Anda di halaman 1dari 6

Analisis Jurnal Penanggulangan HIV/AIDS Sensitif Gender

1. Human Immuno-Deficiency Virus/Aquired Immune Deficiensy Syndrome


(HIV/AIDS) merupakan musuh terbesar dan berbahaya di dunia ini. Segala usia, jenis
kelamin, dan berbagai golongan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama besar
untuk terjangkiti virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh tersebut. HIV/AIDS
sendiri merupakan salah satu jenis penyakit yang diakibatkan oleh perilaku seks yang
tidak sehat, seks bebas, dan lain-lain. Indonesia yang merupakan salah satu dari sekian
banyak negara yang bertekad untuk meningkatkan respon terhadap masalah HIV/AIDS
dan perempuan dengan menandatangani sejumlah komitmen global maupun regional.
Seperti pada Piagam PBB (1945), Deklarasi Universal HAM (1948) sebuah perjanjian
internasioanl yang berfokus pada permasalahan terkait perempuan, kesetaraan gender,
kesehatan, dan HAM; Seperti Deklarasi WINA dan Progam Aksi (Konferensi
Internasional tentang Populasi dan Pembangunan (ICPD, 1994) dan Deklarasi Beijing.
Berbagai respon tersebut merupakan landasan yang kuat untuk melakukan respon multi
sektoral yang lebih baik bagi perempuan dan kesetaraan gender dengan menciptakan
lingkungan yang mendukung untuk menegakkan hak-hak perempuan terkait dengan
HIV/AIDS serta memberikan fokus yang kukuh pada pendekatan pencegahan yang
menyeluruh terhadap HIV/AIDS, kesehatan seksual, reproduksi dan masalah kekerasan
terhadap Perempuan (Nasution dkk, 2013)
2. Meskipun adanya berbagai komitmen penting untuk mengedepankan dan melindungi
hak-hak dan dan kebutuhan perempuan akan tetapi epidemi HIV/AIDS terus
memperlihatkan adanya kesenjangan antara retorik dan realita. Sejak kasus penderita
HIV/AIDS pertama kali dideteksi di Indonesia pada tahun 1987 di Bali sampai sekarang
perkembangan HIV/AIDS sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Indonesia
termasuk salah satu negara di Asia yang pertumbuhan kasus HIV/AIDS relatif cepat.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh UNAIDS dalam laporannya HIV in the Asia and
The Pasific Getting to Zero pada tahun 2011. Kasus AIDS yang telah dilaporkan
pada tahun 2005 oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang telah
diagregasikan berdasarkan jenis kelamin, 80% kasus pada laki-laki, 19,5% pada
perempuan. Data tersebut apabila kita bandingkan pada laporan tentang kasus yang
sama pada tahun 2011 adalah 63,1% kasus pada laki-laki dan 34% pada perempuan.
Dari data tersebut dapat kita amati dan simpulkan adanya peningkatan yang signifikan
hanya dalam kurun waktu 6 tahun.
3. Masih signifikannya angka kasus HIV/AIDS yang kebanyakan berasal dari pihak
perempuan, dapat ditarik hipotesis bahwa penanggulangan HIV/AIDS belumlah
sensitif gender. Jika kita berbicara pada taraf global, ancaman virus HIV/AIDS untuk
kaum perempuan semakin jelas. Data kumulatif yang ditemukan penulis kasus
HIV/AIDS pada perempuan juga mengalami kenaikan yang sangat signifikan di seluruh
Indonesia. Hal ini menunjukkan sebenarnya adanya kerentanan perempuan dalam
pewabahan HIV/AIDS
4. Beberapa penelitian menunjukkan ada faktor yang menyebabkan kerentanan
perempuan terhadap HIV/AIDS yaitu:
a. Ketimpangan Gender
Yang berakibat pada ketidakmampuan perempuan dalam mengontrol perilaku
seksual suami atau pasangan seksualnya serta kurangnya pengetahuan serta akses
untuk mendapatkan informasi dan pelayanan pengobatan kesehatan seksual,
reproduksi serta HIV dan AIDS
b. Secara Biologis
Perempuan lebih rentan dibanding laki-laki. Bentuk alat reproduksi perempuan
(vagina) membuat perempuan lebih rentan tertular HIV ketika berhubungan seks
dibanding laki-laki. Perempuan juga menghadapi resiko lebih besar berkaitan
dengan kekerasan, seperti pemerkosaan. Berbagai kasus kekerasan, seperti
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) selalu dicatat dalam Catatan Tahunan
Komnas Perempuan
c. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga mempengaruhi kerentanan perempuan akan HIV dan AIDS.
Ketergantungan ekonomi perempuan menyebabkan dirinya sulit untuk mengontrol
agara dirinya tidak terinfeksi, karena perempuan tidak bisa menolak atau meminta
suaminya untuk menggunakan kondom ketika berhubungan seks. Kemiskinan juga
sering kali menjadi hal yang menyebabkan perempuan untuk melakukan pekerjaan
berisiko, bahkan menjadi pekerja seks komersial untuk memenuhi kebutuhan
ekonominya. Apalagi jika sumber daya ekonomi terputus dari laki-laki yangs secara
konstrusksi sosial adalah kepala keluarga, membuat semakin perempuan yang
terpaksa melakukan transaksi seks untuk mempertahankan hidup keluarganya.
d. Faktor Sosial dan Budaya
Yang mempengaruhi relasi timbal balik antara laki-laki dan perempuan yang tidak
setara mengakibatkan perempuan dirugikan secara sosial. Faktor budaya yang
menyebabkan perempuan patuh pada fungsi sosial yang merupakan hasil budaya
yang tidak berpihak pada perempuan seperti yang berkaitan misalnya seks yang
secara stereotipikal dianggap tabu untuk dibicarakan
5. Kerentanan perempuan terhadap HIV/AIDS sangat berdampak pada peningkatan kasus
penularan HIV/AIDS terhadap perempuan dan juga kepada bayi. Penularan HIV dari
ibu ke bayinya, dapat terjadi melalui proses kehamilan, kelahiran, dan menyusui
(Kemeneg. PP dan PA, 2008). Upaya mencegah penularan HIV dan AIDS dari ibu ke
bayinya yang dikenal dengan Prevention To Mother To Child Transmission (PMCT)
merupaka strategi yang efektif dan mencakup spektrum yang luas, tidak hanya kepada
ibu rumah tangga, namun juga kepada perempuan pekerja seks, perempuan pengguna
narkoba suntik, buruh migran dan lain sebagainya dengan memperhatikan HAM dan
layanan yangs sensitif gender (Kemenkes, 2009)
6. Layaan PMCT terdiri dari 4 tiang strategis, yaitu:
a. Mencegah terjadinya penularan HIV kepada perempuan usia produktif
b. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif
c. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang
dikandungnya
d. Memberikan dukungan secara psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu HIV
positif beserta bayi dan keluarganya

Namun sayangnya Rumah Sakit yang memberikan layanan PMCT belum semua
melakukan penatalaksanakan medis dan manajemen yang baik kepada perempuan
terinfeksi HIV meski Rumah Sakit berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu, anti-diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan
pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.

7. Konsekuensi lebih lanjut dari keikutsertaan Indonesia dalam penandatangan komitmen


global adalah perlunya keterlibatan dan dukungan daerah melalui Pemerintah Kota
maupun Kabupaten. Apabila pemerintah daerah tidak ambil bagian dalam usaha
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS tentu saja akan berimplikasi pada
meluasnya penyebaran HIV/AIDS secara nasional. Bentuk pelayanan yang diberikan
merupakan layanan yang paripurna, mulai dari promotif (agar anggota masyarakat
mempunyai pengetahuan cukup mengenai HIV/AIDS dan IMS sehingga masyarakat
mampu mencegah agar tidak tertular atau menularkan dari/kepada orang lain dan
mampu berperilaku sehat), preventif (misalnya adanya Komunikasi, Informasi dan
Edukasi, Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak), kuratif (layanan ini merupakan
layanan manajemen kasus untuk orang yang sudah terinfeksi HIV, TB, atau IMS baik
itu berupa deteksi penyakit, perawatan untuk kondisi yang akut atau yang sudah kronik)
dan rehabilitatif). Pelaku pelayanan komprehensif berkesinambungan adalah inidividu
atau orang dengan HIV/AIDS (Odha); Orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Ohidha);
keluarga; teman; anggota atau warga masyarakat yang peduli HIV/AIDS; lembaga
pemerintah, lembaga non pemerintah; dan pihak swasta yang peduli HIV/AIDS
(Demartoto dkk, 2013)
8. Di dalam jurnal tersebut juga dijelaskan bahwa komitmen pemerintah Kabupaten/Kota
terhadap penanggulangan HIV/AIDS masih lemah. Hal ini didasari beberapa faktor
yaitu:
1.1.Masih lekatnya budaya patrimonial dalam birokrasi daerah (termasuk Dinkes)
1.2.Kekaburan penataan kewenangan dan urusan kesehatan antara pusat (Kemenkes)
dan daerah
1.3.Lemahnya kapasitas aparat dalam perencanaan kesehatan di daerah
1.4.Lokawisata andalan yang potensial dalam meningkatkan PAD dipandang semakin
penting di era otonomi daerah (faktor ekonomi)
1.5.Persepsi penanganan penderita HIV/AIDS masig tergantung pada jumlah kasus
1.6.Kekurangpedulian masyarakat termasuk DPRD dalam penanganan HIV/AIDS
1.7.Kesulitan teknis yang dialami Dinkes dalam pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS disebabkan sulitnya mendeteksi dan mengintervensi para tamu yang
datang ke lokalisasi dalam hal pemeliharaan kesehatan reproduksi
9. Selama ini, usaha dalam menganggulangi penyebaran HIV/AIDS telah berkembang
menjadi bias gender karena munculnya stereotip yang menunjuk pada profesi atau
bahkan jenis kelamin tertentu sebagai sumber penularannya. Terlepas dari
kecenderungan tersebut, kaum perempuan memang rentan terhadap HIV/AIDS yang
disebabkan karena faktor secara biologisnya yang memungkinkan mudahnya tertular
virus HIV/AIDS dan adanya ketidakmampuan perempuan untuk mengontrol agar tidak
terinfeksi oleh kaum pria dan karena faktor secara emosionalnya yang terkadang
menyulitkan kaum perempuan untuk melihat bahwa ia perlu bertidak dan bahwa ia
dapat bertindak untuk mengamankan dirinya dari resiko tertular HIV/AIDS. Upaya
pencegahanHIV/AIDS sering kali juga tidak sensitif gender. Hal itu tampak pada upaya
pencegahan dan penanggulangannya yang seirama dengan stereotip yang menunjuk
pada PSK sebagai sumber penularan penyakit tersebut.
10. Dari pemaparan hasil jurnal diatas menunjukkan bahwa permasalahan atau ancaman
HIV/AIDS yang tidak terkendali serta pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
yang selama ini bias gender dapat berdampak pada aspek sosial ekonomi, kesehatan
maupun kesehajteraan masyarakat. Dampak jangka panjang yang berupa meningkatnya
keresahan di bidang sosial dan politik, bertambahnya kemiskinan, disintegrasi sosial,
keruntuhan aspirasi dan terganggunya ekonomi menegaskan bahwa pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS yang sensitif gender sangat penting dan mendesak demi
mencegah kerugian besar yang dialami oleh manusia khususnya kaum perempuan
11. Oleh karena itu disetiap kebijakan penanggulangan dan pecegahan yang dilakukan oleh
pemerintah haruslah sensitif akan gender. Ada 4 unsur organisasi dikatakan sensitif
gender yaitu:
a. Strategi, meliputi sasaran-sasaran organisasi dan cara-cara yang ditempuh untuk
mencapainya
b. Struktur, meliputi pengelompokan dan pembagian tugas-tugas, wewenang serta
tanggung jawab; posisi relatif dan hubungan-hubungan formal antar anggotanya
c. Sistem, meliputi syarat-syarat dan kesepakatan-kesepakatan yang berkaitan dengan
tata cara (informasi, komunikasi, dan pembuatan keputusan) serta aliran sumber
daya (uang dan barang), serta
d. Budaya meliputi perpaduan atau penjumlahan pendapat-pendapat perorangan, nilai-
nilai yang dianut bersama, dan norma-norma yang diikuti oleh para anggotanya

Oleh karena itu apabila permasalahan gender dapat diintegrasikan ke dalam 4 unsur
diatas serta ada upaya serius mengubah arus-arus utama organisasi agar lebih responsif
dan sensitif gender maka sebuah organisasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang
responsif dan sensitif gender (Macdonald dkk, 1999)
TUGAS

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BERPERSPEKTIF GENDER

DISUSUN OLEH:

Muhaimin Anashir Nasuha (D0112060)

ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2014

Anda mungkin juga menyukai