INDONESIA
PROPOSAL TESIS
MARYAM JAMILAH
1506813920
Daftar Isi.........................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................8
1.3 Pertanyaan Penelitian ..................................................................................9
1.4 Tujuan Penelitian.........................................................................................9
1.5 Manfaat Penelitian.......................................................................................9
1.6 Tinjauan Pustaka..........................................................................................9
1.7 Sistematika Penulisan................................................................................13
BAB II LANDASAN TEORI....................................................................................15
2.1 Penelitian Terdahulu..................................................................................15
2.2 Kerangka Konseptual.................................................................................17
2.2.1 Konsep Gender .............................................................................17
2.2.2 Konsep Konflik dan Proses Perdamaian.......................................18
.............................................................................................................................
2.2.3 Konsep Partisipasi Perempuan dalam Konflik dan Perdamaian.. .20
2.3 Kerangka Teori...........................................................................................22
2.3.1 Teori Perdamaian Feminis.............................................................22
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konflik Israel-Palestina yang berlangsung selama bertahun-tahun telah
menjadi isu yang mainstream (pokok kajian) di kalangan penstudi ilmu hubungan
internasional terutama bagi yang mengambil spesifikasi kawasan Timur Tengah.
Konflik antara dua entitas ini kemudian menjadi semakin kompleks akibat campur
tangan dari beberapa pihak baik dari negara-negara Arab dan juga negara barat seperti
Amerika Serikat yang mendukung Israel. Selain kompleksitas dari aktor yang terlibat,
konflik ini menjadi penting dikarenakan oleh tanah yang diperebutkan yaitu
Yerusalem, yang merupakan tempat bersejarah dan suci bagi tiga agama samawi
dunia (Yahudi, Kristen dan Islam). Beberapa upaya negosiasi perdamaian telah
dilakukan oleh PBB dan juga oleh Amerika Serikat serta negara Arab, namun proses
perdamaian antara dua entitas ini dari tahun 1967 hingga sekarang masih mengalami
hambatan.1
Dalam kajian akademis menyangkut konflik, proses perdamaian atau resolusi
konflik antara Israel dan Palestina terdapat indikasi bahwa masih sedikit tulisan yang
menfokuskan pembahasan pada perempuan. Penelitian menyangkut hal ini cendrung
didominasi oleh perspektif laki-laki yang menfokuskan pembahasan pada kekuatan
militer, kepentingan politik dan ekonomi (hard power). Sehingga kemudian posisi
dan partisipasi perempuan tidak terlalu dianggap penting. Pernyataan ini juga
didukung oleh tulisan karya Andrea Ernudd (2007) yang berjudul The Role of Gender
in Israel-Palestinian Conflict yang menyatakan bahwa isu konflik Israel dan Palestina
masih mengenyampingkan perspektif dari perempuan atau gender yang justru
menjadi korban dari konflik.2
1
Proses perdamaian antara Israel-Palestina dimulai pada tahun 1967 melalui Resolusi DK PBB 242.
Kemudian dilanjutkan beberapa negosiasi, seperti: Camp David tahun 1978, Konferensi Madrid 1991
(AS dan Uni Soviet), Perjanjian Oslo tahun 1993, Taba tahun 2001 (Bill Clinton). Negara-negara
Arab juga ikut ambil andil dalam proses perdamaian ini lewat Arab Peace Initiative tahun 2002.
Kemudian Roadmap tahun 2003 (AS, Rusia, UE dan PBB). Pada tahun 2003 Geneva Accord, dan
Anapolis tahun 2007 (George W.Bush), proses perdamaian terakhir Washington 2010 (Barrack
Obama). Sumber: BBC News, History of Mid-East peace Talks, http://www.bbc.com/news/world-
middle-east-11103745 tanggal akses 21 Maret 2017, pukul: 09.26
2
Andrea Ernudd, The Role of Gender in Israel-Palestinian Conflict, (Lund University Press, 2007)
Universitas Indonesia
2
Salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya kajian dengan basis isu
gender dalam konflik di Timur Tengah, yaitu permasalahan gender tidak terlalu
populer di kawasan ini. Hal ini terbukti dengan fakta yang menunjukkan bahwa
Timur Tengah merupakan kawasan di dunia dengan tingkat kesetaraan gender
terendah. Berdasarkan data dari World Economic Forum yaitu laporan Global
Gender Gap Index 2016, secara keseluruhan tingkat ketimpangan gender (gender
gap) di Timur Tengah berada pada angka 60% (100% mewakili tingkat kesetaraan
dengan jumlah keseluruhan).3 Indeks global gender gap ini mendata tingkat
kesetaraan perempuan di 145 negara-negara seluruh dunia dengan menggunakan
beberapa indikator dan faktor yang berhubungan dengan ekonomi, politik, pendidikan
dan kesehatan. Berikut adalah data yang menunjukkan kesetaraan gender di kawasan
Timur Tengah dibanding kawasan lainnya di dunia.
Gambar 1.1.
Tabel Jarak Kesetaraan Gender Tahun 2016 per Kawasan
Sumber: World Economic Forum, global gender gap index 2016, hal: 24.
hal:1
3
World Economic Forum, Global Gender Gap Report 2016: Middle East and North Africa.
http://reports.weforum.org/global-gender-gap-report-2016/middle-east-and-north-africa/ tanggal
akses 01 Maret 2017, pukul: 18.55.
Universitas Indonesia
3
Dari data sebelumnya bisa dilihat bahwa kawasan Timur Tengah memiliki
jarak terbesar untuk mencapai kesetaraan gender yaitu sebesar 39%, yang kemudian
disusul oleh kawasan Asia Timur, Asia Pasifik dan Asia Tenggara yang masing-
masing memiliki jarak kesetaraan gender sebesar 32%. Sehingga bisa disimpulkan
bahwa kawasan Timur Tengah masih berada di posisi terendah menyangkut masalah
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Namun, dibandingkan dengan negara-negara lainnya, Israel merupakan negara
di Timur Tengah yang memiliki tingkat kesetaraan perempuan dan laki-laki tertinggi,
yaitu dengan persentasi hampir mencapai 72%. Israel merupakan satu-satunya negara
di kawasan Timur Tengah dan Afika Utara yang mencapai tingkat kesetaraan gender
setinggi itu.4 Negara Israel menempati posisi ke 49 dunia dari 145 negara berdasarkan
semua indikator, untuk indikator partisipasi ekonomi Israel menempati posisi ke 62,
tingkat pendidikan perempuan di posisi 1 dunia dan untuk keterlibatan politik berada
di posisi 48 dunia, serta terakhir untuk indikator kesehatan menduduki posisi 67.5
Pencapaian Israel dalam hal kesetaraan gender ini tentu dinilai luar biasa jika
dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah lainnya, seperti Qatar yang berada
di peringkat 119 dan Uni Emirat Arab dan Turki yang masing-masing berada di posisi
124 dan 130,6 begitu juga bila dibandingkan dengan negara Indonesia yang berada di
peringkat 88 dunia.7
Tingkat kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di Israel yang baik pada
saat ini tidak bisa terlepas dari fenomena kebangkitan pemikiran feminisme di Israel
yang terjadi sejak 1970-an. Pada tahun tersebut dua orang profesor dari Universitas
Haifa, Marcia Freedman dan Marlyn Safir memulai kajian yang membahas tentang
perempuan dengan tujuan untuk membangkitkan feminisme di Israel. 8 Tokoh lainnya
4
World Economic Forum, Insight Report: The Global Gender Gap Report 2015, (World Economic
Forum, 2016) hal: 212.
5
Ibid, hal: 203.
6
The New Arab, International#EqualPayDay: Middle East ranks last on Gender Equality,
https://www.alaraby.co.uk/english/blog/2016/11/10/international-equalpayday-middle-east-ranks-
last-on-gender-equality, tanggal akses: 01 Maret 2017, pukul 20.00.
7
World Economic Forum, Op.cit, hal: 206.
8
Anat Maor, Women in Israel, Jewish Virtual Library Publication,
http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/isdf/text/Maor.html diakses tanggal 9 April 2016, pukul
09:00.
Universitas Indonesia
4
yaitu Shulamit Aloni dipandang sebagai orang yang berperan penting dalam
mengembangkan ideologi feminisme di Israel, hal ini didasarkan pada kontribusinya
dalam pemikiran feminisme dan partai Ratz yang berhasil beliau dirikan pada tahun
1973. Partai ini merupakan partai pertama di Israel yang memperjuangkan
permasalahan hak asasi manusia dan peningkatan kepedulian terhadap isu-isu
perempuan, kemudian ditambah dengan kontribusi dari Marcia Freedman yang
mempromosikan gerakan feminisme di Israel berdasarkan pengalamannya di Amerika
Serikat.9
Kemudian pada 1980-an muncullah gerakan feminisme yang memprotes
Israel dan menjalankan agenda perdamaian, hal ini bermula saat kunjungan Presiden
Anwar Sadat ke Israel pada November 1977, yang memberikan harapan akan
munculnya perdamaian antara Israel dengan negara-negara Arab. Semangat dan
harapan ini melahirkan sebuah gerakan perdamaian yang bernama Peace Now,
gerakan ini kemudian berisikan kelompok dari perempuan yang tergabung menjadi
para demonstran, namun hirarki gender dalam gerakan tersebut menyebabkan
marginalisasi kaum perempuan dan lebih mengedepankan suara dan kepentingan dari
laki-laki yang pada umumnya merupakan veteran dari Israel Defence Force (IDF).10
Saat okupasi Israel atas wilayah Libanon (1982-1985), barulah gerakan
feminis Israel membentuk gerakan perdamaian sendiri, dan melakukan demonstrasi
pada 1982 dengan slogan bahwa perang di Libanon adalah war of choice (milhemet
breirah dalam bahasa Ibrani) atau disebut juga dengan unjust war atau perang yang
tidak adil.11 Pada tahun 1983 sebuah gerakan baru yang bernama Parents Againts
Silence yang kemudian dikenal sebagai Mother Againts Silence bergabung dalam
demonstrasi tersebut.12 Melalui gerakan-gerakan ini kemudian melekat sebuah
identitas sosial baru dalam gerakan yaitu perempuan Yahudi Israel. Secara
global peran perempuan dalam resolusi konflik mulai diakui tahun 2000, saat
9
Ibid,
10
Sara Helman, Peace Movement in Israel, Jewish Women: A Comprehensive Historical
Encyclopedia, 2009. http://jwa.org/encyclopedia/article/peace-movements-in-israel , tanggal akses:
27 Maret 2016, pukul 10:21 WIB.
11
Ibid,
12
Nurith Gillath, Women Againts War: Parents Againts Silence: Parents Against Silence, (Haifa:
Master Thesis University of Haifa, 1991) hal: 146.
Universitas Indonesia
5
Tabel 1.1.
13
Lion Finkel, The Role of Women in Israeli-Palestinian Peace Negotiations, (The Atkin Paper
Series, 2012) hal: 1
14
Ibid
15
Ibid, hal: 2
Universitas Indonesia
6
16
National Public Radio(NPR), Abbas, Rival hamas Give reconciliation another try, npr.org, 23 April
2014.
17
Human Right watch (HRW), Palestine/israel: Indiscriminate palestinian Rocket Attack, hrw.org, 9
Juli 2014.
18
Washington Post, Israel presses Air Assault as Human Fires Salvo of Cross-Border Rocket,
washingtonpost.com, 8 Juli 2014.
19
Association Press (AP), Israel-Gaza Ceasefire: Negotiators Look to Next Phase for Peace, cbc.ca,
28 Agustus 2015.
20
New York Times, Netanyahu Says No to Staethood for Palestnians, nytimes.con, 16 Maret 2015.
21
Association Press (AP), Vatican Recognizes sate of palestine in New Treaty, ap.org, 13 Mei 2015.
22
Jerusalem Post, Riots Breaks out on Jerusalem Temple Mount for Third Straight Day, jpost.com, 15
September 2015.
23
Israel Ministry of Foreign Affairs, PA Chairmain Abbas Incites to Violence in Jerusalem,
mfa.gov.il, 21 September 2015.
24
ABC News, What behind Escalating Violence in Israel, abcnews.go.com, 19 oktober 2015.
25
Human Right Watch, Israel/Palestine events of 2015, https://www.hrw.org/world-
report/2016/countrychapters/israel/palestine tanggal akses: 01 Maret 2017, pukul 21.00.
Universitas Indonesia
7
berkepanjangan antara Israel dan Palestina yang telah terjadi selama hampir 70 tahun
lamanya.
Dua fakta yang kontradiktif yaitu saat partisipasi perempuan dalam agenda
perdamaian semakin diakui di dunia dan terutama di negara Israel, justru konflik
Israel-Palestina masih menjadi permasalahan besar di kawasan Timur Tengah dan
hingga sekarang masih ditemui konfrontasi senjata antara kedua negara tersebut,
sehingga perlu diteliti lebih lanjut penyebab hal tersebut terjadi.
Partisipasi perempuan Israel dalam proses perdamaian Israel dan Palestina
merupakan hal yang penting dan menarik untuk dibahas mengingat masih minimnya
tulisan yang mencoba menganalisis konflik Israel-Palestina dari sudut pandang
perempuan Israel. Sedangkan tulisan menyangkut bagaimana posisi dan keadaan
perempuan Palestina selama konflik tersebut berlangsung telah dianalisis oleh
beberapa penulis seperti tulisan Amal Kawar (1995) yang berjudul Daughters of
Palestine: Leading Women of the Palestinian National Movement, 26 yang
menggambarkan perjuangan dari beberapa tokoh perempuan Palestina seperti
Ashrawi, Intissar al-Wazir dan Suha yang merupakan istri dari pemimpin PLO, Yasir
Arafat. Tulisan lainnya yang mengambil sudut pandang perempuan Palestina dalam
konflik ini yaitu tulisan France S. Hasso (1998) yang berjudul The Womens Front,
Nationalism, Feminism and Modernity in Palestine yang menjelaskan mengenai
ideologi serta strategi mobilisasi dari dua organisasi (partai nasionalis kiri dan
organisasi feminis nasionalis) di daerah Palestina yang telah diokupasi oleh Israel. 27
Peneliti mempertimbangkan perlu adanya penelitian menyangkut fenomena konflik
Israel-Palestina yang mengambil sudut pandang perempuan Israel sebagai objek
kajiannya, untuk melihat fenomena ini dengan lebih komprehensif.
Universitas Indonesia
8
Universitas Indonesia
9
Universitas Indonesia
10
kekerasan yang berawal dari dalam negeri yang kemudian mengakibatkan perang.28
Tulisan Annete Weber ini lebih fokus menjelaskan asumsi-asumsi dasar keterlibatan
perempuan secara teoritis dengan memunculkan teori yang menggabungkan antara
feminis dan perdamaian.
Tulisan selanjutnya adalah karya Uta Klein (2000) yang berjudul Our Best
Boys: the making of masculinity in Israel society, dalam tulisan ini Uta Klien
menjabarkan bahwa ada tiga latar belakang sejarah yang membentuk dominasi
maskulin dalam kehidupan sosial di Israel:29
1. Paradigma untuk menghasilkan bangsa yahudi yang baru atau New Jew
dalam gerakan Zionist, yaitu pandangan untuk mengubah bangsa Yahudi
yang dulunya terkesan lemah dan tidak mengandalkan kekuatan fisik
menjadi sosok yang kuat dan ditakuti.
2. Perang berkepanjangan yang dihadapi Israel sejak awal berdirinya negara
tersebut, mengakibatkan kehidupan masyarakat Israel bersifat Military
Centric (militer sebagai sektor utama), dimana militer merupakan bidang
yang didominasi oleh laki-laki.
3. Militer dipandang sebagai ritual pendewasaan bagi laki-laki Israel yang
harus dijalani.
Uta Klein (2000) menjelaskan beberapa penyebab dominasi laki-laki terhadap
perempuan di Israel berdasarkan pendekatan historis dari awal gerakan Zionis hingga
konflik senjata yang dialami oleh Israel pasca kemerdekaan dengan negara-negara
Arab.
Tinjauan pustaka lainnya dalam penelitian ini adalah artikel yang berjudul
Tensions in Israeli Feminism: The Mizrahi-Ashkenazi Rift karya Henriette Dahan
Kalev (2006), tulisan ini menjelaskan adanya dikotomi dalam gerakan perempuan
Israel yaitu antara dua pihak yang dinamakan dengan terminologi Mizrahi dan
Askhenazi. Mizrahi atau dikenal juga dengan Sephardim atau Yahudi oriental adalah
28
Annete Weber, Feminist Peace Theory, Routledge Encyclopedia on Peace and Conflict Theory,
2006, hal: 2. http://www.uibk.ac.at/peacestudies/downloads/peacelibrary/feministpeace.pdf ,
tanggal akses 14 Maret 2017, pukul: 16.20
29
Uta Klien, Our Best Boys: the making of masculinity in Israel society, Male Role, Masculinities
and Violence: A Culture of Peace Perspective, (Hamburg: UNESCO PUBLISHING, 2000) hal:163.
Universitas Indonesia
11
bangsa Yahudi yang berimigrasi dari Asia dan Afrika, pada umumnya berasal dari
lingkungan yang mayoritas Muslim. Askhenazi adalah terminologi yang digunakan
untuk merepresentasikan bangsa Yahudi yang berimigrasi dari Eropa dan Amerika
dan telah mendapatkan pengaruh modernisasi dari barat.30
Henriette Dahlan Kalev (2001) dalam tulisannya menjelaskan
ketidakberuntungan perempuan dari timur yang dinilai bersifat malas dan primitif
oleh kelompok modern dari barat. Secara historis, negara Israel dibentuk oleh bangsa
Yahudi yang berasal dari Eropa dan Amerika, mereka pada umumnya memiliki
pandangan untuk mengubah bangsa Yahudi menjadi lebih modern sehingga kemudian
tertuang dalam terminologi new Jews. Keadaan politik dari Israel yang didominasi
oleh pemikiran barat semenjak berdirinya negara ini juga berdampak di kalangan
perempuan, dimana tidak terakomodirnya kepentingan dari perempuan Israel yang
berasal dari Yahudi oriental. Secara khusus tulisan ini menggambarkan bagaimana
keadaan perempuan Mizrahi di Israel baik dalam tataran gerakan feminisme maupun
dalam konteks kehidupan sosial lainnya.
Tulisan selanjutnya yaitu The Construction of Ethnic Subjects Among the
Israeli Middle Class, yang merupakan disertasi dari Guy Abutbul Selinger (2012).
Penelitian ini menganalisis konstruksi etnis Mizrahi dan Askhenazi yang ada di Israel
dengan menggunakan perspektif Neo-Marxist dan metode penelitian analisis narasi.
Dari disertasi tersebut ditemukan hasil bahwa terdapat ketidaksetaraan yang terjadi
antara dua etnis bangsa Yahudi yang hidup di Israel tersebut. Salah satu bentuk
ketdaksetaraan tersebut bisa dilihat dari bidang pendidikan dimana pada tahun 2005
90% orang Israel yang kuliah aktif di fakultas merupakan Askhenazi. Begitu juga
dengan diskriminasi di bidang perekonomian, pendapatan Askhenazi 38% di atas
pendapatan rata-rata penduduk, sedangkan Mizrahi hanya memiliki pendapatan 3% di
atas rata-rata. Diskriminasi tersebut menurut Guy Abutbul Selinger (2012)
memperluas etnis inequality (ketidaksetaraan etnis) dalam struktur masyarakat
Israel.31
30
Henriette Dahan Kalev, Tensions in Israeli Feminism: The Mizrahi-Askhenazi Rift, Womens
Studies International Forum Vol 24, 2001, hal: 1-3.
31
Guy Abutbul Selinger, The Construction of Ethnic Subject among the Israeli Middle Class,
Universitas Indonesia
12
Tulisan terakhir yang juga menganalisis perempuan Israel adalah karya Orly
Lubin (2003) yang menulis Gone to Soldiers: Feminism and the Military in Israel
.Melalui tulisannya Orly Lubin (2003) menjelaskan bahwa sejak tahun 2000 parlemen
Israel telah meloloskan amandemen hukum militer yang mengakui hak-hak
perempuan untuk bebas memilih profesi dalam sektor militer. Kebebasan untuk
bergabung dalam militer mengindikasikan adanya pengakuan bahwa perempuan
setara dengan laki-laki di Israel, namun sebenarnya secara historis perempuan Israel
telah lama bergabung dalam sektor militer dan ikut serta dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan Israel yang disebut dengan pasukan Palmah
(organisasi militer perempuan Israel pertama). Kondisi negara Israel yang
menganggap penting keberadaan militer sejak awal berdirinya negara, berdampak
pada pandangan masyarakat Israel yang menganggap bahwa cara untuk mengabdi
kepada negara adalah melalui ikut serta berperang dan bergabung dengan militer.
Pandangan itu juga yang kemudian berkembang di kalangan perempuan Israel yang
beranggapan bahwa hal yang paling penting dalam menjadi perempuan Israel adalah
menjadi tentara dan bagian dari masyarakat Israel yang militaristik.32
Karya Annete Weber (2006) fokus pada pembahasan mengenai perkembangan
secara teoritis menyangkut teori perdamaian dalam perspektif feminis, sedangkan
tulisan selanjutnya sama-sama membahas mengenai perempuan di Israel namun
dengan menggunakan pendekatan yang berbeda. Uta Klein (2000) menggunakan
pendekatan historis dalam menjelaskan bagaimana dominasi maskulin berkembang
dalam masyarakat Israel, sedangkan Henriette Dahlan Kalev (2001) fokus pada
diskriminasi yang dihadapi oleh perempuan Israel yang memiliki identitas sebagai
Yahudi oriental atau disebut juga dengan perempuan Mizrahi terhadap dominasi
perempuan Ashkenazi. Meskipun membahas isu yang sama menyangkut perbedaan
etnis Mizrahi dan Askhenazi di Israel, disertasi dari Guy Abutbul Selinger
menggunakan perspektif Neo-Marxian dan metode penelitian analisis narasi. Tulisan
terakhir karya Orly Lubin (2003) memandang bahwa keberadaan perempuan di
Dissertation The Facuty of Graduate School of Arts and Sciences, Braindes University, 2012
32
Orly Lubin, Gone to Soldier: Feminism and the Military in Israel, (London: Israel and Familiy
Community,: Womens Time, 2003) hal:165
Universitas Indonesia
13
militer Israel sebagai salah satu wujud kesetaraan gender dan menjadikan posisi
perempuan di Israel menjadi lebih diperhitungkan. Berbeda dengan penelitian-
penelitian tersebut penelitian ini mencoba untuk mengkaitkan dua hal yaitu
perempuan di Israel dengan proses perdamaian Israel-Palestina dimana dalam
perkembangan penelitian, peneliti juga akan membahas beberapa permasalah yang
diangkat dalam tulisan-tulisan ini.
Universitas Indonesia
14
BAB 2
LANDASAN TEORI
Bab ini terdiri dari tiga sub bab yaitu, sub bab pertama berisi penelitian terdahulu
menyangkut isu yang sama, sub bab kedua menjabarkan mengenai kerangka
Universitas Indonesia
15
konseptual yang digunakan dalam penelitian ini (gender, konflik dan proses
perdamaian, partisipasi perempuan dalam konflik dan perdamaian). Sub bab
selanjutnya merupakan kerangka teori yang peneliti gunakan sebagai alat analisis
yaitu teori perdamaian feminist dengan menggunakan perspektif feminis
multikultural.
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia
17
mencoba untuk melihat dari sudut pandang perempuan Israel secara kusus. Hal ini
dilakukan mengingat masih sedikitnya literatur yang menganalisis partisipasi
perempuan Israel terutama dalam proses menciptakan perdamaian antara Israel dan
Palestina. Pemilihan perempuan Israel sebagai objek kajian dalam penelitian ini
bertujuan agar konflik Israel-Palestina serta proses perdamaian antara keduanya bisa
dilihat dengan lebih komprehensif dari semua sudut pandang tidak terkecuali
perempuan Israel.
Universitas Indonesia
18
39
Peter Wallensteen, Understanding Conflict Resolution: War, peace and the global System,
(London: Sage, 2007) hal: 13
40
Maria Villellas Arino, The Participation of Women in Peace Process the Other Tables, ICIP
WORKING PAPERS: 2010/05, hal: 10
Universitas Indonesia
19
Universitas Indonesia
20
Universitas Indonesia
21
yang menjalankan fungsi sebagai peace makers juga terlibat dalam sistem politik
formal dengan cara membentuk partai dan menjadi perwakilan masyarakat di
parlemen dengan tujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah yang
berhubungan dengan isu perdamaian dan konflik.48
Partisipasi yang kedua sebagai combatants: partisipasi perempuan dalam
tindakan kekerasan yang didukung oleh negara (sebagai anggota militer) begitu juga
dengan tindakan kekerasan yang didukung oleh aktor bukan negara (anggota dari
kelompok pemberontakan, organisasi-organisasi yang bersifat kemiliteran dan juga
menjadi pelaku dari bom bunuh diri).49
Kerangka konsep mengenai partisipasi perempuan dalam konflik dan
perdamaian ini peneliti gunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian pertama yaitu
bagaimana partisipasi perempuan Israel dalam proses perdamaian antara Israel dan
Palestina. Melalui konsep ini peneliti mendeskripsikan dan mengklasifikasi bentuk-
bentuk partisipasi perempuan Israel baik yang berperan sebagai peace makers baik
melalui gerakan perdamaian feminis maupun partisipasi perempuan Israel secara
formal dalam parlemen Israel.
Universitas Indonesia
22
52
Ibid, hal: 19
53
Ibid, 23
54
Vandana Shiva, Staying alive: Women, ecology and Development , (London: Zed, 1988)
55
Cyntia Cockburn, Op.Cit, hal: 244
Universitas Indonesia
23
dipaksa untuk ikut dalam perang yang mereka sendiri tidak setujui.56
Hal yang menghasilkan perdamaian dalam perspektif feminisme berbeda
dengan perspektif mainstream lainnya, karena bagi perempuan perdamaian bukan
berarti berakhirnya konflik atau perang, namun perdamaian adalah ketika masyarakat
berhasil menghilangkan ketimpangan kekuasaan struktural (structural power
imbalances) yang merupakan penyebab konflik pada awalnya.5758
Brock Utne (1989) menyatakan bahwa permasalahan perdamaian dan
perempuan tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan yang lebih luas menyangkut
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam semua aspek kehidupan dan juga
dalam keluarga. Tindakan diskriminasi dan perilaku negatif terhadap perempuan
haruslah dihilangkan serta norma-norma gender tradisional harus diubah untuk
meningkatkan partisipasi perempuan dalam perdamaian.
Selain diskriminasi dari laki-laki dan norma gender tradisional, hambatan
lainnya yang dihadapi oleh perempuan juga berasal dari kaum perempuan sendiri. Hal
ini selaras dengan asumsi dari perspektif feminis multikultural yang berpendapat
bahwa perempuan juga mengalami permasalahan internal sebab perbedaan yang
mereka miliki. Asumsi-asumsi dasar dari feminis multikultural yaitu: tidak semua
perempuan berpikir dan melakukan tindakan yang sama, dan tidak semua perempuan
memiliki nilai yang sama terhadap sesuatu dan memiliki tujuan yang sama, dengan
kata lain perempuan berbeda satu dengan yang lainnya.59
Varian feminis ini muncul sebagai respon atas perkembangan perspektif
feminis terdahulu di Amerika Serikat (feminis liberal, feminis radikal, feminis sosialis
serta feminis psikoanalisis) yang berkembang dari tahun 1960-an hingga 1980-an.
Perkembangan pemikiran feminisme gelombang pertama di Amerika Serikat
cendrung fokus pada perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan. Terutama
feminis radikal kultural yang menekankan bahwa di Barat, kualitas seperti otonomi,
56
Yuval-Davis, Gender and nation. Politic and Culture, (London:Sage,1997) hal: 112
57
Ibid, hal: 10
58
Birgit Brock Utne, Feminist Perspectives on Peace and Peace Education, (Oxford: Basil
Blackwell, 1989), hal: 72
59
Mary Dietz, Current Cotroversies in Feminist Theory, (Annual review of Political Science, 6,
2003) hal: 408-409.
Universitas Indonesia
24
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
Universitas Indonesia
27
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
KONFLIK
ISRAEL-PALESTINA
Unit analisis:
Perempuan
Israel
Note: konsep combatan tidak peneliti gunakan untuk analisis karena fokus
utama dalam tulisan ini adalah partisipasi perempuan Israel dalam proses
perdamaian sebagai peace maker , namun pembahasan menyangkut perempuan
Israel yang terlibat dalam militer tetap menjadi bagian dalam pembahasan.
Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah perempuan Israel,
secara konseptual partisipasi perempuan dalam isu perdamaian dibagi ke dalam dua
varian, yaitu sebagai peace makers dan sebagai combatant. Sub unit analisis
selanjutnya adalah perempuan Israel sebagai peace makers yang dianalisis dengan
menggunakan teori perdamaian feminis dalam perspektif feminis multikultural untuk
menemukan hambatan yang dihadapi oleh perempuan Israel untuk berpartisipasi
dalam proses perdamaian Israel-Palestina.
Universitas Indonesia
28
BAB 3
METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini metode penelitian yang peneliti
gunakan adalah metode penelitian kualitatif, yaitu metode yang lebih bergantung
pada data-data lingusitik dibanding data-data numerik, dan menggunakan basis
meaning dalam analisa data.66 Disamping itu pendekatan yang peneliti pilih adalah
pendekatan kualitatif deskriptif analisis, dimana tujuan dari penelitian kualitatif
deskriptif adalah untuk menghasilkan sebuah kesimpulan yang komprehensif
mengenai kejadian spesifik yang dialami oleh individu maupun suatu kelompok.67
Penelitian deskriptif berfungsi untuk mendeskripsikan, menjelaskan dan
menginterpretasikan kondisi-kondisi kontemporer, penelitian ini fokus terhadap
kondisi, praktek, stuktur dan perbedaan atau hubungan yang ada, opini serta proses
yang sedang berlangsung atau menjadi trend pada waktu tertentu. 68 Sedangkan
penelitian deskriptif analisis tidak hanya berhenti pada deskripsi serta penjelasan
tentang kondisi semata, namun juga melibatkan proses identifikasi dan interpretasi
dari data-data yang telah dideskripsikan sebelumnya.69
Universitas Indonesia
29
70
Matthew B.Miles, A.Michael Huberman, Qualitatve Data Analysis, (London, New Delhi, Singapura,
Washington DC: Sage Publications : 1994) hal : 18.
Universitas Indonesia
30
Berikut adalah gambaran secara jelas proses metode analisis data yang peneliti
gunakan dalam penelitian ini:
Gambar 3.1.
Flow Model of Qualitative Data Analysis Component.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Universitas Indonesia
31
Arino, Maria Villellas. 2010. The Participation of Women in Peace Process the
Other Tables, ICIP WORKING PAPERS: 2010/05,
Burgess, Heidi. Peace processes, 2004. In Beyond intractabiliy, Boulder:
Conflict Research Consortium, University Colorado
Collin, Patricia Hill 1990. Black Feminist Thought: Knowledge,
Consciousness and the Politic of Empowerment, Boston: Unwin Hymann
Cockburn, Cyntia. 2007. From Where we stand: War, Womens activism and
feminist analysis, London
Dahendorf, Ralf. 1995. Class and Class Conflict in Industrial Society,
Stanford, California: Stanford University Press
Dahendrof, Ralf. 1996. Out of Utopia: Toward a Reorientation of Sociological
Analysis, American Journal of Sociology 64
Darby, John. Roger Mac Ginty, 2000. The Management of peace processes.
Ethnic and Intercommunity conflict series, Basingstoke: Macmilan
Davis, Yuval, 1997. Gender and nation. Politic and Culture, London:Sage
Dietz, Mary. 2003. Current Cotroversies in Feminist Theory, Annual review
of Political Science, 6
Dudouet, Veronique. 2008, Nonviolent Resistance and Conflict
Transformation in Power Asymmeteries, Berlin: Berghof Research Center for
Constructive Conflict Management
El- Jack, Amani. 2003. Gender and Armed Conflict Overview Report,
London: BRIDGE Development gender
Finkel, Lion. 2012. The Role of Women in Israeli-Palestinian Peace
Negotiations, The Atkin Paper Series
Finkel, Lior. 2012. The Role of women in Israeli-Palestinian Peace
Negotiation, The Atkin Paper Series March, The International Centre for the Study of
Radicalisation and Political Violence.
Fraser, Nancy. 1997. Justice Interruptus: Critical Reflection on the
Postsocialist Condition, New York: Routledge 08-409
Gillath, Nurith. 1991. Women Againts War: Parents Againts Silence: Parents
Against Silence, Haifa: Master Thesis University of Haifa
Henriette Dahan Kalev. 2001. Tensions in Israeli Feminism: The Mizrahi-
Askehnazi Rift, Womens Studies International Forum Vol 24
Jackson, Robert, Georg Serensen. 2013. Introduction to International
Relations, fifith edition, Oxford: Oxford University Press
Joyce P. Kaufman & Kristen P.Williams. 2013, Women at War, Women
Building Peace: Challenging Gender Norms, A Kumarian Press Book
Kawar, Amal. 1995. Daughter of Palestine: Leading Women of Palestinian
National Movement, New York: SUNY PRESS
Klien, Uta. 2000. Our Best Boys: the making of masculinity in Israel society,
Male Role, Masculinities and Violence: A Culture of Peace Perspective, Hamburg:
UNESCO PUBLISHING
Lubin, Orly. 2003. Gone to Soldier: Feminism and the Military in Israel, ,
London: Israel and Familiy Community,: Womens Time
Lubis, Akhyar Yusuf. 2015. Pemikiran Kritis Kontemporer: Dari teori kritis,
Universitas Indonesia
32
Internet
Anat Maor, Women in Israel, Jewish Virtual Library Publication,
http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/isdf/text/Maor.html diakses tanggal 9
April 2016, pukul 09:00.
Descriptive Research, http://www.mu.ac.in/myweb_test/Research
%20Methadology-Paper-3/Chapter-5.pdf, tanggal akses : 16 November 2014 pukul
9:45
Sara Helman, Peace Movement in Israel, Jewish Women: A Comprehensive
Historical Encyclopedia, 2009. http://jwa.org/encyclopedia/article/peace-movements-
in-israel , tanggal akses: 27 Maret 2016, pukul 10:21 WIB.
SAGE Journal, Gender & Society,
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/089124398012004005 , tanggal akses:
04 Maret 2017, pukul 14.54
The New Arab, International#EqualPayDay: Middle East ranks last on
Universitas Indonesia
33
Universitas Indonesia