Disusun oleh:
Dewi Sartika
22010116220402
Pembimbing:
dr. Thomas Handoyo,Sp.PD
Residen pembimbing:
dr. Daniel Rizky
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan kasus besar Seorang
Wanita 31 Tahun dengan Tuberkulosis Paru Kasus Baru, Pneumonia,
Hiponatremia dan Underweight ini dapat penulis selesaikan.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menempuh
kepaniteraan senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan penulis pada khususnya.
Penulis
ABSTRAK
SEORANG WANITA 39 TAHUN DENGAN TUBERKULOSIS PARU
KASUS BARU, PNEUMONIA, HIPONATREMIA DAN UNDERWIGHT
Seorang wanita usia 39 tahun datang ke IGD RSUP DR kariadi dengan keluhan batuk darah.
Kurang lebih sejak 1,5 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan batuk. Batuk
disertai dahak. Batuk dirasakan semakin memberat. Pasien juga mengeluhkan adanya demam. 1
bulan sebelum masuk rumah sakit batuk disertai bercak darah. Kemudian pasien berobat ke klinik
dokter, diberikan obat amoxicilin, dextral, paracetamol namun tidak membaik. 1 hari sebelum
masuk rumah sakit pasien kembali batuk darah. Darah berwarna merah tua, 1 gelas belimbing.
Pasien juga mengeluhkan demam nglemeng, pusing , lemas , penurunan berat badan dalam 1
bulan terakhir 6 kg, keringat malam hari, penurunan nafsu makan. Pasien menyangkal adanya
keluhan mual, muntah, diare, dan gangguan saat BAK. Pasien memiliki riwayat kontak dengan
pasien TB paru BTA +. Riwayat penyakit dengan keluhan serupa disangkal. Pasien juga
menyangkal riwayat pengobatan TB sebelumnya, riwayat infeksi HIV, riwayat keganasan,
riwayat penyakit jantung, riwayat kencing manis, riwayat darah tinggi. Di keluarga pasien juga
tidak ada riwayat dengan keluhan serupa, riwayat menderita TB, riwayat pengobatan TB maupun
riwayat infeksi HIV.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 31 Juli 2017 pukul 10.00 di Ruang Isolasi 2,
Rajawali 6A didapatkan hasil keadaan umum tampak sakit, kesadaran Compos mentis dengan
tekanan darah 110/80 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi nafas 22x/menit dan suhu
36,2oC (aksiler). Berat badan pasien 43 kg, tinggi badan 167 cm dan IMT 15,4 kg/m2. Pada
pemeriksaan paru didapatkan hasil perkusi redup di SIC III-IV paru kanan dan kiri, pada
auskultasi terdapat suara tambahan ronkhi basah kasar di SIC III-IV paru kanan dan kiri. Tidak
ditemukan kelainan pada jantung, abdomen, kepala dan extremitas.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil leukosit 15.000 dan natrium 133. Pada
pemeriksaan foto rontgen thoraks didapatkan gambaran infiltrat di kedua lapang paru dengan
kesan TB miliar. Pemeriksaan BTA didapatkan hasil +1 pada sputum yang pertama dan (-) pada
pemeriksaan sputum yang kedua. Pada pemeriksaan kultur didapatkan bakteri Klebsiella sp.
Tidak ditemukan adanya jamur. Pada pewarnaan gram didapatkan hasil bakteri diplococcus gram
(+). Pemeriksaan anti HIV non reaktif. Pemeriksaan gene Xpert menunjukkan hasil tidak ada
resistensi terhadap rifampicin.
Masalah pada kasus ini adalah adanya hemoptoe, infiltrat paru pada rontgen thoraks, leukositosis,
hiponatremia dan underweight. Untuk menghentikan perdarahan pada hemoptoe, pasien
mendapatkan terapi injeksi asam tranexamat 500 mg/ 8 jam. Pasien mendapatkan terapi obat anti
tuberkulosis Rifampicin 600 mg/24 jam, Isoniazid 400 mg/24 jam, Pirazinamid 1000 mg/24 jam,
Ethambutol 1200 mg/24 jam. Pasien juga mendapatkan terapi Vit. B6 1 tab/12 jam p.o dan N-
asetilsistein 200mg/24 jam. Infiltrat pada paru berdasarkan hasil kultur dapat di assessment
sebagai pneumonia sehingga pasien mendapatkan terapi amoksisilin klavulanat 500 mg/ 8 jam.
Untuk mengatasi hiponatremia ringan, pasien mendapatkan infus Nacl 0,9% sedangkan untuk
masalah underweight pasien mendapatkan terapi nutrisi dengan diet lunak tinggi protein jumlah
kalori 2100 kkal/24 jam.
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : ny. S
Jenis Kelamin : Wanita
Umur : 39 tahun
Alamat : Temulus, Kudus, Jawa Tengah
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMA
Pekerjaan : Buruh
Bangsal : Rajawali 6A
Masuk RS : 21 Juli 2017
No. CM : C644315
Status : JKN Non PBI
DAFTAR MASALAH
Thoraks
Dada : Simetris, bentuk normal, retraksi dinding dada (-),
sela iga melebar (-), retraksi suprasternal (-), retraksi
intercostal (-), atrofi musculus pectoralis (-).
Paru Depan
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
xxxxxx xxxxxx Perkusi : Redup SIC III-IV paru kanan dan kiri
xxxxxx xxxxxx
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+). Terdapat suara
tambahan ronkhi basah kasar (+/+) di SIC III-
IV paru kanan dan kiri.
Paru Belakang
Inspeksi: Simetris saat statis dan dinamis
xxxxxx xxxxxx Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
xxxxxx xxxxxx
Perkusi : Redup di vertebra thorakal IV-V paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), terdapat suara tambahan
ronkhi basah kasar (+/+) di vertebra thorakhal IV-V paru kanan dan
kiri.
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC V linea mid clavicularis
sinistra, kuat angkat (-), pulsasi epigastrial (-),
pulsasi parasternal (-), thrill (-), sternal lift (-)
Perkusi : Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan : Linea parasternal dextra
Batas kiri : Sesuai iktus kordis
Pinggang jantung cekung
Auskultasi : Heart rate 88x/menit, reguler, BJ I-II murni, bising
(-), gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, umbilicus menonjol (-), venektasi (-), caput
medusae (-), luka (-), bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), area
traube timpani
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas :
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Spoon nail -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Ikterik -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Cappilary refill time <2 detik <2 detik
A. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kesan :
- Cor tak membesar
- Infiltrat milier yang tersebar difus pada kedua lapangan paru cenderung
gambaran milliary tuberculosis
DAFTAR ABNORMALITAS
1. Batuk
2. Batuk darah
3. Lemas (+)
4. Pusing (+)
5. Demam (+) nglemeng
6. Keringat malam hari
7. Penurunan nafsu makan
8. Penurunan berat badan 6 kg
9. Redup SIC III-IV paru kanan dan kiri
10. RBK pada paru kanan SIC III-IV paru kanan dan kiri
11. Redup di vertebra thorakal IV-V paru kanan dan kiri
12. Suara dasar vesikuler (+/+), terdapat suara tambahan ronkhi basah kasar
(+/+) di vertebra thorakhal IV-V paru kanan dan kiri
13. Gambaran infiltrat paru kesan TB milier pada X-Ray thoraks
14. Peningkatan leukosit (15.000/ul)
15. Penurunan natrium (133 mmol/L)
16. Underweight ( IMT 15,4)
ANALISIS SINTESIS
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 Hemoptoe
1,3,4,9,10,11,12,13,14Pneumonia
15 Hiponatremia
16Underweight
DAFTAR MASALAH
Problem I : Hemoptoe
Assessment :
etiologi : Tuberculosis, Bronkhitis, Bronkhiektasis, Keganasan
Rencana pemecahan masalah :
Dx : Pemeriksaan BTA sputum 3x, CT scan
Rx : inj. Asam tranexamat 500 mg/8 jam
N-asetilsistein 200mg/24 jam
Mx : KU TV/8 jam, awasi tanda-tanda perdarahan
Ex : - Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang rencana pemeriksaan sputum
dan pemeriksaan CT scan untuk mengetahui penyebab penyakit
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang batuk darah, dicatat
jumlahnya dan laporkan
Problem II : Pneumonia
Assessment :
etiologi kuman : spesifik (tuberculosis)
non spesifik (bakteri, jamur)
Rencana pemecahan masalah :
Dx : kultur sputum, gram, jamur
Rx : inj. Ceftriaxon 2gram/24 jam
Inj N-asetylsstein 200mg/24 jam
Mx : KU TV/8 jam, awasi tanda perdarahan, ronkhi basah kasar
Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan penyakit pasien yaitu menampung
dahak untuk pemeriksaan dahak, tutup mulut jika batuk, dan jangan membuang
dahak di semabrang tempat
Problem III : Hiponatremia
Assessment : Penyakit kronik
Rencana pemecahan masalah :
Dx : (-)
Rx : (-)
Mx : Cek elektrolit ulang
Ex : Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien mengalami ketidakseimbangan elektrolit
yang disebabkan oleh penyakit kronik
Problem IV : Underweight
Assesment : Penyakit kronik
Intake kurang
Rencana Pemecahan Masalah :
Dx : Reanamnesis status gizi, ukur berat badan per minggu, albumin
Rx : Diet tinggi protein yang diberikan secara bertahap hingga mencapai 2100 kkal/24
jam dalam bentuk makanan biasa/nasi lauk lunak, ekstra susu skim 200 ml
Mx : Respon asupan, berat badan, IMT, kadar albumin serum (1 minggu lagi)
Ex : Menjelaskan kepada pasien agar menghabiskan diet dari rumah sakit
CATATAN KEMAJUAN
Lekosit >25 /
LPK
Pewarnaan gram Diplococcus
gram (+)
Pewarnaan jamur Yeast cell (-)
Hasil kultur Klebsiella sp.
Assessment : Pneumonia
Plan :
Dx : evaluasi rontgen thoraks, cek sputum
Rx : inj ceftriaxon 1 gram/12 jam
N asetilsistein 200 mg/24 jam
Mx : KU, TTV
Ex :
- Menjelaskan kepada keluarga pasien dan pasien tentang penyakit
- Meenjelaskan kepada keluarga pasien dan pasien mengenai
penyebab penyakit dan cara penularanya
d. Status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien koinfeksi TB/HIV): adalah
pasien TB dengan
Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART
atau
Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan
Hasil tes HIV negatif sebelumnya atau
Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV
menjadi positif maka pasien harus disesuaikan kembali
klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa
ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV
maka pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil
tes terakhir.3
2.2.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir
ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram negatif.5
2.2.3 Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak
dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada
beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:6
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Bakteri bersama dengan udara masuk melalui saluran pernafasan dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi
ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret
orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).7
8-10
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 /ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.4
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.
Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di
saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan
jenis mikroorganisme yang sama.8
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya
antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan
leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut
kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan
tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu:5
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah
merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan
jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray
hepatization' ialah konsolodasi yang luas.5
2.2.4 Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)
Pneumonia aspirasi
Pneumonia pada penderita Immunocompromised
2. Berdasarkan bakteri penyebab
Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.5
Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
Pneumonia virus.
Pneumonia jamur.
3. Berdasarkan predileksi infeksi
Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang
tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder
disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau
proses keganasan
Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru.
Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.
Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
Pneumonia interstisial
Umumnya jenis pneumonia intersisial ini disebabkan oleh virus. Infeksi dari virus
berawal dari permukaan dengan terjadinya kerusakan silia sel goblet dan kelenjar
mukus bronkioli, sehingga dinding bronkioli menjadi edematous. Juga terjadi
edema di jaringan interstisial peribronkial. Kadang-kadang alveolus terisi cairan
edema. Pneumonia interstisial dapat juga dikatakan sebagai pneumonia
fokal/difus, di mana terjadi infiltrasi edema dan sel-sel radang terhadap jaringan
interstisial paru.5
2.2.5 Diagnosis
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi
2. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.4
Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak / purulen
Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan
ronki
Leukosit > 10.000 atau < 4500
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih'
kriteria di bawah ini.10
Kriteria minor:
Frekuensi napas > 30/menit
Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap
pneumonia komuniti adalah Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu
dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.11
Bronkiektasis
Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
Gizi kurang
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik
dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat.
Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat
jalan, sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut
Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian pneumonia komuniti
pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada
rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini
menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti
dengan peningkatan risiko kelas.11
2.2.8 Pencegahan
2.2 Hiponatremia
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, dari hasil anamnesis dengan pasien didapatkan bahwa pasien
datang ke rumah sakit dengan keluhan batuk darah, batuk sudah dirasakan sejak 1,5 bulan
yang lalu, pada awalnya darah hanya bercak-bercak namun semakin lama semakin
bertambah banyak. Pasien kemudian berobat ke klinik dokter namun tidak membaik. 1
hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan batuk darah, jumlah darah 1
sendok makan berwarna merah segar. Demam (+) nglemeng, pasien juga mengeluhkan
keringat malam, penurunan berat badan 6 kg, nafsu makan menurun, pusing dan lemas.
Pasien menyangkal riwayat batuk lama pada keluarga, riwayat batuk lama sebelumnya
atau pengobatan selama 6 bulan juga disangkal oleh pasien, namun terdapat tetangga
yang menderita TBC.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal, BB 43 kg, TB
167 cm, dan IMT 15,4. Pada pemeriksaan fisik paru, didapatkan adanya keredupan pada
SIC III-IV paru kanan dan kiri, suara RBKdi SIC III-IV paru kanan dan kiri.Pada
pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya leukositosis dan hiponatremia. Dari hasil
pengujian sputum BTA sebanyak 2x pemeriksaan yaitu sewaktu dan pagi didapatkan
sputum BTA (+1) pada pemeriksaan sputum pertama dan BTA (-) pada pemeriksaan
sputum yang kedua.
Batuk darah (hemoptoe) merupakan batuk yang disertai dengan keluarnya darah
yang berasal dari saluran nafas atau parenkim paru. Pada kasus, jumlah darah yang keluar
bersama dengan batuk 1 sendok makan. Berdasarkan derajat hemoptoe, maka hemoptoe
pada kasus ini tergolong ke dalam derajat ringan. Untuk penatalaksanaan hemoptoe pada
kasus ini adalah dengan pemberian injeksi obat anti perdarahan yaitu injeksi asam
tranexamat 500 mg/8jam.
Penegakan diagnosis tuberkulosis pada pasien ini dilakukan dengan pengujian
sputum BTA, serta dilakukan pengecatan gram, jamur, serta kultur untuk menyingkirkan
penyebab infeksi paru lain. Pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan hasil adanya infiltrat
kesan gambaran TB miliar. Pada kasus dilakukan pemeriksaan sputum BTA sebanyak 2
kali yang salah satunya BTA (+). Menurut pedoman nasional pengendalian tuberkulosis
2014, terdiagnosis TB jika salah satu dari 3 spesimen sputum menghasilkan BTA(+).
Infeksi TB erat kaitannya dengan keadaan yang imunosupresan. Salah satu
keadaan imunosupresan yang sering berkaitan dengan infeksi TB adalah HIV. Pada kasus
ini dilakukan pemeriksaan VCT (voluntary counseling and testing). VCT dilakukan
dengan cara memberikan konseling terlebih dahulu mengenai penyakit HIV, cara
penularan dan cara pemeriksaan HIV. Setelah pasien memahami kemudian dilakukan test
anti HIV. Pada kasus, hasil pemeriksaan anti HIV adalah non reaktif, hal ini berarti
bahwa pasien tidak sedang mengalami infeksi HIV. Pada kasus juga dilakukan
pemeriksaan gene xpert untuk mengetahui resistensi terhadap obat anti tuberkulosis. Dari
hasil pemeriksaan gene xpert, tidak didapatkan resistensi terhadap rifampicin.
Pemeriksaan gene xpert dilakukan untuk mendeteksi kasus Multi Drug Resistent (MDR)
TB. Gene xpert dianjurkan dilakukan pada pasien suspek MDR yaitu pada pasien:
1. Gagal terhadap pengobatan kategori 2
2. Pasien TB dengan hasil pemeriksaan sputum tetap positif setelah bulan ke tiga
pengobatan kategori 2
3. Pasien TB yang pernah diobati yang temasuk OAT MDR misalnya
fluorokuinolon dan kanamisin
4. Pasien gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien kategori 1 dengan hasil pemeriksaan sputum tetap positif setelah
pemberian sisipan
6. Kasus TB kambuh baik setelah pengobatan kategori 1 maupun kategori 2
7. Pasien TB kategori 1 atau kategori 2 yang sudah berobat >1bulan kemudian
default datang kembali untuk melakukan pengobatan
8. Suspek TB yang tinggal dekat dengan pasien TB MDR yang sudah terkonfirmasi
9. HIV aktif dengan gejala TB
Sebagai terapi tuberkulosis, diberikan terapi Rifampicin 600 mg/24 jam, Isoniazid 400
mg/24 jam, Pirazinamid 1000 mg/24 jam, Ethambutol 1200 mg/24 jam, Vit. B6 1 tab/12
jam, dan N-asetilsistein 200mg/24 jam. Dosis obat anti tuberculosis yang digunakan
diatur sesuai dengan berat tubuh pasien. Pemberian N-asetilsistein ditujukan untuk
mengurangi kentalnya mukus sehingga pasien lebih leluasa bernafas serta pemberian
vitamin B6 ditujukan untuk mencegah timbulnya neuropati perifer pada pasien
tuberkulosis sebagai efek samping dari pemberian isoniazid. Selain itu, juga dipantau
keadaan umum, keluhan batuk, suhu, respiratory rate, skelra ikterik ada atau tidaknya
rasa kebas, diare, mual, gangguan penglihatan. Pemantauan ini bertujuan untuk
mengetahui perkembangan terapi dan melihat ada tidaknya efek samping OAT yang
diberikan ke pasien.
Infiltrat paru adalah substansi lebih padat dari udara (pus, edema, darah, surfaktan,
protein, atau sel) yang berada dalam parenkim paru sehingga menyebabkan sumbatan aliran
udara. Gambaran infiltrat paru pada x-foto dapat disebabkan pneumonia, atelektasis, gagal
jantung, adult respiratory distress syndrome (ARDS), fibrosis pulmo, emboli, dan perdarahan
pulmo. Pada pasien ini diduga infiltrat paru karena pneumonia dengan diferential diagnosis
TB miliar. Pasien memiliki gejala batuk dengan sputum dan demam nglemeng pada awal
gejala. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya suara RBK pada SIC IV dan SIC V paru
kanan dan kiri. Hasil pemeriksaan darah didapatkan adanya leukositosis yang
mengindikasikan adanya infeksi. Diagnosis infiltrat paru dari gambaran X-foto thoraks AP.
Penentuan etiologi dilakukan dengan kultur sputum, pengecatan gram, dan pewarnaan jamur
serta pemeriksaan dahak BTA untuk mengekslusi penyebab lain. Pemeriksaan yang sudah
dilakukan adalah BTA dengan hasil positif sedangkan pemeriksaan kultur didapatkan adanya
bakteri Klebsiella sp. Oleh karena itu berdasarkan pemeriksaan dapat disimpulkan infiltrat
paru disebabkan etiologi spesifik (TB) dan etiologi non spesifik (Klebsiella sp).
Pneumonia diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia komunitas atau community
acquired pneumonia (CAP) dan pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia
(HAP). Etiologi tersering dari CAP adalah bakteri streptococcus pneumonia, sedangkan
etiologi dari HAP adalah bakteri gram negatif yaitu pseudomonas aeuginosa, escherichia
coli, dan acinetobacter sp.
Diagnosis CAP didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisik, foto
toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto
toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini:
Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak / purulen
Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan
ronki
Leukosit > 10.000 atau < 4500
Pada kasus didapatkan infiltrat pada rontgen thoraks disertai dengan batuk, ronki pada
pemeriksaan fisik dan leukositosis sehingga memenuhi kriteria diagnosis CAP.
Penatalaksanaan CAP berdasarkan CURB-65. CURB-65 merupakan skoring untuk
menentukan pasien CAP harus di rawat jalan, rawat inap atau rawat intensif di ICU.
CURB-65
Clinical factor Point
Confusion 0
Blood urea nitrogen > or = 20 mg/dl 1
RR > or = 30 x/m 0
Sytolic BP <90 mmHg 0
Diastolic BP < or = 60 mmHg
Age > or = 65 0
Total 1
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan jumlah skor 1. Hal ini menunjukan bahwa kasus ini
masuk ke dalam kategori kematian rendah dan bisa rawat jalan.
Terapi pneumonia menggunakan antibiotik sesuai dengan agen penyebab. Untuk kasus rawat
jalan menggunakan golongan antibiotik beta laktam ditambah dengan anti beta laktamase.
Pada kasus, pasien mendapatkan terapi antibiotik amoksisilin klavulanat yang diminum
sebanyak 500 mg tiap 8 jam secara per oral. Apabila etiologi dari pneumonia belum
diketahui, pemberian antibiotik diberikan secara empirik sesuai dengan pola kuman tersering
yaitu Streptococcus pneumonia. Bila keadaan pasien berat atauterdapat empiema, antibiotik
yang digunakan adalah golongan sefalosporin. Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72
jam setelah panas turun, dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7 10 hari.
Pada kasus ini pasien mengalami underweight dengan IMT 15,4 kg/m2 (kurang dari
18,5 kg/m2)karena BB 43 kg dan TB 167 cm. Masalah underweight yang dialami pasien
dapat terjadi karena penyakit kronis maupun intake yang kurang. Penyakit kronis pada pasien
adalah tuberkulosis. Pada tuberkulosis, konsekuensi nutrisi yang dapat terjadi adalah
peningkatan pengeluaran energi, penurunan nafsu makan dan berat badan, peningkatan
katabolisme protein dengan pemecahan otot, malabsorbsi (diare, kehilangan cairan,
elektrolit). Diperlukan reanamnesis status gizi dan ukur berat badan per minggu, serta kadar
albumin untuk melihat adanya malnutrisi energi protein.
Untuk menentukan kebutuhan kalori seseorang terlebih dahulu menghitung BMR
(Basal Metabolic Rate). BMR adalah energi atau kalori yang dibutuhkan seseorang dalam
keadaan istirahat. Rumus BMR dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
BMR laki-laki = 66,5 + (13,8xBB) + (5xTB) (6,8xusia)
BMR perempuan = 655,1 + (9,6xBB) + (1,8xTB) - (4,7xusia)
Kebutuhan kalori seseorang didapatkan dari BMR x level aktivitas
Level aktifitas :
1. Tidak aktif = 1,2
2. Aktifitas ringan = 1,375
3. Aktifitas sedang =1,55
4. Aktifitas berat = 1,725
5. Aktifitas sangat berat = 1,9
Pada pasien ini diberikan diet lunak 2100 kkal/24 jam, ektra susu skim 200 ml.
Monitoring yang diperlukan adalah berat badan, IMT, kadar albumin serum 1 minggu lagi
serta edukasi kepada pasien untuk menghabiskan diet dari rumah sakit.
Hiponatremia adalah keadaan dimana kadar natrium dalam darah berada di bawah
nilai normal (<135). Nilai normal natrium dalam darah adalah 136-145.
Hiponatremia diklasifikasikan menjadi :
Ringan : natrium 130-135
Sedang : natrium 125-129
Berat : natrium <125
Pada umumnya, hiponatremiua ringan tidak bergejala. Koreksi natrium dilakukan jika
terdapat gejala maupun pada hiponatremia yang berat. Koreksi natrium pada
hiponatremia berat menggunakan larutan Nacl 3%. Untuk hiponatremia ringan dan tidak
bergejala tidak memerlukan koreksi. Pada kasus kadar natrium pasien adalah 133
(hiponatremia ringan). Sehingga tidak dilakukan koreksi terhadap natrium.
DAFTAR PUSTAKA