena Tiongkok sudah mulai
melakukan invasi bersenjata atas wilayah ini walau negara lainnya masih belum
melakukan hal yang sama, untuk itulah ASEAN bertindak mengatasi hal ini
mengingat wilayah Laut Tiongkok Sselatan berada diwilayah ASEAN. Karya
ilmiah ini ditulis untuk memaparkan Peran ASEAN dalam menangani konflik ini
dengan Rumusan Masalah:Apa dan Bagaimana Peran ASEAN dalam
menyelesaikan konflik Laut Tiongkok Selatan.

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui peran


ASEAN dalam konflik ini serta bagaimana ASEAN menanggapi konflik Laut
Tiongkok Selatan ini.

2|Konflik Laut Tiongkok Selatan & Peran ASEAN


Didalamnya
D. METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif


analisis, dan menggunakan jenis data sekunder. Penulis juga menggunakan
teknik library research dan teknik analisis data penelitian kuantitatif untuk
menggambarkan Konflik Laut Tiongkok Selatan serta Peran ASEAN
didalamnya

E. KERANGKA TEORI

Multilateralisme dapat diartikan kumpulan beberapa negara yang bekerja


sama untuk mengatasi isu yang ada. Robert Keohane mengartikan
multilateralisme yaitu, the practice of coordinating national policies in groups of
three or more states artinya bahwa, ketika sesuatu dibicarakan secara multilateral
maka masalah akan dibawa ke jenjang lebih terbuka dan mengundang beberapa
negara untuk ikut memutuskan.

Penyelesaian multilateral sendiri seringkali dianggap sebagai prinsip


yang menjadi opposite dari penyelesaian bilateral (unilateral). Prinsip bilateral
lebih mengutamakan solusi dari kedua negara yang berkonflik. Tentu jika kedua
negara tersebut seimbang kekuatannya maka solusi yang keluar merupakan solusi
yang adil, Namun, apa yang terjadi jika negara besar bertentangan dengan negara
kecil maka prinsip multilateral lah yang dijadikan pijakan. Maka prinsip
multilateral bisa menjadi mekanisme keadilan yang bisa dimiliki negara-negara
kecil dalam menghadapi superiority dari negara-negara besar.

Selain itu, penyelesaian multilateral juga dapat sangat efektif tergantung


dari seberapa efektifnya institusi multilateralnya. Institusi multilateral mampu
mengancam negara manapun jika melanggar atau dianggap menghalangi
terjadinya perdamaian pada konflik yang bersangkutan. Contohnya ialah ketika
NATO memulai intervensi kemanusiaan di Kosovo, kekuatan NATO ini mampu
mendiamkan Rusia dan China sekalipun dua negara ini merupakan dewan
keamanan tetap PBB namun dua negara ini tidak berkutik lagi untuk membantu
lebih jauh Serbia.

3|Konflik Laut Tiongkok Selatan & Peran ASEAN


Didalamnya
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN

Istilah Konflik Laut Tiongkok Selatan merujuk kepada gugusan


kepulauan Paracels dan Spratly yang masih dipersengketakan oleh penuntutnya,
Tiongkok, Vietnam, dan Taiwan. Menurut Heinzig, beberapa gugusan kepulauan
di atas terdiri dari sekitar 170 pulau-pulau kecil, pulau karang, dan banks. Pulau
Pratas yang luasnya 12 km2 merupakan pulau terbesar, sedangkan pulau terbesar
di Paracel adalah Woody (1,85 km2) dan yang terbesar di Spratly adalah Itu Aba
(0,4 km2). Masing masing kepulauan itu dikelilingi oleh batu karang yang
berbentuk oval atau bundar. Karena gugus-gugus kepulauan itu terletak di wilayah
Laut Tiongkok Selatan yang luas, jarak antara satu gugus dengan gugus yang lain
sangat lebar, yang kadang-kadang melampaui jarak 1.000 km.2

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, dari keempat gugus pulau yang


dipersengketakan, kepulauan Spratly merupakan titik api yang cukup potensial
untuk berkembang menjadi wilayah konflik-konflik militer di masa mendatang,
tidak saja karena adanya tuntutan yang tumpang tindih yang melibatkan keenam
penuntutnya (Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei), tetapi
juga karena kepentingan negara-negara besar (Jepang, Amerika Serikat, Rusia) di
perairan Laut Cina Selatan yang dikhawatirkan akan menjadi konflik terbuka di
masa depan.

Sengketa teritorial di Laut Cina Selatan melibatkan klaim maritim antara


tujuh negara-negara berdaulat di kawasan ini, yaitu Brunei, Republik Rakyat
Tiongkok Taiwan, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Terjadi
perselisihan tentang Spratly dan Kepulauan Paracel, serta batas maritim di Teluk
Tonkin. perselisihan lebih lanjut juga terjadi di perairan dekat Kepulauan Natuna
Indonesia.

2
Dieter Heinzig,1976,Disputed Islands in The South China Sea.Wiesbaden: Otto Harrassowitz, Hal
:13.

4|Konflik Laut Tiongkok Selatan & Peran ASEAN


Didalamnya
Sejak tahun 1947, Tiongkok sudah mengklaim secara keseluruhan
kepulauan Spratly sebagai bagian dari Provinsi Guangdong. Kemudian di tahun
1974, Tiongkok mengerahkan militernya memasuki Paracel Island yang kemudian
membuat protes Vietnam dan menuntut untuk Tiongkok keluar dari Paracel
maupun Spratly. Ketegangan kembali muncul di tahun 1988 ketika puluhan pelaut
Vietnam terbunuh ketika terjadi pertikaian di Laut Tiongkok Selatan dengan
Tiongkok.

Di tahun 1992, Tiongkok kemudian mengerahkan militernya merebut


Mischief Reef yang diklaim Filipina. Hal ini kemudian membuat ASEAN mulai
fokus mada masalah laut Tiongkok selatan ini dan menyayangkan tindakan China.

Di tahun 2002, Tiongkok kemudian menawarkan sebuah rangkaian


deklarasi kode etik kepada ASEAN yang isinya kurang lebih mengesampingkan
lebih dulu masalah perbedaan klaim dan menahan diri dari tindakan yang
merugikan perdamaian semua pihak. Deklarasi ini kemudian diterima dan
ditandatangani di Pnom Penh.

Perselisihan Laut Tiongkok Selatan melibatkan perbatasan laut dan


pulau-pulau. Di bawah ini gambaran Konflik yang terjadi, yang masing-masing
melibatkan wilayah sengketa yang berbeda dari tiap negara3:

Batas laut di sepanjang pantai Vietnam antara Vietnam, Tiongkok, dan


Taiwan
Batas maritim di perairan utara dari Kepulauan Natuna antara
Indonesia, Tiongkok, dan Taiwan
Utara batas laut Kalimantan antara Vietnam, Tiongkok, Taiwan,
Malaysia, Filipina, dan Brunei
Kepulauan di selatan Laut Tiongkok Selatan, termasuk Kepulauan
Spratly antara Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei, Taiwan, dan
Tiongkok

3
http://graphics.straitstimes.com/STI/STIMEDIA/Interactives/2016/02/turf-wars-on-the-south-
china-sea/index.html Diakses pada tanggal 17 10 2017 pukul 08.39 WIB

5|Konflik Laut Tiongkok Selatan & Peran ASEAN


Didalamnya
Batas laut di lepas pantai Palawan dan Luzon antara Filipina, Tiongkok
dan Taiwan
Kepulauan di bagian utara dari Laut Tiongkok Selatan, termasuk
Kepulauan Paracel antara Vietnam, Tiongkok, dan Taiwan
Batas maritim di Selat Luzon antara Filipina dan Taiwan, termasuk
pulau-pulau yang ada di dalamnya
Daerah jalur titik 9 yang diklaim oleh Tiongkok yang meliputi sebagian
besar LCS dan tumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif
dari Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam

Tiongkok memandang laut Tiongkok Selatan khususnya Kepulauan


Spratly dan Paracel sebagai bagian dari Tiongkok secara sejarah sejak dinasti
Yuan. Kepulauan Paracel dianggap bagian dari Kepulauan Nansha, sedangkan
Spratly adalah bagian dari kepulauan Hainan. Merujuk pada UNCLOS yang
diratifikasinya di tahun 1996, Tiongkok sangat mempergunakan hak klaiman ZEE
nya sebagai negara kepulauan didasarkan pada kepulauan Paracel dan Spratly
yang ia klaim.

Taiwan sendiri juga mengklaim Laut Tiongkok Selatan khususnya pulau


terbesar di Spratly Islands yaitu pulau Aba (Taiping Dao). Namun, karena adanya
kebijakan One Chinas Policy, maka klaimnya tidak dibuktikan dengan legal
hukum internasional.

Vietnam memandang Spratly Island dan Paracel Island sebagai warisan


dari penjajahan Prancis. Juga memakai argumen landas kontinen sebagai bagian
lepas pantai dari provinsi Khan Koa.

Filipina lebih memakai argumen landas kontinen atas beberapa pulau


yang ia klaim. Tahun 1956, Penjelajah Filipina mengumpulkan data yang di
dalamnya disebutkan bahwa pulau yang diklaim Filipina bukanlah bagian dari
kepulauan Spratly dan merupakan kepulauan kosong yang sah diklaim oleh
siapapun. 1971 kemudian Filipina mengklaim 8 pulau di area sengketa sebagai
bagian dari provinsi Palawan.

6|Konflik Laut Tiongkok Selatan & Peran ASEAN


Didalamnya
Malaysia juga menggunakan prinsip landas Kontinen dan mengklaim 3
pulau yang dilalui landas kontinennya. Di lain pihak, Brunei Darusalam tidak
mengklaim pulau apapun, hanyalah kelanjutan dari landas kontinennya di Laut
Tiongkok Selatan.

Laut Tiongkok Selatan bisa dibilang salah satu primadona lautan di dunia
ini. Menurut pihak Tiongkok Laut Tiongkok Selatan berpotensi memiliki minyak
dan gas bahkan melebihi stok dari negara Kuwait yang saat ini pengekspor
minyak terbesar keempat di dunia. Sehingga kawasan ini sangat menjanjikan
untuk digunakan sebagai penyedia energi bagi beberapa puluh tahun ke depan.

Alasan utama sengketa perebutan wilayah Laut Tiongkok Selatan adalah

kandungan gas alam dan minyak buminya. Tiongkok menerbitkan estimasi

tertinggi, menyatakan Paracel dan Spratly mungkin mengandung 213 miliar barel

minyak bumi. Angka ini sekitar tujuh kali lipat perkiraan para peneliti Amerika

Serikat. Gas alamnya pun melimpah. Menurut Administrasi Informasi Energi

Amerika Serikat, Laut Tiongkok Selatan memiliki sekitar 25 triliun meter kubik

gas alam, sama besar dengan cadangan gas alam Qatar. Belum lagi kekayaan

ekosistem perairannya. Selain itu, lebih dari 50 persen perdagangan dunia

melewati Laut Tiongkok Selatan. Lokasinya pun strategis untuk pos pertahanan
militer4.

Akhir Februari lalu Filipina mengundang perusahaan-perusahaan asing

untuk berinvestasi melalui eksplorasi minyak bumi di lepas pantai Laut Tiongkok

Selatan. Izin eksplorasi direncanakan diberikan kepada 15 blok, tiga di antaranya

ada di wilayah sengketa. Tiongkok menyatakan tindakan Filipina tersebut ilegal

karena tanpa izin mereka. Urusan tuduh-menuduh bukan hal baru dalam sejarah

sengketa Laut Tiongkok Selatan. Tahun lalu Filipina menuduh Tiongkok masuk

4
Leszek Buszynski,2012,The South China Sea:Oil, Maritime Claims and US China, Strategic
Rivalry,Washington:The Washington Quarterly.Hal : 141

7|Konflik Laut Tiongkok Selatan & Peran ASEAN


Didalamnya
tanpa izin ke wilayah perairannya dan mencoba mengganggu sebuah eksplorasi

minyak bumi lepas pantai di dekat Pulau Palawan. Filipina juga menuduh

Tiongkok mencoba membangun pertahanan militer di Spratly. Vietnam juga

pernah menuduh China mencoba menyabotase dua operasi eksplorasi Vietnam.

Tuduhan ini memicu protes anti-Tiongkok di jalan-jalan di Hanoi dan Ho Chi

Minh. Sebaliknya, Tiongkok menuduh Vietnam memprovokasinya karena pernah


melakukan latihan menembak di salah satu pesisirnya.

Laut Tiongkok selatan juga merupakan laut yang selalu dihinggapi ikan
dalam jumlah lumayan banyak. Terhitung sekitar 8% konsumsi Ikan dunia
dihasilkan dari kawasan ini. Hal ini menyebabkan sering terjadi bentrokan antara
nelayan di kawasan ini dalam memperebutkan wilayah menangkap ikan5.

Laut Tiongkok Selatan juga merupakan jalur laut yang sangat sibuk yang
menghubungkan banyak negara-negara besar seperti Jepang, Amerika Serikat dll.
Jalur laut ini dihitung lebih sibuk 3 kali lipat ketimbang terusan Suez dan 5 kali
lebih sibuk dibanding terusan Panama.

Tiga hal inilah yang kemudian menyebabkan persaingan sengketa


wilayah lebih memanas. Tiongkok tentu sebagai negara besar tak mau menyia-
nyiakan peluang sekecil apapun untuk mendapatkan wilayah yang kaya yang
secara historis masih punya hubungan dengan Tiongkok. Vietnam sendiri pun
sebagai negara yang perlu suntikan dana untuk membangun negeri juga melihat
Laut Tiongkok Selatan sebagai potensi yang sangat baik dalam membangun
wilayahnya. Begitu juga dengan negara ASEAN lainnya.

Perkembangan konflik sendiri sekarang sekurang-kurangnya ada tujuh


pos terdepan baru yang sudah didirikan oleh lima negara untuk mengukuhkan
klaim mereka atas cadangan minyak dan gas alam yang sangat besar, yang ada di
dasar Laut Tiongkok Selatan. Yaitu:

5
Ibid,Hal 144

8|Konflik Laut Tiongkok Selatan & Peran ASEAN


Didalamnya
Pulau Karang Barat Daya, diduduki oleh Vietnam
Terumbu Karang Mariveles, diduduki oleh Malaysia
Pulau Thitu, diduduki oleh Filipina
Itu Aba, diduduki oleh Taiwan
Terumbu Karang Fiery Cross, diduduki oleh China
Bantaran Ardasler, diduduki oleh Malaysia, dan
Kepulauan Spratly, diduduki oleh Vietnam

B. ASEAN & KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN

Laut Tiongkok Selatan merupakan salah satu komoditas politik


internasional dalam kerangka politik kekuatan bagi setiap negara yang berusaha
meningkatkan posisi kekuatannya terhadap negara-negara saingannya, sehingga
negara-negara tersebut berusaha mempertahankan hegemoni-nya untuk merebut
pengaruh di kawasan agar tetap dapat memanfaatkan potensi yang ada di
sepanjang tepian pasifik.

Dengan berakhirnya perang dingin, berubahnya sistem internasional


menjadi multipolar, menciptakan kesulitan-kesulitan baru dalam menghadapi
kekuatan dan ancaman luar yang semakin sulit ditebak. ASEAN sebagai
organisasi kawasan Asia Tenggara tidak dapat lagi melihat persolaan dan
ancaman terbatas satu kawasan saja. Tetapi harus lebih dapat menangkap segala
keadaan yang mengancam yang dapat datang dari manapun, termasuk dari
kawasan yang lebuh luas, seperti Asia Pasifik.

Deklarasi Bangkok 1967 telah menetapkan bahwa bidang ekonomi dan


sosial budaya merupakan bidang-bidang penting ASEAN. Deklarasi Bangkok
tidak secara eksplisit menyebut kerjasama politik dan keamanan. Namun
demikian, sejak awal berdirinya ASEAN, kerjasama politik dan keamanan
mendapat perhatian dan dinilai penting. Kerjasama politik dan keamanan terutama
diarahkan untuk mengembangkan penyelesaian secara damai sengketa-sengketa
regional, menciptakan dan memelihara kawasan yang damai dan stabil, serta
mengupayakan koordinasi sikap politik dalam menghadapi berbagai masalah
politik regional dan global. Dengan kata lain, Deklarasi Bangkok mengandung

9|Konflik Laut Tiongkok Selatan & Peran ASEAN


Didalamnya
keinginan politik para pendiri ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai
dan mengadakan kerjasama regional.

Pada prinsipnya kerjasama politik dan keamanan ASEAN mempunyai


arah dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian kawasan dengan bertumpu
pada dinamika dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta sekaligus
dapat membangun rasa saling percaya (confidence building) menuju suatu
masyarakat kepentingan keamanan bersama di Asia Tenggara dan Asia Pasifik
yang kemudian sehingga menumbuhkan pengharapan terciptanya sebuah
lingkungan strategis yang diharapkan.

Berdasarkan tujuan-tujuan dasar organisasi tersebut, ASEAN berupaya


untuk mengambil bagian dalam memecahkan persoalan konflik Laut Tiongkok
Selatan dengan upaya-upaya damai. Apalagi, ketegangan yang terjadi diantara
negara-negara yang bersengketa sangat rawan konflik. Kondisi ini mencerminkan
adanya dilema keamanan (security dilemma) sehingga mendorong lahirnya
konsep yang lazim disebut sebagai security interdependence, yaitu bentuk usaha
keamanan bersama untuk mengawasi masalah-masalah regional, yang
menyangkut keamanan regional yang diakibatkan munculnya gangguan di
kawasan Laut Cina Selatan.

Dalam memperoleh keamanan bersama yang komprehensif maka


setidaknya dapat menjalankan konsep keamanan yang kooperatif di kawasan. Di
antara negara-negara ASEAN misalnya, istilah Ketahanan Nasional dan Ketahan
Regional menjadi suatu konsep kooperatif yang pada intinya bersifat inward
looking yang telah lama mendasari hubungan antarnegara. Dengan demikian
dalam usaha mewujudkan kerjasama keamanan tersebut harus dibarengi dengan
semangat konstruktif dan penuh keterbukaan di antara negara-negara di kawasan
baik itu dalam konteks ASEAN maupun Asia Pasifik. Inti semangat itu adalah
mendahulukan konsultasi daripada konfrontasi, menentramkan daripada
menangkal, transparansi daripada pengrahasiaan, pencegahaan daripada
penanggulangan dan interdepedensi daripada unilateralisme.

10 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Perubahan sistem internasional yang menciptakan konsep-konsep
keamanan baru tersebut melatarbelakangi ASEAN untuk mengambil bagian
dalam penyelesaian konflik di Laut Tiongkok Selatan, disamping beberapa
pertimbangan dan kepentingan-kepentingan ASEAN lainnya. Signifikansi konflik
Laut Tiongkok Selatan bagi ASEAN, secara singkat dapat duraikan sebagai
berikut: Pertama, Kepentingan ASEAN dalam menjaga stabilitas hubungan
negara-negara anggotanya, khususnya yang terlibat langsung dalam konflik Laut
Tiongkok Selatan (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darusalam).

Kedua, Laut Tiongkok Selatan merupakan wilayah yang strategis.


Sehingga kawasan ini sangat potensial untuk menjadi pangkalan militer dari
negara-negara yang akan meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara.
Kemungkinan tersebut merupakan ancaman yang harus diperhatikan ASEAN
dalam mempertahankan keamanan regional. Ketiga, adalah masalah ekonomis.
Laut Tiongkok Selatan memiliki potensi besar baik dari sumber daya mineral,
perikanan bahkan minyak dan gas bumi.

Dengan demikian, besarnya potensi konflik yang ada di kawasan laut


Tiongkok Selatan, dan pengaruhnya yang juga besar terhadap stabilitas kawasan
Asia Tenggara, memaksa ASEAN untuk berfikir lebih serius menjaga segala
kemungkinan gangguan keamanan yang datang. Konflik Laut Tiongkok Selatan
juga merupakan wahana bagi ASEAN untuk mempertegas eksistensinya sebagai
organisasi regional yang solid dan masih berfungsi sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu, dalam mengatasi potensi konflik di Laut Tiongkok


Selatan, diharapkan nilai-nilai positif yang dapat dicapai ASEAN melalui
pengelolaan keamanan bersama regional (regional common security) harus
dipromosikan untuk menciptakan keamanan dan perdamaian berlandaskan
kepentingan yang sama, sehingga semua negara kawasan, termasuk negara ekstra
kawasan harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan
jaminan keamanan kawasan di samping adanya konvergensi kepentingan masing-
masing. Hal ini penting karena pada dasarnya kawasan Laut Tiongkok Selatan
merupakan lahan potensial masa depan dan salah satu kunci penentu bagi

11 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
lancarnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional masing-masing
negara kawasan. Selain itu, Laut Tiongkok Selatan juga tidak dapat dijauhkan dari
fungsinya sebagai safety belt dalam menghadapi ancaman, tantanganm hambatan
dan gangguan khususnya bagi negara-negara dalam lingkaran Asia Tenggara dan
Asia Pasifik. Pada titik inilah ASEAN melihat urgensitas Konflik Laut Tiongkok
Selatan sebagai masalah yang sangat penting.

C. METODE PENGELOLAAN KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN


OLEH ASEAN

Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menghindari potensi Konflik


Laut Tiongkok Selatan menyusul adanya kemungkinan upaya penyelesaian
konflik secara damai oleh semua pihak yang terlibat sengketa. Salah satu upaya
menghindari potensi konflik tersebut adalah melalui pendekatan perundingan
secara damai baik secara bilateral maupun multilateral dan juga melakukan
kerjasama-kerjasama yang lazim digunakan mengelola konflik regional dan
internasional.

Pada tingkat kerjasama subregional Asia Tenggara, setidaknya ASEAN


telah berfungsi sebagai forum yang efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah
ekonomi, politik, sosial budaya dan banyak masalah keamanan. Keberhasilan
ASEAN dicerminkan oleh upaya mengatasi konflik-konflik bersenjata atau
tindakan-tindakan provokatif sejak organisasi ini berdiri 1967. Dan hingga saat ini
regionalisme ASEAN berfungsi sebagai instrumen untuk menyelesaikan krisis-
krisis internal. Penyelesaian ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu,
mengurangi kemungkinan munculnya konflik diantara negara-negara tetangga dan
memaksimalkan proses pembangunan ekonomi untuk menunjang peningkatan
ketahanan Regional secara kolektif.

Demikianlah, regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan


menjadi satu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana
masalah-masalah regional seperti sengketa Laut Tiongkok Selatan tidak hanya
melibatkan negara-negara ASEAN akan tetapi juga negara non-ASEAN seperti
RRC dan Taiwan dan negara kawasan lainnya yang tidak terlibat langsung.

12 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Konflik laut Tiongkok selatan menjadi penting karena cakupan regionalisme Asia
Pasifik akan meningkatkan kekuatan kawasan dalam menangani bentuk-bentuk
konflik regional yang sesungguhnya sangat menentukan bagi kepentingan
nasional masing-masing negara anggota.

Upaya-upaya perundingan untuk memecahkan permasalahan secara


multilateral untuk terciptanya stabilitas di kawasan banyak mendapat dukungan
negara-negara pengklaim yang semuanya adalah negara negara anggota ASEAN,
kecuali Taiwan. Hal ini beralasan mengingat melalui perundingan regional atau
multilateral, setidaknya dapat membantu semua negara pengklaim di kawasan itu
untuk memilih peluang dan posisi yang sama dalam mempertahankan klaim dan
pendudukannya terutama dalam menghadapi tuntutan Tiongkok. Sebaliknya
Tiongkok lebih memilih perundingan secara bilateral dengan masing-masing
negara sengketa, karena dengan cara ini Tiongkok dapat lebih mudah menekan
setiap negara daripada menghadapinya.

Belakangan ini memang ASEAN menghadapi tantangan untuk


meningkatkan dan mempertahankan kawasannya yang damai dengan terus
berlarut-larutnya sengketa antar engara kawasan laut Tiongkok Selatan tersebut.
Adanya konflik ini akan membawa dampak tidak saja terhadap kerjasama
ekonomi ASEAN yang selama ini telah membawa hasil yang maksimal, tetapi
juga terhadap kelangsungan ASEAN sebagai organisasi regional yang memayungi
kepentingan nasional masing-masing anggotanya..

Oleh karena itu, satu hal yang paling penting digarisbawahi dari
eksistensi ASEAN adalah pembentukkannya dan pencapaian tujuannya,
disandarkan pada inspirasi, komitmen politik dan keamanan regional. Sejak
ASEAN didirikan ada empat keputusan organisasional yang dapat dijadikan
landasan dan instrumen dalam pengelolaan potensi konflik laut Tiongkok Selatan.
Keempat keputusan organisasional tersebut yaitu:

13 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Deklarasi Kuala Lumpour 1971 tentang kawasan damai, bebas dan
Netral (ZOPFAN).
Traktat Persahanatan dan kerjasama di Asia Tenggara (TAC) yang
dihasilkan oleh KTT ASEAN I 1976.
Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF) dan pertemuan
pertamanya di bangkok tahun 1994
KTT ASEAN V (1995) menghasilkan traktat mengenai kawasan Bebas
Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Zone-Nuclear
Free Zone SEANWFZ).
a) Zone of Peace,Freadom and Neutrality

Konsep ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) merupakan


pengejawantahan dari sikap ASEAN yang sesungguhnya tidak mau menerima
keterlibatan yang terlalu jauh dari negara-negara besar wilayah Asia Tenggara.
ASEAN mengusahakan pengakuan dan penghormatan Asia Tenggara sebagai
zona damai, bebas dan netral oleh kekuatan luar seraya memperluas kerjasama
antar negara se-kawan sebagai persyarat bagi memperkuat kesetiakawanan dan
keakraban semua negara yang ada di kawasan.

Konsep ZOPFAN yang dirumuskan April 1972 sebenarnya memberikan


kontribusi besar bagi kehidupan regional di Asia Tenggara. Pedoman yang
terdapat dalam konsep tersebut adalah;

bahwa regionalisme Asia Tenggara tidak boleh mengganggu


kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, keutuhan wilayah dan
kepribadian nasional setiap bangsa;
bahwa setiap negara harus dapat melangsungkan kehidupan
nasionalnya bebas dari campur tangan, subversi atau tekanan luar;
bahwa tidak ada campur tangan mengenai wawasan dalam negeri satu
sama lain;
bahwa setiap perselisihan atau persengketaan harus diselesaikan
dengan cara-cara damai

14 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
dan bahwa setiap pengancaman dengan kekerasan tidak dapat
diterima.

Sementara untuk menunjang ZOPFAN dan dalam upaya mencairkan


kebekuan hubungan bilateral karena adanya perbedaan-perbedaan mulai terlihat
saat dikeluarkannya dekalrasi perjanjian persahabatan dan kerjasama (Treaty of
Amity and Cooperation-TAC). Perjanjian ini ditandatangani pada KTT I ASEAN
di Bali tahun 1976. Inti perjanjiannya adalah bagaimana menggunakan cara-cara
damai dalam menyelesaikan persengketaan intra ASEAN. Perjanjian ini
merupakan prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi negara-negara ASEAN
dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam hubungan bilateral anggota
ASEAN.

b) Treaty of Amity and Coorporation

TAC pada dasarnya merupakan hasil dari transformasi prinsip-prinsip


dan aspirasi ASEAN dalam deklarasi Bangkok dan ZOPFAN ke dalam suatu
bentuk perjanjian (treaty) internasional yang mengikat dan menjadikannya sebagai
code of conduct dalam interaksi intra-ASEAN. Didalam perkembangannya TAC
telah dijabarkan dan diperluas perannya untuk dapat ikut mencari penyelesaikan
sengketa secara damai atau paling tidak dapat berfungsi sebagai pencegah konflik
sebagaimana dipertegas dalam perjanjian TAC bab IV, mengenai prinsip-prinsip
penyelesaian secara damai (the pasific settlement of disputes).

Berkaitan dengan potensi Konflik Laut Tiongkok Selatan, maka prinsip-


prinsip TAC dapat diberlakukan dalam pengelolahannya. Hal ini berdasarkan
Deklarasi Prinsip-prinsip Laut Tiongkok Selatan, yang mendesak semua pihak
guna memerapkan prinsip-prinsip yang termaktub dalam TAC sebagai dasar
untuk merumuskan code of international conduct di Laut Tiongkok Selatan.
Sedangkan SEA-NWFZ merupakan langkah kedua setelah TAC dalam
perwujudan ZOPFAN. Pada KTT IV di Singapura telah mengikrarkan bahwa
SEA-NWFZ terus diusahakan, mengingat adanya upaya beberapa negara besar
yang ada di kawasan maupun di luar kawasan tetap mengembangkan nuklirnya
sebagai bukti kapabilitas pertahanannya.

15 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Baik konsep ZOPFAN, NWFZ maupun TAC pada prinsipnya adalah
zooning arrangement yang merupakan instrumen dasar konsep keamanan
ASEAN yang juga dapat bertindak sebagai instrumen pembangunan kepercayaan
di Asia Pasifik khususnya dalam mencegah Konflik di Laut Tiongkok Selatan.
Program ZOPFAN mempunyai unsur-unsur utama yang menjadi perangkat dalam
mencegah konflik di kawasan, antara lain:

Memperkuat jaringan kerjasama bilateral dan trilateral antara negara-


negara Asia Tenggara,
Pengembangan suatu code of conduct yang mengikat negara-negara di
Asia Tenggara dan negara-negara disekitarnya,
Pengembangan cetak biru politik-keamanan untuk memungkinkan
negara-negara sahabat membantu dalam membangun perdamaian,
stabilitas dan kesejahteraan di Asia Tenggara, serta
Mengembangkan suatu kerangka untuk bekerja dengan Piagam PBB
dalam menciptakan, melanggengkan, dan membangun perdamaian.

Seperti diketahui fenomena politik dan keamanan atas kawasan Laut


Tiongkok Selatan selama beberapa dekade belakangan ini tampak jelas langsung
dippengaruhi oleh inkonsistensi dan ketidakpastian dalam prilaku politik luar
negeri RRT. Karena Tiongkok memandang masalah kedaulatan nasional dan
integritas wilayah sebagai masalah yang sangat penting untuk diperjuangkan,
maka besar kemungkinan upaya untuk mencari penyelesaian secara damai konflik
ini akan berjalan secara lambat, karena itu Konflik Laut Tiongkok selatan akan
memungkinkan menjadi konflik berkepanjangan di kawasan Asia Pasifik.

Dalam upaya mencegah konflik dan menciptakan tingkat kepastian


tertentu di kawasan, maka setidaknya prilaku setiap pihak yang bertikai dapat
menghormati aturan-aturan dan kesepakatan regional yang telah mendapat
pengakuan internasional. Adanya traktat ataupun perjanjian regional yang telah
dilahirkan ASEAN diharapkan dapat menjadi instrumen manajeman konflik,
khususnya dalam menghadapi sikap dan respon Tiongkok terhadap prakarsa-

16 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
prakarsa negara-negara ASEAN dalam menciptakan tata hubungan politik dan
keamanan yang lebih predictable di kawasan Laut Tiongkok Selatan.

Dalam melakukan pencegahan konflik di kawasan, segenap negara


kawasan Asia Tenggara dapat menempuh cara dua tahap:

Secara internal dalam tingkat subregional ASEAN senantiasa konsisten


dengan komitmennya tentang perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan
yang kebetulan beberapa anggota ASEAN lainnya terlibat dalam konflik di Laut
Tiongkok Selatan;

Secara eksternal ASEAN senantia mengambilkan langkah-langkah untuk


menangani masalah Laut Tiongkok Selatan khususnya pada tingkat regional atau
multilateral. Misalnya, ASEAN mencoba membujuk Tiongkok untuk
menghormati code of conduct ASEAN seperti Zone Of Peace, Freedom, and
Neutrality (ZOPFAN) dan Treaty of Amity and Coorporation (TAC), sebagai
nilai, norma dan prinsip-prinsip yang harus menjadi acuan hubungan antar negara
di kawasan utamanya dalam mewujudkan the Pasific settlement of disputes.

c) ASEAN Regional Forum

ASEAN Regional Forum (ARF) adalah forum dialog resmi


antarpemerintah dan merupakan bagian dari upaya membangun saling percaya di
kalangan negara-negara Asia Pasifik untuk membicarakan masalah-masalah
keamanan regional secara lebih langsung dan terbuka. Salah satu tujuannya adalah
menciptakan lingkungan keamanan yang lebih luas sehingga wilayah ASEAN
dapat tumbuh secara lebih kuat dan mandiri.

ARF lahir sebagai implikasi logis dari berakhirnya sistem bipolar di Asia
pasifik. Implikasi tersebut mengharuskan negara-negara Asia Pasifik mencari
pendekatan-pendekatan baru atas masalah-masalah keamanan di kawasan. Dari
sini kemudian muncul pemikiran tentang regionalisasi masalah keamanan.
Negara-negara ASEAN dan negara-negara besar di kawasan mempunyai alasan
yangrasional mengapa pendekatan baru diperlukan.

17 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Negara-negara di kawasn tidak bisa lagi mengeksploitasi persaingan
negara adidaya, memainkan kartu Amerika Serikat dan Rusia, untuk kepentingan
keamanan di kawasan. Sementara itu bagi negara-negara besar, runtuhnya Uni
Soviet dan sistem bipolar menyebabkan nilai strategis negara-negara di kawasan
menjadi berkurang. Pada saat yang sama dinamika kawasan di Asia Pasifik masih
menyimpan beberapa ketidakpastian, dimana salah satunya berupa konflik-konflik
teritorial khususnya konflik teritorial di Laut Tiongkok Selatan.

Dengan demikian ARF merupakan forum multilateral pertama di Asia


Pasifik untuk membahas isu-isu keamanan. Pembentukan lembaga ini merupakan
sebuah langkah mendahului oleh negara-negara ASEAN, yang memberi arti
sukses dan kemandirian pengelompokkan regional itu. Ini juga merupakan salah
satu bukti keunggulan ASEAN dalam memanfaatkan momentum agenda
keamanan kawasan. Misalnya keberhasilan ASEAN dalam melakukan dialog
multilateral tentang masalah di Laut Tiongkok Selatan. Keberhasilan tersebut
merupakan upaya penting untuk mencegah pecahnya konflik antarnegara yang
terlibat sengketa perbatasan di kawasan Asia pasifik.

Dari uraian diatas nampak bahwa ARF memiliki peran yang signifikan
dalam berbagai isu keamanan yangmenyimpan sejumlah konflik. Selain itu makna
ARF menjadi semakin penting sebagai satu-satunya forum keamanan yang paling
banyak diminati oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Sejak berdirinya,
forum ini telah menyumbangkan berbagai program konkret dalam mengelola isu
keamanan regional di Laut Tiongkok Selatan.

D. PERAN ASEAN DALAM KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN

ASEAN sebenarnya sudah mulai membicarakan masalah Laut Tiongkok


Selatan sejak kehadiran Tiongkok di Mischief Reef di Filipina. Namun memang,
tidak terlalu banyak pengaruh yang bisa ASEAN lakukan pada konflik ini sampai
pada tahun 2002 di bentuklah DOC (Declaration OF Conduct) antara ASEAN dan
Tiongkok. DOC ini sendiri sebenarnya ampuh dalam mengatasi konflik fisik yang
besar namun pelanggaran tetap terjadi sebagai realitas akibat tidak adanya
ketegasan dari ASEAN sendiri.

18 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Lalu, apakah ASEAN dapat berperan sebagai peredam konflik bagi
anggotanya dan kawasan Asia Pasifik? Peran ASEAN sebagai peredam konflik
akan menjadi semakin penting ketika para anggota ASEAN saling mengingatkan
bahwa komitmen terhadap Treaty of Amity in Southeast Asia (TAC) yang telah
dicanangkan bersama beberapa tahun lalu tetap menjadi langkah bagi
penyelesaian konflik secara damai. Tujuannya agar mampu memanfaatkan
peluang yang muncul dari isu yang berkaitan dengan masalah keamanan dengan
mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik di kawasan. Dalam hal ini
ASEAN harus tetap menjalankan diplomasi pencegahan (preventive diplomacy)
dalam lingkungannya sendiri untuk mencegah konflik yang akan muncul ke
permukaan. Selain itu, fungsi ASEAN dalam membangun saling percaya
(confidence building measures) yang mempertemukan kepentingan-kepentingan
keamanan di kawasan juga perlu ditingkatkan terus agar tercipta perimbangan
kepentingan di antara anggotanya.

Lingkungan strategis baru mendorong ASEAN untuk mengambil


berbagai kebijakan baru dalam masalah politik keamanan dan melengkapi
perannya sebagai peredam konflik (conflict defuser). Pada Pertemuan Menteri
Luar Negeri ASEAN (AMM) di Manila, Juni 1992 untuk pertama kalinya
ASEAN mengeluarkan komunikasi bersama tentang masalah keamanan regional.
Komunikasi bersama itu menyoroti masalah persengketaan di Laut Tiongkok
Selatan. Bagi negara-negara yang bersengketa, upaya untuk menempuh cara-cara
damai dan menghindari adanya penggunaan senjata menjadi komitmen bersama di
dalam mengatasi konflik yang muncul di masa depan.

Perkembangan lainnya, disepakatinya antara ASEAN dengan negara


mitra dialog untuk menjadikan ASEAN-PMC sebagai forum dialog mengenai
masalah keamanan regional. Selama ini ASEAN-PMC merupakan wadah untuk
membicarakan kerja sama ekonomi, teknologi dan sosial budaya antara negara
ASEAN dengan mitra dialognya. Pada KTT ASEAN ke-4 di Singapura, Januari
1992 akhirnya dicapai keputusan untuk menggunakan forum ASEAN-PMC
sebagai sarana membicarakan masalah-masalah politik dan keamanan. Di samping

19 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
itu, dalam pertemuan AMM di Singapura Juli 1993 juga telah diputuskan untuk
membentuk ASEAN Regional Forum (ARF).

Dibentuknya ARF menunjukkan tiga hal penting. Pertama, selama ini


masalah keamanan dalam lingkup ASEAN lebih terpusat pada dinamika
hubungan bilateral di antara sesame negara anggotanya. ASEAN merasa enggan
untuk membicarakan masalah-masalah keamanan secara multilateral. Namun
demikian, perkembangan sekarang ini menghadapkan ASEAN pada masalah
keamanan regional yang semakin kompleks dan cakupannya yang semakin luas
sehingga bagi ASEAN pendekatan bilateral kini dirasa tidak cukup.

Kedua, keikutsertaan negara-negara besar, seperti AS, Rusia, Cina,


Jepang, Australia, Kanada, Uni Eropa di lingkungan Asia Pasifik, menunjukkan
bahwa stabilitas dan keamanan wilayah ini sangat tergantung pada kebijakan
negara-negara besar tersebut. Ketiga, dibentuknya ARF menunjukkan pengakuan
bahwa masalah politik dan keamanan kawasan Asia Tenggara tidak dapat
dipisahkan dengan situasi politik dan keamanan Asia Pasifik secara keseluruhan.
Sulit bagi ASEAN untuk meraih suatu separate peace hanya di lingkungannya
sendiri apabila negara-negara besar di kawasan tidak mendukungnya..

Dalam menghadapi masalah klaim di Laut Tiongkok Selatan misalnya,


ASEAN harus tampil sebagai "an honest broker" peredam konflik. Keterlibatan
beberapa negara ASEAN dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan, menjadi
semakin penting dilakukannya perundingan damai secara terus-menerus.
Terutama ketika harus berhadapan dengan Tiongkok yang mengklaim seluruh
wilayah di Laut Tiongkok Selatan.

Secara demikian, usaha kerjasama akan menciptakan hubungan baik dan


mengurangi rasa curiga di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Usaha-usaha kerjasama untuk menyelesaikan sengketa akan dapat menurunkan
tingkat potensi konflik menuju identifikasi dan usaha pemanfaatan peluang-
peluang kerjasama dalam menciptakan keamanan, stabilitas dan perdamaian di
kawasan.

20 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Peran komunitas ASEAN mendatang, terutama pilar Komunitas
Keamanan ASEAN sangat vital dalam upaya penyelesaian sengketa antarnegara
anggotanya agar tercipta hubungan yang lebih baik berdasarkan prinsip
perdamaian dan keamanan internasional. Terciptanya perdamaian dan stabilitas di
kawasan akan menjadi modal bagi proses pembangunan ekonomi dan social
budaya masyarakat ASEAN.

a) Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea (DoC) : Joint


Development

Melalui ASEAN Regional Forum (ARF) membentuk suatu manajeman


penyelesaian konflik secara damai bagi negara anggota ASEAN dan Tiongkok.
Salah satu produk ARF untuk mendamaikan konflik di wilayah tersebut,
dikeluarkanlah The Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea
yang diratifikasi pada 4 November 2002. Dalam deklarasi antara ASEAN dan
Tiongkok ini disepakati bahwa sengketa territorial di Laut Tiongkok Selatan tidak
akan menjadi isu internasional atau isu multilateral. Delapan tahun setelah
deklarasi ASEAN dengan Tiongkok mengenai konflik Laut Tiongkok Selatan
diratifikasi, kejelasan status atas kepemilikan Kepulauan Spratly dan Paracel
belum menemukan titik terang.

Tiongkok yang agresif mengenai klaimnya atas Kepulauan Spratly dan


Paracel, mencoba untuk memperluas pengaruhnya untuk menghindari sorotan
internasional atas konflik teritori tersebut. ASEAN menuntut agar dilakukannya
negosiasi secara multilateral, untuk mengurangi dominasi Tiongkok. Tiongkok, di
pihak lain, bersikeras untuk menerapkan solusi damai melaui pembicaraan
bilateral antara pemerintah Tiongkok dengan pemerintah negara yang terlibat
konflik dengan Tiongkok secara informal.

Pemerintah Tiongkok ingin mengarahkan penyelesaian konflik agar tidak


meluas menjadi pembahasan global. Tahun 1999 Filipina berusaha untuk
mengundang pihak ketiga yakni Amerika Serikat dan Jepang untuk
menyelesaikan konflik Laut Tiongkok Selatan. Tetapi hal tersebut langsung
ditolak oleh Tiongkok, bahkan ASEAN pun terpecah antara yang mengiginkan

21 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
pihak ketiga dengan yang tidak mengiginkan. Akhirnya negosiasi pun gagal
dilaksanakan. Bahkan PBB pun tidak bisa ikut campur dalam konflik di kawasan
ini.

Hal ini disebabkan Tiongkok sebagi anggota tetap Dewan Keamanan


PBB (DK PBB) memiliki hak veto untuk menolak resolusi DK PBB yang
menyangut sengketa Laut Tiongkok Selatan. Pada pertemuan ARF yang
diselenggarakan di Hanoi pada 23 Juli 2010, pemerintah Tiongkok mengecam
upaya internasionalisasi isu kemanan di laut Tiongkok Selatan. Menteri Luar
Negeri Tiongkok, Yang Jienchi, menyatakan bahwa The Declaration on the
Conduct of Parties in South China Sea telah memainkan peran yang signifikan
dalam menciptakan stabilitas kawasan. Yang Jienchi mengakui adanya pertikaian
teritori dan peraiaran, akan tetapi persoalan tersebut tidak boleh dilihat sebagai
pertikaian antara Tiongkok dengan ASEAN, tetapi sebagai konflik bilateral antara
Tiongkok dengan negara-negara yang bertikai. Bergulirnya pertemuan ARF
tersebut masih belum dapat menyelesaikan dan memutuskan bagaimana
kepemilikan atas sengketa wilayah yang terdapat di Laut Tiongkok Selatan.

Secara resmi Tiongkok lalu menegaskan kedaulatannya alas kepulauan


Spratly di tahun 1992 serta mengklaim seluruh laut Tiongkok Selatan. Tindakan
Tiongkok ini mendesak ASEAN (empat negara anggotanya resmi adalah
disputants) untuk bersama-sama dengan Republik Rakyat Tiongkok rnernbuat
suatu deklarasi tentang perilaku di Laut Tiongkok Selatan di tahun 2002 di Pnom
Penh, Kamboja dengan mendesak semua negara pengklaim untuk menyelesaikan
persengketaan di laut Tiongkok Selatan secara damai. Di dalam Deklarasi itu.6

The Parties reaffirm their commitment to the purposes and principles of


the Charter of the United Nations, the 1982 UN Convention on the Law
of the Sea, the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, the
Five Principles of Peaceful Coexistence, and other universally
recognized principles of international law which shall serve as the
basic norms governing state-to-state relations;

6
Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea,
http://www.aseansec.org/13165.htm Diakses pada tanggal 18 10 2017 pukul 19.18 WIB

22 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
The Parties are committed to exploring ways for building trust and
confidence in accordance with the above-mentioned principles and on
the basis of equality and mutual respect
The Parties reaffirm their respect for and commitment to the freedom of
navigation in and overflight above the South China Sea as provided for
by the universally recognized principles of international law, including
the 1982 UN Convention on the Law of the Sea;
The Parties concerned undertake to resolve their territorial and
jurisdictional disputes by peaceful means, without resorting to the
threat or use of force, through friendly consultations and negotiations
by sovereign states directly concerned, in accordance with universally
recognized principle, of international law, including the 1982 UN
Convention on the Law of the Sea;
The Parties undertake to exercise self-restraint in the conduct of
activities that would complicate or escalate disputes and affect peace
and stability including, among others, refraining from action of
inhabiting on the presently uninhabited islands, reefs, shoals, cays, and
other f eatures and to handle their differences in a constructive manner.

Sambil menunggu suatu penyelesaian yang komprehensif dan berjangka


panjang, paragraf 5 juga memungkinkan atau membolehkan para pihak, baik
secara bilateral, maupun multilateral, inengeksplorasi dan melakukan kegiatan
kerjasama, yang mencakup lima kegiatan, yaitu :7

Marine environmental protection;

Marine scientific research;

Safety of navigation and communication at sea;

Search and rescue operation; and

Combating transnational crime, including but not limited to trafficking


in illicit drugs, piracy and armed robbery at sea, and illegal traffic in
arms.

7
Ibid.

23 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Modalitas, jangkauan dan lokasi dari kerjasama bilateral atau multilateral
ini harus disetujui terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang bermaksud mengadakan
kerjasama itu sebelum pelaksanaannya. Kendatipun Declaration on the Conduct of
Parties in the South China Sea (DoC) bukan merupakan suatu traktat, juga bukan
suatu Code of Conduct (CoC) yang formal, ia merupakan suatu pernyataan
politik untuk mengurangi ketegangan di wilayah ini dan mulai kerjasama. Tetapi,
ia juga merupakan suatu persetujuan untuk bekerja menuju suatu code of conduct
yang formal.

Laut Tiongkok Selatan memperlihatkan perkembangan yang baru di


bulan Agustus 2004, ketika pemerintah Filipina menyatakan bahwa mereka tidak
lagi menentang eksplorasi untuk mendapatkan deposit hidrokarbon di perairan
Laut Tiongkok Selatan yang dipersengketakan, Pernyataan ini lalu membuka jalan
bagi studi-studi seismik di Laut Tiongkok Selatan guna mendapatkan daerah-
daerah untuk eksplorasi minyak dan gas bumi. Persetujuan ini yang dikenal
sebagai Joint Marine Seismic Undertaking (JMSU) ditandatangani pada
kunjungan Presiden Arroyo ke Beijing pia 1-3 September 2004. la menyetujui
suatu studi selama tiga tahun yang dilakukan bersama oleh Philippine National
Oil Company (PNOC) dan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC).
Pemerintah Filipina menekankan bahwa JMSU dapat diklasifikasi sebagai
marine scientific research dan karena itu dibolehkan oleh paragraf 5 dari DoC.8

Beberapa alasan merupakan dasar perubahan sikap politik Filipina yang


sebelumnya menentang sikap pemerintah Tiongkok yang terlalu asertif. Pertama,
pemeriantah Filipina berpendapat bahwa kenaikan harga minyak bumi yang luar
biasa merupakan suatu ancaman bagi keamanan nasional negara itu. Karena
perkiraan-perkiraan bahwa harga minyak bumi akan tetap tinggi untuk jangka
waktu yang cukup panjang, maka Filipina menganggap perlu untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumber minyak di wilayah-wilayah
sekitarnya. Sejak menjadi Presiden Filipina di 2001, Arroyo membuat
peremajaan ekonomi Filipina sebagai program utama pemerintahnya. Pemerintah
Arroyo melihat China sebagai suatu regional economic powerhouse yang dapat
membantu Filipina untuk keluar dari kemunduran ekonominya. Joint Marine
8
Ibid.

24 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Seismic Undertaking itu dapat dilihat sekaligus sebagai suatu usaha untuk
memperbaiki hubungan Filipina-Tiongkok yang sangat terganggu karena
persengketaan di kepulauan Spratly. Langkah-langkah Filipina ini didukung oleh
status quo di Laut Tiongkok Selatan. Untuk sementara memang tidak akan ada
satu kekuatan yang mempunyai kemampuan untuk memaksakan klaimnya secara
mutlak atas Laut Tiongkok Selatan.9

Negara lainnya yang juga sangat berkepentingan dengan sumber


minyak.bumi di Laut Tiongkok Selatan adalah Vietnam. Pada 14 Maret 2005
perusahaan-perusahaan minyak Filipina, Tiongkok dan Vietnam (Philipine
National Oil company, China Offshore Oil Corporation dan Vietnam Oil and Gas
Corporation) menandantangani suatu persetujuan tripartit di Manila. Sesuai
dengan persetujuan ini, 15 juta dollar AS, yang dibagi sama di antara ketiga pihak,
diperuntukkan suatu usaha seismik kelautan bersama di Laut Tiongkok Selatan.
Persetujuan ini berlaku untuk tiga tahun dan mencakup suatu wilayah seluas
143.000 kilometer persegi.

Ketiga pihak dalam persetujuan ini menegaskan bahwa penandatanganan


ini tidak akan mengggerogoti posisi dasar ketiga pemerintah di laut yang
dipersengketakan, melainkan dalam usaha bersama ini mereka membangun suatu
wilayah perdamaian, stabilitas, kerjasama sesuai dengan United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982 dan ASEAN-China Declaration on the
Conduct of Paties in the South China Sea tahun 2002. Vincente Perez jr, menteri
energi Filipina, menegaskan bahwa- penelitian seismik bersama ini hanya akan
melibatkan kapal-kapal untuk penelitian seismik, yaitu suatu penelitian untuk
menemukan struktur geologi landas kontinen di suatu bagian Laut Tiongkok
Selatan melalui ledakan-ledakan yang dibuat untuk memantau shock waves yang
mengungkapkan data tentang kemungkinan adanya reserves minyak dan gas
bumi. Mereka tidak akan melakukan drilling. Presiden Arroyo menyebut usaha ini
suatu terobosan historis dalam pengembangan wilayah sengketa antara ASEAN
dan Tiongkok menjadi suatu sumber energi di wilayah ini.

9
Ralf Emmers, Maritime Disputes in the south China Sea: Strategic And Diplomatic Status Quo,
Istitute For Defence And Strateis Studies (HSS) Working Paper No. 87, Septeber 2005

25 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Pada 16 November 2005 China Oilfield Services Limited (COSL)
dengan kapal eksplorasi Nanhai 502 telah menyelesasikan misinya sesudah hanya
75 hari dari delapan bulan yang semula diperkirakan diperlukan untuk
menyelesaikan eksplorasi pertamanya. Kabel sensor sepanjang 11.000 km telah
dapat diletakkan di dasar laut yang mencakup wilayah seluas 140.000 kin persegi.
Zhu Weilin, wakil presiders Tiongkok National Offshore Oil Corporation
(CNOOC) menyatakan bahwa keberhasilan eksplorasi bersama di Laut Tiongkok
Selatan ini hanya dapat dicapai saling kepercayaan antara ketiga negara
pongeksplorasi.

Permasalahan diperkirakan akan muncul sesudah tiga tahun, sesudah


survei yang disetujui selesai. Bagaimanakah tahap berikut kerjasama ini apabila
mereka tetap berpegang pada klaim teritorial masing-masing, apabila mereka
menentukan akan mulai dengan drilling? Lalu, bagaimana eksploitasi bersama itu
akan dilakukan? Andaikan hal ini dapat disetujui, lalu bagaimana ketiga pihak
yang setuju untuk bekerjasama membagi biaya dan keuntungannya. Peran apakah
yang harus dimainkan para disputan yang lain di wilayah ini? Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apakah. Laut Tiongkok Selatan dapat
berkembang menjadi laut persahabatan dan kerjasama ataukah akan tetap
merupakan sumber ketegangan antar negara di sekitar Laut Tiongkok Selatan.
Jelas bahwa urgensi keamanan, suplai energy akan memainkan peran yang sangat
penting dalam posisi yang akan diambil masing-masing pihak yang bersengketa.

Di dalam persengketaan batas-batas maritim, daya tarik akses ke sumber


daya minyak dan gas bumi di landas kontinen wring mempunyai peran ganda.
Pada satu pihak, ia merupakan suatu faktor untuk memotivasi, mendorong
keinginan untuk menyelesaikan persengketaan secepat mungkin, sehingga ekspl
orasi dapat segera mulai, terutama apabila harga-harga minyak bumi terus
melambung. Pada lain pihak, kehadiran sumber-sumber alam itu dapat pula
menjadi kendala bagi penyelesaian konflik, karena, masing-masing pihak tidak
bersedia merelakan atau melepaskan sesuatu yang dianggapnya sebagai hak-hak
dasarnya. Ada juga kekhawatiran bahwa apabila suatu garis kompromi ditarik di
zona yang dipersengketakan dan di mana terdapat klaim tumpang-tindih itu

26 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
untuk melakukan joint development, sebagian besar dari sumber-sumber daya laut
itu justru berada ditempat yang salah dari garis itu untuk pihak satunya.10

Persoalan yang harus diperhatikan di Laut Tiongkok Selatan ini adalah


apakah persetujuan antara perusahaan-perusahaan minyak ke tiga negara itu untuk
bersama-sama mengeksploatasi sumber daya lepas pantai di perairan yang
dipersengketakan dapat meredam klaim kedaulatan dan dengan demikian melanjut
terus pengembangan sumber daya laut bersama-sama. Kalau kemungkinan-
kemungkinan itu muncul, maka penyelesaian persengketaan dapat dibangun
bersama dengan mengandalkan keberhasilan dalam mengembangkan eksplorasi
dan eksploitasi sumber minyak dan gas bumi.11

b) Summit ASEAN ke 20 di Cambodia 2012 : Menuju Code Of Conduct


(CoC)

Pertemuan The Sixs ASEAN-China Joint Working Group on the


Implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South China
Sea (DOC), 17-19 April 2011 merupakan kelanjutan dari 5th Joint Working
Group yang telah dilaksanakan di Kunming, Tiongkok, pada Desember 2010.
Pada pertemuan ini, Tiongkok telah mengajukan Proposal draft Guidelines DOC.
Pertemuan menghasilkan draft Report of the 6th Meeting of the ASEAN-
Tiongkok Joint Working Group on the Implementation of the DOC guna dibahas
lebih lanjut pada pertemuan JWG berikutnya yang direncanakan akan
diselenggarakan di Tiongkok. Isu Laut Tiongkok Selatan akan turut dibahas
dalam rangkaian pertemuan pejabat tinggi ASEAN dan negara mitra wicara
(ASEAN Senior Officials Meeting/ASEAN SOM and Related Meetings) di
Surabaya, pada 7-11 Juni 2011. Pembahasannya, terutama mengenai
implementasi Declaration on the Conduct of Parties (DOC).

Masalah Laut Tiongkok Selatan kembali dibahas oleh kelompok


Association of South East Asian Nations (Asean) dengan Tiongkok, pada
pertemuan SOM ASEAN-Tiongkok ke IV, tanggal 14 Januari 2012 di Beijing.

10
Luhulima,2011, Pendekatan Multilateral dalam penyelesaian sengketa laut Cina
Selatan, dalam Dinamika ASEAN Menuju 2015, Jakarta : Pustaka Pelajar, hal. 177
11
Ibid.

27 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Topik pembahasan kedua belah pihak terkait persoalan dari implementasi
Declaration on the Conduct (DOC) di Laut Tiongkok Selatan yang telah
dilaksanakan selama ini, serta pertukaran pandangan mengenai upaya tindak
lanjut Guidelines dari implementasi DOC secara menyeluruh, khususnya di tahun
2012 ini. Selain itu dibahas pula aktivitas bersama Asean-Tiongkok yang akan
dilaksanakan dalam bentuk kerja sama praktis dan konkrit dalam kerangka
implementasi DOC yang dimaksud.12

ASEAN dan Tiongkok melalui Pertemuan ini secara kolektif dan tegas
menyatakan kembali signifikansi dari DOC dan upaya implementasinya sebagai
dasar bagi terciptanya perdamaian, stabilitas, kerja sama dan terutama
membangung kepercayaan di Laut Tiongkok Selatan di antara negara anggota
ASEAN dan China. Ada kesepakatan dari Tiongkok dan Asean untuk
memperkuat komitmen bersama untuk mengimplementasikan DOC secara efektif
dan bermanfaat bagi seluruh pihak yang terlibat.

Tahun 2012 merupakan tahun yang penting karena genap 10 tahun


ditandatanganinya DOC antara ASEAN dan Tiongkok. Dalam rangka
memperingati 10 tahun penandatanganan DOC tersebut, telah disepakati untuk
diadakan suatu ASEAN-Tiongkok joint commemorative workshop. Para Pejabat
Senior ASEAN menyambut baik inisiatif pembentukan Tiongkok-ASEAN
Maritime Cooperation Fund sebesar RMB 3 milyar yang diumumkan oleh PM
Tiongkok, Wen Jiabao, pada saat KTT ASEAN-China di Bali bulan November
2011. Tiongkok menekankan bahwa komitmen utama dari dana itu akan
difokuskan bagi pembiayaan segala aktivitas yang terkait dengan implementasi
DOC ataupun dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kerjasama di bidang maritim
di antara Negara anggota ASEAN dan Tiongkok. Pertemuan para Pejabat Senior
tersebut didahului dengan 7th Meeting of the ASEAN- Tiongkok Joint Working
Group (JWG) on DOC yang diadakan dalam rangka mempersiapkan kesuksesan
Peretemuan ke-4 para Pejabat Senior ASEAN dan Tiongkok.13

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-18 ASEAN di Jakarta, 7-8 Mei


2011 telah menghasilkan dukungan atas proses konsultasi yang konstrukstif dan

12
Pertemuan Som Asean-China, Tanggal 14 Januari 2012.
13
Ibid.

28 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
terus menerus dengan Tiongkok, untuk membahas berbagai masalah di kawasan
Laut Tiongkok Selatan termasuk rencana awal pertemuan tingkat menteri antara
ASEAN dan Tiongkok dalam pembahasan DOC. Di sini, Indonesia dan ASEAN
menekankan pentingnya implementasi efektif dari DOC dan mendorong agar
DOC segera diterapkan dalam bentuk COC, sebagai langkah maju hasil
perundingan dengan Tiongkok dalam masalah Laut Tiongkok Selatan. DOC
diakui oleh ASEAN sebagai dokumen yang penting dalam langkah untuk
mewujudkan perdamaian, stabilitas, dan saling percaya antara negara-negara Asia
Tenggara dan Tiongkok. Indonesia mencemaskan adanya kemungkinan
keterlibatan (campur tangan) Amerika Serikat dan Jepang untuk masuk ke sana,
yang mungkin akan berdampak pada semakin rumit dan panjangnya penyelesaian
sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan.14

Kemudian pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke 20


berlangsung di Phnom Penh, Cambodia, 3-4 April 2012, terkait masalah di Laut
Tiongkok Selatan, pemimpin negara-negara di Asia Tenggara sepakat untuk
membuat prakarsa untuk memecahkan masalah sengketa maritim dengan
Tiongkok. Namun, ASEAN ternyata belum dapat menemukan posisi mereka
dalam konflik Laut China Selatan. Negara-negara ASEAN terpecah dalam
mendudukkan posisi dan peran China. Di satu pihak, sebagian negara ASEAN
berpendapat bahwa China harus dilibatkan sejak awal dalam proses perumusan
CoC. Sebagian anggota lain, khususnya Filipina dan Vietnam, bersikukuh
ASEAN harus menyatukan posisi terlebih dulu sebelum menyodorkan draf CoC
untuk dinegosiasikan dengan Tiongkok.15

ASEAN belum menyepakati mengenai fungsi dan elemen-elemen apa


saja yang perlu dimasukkan ke dalam CoC. Filipina masih bersikukuh bahwa
harus ada kejelasan terlebih dahulu mengenai wilayah-wilayah mana yang
disengketakan dan yang tidak. Sementara sebagian negara ASEAN lainnya
berpendapat permintaan Filipina itu sulit dilakukan mengingat sengketa atas
kedaulatan dan yurisdiksi di Laut Tiongkok Selatan mustahil diselesaikan dalam
waktu singkat. Oleh karena itu, CoC sebaiknya dirumuskan tidak untuk

14
Konferensi Tingkat Tinggi ke-18 ASEAN di Jakarta, 7-8 Mei 2011.
15
KTT ASEAN ke 20 Phnom Penh, Cambodia 3-4 April 2012

29 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
menyelesaikan sengketa teritorial, tetapi untuk merumuskan sebuah mekanisme
yang dapat mendorong kerja sama, membangun sikap saling percaya, mencegah
konflik dan mengelola krisis, serta menanggulangi insiden di laut.16

Philipina menekankan perlunya ASEAN untuk memperkuat sikap


bersama mengenai peraturan yang diusulkan yang bertujuan untuk meredakan
ketegangan di Laut Tiongkok Selatan sebelum berunding dengan Tiongkok.
Landasan pokok peraturan yang diusulkan itu haruslah internal bagi ASEAN,
tanpa harus melibatkan pihak Tiongkok terlebih dahulu. Dan setelah CoC (Code
of conduct) diselesaikan oleh ASEAN, maka negara-negara anggota ASEAN akan
bertemu dengan Tiongkok. ASEAN harus memperkuat posisi dulu sebelum
berunding dengan Tiongkok. Dengan kata lain, para pemimpin ASEAN harus
bersatu untuk menyelesaikan sengketa perbatasan di laut Tiongkok Selatan
sebelum berunding dengan Tiongkok. Karena jika ASEAN sudah mempunyai
kesatuan pandangan, maka posisinya akan lebih kuat untuk melakukan
perundingan dengan China.Sentralitas ASEAN harus diutamakan untuk bisa
menetapkan arah dan agenda terkait persoalan di Laut Tiongkok Selatan.17

Philipina dan Vietnam menginginkan mekanisme multilateral. Philipina


adalah negara yang ingin agar masalah Laut Tiongkok Selatan dibahas dalam
Summit ASEAN ke-20. Philipina menginginkan ASEAN Maritime Forum
(AMF) digelar di Manila, Filipina dalam waktu dekat.

Sementara itu, Cambodia sebagai Ketua ASEAN 2012 justru


menginginkan pihak Tiongkok terlibat dari awal dalam persiapan dan
penyusunan peraturan (CoC) Laut Tiongkok Selatan. Cambodia dan Laos
menganggap bahwa isu Laut Tiongkok Selatan sebaiknya tidak di
internasionalisasi . Sedangkan posisi Indonesia adalah komunikasi yang konstan
melalui ASEAN-Tiongkok Framework, terkait CoC.

Pada saat Indonesia menjadi Ketua ASEAN tahun 2011, ASEAN dan
Tiongkok sepakat mengenai satu paket garis pedoman (panduan) Code of Conduct
untuk mengakhiri 10 tahun deadlock, karena sebelumnya Tiongkok

16
Ibid.
17
Ibid.

30 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
cenderung menolak untuk terlibat dalam upaya pembahasan klaim tumpang
tindih di Laut Tiongkok Selatan. Peraturan itu diharapkan merupakan dokumen
yang mengikat secara hukum yang bertujuan mencegah insiden-insiden kecil di
Laut Tiongkok Selatan menjadi konflik yang lebih besar yang dapat menyeret
major power dikawasan seperti Amerika Serikat, Jepang, India, atau Rusia.
Filipina dan Vietnam menuduh Tiongkok bersikap makin agresif menyangkut
klaimnya. Sementara itu AS menegaskan satu kepentingan nasional untuk
mempertahankan jalur pelayaran itu bebas dan terbuka. AS telah mengadakan
kerjasama militer dengan Philipina.18

Presiden Tiongkok Hu Jintao mengunjungi Kamboja menjelang


berlangsungnya pertemuan KTT ASEAN di Cambodia sebagai bentuk tekanan
terhadap Phnom Penh, yang saat ini memegang posisi Ketua ASEAN, untuk
memperlunak negosiasi Laut Tiongkok Selatan. Presiden Hu Jintao
telah meminta bantuan Cambodia agar ASEAN tidak tergesa-gesa dalam
menyelesaikan rancangan CoC. Keputusan Kamboja tidak membahas konflik
Laut Tiongkok Selatan menimbulkan kecurigaan bahwa Cambodia ditekan
Tiongkok. China ingin mengulur perundingan terkait kawasan kaya minyak
tersebut. China menolak internasionalisasi wilayah konflik itu. Tiongkok memilih
berunding secara bilateral dengan ASEAN. Pemerintah Tiongkok
ingin bernegosiasi langsung dengan negara anggota ASEAN terkait penyusunan
CoC. Pihak Tiongkok melihat bahwa perumusan CoC tidak akan efektif tanpa
melibatkan mereka sejak awal. Sikap ini mencerminkan posisi Beijing yang
kurang suka merundingkan CoC setelah ASEAN memiliki posisi bersama
mengenai sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Bagi Tiongkok, keterlibatannya
sejak awal dalam merumuskan CoC, terutama pada saat negara-negara ASEAN
masih memiliki perbedaan pendapat, akan memberi keuntungan strategis dan
taktis.19

Negara-negara ASEAN menyadari bahwa perbedaan yang berlarut-larut


di antara mereka akan melemahkan posisi dan memperburuk citra ASEAN.
Perbedaan pendapat mengenai bentuk dan waktu keterlibatan Tiongkok dalam

18
Ibid.
19
Ibid.

31 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
perumusan CoC telah melahirkan spekulasi mengenai besarnya pengaruh China
untuk membuat perbedaan pendapat di tubuh ASEAN. Keputusan Kamboja,
sebagai tuan rumah KTT Ke-20 ASEAN, untuk tidak memasukkan soal Laut
Tiongkok Selatan ke dalam agenda resmi Summit ASEAN do PhnomPenh, bisa
dilihat sebagai hasil dari pengaruh dan tekanan Tiongkok terhadap negara itu.

Indonesia melihat peran ASEAN dalam pengelolaan isu Laut Tiongkok


Selatan semakin strategis dan menentukan, seiring dengan dinamika permasalahan
aktual yang terjadi. Hal ini diutarakan oleh Dirjen Kerjasama ASEAN
Kementerian Luar Negeri RI, Duta Besar I Gusti Agung Wesaka Puja, selaku
Ketua Delegasi RI/SOM Leader ASEAN-Indonesia yang mengikuti Pertemuan
ASEAN Senior Officials Meeting (SOM) tanggal 24 Mei 2012 di Phnom Penh,
Kamboja. Selaku Ketua ASEAN tahun 2012, Kamboja telah memimpin
serangkaian pertemuan ASEAN SOM Working Group on Code of Conduct yang
mandat dan lingkup tugasnya adalah mengidentifikasi elemen-elemen Regional
Code of Conduct in the South China Sea (CoC). Pertemuan ASEAN SOM kali ini
telah mencapai kemajuan besar dalam upaya finalisasi penyusunan elemen-
elemen dalam COC yang selanjutnya akan dilaporkan pada rangkaian ASEAN
Ministerial Meeting (AMM) mendatang.20

Indonesia memandang bahwa salah satu elemen utama dalam kerangka


implementasi secara penuh dan efektif Declaration on the Conduct of Parties in
the South China Sea (DoC) adalah penyelesaian pembahasan suatu Regional Code
of Conduct di Laut Tiongkok Selatan antara ASEAN dan Tiongkok serta
terlaksananya kegiatan atau proyek kerjasama yang antara lain tercantum dalam
DOC dan sejalan dengan Guidelines for the Implementation of the DoC yang
disepakati oleh ASEAN dan Tiongkok pada Pertemuan 44th AMM/PMC/18th ARF
tahun 2011 yang lalu di Bali, Indonesia.21

Pertemuan ASEAN SOM Meeting and Related Meetings diselenggarakan


di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 23-27 Mei 2012, dihadiri para pejabat
senior dari 10 negara anggota ASEAN, negara-negara Mitra Wicara ASEAN, dan

20
Directorate of ASEAN Political-Security Cooperation Directorate General of ASEAN
Cooperation Ministry of Foreign Affairs Republic of Indonesia.
21
Ibid.

32 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Sekretariat ASEAN. Pertemuan ASEAN SOM tersebut diawali dengan
penyelenggaraan 7th Meeting of the ASEAN SOM Working Group on Code of
Conduct (COC) dan 6th Meeting of the ASEAN SOM Working Group on ASEAN
Institute for Peace and Reconciliation (AIPR) pada tanggal 23 Mei 2012. Sebagai
bagian dari rangkaian Pertemuan ASEAN SOM Meeting and Related
Meetings juga diselenggarakan Pertemuan ASEAN+3 SOM dan EAS Senior
Officials Meeting tanggal 25 Mei 2012, ASEAN Regional Forum (ARF) SOM
tanggal 26 Mei 2012 dan ditutup dengan 14th ASEAN-India SOM tanggal 27 Mei
2012.

Selain ARF dan pertemuan summit, ASEAN juga memiliki dokumen-


dokumen yang menunjang penyelesaian masalah konflik Laut Tiongkok Selatan,
yaitu :

a) ASEAN Declaration on the South China Sea, 1992.

Sikap ASEAN pertama kali atas sengketa Spratly Islands adalah


mengeluarkan ASEAN Declaration on the South China Sea yang ditandatangani
enam Menteri Luar Negeri negara ASEAN (Brunei Darussalam, Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) pada 22 Juli 1992 di Manila,
Filipina. Deklarasi ini menjadi langkah awal dalam mengurangi konflik yang
terjadi di Laut China Selatan. Lebih lanjut, dikeluarkannya deklarasi ini
merupakan bentuk solidaritas ASEAN terhadap perdamaian dengan melakukan
pendekatan konstruktif bagi penyelesaian masalah di Laut China Selatan.
Deklarasi ini juga merupakan bentuk perhatian ASEAN atas meningkatnya tensi
antara China dan Vietnam setelah Creston Energy Cooperation memperoleh izin
untuk mengeksploitasi minyak di Vanguard Bank yang berada pada Landas
Kontinen Vietnam dan China yang mengeluarkan Law of Teritorial Sea pada

33 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Februari 1992 yang menyatakan bahwa China memiliki kedaulatan absolut di
Laut China Selatan termasuk di Spratly Islands.22

Dalam deklarasi tersebut, para Menteri Luar negeri ASEAN menyadari


betapa sensiifnya isu kedaulatan dan yurisdiksi di Laut China Selatan bagi negara-
negara yang terlibat dan menilai bahwa setiap perkembangan yang berlawanan
dengan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa secara damai akan langsung
berkibat bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan. Para menteri tersebut
menekankan perlunya menyelesaikan seluruh sengketa kedaulatan dan yurisdiksi
di Laut China Selatan dengan cara-cara damai dan tanpa menggunakan kekerasan,
dan mendesak seluruh pihak yang bersengketa untuk menahan diri dari
penggunaan kekerasan demi menciptakan iklim postif bagi penyelesaian akhir
dari semua sengketa. Deklarasi ini juga mendesak negara-negara yang
bersengketa untuk mengusahakan pengembangan bersama sementara
mengesampingkan masalah kedaulatan, serta menyatakan perlunya pengaplikasian
prinsip-prinsip dari TAC sebagai dasar dari pembuatan Code of Conduct in the
South China Sea.

Vietnam mengaksesi TAC pada Juli 1992 dan bergabung menjadi anggota
ke-7 ASEAN pada Juli 1995. Vietnam, yang saat itu belum menjadi anggota
ASEAN, mendukung penuh ASEAN Declaration on the South China Sea dan
menunjukan minat dalam menyusun CoC. Di lain pihak, China menolak untuk
melakukan perundingan multilateral dan menilai bahwa Spratly Islands bukanlah
permasalahan ASEAN. Namun demikian, China mendukung sebagian dari
deklarasi ini, tetapi tidak memberikan penjelasan bagian mana yang ia dukung dan
bagian mana yang ia tidak setuju.23 China menolak untuk menjadi signatory dan
pada tahun yang sama China mengeluarkan Law of the Territorial and Sea and
Contiguous Zone yang secara eksplisit menegaskan klaim China terhadap Spratly
Islands.
22
Tran Truong Thuy, Recent Developments in the South China Sea: Implications for Regional
Security and Cooperation, (makalah disampaikan pada CSIS Policy Consultation on Maritime
Security in the South China, Washington, D. C., 20-21 June 2011), hal 2.
23
Termsak Chalermpalanupap, The South China Seanand ASEAN, hal 5. Menteri Luar Negeri
China Qian Qichen menyatakan China mendukung prinsip-prinsip yang ada pada deklarasi ini.
Tran Truong Thuy, Recent Development in the South China Sea: Implication for Regional Security
and Cooperation, hal 3.

34 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
b) Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea, 2002.

Setelah tahun 1997, ASEAN dan China semakin erat mendiskusikan Laut
China Selatan. Mereka membicarakan Code of Conduct in the South China Sea
yang bertujuan untuk meningkatkan percaya diri di Laut China Selatan, namun
tidak memiliki efek kekuatan mengikat. Akan tetapi, pembicaraan ASEAN-China
mengenai Code of Conduct in the South China Sea mengalami tiga kesulitan,24
yaitu apa saja yang menjadi ruang lingkup Code of Conduct in the South China
Sea tersebut. Pendapat dari negara-negara pantai Laut China Selatan adalah bahwa
tidak seluruh dari Laut China Selatan berada dalam keadaan sengketa. Laut
territorial mereka misalnya adalah diakui. Kebanyakan dari para pihak tidak ingin
laut territorial, laut pedalaman, dan ZEE-nya dimasukkan menjadi objek Code of
Conduct in the South China Sea diluar hukum internasional dan UNCLOS. Jika
Code of Conduct in the South China Sea hanya diberlakukan pada area yang
disengketakan di Laut China Selatan, muncul kesulitan lain, yaitu Vietnam ingin
Code of Conduct in the South China Sea juga mencakup Paracel. China menolak
gagasan Vietnam tersebut. Terakhir, terdapat permasalahan apakah negara yang
memperoleh kebebasan berlayar dan terbang di atasnya atau dekat dengan wilayah
yang disengketakan dapat ambil bagian dalam penyusunan Code of Conduct in the
South China Sea. Kebanyakan pembicaraan ASEAN-China sepakat bahwa
negara-negara luar tersebut tidak perlu terlibat dalam penyusunan Code of
Conduct in the South China Sea. Akhirnya, ASEAN dan China menurunkan
ekspetasi masing-masing dengan menghasilkan Declaration on the Conduct of
Parties in the South China Sea (selanjutnya DoC) yang ditandatangani oleh 10
Menteri Luar Negeri ASEAN dan Special Envoy China Wang Yi di Phnom Penh
pada 4 november 2002. DoC merujuk pada Joint Statement ASEAN dan China
yang diterbitkan dalam konteks kerjasama ASEAN-China. DoC secara jelas
menyatakan dalam paragraf pembukanya bahwa DoC adalah perjanjian antara
pemerintah negara-negara ASEAN dan Pemerintah Republik Rakyat China.
Dengan kata lain, 10 negara Asia Tenggara menandatangani perjanjian ini dalam
kapasitas kolektif sebagai negara anggota ASEAN.

24
Ibid.

35 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Alasan utama yang menyebabkan China berpartisipasi dalam DoC adalah
bahwa China menyadari DoC adalah perangkat hukum yang saat ini digunakan
ASEAN-China dalam bekerjasama untuk mendorong lingkungan yang harmonis,
damai, dan bersahabat di Laut China Selatan antara ASEAN dan China untuk
terciptanya perdamaian, stabilitas, dan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di
kawasan. Bagi ASEAN, DoC selalu menjadi kerangka bagi kerjasama antara
negara anggota ASEAN dan China mengenai peningkatan percaya diri di Laut
China Selatan.

Para perwakilan negara menyepakati isi DoC, yaitu

1. Para pihak menegaskan komitmennya terhadap tujuan dan prinsip-prinsip


Piagam PBB, UNCLOS, TAC, serta prinsip hukum internasional yang
diakui lainnya yang akan dijadikan sebagai norma dasar dalam hubungan
antar negara.
2. Para pihak sepakat untuk mengingatkan langkah-langkah untuk
membangun saling percaya berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas
dan berdasarkan persamaan dan saling menghormati.
3. Para pihak menegaskan komitmennya atas kebebasan navigasi
berdasarkan prnsip-prinsip hukum internasional yang disepakati, termasuk
UNCLOS.
4. Para pihak juga sepakat untuk menyelesaikan sengketa territorial dan
yurisdiksi di Laut China Selatan secara damai, tanpa melakukan ancaman
atau penggunaan kekerasan melalui konsultasi dan negosiasi di antara
negara-negara yang berdaulat yang terlibat langsung sesuai dengan prinsip
hukum internasional, termasuk UNCLOS.
5. Para pihak sepakat untuk saling menahan diri dari kegiatan-kegiatan yang
akan mengakibatkan eskalasi konflik dan akan mempengaruhi perdamaian
dan stabilitas di kawasan termasuk mengghentikan pendudukan atas pulau-
pulau. Sehubungan dengan penyelesaian konflik secara damai yang
tertunda, para pihak sepakat untuk mencari cara-cara membangun
kepercayaan berdasarkan semangat kerjasama dan saling pengertian,
termasuk mengadakan dialog, pertukaran pandangan di antara pejabat-

36 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
pejabat pertahanan dan militer; memperlakukan setiap orang yang berada
dalam bahaya maupun kesulitansecara adil dan manusiawi,
memberitahukan secara sukarela segala bentuk latihan militer bersama
pihak-pihak terkait, melakukan pertukaran informasi secara sukarela
mengenai informasi yang relevan.
6. Sebelum terdapat penyelesaian yang menyeluruh dan bersifat tetap atas
konflik dimaksud, para pihak sepakat untuk meningkatkan kerjasama yang
mungkin dilakukan meliputi perlindungi lingkungan kelautan, penelitian
ilmiah kelautan, keamanan navigasi dan pelayaran, operasi SAR (search
and rescue) dan memerangi kejahatan transnasional termasuk lalu lintas
obat terlarang, bajak laut, perampokan bersenjata, dan penyelundupan
senjata.
7. Modalitas, cakupan dan lokasi, serta kerjasama bilateral dan multilateral
tersebut akan dirumuskan lebih lanjut sebelum pelaksanaan kegiatan
tersebut.
8. Para pihak yang terlibat siap untuk melanjutkan dialog dan konsultasi
mengenai isu-isu terkait dengan tujuan untuk meningkatkan semangat
bertetangga baik, transparansi, harmoni, pengertian bersama dan
kerjasama serta memfasilitasi bagi penyelesaian damai di antara mereka.
9. Para pihak sepakat untuk menghormati dan mentaati isi dari deklarasi
tersebut.
10. Para pihak mengharapkan agar negara-negara dapat mengormati prinsip-
prinsip dalam deklarasi tersebut.
11. Para pihak yang terlibat menegaskan kembali bahwa pengesahan suatu
code of conduct akan meningkatkan perdamaian dan stabilitas di kawasan,
dan disepakati pula untuk melanjutkan proses tercapainya tujuan tersebut.
12. Dengan adanya DoC ini diharapkan saling percaya di antara negara-negara
yang bersengketa dapat lebih ditingkatkan dan potensi konflik dapat
dihilangkan serta diganti dengan kerjasama yang saling menguntungkan.
Namun demikian terdapat kejadian dimana deklarasi tersebut tidak
berjalan sesuai harapan mengingat DoC hanyalah dokumen politik yang
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dimana pihak-pihak yang

37 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
terlibat sengketa melanggar kesepakatan yang ada dan tidak terdapat
sanksi yang dapat diterapkan kepada pihak pelanggar tersebut. Hal ini
misalnya terlihat dalam insiden Mischief Reef yang apabila laporan
Filipina benar, maka China telah melanggar pasal 5 DoC. Namun
demikian, DoC merupakan langkah penting dalam proses pengelolaaan
konflik Laut China Selatan karena pihak yang bersengketa telah sepakat
untuk menciptakan stabilitas dan perdamaian di kawasan dengan
mengindari konfrontasi dan provokasi yang mengundang pertikaian
militer. Deklarasi ini juga dapat dijadikan pendukung pelaksanaan
kerjasama yang telah dirintis melalui Workshop on Managing Potential
Conflict in the South China Sea dan starting point untuk pembentukan
suatu legally-binding code of conduct.
13. DoC, yang merupakan penjabaran dari ASEAN Declaration on the South
China Sea, merupakan aturan main sementara sambil menunggu suatu
legally-binding code of conduct, yang membantu menyelesaikan sengketa
dan menciptakan perdamaian dan stabilitas kawasan, yang masih belum
dapat dituntaskan dalam waktu cepat. Masih dimuatnya provisi dalam
DoC mengenai perlunya pengesahan code of conduct harus memicu
ASEAN untuk bekerja keras menggunakan DoC sebagai dasar bagi
pembentukan suatu legally-binding code of conduct yang akan menjadi
titik tolak bagi upaya penyelesaian sengketa di Laut China Selatan
sehingga dapat memajukan perdamaian dan stablitas kawasan.

Untuk menerapkan ketentuan dalam DoC menjadi kerjasama yang konkrit,


dalam Plan of Action to the Implement the 2003 Joint Declaration on ASEAN-
China Strategic Partnership for Peace and Prosperity, yang merupakan master
plan untuk memperluas dialog ASEAN-China secara komprehensif dan saling
menguntungkan dengan tujuan untuk memperkuat partnership bagi perdamaian,
pembangunan dan kemakmuran regional, ASEAN dan China menyatakan untuk
melakukan tindakan bersama untuk untuk mencapai usaha bersama untuk
mengimplementasikan DoC dengan cara yang efektif. Plan of Action tersebut
diadopsi di KTT ASEAN-China yang ke-delapan di Vientiane, Laos pada 29
November 2004. Usaha dan tindakan tersebut meliputi untuk mengadakan

38 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
ASEAN-China Senior Officials Meeting (SOM) untuk merealisasikan DoC;
menyediakan acuan untuk mengimplementasikan DoC, dan mendirikan working
group untuk menyusun acuan dari implementasi DoC dan memberikan
rekomendasi bagi ASEAN-China SOM. Pada ASEAN-China SOM yang pertama
di Kuala Lumpur pada 7 Desember 2004, para peserta memutuskan untuk
membentuk Joint Working Group (JWG) untuk mempelajari dan
merekomendasikan tindakan yang dapat memperkuat kepercayaan diri masing-
masing negara. JWG akan mentransformasi ketentuan dalam DoC ke dalam
bentuk kerjasama yang nyata. Bentuk kerjasama yang diatur dalam DoC antara
lain perlindungan lingkungan perairan (marine scientific research), riset ilmiah,
keselamatan pelayaran dan komunikasi di laut, operasi pencarian dan
penyelamatan, dan perlawanan terhadap kejahatan transnasional. Pertemuan ini
juga mengadopsi Terms of Reference dari JWG. ASEAN-China JWG mempunyai
tugas untuk membuat rekomendasi atas:

a) guidelines and action plan for the implementation of the DOC;


b) specific cooperative activities in the South China Sea;
c) a register of experts and eminent persons who may provide technical
inputs, non-binding and professional views or policy recommendations to
the ASEAN-China JWG; and
d) the convening of workshops, as the need arises25

Co-chairing pertemuan tersebut, Dr. Kao Kim Hourn, Secretary of State for
Foreign Affairs, Cambodia, and Mr. Wu Dawei, Vice Minister of Foreign Affairs
of China, menyatakan keoptimisannya bahwa implementasi dari DoC, termasuk
pembentukan JWG akan memberikan kontribusi signifikan terhadap perdamaian
dan stabilitas di Laut China Selatan. ASEAN dan China juga yakin bahwa
kegiatan peningkatan percaya diri negara-negara akan menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi penyelesaian secara damai sengketa Spratly Islands antara
Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Viet Nam sebagai negara anggota
ASEAN, dan China.

25
Terms of Reference of the ASEAN-China Joint Working Group on the Implementation of the
DOC. http://www.aseansec.org/16885.htm

39 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Pada pertemuan pertama ASEAN-China JWG di Manila pada 4-5 Agustus
2005, ASEAN memperlihatkan rancangan acuan dari pengimplementasian DoC
untuk diskusikan. Akan tetapi, timbul permasalahan dimana China telah menolak
rancangan dari pedoman untuk penerapan DoC (paragraf 2) referensi untuk
praktek yang sudah ada di ASEAN mengenai konsultasi informal diantara 4
negara asean yang bersengketa sebelum dilakukan pertemuan ASEAN-china
mengenai DoC.26 China menyatakan bahwa sengketa Spratly Islands bukanlah
permasalahan 4 negara ASEAN yang bersengketa secara kolektif. China juga
menyatakan bahwa sengketa tersebut adalah antara China dengan negara lain yang
berdiri sendiri-sendiri. Oleh karena itu, China telah menawarkan pembicaraan
bilateral dengan masing-masing negara yang bersengketa. China sepertinya
memiliki kekhawatiran bahwa penyusunan DoC dengan negara-negara anggota
ASEAN secara kolektif dapat menganggu klaim kedaulatannya di Laut China
Selatan.

Selanjutnya, sebagai usaha mengimplementasikan DoC, terdapat Plan of


Action dengan jangka waktu berikutnya (2011-2015) yang ditetapkan pada 29
November 2010 di Hanoi, yang antara lain menyatakan:

Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC)

Push forward the full and effective implementation of the DOC in the
South China Sea to maintain regional stability and promote cooperation in South
China Sea including through the regular convening of the ASEAN-China Senior
Officials Meeting (SOM) on the DOC and the ASEAN-China Joint Working
Group on the Implementation of the DOC and continued joint efforts in drafting
the Guidelines for the implementation of the DOC while working toward the
eventual conclusion, on the basis of consultations and consensus, of a code of
conduct in the South China Sea;

Promote trust and confidence building through cooperative activities, in


accordance with the principles of the DOC, in particular, those of consultations
and consensus among the concerned Parties in the South China Sea, pending the

26
Termsak Chalermpalanupap, The South China Sea and ASEAN, hal 8.

40 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
peaceful settlement of the territorial and jurisdictional issues as stated in the
DOC.

Adhere to the terminologies used in the UN Convention on the Law of the


Sea and other instruments of the International Maritime Organisation;

Promote joint cooperation and dialogue in areas such as marine scientific


research, protection of the marine environment, safety of navigation and
communication at sea, search and rescue operation, humane treatment of all
persons in danger or distress, fight against transnational crimes as well as
cooperation, among military officials.27

c) Perundingan Code of Conduct in the South China Sea

Code of Conduct in the South China Sea (selanjutnya disebut CoC)


adalah tujuan utama dari ASEAN dan China sebagai pengimplementasian DoC,
yang dalam Pasal 10-nya menyebutkan

The Parties concerned reaffirm that the adoption of a code of conduct in


the South China Sea would further promote peace and stability in the
region, and agree to work, on the basis of consensus, towards the eventual
attainment of this objective.28

Gagasan dari CoC pertama kali dimunculkan pada ASEAN Ministerial


Meeting ke 29 di Jakarta dengan harapan bahwa CoC akan menjadi fondasi dari
stabilitas jangka panjang di wilayah dan meningkatkan pemahaman di antara
pihak yang berkepentingan.29

ASEAN telah menyusun elemen-elemen yang akan dibahas dalam CoC


dari sudut pandang dan antara negara-negara ASEAN terlebih dahulu sebelum
akhirnya akan merundingkan dengan China. Hal ini adalah sesuai dengan Pasal 41

27
Plan of Action to Implement the Joint Declaration on ASEAN-China Strategic Partnership for
Peace and Prosperity (2011-2015), http://cil.nus.edu.sg/2010/2010-plan-of-action-to-
implement-the-joint-declaration-on-the-asean-china-strategic-partnership-2011-2015/
28
Declaration of the Conduct of Parties in South China Sea, Pasal 10.
29
Tran Truong Thuy, Recent Developments in the South China Sea: Implications for Regional
Security and Cooperation, hal 3.

41 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Piagam ASEAN yang menyatakan bahwa negara-negara anggota ASEAN dalam
hubungan eksternal atas dasar kesatuan dan solidaritas, melakukan koordinasi dan
usaha untuk membangun posisi bersama dan menghasilkan tindakan bersama.

Terdapat kesulitan dalam menyusun CoC. Hal ini disebabkan terdapat


perbedaan pandangan antara ASEAN dengan China, dimana ASEAN ingin
terlebih dahulu menyamakan pandangan di antara sesama negara ASEAN
mengenai hal yang diatur dan sifat dari CoC sedangkan China hanya ingin
berunding secara bilateral. Selain itu, terdapat kesulitan dimana semua negara
yang bersengketa tetap menganggap bahwa isu yurisdiksi kedaulatan sebagai isu
yang sangat sensitif sehingga sulit dicapai kesepakatan menyangkut hal tersebut.
Terdapat faktor yang menyebabkan belum dapatnya CoC yang bersifat mengikat,
yaitu:

1. Sikap china yang selalu menegaskan bahwa kedaulatannya atas


seluruh kepulauan di Laut China Selatan dan perairan sekitarnya adalah
tidak dapat diganggu gugat. China selalu menolak untuk membuat
kesepakatan atas isu tersebut dan tidak mau mengangkat masalah tersebut
ke tingkat multilateral.
2. China telah menjalin persetujuan bilateral dengan negara-negara
claimant ASEAN dan telah berhasil merumuskan bilateral code of conduct
yang akan menguntungan mereka secara bilateral. Hal ini melemahkan
posisi ASEAN sebagai organisasi dalam bernegosiasi dengan China.
3. China hanya menyepakati untuk membuat non legally-binding
code of conduct dan membatasai pada isu Spratly Islands serta
memfokuskan pada dialog untuk memelihara stabilitas di kawasan dengan
pengembangan kerjasama dan tidak membahas masalah yurisdiksi
kedaulatan.

4. Adanya perbedaan pandangan di kalangan ASEAN sendiri.


Negara-negara anggota ASEAN mempunyai hubungan yang
berbeda dengan China dan mempunyai pandangan yang berbeda
pula mengenai ancaman sengketa di Laut China Selatan.

42 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Namun demikian usaha menyusun CoC yang menguntungkan semua
pihak tetap dilakukan dimana saat ini telah dilakukan perundingan di antara
negara ASEAN terlebih dahulu.

CoC akan disusun sebagai dokumen yang mengatur tingkah laku


negara-negara di wilayah Laut China Selatan, sehingga tidak untuk
menyelesaikan sengketa. Tidak seperti ASEAN Declaration on the South China
Sea dan DoC, CoC rencananya akan disusun sebagai dokumen yang mengikat
para pihak dan mempunyai sanksi yang akan diberlakukan bagi negara yang
melanggar.30 Selain itu, jika dalam ASEAN Declaration on the South China Sea
pihak yang menandatangani hanyalah para Menteri Luar Negeri ASEAN, dan
pihak yang menandatangani DoC hanyalah para Menteri Luar Negeri ASEAN
dan Special Envoy China, maka dalam CoC ini terdapat wacana agar yang
menandatangani adalah Kepala Negara/Pemerintahan masing-masing negara,
sehingga CoC akan mempunyai level yang lebih tinggi.

ASEAN dan China harus mengimplementasikan dengan baik DoC


dalam rangka meningkatkan perdamaian dan kerja sama regional. Beijing juga
harus menyepakati CoC yang memiliki kekuatan mengikat yang akan
memastikan bahwa negara lain tidak akan diintimidasi dan membuat negara
tersebut lebih percaya diri dalam melaksanakan aktivitas kerjasama di Laut
China Selatan.

30
Hasil wawancara dengan. Termsak Chalermpalanupap, Director of the Political and Security
Directorate ASEAN.

43 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelas diatas dapat dikemukakan bahwa ASEAN memiliki


peran penting dalam menjaga keamanaan diwilayah Asia Tenggara dalam kasus
konflik Laut Tiongkok Selatan ini. ASEAN berperan sangat aktif dalam
melakukan perundingan bilateralnya demi mencegah terjadinya eskalasi konflik
yang mungkin akan menjadi konflik bersenjata. Dengan didukung dari negara-
negara anggota ASEAN sendiri, ASEAN melakukan perundingan terhadap
Tiongkok atas klaim yang dilakukan oleh Tiongkok.

Namun demikian bukan berarti ASEAN menginginkan penguasaan atas


wilayah Laut Tiongkok Selatan jatuh pada negara-negara ASEAN. Yang
dilakukan ASEAN hanyalah menjaga perdamaian sesuai yang tertera dalam
ZOPAN seperti yang sudah dijelaskan diatas. Meskipun negara-negara ASEAN
juga menginginkan penguasaan atas klaim wilayah Laut Tiongkok Selatan, namun
ASEAN tidak serta merta memasukkan klaim ini dalam kepentingan ASEAN,
melainkan menciptakan perdamaian serta kemanan dan tetap menjaga netralitas
diantara negara ASEAN yang saling klaim atas wilayah Laut Tiongkok Selatan
dan bahkan netralitas atas negara-negara ASEAN dan Tiongkok sendiri.

ASEAN yang memang dikatakan tidak menghasilkan apapun dalam


konflik klaim wilayah Laut Tiongkok Selatan namun berhasil menghentikan
konflik bersenjata dari konflik Laut Tiongkok Selatan dan ini merupakan tujuan
dasar dari ASEAN dalam menciptakan Zona Damai diwilayah Asia Tenggara.

44 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Heinzig,Dieter.1976.Disputed Islands in The South China


Sea.Wiesbaden: Otto Harrassowitz.

Buszynski,Leszek.2012.The South China Sea:Oil, Maritime Claims and


US China, Strategic Rivalry.Washington:The Washington Quarterly.

International Hydrographic Organization.1953.Limits of Ocean and


Seas:Third Edition.Monako.

Luhulima.2011. Pendekatan Multilateral dalam penyelesaian sengketa


laut Cina Selatan dalam Dinamika ASEAN Menuju 2015.Jakarta : Pustaka Pelajar.

Sumber Jurnal :

Buszyinski, Leszek. "ASEAN, The Declaration on Conduct, and the South


China Sea." Contermporary Southeast Asia Volume. 25 No.3 (Desember 2003).
Hal 343-362.

Chiu, Huangdah, and Choon-Ho Park. "Legal Status of the Paracel and Spratly
Islands." Ocean Dev and International Law Journal, 1975. Hal 1-28.

Duong, Wendy N. "Following the Parth of Oil: The Law of The Sea or Real
Politik - What Good Does Law Do in The South China Sea Territorial
Conflict?" Fordham International Law Journal (April 2007). Hal 1-73.

Djalal, Hasjim. Managing Potential Conflicts in the South China Sea, Hal 23-
39.

Dzurek, J Daniel. "The Spratly Islands Dispute: Who's On First?" Maritime


Briefing volume 2 nomor 1 (1996). Hal 1-53.

45 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya
Hara, Kimie. "50 Years from San Francisco Re-Examining the Peace Traty and
Japans Teritorrial Problems." Pacific Affairs, Volume 74. Nomor. 3 (Autumn
2001). Hal 361-382.

Hancox, David, and Victor Prescott. "A Geographical Description of the


Spratly Islands and an Account of Hydrographic Surveys Amongst Those
Islands." Maritime Briefing Volume 1 Nomor 6 (1995).

Hindley, Michael dan James Bridges. South China Sea: the Paracel and
Spratly Islands Dispute. Royal Institute of International Affairs (Juni 1994).

Hung, Lin Chun. "ASEAN Charter: Deeper Regional Integration under


International Law?" Chinese Journal of International Law (Desember 2010).

Joyner, Christopher C.1998. "The Spratly Islands Dispute in the South China
Sea: Problems, Policies. and Prospects for Diplomatic Accomodation."
International Maritime & Coastal Law Journal.

Peter lewis Young.1995,The Potential for Conflict in South China Sea.


Asian Defence Journal.

Ralf Emmers.2005.Maritime Disputes in the south China Sea: Strategic And


Diplomatic Status Quo.Istitute For Defence And Strateis Studies (HSS) Working Paper
No. 87

Sumber Online :

http://graphics.straitstimes.com/STI/STIMEDIA/Interactives/2016/02/tur
f-wars-on-the-south-china-sea/index.html Diakses pada tanggal 17 10 2017
pukul 08.39 WIB

Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea,


http://www.aseansec.org/13165.htm Diakses pada tanggal 18 10 2017 pukul
19.18 WIB

46 | K o n f l i k L a u t T i o n g k o k S e l a t a n & P e r a n A S E A N
Didalamnya

Anda mungkin juga menyukai