Anda di halaman 1dari 9

TUGAS JURNAL

Disusun Oleh:

DEWI SARTIKA

22010116220402

Penguji:

dr. Herlina Suryawati, Sp.S

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

RSUP Dr. KARIADI SEMARANG

2018
Epilepsi Lobus Temporal merupakan Faktor Predisposisi dari Sleep Apnea:
Sebuah studi berbasis kuesioner pada unit pemeriksaan video-EEG

F Gokcem Yildiz, F. Irzel Tezer, Serap Saygi

Abstrak

Tujuan penelitian : Hubungan antara epilepsi dan tidur telah banyak diketahui. Telah dijelaskan
bahwa pasien dengan epilepsi lebih banyak memiliki masalah gangguan tidur dibandingkan
populasi secara umum. Namun, tidak banyak penelitian yang membahas mengenai perbandingan
frekuensi gangguan tidur pada pasien dengan epilepsi lobus temporal refrakter (TLE) dan
epilepsi ekstratemporal refrakter (ETLE). Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis ganggun tidur pada pasien dalam kedua kelompok menggunakan metode berbasis
kuesioner.

Metode : Sejumlah 189 pasien dari total 215 pasien dengan epilepsi refrakter yang dievaluasi
menggunakan video-EEG, dibagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok dengan TLE dan
kelompok dengan ETLE. Kuesioner medical outcome study-sleep scale (MOS-SS), Epworth
Sleepiness Scale, dan kuesioner sleep apneu scale of the sleep disorders (SD-SDQ) diisi setelah
pasien melakukan admisi pada unit pemantauan video-EEG. Total skor pada kelompok TLE dan
ETLE kemudian dibandingkan satu sama lain.

Hasil penelitian : Dari seluruh pasien, TLE terdiagnosis pada 101 pasien (53,4%) (45 diantaranya
pasien perempuan) dan ETLE terdiagnosis pada 88 pasien (46,6%) (44 diantaranya pasien
perempuan). Perbandingan dari skor MOS-SS dan Epworth sleepiness scale pada kedua
kelompok tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Pada kelompok TLE hasil skor SD-SDQ
didapatkan memiliki perbedaan signifikan yaitu skor yang lebih tinggi dibandngkan pada
kelompok ETLE.

Kesimpulan : Pasien dengan epilepsi lobus temporal memiliki resiko lebih tinggi terkena OSA
berdasarkan dari keluhan-keluhan yang disampaikan. Deteksi dini OSA pada pasien epilepsi
menggunakan form kuesioner dapat menurunkan resiko terjadinya gangguan pernafasan pada
periode iktal maupun post-iktal yang sering dikenal sebagai “Sudden Unexpected Death in
Epilepsy” atau SUDEP.

1. Pendahuluan

Gangguan tidur merupakan hal sering terjadi pada pasien dengan epilepsi. Gangguan tidur
dapat menyebabkan kondisi kekurangan tidur dan perburukan pada kontrol kejang [1]. Dengan
demikian, terapi pada gangguan tidur yang menyertai epilepsi dapat memperbaiki kontrol kejang
[2]. Bagaimanapun, studi terbaru telah dilakukan untuk mengetahui prevalensi gangguan tidur
pada pasien dewasa dan anak-anak dengan epilepsi [3]. Namun, hanya terdapat beberapa
penelitian mengenai populasi pasien epilepsi yang mengalami resistansi terhadap obat [4,5].
Studi-studi ini menunjukkan bahwa gangguan tidur lebih sering terjadi pada pasien dengan
epilepsi refrakter dibandingkan pada individu yang sehat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui frekuensi gangguan tidur pada pasien epilepsi lobus temporal (TLE) dan epilepsi
lobus ekstratemporal (ETLE) yang resisten terhadap obat menggunakan metode form kuesioner
tidur yang telah terstandarisasi.

2. Metode

2.1. Pasien dan prosedur penelitian

Peneliti melakukan tinjauan pada semua subjek yang menjalani pemeriksaan Video EEG-
monitoring (VEMU) dengan elektroda yang ditempel pada kulit kepala untuk mengevaluasi hasil
operasi epilepsi yang dilakukan pada tahun 2010-2013. Semua pasien dirawat di rumah sakit
untuk pemeriksaan klinis rutin dan pasien tidak memiliki riwayat gangguan tidur. Diagnosis
resisten terhadap obat epilepsi didiskusikan dalam sebuah konferensi kasus secara multidisiplin.
Hasil pemeriksaan klinis, hasil pemeriksaan elektrografi, hasil pemeriksaan Magnetic Resonance
Imaging (MRI), hasil pemeriksaan positron emission tomography, dan jika diperlukan, hasil
pemeriksaan single foton emission tomography pada iktal ataupun interiktal dievaluasi. Tipe
kejang dan sindrom epilepsi pada pasien sudah ditentukan berdasarkan pedoman International
League Against Epilepsy (ILAE) [6]. Setiap pasien dipantau dalam unit pemantauan video-EEG
menggunakan sistem EEG yang terdiri dari 32-channel (Telefactor). Elektroda kulit kepala T1
dan T2 ditempelkan berdasarkan standarisasi pada sistem 10-20. Elektrookulogram (EOG),
elektromiogram submental (EMG), dan elektrokardiogram (EKG) dimasukkan dalam parameter
evaluasi. Pasien yang didiagnosis dengan epilepsi lobus temporal dan ETLE ikut dalam
penelitian. Sindrom epilepsi parsial lainnya, pasien dengan epilepsi tidak terklasifikasi, dan
sindrom epilepsi tipe general dieksklusi dari penelitian.

2.2 Kuesioner

Semua pasien di unit pemantauan video-EEG mengisi form berbentuk kuesioner, termasuk
didalamnya medical outcome study-sleep scale (MOS-SS), Epworth sleepiness scale (ESS), dan
kuesioner sleep apnea scale of the sleep disorders (SD-SDQ). Skor total dibandingkan antara
kelompok dengan ETLE dan kelompok dengan TLE.

Semua jawaban pada semua kuesioner diubah ke dalam bentuk data digital untuk kemudian
diproses lebih lanjut. Jika terdapat bagian yang belum terisi, pasien dihubungi oleh perawat unit
monitoring video-EEG. Jawaban dari pertanyaan dalam kuesioner yang belum terisi tersebut
kemudian diekslusi.

Kuesioner MOS-SS berisi 12 item yang divalidasi dengan enam subskala pengukuran yaitu
mendengkur, terbangun dengan nafas pendek atau dengan sakit kepala, tidur somnolen, dan
gangguan tidur untuk menentukan kualitas tidur pada empat minggu terakhir. Skor yang lebih
tinggi pada kuesioner menunjukkan hasil perburukan dalam kualitas tidur.

Kuesioner sleep apnea scale of sleep disorders (SD-SDQ) juga memiliki sejumlah 12
pertanyaan dan skor yang lebih tinggi menunjukkan frekuensi sleep apnea. Kuesioner SD-SDQ
terdiri dari 12 item yang diantaranya termasuk mendengkur keras, mengalami apnea, terbangun
dengan nafas terengah-engah, berkeringat, tekanan darah tinggi, kongesti nasal, gangguan yang
diperburuk ketika mencoba tidur kembali, gangguan yang diperburuk setelah setelah konsumsi
alkohol, berat badan, lama merokok, usia, dan indeks massa tubuh [6,7].

Epworth Sleepiness Scale (ESS) merupakan skala yang mengukur rasa kantuk di siang hari.
Skor 11 atau lebih mengindikasikan kemungkinan adanya rasa kantuk pada siang hari.

2.3 Analisis statistik

Analisis statistik dilakukan menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS
17.0). Data demografi dan data yang didapatkan dari kuesioner pada kedua kelompok
dibandingkan satu sama lain menggunakan uji independent sample t-test untuk data berdistribusi
normal. Selain itu, uji Mann-Whitney dan chi-square digunakan untuk membandingkan skor
MOS-SS, Epworth Sleepiness Scale, dan SD-SDQ dari kedua kelompok. Uji Chi-square atau
Fisher Exact digunakan untuk varibel yang kategorial. Pada semua uji, nilai p <0,05 disimpulkan
signifikan.

3. Hasil Penelitian

3.1 Subjek penelitian

Selama kurang lebih dari 3 tahun, 215 pasien dengan epilepsi refrakter menjalani
pemantauan video-EEG. Dua belas pasien mengalami kejadian paroksismal non-epilepsi, 5
pasien didiagnosis dengan epilepsi general, dan 9 pasien lain yang tidak memiliki fokus epilepsi
yang jelas dieksklusi dari penelitian. Sisanya terdapat sejumlah189 pasien yang terdiagnosis TLE
atau ETLE dengan riwayat operasi epilepsi dimasukkan dalam penelitian ini. Dari jumlah
tersebut, 101 pasien terdiagnosis dengan TLE dan 88 pasien teragnosis dengan ETLE.

Dalam kelompok dengan TLE, 56 orang merupakan pasien laki-laki dengan usia rata-rata
dari sejumlah 101 pasien adalah 32,6 ± 9,4 tahun (kisaran: 18-72 tahun). Pada kelompok dengan
ETLE, 44 merupakan pasien laki-laki dengan usia rata-rata pada 88 pasien adalah 28,64 ± 7,33
tahun (kisaran: 19-57 tahun). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari usia antara dua
kelompok (p = 0,43).
Semua pasien dibagi menjadi ke dalam tiga kelompok menurut penggunaan obat
antiepilepsi. Monoterapi digunakan pada 12 pasien (11,8%) dengan TLE dan 6 pasien (6,8%)
dengan ETLE. Penggunaan dua macam obat antiepilepsi didapatkan pada 36 pasien (35,6%)
dengan TLE dan 29 pasien (32,9%) dengan ETLE. Penggunaan tiga atau lebih macam obat
antiepilepsi digunakan pada 53 pasien (52,5%) dengan TLE dan 53 pasien (60,2%) dengan
ETLE. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok dengan TLE dan dengan
ETLE seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Benzodiazepin dan barbiturat digunakan pada dua puluh pasien. Sejumlah dua belas berada
pada kelompok dengan TLE dan 8 pasien pada kelompok dengan ETLE.

Tabel 1. Karakteristik umum subjek penelitian


3.2. Analisis kuesioner tidur

Skor MOS-SS dari dua kelompok epilepsi dibandingkan secara statistik. Tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok epilepsi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel
2.

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok dalam hal rata-rata skor
ESS ataupun skor ESS> 9 (p = 0,8).

Sedangkan pada total skor kuesioner SD-SDQ, perbedaan signifikan ditemukan antara
kelompok dengan TLE dan kelompok dengan ETLE (p = 0,04).

4. Diskusi

Komorbiditas antara gangguan tidur dan epilepsi dapat menimbulkan perburukan prognosis
ataupun masalah dalam terapi, meskipun hal tersebut memiliki patofisiologi

masing-masing dengan pengaruh yang berbeda untuk satu sama lain. Walaupun hubungan
diantara keduanya, keadaan koeksistensi epilepsi dan gangguan tidur masih kurang banyak
diteliti. Beberapa penelitian menentukan prevalensi gangguan tidur pada pasien dengan epilepsi
dengan menggunakan skor ESS dan MOS-SS [4,5]. Dalam artikel Xu et al., didapatkan 34% dari
201 pasien dengan epilepsi parsial terdiagnosis dengan gangguan tidur, dan 10% pasien
menerima pengobatan. HAl ini sejalan dengan penelitian ini, de Weerd yang melaporkan
sejumlah 38,5% sebagai prevalensi gangguan tidur pada pasien dengan epilepsi parsial. Kedua
studi ini menunjukkan bahwa gangguan tidur lebih sering terjadi pada pasien dengan epilepsi
daripada yang populasi individu yang sehat menggunakan skor MOS-SS. Selain itu, perubahan
kualitas tidur juga dibahas dalam gangguan tidur yang murni terkait epilepsi [8]. Pada penelitian
berbasis kuesioner ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok dengan TLE dan kelompok dengan ETLE berdasarkan skor MOS-SS dan Epworth
Sleepiness Scale. Studi lain bertentangan dengan penelitian yang dilakukan peneliti yang
menunjukkan pasien dengan TLE sering mengeluhkan rasa kantuk berlebihan di siang hari [9].
Penggunaan kuesioner SA-SDQ sebagai instrumen skrining untuk OSA dalam penelitian klinis
yang melibatkan orang dewasa dengan epilepsi telah diverifikasi sebelumnya [10]. Obstructive
sleep apnea dapat diamati sebagai komorbiditas dalam rangkaian klinis pasien dewasa dengan
epilepsi, dan terapi pada gangguan ini dapat meningkatkan kontrol kejang [11,12]. Selain itu,
gangguan obstructive sleep apnea diketahui sering kali ditemui pada pasien dengan epilepsi
refrakter, hal ini ditunjukkan dalam sebuah penelitian menggunakan PSG [13]. Namun demikian,
pada pasien dengan epilepsi tipe TLE refrakter belum banyak diteliti. Pada penelitian ini, pasien
dengan TLE refraktori memiliki skor SD-SDQ yang lebih tinggi. Meskipun peneliti tidak dapat
melakukan pemeriksaan polisomnografi pasien-pasien ini, namun peneliti menduga terdapat
hubungan antara TLE dengan masalah pernapasan terkait tidur. Mekanisme yang mendasari
timbulnya sleep apnea belum sepenuhnya dipahami. Kejang dapat berkaitan dengan fungsi
serebral dan batang otak sebagai pusat pernapasan. Apneu dapat merupakan manifestasi iktal; di
sisi lain, dapat merupakan manifestasi pada postiktal [14,15]. Perubahan gelombang epileptiform
interiktal diketahui dapat menyebabkan apneu dengan aksi yang serupa dengan pengaruh iktal
pada pusat pernapasan [15]. Efek peningkatan dari pelepasan gelombang ini lebih buruk pada
pasien dengan epilepsi refrakter.

Telah dilaporkan bahwa kejang lobus temporal dapat menimbulkan terjadinya

apneu dalam beberapa kasus [16,17]. Apneu dalam keadaan iktal dilaporkan memiliki pola
penyebaran kontralateral pada kejang temporal refraktori yang dibuktikan secara medis baru-
baru ini pada suatu studi [17,18] .Dengan adanya hubungan fungsional, kejang lobus temporal
yang muncul dari korteks insular dapat menimbulkan gangguan pernafasan terkait tidur [19].

Masalah pernapasan yang diinduksi oleh kejang dapat menjadi salah satu penyebab dari
SUDEP [20]. Obstructive sleep apnea dapat diamati sebagai komorbiditas dalam rangkaian
klinis pasien dewasa dengan epilepsi [6]. OSA yang tidak terdiagnosis sering ditemukanpada
pasien dengan epilepsi refrakter dalam studi PSG [13]. Kasus TLE dan auto-psikonfirmasi
SUDEP dijelaskan dalam literatur yang membahas periode apnea sentral pada saat iktal yang
didapatkan melalui evaluasi dengan video-EEG [18]. Hal ini menunjukkan bahwa TLE
merupakan faktor risiko potensial untuk apnea dan SUDEP. Walaupun, pada pasien dengan
epilepsi refrakter belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian sebelumnya telah menjelaskan
adanya hubungan koeksistensi OSA- epilepsi dan efek terapi pengobatan pada frekuensi kejang
dan kantuk di siang hari [21,22]. Penelitian lain juga telah melaporkan bahwa obat antiepilepsi
(AED) dapat mempengaruhi tidur [23,24]. Gejala mirip sindrom rasa kantuk pada siang hari,
peningkatan efisiensi tidur, dan fragmentasi tidur banyak dilaporkan selama terapi antiepilepsi
[25,26]. Meskipun diketahui bahwa efek AED terhadap kejadian apneu pada populasi penelitian
ini tidak dapat dikendalikan, namun peneliti dapat mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan
signifikan dalam hal pengaruh jumlah ataupun frekuensi obat AED yang digunakan terhadap
pasien dengan TLE dan ETLE. Oleh karena itu, peneliti menyatakan bahwa jenis dan jumlah
AED tidak mempengaruhi peningkatan risiko apnea pada pasien dengan TLE, dibandingkan
dengan pasien dengan ETLE.

Hal yang bertentangan dengan studi epilepsi sebelumnya yang dilakukan pada pasien
epilepsi yang resistan terhadap obat, yaitu pada penelitian ini didapatkan adanya korelasi secara
signifikan antara OSA dan TLE. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian pertama
yang menunjukkan hubungan antara TLE dan OSA dengan menggunakan formulir kuesioner.
Kuesioner merupakan alat skrining yang bersifat ekonomis dan mudah diterapkan pada pasien.
Pada penelitian selanjutnya, pemantauan multimodalitas dari video-EEG mungkin diperlukan
setelah terdeteksi adanya masalah terkait tidur pada pasien dengan epilepsi.

Anda mungkin juga menyukai