Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG WANITA 39 TAHUN DENGAN TUBERKULOSIS PARU BTA


POSITIF KASUS BARU, PNEUMONIA, HIPONATREMIA DAN
UNDERWEIGHT

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Senior Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:
Dewi Sartika
22010116220402

Pembimbing:
dr. Thomas Handoyo,Sp.PD

Residen pembimbing:
dr. Daniel Rizky

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan kasus besar Seorang
Wanita 31 Tahun dengan Tuberkulosis Paru Kasus Baru, Pneumonia,
Hiponatremia dan Underweight ini dapat penulis selesaikan.

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menempuh
kepaniteraan senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasi kepada:


1. dr. Thomas Handoyo, Sp.PD selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu dan memberikan masukan yang berharga
2. dr. Daniel, selaku residen pembimbing yang telah memberikan masukan,
petunjuk, serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.
3. Keluarga pasien ny. S atas keramahan dan keterbukannya dalam kegiatan
penyusunan laporan
4. Keluarga dan teman-teman Coass dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan laporan kasus ini.

Akhir kata, penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan penulis pada khususnya.

Semarang, 9 Agustus 2017

Penulis
ABSTRAK
SEORANG WANITA 39 TAHUN DENGAN TUBERKULOSIS PARU
KASUS BARU, PNEUMONIA, HIPONATREMIA DAN UNDERWIGHT

Dewi Sartika*, dr. Thomas Handoyo, Sp.PD **

Seorang wanita usia 39 tahun datang ke IGD RSUP DR kariadi dengan keluhan batuk darah.
Kurang lebih sejak 1,5 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan batuk. Batuk
disertai dahak. Batuk dirasakan semakin memberat. Pasien juga mengeluhkan adanya demam. 1
bulan sebelum masuk rumah sakit batuk disertai bercak darah. Kemudian pasien berobat ke klinik
dokter, diberikan obat amoxicilin, dextral, paracetamol namun tidak membaik. 1 hari sebelum
masuk rumah sakit pasien kembali batuk darah. Darah berwarna merah tua, 1 gelas belimbing.
Pasien juga mengeluhkan demam nglemeng, pusing , lemas , penurunan berat badan dalam 1
bulan terakhir 6 kg, keringat malam hari, penurunan nafsu makan. Pasien menyangkal adanya
keluhan mual, muntah, diare, dan gangguan saat BAK. Pasien memiliki riwayat kontak dengan
pasien TB paru BTA +. Riwayat penyakit dengan keluhan serupa disangkal. Pasien juga
menyangkal riwayat pengobatan TB sebelumnya, riwayat infeksi HIV, riwayat keganasan,
riwayat penyakit jantung, riwayat kencing manis, riwayat darah tinggi. Di keluarga pasien juga
tidak ada riwayat dengan keluhan serupa, riwayat menderita TB, riwayat pengobatan TB maupun
riwayat infeksi HIV.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 31 Juli 2017 pukul 10.00 di Ruang Isolasi 2,
Rajawali 6A didapatkan hasil keadaan umum tampak sakit, kesadaran Compos mentis dengan
tekanan darah 110/80 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi nafas 22x/menit dan suhu
36,2oC (aksiler). Berat badan pasien 43 kg, tinggi badan 167 cm dan IMT 15,4 kg/m2. Pada
pemeriksaan paru didapatkan hasil perkusi redup di SIC III-IV paru kanan dan kiri, pada
auskultasi terdapat suara tambahan ronkhi basah kasar di SIC III-IV paru kanan dan kiri. Tidak
ditemukan kelainan pada jantung, abdomen, kepala dan extremitas.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil leukosit 15.000 dan natrium 133. Pada
pemeriksaan foto rontgen thoraks didapatkan gambaran infiltrat di kedua lapang paru dengan
kesan TB miliar. Pemeriksaan BTA didapatkan hasil +1 pada sputum yang pertama dan (-) pada
pemeriksaan sputum yang kedua. Pada pemeriksaan kultur didapatkan bakteri Klebsiella sp.
Tidak ditemukan adanya jamur. Pada pewarnaan gram didapatkan hasil bakteri diplococcus gram
(+). Pemeriksaan anti HIV non reaktif. Pemeriksaan gene Xpert menunjukkan hasil tidak ada
resistensi terhadap rifampicin.
Masalah pada kasus ini adalah adanya hemoptoe, infiltrat paru pada rontgen thoraks, leukositosis,
hiponatremia dan underweight. Untuk menghentikan perdarahan pada hemoptoe, pasien
mendapatkan terapi injeksi asam tranexamat 500 mg/ 8 jam. Pasien mendapatkan terapi obat anti
tuberkulosis Rifampicin 600 mg/24 jam, Isoniazid 400 mg/24 jam, Pirazinamid 1000 mg/24 jam,
Ethambutol 1200 mg/24 jam. Pasien juga mendapatkan terapi Vit. B6 1 tab/12 jam p.o dan N-
asetilsistein 200mg/24 jam. Infiltrat pada paru berdasarkan hasil kultur dapat di assessment
sebagai pneumonia sehingga pasien mendapatkan terapi amoksisilin klavulanat 500 mg/ 8 jam.
Untuk mengatasi hiponatremia ringan, pasien mendapatkan infus Nacl 0,9% sedangkan untuk
masalah underweight pasien mendapatkan terapi nutrisi dengan diet lunak tinggi protein jumlah
kalori 2100 kkal/24 jam.

*Mahasiswa Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro


**Staf Pengajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : ny. S
Jenis Kelamin : Wanita
Umur : 39 tahun
Alamat : Temulus, Kudus, Jawa Tengah
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMA
Pekerjaan : Buruh
Bangsal : Rajawali 6A
Masuk RS : 21 Juli 2017
No. CM : C644315
Status : JKN Non PBI

DAFTAR MASALAH

No Masalah Aktif Tanggal Masalah Tanggal


Pasif
1 Hemoptoe 21 Juli 2017
2 Pneumonia 21 Juli 2017
3 Hiponatremia 21 Juli 2017
4 Leukositosis 21 Juli 2017
5 Underweight 21 Juli 2017
II. DATA DASAR
A. SUBYEKTIF
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 31 Juli 2017 pukul 10.00 di
Rajawali 6A

Keluhan Utama : Batuk darah


Riwayat Penyakit Sekarang :
Lokasi :
Onset dan Kronologis : 1,5 bulan SMRS pasien mengeluhkan
batuk. Batuk disertai dahak warna hijau.
Batuk dirasakan semakin memberat. 1
bulan SMRS batuk disertai bercak darah.
Kemudian pasien berobat ke klinik dokter,
diberikan obat amoxicilin, dextral,
paracetamol namun tidak membaik. 1 hari
SMRS pasien kembali batuk darah. Darah
berwarna merah segar, jumlah 1 sendok
makan
Kualitas : Batuk dirasakan semakin memberat dan
disertai darah
Kuantitas : Batuk disertai dengan darah dalam jumlah
1 sendok makan
Faktor yang memperberat : Tidak ada
Faktor yang memperingan : Tidak ada
Gejala penyerta : Demam (+) nglemeng, pusing (+), lemas
(+),penurunan berat badan (+) dalam 1
bulan terakhir 6 kg, keringat malam hari
(+), penurunan nafsu makan (+), mual (-),
diare (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat penyakit dengan keluhan serupa disangkal
Riwayat pengobatan TB sebelumnya disangkal
Riwayat kontak dengan pasien TB paru (+) yaitu tetangga pasien
Riwayat berganti pasangan seksual sebelumnya disangkal
Riwayat penggunaan obat-obat terlarang disangkal
Riwayat keganasan disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat anggota keluarga dengan keluhan serupa disangkal
Riwayat anggota keluarga menderita TB paru disangkal
Riwayat anggota keluarga dengan pengobatan TB paru disangkal
Riwayat merokok pada anggota keluarga yang tinggal serumah (+)
yaitu suami pasien 1 bungkus/hari
Riwayat anggota keluarga menderita infeksi HIV disangkal
Riwayat anggota keluarga menderita penyakit keganasan disangkal
Riwayat anggota keluarga menderita kencing manis disangkal
Riwayat anggota keluarga menderita darah tinggi disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien bekerja sebagai buruh di Semarang. Suami pasien bekerja sebagai
sopir. Pasien mempunyai dua orang anak yang masih sekolah. Pembiayaan
pengobatan pasien menggunakan JKN Non PBI. Kesan sosial ekonomi
kurang.

B. OBYEKTIF Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 31 Juli 2017 pukul 10.00 di Ruang
Isolasi 2, Rajawali 6A.
Keadaan umum : Tampak sakit, dyspneu (-), orthopneu (-)
Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4M6V5= 15
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Frekuensi nadi : 88x/menit
Frekuensi nafas : 22x/menit
Suhu : 36,2oC (aksiler)
Status Gizi :
Berat Badan : 43 kg Tinggi Badan : 167 cm IMT : 15,4 kg/m2
Kesan : underweight

Kulit : turgor kulit cukup, ikterik (-)


Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : discharge (-/-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-), bibir pucat (-), perdarahan gusi (-), atrofi
papil lidah (-), stomatitis (-), ulkus (-)
Leher : trakea di tengah, JVP R+1, pembesaran kelenjar
getah bening (-)

Thoraks
Dada : Simetris, bentuk normal, retraksi dinding dada (-),
sela iga melebar (-), retraksi suprasternal (-), retraksi
intercostal (-), atrofi musculus pectoralis (-).
Paru Depan
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
xxxxxx xxxxxx Perkusi : Redup SIC III-IV paru kanan dan kiri
xxxxxx xxxxxx
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+). Terdapat suara
tambahan ronkhi basah kasar (+/+) di SIC III-
IV paru kanan dan kiri.

Paru Belakang
Inspeksi: Simetris saat statis dan dinamis
xxxxxx xxxxxx Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
xxxxxx xxxxxx
Perkusi : Redup di vertebra thorakal IV-V paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), terdapat suara tambahan
ronkhi basah kasar (+/+) di vertebra thorakhal IV-V paru kanan dan
kiri.

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC V linea mid clavicularis
sinistra, kuat angkat (-), pulsasi epigastrial (-),
pulsasi parasternal (-), thrill (-), sternal lift (-)
Perkusi : Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan : Linea parasternal dextra
Batas kiri : Sesuai iktus kordis
Pinggang jantung cekung
Auskultasi : Heart rate 88x/menit, reguler, BJ I-II murni, bising
(-), gallop (-), murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, umbilicus menonjol (-), venektasi (-), caput
medusae (-), luka (-), bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), area
traube timpani
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas :

Superior Inferior
Edema -/- -/-
Spoon nail -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Ikterik -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Cappilary refill time <2 detik <2 detik

A. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Darah Rutin (21 Juli 2017)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
21 Juli 2017
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,7 gr/dL 12,00 15,00
Hematokrit 41,3 % 35 47
Eritrosit 4,94 10^6/L 4,4 5,9
MCH 27,7 Pg 27,00 32,00
MCV 83,6 fL 76 96
MCHC 33,2 gr/dL 29,00 36,00
Leukosit 15 10^3/L 3,6 11
Trombosit 344 10^3/L 150 400
RDW 12,4 % 11,60 14,80
MPV 10 fL 4,00 11,00
Pemeriksaan Kimia Klinik (21 Juli 2017)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


KIMIA KLINIK
Glukosa sewaktu 83 mg/dL 80 160
Ureum 21 mg/dL 15 39
Kreatinin 1,0 mg/dL 0,60 1,30
ELEKTROLIT
Natrium 133 mmol/L 136 145
Kalium 3,8 mmol/L 3,5 5,1
Chlorida 100 mmol/L 98 107

Pemeriksaan Koagulasi (21 Juli 2017)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Plasma Prothrombin
Time (PPT)
Waktu Prothrombin 12 detik 9,4-11,3
PPT Kontrol Partial 10,9 detik
Thromboplastin Time
(PTTK)
Waktu 33,0 Detik 27,7-40,2
Thromboplastin
APTT Kontrol 33,4 Detik
X Foto Thoraks PA Erect-Lateral (21 Juli 2017)
Cor : Bentuk dan letak jantung normal
Retrocardiac dan retrosternal space tak menyempit
Pulmo : corakan vaskuler tampak meningkat
Tampak bercak milier yang tersebar difus pada kedua lapangan paru
Tampak fibrotic line pada lapangan bawah paru kanan
Hemidiafragma kanan setinggi costa 10 posterior
Sinus costofrenikus kanan kiri lancip

Kesan :
- Cor tak membesar
- Infiltrat milier yang tersebar difus pada kedua lapangan paru cenderung
gambaran milliary tuberculosis

DAFTAR ABNORMALITAS
1. Batuk
2. Batuk darah
3. Lemas (+)
4. Pusing (+)
5. Demam (+) nglemeng
6. Keringat malam hari
7. Penurunan nafsu makan
8. Penurunan berat badan 6 kg
9. Redup SIC III-IV paru kanan dan kiri
10. RBK pada paru kanan SIC III-IV paru kanan dan kiri
11. Redup di vertebra thorakal IV-V paru kanan dan kiri
12. Suara dasar vesikuler (+/+), terdapat suara tambahan ronkhi basah kasar
(+/+) di vertebra thorakhal IV-V paru kanan dan kiri
13. Gambaran infiltrat paru kesan TB milier pada X-Ray thoraks
14. Peningkatan leukosit (15.000/ul)
15. Penurunan natrium (133 mmol/L)
16. Underweight ( IMT 15,4)

ANALISIS SINTESIS
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 Hemoptoe
1,3,4,9,10,11,12,13,14Pneumonia
15 Hiponatremia
16Underweight
DAFTAR MASALAH

No Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif


1 Hemoptoe 21 Juli 2017
2 Pneumonia 21 Juli 2017
3 Hiponatremia 21 Juli 2017
4 Underweight 21 Juli 2017

Problem I : Hemoptoe
Assessment :
etiologi : Tuberculosis, Bronkhitis, Bronkhiektasis, Keganasan
Rencana pemecahan masalah :
Dx : Pemeriksaan BTA sputum 3x, CT scan
Rx : inj. Asam tranexamat 500 mg/8 jam
N-asetilsistein 200mg/24 jam
Mx : KU TV/8 jam, awasi tanda-tanda perdarahan
Ex : - Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang rencana pemeriksaan sputum
dan pemeriksaan CT scan untuk mengetahui penyebab penyakit
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang batuk darah, dicatat
jumlahnya dan laporkan

Problem II : Pneumonia
Assessment :
etiologi kuman : spesifik (tuberculosis)
non spesifik (bakteri, jamur)
Rencana pemecahan masalah :
Dx : kultur sputum, gram, jamur
Rx : inj. Ceftriaxon 2gram/24 jam
Inj N-asetylsstein 200mg/24 jam
Mx : KU TV/8 jam, awasi tanda perdarahan, ronkhi basah kasar
Ex : Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan penyakit pasien yaitu menampung
dahak untuk pemeriksaan dahak, tutup mulut jika batuk, dan jangan membuang
dahak di semabrang tempat
Problem III : Hiponatremia
Assessment : Penyakit kronik
Rencana pemecahan masalah :
Dx : (-)
Rx : (-)
Mx : Cek elektrolit ulang
Ex : Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien mengalami ketidakseimbangan elektrolit
yang disebabkan oleh penyakit kronik

Problem IV : Underweight
Assesment : Penyakit kronik
Intake kurang
Rencana Pemecahan Masalah :
Dx : Reanamnesis status gizi, ukur berat badan per minggu, albumin
Rx : Diet tinggi protein yang diberikan secara bertahap hingga mencapai 2100 kkal/24
jam dalam bentuk makanan biasa/nasi lauk lunak, ekstra susu skim 200 ml
Mx : Respon asupan, berat badan, IMT, kadar albumin serum (1 minggu lagi)
Ex : Menjelaskan kepada pasien agar menghabiskan diet dari rumah sakit
CATATAN KEMAJUAN

Tanggal 1 Agustus 2017


Problem I. Hemoptoe
Subjective : Batuk (+) berkurang, batuk darah (-), sesak (-), demam (-)
Objective : Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 84 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,7oC (aksiler)
Pemeriksaan fisik

Terdapat suara tambahan ronkhi basah kasar


xxxxxx xxxxxx (+/+) di SIC III-IV paru kanan dan kiri
xxxxxx xxxxxx

Hasil Lab 21 Juli 2017:

Pemeriksaan Sputum (21 Juli 2017)


Pemeriksaan Hasil Keterangan
PEWARNAAN BTA
BTA (1+) Skala IUATLD
positif
(-) / Negatif= 0 BTA/100LP
(+) / Scanty= 1-9 BTA/100LP
(1+) / positif= 10-99
BTA/100LP

(2+) / positif= 1-10 BTA/LP


(3+) / positif= >10 BTA/LP
Lekosit >25 /
LPK
Assessment : TB Paru miliar BTA (+)
Plan :
Dx : VCT, cek sputum BTA, pemeriksaan Gene Expert, pemeriksaan
resistensi kuman
Rx : - Rifampicin 600 mg/24 jam
- Isoniazid 400 mg/24 jam
- Pirazinamid 1000 mg/24 jam
- Ethambutol 1200 mg/24 jam
- Vit. B6 1 tab/12 jam p.o.
- N-asetilsistein 200mg/24 jam
- inj. Asam tranexamat 500 mg/8 jam
Mx : Monitoring efek samping obat, SGOT/SGPT, Bilirubin total,
Bilirubin direk per minggu
Ex :
- Menjelaskan kepada keluarga bahwa pasien diberikan obat
tuberkulosis yang terdiri dari 4 macam obat. Obat harus
diminum setiap hari jangan sampai putus obat. Anjurkan
kepada keluarga pasien untuk mengawasi pasien saat minum
obat sehingga tidak terputus
- Menjelaskan efek samping yang dapat terjadi oleh karena
pemberian obat tuberkulosis, diantaranya adalah urin merah
(oleh karena rifampisin), gout arthritis dan gangguan fungsi
hati (oleh karena pirazinamid) dan gangguan penglihatan serta
neuritis perifer (oleh karena ethambutol)

Problem II. Pneumonia


Subjective : Batuk (+) berkurang, demam (-), sesak (-)
Objective : Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 84 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,7 oC (aksiler)
Hasil Lab 21 Juli 2017:

Pemeriksaan Sputum (21Juli 2017)


Pemeriksaan Hasil Keterangan

Lekosit >25 /
LPK
Pewarnaan gram Diplococcus
gram (+)
Pewarnaan jamur Yeast cell (-)
Hasil kultur Klebsiella sp.

Assessment : Pneumonia
Plan :
Dx : evaluasi rontgen thoraks, cek sputum
Rx : inj ceftriaxon 1 gram/12 jam
N asetilsistein 200 mg/24 jam
Mx : KU, TTV
Ex :
- Menjelaskan kepada keluarga pasien dan pasien tentang penyakit
- Meenjelaskan kepada keluarga pasien dan pasien mengenai
penyebab penyakit dan cara penularanya

Problem IV. Underweight


Subjective : Merasa berat badan semakin turun
Objective : Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 84 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,7 oC (aksiler)
BB : 43 kg
TB : 167 cm
IMT : 15,4
Assessment : status gizi : malnutrisi
Plan :
Dx : Reanamnesis intake, ukur berat badan per minggu, albumin
Rx : - diet nasi lauk lunak tinggi protein
- extra susu skim 200 ml
- jumlah kalori 2100 kkal/24 jam
Mx : Monitoring berat badan dan IMT
Ex : Menjelaskan kepada keluarga pasien dan pasien bahwa saat ini
berat badan berada di bawah normal sehingga memerlukan terapi nutrisi
berupa diet tinggi kalori dan tinggi protein. Menjelaskan kepada keluarga
pasien dan pasien untuk menghabiskan makanan dan minuman yang
disediakan dari rumah sakit.

Tanggal 2 Agustus 2017


Problem I. TB paru miliar BTA (+)
Subjective : Batuk (+) berkurang, sesak (-), demam (-)
Objective : Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,7 oC (aksiler)
Pemeriksaan fisik

Terdapat suara tambahan ronkhi basah kasar


xxxxxx xxxxxx (+/+) di SIC III-IV paru kanan dan kiri
xxxxxx xxxxxx

Pemeriksaan Imunoserologi (22 Juli 2017)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Rujukan
IMMUNOSEROLOGI
Anti HIV Screening NON REAKTIF
mg/dL

Pemeriksaan Gene xpert ( 22 Juli 2017):


Hasil : MTB Detected Low
rifampicin resistant not detected
Pemeriksaan Sputum ( 22 Juli 2017)

Pemeriksaan Hasil Keterangan


PEWARNAAN BTA

BTA (-) Skala IUATLD


(-) / Negatif= 0 BTA/100LP
(+) / Scanty= 1-9 BTA/100LP
(1+) / positif= 10-99
BTA/100LP

(2+) / positif= 1-10 BTA/LP


(3+) / positif= >10 BTA/LP
Lekosit >25 /
LPK

Assessment : TB Paru miliar BTA (+)


Plan :
Dx :-
Rx : - rifampicin 600 mg/24 jam
- Isoniazid 400 mg/24 jam
- Pirazinamid 1000 mg/24 jam
- Ethambutol 1200 mg/24 jam
- Vit. B6 1 tab/12 jam p.o.
- N-asetilsistein 200 mg/24 jam
Mx : Monitoring efek samping obat, SGOT/SGPT, Bilirubin total,
Bilirubin direk per minggu
Ex :
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa hasil
pemeriksaan anti HIV non reaktif yang artinya pasien tidak
mengalami infeksi HIV, beritahu kepada pasien untuk
menghindari faktor resiko HIV yaitu berhubungan seks lebih dari
satu pasang dan penggunaan jarum suntik narkoba.
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa hasil
pemeriksaan gene Xpert tidak ditemukan adanya resistensi
terhadap obat anti tuberkulosis.
Tanggal 3 Agustus 2017
Problem I. TB paru miliar BTA (+)
Subjective : Batuk (-), sesak (-), demam (-)
Objective : Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,7 oC (aksiler)
Pemeriksaan fisik

Terdapat suara tambahan ronkhi basah kasar


xxxxxx xxxxxx (+/+) di SIC III-IV paru kanan dan kiri
xxxxxx xxxxxx

Assessment : TB Paru miliar BTA (+)


Plan :
Dx :-
Rx : - boleh pulang
- rifampicin 600 mg/24 jam
- Isoniazid 400 mg/24 jam
- Pirazinamid 1000 mg/24 jam
- Ethambutol 1200 mg/24 jam
- Vit. B6 1 tab/12 jam p.o.
- N-asetilsistein 200 mg/24 jam
Mx : Monitoring efek samping obat, SGOT/SGPT, Bilirubin total,
Bilirubin direk per minggu
Ex :
- Menjelaskan kepada keluarga bahwa pasien diberikan obat
tuberkulosis yang terdiri dari 4 macam obat. Obat harus diminum
setiap hari jangan sampai putus obat. Anjurkan kepada keluarga
pasien untuk mengawasi pasien saat minum obat sehingga tidak
terputus.
- Menjelaskan efek samping yang dapat terjadi oleh karena
pemberian obat tuberkulosis, diantaranya adalah urin merah (oleh
karena rifampisin), gout arthritis dan gangguan fungsi hati (oleh
karena pirazinamid) dan gangguan penglihatan serta neuritis
perifer (oleh karena ethambutol).
- Menjelaskan kepada pasien mengenai etika batuk, selalu gunakan
masker untuk menghindari penularan. Jika tidak tersedia masker,
tutup batuk dengan lengan atau dengan tissue kemudian cuci
tangan
- Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa penyakit ini menular
melalui droplet yang keluar saat batuk, anjurkan untuk
memperbanyak ventilasi sehingga pertukaran udara lancar,
anjurkan untuk membuka jendela sehingga cahaya matahari dapat
masuk karena kuman TB dapat mati karena panas
- Menjelaskan kepada pasien mengenai pentingnya kontrol ke
dokter untuk evaluasi pemeriksaan BTA.

Problem II. Pneumonia


Subjective : Batuk (-), sesak (-), demam (-)
Objective : Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,7 oC (aksiler)
Assessment : Pneumonia
Plan :
Dx : (-)
Rx : - Boleh pulang
- Amoksisilin klavulanat 500 mg / 8 jam
- N-asetilsistein 200 mg/24 jam
Mx : KU dan TTV
Ex : - Menjelaskan kepada pasien untuk menghabiskan antibiotik yang
diberikan.
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa penyakit ini
menular melalui droplet sehingga harus menggunakan maskersaat batuk
atau menutupnya dengan lengan atau tissue kemudian cuci tangan.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Epidemiologi Tuberkulosis


Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian
terbanyak di seluruh dunia. Pada tahun 2015, 10,4 juta orang menderita
tuberkulosis. Dari angka tersebut, 1,8 juta orang meninggal akibat tuberkulosis.
Indonesia termasuk negara high burden tuberkulosis, yaitu salah satu negara
dengan jumlah insidensi tuberkulosis terbanyak.1

Insidensi tuberkulosis di Indonesia menurut laporan WHO tahun 2015


sebesar 395 kasus per 100.000 penduduk, atau sebanyak 1.020.000 kasus. Dari
jumlah tersebut, 100.000 orang diantaranya meninggal karena tuberkulosis.1 Di
Indonesia, tuberkulosis lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan wanita,
dengan jumlah kasus laki-laki sebesar 597.000 kasus dan pada wanita 420.000
kasus.1
2.1.2 Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis complex. Mycobacterium tuberculosis adalah
bakteriberbentuk batang, tidak berspora dan tidak berkapsul, dengan dinding tebal
tahan asam dari bahan lemak. Bakteri ini berukuran lebar 0,2 0,6 m dan
panjang 1 10 m. Bakteri ini tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat
bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4C sampai 70C.
Bakteri ini juga sangat peka terhadap panas, sinar matahari, dan sinar ultraviolet.
Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebaian besar bakteri akan mati dalam
waktu beberapa menit. Selain itu, bakteri dapat bersifat dormant (tidur/tidak
berkembang). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat,
lilin kompleks (complex waxes), trehalosa dimikolat, sulfolipid mikobakterial
yang berperan dalam virulensi, serta polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri
Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam. Sifat tahan asam tersebut
menyebabkan Mycobacterium tuberculosis tetap berwarna merah pada pengecatan
Ziehl-Neelsen secara mikroskopis, meskipun diberikan larutan asam-alkohol
dengan tujuan untuk menghilangkan warna merah tersebut.2
A. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui traktus respiratorius akan
bereplikasi pada jaringan paru dan membentuk sarang primer atau afek primer.2
Sarang primer ini dapat timbul di area paru manapun, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan terlihat peradangan saluran kelenjar getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut akan berlanjut
menjadi pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang
primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu keadaan sebagai berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar, dengan cara:
Perkontinuitatum, yaitu persebaran bakteri dalam kompleks primer
ke area sekitarnya. Salah satu contoh penyebaran perkontinuatum
adalah epituberkulosis.2 Epituberkulosis merupakan suatu kejadian
dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan
obstruksi pada saluran napas tersebut, sehingga menimbulkan
atelektasis. Perjalanan penyakit ini bermula dari kuman
tuberkulosis yang menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ke
lobus yang mengalami atelektasis dan menimbulkan peradangan
pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis.
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru unilateral maupun
kontralateral.

Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini


bersifat sistemik serta berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah
dan virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara
spontan. Namun, jika imunitas tubuh tidak adekuat, persebaran
secara hematogen dan limfogen akan menimbulkan keadaan
kegawatan seperti tuberkulosis milier maupun meningitis
tuberkulosa. Penyebaran hematogen maupun limfogen juga dapat
menimbulkan berkembangnya kuman tuberkulosis pada organ
tubuh yang lain, seperti tulang, ginjal, kelenjar adrenal, genitalia
dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan sembuhnya pasien namun dengan meninggalkan sekuele,
atau pasien meninggal.
B. Tuberkulosis post-primer
Tuberkulosis post-primer muncul sekitar lima belas hingga empat puluh tahun
setelah tuberkulosis primer.2 Tuberkulosis post-primer inilah yang menjadi
problem kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan, terlebih
jika pasien tidak sadar bahwa dirinya sudah sembuh tuberkulosis namun masih
potensial untuk menularkan kuman tuberkulosis ke orang lain. Tuberkulosis post-
primer diawali dengan terbentuknya sarang dini berupa suatu sarang pneumonik
kecil yang pada umumnya terletak pada segmen apikal lobus superior maupun
lobus inferior paru. Sarang pneumonik ini akan berkembang sebagai berikut:
1. Sarang di-resopsi kembali, sehingga pasien sembuh dengan tidak
meninggalkan cacat.
2. Sarang dini tersebut awalnya meluas, namun segera terjadi proses
penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya, jaringan
tersebut akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran,
dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya, dapat juga sarang
tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan perkejuan (kaseosa)
dan menimbulkan kavitas bila jaringan perkejuan dikeluarkan melalui
batuk.
3. Sarang dini yang aktif meluas membentuk jaringan perkejuan (kaseosa).
Kavitas akan muncul seiring dengan dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Pada awalnya, kavitas berdinding tipis, namun lama-kelamaan
akan menjadi tebal (sklerotik).2
Gambar 1. Skema perjalanan sarang tuberkulosis post-primer dan perjalanan
penyembuhannya.

2.1.3 Klasifikasi Tuberkulosis


Pasien tuberkulosis diklasifikasikan menurut :
a. Lokasi anatomis tuberkulosis, terditi atas:
Tuberkulosis paru:
Tuberkulosis yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru, tidak
termasuk pleura. Tuberkulosis milier dianggap sebagai tuberkulosis paru
karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis tuberkulosis dirongga
dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran
radiologis yang mendukung tuberkulosis pada paru, dinyatakan sebagai
tuberkulosis ekstra paru. Pasien yang menderita tuberkulosis paru dan
sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien
tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru dibagi menjadi tuberkulosis paru BTA (+) dan
tuberkulosis paru BTA (-). Menurut Pedoman Diagnosis dan Pelaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia (2006), tuberkulosis paru BTA (+) didefinisikan
sebagai tuberkulosis paru dengan sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak menunjukkan hasil BTA (+), namun pedoman ini telah direvisi
menjadi 1 dari 3 spesimen positif BTA pada Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis 2014.2,3 Tuberkulosis paru BTA (-) didefinisikan
sebagai tuberkulosis dengan hasil pemeriksaan BTA (-) namun dengan
gambaran klinis dan radiologis tuberkulosis aktif yang tidak berespons
terhadap pemberian antibiotik spektrum luas; ataupun tuberkulosis paru
dengan gambaran klinis dan radiologis tuberkulosis aktif dengan hasil BTA
(-) dan kultur positif Mycobacterium tuberculosis.2
Diagnosis TB Paru seyogyanya ditegakkan dengan pemeriksaan
bakteriologis. Jika didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan BTA, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis dengan pemeriksaan
penunjang setidak-tidaknya pemeriksaan foto ronsen toraks. Tidak
dibenarkan untuk mendiagnosis TB hanya dengan berdasarkan foto toraks
saja, oleh karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
spesifik pada TB paru.3
Tuberkulosis ekstra paru:
Tuberkulosis yang terjadi pada organ selain paru, di antaranya pada
kelenjar limfe (limfadenitis TB), abdomen (khususnya pleuritis TB), selaput
otak (meningitis TB) dan tulang belakang (spondilitis TB).2,3 Gejala dan
keluhan pada tuberkulosis ekstra paru bervariasi, tergantung organ mana
yang terkena. Diagnosis tuberkulosis ekstra paru dapat ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis, klinis maupun histopatologis
dari organ yang terkena.3 Diagnosis tuberkulosis ekstra paru harus
diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Gambar 2. Lokasi-lokasi yang memungkinkan terjadinya TB ekstrapulmoner

Pasien tuberkulosis ekstra paru yang menderita tuberkulosis pada beberapa


organ, diklasifikasikan sebagai pasien tuberkulosis ekstra paru pada organ
menunjukkan gambaran tuberkulosis yang terberat.3
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan ( dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih ( dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB
terakhir, yaitu:
Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi).
Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow
up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien
setelah putus berobat /default).
Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan
Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus
juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin)
Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional).

d. Status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien koinfeksi TB/HIV): adalah
pasien TB dengan
Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART
atau
Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan
Hasil tes HIV negatif sebelumnya atau
Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV
menjadi positif maka pasien harus disesuaikan kembali
klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa
ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV
maka pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil
tes terakhir.3

2.1.4 Diagnosis Tuberkulosis


Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik dan gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik
batuk 3 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
b. Gejala sistemik
demam
gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat
badan menurun
Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luaskelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak
(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah
apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold
abscess.2
Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH).
Pengambilan dahak untuk dilakukan pemeriksaan mikrobiologis dilakukan 3
kali, dengan cara sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan), dahak pagi
(keesokan harinya), sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi). Pasien
sebaiknya diedukasi untuk memastikan sampel yang dikirim adalah dahak
(sputum) dan bukan air liur (saliva).
Gambar 3. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa, tanpa
kecurigaan atau bukti hasil tes HIV (+) ataupun terduga TB Resisten Obat.3

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan


pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (BAL), urin, feces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara mikroskopik dan biakan. Pemeriksaan mikroskopik dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik biasa (cahaya), yaitu
dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen dan Kinyoun-Gabbett, maupun dengan
pemeriksaan mikroskopik flouresens dengan pewarnaan auramin-rhodamin,
khususnya untuk screening. Pemeriksaan biakan kuman dapat dilakukan dengan
media egg based (Lowenstein-Jensen, Ogawa, atau Kudoh) maupun agar based
media seperti Middle Brook.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi: foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
Kalsifikasi atau fibrotik
Kompleks ranke
Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.2
Pemeriksaan Penunjang
1. Polymerase chain reaction (PCR) Pemeriksaan PCR adalah teknologi
canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M. tuberculosis.
2. Pemeriksaan serologi
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat
mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang
terjadi.
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia.
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi.
d. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis
dalam serum. Terdapat sedikit perbedaan mengenai antigen yang
dideteksi serta jumlah garis dan jumlah sampel pada masing-
masing kit rapid diagnostic test tuberkulosis dari pabrik yang
berbeda. Secara umum, uji ICT tuberculosis merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan antigen spesifik yang berasal
dari membran sitoplasma M. tuberculosis, diantaranya antigen M.
tb 38 kDa, M. Tb 1 dan M. Tb 2. Antigen-antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk garis melintang pada membran
immunokromatografik. Terdapat garis uji (jumlahnya tergantung
pada alat tes) maupun garis kontrol. Serum yang akan diperiksa
sebanyak 100 l diteteskan ke sample well, yang mana serum akan
berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung
antibodi IgG terhadap M. tuberculosis, maka antibodi akan
berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda.
Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol
dan garis uji (test).

Gambar 4. Interpretasi pemeriksaan ICT TB.


3. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
4. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
5. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan
trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi
paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ
lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus
(BJH =biopsi jarum halus).
6. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan
kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat
kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita sehingga dapat
digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta
kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita.
Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan
tubuh penderida, yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
7. Uji tuberkulin

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di


daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai
alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa.2

2.1.5 Pengobatan Tuberkulosis


Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien dan
memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian
oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya, mencegah kekambuhan TB,
menurunkan penularan TB dan mencegah terjadinya dan penularan TB resisten
terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengobatan tuberkulosis harus meliputi dua tahap, yaitu
Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Paduan
pengobatan pada tahap ini bertujuan untuk menurunkan jumlah kuman yang
ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil
kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan, harus diberikan selama 2 bulan. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat, daya penularan menjadi menurun setelah
diberikan pengobatan selama 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, tetapi dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh sisa
kumanyang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.3
Tabel 1. OAT lini pertama3
Tabel 2. Dosis OAT lini pertama3

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis
di Indonesia:3
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin,
Ethionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol.3
Paduan OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) Lini Pertama
a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
Pasien TB paru terdiagnosis klinis
Pasien TB ekstra paru
Tabel 3. Dosis OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)333

Tabel 4. Dosis OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R33

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
Pasien kambuh
Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).3

Tabel 5. Dosis OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E33


Tabel 6. Dosis OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E33

2.1.7 Pemantauan kemajuan pengobatan TB


Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap
Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena
tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan
pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan
dinyatakan negatif bila kedua contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah
satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak
tersebut dinyatakan positif.3
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif
merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan
ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA
negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian
OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA
positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5.
Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis
pengobatan selesai dan dilakukanpemeriksaan ulang dahak kembali pada
akhir pengobatan.3
2.2 Pneumonia
2.2.1 Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk pneumonia. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.4

2.2.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir
ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram negatif.5

Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia


(Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan
dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan
sputum sebagai berikut:4

Klebsiella pneumoniae 45,18%


Streptococcus pneumoniae 14,04%
Streptococcus viridans 9,21%
Staphylococcus aureus 9%
Pseudomonas aeruginosa 8,56%
Steptococcus hemolyticus 7,89%
Enterobacter 5,26%
Pseudomonas spp 0,9%

2.2.3 Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak
dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada
beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:6
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Bakteri bersama dengan udara masuk melalui saluran pernafasan dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi
ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret
orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).7
8-10
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 /ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.4
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.
Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di
saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan
jenis mikroorganisme yang sama.8
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya
antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan
leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut
kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan
tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu:5
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah
merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan
jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray
hepatization' ialah konsolodasi yang luas.5

2.2.4 Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)
Pneumonia aspirasi
Pneumonia pada penderita Immunocompromised
2. Berdasarkan bakteri penyebab
Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.5
Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
Pneumonia virus.
Pneumonia jamur.
3. Berdasarkan predileksi infeksi
Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang
tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder
disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau
proses keganasan
Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru.
Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.
Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
Pneumonia interstisial
Umumnya jenis pneumonia intersisial ini disebabkan oleh virus. Infeksi dari virus
berawal dari permukaan dengan terjadinya kerusakan silia sel goblet dan kelenjar
mukus bronkioli, sehingga dinding bronkioli menjadi edematous. Juga terjadi
edema di jaringan interstisial peribronkial. Kadang-kadang alveolus terisi cairan
edema. Pneumonia interstisial dapat juga dikatakan sebagai pneumonia
fokal/difus, di mana terjadi infiltrasi edema dan sel-sel radang terhadap jaringan
interstisial paru.5

2.2.5 Diagnosis
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi
2. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.4

Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis


pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti
ditegakkan jika pada foto toraks trdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah
dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:5

Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak / purulen
Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan
ronki
Leukosit > 10.000 atau < 4500

3. Penilaian derajat Keparahan penyakit

Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan


dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient
Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini.9

Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih'
kriteria di bawah ini.10
Kriteria minor:
Frekuensi napas > 30/menit
Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg

Kriteria mayor adalah sebagai berikut:

Membutuhkan ventilasi mekanik


Infiltrat bertambah > 50%
Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis

Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap
pneumonia komuniti adalah Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu
dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.11

Frekuensi napas > 30/menit


Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Fototoraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg

Kriteria perawatan intensif


Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita
yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventalasi
mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala
minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan
kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang
lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif.4
2.2.6 Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah.
Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik misalnya
S.pneumoniae yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor modifikasi
adalah:12
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
Umur lebih dari 65 tahun
Memakai obat-obat golongan beta laktam selama tiga bulan terakhir
Pecandu alkohol
Penyakit gangguan kekebalan
Penyakit penyerta yang multipel

b. Bakteri enterik Gram negatif


Penghuni rumah jompo
Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
Riwayat pengobatan antibiotik
c. Pseudomonas aeruginosa

Bronkiektasis
Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
Gizi kurang

Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:

a) Penderita rawat jalan

Pengobatan suportif / simptomatik


- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bilaperlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran.
Pemberian antiblotik harus diberikan kurang dari 8 jam

b) Penderita rawat inap di ruang rawat biasa

Pengobatan suportif / simptomatik


- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam
c) Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian
obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8
Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat
biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat
Intensif.4,10
Petunjuk terapi empiris menurut PDPI
Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka
pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivitas.10
2.2.7 Prognosis

Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik
dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat.
Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat
jalan, sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut
Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian pneumonia komuniti
pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada
rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini
menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti
dengan peningkatan risiko kelas.11

2.2.8 Pencegahan

Pola hidup sebut termasuk tidak merokok


Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)

sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya.


Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia
lanjut, penyakit kronik, diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi
ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang terjadi antara
lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3.13

2.2 Hiponatremia

2.6.1 Definisi hiponatremia


Hiponatremia didefinisikan sebagai kadar natrium serum kurang dari 135
meq/L.18 Gejala dan penanganan hiponatremia berkaitan pada keparahan
pengurangan Na dan onset terjadinya hiponatremia. Hiponatremia bisa timbul tanpa
gejala, dengan gejala ringan seperti mual-muntah, hingga konfusio, letargi, bahkan
kejang dan koma.19
2.6.2 Diagnosis hiponatremia
Hiponatremia dibedakan menurut osmolalitas serum, yaitu hiponatremia
hipoosmoler, hiponatremia normoosmoler dan hiponatremia hiperosmoler. Rumus
perhitungan yang digunakan adalah (2 x Na) + (BUN/2,8) + (Gula darah/18).
Hiponatremia normoosmolar umumnya terjadi oleh karena pasien mengalami
hipertrigliseridemia atau peningkatan protein plasma, pada kondisi sepert mieloma
multipel.14 Hiponatremia hiperosmolar atau hiponatremia redistributif terjadi karena
adanya zat yang aktif secara osmotik pada serum, seperti mannitol, gula atau agen
kontras radiografi.

Gambar 13. Pembagian hiponatremia berdasarkan osmolalitas serum dan status


volume.15
Hiponatremia hipoosmolar euvolemik mencakup 60% dari seluruh kasus
hiponatremia.14 Salah satu penyebab tersering hiponatremia hipoosmolar euvolemik
adalah syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH).
SIADH dapat disebabkan oleh kelainan sistem saraf pusat, kelainan dan infeksi
paru, serta oleh karena konsumsi obat, khususnya obat psikiatrik.15 Pada SIADH,
terjadi antidiuresis yang tinggi sehingga kadar air pada tubuh meningkat, yang akan
membuat kadar natrium tampak rendah oleh karena adanya peningkatan total body
water. SIADH didiagnosa dengan kriteria Schwartz, yang terdiri dari kriteria
utama dan kriteria supporting. Selain SIADH, penyebab hiponatremia hipoosmolar
euvolemik lainnya antara lain polidipsia primer serta hiponatremia paska operasi. 15
Hiponatremia hipoosmolar hipovolemik terkait erat dengan rendahnya volume
plasma. Dua penyebab utama hiponatremia hipoosmolar hipovolemik adalah
hiponatremia oleh karena diuretik dan hiponatremia oleh karena cerebral salt
wasting.14 Hiponatremia hipoosmoler hiperrvolemik timbul pada congestive heart
failure, sindroma nefrotik, sirosis hepar, dan gagal ginjal kronis. Pada umumnya
hiponatremia hipoosmoler hipervolemik disertai dengan timbulnya udem pada
ekstremitas inferior.15

Gambar 14. Kriteria diagnosis Schwartz untuk hiponatremia.14

2.6.3 Penanganan hiponatremia


Manajemen cairan pada hiponatremia ditangani sesuai dengan status volume
pasien. Pada hiponatremia hipoosmolar hipervolemik, pasien diberikan diuretik
atau dilakukan restriksi cairan. Pada hiponatremia hipoosmolar euvolemik, pasien
dilakukan restriksi cairan, dan pada hiponatremia hipoosmolar hipovolemik, pasien
diberikan larutan saline isotonik atau hipertonik.
Tingkat koreksi Na+ tergantung pada seberapa cepat kadar Na turun dan
kondisi klinis dari pasien. Pada hiponatremia simtomatis akut, Na+ harus dinaikkan
hingga gejala menghilang, sebesar 1-2 mEq/L per jam, dengan penggunaan saline
hipertonik (3%) yang diberikan bersama dengan loop diuretik. Pada hiponatremia
simtomatis kronis, Na+ dinaikkan secara perlahan (0,5-1 mEq/L per jam). Saline
hipertonik dapat diberikan. Pada hiponatremia asimtomatis kronis, tidak perlu
dilakukan koreksi cepat, namun lakukan manajemen cairan serta tangani kausa
penyebab hiponatremianya.15
BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, dari hasil anamnesis dengan pasien didapatkan bahwa pasien
datang ke rumah sakit dengan keluhan batuk darah, batuk sudah dirasakan sejak 1,5 bulan
yang lalu, pada awalnya darah hanya bercak-bercak namun semakin lama semakin
bertambah banyak. Pasien kemudian berobat ke klinik dokter namun tidak membaik. 1
hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan batuk darah, jumlah darah 1
sendok makan berwarna merah segar. Demam (+) nglemeng, pasien juga mengeluhkan
keringat malam, penurunan berat badan 6 kg, nafsu makan menurun, pusing dan lemas.
Pasien menyangkal riwayat batuk lama pada keluarga, riwayat batuk lama sebelumnya
atau pengobatan selama 6 bulan juga disangkal oleh pasien, namun terdapat tetangga
yang menderita TBC.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal, BB 43 kg, TB
167 cm, dan IMT 15,4. Pada pemeriksaan fisik paru, didapatkan adanya keredupan pada
SIC III-IV paru kanan dan kiri, suara RBKdi SIC III-IV paru kanan dan kiri.Pada
pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya leukositosis dan hiponatremia. Dari hasil
pengujian sputum BTA sebanyak 2x pemeriksaan yaitu sewaktu dan pagi didapatkan
sputum BTA (+1) pada pemeriksaan sputum pertama dan BTA (-) pada pemeriksaan
sputum yang kedua.
Batuk darah (hemoptoe) merupakan batuk yang disertai dengan keluarnya darah
yang berasal dari saluran nafas atau parenkim paru. Pada kasus, jumlah darah yang keluar
bersama dengan batuk 1 sendok makan. Berdasarkan derajat hemoptoe, maka hemoptoe
pada kasus ini tergolong ke dalam derajat ringan. Untuk penatalaksanaan hemoptoe pada
kasus ini adalah dengan pemberian injeksi obat anti perdarahan yaitu injeksi asam
tranexamat 500 mg/8jam.
Penegakan diagnosis tuberkulosis pada pasien ini dilakukan dengan pengujian
sputum BTA, serta dilakukan pengecatan gram, jamur, serta kultur untuk menyingkirkan
penyebab infeksi paru lain. Pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan hasil adanya infiltrat
kesan gambaran TB miliar. Pada kasus dilakukan pemeriksaan sputum BTA sebanyak 2
kali yang salah satunya BTA (+). Menurut pedoman nasional pengendalian tuberkulosis
2014, terdiagnosis TB jika salah satu dari 3 spesimen sputum menghasilkan BTA(+).
Infeksi TB erat kaitannya dengan keadaan yang imunosupresan. Salah satu
keadaan imunosupresan yang sering berkaitan dengan infeksi TB adalah HIV. Pada kasus
ini dilakukan pemeriksaan VCT (voluntary counseling and testing). VCT dilakukan
dengan cara memberikan konseling terlebih dahulu mengenai penyakit HIV, cara
penularan dan cara pemeriksaan HIV. Setelah pasien memahami kemudian dilakukan test
anti HIV. Pada kasus, hasil pemeriksaan anti HIV adalah non reaktif, hal ini berarti
bahwa pasien tidak sedang mengalami infeksi HIV. Pada kasus juga dilakukan
pemeriksaan gene xpert untuk mengetahui resistensi terhadap obat anti tuberkulosis. Dari
hasil pemeriksaan gene xpert, tidak didapatkan resistensi terhadap rifampicin.
Pemeriksaan gene xpert dilakukan untuk mendeteksi kasus Multi Drug Resistent (MDR)
TB. Gene xpert dianjurkan dilakukan pada pasien suspek MDR yaitu pada pasien:
1. Gagal terhadap pengobatan kategori 2
2. Pasien TB dengan hasil pemeriksaan sputum tetap positif setelah bulan ke tiga
pengobatan kategori 2
3. Pasien TB yang pernah diobati yang temasuk OAT MDR misalnya
fluorokuinolon dan kanamisin
4. Pasien gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien kategori 1 dengan hasil pemeriksaan sputum tetap positif setelah
pemberian sisipan
6. Kasus TB kambuh baik setelah pengobatan kategori 1 maupun kategori 2
7. Pasien TB kategori 1 atau kategori 2 yang sudah berobat >1bulan kemudian
default datang kembali untuk melakukan pengobatan
8. Suspek TB yang tinggal dekat dengan pasien TB MDR yang sudah terkonfirmasi
9. HIV aktif dengan gejala TB
Sebagai terapi tuberkulosis, diberikan terapi Rifampicin 600 mg/24 jam, Isoniazid 400
mg/24 jam, Pirazinamid 1000 mg/24 jam, Ethambutol 1200 mg/24 jam, Vit. B6 1 tab/12
jam, dan N-asetilsistein 200mg/24 jam. Dosis obat anti tuberculosis yang digunakan
diatur sesuai dengan berat tubuh pasien. Pemberian N-asetilsistein ditujukan untuk
mengurangi kentalnya mukus sehingga pasien lebih leluasa bernafas serta pemberian
vitamin B6 ditujukan untuk mencegah timbulnya neuropati perifer pada pasien
tuberkulosis sebagai efek samping dari pemberian isoniazid. Selain itu, juga dipantau
keadaan umum, keluhan batuk, suhu, respiratory rate, skelra ikterik ada atau tidaknya
rasa kebas, diare, mual, gangguan penglihatan. Pemantauan ini bertujuan untuk
mengetahui perkembangan terapi dan melihat ada tidaknya efek samping OAT yang
diberikan ke pasien.
Infiltrat paru adalah substansi lebih padat dari udara (pus, edema, darah, surfaktan,
protein, atau sel) yang berada dalam parenkim paru sehingga menyebabkan sumbatan aliran
udara. Gambaran infiltrat paru pada x-foto dapat disebabkan pneumonia, atelektasis, gagal
jantung, adult respiratory distress syndrome (ARDS), fibrosis pulmo, emboli, dan perdarahan
pulmo. Pada pasien ini diduga infiltrat paru karena pneumonia dengan diferential diagnosis
TB miliar. Pasien memiliki gejala batuk dengan sputum dan demam nglemeng pada awal
gejala. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya suara RBK pada SIC IV dan SIC V paru
kanan dan kiri. Hasil pemeriksaan darah didapatkan adanya leukositosis yang
mengindikasikan adanya infeksi. Diagnosis infiltrat paru dari gambaran X-foto thoraks AP.
Penentuan etiologi dilakukan dengan kultur sputum, pengecatan gram, dan pewarnaan jamur
serta pemeriksaan dahak BTA untuk mengekslusi penyebab lain. Pemeriksaan yang sudah
dilakukan adalah BTA dengan hasil positif sedangkan pemeriksaan kultur didapatkan adanya
bakteri Klebsiella sp. Oleh karena itu berdasarkan pemeriksaan dapat disimpulkan infiltrat
paru disebabkan etiologi spesifik (TB) dan etiologi non spesifik (Klebsiella sp).
Pneumonia diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia komunitas atau community
acquired pneumonia (CAP) dan pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia
(HAP). Etiologi tersering dari CAP adalah bakteri streptococcus pneumonia, sedangkan
etiologi dari HAP adalah bakteri gram negatif yaitu pseudomonas aeuginosa, escherichia
coli, dan acinetobacter sp.
Diagnosis CAP didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisik, foto
toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto
toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini:
Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak / purulen
Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan
ronki
Leukosit > 10.000 atau < 4500
Pada kasus didapatkan infiltrat pada rontgen thoraks disertai dengan batuk, ronki pada
pemeriksaan fisik dan leukositosis sehingga memenuhi kriteria diagnosis CAP.
Penatalaksanaan CAP berdasarkan CURB-65. CURB-65 merupakan skoring untuk
menentukan pasien CAP harus di rawat jalan, rawat inap atau rawat intensif di ICU.
CURB-65
Clinical factor Point
Confusion 0
Blood urea nitrogen > or = 20 mg/dl 1
RR > or = 30 x/m 0
Sytolic BP <90 mmHg 0
Diastolic BP < or = 60 mmHg
Age > or = 65 0
Total 1

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan jumlah skor 1. Hal ini menunjukan bahwa kasus ini
masuk ke dalam kategori kematian rendah dan bisa rawat jalan.
Terapi pneumonia menggunakan antibiotik sesuai dengan agen penyebab. Untuk kasus rawat
jalan menggunakan golongan antibiotik beta laktam ditambah dengan anti beta laktamase.
Pada kasus, pasien mendapatkan terapi antibiotik amoksisilin klavulanat yang diminum
sebanyak 500 mg tiap 8 jam secara per oral. Apabila etiologi dari pneumonia belum
diketahui, pemberian antibiotik diberikan secara empirik sesuai dengan pola kuman tersering
yaitu Streptococcus pneumonia. Bila keadaan pasien berat atauterdapat empiema, antibiotik
yang digunakan adalah golongan sefalosporin. Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72
jam setelah panas turun, dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7 10 hari.
Pada kasus ini pasien mengalami underweight dengan IMT 15,4 kg/m2 (kurang dari
18,5 kg/m2)karena BB 43 kg dan TB 167 cm. Masalah underweight yang dialami pasien
dapat terjadi karena penyakit kronis maupun intake yang kurang. Penyakit kronis pada pasien
adalah tuberkulosis. Pada tuberkulosis, konsekuensi nutrisi yang dapat terjadi adalah
peningkatan pengeluaran energi, penurunan nafsu makan dan berat badan, peningkatan
katabolisme protein dengan pemecahan otot, malabsorbsi (diare, kehilangan cairan,
elektrolit). Diperlukan reanamnesis status gizi dan ukur berat badan per minggu, serta kadar
albumin untuk melihat adanya malnutrisi energi protein.
Untuk menentukan kebutuhan kalori seseorang terlebih dahulu menghitung BMR
(Basal Metabolic Rate). BMR adalah energi atau kalori yang dibutuhkan seseorang dalam
keadaan istirahat. Rumus BMR dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
BMR laki-laki = 66,5 + (13,8xBB) + (5xTB) (6,8xusia)
BMR perempuan = 655,1 + (9,6xBB) + (1,8xTB) - (4,7xusia)
Kebutuhan kalori seseorang didapatkan dari BMR x level aktivitas
Level aktifitas :
1. Tidak aktif = 1,2
2. Aktifitas ringan = 1,375
3. Aktifitas sedang =1,55
4. Aktifitas berat = 1,725
5. Aktifitas sangat berat = 1,9
Pada pasien ini diberikan diet lunak 2100 kkal/24 jam, ektra susu skim 200 ml.
Monitoring yang diperlukan adalah berat badan, IMT, kadar albumin serum 1 minggu lagi
serta edukasi kepada pasien untuk menghabiskan diet dari rumah sakit.
Hiponatremia adalah keadaan dimana kadar natrium dalam darah berada di bawah
nilai normal (<135). Nilai normal natrium dalam darah adalah 136-145.
Hiponatremia diklasifikasikan menjadi :
Ringan : natrium 130-135
Sedang : natrium 125-129
Berat : natrium <125
Pada umumnya, hiponatremiua ringan tidak bergejala. Koreksi natrium dilakukan jika
terdapat gejala maupun pada hiponatremia yang berat. Koreksi natrium pada
hiponatremia berat menggunakan larutan Nacl 3%. Untuk hiponatremia ringan dan tidak
bergejala tidak memerlukan koreksi. Pada kasus kadar natrium pasien adalah 133
(hiponatremia ringan). Sehingga tidak dilakukan koreksi terhadap natrium.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2016. Geneva; 2016.


2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.
3. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Katalog Dalam Terbitan: Kementerian
Kesehatan Nasional. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. p. 1210.
4. Zul, Dahlan. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II ed. IV:Pneumonia.
Jakarta:FK
5. Fauci. 2009. Harrisons manual of Medicine 17th ed:Pneumonia. North America:
Mc Graw Hill
6. Kasper L, Dennis et all. Pneumonia in Harrisons Principles of Internal Medicine
17th Edition. United States of America: McGraww Hill Companies, Inc. 2008
7. Sylvia A, Loraine M. patofisiologi : Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit vol. 2
ed. 6. Jakarta : EGC, 2005
8. Gerberding JL, Sande MA. 2000. Infection Diseases of the lung:Textbook of
respiratory medicine. Philadelphia:WB Saunders Co
9. Sabatine, Marc S. 2008. Pocket medicine 3rd ed:Pneumonia. Philadelphia:
Lippincott & Wilkins
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Nosokomial. Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003.
11. Infectious Disease Society of America (IDSA). 2000. Practice guidelines for
management community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis;31:347-82
12. American thoracic society(ATS). 2001.Guidelines gor management of adults with
community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial
therapy, and prevention. Am J Respir Crit. Care Med;163: 1730-54
13. Canadian acquired pneumonia working group. 2000. Canadian guidelines for the
initial management of community acquired pneumonia and evidence based up
date by the canadian thoracic society. Clin Infect Dis;31: 383-421
14. Sahay M, Sahay R. Hyponatremia: A practical approach. Indian J Endocrinol
Metab [Internet]. 2014;18(6):76071. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4192979/
15. Le T, Chin-Hong P, Baudendistel T. First Aid for the Internal Medicine Boards.
Second Edi. Vol. 81, The Yale journal of biology and medicine. New York:
McGraw Hill; 2008. 480-481 p.

Anda mungkin juga menyukai