Anda di halaman 1dari 15

TUGAS JURNAL

Disusun Oleh:

DEWI SARTIKA

22010116220402

Penguji:

dr. Herlina Suryawati, Sp.S

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

RSUP Dr. KARIADI SEMARANG

2018
Epilepsi dan Gangguan Tidur

Carl W Bazil

Abstrak

Gangguan tidur merupakan hal yang wajar dalam epilepsi, pola gangguan tidur dalam
epilepsi berbeda-beda, dan etiologinya bersifat kompleks. Berdasarkan bukti yang ada, terdapat
hubungan antara epilepsi dengan kejadian kejang dan penggunaan obat anti epilepsi terhadap
gangguan tidur. Kejadian kejang dapat memiliki pengaruh yang besar terhadap pola tidur yang
lebih lama dibandingkan dengan periode post-iktal. Rasa kantuk pada siang hari yang persisten
pada pasien dengan epilepsi tidak selalu disebabkan oleh efek samping dari AED dan justru
kemungkinan berhubungan dengan gangguan tidur yang terputus-putus. Gangguan tidur sendiri
diketahui berhubungan dengan hendaya dalam kualitas hidup dan kontrol kejang. Semua aspek
dalam pengobatan gangguan tidur dalam epilepsi penting diketahui dan faktor perancu
diantaranya kejadian kejang, lokasi kejang, dan kegunaan serta efek samping dari AED. Pola
tidur harus dievaluasi secara proaktif dan gangguan tidur seharusnya termasuk ke dalam
tatalaksana komprehensif pada pasien dengan epilepsi.

1. Pendahuluan

Ketidakefektifan atau ketidakcukupan akan tidur merupakan hal yang wajar pada pasien epilepsi.
Walaupun lingkungan di sekitar kita mengganggap gangguan tidur merupakan sebuah kebiasaan,
namun hal ini dapat menyebabkan hendaya dalam kemampuan fungsional sehari-hari dan
kualitas hidup bahkan pada orang yang tidak memiliki penyakit kronik. Pada pasien dengan
epilepsi, pengaruh gangguan tidur akan lebih berat dibandingkan pada orang tanpa epilepsi.
Ketidakcukupan tidur dapat menimbulkan rasa kantuk pada siang hari dan disfungsi memori,
yang sering ditemukan pada kelompok ini, dan menimbulkan kejasian kejang yang tidak dapat
dihindari. Kemudian terlebih lagi terdapat adanya potensi gangguan tidur ini berlanjut menjadi
siklus yang kontinyu, yang memperparah kejang, dan hendaya dalam tidur ini dapat menjadi
penyebab timbulnya kejang yang tak dapat dihindari pada sebagian kasus. Walaupun demikian,
beberapa dokter tidak berpikiran untuk menangani penyebab gangguan tidur pada pasien epilepsi
dikarenakan merasa ragu bahwa pengobatan yang optimal dapat terwujud.

Penyebab gangguan tidur pada epilepsi bermacam-macam dan termasuk didalamnya faktor-
faktor yang juga ditemukan pada populasi umum, seperti adanya tidur yang tidak efisien, sleep
hygiene yang tidak adekuat, adanya gangguan tidur lain yang menyertai, dan gangguan ritme
irama sirkardian tubuh. Kemudian, pada epilepsi, bukti yang ada menunjukkan bahwa adanya
epilepsi itu sendiri menimbulkan gangguan pada tidur, walaupun kejang terjadi pada saat
kesadaran penuh. Komplikasi lain pada tatalaksana gangguan tidur pada epilepsi diantaranya
adalah obat antikonvulsan dapat mengubah pola tidur, baik hal itu merupakan kegunaan ataupun
efek samping dari obat tersebut.

Pada artikel ini, penyebab gangguan tidur ditinjau dengan menekankan pada hal-hal yang
sering terjadi pada pasien dengan epilepsi. Akibat dari gangguan ini didiskusikan, dan juga
terdapat tinjauan dari kegunaan obat antikonvulsan. Manajemen gangguan tidur pada pasien
epilepsi perlu dijadikan hal yang penting diperhatikan dalam tatalaksana komprehensif epilepsi.

2. Penyebab Gangguan Tidur pada Epilepsi

Beberapa studi sebelumnya menyatakan bahwa rasa kantuk berlebihan dan gangguan tidur
sangat sering ditemukan pada epilepsi. De Haas et al. Menunjukkan bahwa pada dalam waktu 6
bulan, pasien dengan epilepsi tipe parsial memiliki prevalensi gangguan tidur dua kali lebih
tinggi dibandingkan dengan subjek kontrol (39% berbanding 18%) dan adanya gangguan tidur
berhubungan dengan hendaya kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang
hanya memiliki epilepsi tanpa gangguan tidur [1]. Selain itu, pada studi ini, data menunjukkan
bahwa adanya gangguan tidur pada pasien dengan epilepsi tipe parsial tidak berhubungan secara
signifikan dengan penggunaan obat antiepilepsi, sehingga gangguan tidur pada epilepsi bersifat
independen terhadap terapi epilepsi namun berkaitan dengan gangguan itu sendiri. Malow et al
[2] menggunakan Epworth Sleepiness Scale (ESS) pada penelitiannya untuk menunjukkan bahwa
pasien dengan epilepsi memiliki peningkatan rasa kantuk pada siang hari jika dibandingkan
dengan subjek kontrol (pasien neurologi yang tidak memiliki epilepsi). Epilepsi bukan
merupakan prediktor dari nilai yang tinggi pada saat sleep apnea scale dimasukkan dalam data,
hal ini menunjukkan bahwa kondisi ini memiliki pengaruh pada banyak masalah dalam pasien
dengan epilepsi. Penelitian lain juga dilakukan secara prospektif pada anak-anak seperti yang
dilakukan oleh Stores et al [3] yang menggunakan kuesioner yang belum terstandarisasi dan
Conners Revised Parent Rating Scale. Anak-anak dengan epilepsi memiliki kualitas tidur yang
lebih buruk, kecemasan mengenai tidur, dan gangguan dalam bernafas. Hal ini sesuai dengan
survei yang dilakukan pada orang tua dari 89 anak dengan epilepsi idiopatik [4] Anak-anak
dengan epilepsi memiliki masalah dalam tidur yang lebih banyak dibandingkan subjek kontrol,
dan hal ini berkaitan dengan frekuensi kejang, usia, aktivitas paroksismal dalam EEG, lama
sakit, dan gangguan perilaku.

Penyebab gangguan tidur dibagi menjadi beberapa kategori, diantaranya tidur yang tidak
cukup, ketidakcukupan sleep hygiene , dan efek dari kejang itu sendiri. Efek dari AED,
selanjutnya ditinjau pada Bagian 5.

2.1 Sindrom ketidakcukupan tidur

Salah satu alasan paling umum untuk ketidakcukupan tidur yaitu: kegagalan menghabiskan
cukup waktu untuk tidur. Hal ini umum terjadi pada populasi umum, dan dinilai sebagai sebuah
kebiasaan. Hal tersebut terjadi akibat tuntutan masyarakat modern, termasuk pekerjaan, keluarga,
dan waktu luang, sehingga menyebabkan seseorang membatasi tidurnya. Meskipun beberapa
orang menganggap hal itu wajar, ketidakcukupan tidur secara kronis dapat mengakibatkan defisit
neurokognitif [5]. Hal ini dijelaskan oleh survei “Sleep in America” yang diikuti oleh lebih dari
1000 orang dewasa yang dilakukan oleh National Sleep Foundation pada tahun 2002 [6]. Pasien
epilepsi juga tidak terlepas dari hal ini, meskipun besarnya masalah '‘perilaku' ini pada populasi
dengan epilepsi tidak diketahui.

2.2 Higienitas tidur /sleep hygiene


Higienitas tidur adalah konsep yang cukup sederhana, tetapi tidak banyak dikenal oleh
sebagian pasien dan yang banyak dilupakan oleh dokter. Peninjauan mengenai higienitas tidur
juga membutuhkan banyak waktu dan an dalam prakteknya hal ini mudah diabaikan.

Prinsip dasar dari higienitas tidur adalah mengoptimalisasi kondisi untuk tidur. Bertentangan
dengan kebiasaan banyak orang dan yang norma yang diterima masyarakat Amerika, manusia
tidak memiliki kontrol secara penuh atas tidur, seperti pada makan dan berkemih. Banyak yang
berpendapat bahwa tidur berjalan seperti switch— hidup atau mati — tetapi hal ini tidak benar.
Meskipun tidur tidak bisa sepenuhnya dikontrol,tidur dapat didorong dan dioptimalkan, dan hal
ini merupakan konsep higienitas tidur.

Pertama, tidur harus memiliki pengaturan waktu yang teratur. Manusia punya

banyak proses yang didasarkan pada ritme sirkadian, dan tidur merupakan salah satunya. Suhu
tubuh inti dan pelepasan hormon, termasuk melatonin, kortisol, dan hormon pertumbuhan, juga
didasari hal yang sama. Semua proses mendapat pengaruh dari luar (seperti dalam mengubah
zona waktu atau selama kerja shift); namun, perubahan ini terjadi secara bertahap, dan perubahan
cepat dalam jadwal harian tidak dapat ditoleransi dengan baik. Dengan demikian, tidur optimal
tidak dapat dicapai ketika bangun jam 6:00 pada hari kerja dan siang pada akhir pekan. Tidur
siang yang berlebihan dapat mengganggu tidur. Jika sebuah tidur siang berlangsung 4 jam
dimulai dari jam 6 sore, maka pasien tidak akan merasa kelelahan pada tengah malam. Dia
kemudian akan terjaga hingga larut malam dan akan tidur cepat pada pagi harinya atau akan
bangun lebih awal, mungkin tidur siang lagi di siang hari karena merasa sangat kelelahan.

Kedua, lingkungan tidur harus dioptimalkan, secara fisik dan psikologis, untuk tidur. Secara
fisik, kamar tidur harus gelap dan tenang. Kamar harus terlindung dari kebisingan yang
mengganggu (mis., lalu lintas, orang lain yang bangun lebih awal). Tempat tidur itu sendiri harus
nyaman, dan suhu ruangan harus dioptimalkan. Secara psikologis, kamar tidur, dan khususnya
tempat tidur, seharusnya terkait dengan tidur dan tidak dengan yang lain (terutama aktivitas
aktif). Seseorang harus menahan diri dari kegiatan selain tidur dan bercinta di tempat tidur,
terutama stres kegiatan, misalnya, bekerja, belajar, mengecek buku tabungan, Terkadang
beberapa orang juga harus menahan diri untuk membaca atau menonton televisi di tempat tidur.
Tidak bisa tidur di tempat tidur harus diobati bukan dengan merenung dan menatap jam; hal ini
cenderung dapat menimbulkan kecemasan.Dalam kasus seperti itu, seseorang disarankan untuk
bangun dari tempat tidur dan melakukan aktivitas yang tenang, kemudian kembali ke tempat
tidur saat sudah mengantuk.

Terakhir, aktivitas luar yang bisa mempengaruhi tidur harus dipantau. Aktivitas yang
cenderung merangsang tidur —terutama olahraga — harus dihindari di penghujung hari
(walaupun olahraga itu sendiri dapat meningkatkan waktu tidur malam hari).Minum alkohol
sebelum tidur harus dihindari. Meskipun hal tersebut dapat membantu menginduksi rasa
kantuk,namun hal itu bisa berakibat

bangun pagi. Kafein, coklat, nikotin,dan stimulan lainnya harus dihindari untuk di konsumsi
pada penghujung hari. Selain itu, penting bagi seseorang untuk tidak menghabiskan terlalu lama
di tempat tidur dan berlama lama di tempat tidur setelah siklus tidur yang normal selesai.
Meskipun prinsip-prinsip ini relatif sederhana, betapa mengejutkan bahwa banyak pasien dan
dokter yang tidak terpikir ataupun tahu tentang mereka. Konseling singkat dalam higienitas tidur,
atau pemberian pasien informasi tentang hal itu, dapat membuatnya perbedaan besar dalam
kualitas hidup banyak pasien.

2.3. Gangguan tidur

Kantuk di siang hari umum terjadi pada populasi umum,dan sering terjadi pada populasi
dengan epilepsi, tetapi gangguan tidur pada pasien sendiri sering diabaikan dan tidak
dievaluasi.Banyak dokter menyatakan bahwa kelelahan persisten pada epilepsi merupakan efek
antikonvulsan yang tidak dapat dihindari. Beberapa obat diketahui dapat memberikan efek
kantuk (lihat Bagian 5), kelelahan yang terus-menerus pada penggunaan obat tidak boleh
ditoleransi dalam hal apapun, dan pada banyak pasien, penyebab lain mungkin ada. Sebuah
anamnesis yang baik dan dapat pemeriksaan polisomnographi dapat menunjukkan gangguan
yang dapat diobati, yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, dan, dalam
beberapa kasus, dapat meningkatkan kontrol kejang.

Studi pasien epilepsi dengan gangguan tidur menunjukkan berbagai kondisi yang sebagian
besar bisa diobati, beberapa di antaranya mungkin diabaikan atau salah didiagnosis. Dalam
sebuah studi retrospektif dari 63 pasien epilepsi yang menjalani polisomnografi [7], sebagian
besar (78%) dirujuk karena gangguan obstructive sleep apnea, sementara selain itu (46%)
dirujuk karena kantuk berlebihan dan 19%karena serangan kejang nokturnal Pada studi ini
pasien rujukan yang terdiagnosis obstructive sleep apnea sebanyak 71%, 96% di antaranya
pasien memang dirujuk karena alasan tersebut. Diagnosis lain diantaranya satu pasien dengan
narkolepsi dan satu pasien dengan sindrom ketidakcukupan tidur, empat pasien lainnya dengan
kejang nokturnal. Enam pasien memiliki gerakan anggota tubuh secara periodik yang sering,
tetapi hal ini tidak signifikan secara klinis. Dalam penelitian serupa, Beran et al. [8] melaporkan
pada 50 pasien epilepsi yang dirujuk untuk pemeriksaan polisomnographi semalam. Lima puluh
empat persen mengalami sleep apnea, dan 32% memiliki gerakan anggota tubuh periodik saat
tidur (6 pasien diantaranya membutuhkan obat). Dari 36 pasien yang diresepkan terapi
berdasarkan pada evaluasi, 6 mengalami peningkatan yang signifikan dalam kejang.

Studi-studi ini menekankan pada peningkatan prevalensi gangguan tidur, terutama


obstructive sleep apneu, pada populasi epilepsi dan dapat dilakukan anamnesis menyeluruh dan
pemeriksaan polisomnografi untuk mengkarakterisasi sifat gangguan tidur.

2.4. Efek kejang terhadap tidur

Secara intuitif, kejang nokturnal mengganggu pola tidur. Penyebab paling sering yaitu karena
adanya kebangkitan singkat, dan ketidakmungkinan tidur secara normal selama periode postiktal.
Hal tersebut mungkin terlihat seperti gangguan yang relatif kecil, namun kejang yang singkat
pun ternyata dapat menyebabkan perubahan berkepanjangan pada pola tidur. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan dalam proses tidur dengan adanya pengobatan kejang
nokturnal [9-11]. Secara khusus, banyak pasien mengalami peningkatan efisiensi tidur,
penurunan gairah, dan peningkatan gerakan mata cepat (REM) pada saat tidur, meskipun
terkadang untuk sulit dibedakan antara efek antikonvulsan dari efek kejang itu sendiri. Pasien
dengan kejang parsial menunjukkan pola tidur yang relatif normal pada malam bebas kejang
yang berbeda dengan pasien dengan epilepsi dan letak lesi pada lobus temporal yang mengalami
penurunan efisiensi dari tidur [12]. Namun, penelitian lain menunjukkan
bahwa pada pasien yang baru didiagnosis dengan epilepsi, bahkan pada malam ketika pasien
tidak mengalami kejang, pola tidur mengalami fragmentasi/ terputus-putus [9,13]. Penelitian
Touchon dkk. [9,13] mendukung gagasan bahwa epilepsi itu sendiri— bukan hanya terjadinya
kejang atau efek dari AED — merupakan predisposisi gangguan tidur.

Efek dari kejang dengan lesi lobus temporal terhadap pola tidur telah dipelajari pada pasien
dengan epilepsi. Pasien diperiksa dengan polisomnografi dalam kondisi baseline/ bebas kejang
(seizure-free) dan dalam kondisi kejang parsial kompleks atau general sekunder[14]. Pada kejang
siang hari, terdapat penurunan yang signifikan dalam REM malam berikutnya (12% berbanding
18% untuk kondisi baseline) tanpa perubahan signifikan lainnya dalam tahapan tidur atau dalam
efisiensi tidur. Ketika kejang terjadi pada awal malam, penurunan REM ini terjadi lebih jelas
(7% berbanding 16%) dan terdapat peningkatan dalam tahapan memulai tidur dan penurunan
efisiensi tidur. Hal ini lebih jelas terjadi ketika kejang pada awal malam (Gbr. 1).

Dengan demikian, kejang dapat memiliki efek yang sangat besar terhadap tidur yang
berlangsung lebih lama daripada periode postiktal. Gambar dibawah ini menunjukkan fenomena
klinis yang sering terlihat: pasien yang mengalami kejang nokturnal tetapi mengeluh sulit
berkonsentrasi atau tidak dapat bekerja sama sekali pada hari setelah mengalami kejang.

Gambar.1 Efek kejang terhadap tidur


3. Efek dari Tidur, Kekurangan tidur, dan Gangguan Tidur pada Saat Terjadinya Kejang

Frekuensi ritme dasar pada otak yang terjadi pada otak berbeda pada kondisi tidur dan terjaga.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa berbagai jenis kejang terjadi pada suatu tahap
tertentu pada keadaan tidur. Crespel et al. [12] secara khusus memeriksa terjadinya kejang lobus
frontal dan temporal pada 30 pasien, menggunakan pemantauan EEG video selama 5 hari terus
menerus. Enam puluh satu persen dari kejang frontal dimulai saat tidur, dibandingkan 11% pada
kejang lobus temporal. Dalam penelitian yang lebih besar, Bazil dan Walczak [15] secara
retrospektif meneliti lebih dari 1000 kejang pada 188 pasien untuk mempelajari pola onset
kejang selama tidur. Sebuah studi prospektif, terbatas pada pasien dengan parsial kejang,
dilakukan kemudian [16]. Kedua studi ini menunjukkan bahwa, secara keseluruhan, 20% kejang
terjadi saat tidur. Kedua studi juga menunjukkan bahwa kebanyakan kejang saat tidur dimulai
selama tahap II, sedangkan kejang sedikit terjadi selama gelombang tidur lambat (tahap III / IV)
dan beberapa kejang tidak pernah terjadi selama tidur REM. Kejang lobus frontal lebih sering
dimulai saat tidur dibandingkan kejang lobus temporal, sebuah temuan yang diakui secara klinis.
Kedua penelitian ini juga menunjukkan bahwa kejang lobus temporal lebih mungkin berpola
general sekunder dan terjadi saat dimulainya tidur, sementara tidak pada kejang lobus frontal.
Temuan menarik ini menunjukkan perbedaan dalam jalur atau perjalanan penyakit dari epilepsi
parsial, yang mungkin berimplikasi untuk pengobatan lebih lanjut. Kejang yang terjadi hanya
saat tidur mungkin merupakan informasi yang penting, berbeda, dan memiliki keunikan
patofisiologi yang mendasari, dan karena hal tersebut memiliki prognosis yang baik [17,18].

Kekurangan tidur diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya kejang, yang secara klinis
mudah terlihat dalam beberapa sindrom, seperti epilepsi mioklonik remaja (juvenile myoclonic
epilepsy). Namun, sebuah studi terkontrol pada pasien dengan epilepsi parsial refrakter gagal
menunjukkan hubungan diantara keduanya [19]. Tujuh belas pasien dikondisikan untuk tidur
kurang pada malam-malam secara berturut-turut, dan 13 pasien mendapatkan 8 jam tidur per
malam. Tidak terdapat perbedaan dalam jumlah kejang atau durasi waktu untuk pada kejang
pertama kali. Hal ini menjadi pertanyaan sehingga kondisi kekurangan tidur dipilih untuk
menjadi bahan penelitian dalam unit pemantauan epilepsi. Namun demikian, bukti empiris yang
ada sangat mendukung gagasan bahwa kekurangan tidur kemungkinan dapat meningkatkan
risiko kejang pada sebagian besar pasien di unit rawat jalan, terutama ketika terjadi kondisi yang
kronis. Hal ini disebabkan oleh timbulnya gangguan tidur (seperti yang dijelaskan di Bagian 2.3),
yang dapat disebabkan oleh pengaruh dari luar, seperti pola higienitas tidur yang buruk, atau
pasien memang membatasi diri sehingga memiliki waktu tidur yang tidak memadai karena
keterbatasan waktu pada aspek lain dari kehidupan mereka. Semua pengaruh dapat menyebabkan
peningkatan kejadian kejang, dan akhirnya semakin mengganggu waktu tidur yang sudah
terbatas. Siklus gangguan tidur dan kejadian serangan epilepsi yang tidak dapat dihindari, dapat
terjadi dan kejang tidak akan dapat dikontrol sampai gangguan tidur teratasi terlebih dahulu, hal
ini menjadi tantangan bagi dokter untuk dapat mengetahui pola gangguan tidur dan menentukan
intervensi yang tepat untuk memperbaikinya.

Dengan demikian, ritme sirkadian tertentu dapat mempengaruhi kejadian kejang terlepas
dari tidur. Kedua tikus dengan model epilepsi limbik dan manusia dengan kejang lesi temporalis
media diketahui mengalami peningkatan frekuensi kejang selama siang hari, namun hal ini tidak
terlihat pada manusia dengan dengan kejang ekstratemporal [20]. Hal ini tidak berkaitan dengan
tidur, dikarenakan tikus memiliki pola irama sirkardian terutama nokturnal dan manusia diurnal.
Manusia dengan epilepsi lobus temporal yang tidak terobati menunjukkan sekresi abnormal dari
melatonin, hormon yang berhubungan dengan tidur dengan pola sirkadian yang berkarakter
khusus[21]. Melatonin eksogen telah terbukti membantu mengendalikan kejang dalam beberapa
penelitian kecil [22,23], dan menunjukkan potensi zat ini berguna dalam terapi beberapa pasien.

4. Efek Lain Gangguan Tidur pada Pasien dengan Epilepsi

Selain pengaruh kejadian kejang, pasien dengan epilepsi mungkin lebih rentan dengan efek
gangguan tidur pada fungsi kognitif dan fungsionalnya dibandingkan dengan populasi umum.
Hal yang paling jelas terlihat yaitu rasa kelelahan/ kantuk di siang hari, yang terkait dengan
hendaya beberapa domain kognitif. Hal ini bukan merupakan masalah kecil, seperti pada siang
hari rasa kantuk berkontribusi terhadap peningkatan kejadian kecelakaan dan, khususnya dalam
kasus kendaraan bermotor, hingga jatuhnya korban jiwa. Pasien dengan kejang yang tidak
terkontrol tidak boleh mengemudi. Tapi banyak pasien yang memiliki acara-acara eksklusif di
malam hari, dan mereka yang mengalami serangan hanya pada siang hari, masih mengemudi,
dan dampak mengantuk di siang hari pada kewaspadaan dan fungsi psikomotor harus
diperhatikan. Bahkan pasien dengan kejang terkontrol sepenuhnya masih bisa memiliki
gangguan tidur karena adanya gangguan tidur yang menyertai (lihat Bagian 2) atau adanya
pengaruh AED (dibahas dalam Bagian 5). Dengan demikian, potensi gangguan kognitif dan
fungsional gangguan pada pasien-pasien ini juga harus diperhatikan. Kontrol kejang yang baik
seharusnya tidak menutup kemungkinan terjadinya gangguan tidur secara klinis berakibat
signifikan dalam populasi ini.

Gangguan tidur juga dapat mempengaruhi fungsi memori. Meski fungsi tidur yang sebenarnya
tidak jelas, namun saat ini terdapat banyak bukti bahwa tidur dan REM atau gelombang tidur
lambat diperlukan untuk optimalisasi dari fungsi kognitif. Kehilangan waktu tidur telah diketahui
dapat mempengaruhi kemampuan kognitif dan prosedural. Hal ini telah dipelajari dalam
penelitian pada petugas kesehatan[24-26]. Terdapat banyak bukti bahwa pembatasan tidur
sedikitnya 2 jam per malam dapat merusak fungsi neurobehavioral pada individu normal[5].
Meski demikian pengaruh gangguan tidur pada fungsi memori pada pasien dengan epilepsi
belum banyak dipelajari, namun hal ini tidak menampik bahwa gangguan fungsi memori tidak
dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi yang memiliki gangguan tidur.

Baik REM dan gelombang tidur lambat (stadium III / IV) dianggap sebagai “essential sleep”
dan subjek yang kekurangan tidur (setidaknya dalam jangka pendek) akan mengalami 'rebound'
atau mengompensasi sebagian besar REM dan gelombang tidur lambat yang hilang. Namun,
sangat sedikit stadium I atau II tidur dapat kembali [27]. Meskipun fungsi tidur REM tetap
spekulatif, namun banyak penelitian menunjukkan bahwa peningkatan REM berkorelasi dengan
peningkatan daya fungsi seseorang normal yang sehat untuk mempelajari tugas-tugas tertentu
[28-30]. Selain itu, peningkatan tidur REM yang diinduksi oleh obat-obatan menunjukkan
keberhasilan pada pasien dengan penyakit Alzheimer [31,32], dan peningkatan REM yang terkait
dengan penggunaan donepezil berhubungan dengan peningkatan fungsi memori pada individu
normal[32]. Peningkatan gelombang tidur lambat juga berkorelasi dengan teknik tertentu dalam
mempelajari suatu hal dari seorang manusia [28], dan tampaknya pemrosesan memori di
manusia membutuhkan keterlibatan dari gelombang tidur lambat [33].

Pasien dengan epilepsi sering mengeluhkan gangguan fungsi kognitif, termasuk gangguan
memori[34]. Hal ini mungkin terjadi karena kejang atau penggunaan obat-obatan walaupun
secara tidak langsung, tetapi merupakan efek merugikan yang terjadi karena kurangnya
pada”essential sleep” dengan efek samping yaitu hendaya pada fungsi indivisu tersebut pada
siang hari. Banyak dari pasien menderita gangguan tidur kronis dengan satu atau lebih penyebab.
Sifat dan dampak dari gangguan kognitif pada epilepsi lebih luas dibahas dalam artikel yang
disusun oleh Motamedi dan Meador dalam hal ini merupakan suplemen [35].

5. Efek Obat Antikonvulsan

Efek dari AED terhadap pola tidur bervariasi dan seringkali tidak terdefinisi dengan baik.
Studi prospektif, menunjukkan bahwa AED dapat mempengaruhi pola tidur. Studi awal dari
AED sebelumnya juga menunjukkan suatu peningkatan stabilitas tidur dengan penggunaan
semua jenis AED. Dalam sebuah studi retrospeksi, menunjukkan bahwa efek tersebut
kemungkinan disebabkan oleh pengurangan aktivitas kejang, yang bersifat independen dari efek
obat-obatan tersebut pada tidur itu sendiri. Baru-baru ini, efek obat antikonvulsan telah dipelajari
secara mandiri pada kejang, yang menunjukkan efek yang berbeda (dari keduanya ada yang
merugikan dan bermanfaat) dari penggunaan berbagai jenis AED. Ringkasan dari pengetahuan
mengenai efek AED pada berbagai aspek tidur yang terbaru dan berdasarkan literatur yang
tersedia, disediakan dalam Tabel 1 [36,37].

Benzodiazepin dan barbiturat jarang digunakan untuk pengobatan kronis untuk gangguan
kejang, tetapi obat-obat ini diketahui memiliki efek merugikan terhadap pola tidur. Dimana
kedua golongan obat mengurangi periode latensi tidur, obat tersebut juga menurunkan frekuensi
tidur REM [38,39]. Efek-efek lainnya dari obat antikonvulsan bervariasi dalam beberapa studi,
tetapi beberapa kesimpulan dapat ditarik. Phenytoin diketahui dapat meningkatkan tidur ringan
dan mengurangi efisiensi tidur, dan beberapa penelitian menunjukkan penurunan tidur REM
[38,40–43]. Temuan untuk carbamazepine lebih bervariasi, namun beberapa data menunjukkan
juga terjadi penurunan pada tidur REM [40], terutama dengan pengobatan akut [44,45]. Masih
terdapat beberapa perdebatan mengenai efek yang mungkin muncul pada terapi carbamazepine
jangka pendek pada tidur REM.

Studi terhadap jenis obat yang lebih baru menunjukkan lebih sedikit efek merugikan
terhadap tidur. Lamotrigin terbukti tidak berpengaruh pada tidur dalam satu penelitian [44],
namun pada penelitian lain menunjukkan mengakibatkan penurunan dalam gelombang tidur
lambat [46]. Gabapentin tidak memiliki efek merugikan pada tidur, dan tampaknya dapat
meningkatkan gelombang tidur lambat pada pasien dengan epilepsi [43,44] dan pada pasien
normal [47,48]. Selanjutnya, dalam suatu studi terbatas menyarankan gabapentin dapat berguna
dalam terapi suatu gangguan tidur yang sering terjadi, yaitu restless leg syndrome [49].
Karbamazepin dan lamotrigin jugadiketahui berhasil digunakan dalam pengobatan gangguan ini.
Bell et Al. [50] mempelajari efek levetiracetam terhadap tidur sebagai monoterapi pada pasien
normal dan terapi carbamazepine pada pasien epilepsi. Data menunjukkan tidak adanya pengaruh
pada frekuensi terbangun, efisiensi tidur, ataupun frekuensi gelombang tidur lambat atau tidur
REM yang terlihat pada kedua kelompok. Namun demikian, terdapat persepsi subyektif
mengenai frekuensi lebih sedikit terbangun, lebih banyak tidur nyenyak, dan menurunnya
kewaspadaan dan frekuensi terbangun pada kedua kelompok. Efek dari zonisamide,
oxcarbazepine, dan topiramate pada tidur dan gangguan tidur tidak diketahui. Pasien yang
menggunakan obat antikonvulsan yang diketahui dapat mengganggu tidur (phenobarbital,
phenytoin, carbamazepine, atau asam valproic) mengalami peningkatan rasa kantuk
dibandingkan dengan pasien epilepsi yang tidak menggunakan antikonvulsan [51].

Terdapat suatu bukti bahwa AED baru yang masih dalam pengembangan, yaitu pregabalin,
secara signifikan dapat meningkatkan gelombang tidur lambat pada pasien normal, berbeda
dengan alprazolam, yang diketahui dapat menurunkan frekuensi gelombang tidur lambat [37].
Perbedaan klinis dari penggunaan masing-masing obat dan efeknya pada pola tidur harus
diselidiki lebih lanjut. Dengan demikian, sampai suatu saat nanti peneliti memiliki lebih banyak
informasi yang khusus subpopulasi pasien epilepsi yang diterapi dengan AED, setiap dokter
harus menyadari efek dari obat ini yang mungkin dapat menguntungkan atau merugikan terhadap
pola tidur dan bahwa obat-obat ini juga dapat mencetuskan suatu gangguan tidur independen.

Tabel.1 Ringkasan efek AED terhadap tidur


6. Kesimpulan

Perhatian mengenai pola tidur pada pasien dengan epilepsi berimplikasi dalam diagnosis,
kontrol kejang, dan kualitas hidup pasien. Telah dijelaskan bahwa gangguan tidur secara
independen dapat muncul menyertai kondisi epilepsi dan suatu kejang seringkali menyebabkan
gangguan tidur. Keluhan rasa mengantuk di siang hari pada pasien dengan epilepsi tidak bisa lagi
diabaikan ,berdasarkan studi tidur yang menunjukkan bahwa proses diagnosis yang jelas dapat
meningkatkan kualitas dari kontrol kejang maupun tidur pada pasien epilepsi. Setiap pasien
dengan keluhan rasa kantuk siang hari yang persisten harus dipertimbangkan untuk dilakukan
pemeriksaan polisomnografi ataupun polisomnografi EEG-video.

Apakah gangguan tidur disebabkan oleh kejang, oleh karena penggunaan AED, ataupun oleh
gangguan tidur yang menyertai kondisi epilepsi, jelas menimbulkan dampak dalam fungsi
individi dalam kehidupan sehari-hari. Menurunnya efisiensi tidurdan meningkatnya rasa kantuk
di siang hari diketahui berhubungan dengan kejadian kejang dan penggunaan beberapa AED.
Gangguan berupa kekurangan tidur secara kronis, berakibat merugikan untuk fungsi
neurokognitif. Hal yang lebih menarik dan penting ialah efek dari epilepsi itu sendiri, kejang,
dan pengobatan AED terhadap “essential sleep” - gelombang tidur lambat dan tidur REM.
Meskipun peran yang tepat dari essential sleep dalam fungsi sehari-hari belum sepenuhnya
dipahami, terdapat bukti yang kuat bahwa tahapan tidur ini penting untuk proses konsolidasi
fungsi memori tertentu, yang pada akhirnya berdampak pada fungsi sehari-hari. Jika hal ini
benar, gangguan tidur pada epilepsi berarti memainkan peran dalam gangguan memori yang
umum terjadi pada pasien epilepsi. Namun hipotesis ini harus menunggu penelitian selanjutnya.
Bagaimanapun, bukti menjelaskan bahwa kualitas tidur memainkan peranan penting dalam
kontrol kejang dan kualitas hidup pasien epilepsi. Hal yang perlu diperhatikan yaitu kejadian
kejang yang dapat mengganggu tidur, gangguan tidur yang mungkin menyertai epilepsi, dan
pilihan obat AED yang menjadi penting dalam terapi komprehensif pada pasien dengan epilepsi.

Anda mungkin juga menyukai