Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PEKERJAAN RUMAH (PR)

Diajukan Oleh:
Bayu Hendro Wibowo, S.Ked
J510 165 073

Pembimbing :
dr. Eva Musdalifah,Sp.A, M.Kes

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
A. Kejang Demam
1. Pengobatan Intermiten
a. Indikasi
- Pasien pos kejang dengan demam suhu >38C
- Kejang demam terjadi pada usis kurang dari 12 bulan.
- ang lama > 15 menit.

b. Dosis Obat
- Diazepam 0.1-0.3 mg/kgbb

2. Mantanance
a. Indikasi
- Kejang lama > 15 menit.
- Kelainan neurologis yang nyata slum atau setelah kejang.
- Kejang fokal.
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam.
- Kejang demam terjadi pada usis kurang dari 12 bulan.
- Kejang demam 4 kali dalam setahun.

b. Obat
- Fenorbarbital (dosis 3-4 mg/kgbb/hari dibagi 1-2 dosis)
- Asam valproate (dosis 15-40 mg/kgbb/hari dibagi 2-3 dosis)

Sumber: Delina, Melda. 2002. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari
Pediatri. Vol. 4 (2), p: 59 62.

B. Diare Pada Anak


1. Klasifikasi Diare
a. Diare Akut
Diare akut adalah kumpulan gejala diare berupa defikasi dengan
tinja cair atau lunak dengan atau tanpa darah atau lendir dengan
frekuensi 3x atau lebih per hari dan berlangsung kurang dari 14
hari dan frekuensi kurang dari 4x per bulan.

b. Diare Persistenn
Dikatakan diare Persisten bila diare berlangsung dari 14 30 hari.

c. Diare Kronik
Dikatakan diare kronik bila diare berlangsung lebih dari lebih dari
30 hari.
2. Penyebab, Tanda dan Gejala Diare
ETIOLOGI DIARE TANDA DAN GEJALA TATALAKSANA
Bakteri :
- Enterotoxigenic E. coli
(ETEC), Fasces cair dan masih terdapat
Lintas diare.
- Enteropatho-genic E. coli ampas. Pada jenis disentri biasanya
(Antibiotik selektif
(EPEC), terdapat lendir akibat invasi bakteri
diberikan jika tanda
- Enteroaggregative E. coli terhadap pili intestinal dan juga
dan gejala memang
(EAggEC), ditemukan adanya darah akibat
jelas sperti :
- Enteroinvasive E. coli invasi bakteri ke dalam mukosa usus
kotrimoksasol 6-10
(EIEC), intestinal. Pada jenies colera
mg/kgbb/hari dibagi
- Enterohemorrhagic E. coli biasanya fasces berbentuk seperti air
dalam 2 dosis
(EHEC), cucian beras akibad rangsangan
Sefixime 1.5-3
- Shigella spp prosuksi klorid dan HCO3 yang
mg/kgbb/kali
- Campylobacter jejuni berlebihan, selain itu fasces juga
diberikan 2 kali
(Helicobacter jejuni), berbau amis. Pada fasces biasanya
sehari).
- Vibrio cholera terdapat bakteri.
- Salmonella (non-thypoid).

Virus :
- Rotavirus serotype 1, 2, 8,
dan 9 pada manusia,
Fasces biasanya lebih cair dan sering
- Norwalk virus, Lintas diare. (self
merembas bahkan tanpa ampas. Hal
- Astrovirus, limitited tanpa
ini dikarenakan bakteri tidak
- Adenovirus (tipe 40, 41), diberikan antivirus).
menginvasi mukosa usus.
- Small bowel structured virus,
- Cytomegalovirus.

Parasit : Lintas diare.


- Giardia lamblia Fasces biasanya berdarah (Antiparasit selektif
- Entamoeba histolytica dikarenakan invasi parasite ke dalam diberikan jika tanda
- Cryptosporidium mukosa intestinal. Biasanya darah dan gejala memang
- Microsporidium spp. lebih banyak dibandingkan dengan jelas sperti :
- Isospora belli penyebab baklteri. Pada fasces Metronidazole 50
- Cyclospora cayatanensis. biasanya terdapat parasite. mg/kgbb/hari dibagi
dalam 3 dosi).
Fasces cair karena penempelan jamur
Lintas diare. (tidak
pada pili intestinal tanpa invasi
Jamur perlu diberikan anti
sehingga tidak terdapat lender dan
jamur).
darah.
Diare bersifat cair akibat kandungan Lintas diare. (hindari
Alersi susu sapi laktosa pada susu tidak dapat dipecah susu atau makanan
karen sedikitnya enzim lactase. berlaktosa).

Sumber : Amin, Lukman.Z. 2015. Tatalaksana Diare Akut. Continuing Medical


Education. Vol 42 (7), p: 504-508.
C. Infeksi Tuberkulosis
1. Tb Paru dengan Kelainan Hati
- Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan
- Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
- Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6
RH atau 2 SHE/10 HE
- Pada pasien hepatitis akut dan atau klinis ikterik , sebaiknya OAT
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada
keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3
bulan sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
- Sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru

2. Hepatitis Imbas Obat


- Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat
penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis).
- Penatalaksanaan:
Bila klinis (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) OAT
Stop
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali OAT stop
Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
- Bilirubin > 2 OAT Stop
- SGOT, SGPT 5 kali OAT Stop
- SGOT, SGPT 3 kali, gejala (+) OAT Stop
- SGOT, SGPT 3 kali, gejala (-) Teruskan pengobatan
dengan pegawasan.
- Panduan OAT yang dianjurkan :
Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
Setelah itu, monitor klinis dan laboratorium. Bila
klinis dan laboratorium kembali normal (bilirubin,
SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH)
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300
mg). Selama itu perhatikan klinis dan periksa
laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinis dan
laboratorium kembali normal, tambahkan rifampisin,
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai
berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES
Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

Sumber: PDPI. 2014. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis


Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
D. Pengobatan Asma pada Anak
1. Obat Reliever
Obat reliever bekerja cepat untuk menghilangkan bronkokonstriksi
dan gejala akut lain yang menyertai. Yang termasuk dalam golongan
ini adalah inhalasi beta2-agonis short acting, kortikosteroid sistemik,
antikolinergik inhalasi, teofilin short acting dan beta2-agonis oral short
acting.
a. Beta2-Agonis Inhalasi Short Acting
Seperti beta2-agonis yang lain, obat ini menyebabkan
relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan klirens
mukosilier, mengurangi permeabilitas vaskuler dan mengatur
pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Merupakan obat
pilihan untuk asma eksaserbasi akut dan pencegahan exercise
induced asthma. Juga dipakai untuk mengontrol bronkokonstriksi
episodik. Pemakaian obat ini untuk pengobatan asma jangka
panjang tidak dapat mengontrol gejala asma secara memadai, juga
terhadap variabilitas peak flow atau hiperrespon saluran nafas.
Hal ini juga dapat menyebabkan perburukan asma dan
meningkatkan kebutuhan obat antiinflamasi.

b. Kortikosteroid Sistemik
Walaupun onset dari obat ini adalah 4-6 jam, obat ini
penting untuk mengobati eksaserbasi akut yang berat karena dapat
mencegah memburuknya eksaserbasi asma, menurunkan angka
masuk UGD atau rumah sakit, mencegah relaps setelah
kunjungan ke UGD dan menurunkan morbiditas.Terapi oral lebih
dipilih, dan biasanya dilanjutkan 3-10 hari mengikuti pengobatan
lain dari eksaserbasi. Diberikan 30 mg prednisolon tiap hari untuk
5-10 hari tergantung derajad eksaserbasi. Bila asma membaik,
obat bisa dihentikan atau ditappering.

c. Antikolinergik
Obat antikolinergik inhalasi (ipratropium bromida,
oxitropium bromida) adalah bronkodilator yang memblokade
jalur eferen vagal postganglion. Obat ini menyebabkan
bronkodilatasi dengan cara mengurangi tonus vagal intrinsik
saluran nafas. Juga memblokade refleks bronkokonstriksi yang
disebabkan iritan inhalasi. Obat ini mengurangi reaksi alergi fase
dini dan lambat juga reaksi setelah exercise. Dibanding beta2-
agonis, kemampuan bronkodilatornya lebih lemah, juga
mempunyai onset kerja yang lambat (30-60 menit untuk mencapai
efek maksimum). Efek sampingnya adalah menyebabkan mulut
kering dan rasa tidak enak.

d. Teofilin Short Acting


Aminofilin atau teofilin short acting tidak efektif untuk
mengontrol gejala asma persisten karena fluktuasi yang besar
didalam konsentrasi teofilin serum. Obat ini dapat diberikan pada
pencegahan exercise induced asthma dan menghilangkan
gejalanya. Perannya dalam eksaserbasi masih kontroversi. Pada
pemberian beta2-agonis yang efektif, obat ini tidak memberi
keuntungan dalam bronkodilatasi, tapi berguna untuk
meningkatkan respiratory drive atau memperbaiki fungsi otot
respirasi dan memperpanjang respon otot polos terhadap beta2-
agonis short acting.

e. Beta2-Agonis Oral Short Acting


Merupakan bronkodilator yang merelaksasi otot polos
saluran nafas. Dapat dipakai pada pasien yang tidak dapat
menggunakan obat inhalasi.

2. Obat Controler
Controller adalah obat yang diminum harian dan jangka panjang
dengan tujuan untuk mencapai dan menjaga asma persisten yang
terkontrol. Terdiri dari obat antiinflamasi dan bronkodilator long
acting. Kortikosteroid inhalasi merupakan controller yang paling
efektif. Obat controller juga sering disebut sebagai obat profilaksis,
preventif atau maintenance. Obat controller termasuk Kortikosteroid
inhalasi, Kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat dan sodium
nedokromil, teofilin lepas lambat, beta2-agonist long acting inhalasi
dan oral, dan mungkin ketotifen atau antialergi oral lain.

a. Kortikosteroid
Rute pemberian bisa secara inhalasi ataupun sistemik (oral
atau parenteral). Mekanisme aksi antiinflamasi dari
kortikosteroid belum diketahui secara pasti. Dosis tinggi dan
jangka panjang kortikosteroid inhalasi bermanfaat untuk
pengobatan asma persisten berat karena dapat menurunkan
pemakaian koetikosteroid oral jangka panjang dan mengurangi
efek samping sistemik.
Untuk kortikosteroid sistemik, pemberian oral lebih aman
dibanding parenteral. Jika kortikosteroid oral akan diberikan
secara jangka panjang, harus diperhatikan mengenai efek
samping sistemiknya. Prednison, prednisolon dan
metilprednisolon adalah kortikosteroid oral pilihan karena
mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh yang
relatif pendek dan efek yang ringan terhadap otot bergaris.
Efek samping lokal kortikosteroid inhalasi adalah
kandidiasis orofaring, disfonia dan kadang batuk. Efek samping
sistemik tergantung dari potensi, bioavailabilitas, absorpsi di
usus, metabolisme di hepar dan waktu paruhnya. Beberapa studi
menyatakan bahwa dosis diatas 1 mg perhari beclometason
dipropionat atau budesonid atau dosis ekuivalen kortikosteroid
lain, berhubungan dengan efek sistemik termasuk penebalan
kulit dan mudah luka, supresi adrenal dan penurunan
metabolisme tulang.
Global Initiative For Asthma (GINA) memberikan
petunjuk pemakaian kortikosteroid untuk pencegahan jangka
panjang berdasarkan beratnya asma pada orang dewasa sebagai
berikut:
i. Asma dengan serangan intermitten (step 1) tidak
memerlukan steroid preventif, bila perlu dapat dipakai
steroid oral jangka pendek.
ii. Asma persisten ringan (step 2) memerlukan inhalasi 200-
400 mcg/hari beclometason dipropionat, budesonid atau
ekuivalennya.
iii. Asma persisten sedang (step 3) memerlukan inhalasi 800-
2000 mcg/hari
iv. Asma persisten berat (step 4) memerlukan 800-2000
mcg/hari atau lebih

Sesuai dengan anjuran ini, pengobatan dengan dosis


maksimal (800-1500 mcg/hari) selama 1-2 minggu diperlukan
untuk mengendalikan proses inflamasi secara cepat, dan
kemudian dosis diturunkan sampai dosis terendah (200-800
mcg/hari) yang masih dapat mengendalikan penyakit.

b. Sodium Kromoglikat dan Sodium Nedokromil


Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan
mekanisme kerja yang pasti belum diketahui. Obat ini terutama
menghambat pelepasan mediator yang dimediasi oleh IgE dari
sel mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel
inflamasi yang lain (makrofag, eosinofil, monosit). Obat ini
diberikan untuk pencegahan karena dapat menghambat reaksi
asma segera dan reaksi asma lambat akibat rangsangan alergen,
latihan, udara dingin dan sulfur dioksida. Pemberian jangka
panjang menyebabkan penurunan nyata dari jumlah eosinofil
pada cairan BAL dan penurunan hiperrespon bronkus
nonspesifik. Bisa digunakan jangka panjang setelah asma
timbul, dan akan menurunkan gejala dan frekuensi eksaserbasi.
Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10
kali lebih besar dibanding sodium kromoglikat. Walau belum
jelas betul, nedokromil menghambat aktivasi dan pelepasan
mediator dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai pencegahan
begitu asma timbul.

c. Teofilin Lepas Lambat


Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek
ekstrapulmonar, termasuk efek antiinflamasi. Teofilin secara
bermakna menghambat reaksi asma segera dan lambat segera
setelah paparan dengan alergen. Beberapa studi mendapatkan
teofilin berpengaruh baik terhadap inflamasi kronis pada asma.
Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai
pada penatalaksanaan asma. Mekanisme kerja teofilin sebagai
bronkodilator masih belum diketahui, tetapi mungkin karena
teofilin menyebabkan hambatan terhadap phospodiesterase
(PDE) isoenzim PDE IV, yang berakibat peningkatan cyclic
AMP yang akan menyebabkan bronkodilatasi. Banyak studi
klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan
teofilin lepas lambat efektif dalam mengontrol gejala asma dan
memperbaiki fungsi paru. Karena mempunyai masa kerja yang
panjang, obat ini berguna untuk mengontrol gejala nokturnal
yang menetap walaupun telah diberikan obat antiinflamasi.
Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat
melibatkan banyak sistem organ yang berlainan. Gejala
gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang
paling sering. Pada anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang
bahkan kematian. Efek kardiopulmoner adalah takikardi,
aritmia dan terkadang stimulasi pusat pernafasan. Dosis
golongan methyl xantine adalah 5 mg/Kg BB dalam 10-15
menit untuk loading dose dan 20 mg/Kg BB/24 jam untuk dosis
pemeliharaan dengan dosis maksimum 1500 mg/24 jam.
Adapun therapeutic dose adalah 10-20 g/dl.

d. Beta2-Agonis Long Acting


Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol
yang mempunyai durasi kerja panjang lebih dari 12 jam. Cara
kerja obat beta2-agonis adalah melalui aktivasi reseptor beta2-
adrenergik yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase yang
meningkatkan konsentrasi siklik AMP . Beta2-agonis long
acting inhalasi menyebabkan relaksasi otot polos saluran nafas,
meningkatkan klirens mukosiliar, menurunkan permeabilitas
vaskuler dan dapat mengatur pelepasan mediator dari sel mast
dan basofil. Juga menghambat reaksi asma segera dan lambat
setelah terjadi induksi oleh alergen, dan menghambat
peningkatan respon saluran nafas akibat induksi histamin.
Walaupun posisi beta2-agonis inhalasi long acting masih belum
ditetapkan pasti dalam penatalaksanaan asma, studi klinis
mendapatkan bahwa pengobatan kronis dengan obat ini dapat
memperbaiki skor gejala, menurunkan kejadian asma
nokturnal, memperbaiki fungsi paru dan mengurangi
pemakaian beta2-agonis inhalasi short acting. Efek sampingnya
adalah stimulasi kardiovaskuler, tremor otot skeletal dan
hipokalemi.

e. Reseptor Leukotrien Antagonis


Adalah suatu reseptor peptida leukotrien antagonis
(LTRA) dengan nama kimia 4-(5-cyclopentyloxy-
carbonylamino-1-mathyl-indol-3l methylll) -3-methoxy-N-o-
tolysulfonylbenzizamide, dengan berat molekul 575,7 dengan
rumus empiriknya C31H33N3O6S. Dibuat secara sintetis dengan
nama Zafirlikast. LTRA adalah suatu reseptor leukotrien (LTD4
dan LTE4) antagonis yang selektif dan kompetitif, dimana
LTD4 dan LTE4 adalah komponen dari SRS-A yang berperan
besar terhadap patofisiologi terjadinya serangan asma yang
menimbulkan bronkokonstriksi, udema saluran nafas, kontraksi
otot polos dan aktivasi sel-sel radang sehingga terbentuk
mediator inflamasi yang menimbulkan keluhan pada penderita
asma. Penderita asma mempunyai kepekaan terhadap LTD4 25
sampai 100 kali disbanding orang normal. Diserap cepat bila
diberikan peroral, konsentrasi dalam darah mencapai puncak
setelah 3 jam, 99% terikat pada albumin, disekresi lewat feses
setelah melewati proses enzimatik pada jalur cytocrome P450
2c9 (CYP2C9). Waktu paruhnya 8-16 jam, pada penderita
dengan gangguan faal hati, waktu paruhnya menjadi lebih
panjang. LTRA pada penderita asma dapat digunakan sebagai
obat asma dan pencegahan asma.

Sumber: Syarifudin, Koentjahja. 2001. KORTIKOSTEROID PADA ASMA


KRONIS. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: Universitas Brawijaya

Anda mungkin juga menyukai