Anda di halaman 1dari 37

UNIVERSITAS

INDONESIA

PARTISIPASI PEREMPUAN ISRAEL DALAM PROSES


PERDAMAIAN ISRAEL-PALESTINA

PROPOSAL TESIS

MARYAM JAMILAH
1506813920

SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL


PROGRAM STUDI TIMUR TENGAH DAN ISLAM
JAKARTA
MARET 2017
DAFTAR ISI

Daftar Isi.........................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................8
1.3 Pertanyaan Penelitian ..................................................................................9
1.4 Tujuan Penelitian.........................................................................................9
1.5 Manfaat Penelitian.......................................................................................9
1.6 Tinjauan Pustaka..........................................................................................9
1.7 Sistematika Penulisan................................................................................13
BAB II LANDASAN TEORI....................................................................................15
2.1 Penelitian Terdahulu..................................................................................15
2.2 Kerangka Konseptual.................................................................................17
2.2.1 Konsep Gender .............................................................................17
2.2.2 Konsep Konflik dan Proses Perdamaian.......................................18
.............................................................................................................................
2.2.3 Konsep Partisipasi Perempuan dalam Konflik dan Perdamaian.. .20
2.3 Kerangka Teori...........................................................................................22
2.3.1 Teori Perdamaian Feminis.............................................................22

BAB III METODE PENELITIAN...........................................................................28


3.1 Ruang Lingkup Penelitian.........................................................................28
3.2 Teknik Pengumpulan Data.........................................................................29
3.3 Metode Analisa Data..................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................31
1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konflik Israel-Palestina yang berlangsung selama bertahun-tahun telah
menjadi isu yang mainstream (pokok kajian) di kalangan penstudi ilmu hubungan
internasional terutama bagi yang mengambil spesifikasi kawasan Timur Tengah.
Konflik antara dua entitas ini kemudian menjadi semakin kompleks akibat campur
tangan dari beberapa pihak baik dari negara-negara Arab dan juga negara barat seperti
Amerika Serikat yang mendukung Israel. Selain kompleksitas dari aktor yang terlibat,
konflik ini menjadi penting dikarenakan oleh tanah yang diperebutkan yaitu
Yerusalem, yang merupakan tempat bersejarah dan suci bagi tiga agama samawi
dunia (Yahudi, Kristen dan Islam). Beberapa upaya negosiasi perdamaian telah
dilakukan oleh PBB dan juga oleh Amerika Serikat serta negara Arab, namun proses
perdamaian antara dua entitas ini dari tahun 1967 hingga sekarang masih mengalami
hambatan.1
Dalam kajian akademis menyangkut konflik, proses perdamaian atau resolusi
konflik antara Israel dan Palestina terdapat indikasi bahwa masih sedikit tulisan yang
menfokuskan pembahasan pada perempuan. Penelitian menyangkut hal ini cendrung
didominasi oleh perspektif laki-laki yang menfokuskan pembahasan pada kekuatan
militer, kepentingan politik dan ekonomi (hard power). Sehingga kemudian posisi
dan partisipasi perempuan tidak terlalu dianggap penting. Pernyataan ini juga
didukung oleh tulisan karya Andrea Ernudd (2007) yang berjudul The Role of Gender
in Israel-Palestinian Conflict yang menyatakan bahwa isu konflik Israel dan Palestina
masih mengenyampingkan perspektif dari perempuan atau gender yang justru
menjadi korban dari konflik.2
1
Proses perdamaian antara Israel-Palestina dimulai pada tahun 1967 melalui Resolusi DK PBB 242.
Kemudian dilanjutkan beberapa negosiasi, seperti: Camp David tahun 1978, Konferensi Madrid 1991
(AS dan Uni Soviet), Perjanjian Oslo tahun 1993, Taba tahun 2001 (Bill Clinton). Negara-negara
Arab juga ikut ambil andil dalam proses perdamaian ini lewat Arab Peace Initiative tahun 2002.
Kemudian Roadmap tahun 2003 (AS, Rusia, UE dan PBB). Pada tahun 2003 Geneva Accord, dan
Anapolis tahun 2007 (George W.Bush), proses perdamaian terakhir Washington 2010 (Barrack
Obama). Sumber: BBC News, History of Mid-East peace Talks, http://www.bbc.com/news/world-
middle-east-11103745 tanggal akses 21 Maret 2017, pukul: 09.26
2
Andrea Ernudd, The Role of Gender in Israel-Palestinian Conflict, (Lund University Press, 2007)

Universitas Indonesia
2

Salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya kajian dengan basis isu
gender dalam konflik di Timur Tengah, yaitu permasalahan gender tidak terlalu
populer di kawasan ini. Hal ini terbukti dengan fakta yang menunjukkan bahwa
Timur Tengah merupakan kawasan di dunia dengan tingkat kesetaraan gender
terendah. Berdasarkan data dari World Economic Forum yaitu laporan Global
Gender Gap Index 2016, secara keseluruhan tingkat ketimpangan gender (gender
gap) di Timur Tengah berada pada angka 60% (100% mewakili tingkat kesetaraan
dengan jumlah keseluruhan).3 Indeks global gender gap ini mendata tingkat
kesetaraan perempuan di 145 negara-negara seluruh dunia dengan menggunakan
beberapa indikator dan faktor yang berhubungan dengan ekonomi, politik, pendidikan
dan kesehatan. Berikut adalah data yang menunjukkan kesetaraan gender di kawasan
Timur Tengah dibanding kawasan lainnya di dunia.
Gambar 1.1.
Tabel Jarak Kesetaraan Gender Tahun 2016 per Kawasan

Sumber: World Economic Forum, global gender gap index 2016, hal: 24.

hal:1
3
World Economic Forum, Global Gender Gap Report 2016: Middle East and North Africa.
http://reports.weforum.org/global-gender-gap-report-2016/middle-east-and-north-africa/ tanggal
akses 01 Maret 2017, pukul: 18.55.

Universitas Indonesia
3

Dari data sebelumnya bisa dilihat bahwa kawasan Timur Tengah memiliki
jarak terbesar untuk mencapai kesetaraan gender yaitu sebesar 39%, yang kemudian
disusul oleh kawasan Asia Timur, Asia Pasifik dan Asia Tenggara yang masing-
masing memiliki jarak kesetaraan gender sebesar 32%. Sehingga bisa disimpulkan
bahwa kawasan Timur Tengah masih berada di posisi terendah menyangkut masalah
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Namun, dibandingkan dengan negara-negara lainnya, Israel merupakan negara
di Timur Tengah yang memiliki tingkat kesetaraan perempuan dan laki-laki tertinggi,
yaitu dengan persentasi hampir mencapai 72%. Israel merupakan satu-satunya negara
di kawasan Timur Tengah dan Afika Utara yang mencapai tingkat kesetaraan gender
setinggi itu.4 Negara Israel menempati posisi ke 49 dunia dari 145 negara berdasarkan
semua indikator, untuk indikator partisipasi ekonomi Israel menempati posisi ke 62,
tingkat pendidikan perempuan di posisi 1 dunia dan untuk keterlibatan politik berada
di posisi 48 dunia, serta terakhir untuk indikator kesehatan menduduki posisi 67.5
Pencapaian Israel dalam hal kesetaraan gender ini tentu dinilai luar biasa jika
dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah lainnya, seperti Qatar yang berada
di peringkat 119 dan Uni Emirat Arab dan Turki yang masing-masing berada di posisi
124 dan 130,6 begitu juga bila dibandingkan dengan negara Indonesia yang berada di
peringkat 88 dunia.7
Tingkat kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di Israel yang baik pada
saat ini tidak bisa terlepas dari fenomena kebangkitan pemikiran feminisme di Israel
yang terjadi sejak 1970-an. Pada tahun tersebut dua orang profesor dari Universitas
Haifa, Marcia Freedman dan Marlyn Safir memulai kajian yang membahas tentang
perempuan dengan tujuan untuk membangkitkan feminisme di Israel. 8 Tokoh lainnya

4
World Economic Forum, Insight Report: The Global Gender Gap Report 2015, (World Economic
Forum, 2016) hal: 212.
5
Ibid, hal: 203.
6
The New Arab, International#EqualPayDay: Middle East ranks last on Gender Equality,
https://www.alaraby.co.uk/english/blog/2016/11/10/international-equalpayday-middle-east-ranks-
last-on-gender-equality, tanggal akses: 01 Maret 2017, pukul 20.00.
7
World Economic Forum, Op.cit, hal: 206.
8
Anat Maor, Women in Israel, Jewish Virtual Library Publication,
http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/isdf/text/Maor.html diakses tanggal 9 April 2016, pukul
09:00.

Universitas Indonesia
4

yaitu Shulamit Aloni dipandang sebagai orang yang berperan penting dalam
mengembangkan ideologi feminisme di Israel, hal ini didasarkan pada kontribusinya
dalam pemikiran feminisme dan partai Ratz yang berhasil beliau dirikan pada tahun
1973. Partai ini merupakan partai pertama di Israel yang memperjuangkan
permasalahan hak asasi manusia dan peningkatan kepedulian terhadap isu-isu
perempuan, kemudian ditambah dengan kontribusi dari Marcia Freedman yang
mempromosikan gerakan feminisme di Israel berdasarkan pengalamannya di Amerika
Serikat.9
Kemudian pada 1980-an muncullah gerakan feminisme yang memprotes
Israel dan menjalankan agenda perdamaian, hal ini bermula saat kunjungan Presiden
Anwar Sadat ke Israel pada November 1977, yang memberikan harapan akan
munculnya perdamaian antara Israel dengan negara-negara Arab. Semangat dan
harapan ini melahirkan sebuah gerakan perdamaian yang bernama Peace Now,
gerakan ini kemudian berisikan kelompok dari perempuan yang tergabung menjadi
para demonstran, namun hirarki gender dalam gerakan tersebut menyebabkan
marginalisasi kaum perempuan dan lebih mengedepankan suara dan kepentingan dari
laki-laki yang pada umumnya merupakan veteran dari Israel Defence Force (IDF).10
Saat okupasi Israel atas wilayah Libanon (1982-1985), barulah gerakan
feminis Israel membentuk gerakan perdamaian sendiri, dan melakukan demonstrasi
pada 1982 dengan slogan bahwa perang di Libanon adalah war of choice (milhemet
breirah dalam bahasa Ibrani) atau disebut juga dengan unjust war atau perang yang
tidak adil.11 Pada tahun 1983 sebuah gerakan baru yang bernama Parents Againts
Silence yang kemudian dikenal sebagai Mother Againts Silence bergabung dalam
demonstrasi tersebut.12 Melalui gerakan-gerakan ini kemudian melekat sebuah
identitas sosial baru dalam gerakan yaitu perempuan Yahudi Israel. Secara
global peran perempuan dalam resolusi konflik mulai diakui tahun 2000, saat
9
Ibid,
10
Sara Helman, Peace Movement in Israel, Jewish Women: A Comprehensive Historical
Encyclopedia, 2009. http://jwa.org/encyclopedia/article/peace-movements-in-israel , tanggal akses:
27 Maret 2016, pukul 10:21 WIB.
11
Ibid,
12
Nurith Gillath, Women Againts War: Parents Againts Silence: Parents Against Silence, (Haifa:
Master Thesis University of Haifa, 1991) hal: 146.

Universitas Indonesia
5

keluarnya resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 mengenai perempuan, perdamaian


dan keamanan yang diadopsi pada tanggal 31 Oktober 2000. Hal ini merupakan
momen yang sangat penting karena untuk pertama kalinya Dewan Keamanan PBB
menekankan pentingnya kesetaraan dan partisipasi penuh perempuan sebagai
perwakilan aktif dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional, hal ini
juga mengindikasikan pengakuan terhadap kontribusi perempuan dalam mencegah
perang, menjaga perdamaian dan resolusi konflik.13
Implementasi dari resolusi DK PBB tersebut berdampak di negara Israel,
dimana empat tahun setelah diadopsinya resolusi tersebut Knesset's Research and
Information Centre mempublikasi sebuah laporan yang bernama Integration of
Women in Peace Processes. Pada 20 Juli 2005 Knesset meloloskan undang-undang
yang berkaitan dengan kesetaraan bagi hak perempuan yang mendeklarasikan
bahwa dibutuhkannya perwakilan perempuan dalam setiap sektor di komite
pemerintahan pada level nasional.14 Dalam tataran legislatif beberapa NGO (Non-
Governmental Organization) dan organisasi-organisasi perempuan menuntut kepada
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada bulan November 2010 agar
aspirasinya bisa didengarkan oleh Knesset terkait peningkatan peran perempuan
Israel dalam negosiasi perdamaian.15
Meskipun partisipasi perempuan dalam proses perdamaian telah ditingkatkan
dan mendapat pengakuan di dunia internasional dan domestik, namun fakta yang
terjadi adalah konflik dan ketegangan antara kedua negara tersebut masih terus
berlanjut hingga sekarang. Berikut adalah data tentang hubungan Israel-Palestina
dalam kurun waktu 2 tahun terakhir.

Tabel 1.1.

13
Lion Finkel, The Role of Women in Israeli-Palestinian Peace Negotiations, (The Atkin Paper
Series, 2012) hal: 1
14
Ibid
15
Ibid, hal: 2

Universitas Indonesia
6

Kronologi Historis Konflik Israel - Palestina 2014-2016.


Tanggal Peristiwa
23 April 2014 Hamas dan Fatah mengumumkan perjanjian untuk membentuk
pemerintahan bersama.16
13 Juni 2014 Palestina di Gaza melakukan serangkaian serangan roket terhadap Israel. 17
08 Juli 2014 Israel meluncurkan operasi protektif terhadap militan Hamas di Gaza.18
26 Agustus 2014 Mesir menjadi penengah antara genjatan senjata dan penghentian kekerasan
antara Israel dan Gaza.19
16 Maret 2015 Perdana Menteri Israel Netanyahu menyatakan bahwa tidak akan
menyetujui solusi dua negara di malam pemilihan.20
13 Mei 2015 Vatikan mengakui keberadaan negara Palestina dalam Perjanjian Baru.21
15 September 2015 Kekerasan terjadi di area Muslim di Kota Yerusalem selama tiga hari
berturut-turut. 22
16 September 2015 Kekerasan terjadi di Temple Mount (tanah suci) Yerusalem.23
19 Oktober 2015 Terjadi serangan di area Palestina yang diokupasi, 2000 orang Palestina
terluka.24
27 November 2016 Tentara Israel dan penduduk menembak setidaknya 96 orang masyarakat
sipil Palestina dan melukai 10.854 korban.25

Tabel di atas berisi kumpulan beberapa topik berita menyangkut pertikaian


yang terjadi antara kedua negara selama tahun 2014-2016, berita-berita tersebut
menggambarkan bahwa masing-masing negara satu sama lain masih saling
berkonfrontasi dan melakukan serangan serta serangkaian kekerasan. Informasi
tersebut sebagai bukti bahwa perdamaian masih belum dicapai dalam konflik

16
National Public Radio(NPR), Abbas, Rival hamas Give reconciliation another try, npr.org, 23 April
2014.
17
Human Right watch (HRW), Palestine/israel: Indiscriminate palestinian Rocket Attack, hrw.org, 9
Juli 2014.
18
Washington Post, Israel presses Air Assault as Human Fires Salvo of Cross-Border Rocket,
washingtonpost.com, 8 Juli 2014.
19
Association Press (AP), Israel-Gaza Ceasefire: Negotiators Look to Next Phase for Peace, cbc.ca,
28 Agustus 2015.
20
New York Times, Netanyahu Says No to Staethood for Palestnians, nytimes.con, 16 Maret 2015.
21
Association Press (AP), Vatican Recognizes sate of palestine in New Treaty, ap.org, 13 Mei 2015.
22
Jerusalem Post, Riots Breaks out on Jerusalem Temple Mount for Third Straight Day, jpost.com, 15
September 2015.
23
Israel Ministry of Foreign Affairs, PA Chairmain Abbas Incites to Violence in Jerusalem,
mfa.gov.il, 21 September 2015.
24
ABC News, What behind Escalating Violence in Israel, abcnews.go.com, 19 oktober 2015.
25
Human Right Watch, Israel/Palestine events of 2015, https://www.hrw.org/world-
report/2016/countrychapters/israel/palestine tanggal akses: 01 Maret 2017, pukul 21.00.

Universitas Indonesia
7

berkepanjangan antara Israel dan Palestina yang telah terjadi selama hampir 70 tahun
lamanya.
Dua fakta yang kontradiktif yaitu saat partisipasi perempuan dalam agenda
perdamaian semakin diakui di dunia dan terutama di negara Israel, justru konflik
Israel-Palestina masih menjadi permasalahan besar di kawasan Timur Tengah dan
hingga sekarang masih ditemui konfrontasi senjata antara kedua negara tersebut,
sehingga perlu diteliti lebih lanjut penyebab hal tersebut terjadi.
Partisipasi perempuan Israel dalam proses perdamaian Israel dan Palestina
merupakan hal yang penting dan menarik untuk dibahas mengingat masih minimnya
tulisan yang mencoba menganalisis konflik Israel-Palestina dari sudut pandang
perempuan Israel. Sedangkan tulisan menyangkut bagaimana posisi dan keadaan
perempuan Palestina selama konflik tersebut berlangsung telah dianalisis oleh
beberapa penulis seperti tulisan Amal Kawar (1995) yang berjudul Daughters of
Palestine: Leading Women of the Palestinian National Movement, 26 yang
menggambarkan perjuangan dari beberapa tokoh perempuan Palestina seperti
Ashrawi, Intissar al-Wazir dan Suha yang merupakan istri dari pemimpin PLO, Yasir
Arafat. Tulisan lainnya yang mengambil sudut pandang perempuan Palestina dalam
konflik ini yaitu tulisan France S. Hasso (1998) yang berjudul The Womens Front,
Nationalism, Feminism and Modernity in Palestine yang menjelaskan mengenai
ideologi serta strategi mobilisasi dari dua organisasi (partai nasionalis kiri dan
organisasi feminis nasionalis) di daerah Palestina yang telah diokupasi oleh Israel. 27
Peneliti mempertimbangkan perlu adanya penelitian menyangkut fenomena konflik
Israel-Palestina yang mengambil sudut pandang perempuan Israel sebagai objek
kajiannya, untuk melihat fenomena ini dengan lebih komprehensif.

1.2. Rumusan Masalah


Kesetaraan gender dan pengakuan pentingnya peran perempuan dalam proses
26
Amal kawar, Daughter of Palestine: Leading Women of Palestinian National Movement, (New
York: SUNY PRESS, 1995) hal: ix.
27
SAGE Journal, Gender & Society,
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/089124398012004005 , tanggal akses: 04 Maret 2017,
pukul 14.54.

Universitas Indonesia
8

perdamaian secara teoritis berpotensi untuk meminimalisir terjadinya konflik antar


negara, hal ini dilandaskan pada pemikiran perspektif feminisme yang menekankan
bahwa konflik terjadi di dunia akibat dominasi maskulinitas dari kaum pria yang
lebih mengutamakan cara-cara kekerasan ketimbang negosiasi dan diplomasi. Maka
menurut feminisme untuk mencegah munculnya konflik dan mewujudkan
perdamaian harus ada kesetaraan dan kontribusi yang sama bagi perempuan.
Namun realita yang ditemukan di negara Israel menunjukkan hasil yang
berbeda, partisipasi perempuan dan peningkatan kesetaraan perempuan dan laki-laki
di negara Israel belum menunjukkan dampak positif bagi terwujudnya perdamaian.
Berdasarkan fakta yang telah dijabarkan di bagian latar belakang maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah analisis hambatan yang dialami
perempuan Israel dalam mewujudkan perdamaian antara Israel-Palestina.

1.3. Pertanyaan Penelitian


Sesuai dengan rumusan masalah di atas yang menjadi fokus utama dalam
penelitian ini adalah penyebab yang menghambat partisipasi perempuan Israel dalam
proses perdamaian, sehingga yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana partisipasi perempuan Israel dalam proses perdamaian Israel-
Palestina?
2. Bagaimana hambatan yang dihadapi oleh perempuan Israel dalam
berpartisipasi mewujudkan perdamaian Israel-Palestina?

1.4. Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan partisipasi perempuan Israel dalam proses perdamaian
antara Israel-Palestina dan mengklasifikasi bentuk partisipasi perempuan
Israel dalam proses perdamaian.
2. Menganalisis hambatan yang dialami perempuan Israel dalam
berpartisipasi mewujudkan perdamaian Israel-Palestina.

Universitas Indonesia
9

1.5. Manfaat Penelitian


Adapun manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini dapat menjadi sudut pandang alternatif yang berbeda dalam
mengkaji konflik antara Israel dan Palestina karena mengedepankan
partisipasi dari perempuan.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi akademis bagi peneliti
lainnya yang menjadikan Negara Israel sebagai objek kajian, dan semoga
dapat bermanfaat bagi penstudi kawasan Timur Tengah lainnya.

1.6. Tinjauan Pustaka


Untuk tinjauan pusataka, tesis ini menggunakan tulisan dari lima (5) peneliti
yang menjadikan Israel dan perempuan sebagai objek kajiannya. Adapun lima peneliti
tersebut adalah Annete Weber (Peneliti German Institute for International & Security
Affairs), Uta Klien (Deputy Director of Postgraduate Teaching, Universitas
Liverpool), Henriette Dahan Kalev (Dosen Program Kajian Gender Universitas Ben
Gurion, Israel) dan GuyAbutbul Selinger (Dosen The College management Academic
Studies, Petah Tikva, Israel) serta terakhir Orly Lubin (Dosen Universitas Tel Aviv).
Tulisan dari kelima peneliti ini yang menginspirasi peneliti untuk mengangkat isu
partisipasi perempuan dalam proses perdamaian Israel-Palestina.
Tulisan dari Annete Weber (2006) yang berjudul Feminist Peace Theory,
menjelaskan secara historis kemunculan kesadaran bahwa peran perempuan
dibutuhkan dalam mewujudkan proses perdamaian di dunia, hal ini bermula pada
awal abad ke 21 ditandai dengan gerakan-gerakan pasifis (pandangan bahwa
pertikaian harus diselesaikan dengan cara damai) dan gender yang mengklaim diri
mereka sebagai feminis. Tulisan ini juga menggambarkan para pemikir pasifis seperti
Bertha von Suttner atau seorang revolusionis seperti Rosa Luxemburg atau Emma
Goldman membuat sebuah pandangan tersirat mengenai keadaan perempuan saat
perang dan berlangsungnya tirani baik dari pihak privat maupun publik, adanya
dominasi laki-laki dalam keluarga dan dalam area publik, ditambah lagi serangkaian

Universitas Indonesia
10

kekerasan yang berawal dari dalam negeri yang kemudian mengakibatkan perang.28
Tulisan Annete Weber ini lebih fokus menjelaskan asumsi-asumsi dasar keterlibatan
perempuan secara teoritis dengan memunculkan teori yang menggabungkan antara
feminis dan perdamaian.
Tulisan selanjutnya adalah karya Uta Klein (2000) yang berjudul Our Best
Boys: the making of masculinity in Israel society, dalam tulisan ini Uta Klien
menjabarkan bahwa ada tiga latar belakang sejarah yang membentuk dominasi
maskulin dalam kehidupan sosial di Israel:29
1. Paradigma untuk menghasilkan bangsa yahudi yang baru atau New Jew
dalam gerakan Zionist, yaitu pandangan untuk mengubah bangsa Yahudi
yang dulunya terkesan lemah dan tidak mengandalkan kekuatan fisik
menjadi sosok yang kuat dan ditakuti.
2. Perang berkepanjangan yang dihadapi Israel sejak awal berdirinya negara
tersebut, mengakibatkan kehidupan masyarakat Israel bersifat Military
Centric (militer sebagai sektor utama), dimana militer merupakan bidang
yang didominasi oleh laki-laki.
3. Militer dipandang sebagai ritual pendewasaan bagi laki-laki Israel yang
harus dijalani.
Uta Klein (2000) menjelaskan beberapa penyebab dominasi laki-laki terhadap
perempuan di Israel berdasarkan pendekatan historis dari awal gerakan Zionis hingga
konflik senjata yang dialami oleh Israel pasca kemerdekaan dengan negara-negara
Arab.
Tinjauan pustaka lainnya dalam penelitian ini adalah artikel yang berjudul
Tensions in Israeli Feminism: The Mizrahi-Ashkenazi Rift karya Henriette Dahan
Kalev (2006), tulisan ini menjelaskan adanya dikotomi dalam gerakan perempuan
Israel yaitu antara dua pihak yang dinamakan dengan terminologi Mizrahi dan
Askhenazi. Mizrahi atau dikenal juga dengan Sephardim atau Yahudi oriental adalah
28
Annete Weber, Feminist Peace Theory, Routledge Encyclopedia on Peace and Conflict Theory,
2006, hal: 2. http://www.uibk.ac.at/peacestudies/downloads/peacelibrary/feministpeace.pdf ,
tanggal akses 14 Maret 2017, pukul: 16.20
29
Uta Klien, Our Best Boys: the making of masculinity in Israel society, Male Role, Masculinities
and Violence: A Culture of Peace Perspective, (Hamburg: UNESCO PUBLISHING, 2000) hal:163.

Universitas Indonesia
11

bangsa Yahudi yang berimigrasi dari Asia dan Afrika, pada umumnya berasal dari
lingkungan yang mayoritas Muslim. Askhenazi adalah terminologi yang digunakan
untuk merepresentasikan bangsa Yahudi yang berimigrasi dari Eropa dan Amerika
dan telah mendapatkan pengaruh modernisasi dari barat.30
Henriette Dahlan Kalev (2001) dalam tulisannya menjelaskan
ketidakberuntungan perempuan dari timur yang dinilai bersifat malas dan primitif
oleh kelompok modern dari barat. Secara historis, negara Israel dibentuk oleh bangsa
Yahudi yang berasal dari Eropa dan Amerika, mereka pada umumnya memiliki
pandangan untuk mengubah bangsa Yahudi menjadi lebih modern sehingga kemudian
tertuang dalam terminologi new Jews. Keadaan politik dari Israel yang didominasi
oleh pemikiran barat semenjak berdirinya negara ini juga berdampak di kalangan
perempuan, dimana tidak terakomodirnya kepentingan dari perempuan Israel yang
berasal dari Yahudi oriental. Secara khusus tulisan ini menggambarkan bagaimana
keadaan perempuan Mizrahi di Israel baik dalam tataran gerakan feminisme maupun
dalam konteks kehidupan sosial lainnya.
Tulisan selanjutnya yaitu The Construction of Ethnic Subjects Among the
Israeli Middle Class, yang merupakan disertasi dari Guy Abutbul Selinger (2012).
Penelitian ini menganalisis konstruksi etnis Mizrahi dan Askhenazi yang ada di Israel
dengan menggunakan perspektif Neo-Marxist dan metode penelitian analisis narasi.
Dari disertasi tersebut ditemukan hasil bahwa terdapat ketidaksetaraan yang terjadi
antara dua etnis bangsa Yahudi yang hidup di Israel tersebut. Salah satu bentuk
ketdaksetaraan tersebut bisa dilihat dari bidang pendidikan dimana pada tahun 2005
90% orang Israel yang kuliah aktif di fakultas merupakan Askhenazi. Begitu juga
dengan diskriminasi di bidang perekonomian, pendapatan Askhenazi 38% di atas
pendapatan rata-rata penduduk, sedangkan Mizrahi hanya memiliki pendapatan 3% di
atas rata-rata. Diskriminasi tersebut menurut Guy Abutbul Selinger (2012)
memperluas etnis inequality (ketidaksetaraan etnis) dalam struktur masyarakat
Israel.31
30
Henriette Dahan Kalev, Tensions in Israeli Feminism: The Mizrahi-Askhenazi Rift, Womens
Studies International Forum Vol 24, 2001, hal: 1-3.
31
Guy Abutbul Selinger, The Construction of Ethnic Subject among the Israeli Middle Class,

Universitas Indonesia
12

Tulisan terakhir yang juga menganalisis perempuan Israel adalah karya Orly
Lubin (2003) yang menulis Gone to Soldiers: Feminism and the Military in Israel
.Melalui tulisannya Orly Lubin (2003) menjelaskan bahwa sejak tahun 2000 parlemen
Israel telah meloloskan amandemen hukum militer yang mengakui hak-hak
perempuan untuk bebas memilih profesi dalam sektor militer. Kebebasan untuk
bergabung dalam militer mengindikasikan adanya pengakuan bahwa perempuan
setara dengan laki-laki di Israel, namun sebenarnya secara historis perempuan Israel
telah lama bergabung dalam sektor militer dan ikut serta dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan Israel yang disebut dengan pasukan Palmah
(organisasi militer perempuan Israel pertama). Kondisi negara Israel yang
menganggap penting keberadaan militer sejak awal berdirinya negara, berdampak
pada pandangan masyarakat Israel yang menganggap bahwa cara untuk mengabdi
kepada negara adalah melalui ikut serta berperang dan bergabung dengan militer.
Pandangan itu juga yang kemudian berkembang di kalangan perempuan Israel yang
beranggapan bahwa hal yang paling penting dalam menjadi perempuan Israel adalah
menjadi tentara dan bagian dari masyarakat Israel yang militaristik.32
Karya Annete Weber (2006) fokus pada pembahasan mengenai perkembangan
secara teoritis menyangkut teori perdamaian dalam perspektif feminis, sedangkan
tulisan selanjutnya sama-sama membahas mengenai perempuan di Israel namun
dengan menggunakan pendekatan yang berbeda. Uta Klein (2000) menggunakan
pendekatan historis dalam menjelaskan bagaimana dominasi maskulin berkembang
dalam masyarakat Israel, sedangkan Henriette Dahlan Kalev (2001) fokus pada
diskriminasi yang dihadapi oleh perempuan Israel yang memiliki identitas sebagai
Yahudi oriental atau disebut juga dengan perempuan Mizrahi terhadap dominasi
perempuan Ashkenazi. Meskipun membahas isu yang sama menyangkut perbedaan
etnis Mizrahi dan Askhenazi di Israel, disertasi dari Guy Abutbul Selinger
menggunakan perspektif Neo-Marxian dan metode penelitian analisis narasi. Tulisan
terakhir karya Orly Lubin (2003) memandang bahwa keberadaan perempuan di

Dissertation The Facuty of Graduate School of Arts and Sciences, Braindes University, 2012
32
Orly Lubin, Gone to Soldier: Feminism and the Military in Israel, (London: Israel and Familiy
Community,: Womens Time, 2003) hal:165

Universitas Indonesia
13

militer Israel sebagai salah satu wujud kesetaraan gender dan menjadikan posisi
perempuan di Israel menjadi lebih diperhitungkan. Berbeda dengan penelitian-
penelitian tersebut penelitian ini mencoba untuk mengkaitkan dua hal yaitu
perempuan di Israel dengan proses perdamaian Israel-Palestina dimana dalam
perkembangan penelitian, peneliti juga akan membahas beberapa permasalah yang
diangkat dalam tulisan-tulisan ini.

1.7. Sistematika Penulisan


BAB 1
Pengantar yang berisi latar belakang masalah yang diangkat, tujuan dan manfaat
penelitian, rumusan masalah penelitian, pertanyaan penelitian yang akan peneliti
gunakan dalam penelitian ini.
BAB 2
Bab dua berisi kerangka konseptual, kerangka teori dan pemikiran yang peneliti
operasionalkan dalam penelitian ini.
BAB 3
Bab tiga berisi penjelasan menyangkut metode penelitian, ruang lingkup
penelitian, teknik pengumpulan dan metode analisis data.
BAB 4
Bab ini menjelaskan deskripsi dari partisipasi perempuan Israel dalam proses
perdamaian Israel dan Palestina dari tahun 1980 an baik itu formal dalam
parlemen maupun non formal melalui gerakan perdamaian, dengan
menggunakan kerangka konsep partisipasi perempuan dalam konflik dan
perdamaian. Selanjutnya analisis lanjutan yang menjelaskan lebih dalam
mengenai sumber dari permasalahan gerakan perempuan Israel dalam proses
perdamaian dengan menggunakan teori perdamaian feminist.
BAB 5
Bab ini akan berisi kesimpulan dan rangkuman dari hasil yang peneliti dapatkan
berdasarkan pertanyaan penelitian yang peneliti ajukan.

Universitas Indonesia
14

BAB 2
LANDASAN TEORI

Bab ini terdiri dari tiga sub bab yaitu, sub bab pertama berisi penelitian terdahulu
menyangkut isu yang sama, sub bab kedua menjabarkan mengenai kerangka

Universitas Indonesia
15

konseptual yang digunakan dalam penelitian ini (gender, konflik dan proses
perdamaian, partisipasi perempuan dalam konflik dan perdamaian). Sub bab
selanjutnya merupakan kerangka teori yang peneliti gunakan sebagai alat analisis
yaitu teori perdamaian feminist dengan menggunakan perspektif feminis
multikultural.

2.1. Penelitian Terdahulu


Ada tiga penelitian yang peneliti gunakan sebagai penelitian terdahulu yang
membahas isu yang sama yaitu keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian atau
resolusi konflik Israel-Palestina. Penelitian pertama yaitu The role of women in
Israeli-Palestinian Peace Negotiation, karya Lior Finkel (2012). Tulisan ini
menganalisis peran perempuan dalam negosiasi perdamaian semenjak Konferensi
Madrid 1991, dengan fokus utama penelitian peran dari dua tokoh perempuan utama
yaitu Dr. Hanan Ashrawi (seorang profesor sastra Inggris) dari daerah Palestina yang
diokupasi, dan Tzipi Livni dari Israel (pengacara dan politisi Partai Kadima). Adapun
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah naratif deskriptif dengan
menguraikan kejadian secara urut dengan narasi dan dilanjutkan dengan analisis
mendalam. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa para negotiator perempuan
cendrung lebih bisa bekerjasama dan tidak agresif dibanding laki-laki, dan mereka
memiliki potensi yang lebih baik untuk menjalin konsensus. Penelitian ini
menyarankan agar kontribusi perempuan dalam negosiasi perdamaian semakin
ditingkatkan untuk mencapai hasil yang lebih baik.33
Penelitian kedua karya Simona Sharoni (2012) yang berjudul Gender and
Conflict Transformation in Israel/Palestine, jurnal ini menganalisis keterlibatan
perempuan dalam perdamaian dan transformasi konflik Israel-Palestina semenjak
intifadha pertama. Penelitian ini menunjukkan bahwa intifadha yang dilakukan oleh
perempuan Palestina menjadi momen yang mengubah pemahaman perempuan Yahudi
Israel untuk mempelajari dampak okupasi terhadap warga Palestina dan
33
Lior Finkel, The Role of women in Israeli-Palestinian Peace Negotiation, The Atkin Paper Series
March, The International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence 2012, hal:
3-17

Universitas Indonesia
16

membandingkan dengan pengalaman diskriminasi yang juga mereka hadapi sebagai


perempuan. Mereka menyadari bahwa praktek kekerasan yang terjadi pada
perempuan Palestina juga mereka rasakan akibat meningkatnya tingkat kekerasan
terhadap perempuan di Israel. Perasaan senasib ini kemudian menjadi alasan bagi
perempuan Israel dan Palestina untuk bekerjasama dan membentuk Dewan Tinggi
Perempuan pada tahun 1989.34
Jurnal karya Andrea Ernudd (2012) yang berjudul The role of Gender in
Israeli-Palestinian Conflict: Exploring the impact of Occupation and Patriarchy on
Palestinian women, menganalisis bagaimana perempuan Palestina mengalami sistem
penindasan ganda yang pertama yaitu okupasi dan yang kedua adalah patriarki.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa dampak dari okupasi berkepanjangan terhadap
wilayah Palestina telah menyebabkan krisis ekonomi dan sosial bagi warga Palestina
secara keseluruhan. Namun perempuan mengalami penindasan yang berlipat dengan
sistem yang saling terkait (interlocking system). Kondisi hidup yang miskin di daerah
Tepi Barat dan Gaza berdampak pada semakin termarginalkannya hak-hak
perempuan dengan membatasi ruang dan pengaruhnya dalam masyarakat sipil. Salah
satu buktinya dapat dilihat pada intifadha kedua yang tidak menunjukkan keterlibatan
perempuan sama sekali.35
Ketiga penelitian sebelumnya mengangkat permasalahan yang sama yaitu
perempuan dan konflik Israel dan Palestina. Lior Finkel (2012) lebih menfokuskan
analisisnya pada level individu yaitu dua negotiator perdamaian perempuan dari
Palestina dan Israel, sedangkan Simona Sharoni (2012) menggambarkan dampak dari
intifadha pertama Palestina terhadap perempuan Israel, serta kerjasama yang terjadi
pasca peristiwa tersebut. Penelitian terakhir yaitu karya Andrea Ernudd (2012), lebih
menitiberatkan pembahasannya terhadap dampak okupasi terhadap perempuan
Palestina yang mengalami penindasan secara ganda. Berbeda dengan tiga penelitian
terdahulu yang tidak menfokuskan pembahasan terhadap perempuan Israel, tesis ini
34
Shimona Sharoni., Gender and Conflict Transformation in Israel/Palestine, Journal of
International Womens Studies Vol 13#4 September, 2012, hal: 113-128
35
Andrea Ernudd, Op.Cit, hal 1-13

Universitas Indonesia
17

mencoba untuk melihat dari sudut pandang perempuan Israel secara kusus. Hal ini
dilakukan mengingat masih sedikitnya literatur yang menganalisis partisipasi
perempuan Israel terutama dalam proses menciptakan perdamaian antara Israel dan
Palestina. Pemilihan perempuan Israel sebagai objek kajian dalam penelitian ini
bertujuan agar konflik Israel-Palestina serta proses perdamaian antara keduanya bisa
dilihat dengan lebih komprehensif dari semua sudut pandang tidak terkecuali
perempuan Israel.

2.2. Kerangka Konseptual


2.2.1 Konsep Gender
Dalam pandangan feminisme perlu dibedakan antara istilah seks dengan
gender, istilah seks lebih mengacu pada perbedaan genetis dan biologis antara laki-
laki dan perempuan (jenis kelamin), sedangkan gender mengacu pada sifat atau
kualitas yang dianggap melekat baik kepada laki-laki ataupun pada perempuan.
Sehingga gender merupakan atribut yang diberikan oleh masyarakat untuk
memberikan perbedaan, karakter, ciri dan sifat yang dimiliki oleh laki-laki dan
perempuan.36
Peterson dan Runyan (2013) dalam tulisannya yang berjudul Global Gender
Issue, menyebutkan bahwa gender mengacu pada perilaku dan ekspektasi atau
harapan yang secara sosial dipelajari dan memisahkan antara masukulinitas dan
feminitas.37 Pada saat ini kita hidup di dunia yang bergender, di mana kualitas yang
berhubungan dengan maskulinitas (rasionalitas, ambisi dan kekuatan) diberikan nilai
dan status yang lebih tinggi dibanding dengan kualitas yang dihubungkan dengan
femininitas (emosi, pasivitas, kelemahan) hal ini kemudian disebut oleh para feminis
sebagai hirarki gender yaitu sistem kekuasaan di mana sifat laki-laki diberi hak
istimewa dibanding sifat keperempuanan.38
Meskipun pemikiran feminisme memiliki banyak varian seperti feminisme
36
Akhyar Yusuf Lubis, Pemikira Kritis Kontemporer: Dari teori kritis, Culture Studies, Feminisme,
Postkolonial hingga Multikulturalisme, (Jakarta: Rajawali Press, 2015) hal: 107.
37
Peterson V.S, Runyan, Global Gender issue, (Boulder CO: Westview, 1999) hal: 12
38
Robert Jackson, Georg Serensen, Introduction to International Relations, fifith edition, (Oxford:
Oxford University Press, 2013) hal: 422.

Universitas Indonesia
18

liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme multikultural, postkolonial


dan psikoanalisis, namun semua varian feminisme tersebut memiliki pandangan yang
sama menyangkut gender sebagai hasil konstruksi sosial.

2.2.2 Konflik dan Proses Perdamaian


Dengan berakhirnya Perang Dingin dan dimulainya era abad ke dua puluh,
banyak peneliti yang tertarik untuk mengkaji resolusi konflik, terutama proses
perdamaian yang dinilai mampu mengakhiri konflik.39 Hal ini juga disebabkan
dengan bermunculannya trend konflik bersenjata yang terjadi di berbagai penjuru
dunia tidak terkecuali kawasan Timur Tengah.
Maria Villellas Arino (2010) dalam artikel yang berjudul The Participation of
Women in Peace Process, The other Tables menyebutkan definisi konflik yaitu:
konfrontasi antara kelompok bersenjata reguler maupun ireguler yang memiliki
tujuan yang tidak sejalan, dengan penggunaan kekerasan secara berkelanjutan dan
terorganisir. Adapun karakteristik dari konflik adalah:40
1. Menyebabkan minimal 100 kematian yang berkaitan dengan pertempuran
dalam skala waktu satu tahun serta menyebabkan dampak yang serius
terhadap wilayah (seperti kerusakan infrastruktur atau sumber daya alam) dan
mengganggu keamanan manusia (menyebabkan masyarakat sipil terluka atau
mengalami penggusuran, kekerasan seksual, ketidakamanan makanan,
dampak terhadap kesehatan mental dan sosial).
2. Memiliki tujuan yang berbeda dengan tindak kriminal biasa dan biasanya
berhubungan dengan: tuntutan untuk self determination (menentukan nasib
sendiri) atau membentuk pemerintahan yang mandiri atau permasalahan
identitas seperti perlawanan terhadap sistem politik, ekonomi dan ideologi
dari negara atau kebijakan dari pemerintah.

39
Peter Wallensteen, Understanding Conflict Resolution: War, peace and the global System,
(London: Sage, 2007) hal: 13
40
Maria Villellas Arino, The Participation of Women in Peace Process the Other Tables, ICIP
WORKING PAPERS: 2010/05, hal: 10

Universitas Indonesia
19

Sedangkan dalam perspektif feminisme, menurut Cockburn (2007) konflik


haruslah tindakan yang diorganisir secara kolektif, melibatkan senjata yang
berpotensi mematikan. Dengan tujuan untuk mewujudkan kepentingan, dan yang
paling penting adalah secara sosial disetujui bahwa tindakan membunuh yang
dilakukan dalam konflik tersebut tidak dianggap sebagai pembunuhan.41
Kontribusi utama kajian mengenai perdamaian bagi perkembangan ilmu
politik yaitu konflik dianggap sebagai sesuatu yang melekat dalam setiap masyarakat,
atau dinilai sebagai proses dinamis. Dimana dalam proses tersebut aktor yang berbeda
mengklaim dan mengumpulkan kepentingan dan tujuan yang mereka inginkan,
sehingga disimpulkan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa terlepas dari
eksistensi manusia itu sendiri.42
Christine Bell (2006) menekankan fakta bahwa seiring berakhirnya Perang
Dingin dan terjadinya peningkatan jumlah konflik bersenjata yang terjadi dalam
perbatasan negara-negara, maka perhatian terhadap pendekatan-pendekatan dalam
resolusi konflik semakin dikembangkan, salah satunya yaitu proses perdamaian.
Menyangkut konsep proses perdamaian menurut John Darby dan Roger Macginty
(2000) para peneliti masih belum sepakat mengenai definisi dari konsep proses
perdamaian.43
PBB telah memainkan peranan penting dalam proses perdamaian di beberapa
wilayah, melalui website peacemaker PBB, organisasi ini mengeluarkan beberapa
definisi konsep proses perdamaian yang berasal dari beberapa ahli. Yang pertama,
Harold Saundres yang mengangap peace process sebagai sebuah proses politik
dimana konflik diselesaikan dengan cara yang damai dan sebuah gabungan antara
politik, diplomasi, perubahan hubungan, negosiasi, mediasi dan dialog baik itu dalam
bentuk yang resmi maupun cara yang tidak resmi.44
Definisi kedua dari Tim Sisk, yang menganggap proses perdamaian sebagai
41
Cyntia Cockburn, From Where we stand: War, Womens activism and feminist analysis, London:
2007, hal: 232
42
Maria Villellas Arino, Op.Cit, hal: 13
43
John Darby, Roger Mac Ginty, The Management of peace processes. Ethnic and Intercommunity
conflict series, Basingstoke: Macmilan, 2000 hal: 7
44
Heidi Burgess, Peace processes, In Beyond intractabiliy, Bouldre: Conflict Research Consortium,
University Colorado, 2004

Universitas Indonesia
20

langkah timbal balik untuk membangun keyakinan, menyelesaikan isu-isu seperti


pelucutan senjata (disarmament) dan dengan hati-hati membentuk design institusi
politik yang baru. Dengan kata lain, sebuah proses perdamaian seperti langkah-
langkah tarian yang rumit dan koreografinya diatur oleh pihak ketiga sebagai
mediator antar pihak-pihak yang berkonflik untuk membantu secara bertahap
mengubah perang menjadi damai.45
Bisa disimpulkan bahwa tujuan utama dari proses perdamaian disini adalah
untuk mengakhiri konflik bersenjata dengan menggunakan negosiasi ketimbang cara-
cara militer. Definisi di atas berkaitan dengan upaya untuk mengakhiri konflik
melalui dialog, melibatkan pihak-pihak yang berkonflik dan seringkali dibantu
dengan pihak eksternal.
Konsep proses perdamaian dan konflik ini peneliti gunakan sebagai kerangka
konsep untuk menjelaskan partisipasi perempuan Israel dalam proses perdamaian.
Untuk mendeskripsikan serta mengklasifikasi apakah upaya yang dilakukan oleh
perempuan Israel tergolong dalam upaya proses perdamaian atau bukan.

2.2.3 Konsep Partisipasi Perempuan dalam Konflik dan Perdamaian


Joyce P.Kaufman dan Kristen P.Williams (2013) dalam tulisannya yang
berjudul Women at War: Women Building Peace: Challenging Gender Norms ada dua
bentuk partisipasi perempuan dalam konflik bersenjata atau perang dan perdamaian
yaitu:46
Sebagai peace makers, partisipasi yang sejalan dengan norma-norma gender
yang menggambarkan sifat dan tingkah laku perempuan yang bersikap memelihara,
memberikan kepedulian dan menciptakan perdamaian. Partisipasi yang dilakukan
oleh perempuan dalam hal ini bisa berupa protes, pidato publik, boykot politik dan
ekonomi serta aksi protes lainnya yang tergabung dalam gerakan-gerakan
perdamaian.47 Selain partisipasi melalui gerakan-gerakan perdamaian perempuan
45
ibid
46
Joyce P. Kaufman & Kristen P.Williams, Women at War, Women Building Peace: Challenging
Gender Norms,(A Kumarian Press Book, 2013) hal: 1.
47
Veronique Dudouet, Nonviolent Resistance and Conflict Transformation in Power Asymmeteries,
(Berlin: Berghof Research Center for Constructive Conflict Management: 2008) hal: 5-6

Universitas Indonesia
21

yang menjalankan fungsi sebagai peace makers juga terlibat dalam sistem politik
formal dengan cara membentuk partai dan menjadi perwakilan masyarakat di
parlemen dengan tujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah yang
berhubungan dengan isu perdamaian dan konflik.48
Partisipasi yang kedua sebagai combatants: partisipasi perempuan dalam
tindakan kekerasan yang didukung oleh negara (sebagai anggota militer) begitu juga
dengan tindakan kekerasan yang didukung oleh aktor bukan negara (anggota dari
kelompok pemberontakan, organisasi-organisasi yang bersifat kemiliteran dan juga
menjadi pelaku dari bom bunuh diri).49
Kerangka konsep mengenai partisipasi perempuan dalam konflik dan
perdamaian ini peneliti gunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian pertama yaitu
bagaimana partisipasi perempuan Israel dalam proses perdamaian antara Israel dan
Palestina. Melalui konsep ini peneliti mendeskripsikan dan mengklasifikasi bentuk-
bentuk partisipasi perempuan Israel baik yang berperan sebagai peace makers baik
melalui gerakan perdamaian feminis maupun partisipasi perempuan Israel secara
formal dalam parlemen Israel.

2.3 Kerangka Teori


2.3.1 Teori Perdamaian Feminis
Isu perdamaian dan konflik selalu menjadi pusat perhatian dari para pemikir
feminisme. Ann Tickner (2011) menyatakan bahwa permasalahan utama dalam teori
feminis adalah untuk menjelaskan subordinasi yang dialami oleh perempuan. 50 Maria
Jesus Izquierdo menekankan fondasi dari patriarki dan sexisme dalam masyarakat
adalah kekerasan, yang paling sering ditujukkan terhadap perempuan.51
Para pemikir feminis baik itu akademisi maupun aktivis telah mengkritik
pendekatan tradisional terhadap konflik dan perdamaian yang telah mengabaikan
pentingnya gender dalam isu tersebut. Hal ini karena fakta yang ditemukan
48
Joyce P.Kaufman, Opcit, hal: 3.
49
Ibid,
50
Ann Tickner. Gendering world politics: Issue and appraches in the post-cold war era, (New York:
Columbia University Press, 2011)
51
Maria Villelas Arino, Op.Cit, hal: 14

Universitas Indonesia
22

menunjukkan bahwa konflik bersenjata telah menghasilkan dampak yang berbeda


bagi perempuan dan laki-laki serta hal tersebut hanya bisa dijelaskan dalam perspektif
gender dengan memperhatikan struktur dalam gender.
Teori perdamaian dalam feminis memiliki dua asumsi yang pertama mengenai
hubungan perdamaian dengan sifat esensial perempuan dan yang kedua yaitu sifat
keibuan (motherhood) untuk menjelaskan pentingnya keterlibatan perempuan dalam
perdamaian.52
Dalam pandangan esensialism dinyatakan bahwa perempuan secara alami
menunjukkan kecendrungan terhadap perdamaian, dan tidak mampu melakukan
kekerasan sedangkan laki-laki dipandang sebagai makhluk yang kasar (violent
53
beings). Namun pandangan ini dikritisi oleh banyak pihak karena hubungan antara
perdamaian dan perempuan dalam pandangan ini berdasarkan atas stereotipe gender
yang juga menyatakan bahwa perempuan bersifat pasif, menjadi korban dan lebih
mengedepankan emosi.
Asumsi yang kedua menyangkut peran perempuan sebagai seorang ibu,
sosialisasi yang dialami perempuan secara historis meningkatkan peran mereka
sebagai pemberi perhatian (care-givers) dan pemelihara menjadi alasan mengapa
perempuan cendrung pasifisme (mencintai perdamaian).54 Namun pemikiran ini
kemudian juga mengalami kritik karena, terkesan tidak menganggap perempuan yang
statusnya bukanlah seorang ibu dan tidak ingin menjadi ibu dan disamping itu
pandangan tersebut berpotensi memperkuat peran patriarki dan mengurangi otonomi
perempuan.55
Sehingga kemudian para feminis memberikan kesimpulan bahwa hubungan
antara perempuan dan perdamaian dikarenakan oleh pengucilan dan
termarginalkannya mereka dari ruang publik dan dari perang, ketimbang akibat sifat
alami biologis atau pengalaman mereka sebagai seorang ibu atau care-givers. Bukan
hanya pengucilan mereka dari politik formal namun juga fakta bahwa perempuan

52
Ibid, hal: 19
53
Ibid, 23
54
Vandana Shiva, Staying alive: Women, ecology and Development , (London: Zed, 1988)
55
Cyntia Cockburn, Op.Cit, hal: 244

Universitas Indonesia
23

dipaksa untuk ikut dalam perang yang mereka sendiri tidak setujui.56
Hal yang menghasilkan perdamaian dalam perspektif feminisme berbeda
dengan perspektif mainstream lainnya, karena bagi perempuan perdamaian bukan
berarti berakhirnya konflik atau perang, namun perdamaian adalah ketika masyarakat
berhasil menghilangkan ketimpangan kekuasaan struktural (structural power
imbalances) yang merupakan penyebab konflik pada awalnya.5758
Brock Utne (1989) menyatakan bahwa permasalahan perdamaian dan
perempuan tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan yang lebih luas menyangkut
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam semua aspek kehidupan dan juga
dalam keluarga. Tindakan diskriminasi dan perilaku negatif terhadap perempuan
haruslah dihilangkan serta norma-norma gender tradisional harus diubah untuk
meningkatkan partisipasi perempuan dalam perdamaian.
Selain diskriminasi dari laki-laki dan norma gender tradisional, hambatan
lainnya yang dihadapi oleh perempuan juga berasal dari kaum perempuan sendiri. Hal
ini selaras dengan asumsi dari perspektif feminis multikultural yang berpendapat
bahwa perempuan juga mengalami permasalahan internal sebab perbedaan yang
mereka miliki. Asumsi-asumsi dasar dari feminis multikultural yaitu: tidak semua
perempuan berpikir dan melakukan tindakan yang sama, dan tidak semua perempuan
memiliki nilai yang sama terhadap sesuatu dan memiliki tujuan yang sama, dengan
kata lain perempuan berbeda satu dengan yang lainnya.59
Varian feminis ini muncul sebagai respon atas perkembangan perspektif
feminis terdahulu di Amerika Serikat (feminis liberal, feminis radikal, feminis sosialis
serta feminis psikoanalisis) yang berkembang dari tahun 1960-an hingga 1980-an.
Perkembangan pemikiran feminisme gelombang pertama di Amerika Serikat
cendrung fokus pada perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan. Terutama
feminis radikal kultural yang menekankan bahwa di Barat, kualitas seperti otonomi,

56
Yuval-Davis, Gender and nation. Politic and Culture, (London:Sage,1997) hal: 112
57
Ibid, hal: 10
58
Birgit Brock Utne, Feminist Perspectives on Peace and Peace Education, (Oxford: Basil
Blackwell, 1989), hal: 72
59
Mary Dietz, Current Cotroversies in Feminist Theory, (Annual review of Political Science, 6,
2003) hal: 408-409.

Universitas Indonesia
24

rasionalitas, kekuatan fisik, dan keadilan berhubungan dengan konsep maskulinitas,


sedangkan kualitas seperti emosi, kelemahan fisik, dan kepedulian dihubungkan
dengan konsep femininitas. Yang menjadi fokus utama dalam feminis varian
tersebut adalah apakah kualitas yang melekat pada maskulinitas lebih baik dibanding
dengan femininitas atau sebaliknya.60
Beberapa pemikiran feminisme Amerika Serikat gelombang kedua,
menggunakan konsep sameness feminis yang mencoba untuk membuktikan bahwa
perempuan memiliki kapasitas intelektual, fisik dan moral yang sama dengan laki-
laki, dan jika perempuan diberikan kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang sama
dengan laki-laki maka perempuan bisa mencapai kualitas yang sama dengan laki-laki.
Seperti laki-laki perempuan juga bisa menjadi CEO (Chief executive officers) dari
perusahaan-perusahaan besar, menjadi jendral, ahli bedah saraf, dan pemain bola.
Bagi sameness feminist, musuh utama dari perempuan adalah sexism yaitu
pandangan bahwa perempuan tidak mampu untuk melakukan apa yang bisa dilakukan
oleh laki-laki dan seharusnya diasingkan dari ruang publik.61
Sebagian dari pemikir feminis gelombang dua lainnya di Amerika Serikat
lebih memilih konsep difference feminist, yang menyatakan bahwa upaya
perempuan untuk menyamakan dirinya dengan laki-laki merupakan sebuah
kesalahan, hal ini karena cara perempuan dalam mengetahui, melakukan sesuatu
sama baiknya dengan laki-laki dan bukan pula lebih baik dari laki-laki. Bagi feminis
varian ini musuh utama bagi perempuan adalah androcentrism, pandangan bahwa
laki-laki merupakan bentuk ideal dari semua manusia, karena perempuan tidak seperti
laki-laki maka belum bisa dianggap sepenuhnya sebagai manusia.62
Dalam perkembangannya, debat antara sameness feminist dan difference
feminist tidak berhasil menemukan solusi. Kemudian pada pertengahan tahun 1980-
an para pemikir feminis mulai beralih pada isu lainnya. Perempuan-perempuan yang
termarjinalkan, biasanya dengan warna kulit yang berbeda, lesbian, perempuan
60
Rosemarie Tong, Feminist Tough: More Comprehensive Introduction, (Boulder Colo: Westview
Press, 2009) hal: 201.
61
Ibid, hal: 202.
62
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflection on the Postsocialist Condition, (New
York: Routledge, 1997)

Universitas Indonesia
25

miskin, tidak berpendidikan dan perempuan-perempuan imigran kemudian


mengajukan komplain mereka bahwa jenis pemikiran feminis yang berkembang
dalam lingkungan pendidikan bukanlah pemikiran feminis yang merepresentasikan
semua perempuan. Pemikiran feminism yang berkembang dinilai hanya untuk elit
perempuan tertentu yang memiliki karakteristik berkulit putih, heteroseksual, kelas
menengah keatas, dan perempuan yang berpendidikan. Sehingga dapat disimpulkan
dalam pandangan feminis multikultural bukanlah sexism atau androcentrism yang
menjadi musuh utama dari perempuan namun rasisme, etnosentrisme, kelas sosial,
heterosisme, ableism (perbedaan berdasarkan kapabilitas atau kemampuan) atau
ageism (perbedaan berdasarkan usia) yang menjadi penyebab utama dari rendahnya
status sosial yang mereka miliki.63
Feminis multikultural fokus pada pemikiran dasar bahwa bahkan dalam satu
negara, contohnya di Amerika Serikat, semua perempuan tidaklah tercipta atau
dikonstruksi secara sama. Bukan hanya tergantung pada ras dan etnis namun juga
identitas seksual, identitas gender, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan atau profesi,
status pernikahan, kondisi kesehatan dan sebagainya.64 Pendekatan ini peneliti pilih
berdasarkan atas karakteristik dari masyarakat Israel yang terdiri dari berbagai etnis
dan ras yang berbeda, hal ini juga diungkapkan oleh Henriette Dahan Kalev (2001)
dalam tulisannya menyangkut dikotomi etnis di Israel.
Secara garis besar pemikiran feminis multikultural menolak konsep female
essentialism, yaitu pandangan bahwa perempuan berada dalam bentuk persaudaraan
dimana darah dan daging dari masing-masing perempuan berhubungan satu sama
lain. Disamping itu feminis multikultural juga tidak menerima konsep female
chauvinism yaitu kecendrungan dari beberapa perempuan, terutama perempuan yang
memiliki hak istimewa untuk berbicara atas nama semua perempuan, termasuk
perempuan yang dianggap sangat berbeda dengan diri mereka.65
Dari penjelasan di atas menyangkut teori perdamaian feminis dan perspektif
feminis multikultural dapat disimpulkan bahwa hambatan yang dihadapi oleh
63
Op.cit, hal: 202.
64
Ibid,
65
Mary Dietz, Op.Cit, hal: 408-409.

Universitas Indonesia
26

perempuan untuk terlibat dalam proses perdamaian yaitu:


- Diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki-laki
(maskulinitas), diskriminasi yang dilakukan oleh perempuan lainnya dari
kelas sosial atau etnis yang berbeda (female essentialism dan female
chauvanism)
- Norma-norma gender tradisional yang masih berlaku di masyarakat melalui
konstruksi sosial, budaya dan agama.
Teori perdamaian feminis dengan perspektif feminis multikultural peneliti
gunakan untuk menganalisis dan mengidentifikasi hambatan yang dihadapi
perempuan Israel dalam berpartisipasi untuk proses perdamaian Israel Palestina.
Berdasarkan kerangka konseptual dan teori yang telah dijabarkan sebelumnya,
maka dalam penelitian : Partisipasi perempuan Israel dalam proses perdamaian
Israel-Palestina, digunakan kerangka pemikiran berikut ini:

Universitas Indonesia
27

Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran

KONFLIK
ISRAEL-PALESTINA

Unit analisis:
Perempuan
Israel

Teori Hambatan yang


Perempuan sebagai Perdamaian dihadapi perempuan
Peace Makers Feminis dalam Israel untuk
perspektif berpartisipasi dalam
feminis proses perdamaian
Konsep Partisipasi multikultural Israel-Palestina
Perempuan dalam
konflik dan
perdamaian Perempuan sebagai
combatant

Note: konsep combatan tidak peneliti gunakan untuk analisis karena fokus
utama dalam tulisan ini adalah partisipasi perempuan Israel dalam proses
perdamaian sebagai peace maker , namun pembahasan menyangkut perempuan
Israel yang terlibat dalam militer tetap menjadi bagian dalam pembahasan.

Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah perempuan Israel,
secara konseptual partisipasi perempuan dalam isu perdamaian dibagi ke dalam dua
varian, yaitu sebagai peace makers dan sebagai combatant. Sub unit analisis
selanjutnya adalah perempuan Israel sebagai peace makers yang dianalisis dengan
menggunakan teori perdamaian feminis dalam perspektif feminis multikultural untuk
menemukan hambatan yang dihadapi oleh perempuan Israel untuk berpartisipasi
dalam proses perdamaian Israel-Palestina.

Universitas Indonesia
28

BAB 3
METODE PENELITIAN

Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini metode penelitian yang peneliti
gunakan adalah metode penelitian kualitatif, yaitu metode yang lebih bergantung
pada data-data lingusitik dibanding data-data numerik, dan menggunakan basis
meaning dalam analisa data.66 Disamping itu pendekatan yang peneliti pilih adalah
pendekatan kualitatif deskriptif analisis, dimana tujuan dari penelitian kualitatif
deskriptif adalah untuk menghasilkan sebuah kesimpulan yang komprehensif
mengenai kejadian spesifik yang dialami oleh individu maupun suatu kelompok.67
Penelitian deskriptif berfungsi untuk mendeskripsikan, menjelaskan dan
menginterpretasikan kondisi-kondisi kontemporer, penelitian ini fokus terhadap
kondisi, praktek, stuktur dan perbedaan atau hubungan yang ada, opini serta proses
yang sedang berlangsung atau menjadi trend pada waktu tertentu. 68 Sedangkan
penelitian deskriptif analisis tidak hanya berhenti pada deskripsi serta penjelasan
tentang kondisi semata, namun juga melibatkan proses identifikasi dan interpretasi
dari data-data yang telah dideskripsikan sebelumnya.69

3.1. Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini adalah meliputi partisipasi yang dilakukan
perempuan Israel dalam konteks proses perdamaian sebagai peace maker antara dua
negara yaitu Israel dan Palestina, seperti keterlibatan perempuan Israel dalam gerakan
perdamaian dan partisipasi perempuan dalam parlemen.

3.2. Teknik Pengumpulan Data


66
Robert Elliot, Ladislav Timulak, Descriptive and Interpretive approaches to Qualitative Research,
(Oxford: Oxford University Press, 2013) hal : 147.
67
Vickie A. Lambert, Clinton E. Lambert, Qualitative Descriptive Research : An Acceptable
Design,Journal of Nursing Research 2014, hal : 2.
68
Descriptive Research, http://www.mu.ac.in/myweb_test/Research%20Methadology-Paper-
3/Chapter-5.pdf, tanggal akses : 16 November 2014 pukul 9:45.
69
Ibid,

Universitas Indonesia
29

Data-data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini


didapatkan melalui dua cara yaitu: pertama, kajian pustaka yang umumnya
merupakan data sekunder melalui buku, artikel, jurnal ilmiah dan juga media cetak
seperti majalah dan media elektronik melalui internet. Data-data primer yang
dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh melalui situs resmi pemerintahan Israel dan
website resmi dari gerakan feminisme yang ada di Israel.
Teknik pengumpulan data yang kedua yaitu dengan wawancara kepada
beberapa koresponden terkait dengan isu partisipasi perempuan Israel dalam proses
perdamaian Israel dan Palestina via email dan linkedin, atau dengan cara lainnya
seperti skype dan video call. berikut adalah beberapa nama tokoh yang diwawancara:
1. Guy Abutbul Selinger (Dosen Kajian Manajemen Akademi) Petah, Tikva , Israel
Penulis disertasi : The Construction of ethnic Subjects among the Israeli Middle
Class. Kontak: https://www.linkedin.com/in/guy-abutbul-selinger-11b3183
2. Mary Dietz (Profesor dari Northwestern University, University of California)
Penulis buku: Current Cotroversies in Feminist Theory,
Kontak: https://www.linkeidn.com/in/mary-dietz-30177616
3. Henriette Dahan Kalev (Dosen di Program Kajian Gender, Universitas Ben
Gurion, Beer-Sheva)
Penulis: Tensions in Israeli Feminism: The Mizrahi-Askehnazi Rift
Kontak: henms@bgumail.bgu.ac.il

3.3. Metode Analisis Data


Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode analisis data kualitatif
yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1994) yang terdiri dari tiga tahap
yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.70 Berikut adalah metode
analisis data dalam konteks penelitian ini:

1. Reduksi data (data reduction)

70
Matthew B.Miles, A.Michael Huberman, Qualitatve Data Analysis, (London, New Delhi, Singapura,
Washington DC: Sage Publications : 1994) hal : 18.

Universitas Indonesia
30

Proses pengumpulan data-data mengenai partisipasi perempuan Israel dalam


proses perdamaian Israel-Palestina, baik primer maupun sekunder. Data-data
tersebut kemudian direduksi sesuai dengan batasan masalah dan unit analisis
yang telah ditetapkan dan disusun secara sistematis
2. Penyajian data (data display)
Tahap kedua merupakan tahap pengoperasian kerangka teori dan konseptual
yaitu: gender, konflik dan proses perdamaian, partisipasi perempuan dalam
konflik dan perdamaian serta pendekatan feminis multikultural dengan
menggunakan teori perdamaian. Data-data yang telah diorganisir pada tahap
pertama akan dianalisis dengan menggunakan konsep dan teori tersebut.
3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification)
Pada tahap ketiga akan didapatkan hasil mengenai partisipasi perempuan
Israel dalam proses perdamaian Israel-Palestina. Disamping itu juga bisa
diketahui hambatan apa yang dialami perempuan dalam menjalankan
fungsinya sebagai peace maker.

Berikut adalah gambaran secara jelas proses metode analisis data yang peneliti
gunakan dalam penelitian ini:
Gambar 3.1.
Flow Model of Qualitative Data Analysis Component.

Sumber : Investigating the Social World hal : 326

DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal

Universitas Indonesia
31

Arino, Maria Villellas. 2010. The Participation of Women in Peace Process the
Other Tables, ICIP WORKING PAPERS: 2010/05,
Burgess, Heidi. Peace processes, 2004. In Beyond intractabiliy, Boulder:
Conflict Research Consortium, University Colorado
Collin, Patricia Hill 1990. Black Feminist Thought: Knowledge,
Consciousness and the Politic of Empowerment, Boston: Unwin Hymann
Cockburn, Cyntia. 2007. From Where we stand: War, Womens activism and
feminist analysis, London
Dahendorf, Ralf. 1995. Class and Class Conflict in Industrial Society,
Stanford, California: Stanford University Press
Dahendrof, Ralf. 1996. Out of Utopia: Toward a Reorientation of Sociological
Analysis, American Journal of Sociology 64
Darby, John. Roger Mac Ginty, 2000. The Management of peace processes.
Ethnic and Intercommunity conflict series, Basingstoke: Macmilan
Davis, Yuval, 1997. Gender and nation. Politic and Culture, London:Sage
Dietz, Mary. 2003. Current Cotroversies in Feminist Theory, Annual review
of Political Science, 6
Dudouet, Veronique. 2008, Nonviolent Resistance and Conflict
Transformation in Power Asymmeteries, Berlin: Berghof Research Center for
Constructive Conflict Management
El- Jack, Amani. 2003. Gender and Armed Conflict Overview Report,
London: BRIDGE Development gender
Finkel, Lion. 2012. The Role of Women in Israeli-Palestinian Peace
Negotiations, The Atkin Paper Series
Finkel, Lior. 2012. The Role of women in Israeli-Palestinian Peace
Negotiation, The Atkin Paper Series March, The International Centre for the Study of
Radicalisation and Political Violence.
Fraser, Nancy. 1997. Justice Interruptus: Critical Reflection on the
Postsocialist Condition, New York: Routledge 08-409
Gillath, Nurith. 1991. Women Againts War: Parents Againts Silence: Parents
Against Silence, Haifa: Master Thesis University of Haifa
Henriette Dahan Kalev. 2001. Tensions in Israeli Feminism: The Mizrahi-
Askehnazi Rift, Womens Studies International Forum Vol 24
Jackson, Robert, Georg Serensen. 2013. Introduction to International
Relations, fifith edition, Oxford: Oxford University Press
Joyce P. Kaufman & Kristen P.Williams. 2013, Women at War, Women
Building Peace: Challenging Gender Norms, A Kumarian Press Book
Kawar, Amal. 1995. Daughter of Palestine: Leading Women of Palestinian
National Movement, New York: SUNY PRESS
Klien, Uta. 2000. Our Best Boys: the making of masculinity in Israel society,
Male Role, Masculinities and Violence: A Culture of Peace Perspective, Hamburg:
UNESCO PUBLISHING
Lubin, Orly. 2003. Gone to Soldier: Feminism and the Military in Israel, ,
London: Israel and Familiy Community,: Womens Time
Lubis, Akhyar Yusuf. 2015. Pemikiran Kritis Kontemporer: Dari teori kritis,

Universitas Indonesia
32

Culture Studies, Feminisme, Postkolonial hingga Multikulturalisme, Jakarta: Rajawali


Press
Matthew B.Miles, A.Michael Huberman. 1994. Qualitatve Data Analysis,
London, New Delhi, Singapura, Washington: Sage Publications
Peterson V.S, Runyan, Global Gender issue, Boulder CO: Westview
Robert Elliot, Ladislav Timulak. 2005. Descriptive and Interpretive approaches to
Qualitative Research, Oxford: Oxford University Press
Robert Jackson, Georg Serensen. 2013. Introduction to International
Relations, fifith edition, Oxford: Oxford University Press
Selinger. Guy Abutbul 2012. The Construction of Ethnic Subject among the
Israeli Middle Class, Dissertation The Faculty of Graduate School of Arts and
Sciences, Braindes University
Sharoni, Shimona. 2012. Gender and Conflict Transformation in
Israel/Palestine, Journal of International Womens Studies Vol 13#4 September.
Shiva, Vandana. 1988. Staying alive: Women, ecology and
Development ,London: Zed
Tickner, Ann. 2011. Gendering world politics: Issue and appraches in the
post-cold war era, (New York: Columbia University Press, 2011
Tong, Rosemarie. 2009. Feminist Tough: More Comprehensive Introduction,
Boulder Colo: Westview Press,
Vickie A. Lambert, Clinton E. Lambert. 2012, Qualitative Descriptive
Research : An Acceptable Design, Journal of Nursing Research 2014
Weber, Annete. 2006, Feminist Peace Theory, Routledge Encyclopedia on
Peace and Conflict Theory
http://www.uibk.ac.at/peacestudies/downloads/peacelibrary/feministpeace.pdf
World Economic Forum, 2016, Insight Report: The Global Gender Gap
Report 2015, World Economic Forum
Wallensteen, Peter 2007. Understanding Conflict Resolution: War, peace and
the global System, London: Sage,

Internet
Anat Maor, Women in Israel, Jewish Virtual Library Publication,
http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/isdf/text/Maor.html diakses tanggal 9
April 2016, pukul 09:00.
Descriptive Research, http://www.mu.ac.in/myweb_test/Research
%20Methadology-Paper-3/Chapter-5.pdf, tanggal akses : 16 November 2014 pukul
9:45
Sara Helman, Peace Movement in Israel, Jewish Women: A Comprehensive
Historical Encyclopedia, 2009. http://jwa.org/encyclopedia/article/peace-movements-
in-israel , tanggal akses: 27 Maret 2016, pukul 10:21 WIB.
SAGE Journal, Gender & Society,
http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/089124398012004005 , tanggal akses:
04 Maret 2017, pukul 14.54
The New Arab, International#EqualPayDay: Middle East ranks last on

Universitas Indonesia
33

Gender Equality, https://www.alaraby.co.uk/english/blog/2016/11/10/international-


equalpayday-middle-east-ranks-last-on-gender-equality, tanggal akses: 01 Maret
2017, pukul 20.00.
Women in black for justice againts war, http://www.womeninblack.org/vigils-
around-the-world/europe/israel/
tanggal akes 10 April 2016, pukul 09:48 WIB.
World Economic Forum, Global Gender Gap Report 2016: Middle East and
North Africa. http://reports.weforum.org/global-gender-gap-report-2016/middle-east-
and-north-africa/ tanggal akses 01 Maret 2017, pukul: 18.55
ABC News, What behind Escalating Violence in Israel, abcnews.go.com, 19
oktober 2015.
Association Press (AP), Israel-Gaza Ceasefire: Negotiators Look to Next
Phase for Peace, cbc.ca, 28 Agustus 2015
Association Press (AP), Vatican Recognizes state of Palestine in New Treaty,
ap.org, 13 Mei 2015
Human Right Watch, Israel/Palestine events of 2015,
https://www.hrw.org/worldreport/2016/countrychapters/israel/palestine tanggal akses:
01 Maret 2017, pukul 21.00
Human Right Watch (HRW), Palestine/Israel: Indiscriminate Palestinian
Rocket Attack, hrw.org, 9 Juli 2014
Israel Ministry of Foreign Affairs, PA Chairman Abbas Incites to Violence in
Jerusalem, mfa.gov.il, 21 September 2015
Jerusalem Post, Riots Breaks out on Jerusalem Temple Mount for Third
Straight Day, jpost.com, 15 September 2015
National Public Radio (NPR), Abbas, Rival Hamas Give reconciliation
another try, npr.org, 23 April 2014
New York Times, Netanyahu Says No to Statehoods for Palestinians,
nytimes.com, 16 Maret 2015
Washington Post, Israel presses Air Assault as Human Fires Salvo of Cross-
Border Rocket, washingtonpost.com, 8 Juli 2014

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai