Anda di halaman 1dari 8

NAMA : WINDRI SUCI GAITARI

NIM : 17033170

Baru-baru ini Panglima TNI Jend. Gatot Nurmantyo menyerukan nonton bareng film G30S/PKI.
Jelaskan pengalaman Anda dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut:

1. Pernahkah Anda menonton film tersebut sebelumnya?

Jawab : pernah, sewaktu saya SMA dan saya rasa itu bukan yang dianjurkan oleh Jend.
Gatot Nurmantyo karna saat itu saya menonton dengan guru sejarah saya.

2. Adakah anjuran menonton film tersebut di lingkungan Anda (rumah, kos, kampus)?

Jawab : Tidak

3. Apakah Anda mengikuti anjuran menonton film G30S/PKI? Apabila iya, jelaskan
pendapat jujur Anda tentang film tersebut. Jika tidak, jelaskan mengapa Anda tidak
menonton.

Jawab : Tidak, karna saya nge-kos dan tidak ada tv

4. Jelaskan mengapa seruan untuk menonton film G30S/PKI menuai kontroversi

Jawab : menurut yang saya baca kontroversi seputar film Pengkhianatan G-30 S/PKI pun
menyeruak hingga kini. Mulai dari kebenaran film itu sebagai sebuah penggalan sejarah bangsa,
kemudian menyulut pada bisa atau tidaknya film itu diputar lagi menjelang tanggal 30
September tahun ini.

Banyak alasan yang berseliweran di seputar pemutaran film, dan esensi dari film itu sendiri; ada
yang mengatakan film itu lebih banyak fiksinya dimana lewat film itu, Orde Baru ingin
menegakkan eksistensinya. Sebagai film dokumenter yang menggambarkan sebuah fakta sejarah,
tidak pas sehingga perlu diputar lagi film tersebut.

Tetapi, tidak sedikit juga yang mendukung kebenaran historis dalam film itu, sehingga tidak
perlu dilarang pemutarannnya. Kalaupun banyak penyimpangan, toh banyak pula kebenarannya,
sehingga tidak perlu dilarang pemutarannya.

Sikap Panglima TNI Gatot Nurmantyo


Di tengah kontroversi seputar pemutaran film tersebut, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
mengatakan bahwa acara nonton bareng itu adalah perintahnya. Perintah itu disampaikan oleh
Panglima TNI Gatot dalam sebua kesempatan dan dikutip banyak media.

Seperti dilansir oleh banyak media, sang Panglima Gatot menegaskan, "Saya nggak mau
berpolemik. Ini juga upaya meluruskan sejarah. Saya hanya ingin menunjukkan fakta yang
terjadi saat itu. Karena anak-anak saya, prajurit saya, masih banyak yang tidak tahu.

Selain itu, juru bicara TNI, Mayjen Wuryanto, meyakini cerita dalam film itu berdasarkan fakta
dan memastikan akan ditayangkan serentak di seluruh kantor dan markas TNI pada 30
September mendatang.

"Pembuatan (film) itu kan tentunya melibatkan pakar sejarah, pelaku sejarah dan semuanya yang
berkaitan dengan peristiwa itu. Tidak mungkin pembuatan film itu ujug-ujug (tiba-tiba)," kata
Wuryanto pada BBC Indonesia

Yang jelas bahwa film Gerakan 30 September yang dibuat atas inisiatif pemerintah Orde Baru itu
telah dihentikan penayangan wajibnya di televisi nasional sejak Orde Baru berakhir pada 1998
karena dinilai hanya memuat cerita versi Orde Baru.

5. Di media massa, terdapat berbagai pendapat mengenai siapa aktor di balik G30S.
Jelaskan berbagai versi tersebut, bandingkan dengan pelajaran yang Anda dapatkan di
sekolah.

Jawab :

Menurut dari sumber buku yang saya pelajari bahwa yang menjadi dalang utama pembataian
pada tahun 1965 adalah D.N Aidit karna dia salah satu tokoh PKI pada masa itu. Namun, guru
saya juga pernah bilang bahwa yang menjadi dalangnya adalah Soeharto, dimana saat
penumpasan PKI ia mengetahui bahwa tokoh PKI menuju Halim Perdana Kusuma dan Soeharto
menjadi pahlawan saat itu. Dalam logikanya bagaimana Soeharto tau bahwa tokoh tersebut bakal
disana dan apa yang guru saya sampaikan juga masuk akal. karna tidak lama setelah itu Soeharto
berhasil menjadi presiden karna adanya surat sebelas maret yang sampai sekarang juga tidak
diketahui kebenarannya. Lalu ada yang mengatakan bahwa Soekarno lah dalangnya karna dia
tidak bertindak saat pemberontakan itu terjadi dan menurut yang saya baca Syam
Kamaruzzaman. Syam yang mengatur strategi dan melaporkan kepada D.N Aidit. Itulah
mengapa dilapangan peran Aidit tidak nampak sekali. Dalam gerakan tersebut ada beberapa
nama yang sangat berperan sekali yaitu dari pihak sipil Syam kamaruzzaman, Pono dan Bono
sedangkan dari pihak militer Mayor Sujono, Kol. Latif dan Letkol. Untung. Pada akhirnya baru
ketahuan bahwa Syam ternyata Double Agent. Syam ternyata juga adalah agen CIA. Jadi dalam
hal ini Aidit telah menjadi korban anak buahnya sendiri. Tak disangka dalam tubuh PKI sendiri
ada infiltrasi yang dilakukan oleh CIA seperti juga di Angkatan Darat. Nah jadi banyak versi
mengenai siapa dalangnya, dan dari sumber tersebut mengarah bahwa Syam Kamaruzzman lah
pelakunya.
6. Apa yang Anda ketahui tentang pembantaian massal 1965-1966? Apa yang dimaksud
negara perlu meminta maaf atas pembantaian massal 1965?" (Anda dapat menonton
Indonesia Lawyers Club tentang G30S di internet).

Jawab :
PERISTIWA pembunuhan massal terhadap anggota, dan simpatisan Partai Komunis Indonesia
(PKI) sejak 1965-1966, merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar yang terjadi di dunia,
pada abad ke-20.

Korban pembunuhan massal ini jauh lebih besar dari jumlah penduduk Hiroshima dan Nagasaki
yang tewas terkena serangan bom atom Amerika Serikat (AS), dan perang Vietnam yang terjadi
bertahun-tahun.

Hingga kini, tidak ada kepastian berapa jumlah korban pembunuhan itu. Mulai dari yang paling
kecil 78.000 jiwa, hingga yang sedang antara 500.000-600.000 jiwa, dan yang tertinggi mencapai
angka tiga juta jiwa.

Menurut Hermawan Sulistyo, dalam bukunya Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian
Massal yang Terlupakan kasus Jombang-Kediri 1965-1966, perkiraan jumlah korban memiliki
muatan politiknya sendiri.

Keterangan ini diperkuat dengan tidak adanya statistik jumlah penduduk di tingkat lokal maupun
nasional, sebelum dan sesudah terjadinya pembunuhan tersebut. Sehingga, tidak ada data yang
dapat dipercaya.

Anak Marhaen (AM) Hanafi dalam bukunya AM Hanafi Menggugat, Kudeta Jenderal Soeharto
dari Gestapu ke Supersemar, membenarkan muatan politik dalam penentuan jumlah korban
pembunuhan itu. Menurutnya, sejak awal jumlah korban pembunuhan massal itu telah
dimanipulasi.

Data resmi pemerintah yang menyebut angka korban 78.000 jiwa, sebenarnya merupakan hasil
manipulasi rezim Orde Lama. Angka itu, sengaja dipolitisi untuk menyelamatkan nama baik
Presiden Soekarno, di mata para pemimpin dunia. Manipulasi data ini, kemudian dibongkar
setelah 30 tahun lebih dipendam rapat-rapat oleh Hanafi.

Dia menjelaskan, saat terjadi kudeta Letnan Kolonel Untung terhadap kelompok Dewan Jenderal
yang menewaskan tujuh orang pimpinan Angkatan Darat (AD), dia menjabat Duta Besar
Indonesia untuk Kuba.

Peran Hanafi dalam menjalin kerja sama dengan negara-negara Amerika Latin dianggap sangat
penting. Puncak keberhasilan dari kerja sama itu adalah dilangsungkannya Konfrensi Asia-
Afrika-Amerika Latin, di Kuba.
Tiga bulan sebelum konferensi itu digelar, pada 1 Januari 1966, dua orang pimpinan Komisi
Peneliti Korban Gestapu Mayor Jenderal Sumarno dan Menteri Negara Oei Tjoe Tat, bertemu
dengan Soekarno.

Mereka ingin melaporkan temuan tim di lapangan terkait jumlah korban pembunuhan massal
selama tiga bulan pertama, di Sumatera, Jawa, dan Bali. Angka yang berhasil didapatkan saat itu
adalah satu juta jiwa lebih.

Mendengar laporan tim, Soekarno dan sejumlah menteri yang ada saat itu sangat kaget. Mereka
tidak pernah menyangka dan membayangkan, korban pembunuhan massal itu mencapai angka
jutaan lebih.

Saat laporan tim berlangsung, Hanafi yang merangkap jabatan Menteri Petera sedang bersama
Soekarno. Dia menegaskan, laporan tim belum final. Sebab, tim baru tiga bulan bekerja, sejak
Oktober-Desember 1965.
Sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kuba yang diminta mengikuti Konfrensi Asia-Afrika-
Amerika Latin, pada 1 Januari 1966, dirinya tidak bisa menerima angka itu. Dia lalu
mengusulkan angka 78.000 jiwa.

"Kasihkan saja jumlah 78.000 orang akibat Gestapu," kata Hanafi, dalam bukunya, halaman 113.
Usul Hanafi itu langsung disetujui Presiden Soekarno, yang dilanjutkan dengan perintah segera
disebar ke media.

"Silakan Menteri Oei temui wartawan-wartawan itu dan berikan jumlah 78.000 itu saja. Bilang
juga, Presiden tidak bisa menjumpai wartawan, karena sibuk sekali," sambung Soekarno, masih
di halaman yang sama.

Berdasarkan kesepakatan politis itu lah, hingga kini total korban tewas dalam peristiwa
pembunuhan massal tercatat 78.000 jiwa. Padahal, jumlah korban yang sebenarnya mencapai
satu juta jiwa lebih.

Setelah tiga bulan penelitian itu, aksi pembunuhan massal terhadap anggota, dan simpatisan PKI
masih terus dilakukan di daerah. Bahkan tak terkendali lagi. Korban tewas pun semakin banyak
berjatuhan.

Dalam pidatonya, pada 18 Desember 1966, dengan getir Soekarno menggambarkan kekejaman
pembunuhan massal tersebut.

"Jenazah-jenazah Pemuda Rakyat, BTI, dan orang-orang PKI, atau para simpatisan PKI yang
disembelih, dibiarkan saja di pinggir jalan, di bawah pohon, dan dihancurkan. Tidak ada yang
mengurusnya," katanya.
Operasi pembunuhan massal, pertama dilakukan di Jawa Tengah, yang saat itu menjadi basis
massa PKI. Menyusul kemudian Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
dan daerah lainnya.

Pembunuhan oleh tentara di Jawa Tengah, tertulis dalam "Memorandum Intelijen CIA,
Indonesian Army Attitudes Toward Cummunism". Dalam dokumen itu disebut, tentara
menembaki anggota, dan simpatisan PKI.

"Anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan dan ditawan oleh tentara. Di Jawa Tengah, pengikut
PKI dilaporkan ditembak di tempat. Tentara sangat mempertaruhkan prestise dan masa depan
politiknya," tulisnya.

Selain melakukan pembunuhan-pembunuhan secara langsung, tentara juga menggerakan, dan


mengkoordinir kelompok sipil untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap anggota
dan simpatisan PKI.

Namun, keterlibatan tentara secara langsung dalam tragedi itu dibantah oleh Soeharto. Dalam
pidatonya tahun 1971, Soeharto mengatakan, aksi pembunuhan massal itu dilakukan massa
rakyat secara sporadis.

"Ribuan rakyat jatuh di daerah-daerah, karena rakyat bertindak sendiri-sendiri. Juga karena
prasangka buruk antar golongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktik politik
yang sempit," jelasnya.

Sebaliknya, John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30


September dan Kudeta Suharto menyatakan, rakyat yang melakukan pembunuhan massal
tersebut sudah dilatih tentara.

"Orang-orang sipil yang terlibat dalam pembunuhan, apakah di Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, dan daerah lainnya, pada umumnya anggota milisi yang sudah dilatih oleh
militer," ungkapnya, pada halaman 37.

Para rakyat ini, mendapatkan senjata, kendaraan, dan jaminan kebal terhadap hukum.
Dengan demikian, orang-orang sipil itu bukan sekedar orang-orang biasa yang bertindak
sendiri, seperti kata Soeharto.

Dalam kasus Indonesia, pola demikian bukan hal baru. Jauh setelah itu, pola ini kembali
dilakukan terhadap Timor Leste tahun 1999. Milisi-milisi tentara bergerak, melakukan
pembunuhan terhadap ratusan orang.

Aksi jagal-jagal terhadap anggota, dan simpatisan PKI mulai mereda saat akan
dilangsungkannya Pemilihan Umum (Pemilu) 1971. Setelah pemilu usai, pemerintah
Orde Baru melakukan kontrol yang ketat.

Berbagai penulisan dan penelitian tentang Gestapu, mulai dilarang. Pengendalian wacana
secara kolektif pun mulai dilakukan. Baru setelah Reformasi 1998, wacana peristiwa
nahas itu kembali dibuka.

Peristiwa pembunuhan massal 1965-1966 pun menjadi lembaran kelam sejarah panjang
Indonesia yang telah dilupakan.

Apa yang dimaksud NEGARA PERLU MEMINTA MAAF ATAS PEMBANTAIAN


MASSAL 1965

Saat saya menonton anak dari D.N Aidit, Ilham Aidit meminta agar Negara meminta maaf
kepada korban pembantaian 1965, namun Menurut Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein minta maaf
dulu ke korban yang dibunuh oleh PKI lalu baru saling memaafkan mengapa ? karna ketika Ex
PKI menuntut haknya seharusnya korban atau anak Jendral dululah yang meinta mereka meliha
bagaimana bapaknya diculik, ditembak dan lain sebagainya. Kivlan juga mengatakan
bahwasanya siapa yang memulai merekalah yang harus mengakhiri dan saya setuju Negara tidak
perlu meminta maaf kepada para korban, namun jika ingin saling memaafkan ya silakan.
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 tegas menuntut pemeritah meminta maaf.
Komnas HAM pernah merekomendasikan bahwa korban peristiwa 65 merupakan korban
kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat negara. Karena itu, yayasan ini menilai,
permintaan maaf dari negara melalui presiden adalah sesuatu yang harus dilakukan.

Presiden juga didesak melakukan upaya pengungkapan kebenaran peristiwa 65. Tanpa upaya itu,
kata Bedjo Untung, rekonsiliasi tidak akan pernah terjadi.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Djoko Suryo menilai, sejarah akan selalu menjadi
kontroversi. Begitu juga dengan korban yang timbul, dari peristiwa-peristiwa dalam sejarah.
Menjawab pertanyaan, apakah negara perlu meminta maaf atas korban-korban yang jatuh, seperti
dalam peristiwa tahun 1965 terkait PKI, Djoko Suryo menjawab diplomatis. Menurutnya,
permintaan maaf secara lisan bisa dianggap sesuatu yang tidak mendesak.

Pemerintah justru harus mempertimbangkan, apa yang akan dilakukan secara kongkret di luar
permintaan maaf secara lisan itu, misalnya rehabilitasi kepada korban dan keluarganya.

Yang perlu dimaknai itu mungkin esensinya itu bagaimana. Kalau dalam pengertian kata-kata
ucapan, apakah memang itu yang dibutuhkan? Apakah bukan justru tindakan atau praktek yang
perlu dilakukan sehingga itu sudah menjawab esensinya. Kalau hanya ucapan verbal, tafsirannya
bisa dilematis. Bukan ucapan verbal, tetapi aktualisasinya yang diperlukan," kata Djoko Suryo.

Presiden Jokowi terus dituntut oleh korban peristiwa 65 untuk meminta maaf atas nama negara.
Jokowi juga diminta untuk merehabilitasi nama baik mereka.

Bedjo Untung dari YPKP meluruskan anggapan, bahwa permintaan maaf itu dilakukan kepada
korban peristiwa 65, dan bukan meminta maaf kepada PKI sebagai organisasi. Namun, banyak
pihak, termasuk organisasi keagamaan NU dan Muhammadiyah, meminta presiden tidak
melakukan itu.

7. Setelah menjawab pertanyaan di atas, bagaimana pendapat Anda: (a) perlukah negara
meminta maaf atas pembantaian massal 1965? (b) apakah PKI masih merupakan
ancaman yang dapat timbul pada masa sekarang? (c) bagaimana menjaga Pancasila dari
pandangan ekstrim yang ingin mengubah ideologi Pancasila?

Jawab :
a. Tidak perlu, siapa yang memulai merekalah yang harus mengakhiri
b. Mungkin saja, karna sisa sisa masa PKI sampe sekarang masih ada dan mungkin
ada yang masuk legislative dan yudikatif. Pembalasan pada pembantaian 1965-
1966 mungkin saja bakal berlanjut
c. Dengan menanamkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan. Pancasila akan terus
sakti ketika kita, rakyat Indonesia, menjaga kesaktiannya, meresapi makna yang
terkandung di dalamnya, mengimplementasikannya dalam setiap sendi-sendi
kehidupan kita, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.netralnews.com/news/singkapsejarah/read/104468/menyibak.kontroversi.film.g3
0s.pki.1965

https://www.kompasiana.com/andifirmansyah/siapakah-dalang-g-30-s-pki-yang-
sebenarnya_5528cdcef17e61250b8b45a6

https://daerah.sindonews.com/read/988395/29/menyingkap-rahasia-pembantaian-massal-1965-
1966-1428837384/26

http://www.tribunal1965.org/magnis-negara-perlu-meminta-maaf-kepada-korban-1965-1966/

https://www.merdeka.com/khas/negara-harus-meminta-maaf-kepada-korban-1965-wawancara-
romo-benny-1.html

https://www.kompasiana.com/adnyana/pancasila-versus-radikalisasi_55179cb8a333117d07b65ef3

Anda mungkin juga menyukai