Pada masa itu ada kemungkinan sudah terbentuk desa-desa kecil. Pada mulanya
hanya bentuk rumah agak kecil dan berdenah melingkar dengan atap daun-
daunan. Kemudian rumah seperti itu berkembang dengan bentuk yang lebih besar
yang dibangun di atas tiang penyangga. Rumah besar ini bentuknya persegi
panjang, dihuni oleh beberapa keluarga inti. Di bawah tiang penyangga rumah
digunakan untuk memelihara ternak. Apabila musim panen tiba mereka berpindah
sementara di dekat ladang-ladang dengan membangun rumah atau gubuk- gubuk
darurat. Binatang-binatang piaraan mereka juga dibawa.
Tidak menutup kemungkinan pada masa itu, mereka sudah menggunakan bahasa
untuk komunikasi. Para ahli menduga bahwa pada masa bercocok tanam menetap
ini, mereka sudah menggunakan bahasa Melayu-Polenesia atau rumpun
bahasa Austronesia. Pada masa bercocok tanam mulai muncul kelompok-
kelompok profesi, hubungan perdagangan, dan adanya kontak-kontak budaya
yang menyebabkan kegiatan masyarakat semakin kompleks. Situasi semacam itu
tidak saja telah menunjukkan adanya pelapisan masyarakat menurut kehlian dan
pekerjaannya, tapi juga mendorong perkembangan teknologi yang mereka kuasai.
Pada masa perundagian, manusia purba sangat taat kepada adat diantaranya adat
gotong-royong, tolong menolong, sambat-sinambat. Kebiasaan hidup
berkelompok berkembang menjadi lebih luas dalam kehidupan masyarakat desa
secara bergotong royong. Gotong royong merupakan kewajiban bagi setiap
anggota masyarakat. Hal ini dapat di lihat dalam pembuatan alat-alat, dimana
semuanya dilakukan secara bergotong royong.
Cara bercocok tanam pada masa bercocok tanam adalah dengan berhuma, yaitu
dengan menebangi hutan dan menanaminya. Dengan pengolahan tanah yang
sangat sederhana, mereka menanami ladang itu dengan kedelai, ketela pohon atau
ubi jalar. Kalau ladang yang mereka tanami mulai berkurang kesuburannya,
mereka membuka ladang baru dengan cara menebang dan membakar bagian-
bagian hutan yang lain. Alat-alat yang digunakan pada masa bercocok tanam
masih terbuat dari bahan-bahan yang digunakan pada masa sebelumnya, yaitu dari
batu, tulang binatang, tanduk, dan kayu.
Cara bercocok tanam yang mula-mula dikenal adalah berladang atau berhuma.
Yang ditanam yaitu semacam padi-padian yang tumbuh liar di mana-mana.
Mereka pun telah mulai memelihara binatang. Sejalan dengan kemampuan
bercocok tanam mereka telah pula berhasil membuat wadah berupa gerabah.
Wadah tersebut dibuat untuk menyimpan persediaan makanan. Kadang-kadang
gerabah itu diberi hiasan. Dari hiasan itu dapat diduga bahwa manusia pada masa
bercocok tanam sudah mengenal tenunan. Banyak pula gelang-gelang dari batu
indah dan manik-manik. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia bercocok
tanam sudah mulai menghias diri.
Penemuan lukisan dinding gua di daerah Sulawesi selatan untuk pertama kalinya
dilakukan oleh C.H.M. Heren-Palm dalam tahun 1950. Di dalam gua tersebut
ditemukan cap-cap tangan dengan jari-jarinya direntangkan dengan ditaburi cat
merah. Di gua tersebut Van Heekeren juga menemukan lukisan seekor babi rusa
yang sedang melompat dengan panah di bagian jantungnya. Barangkali lukisan
tersebut dimaksudkan sebagai suatu harapan agar mereka berhasil dalam berburu
di hutan. Babi rusa tadi digambarkan dengan garis-garis warna merah.
Cap-cap tangan dengan dasar warna merah, mungkin mengandung arti kekuatan
atau simbol kekuatan pelindung untuk mencegah roh-roh jahat. Adapun cap
tangan dengan jari yang tidak lengkap dianggap sebagai tanda adat berkabung.
Ada anggapan dari kalangan para ahli bahwa lukisan-lukisan itu juga mengandung
maksud sebagai upacara penghormatan terhadap nenek moyang, upacara
kesuburan, untuk meminta hujan dan sebagainya.
Relief sebenarnya merupakan penegasan dari seni lukis dengan media permukaan
batu, seni patung diwujudkan dalam bentuk patung menhir atau patung-patung
megalitik (batu besar) lainnya. Aspek lain yang terkandung dalam seni rupa itu
adalah nilai-nilai magis-religius. Oleh karena itu, gaya penampilan seninya juga
dipengaruhi oleh latar belakang kepercayaan senimannya. Hal itu terlihat jelas
pada seni rupa masa proto- sejarah yang kurang memperhatikan segi anatomis dan
proporsi. Seni pada waktu itu lebih ditekankan pada segi simbolisnya.
diperkirakan sudah ada sejak masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Bukti
mengenai hal itu ditemukan di Sulawesi Selatan, Kepulauan Maluku, dan di Irian
Jaya.
Di Irian Jaya ada lukisan di dinding goa dan karang. Pada umunya lukisan-
lukisan yang ditemukan di Irian Jaya mirip dengan lukisan-lukisan yang
ditemukan di Pulau Kei daerah Maluku. Bentuknya juga beraneka ragam, seperti
cap tangan, orang, ikan, perahu, binatang melata, dan cap kaki. Selain itu, terdapat
juga lukisan abstrak seperti garis-garis lengkung atau garis-garis lingkaran.
Seni relief ditemukan pada dinding kubur megalitik, seperti sarkofagus atau
dolmen. Di Jawa sarkofagus dan dolmen yangn memiliki relief ditemukan di
Tegal Ampel di Bondowoso, Jawa Timur, dan Tegalang-Bali.
Seni patung baik patung dari batu maupun patung dari perunggu umumnya berupa
figur manusia dan binatang. Patung batu pada masa itu dibuat dengan teknik pahat
sederhana yang pahatannya dilakukan pada bagian- bagian tertentu saja, yaitu
muka atau tangan. Kesederhanaan itu juga tampak pada penggarapannya yang
agak kasar dan terkesan kaku. Hal ini dapat dipahami karena latar belakang
pembuatan patung pada masa itu, adalah untuk pemujaan nenek moyang dan
patungnya sendiri ditempatkan di dekat kubur.
Daftar Pustaka :
Sumber :
Supriyadi, Marwan. 2009. Sejarah 1 : Untuk SMA/ MA kelas x. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan Nasional.
Supriyadi, Marwan. 2009. Sejarah 1 : Untuk SMA/ MA kelas x. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan Nasional.
Supriyadi, Marwan. 2009. Sejarah 1 : Untuk SMA/ MA kelas x. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan Nasional.
Supriyadi, Marwan. 2009. Sejarah 1 : Untuk SMA/ MA kelas x. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan Nasional.
Supriyadi, Marwan. 2009. Sejarah 1 : Untuk SMA/ MA kelas x. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan Nasional.